• Tidak ada hasil yang ditemukan

pangan terganggu seperti kenaikan harga, bencana yang sebabkan kesulitan pangan, serta penurunan produksi dan stok pangan (Khornsan 1997).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "pangan terganggu seperti kenaikan harga, bencana yang sebabkan kesulitan pangan, serta penurunan produksi dan stok pangan (Khornsan 1997)."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Kerawanan Pangan

Pada sarnbutan Widya Karya Pangan dan Gizi Vlll tahun 2004 Menteri~ Pertanian, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Perencanaan Pernbangunan NasionallKepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional rnenyampaikan bahwa ketahanan pangan dan gizi rnerupakan salah satu unsur penting dan strategis dalam rneningkatkan kualitas sumberdaya rnanusia dan menghasilkan generasi yang berkualitas. Oleh karena itu pernbangunan ketahanan pangan akan tetap menjadi komitrnen nasional (Mentan 2004 dan Suryana 2003).

Maxwell dan Frankenberger (1992) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai suatu kesatuan konsep yang saling berkaitan antara akses, kecukupan, kearnanan dan ketahanan pangan. FA0 (1997) diacu dalarn Tabor, Soekirman, dan Martianto (2004) rnendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi dimana semua rurnahtangga rnempunyai akses fisik rnaupun ekonorni untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota rumahtangganya dan tidak berisiko kehilangan akses tersebut.

Pengertian ketahanan pangan menurut UU No 7 Tahun 1996 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rurnahtangga yang tercermin dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalarn jumlah rnaupun mutunya; (2) arnan; (3) rnerata; dan (4) terjangkau. Pangan tersedia dengan cukup berarti bahwa seluruh pangan cukup tersedia untuk rnernenuhi kebutuhan seluruh zat gizi yang berrnanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia. Pangan yang aman berarti bahwa pangan bebas dari cernaran biologis, kirnia, dan benda lain yang dapat rnengganggu, rnerugikan, dan mernbahayakan kesehatan rnanusia, serta arnan dari kaidah agarna (halal). Pangan terpenuhi dengan rnerata berrnakna bahwa pangan harus tersedia setiap saat dan rnerata di seluruh tanah air. Pangan yang terjangkau berrnakna bahwa pangan rnudah diperoleh dengan harga yang terjangkau (BBKP 2001).

Secara teoritis terdapat dua ancaman ketahanan pangan yaitu ancarnan kronis dan peralihan. Ancarnan ketahanan pangan kronis adalah keadaan kekurangan pangan yang terus menerus akibat kurangnya akses terhadap pangan baik rnelalui pasar rnaupun produksi sendiri. Hal ini rnenirnpa orang- orang miskin yang berdaya beli rendah. Ancarnan ketahanan pangan peralihan adalah kekurangan pangan akibat gejolak sernentara yang rnernbuat akses

(2)

pangan terganggu seperti kenaikan harga, bencana yang sebabkan kesulitan pangan, serta penurunan produksi dan stok pangan (Khornsan 1997).

Ketahanan pangan tingkat rurnahtangga dapat diketahui melalui pengurnpulan data konsumsi dan ketersediaan pangan dengan cara survei pangan secara langsung dan hasilnya dibandingkan dengan angka kecukupan yang telah ditetapkan. Selain pengukuran konsurnsi dan ketersediaan pangan melalui suwei tersebut dapat pula digunakan data mengenai sosial ekonomi dan dernografi untuk rnengetahui resiko ketahanan pangan seperti pendapatan, pendidikan, struktur rurnahtangga, harga pangan, pengeluaran pangan dan sebagainya. Data tersebut dapat digunakan sebagai indikator risiko terhadap ketahanan pangan pada tingkat rurnahtangga (Sukandar et a/. 2001).

Buku berjudul The Population Bomb (Ledakan Penduduk) pada tahun 1968 oleh Paul R. Ehrlich rnerarnalkan adanya bencana kernanusiaan akibat terlalu banyaknya penduduk dan ledakan penduduk. Karya tersebut menggunakan argumen yang sama seperti yang dikernukakan Thomas Malthus dalam An Essay on the Principle of Population (1798), bahwa laju pertumbuhan penduduk mengikuti perturnbuhan eksponensial dan akan melampaui suplai makanan yang akan mengakibatkan kelaparan (Wikipedia 2008).

Ketersediaan yang cukup di suatu wilayah tidak dapat rnenjamin ha1 yang sarna di tingkat rurnahtangga, karena tergantung kemarnpuan rurnahtangga dalam mengakses pangan secara fisik (daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli). Dernikian halnya dengan konsurnsi pangan, walaupun kemarnpuan rurnahtangga telah rneningkat narnun kemarnpuan rata-rata konsumsi pangan per kapita masih belurn mencapai tingkat yang rnernadai untuk turnbuh, sehat dan produktif. Oleh karena itu ketahanan pangan di tingkat rurnahtangga rnasih rendah (Syafrudin 2006).

Metode untuk rnengetahui kondisi ketersediaan pangan wilayah tingkat nasional maupun provinsi dan kabupatenlkota adalah Neraca Bahan Makanan (NBM) atau Food Balance Sheet (FBS). Satuan untuk rnengukur tingkat ketersediaan pangan adalah volume pangan (tonltahun, kglkapitalhari, glkapitalhari), energi (kkal/kapitalhari) maupun zat gizi (protein: glkapitalhari; lemak: glkapitalhari; vitamin A: Sllkapitalhari; mineral seperti Fe: rnglkapitalhari) (Baliwati & Roosita 2004).

Acuan secara kuantitatif ketersediaan pangan berupa Angka Kecukupan Gizi (AKG) rekornendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Vlll tahun 2004

(3)

yaitu rata-rata perkapita perhari energi sebesar 2.200 kkal dan protein 57 garn. Disamping itu, terdapat pula acuan untuk rnenilai tingkat keragarnan konsurnsi pangan (rnutu ketahanan pangan) melalui Pola Pangan Harapan (PPH) dengan skor ideal 100 (DKP 2006). PPH berpatokan pada syarat kecukupan gizi, konsurnsi aneka ragam pangan, dan kontribusi energi masing-masing bahan pangan (Khornsan 1997).

Sebagai wujud dari kornitrnen pernerintah untuk rneningkatkan ketahanan pangan, telah disusun beberapa perangkat lunak dalarn rnendeteksi situasi ketahanan pangan sebagai pedornan untuk rnenentukan kebijakan. lnstrurnen untuk rnernantau situasi ketahanan pangan tersebut yang telah dilakukan diantaranya adalah Food Securify Atlas (FIA). Pendekatan ini pada prinsipnya akan rnernberikan inforrnasi kepada kita tentang situasi pangan di suatu wilayah rnelalui penjaringan data dan inforrnasi dengan rnenggunakan indikator-indikator yang telah disusun sebagai cerminan faktor-faktor yang rnenentukan tingkat kerawanan pangan.

Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialarni daerah, rnasyarakat atau rurnahtangga, pada waktu tertentu untuk rnernenuhi standar kebutuhan fisiologis b a g i perturnbuhan dan kesehatan rnasyarakat. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana alarn rnaupun bencana sosial (transien).

Kondisi rawan pangan dapat disebabkan karena: (a) tidak adanya akses secara ekonorni bagi individulrurnahtangga untuk rnernperoleh pangan yang cukup, (b) tidak adanya akses secara fisik bagi individulrurnahtangga untuk rnernperoleh pangan yang cukup, (c) tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan yang produktif individulrurnahtangga, (d) tidak terpenuhinya pangan secara cukup dalarn jurnlah rnutu, ragarn, kearnanan serta keterjangkauan harga (Murniningtyas & Atrnawikarta 2006).

Kerawanan pangan dan kelaparan .sering terjadi pada petani skala kecil dan nelayan, dan rnasyarakat sekitar hutan yang rnenggantungkan hidup dari surnberdaya alam yang rniskin dan terdegradasi. Walaupun dernikian. rnasyarakat urban di perkotaan dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah sangat rentan rnenjadi rnasyarakat yang rawan pangan.

Peta kerawanan pangan pada tingkat provinsi merupakan aiat bantu untuk memfasilitasi penyusunan startegi yang sesuai dalarn penanganan

(4)

rnasalah kerawanan pangan yang sedang terjadi dan mungkin berlanjut pada jangka panjang. Peta kerawanan pangan biasanya dilakukan di tingkat provinsi, ataupun kabupatenlkota. Hal ini bukan rnernotret kinerja suatu wilayah melainkan rnenyediakan inforrnasi bagi para pengarnbil kebijakan di tingkat pusat, provinsi, kabupatenlkota.

Suatu wilayah atau rnasyarakat dikatakan tahan pangan bila dilihat secara keseluruhan indikator yang rnelibatkan aspek ketersediaan pangan, akses pangan dan kesehatan. Daerah dengan skor rawan pangan yang tinggi dirnasukan dalarn kategori rawan pangan sedangkan daerah dengan skor yang rendah dikategorikan daerah tahan pangan (Dewan Ketahanan Pangan 2003). Untuk menghasilkan perencanaan yang lebih baik serta rnembantu perencanaan rnitigasi bencana, persiapan serta usaha untuk rnengatasi secara lebih tepat dilakukan peta kerawanan di tingkat kecarnatan yang dilihat dari berbagai aspek antara lain ketersediaan, akses dan utilisasi pangan. Ketersediaan data di tingkat kecarnatan rnerupakan faktor pernbatas utarna dalam pernilihan indikator.

Situasi rawan pangan di Indonesia juga dapat dipantaui rnelalui Sistern Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). SKPG adalah kegiatan pengarnatan terhadap situasi pangan dan gizi rnasyarakat secara teratur dan terus rnenerus yang bertujuan untuk rnenyediakan inforrnasi bagi penentuan kebijakan, perencanaan program dan penetapan tindakan dalarn penanganan rnasalah pangan dan gizi. Kerawanan pangan adalah kondisi ketidakcukupan pangan di tingkat rurnahtangga dan kurangnya akses untuk rnendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi yang mernadai. Kerawanan pangan pada tingkat rurnahtangga akan rnenyebabkan keadaan giil masyarakat yang sudah rnenurun menjadi lebih buruk (DKP 2007).

Menurut Arnin, Suharno, dan Saifullah (1998), kondisi rawan pangan rnerupakan keadaan kebalikan dari kondisi ketahanan pangan. Kondisi kerawanan pangan adalah rnasalah yang multidimensional. Kerawanan pangan secara urnurn didefinisikan sebagai suatu kondisi ketidakrnarnpuan untuk rnernperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan beraktivitas dengan baik, baik secara sernentara rnaupun dalarn jangka panjang. Kondisi kerawanan pangan dapat saja sedang terjadi berpotensi untuk terjadi (Dewan Ketahanan Pangan RI & Program Pangan Dunia PBB 2003).

Menurut Badan Birnas Ketahanan Pangan (2001b) kerawanan pangan adalah situasi daerah, rnasyarakat atau rurnahtangga yang tingkat ketersediaan

(5)

dan kearnanan pangannya tidak cukup untuk rnernenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi perturnbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakat. Berdasarkan acuan dari FAO, USAlD & UU no. 7 tahun 1996 tentang pangan, kondisi rawan pangan rnengandung beberapa kornponen penting yaitu: (a) Akses secara ekonorni individu atau rurnahtangga untuk rnernperoleh pangan yang cukup tidak ada; (b) Akses secara fisik bagi individu atau rurnahtangga untuk rnernperoleh pangan yang cukup tidak ada; (c) Pangan untuk hidup produktif bagi individu atau rumahtangga tidak tercukupi; (d) pangan tidak cukup terpenuhi dalarn jumlah, rnutu, ragarn, keamanan pangan dan keterjangkauan harga (Arnin ef al. 1998).

Rawan pangan rnerupakan kondisi ketidakrnarnpuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan aktif. Kerawanan pangan terjadi apabila setiap individu hanya rnarnpu mernenuhi 80 persen kebutuhan pangan dan gizi hariannya. Kondisi kerawanan pangan yang lebih parah berdampak pada terjadinya kelaparan dimana individu tidak rnarnpu rnemenuhi 70 persen dari kebutuhan pangan dan gizinya berturut-turut selarna dua bulan diikuti penurunan berat badan karena masalah daya beli dan atau ketersediaan pangan. Pada dasarnya kerawanan pangan dan kelaparan disebabkan rnasalah kekurangan pangan antara lain akibat: (1) rendahnya ketersediaan pangan; (2) gangguan distribusi karena kerusakan sarana dan prasarana serta kearnanan distribusi; (3) terjadinya bencana alam menyebabkan suatu wilayah terisolasi; (4) kegagalan produksi pangan; serta (5) gangguan kondisi sosial (Pusat Pengembangan Distribusi Pangan DKP 2005).

Daerah rawan pangan dapat diartikan sebagai daerah yang ketesediaan pangannya tidak cukup untuk mernenuhi kebutuhan konsurnsi pangan penduduknya sehingga tirnbul kekurangan pangan. Masyarakat atau penduduk rawan pangan adalah penduduk yang rentan terhadap kekurangan pangan akibat perubahan musim yang tidak menguntungkan atau bencana alam seperti kekeringan panjang, banjir, gempa bumi dan sebagainya. Kelompok rnasyarakat rawan pangan tesebut banyak kaitannnya dengan faktor biologis yaitu kelornpok bayi, anak-anak, wanita harnil/rnenyusui dan kelompok lanjut usia disarnping rnereka yang tergolong penduduk rniskin (Suhardjo 1999).

Kerawanan pangan dibagi dalarn tiga tingkatan yaitu tingkat nasionallregional, rurnahtangga dan individu. Di tingkat nasional kerawanan pangan rnerupakan situasi dimana pasokan pangan lebih rendah dari

(6)

perrnintaan, sehingga harganya tidak wajar (tinggi). Kenaikan harga pangan yang cukup akan mempengaruhi rawan pangan bagi kelompok rentan yaitu rnereka yang rniskin (Arnin eta/. 1998).

Menurut Dewan Ketahanan Pangan RI & program Pangan Dunia PBB (2003) kerawanan pangan pada tingkat nasional dapat disebabkan oleh ketidakrnarnpuan untuk rnengirnpor pangan yang rnemadai. Menurut Amin et al. (1998) di tingkat nasional kerawanan pangan rnerupakan situasi dirnana pasokan pangan lebih rendah dari perrnintaan rnenyebabkan harganya tidak wajar (tinggi). Harga pangan yang naik dengan cepat tersebut akan mernpengaruhi kelornpok rentan yaitu rnereka yang rniskin.

Kerawanan pangan di tingkat provinsi, dapat disebabkan oleh kurangnya produksi atau distribusi pangan yang rnemadai ke seluruh pelosok dengan harga yang terjangkau. Kerawanan pangan di tingkat rurnahtangga urnurnnya disebabkan oleh kurangnya kesempatan rnernperoleh nafkah yang rnencukupi serta tingginya harga pangan. Pada tingkat individu, beberapa aspek seperti ketidakwajaran, akses pelayanan umum seperti kesehatan, air dan sanitasi, pendidikan, perbedaan gender dan lainnya yang menirnbulkan kerawanan pangan. Kerentanan terhadap bencana alam dan sejenisnya, degradasi lingkungan dan lain-lain dapat rnernpengaruhi derajat ketahanan pangan pada semua tingkat (Dewan Ketahanan Pangan RI & program Pangan Dunia PBB 2003).

Pusat Distribusi Pangan DKP (2005) menjelaskan bahwa darnpak dari kerawanan pangan dan kekurangan gizi dapat terjadi pada skala rnakro dan rnikro. Pada skala rnikro darnpak terjadi pada sernua kelompok umur yaitu orang tua, orang dewasa, anak-anak, bayi dan para wanita termasuk juga wanita harnil. Berbagai darnpak yang ditirnbulkan sebagai berikut : (1) rnalnutrisi pada orang tua disebabkan kekurangan rnakanan dan penurunan kesehatan, menyebabkan kesempatan bekerja dan pendapatan rnenurun dan urnur harapan hidup rendah, (2) penurunan derajat kesehatan dan kernampuan fisik usia produktif ditunjukkan dengan kesakitan meningkat, absensi rneningkat, perturnbuhan dan daya tangkap menurun, kesegaran fisik rnenurun, prestasi oleh raga jelek, interaksi sosial kurang, krirninalitas meningkat, (3) rnalnutrisi pada wanita harnil dan rneningkatnya angka kematian ibu, perkembangan otak janin dan pertumbuhan terharnbat, berat bayi lahir rendah, (4) penurunan derajat kesehatan pada anak- anak, keterbelakangan mental, penyapihan yang tidak cukup waktu sehingga

(7)

rnudah terkena infeksi serta kekurangan makanan, serta (5) penurunan berat badan bayi, meningkatnya angka kematian, terganggunya perkernbangan mental dan meningkatnya resiko terkena penyakit kronis setelah dewasa. Sedangkan darnpak yang terjadi pada skala rnakro, adalah timbulnya permasalahan pada kehidupan masyarakat, dengan ditandai sulitnya mata pencaharian, daya beli masyarakat menurun tajam yang kemudian dapat menjadi penyebab tingginya tingkat kriminalitas seperti pencurian, perampokan dan lain sebagainya. Akibat yang lebih rnernbahayakan lagi adalah, dimana setiap individu berupaya untuk rnemperoleh kebutuhan hidup tanpa mernperhatikan kepentingan orang lain, sehingga dapat menirnbulkan perpecahan di rnasyarakat (Deptan 2006).

Rawan pangan kronis adalah keadaan rawan pangan yang berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu yang dapat disebabkan karena keterbatasan sumber daya alam (SDA) dan keterbatasan kernarnpuan sumber daya manusia (SDM) sehingga menyebabkan kondisi masyarakat menjadi miskin. Rawan pangan transien adalah keadaan kerawanan pangan yang disebabkan oleh kondisi yang tidak terduga antara lain berbagai musibah, bencana alam, kerusuhan, musim yang menyirnpang dan keadaan lain yang bersifat rnendadak. lndikator kerawanan pangan kronis tercak,up dalam tiga aspekldimensi rawan pangan yaitu: masalah kesehatan, masalah ketersediaan pangan, rnasalah kemiskinan. lndikator untuk kerawanan pangan transien, rnenggambarkan aspek dari pengaruh lingkungan alarn dan iklim, rneliputi indikator persentase daerah tak berhutan, persentase puso, daerah rawan longsor dan banjir, serta fluktuasilpenyimpangan curah hujan (Pusat Pengembangan Distribusi Pangan

DKP 2005).

lndikator Kerawanan Pangan

Maxwell dan Timothy (1992) menyatakan bahwa indikator pencapaian ketahanan pangan dibedakan atas indikator proses dan indikator darnpak. lndikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator darnpak meliputi indikator langsung maupun tak langsung. lndikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklirn, akses terhadap sumberdaya alarn, praktek pengelolaan lahan, pengernbangan institusi, pasar, konflik regional dan kerusuhan sosial. lndikator akses pangan meliputi surnber pendapatan, akses terhadap kredit modal, serta strategi rumahtangga untuk memenuhi kekurangan pangan.

(8)

lndikator dampak secara langsung meliputi konsumsi, frekuensi pangan dan status gizi, sedangkan indikator dampak secara tak langsung meliputi penyimpanan pangan.

Chung et a/. (1997) diacu dalam Setiawan (2002) merangkum beragam indikator ketahanan pangan rumahtangga sesuai dengan aspek ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan. Faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan dapat dilihat pada Gambar 2 .

Gambar 2 Faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan (Chung 1997 diacu dalam Setiawan 2002).

Ketahanan Pangan (Food Security)

r

t

Food availability Food Utilization

I I

I 1 I 1 I I I

Aspek ketersediaan dan stabilitas pangan tergantung pada sumberdaya (alam, manusia, dan sosial) serta produksi pangan (on farm dan offfarm). Akses pangan rnenunjukkan jaminan bahwa setiap rumahtangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk, memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi. Akses pangan tercermin dari kemampuan rumahtangga meningkatkan pendapatan dan produksi pangan. Hal ini tergantung pada harga pangan maupun tingkat sumberdaya keluarga. Akses pangan tergantung pula pada pengetahuan atau dimensi sumberdaya manusia (human capital) serta sumberdaya sosial. Aspek pemanfaatan pangan mencerminkan kemampuan tubuh untuk mengolah pangan dan mengubahnya dalam bentuk energi yang dapat digunakan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari atau disimpan. Pemanfaatan pangan meliputi konsumsi pangan dan status gizi.

Cara pengukuran ketahanan pangan menurut Smith, Obeid, Jensen, dan Johnson (1999) didasarkan pada tiga indikator. Ketiga indikator tersebut antara lain ketersediaan energi per kapita, kemiskinan (besarnya pendapatan), dan status gizi anak (banyaknya anak yang menderita malnutrisi). Tingkat ketersediaan energi perkapita merupakan suatu ukuran dari ketersediaan pangan nasional. Ketersediaan energi perkapita merupakan turunan dari neraca bahan

v Consumption : Nutritional = Food status = Non food Resources : = Natural * Physical = Human Production : Farm = Non farm ----c

(9)

makanan (food balance sheets) dan jurnlah penduduk. Data produksi dan perdagangan pangan serta penggunaan benih, perubahan stok, tercecer, dan yang digunakan untuk makanan digunakan untuk mengetahui jumlah komoditas yang tersedia dan dikonsumsi manusia setiap tahun.

Khornsan (1997) menjelaskan bahwa indikator resiko terhadap ketidaktahanan pangan adalah konsumsi pangan, status ekonomi, sosial, dan dernografi seperti pendapatan, pendidikan, struktur anggota keluarga, serta pengeluaran pangan. Ketahanan pangan bersifat rnultidimensi sehingga indikatornya banyak. Apabila upaya pemanfaatan sumberdaya lokal secara maksirnal ternyata tidak cukup, maka pangan harus didatangkan dari wilayah lain (impor). Sedangkan Suryana (2004) rnenyatakan bahwa indikator untuk rnenggambarkan keragaan ketahanan pangan ditingkat negara atau wilayah yakni: (1) ketersediaan pangan, (2) 'kebutuhan dan neraca pangan. (3) ketergantungan pada impor. (4) stabilitas harga pangan, (5) ketersediaan dan konsumsi per kapita, dan (6) status gizi.

Sebagai wujud dari komitmen pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan, telah disusun beberapa perangkat lunak dalam mendeteksi situasi ketahanan pangan sebagai pedoman untuk menentukan kebijakan. Instrumen untuk memantau situasi ketahanan pangan tersebut yang telah dilakukan diantaranya adalah Food Security Atlas (FIA). Pendekatan ini pada prinsipnya akan memberikan informasi kepada kita tentang situasi pangan di suatu wilayah rnelalui penjaringan data dan inforrnasi dengan menggunakan indikator-indikator yang telah disusun sebagai cerminan faktor-faktor yang menentukan tingkat kerawanan pangan.

lndikator kerawanan pangan yang digunakan oleh SKPG rnerupakan indikator dari aspek kesehatan, sosial ekonomi dan aspek sektor pertanian. lndikator dari aspek kesehatan adalah prevalensi Kurang Energi protein (KEP). Prevalensi KEP pada balita diukur berdasarkan berat badan menurut umur dari hasil pernantauan status gizi yang dilakukan satu tahun sekali. lndikator dari aspek sosial ekonomi adalah rurnahtangga,miskin. lndikator kepala rumahtangga miskin dihitung berdasarkan jumlah rurnahtangga miskin terhadap total rumahtangga di wilayah yang bersangkutan. lndikator dari sektor pertanian untuk daerah potensi produksi tanaman pertanian (padi) adalah persentase luas area kerusakan atau areal poso (Badan Bimas Ketahanan Pangan 2001a).

(10)

Dewan Ketahanan Pangan RI & program Pangan Dunia PBB (2003), rnenyatakan bahwa indikator kerawanan pangan terdiri dari ernpat aspek yaitu aspek ketersediaan pangan, akses pangan dan surnber nafkah, pernanfaatan atau penyerapan pangan dan kerentanan pangan. Dalam aspek pemanfaatan atau penyerapan pangan terdiri dari indikator harapan hidup anak urnur satu tahun, balita kurang gizi, persentase anak tidak diirnunisasi, persentase orang akses ke fasilitas air bersih untuk rninurn, persentase orang tinggal lebih dari 5

km dari puskesmas dan orang per dokter disesuaikan dengan kepadatan penduduk. Sekalipun suatu daerah atau masyarakat terlihat tahan pangan, dilihat dari aspek ketersediaan pangannya dan asupan pangan.

Masalah kerawanan pangan bukan hanya masalah sektor pertanian yang terkait dengan ketersediaan pangan saja. Masalah ini berdasarkan lirna belas indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kerawanan pangan, yang terkait juga sektor kesehatan, pendidikan, kehutanan, dan prasarana fisik (Anonirn 2009).

Secara keseluruhan kerawanan pangan rnasih tergantung pada beberapa indikator seperti akses pada prasarana kesehatan dan fasilitas dasar seperti akses terhadap air bersih, kebersihan dan lain-lain hasil dari pemanfaatan atau penyerapan pangan. Status kesehatan rnasyarakat tergantung tidak hanya pada jurnlah dan rnutu dari pangan yang dikonsurnsi, tetapi juga dari pemeliharaan kesehatan, akses terhadap air bersih dan fasilitas-fasilitas kebersihan yang dapat rnengurangi tirnbulnya penyakit dan kematian. Tingginya tingkat status gizi, rendahnya tingkat tirnbulnya penyakit dan kematian akan dapat rneningkatkan harapan hidup rnasyarakat (Dewan Ketahanan Pangan RI & program Pangan Dunia PBB 2003).

Menurut Sapuan (1977) diacu dalarn Amin ef a/. (1998) tanda-tanda terjadinya rawan pangan cukup banyak rnulai dari hal-ha1 yang berkaitan dengan penyebab rawan pangan hingga akibat rawan pangan. Selain itu juga terdapat tanda-tanda rawan pangan yang erat kaitannya dengan usaha individu atau rurnahtanga untuk rnengatasi kerawanan pangan. Tanda-tanda pada kelompok pertama, berhubungan dengan gejala kekurangan produksi dan cadangan pangan suatu ternpat yaitu (1) terjadinya eksplosif atau peledakan hama dan penyakit pada tanarnan; (2) terjadi bencana alam berupa kekeringan, banjir, gempa burni, gunung rneletus dan sebagainya; (3) terjadi kegagalan tanaman

(11)

pangan rnakanan pokok; (4) terjadi penurunan persediaan bahan pangan seternpat.

Tanda-tanda rawan pangan kedua yang terkait dengan akibat rawan pangan yaitu kurang gizi dan gangguan kesehatan rneliputi: bentuk tubuh individu kurus, ada penderita Kurang Kalori Protein (KKP) atau Kurang Makan (KM), terjadi peningkatan jurnlah orang sakit yang dicatat di Balai Kesehatan dan puskesrnas, peningkatan angka kematian bayi dan balita, dan peningkatan angka kelahiran dengan angka berat badan di bawah standar (Sapuan 1977 diacu dalarn Arnin etal. 1998).

lndikator rawan pangan ketiga yang erat hubungannya dengan rnasalah sosial ekonorni dalam usaha individu atau rurnahtangga untuk rnengatasi masalah rawan pangan rneliputi: bahan pangan yang kurang biasa dikonsumsi seperti gadung sudah rnulai dirnakan oleh sebagian rnasyarakat, peningkatan jurnlah rnasyarakat yang rnenggadaikan aset, peningkatan penjualan ternak,

peralatan produksi (bajak dan sebagainya) dan barang-barang yang tidak bergerak (bagian rurnah) dan peningkatan krirninalitas (Sapuan 1977 diacu dalarn Arnin etal. 1998).

Dalarn upaya penanganan kerawanan pangan, Pernerintah Indonesia bekerjasarna dengan World Food Programme (WFP) telah menyusun peta kerawanan pangan atau Food lnsecurify Atlas (FIA) yaitu suatu alat untuk mengetahui daerah rawan pangan dengan perrnasalahan yang rnelatarbelakangi kejadian rawan pangan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan kebijakan bagi penanggulangan kerawanan pangan.

Peta rawan pangan dan gizi menggarnbarkan tingkat kerawanan rnasing- rnasing wilayah yang ditinjau dari tiga aspek yaitu pangan, gizi dan kerniskinan yang berguna bagi pernerintah daerah untuk rnengidentifikasi daerah yang rawan pangan, rnernpertajarn penetapan sasaran untuk tindakan intervensi dan rnernperbaiki kualitas perencanaan di bidang pangan dan gizi (Dewan Ketahanan Pangan 2007).

Analisis yang dilakukan pada pernetaan FIA tidak rnengikutserlakan daerah perkotaan, tetapi hanya dilakukan pada 265 kabupaten di 30 provinsi. Kerawanan pangan di daerah perkotaan harus dianalisis secara terpisah sebab rnernpunyai karakteristik tersendiri. lndikator yang dipergunakan untuk daerah perkotaan hanya rnenggunakan indikator kesehatan dan indikator keluarga rniskin serta indikator harga pangan pokok.beras, sedangkan indikator pertanian

(12)

tidak diperhitungkan. Ketiga indikator tersebut dikornpositkan untuk rnendapatkan garnbaran daerah rawan pangan dan gizi (IPB 2008)

Penyusunan peta FIA dilakukan pada daerah rawan pangan kronis dan rawan pangan transien. Rawan Pangan Kronis adalah keadaan rawan pangan berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu. Kondisi ini dapat disebabkan karena keterbatasan sumberdaya alarn (SDA) dan keterbatasan kemarnpuan sumberdaya rnanusia (SDM) sehingga rnenyebabkan kondisi rnasyarakat rnenjadi miskin. Rawan Pangan Transien adalah keadaan kerawanan pangan yang disebabkan oleh kondisi yang tidak terduga antara lain: berbagai rnusibah, bencana alarn, kerusuhan, musirn yang rnenyirnpang dan keadaan lain yang bersifat rnendadak (Departernen Pertanian 2006).

Penurunan pendapatan terkait erat dengan peningkatan kerawanan pangan dan terjadinya rnasalah gizi. Pada tingkat pendapatan perkapita yang lebih rendah, perrnintaan terhadap pangan akan tertuju pada pangan yang padat energi, terutarna padi-padian. Rurnahtangga yang tergolong rniskin tidak akan rnempunyai daya beli yang dapat digunakan untuk rnenjamin ketahanan pangan rumahtangga (Tabor, Soekirrnan, & Martianto 2004).

Secara filosofis, seseorang dikatakan rniskin apabila tidak rnarnpu berdiri sederajat dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini rnenjelaskan bahwa kerniskinan rnerniliki rentang dirnensi dan kerelatifan yang lebar. Kerniskinan absolut adalah kemiskinan yang dapat rnernbuat seseorang tidak rnarnpu rnengakses segala kebutuhan pokok hidupnya terrnasuk rnakanan.

Pada dasarnya orang rniskin dapat dikelornpokkan menjadi dua bagian yaitu pertarna kelornpok rniskin kronis adalah rniskin yang sakit disembuhkan dan selalu kambuh atau chronic poverty. Yang termasuk dalarn kelompok ini antara lain individulrumahtangga yang tidak mempunyai kapasitas atau kemarnpuan untuk bekerja dan rnernperoleh pendapatan seperti orang cacat, orang sakit dalarn waktu lama dan orang tua. Kelornpok lainnya yang rnasuk dalam kategori ini adalah rurnahtangga yang rnernperoleh pandapatan dari surnber daya yang marginal, rendah produktivitas serta tidak stabil produksinya karena sumberdaya yang rapuh-seperti petani lahan kering yang didorninasi oleh tanarnan palawija dan ternak, petani rawa atau pasang surut juga didorninasi oleh tanarnan pangan, nelayan kedperikanan laut yang berada di wilayah pantai. Dernikian juga para buruh di kota yang rnernperoleh pendapatan dari pekerjan tidak tetap dan tidak rnenentu seperti buruh informal dan umurnnya rnereka bertempat

(13)

tinggal di wilayah kumuh, bantaran sungailtepi re1 kereta api, berurnah karduslplastik.

Kedua, kelompok rniskin transisi (transient poverty) yaitu terjadi hanya sernentara waktu atau orang miskin baru. Salah satu penyebabnya karena krisis ekonomi seperti PHK, inflasi tinggi, harga pangan rnelonjak naik. Fenornena ini urnumnya banyak dijurnpai di perkotaan. Di samping itu, kemiskinan transisi juga disebabkan oleh pengaruh rnusim misalnya kekeringan yang panjang El Nino atau banjir La Nina, sehingga produksi pertanian merosot dan gagal. Mereka yang terkena adalah penduduk yang berada di wilayah dimana yang terkena bencana alam dan konflik sosial, yang kemudian diikuti dengan pengungsian massal.

Kelemahan rnasyarakat miskin ditandai oleh lernahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya produktivitas, lernahnya organisasi, lernahnya perkembangan SDM, tidak adanya akses terhadap hasil-hasil pembangunan, rendahnya teknologi, rendahnya pendapatan, adanya kesenjangan antara kaya dan rniskin, minirnnya kemampuan berpartisipasi dalam pembangunan nasional. lemahnya posisi tawar menawar dan lain-lain (Irawati 2006).

Penanggulangan kemiskinan mernerlukan penanaman nilai-nilai moral yang dapat meningkatkan rasa tanggung jawab sosial. Tanggung jawab ini dipikul bersama oleh masyarakat, sehingga semua pihak wajib turut mengatasinya (Khomsan 1997).

Penduduk miskin di lndonesia menurun dari 18.2 persen pada tahun 2002 menjadi 17.4 persen tahun 2003 dan 16.7 persen tahun 2004. Pengentasan kemiskinan mensyaratkan kombinasi pendkkatan antara proses pemberdayaan masyarakat dengan dukungan intervensi pemerintah. Pemberdayaan ini dilaksanakan dengan sasaran kaum miskin dengan cara meningkatkan kernampuan dan keterampilan merencanakan serta melaksanakan usaha ekonomi produktif (Nainggolan 2006).

Sajogjo rnerumuskan batas kemiskinan dengan pengeluaran setara beras 320 kglkapita pertahun di pedesaan dan 480 kglkapita pertahun di perkotaan (Khomsan 2000). Sejak tahun 1993 garis kemiskinan lndonesia dihitung menggunakan pendekatan gizi. Pendekatan gizi yang digunakan berupa pendapatan untuk memenuhi kebutuhan kalori minimum setara kebutuhan orang dewasa sebesar 2 100 kkal perhari. Pengukuran garis kemiskinan di lndonesia dilakukan oleh BPS (Tabor, Soekirrnan, & Martianto 2004).

(14)

Kerniskinan merniliki keterkaitan erat dengan kerawanan pangan dan aksesibilitas pangan. Penduduk rniskin rnerniliki resiko tinggi dan rentan terhadap situasi rawan pangan. Peningkatan kerniskinan akan rneningkatkan kerawanan pangan dan status gizi yang rendah. Kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan tingkat pendapatannya. Rendahnya tingkat pendapatan mernperburuk konsumsi energi dan protein (Nainggolan 2006). Dengan kata lain, rendahnya pendapatan sebagai salah satu indikator kerniskinan rnengakibatkan ketahanan pangan yang diukur melalui skor PPH dan AKG konsurnsi rendah serta dalam jangka panjang berdampak pada status gizi yang rendah.

Dalam ketahanan pangan, status gizi merupakan muara akhir subsistem dan sisternnya. Dengan kata lain status gizi rnerupakan indikator yang mencerrninkan baik buruknya ketahanan pangan. Salah satu kelornpok rnasyarakat yang sangat sensitif terhadap rnasalah ketahanan pangan adalah balita. Oleh karena itu, status gizi balita di suatu wilayah rnenunjukkan kondisi ketahanan pangan di wilayah tersebut (Nainggolan 2006). Anak balita yang kekurangan gizi dengan rnudah dapat dilihat dari berat badan yang tidak sesuai standar rnenurut urnur. Status gizi kurang dapat diperburuk oleh kesehatan lingkungan rumahtangga yang kurang rnemadai sehingga dapat rneningkatkan angka kesakitan akibat infeksi (Khornsan 1997).

UNICEF (1990) diacu dalarn Atrnawikarta & Murniningtyas (2006) mengembangkan kerangka pikir rnengenai penyebab rnasalah gizi. Kerangka pikir UNICEF tersebut menjelaskan situasi pangan dan gizi di suatu wilayah. Situasi pangan dan gizi yang tidak sesuai pada masing-masing titik akan berpengaruh baik secara langsung rnaupun tidak langsung terhadap outcomenya. Oufcome situasi ini adalah status gizi balita. Status gizi balita rnenjadi salah satu indikator situasi pangan dan gizi.

(15)

Outcome Penyebab lang sung

ola asuh pemberian Penyebab tidak

langsung

kesehatan lingkungan

Akar masalah

Kondisi budaya, ekonomi, politik dan

Gambar 3 Kerangka pikir penyebab masalah gizi (UNICEF 1990 dalam Atmawikarta & Murniningtyas 2006).

Tabor. Soekirman, dan Martianto (2004) menyebutkan bahwa terutama anak balita (termasuk bayi) disarnping ibu hamil dan menyusui termasuk kelornpok rawan karena mereka sangat sensitif terhadap perubahan ketersediaan pangan dan kondisi kesehatan rurnahtangga

Keterkaitan aktual antara krisis, ketahanan pangan, kemiskinan dan status gizi pada kelornpok rawan sangat kompleks. Keterkaitan hubungan tersebut baik dari keeratan maupun intensitas hubungan dapat berubah. Hal ini terjadi seiring dengan perubahan waktu atau perbedaan karakteristik wilayah dan sosial (Tabor. Soekirman, & Martianto 2004).

Keterkaitan ini merupakan pengembangan dari kerangka pikir penyebab masalah gizi yang disusun oleh UNICEF. Keterkaitan antara faktor sosial ekonomi, konsurnsi pangan, dan penyakit dengan status gizi pada kelompok rawan (Tabor, Soekirman, & Martianto 2004) dapat dilihat pada Garnbar 4.

(16)

Kelornpok

/

lndividu Konsurnsi Pangan

c--=3

Penyakit infeksi

Rurnah Tangga

Masyarakat Ketahanan

G1

Produksi & lnflasi dan

pangan pangan

Krisis Ekonorni. Politik, dan Sosial

Garnbar 4 Keterkaitan antara faktor sosial ekonomi, konsurnsi pangan, dan penyakit dengan status gizi pada kelornpok rawan (Tabor, Soekirrnan, & Martianto 2004):

Keterkaitan antara krisis dan berbagai faktor yang rnernpengaruhi status gizi kelornpok rawan. Besar kecilnya darnpak krisis terhadap perubahan ketersediaan atau produksi pangan rurnahtangga, tingkat harga kornoditas pangan, kesernpatan kerja, tingkat upah dan pelayanan sosial akan rnenentukan berat-ringannya tingkat kemiskinan dan status ketahanan pangan di rnasyarakat. Darnpak krisis terhadap ketahanan pangan rumahtangga akan tergantung pada kernarnpuan rurnahtangga rnengakses pangan serta distribusinya dalarn rurnahtangga, tingkat perhatian yang diberikan kepada kelornpok rawan, dan ketersediaan pelayanan kesehatan. Berbagai faktor ini bersama-sarna dengan pola konsurnsi pangan akan rnenentukan status gizi kelornpok rawan (Tabor, Soekirrnan, 8 Martianto 2004). Pada hakikatnya ketahanan pangan tidak dapat dilepaskan dari pengertian ketahanan gizi karena dampak pangan yang kita konsurnsi terrnanifestasikan dalam bentuk status gizi seluruh anggota rurnahtangga (Khornsan 1997).

(17)

Penyebab kerniskinan dan kerawanan pangan yang terjadi di Indonesia dan negara berkernbang lainnya adalah kegagalan kebijakan pernbangunan untuk rneningkatkan aksesibilitas pada: (1) lapangan kerja produktif, (2) aset produktif, (3) sumber pernbiayaan, dan (4) isolasi geografis. Oleh karena itu, penanggulangan kerniskinan dan kerawanan pangan secara berkelanjutan adalah dengan rnenata kernbali pernanfaatan surnberdaya alarn disertai pengernbangan kelernbagaan pertanian dan lernbaga keuangan pedesaan yang rnandiri (Kasryno 2004).

Saat rurnahtangga tidak rnarnpu rnernbeli kebutuhan pangan, rnaka status gizi dari kelornpok rawan pangan akan terganggu. Tingkat dirnana ketahanan pangan rurnahtangga akan terjaga atau terancarn sangat tergantung pula dengan kebijakan pernerintah rnengenai harga. (Tabor, Soekirrnan, & Martianto 2004). Pentingnya i n t e ~ e n s i pernerintah dalarn perbaikan pangan dan gizi terkait dengan investasi pernbangunan nasional. Hal ini disebabkan karena (1)

perbaikan gizi rnerniliki economic returns yang tinggi, (2) i n t e ~ e n s i gizi rnarnpu rnendorong pertumbuhan ekonorni, serta (3) rnernbantu rnengurangi kerniskinan rnelalui perbaikan produktivitas kerja, pengurangan hari sakit dan biaya pengobatan.

Berbagai program pernbangunan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat kabupatenlkota perlu lebih diarahkan pada dukungan fasilitasi peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, distribusi dan aksesibilitas pangan dan perbaikan konsurnsi pangan. Program ini antara lain: (1) pemanfaatan potensi dan keragarnan surnberdaya lokal secara efisien dengan rnernanfaatkan teknologi spesifik lokasi; (2) pengembangan sarana prasarana yang rnendukung produksi pangan; (3) peningkatan pelayanan penyuluhan dan pendarnpingan ketahanan pangan rnasyarakat; (4) pengembangan perdagangan pangan regional dan antar daerah; (5) pengernbangan lurnbung pangan dan cadangan pangan; (6) peningkatan kualitas konsumsi pangan rnelalui diversifikasi konsurnsi pangan; (7) revitalisasi Kewaspadaan Pangan dan Gizi sebagai sistern pemantauan dini rawan pangan; serta (8) fasilitasi terhadap perrnasalahan lain yang terkait dengan penanganan kelornpok rawan pangan (Pusat Pengernbangan Distribusi Pangan DKP 2005).

Peningkatan pendapatan penduduk dan urbanisasi rnendorong perubahan pola konsumsi penduduk untuk lebih banyak mengkonsurnsi produk peternakan seperti daging, telur, dan susu (Kasryno 2004). Peningkatan

(18)

pendapatan lebih lanjut tidak hanya akan rneningkatkan keanekaragarnan konsurnsi pangan, tetapi juga akan berakibat pada peningkatan konsurnsi pangan yang lebih rnahal dan kaya gizi termasuk konsurnsi pangan di luar rurnah (Tabor, Soekirrnan, & Martianto 2004).

Acuan secara kuantitatif konsurnsi pangan rekornendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Vlll tahun 2004 perkapita perhari energi rata-rata sebesar 2 000 kkal dan protein 52 gram. Acuan tingkat keragaman konsurnsi pangan dengan skor PPH ideal 100 (Nainggolan 2006).

Konsurnsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor meliputi ekonomi, budaya, ketersediaan, pendidikan, gaya hidup, dan sebagainya. Walaupun dernikian, variabel pendapatan atau daya beli rnenjadi faktor utarna yang rnernpengaruhi konsumsi pangan penduduk. Daya beli yang rnenurun menyebabkan rnasyarakat rnengurangi konsurnsi pangan yang harganya rnahal dan rnensubstitusinya dengan pangan lain yang lebih rnurah (Martianto & Ariani 2004).

Gambar

Gambar  3  Kerangka  pikir  penyebab  masalah  gizi  (UNICEF  1990  dalam  Atmawikarta & Murniningtyas 2006)

Referensi

Dokumen terkait

yaitu anggota yang bertanggung jawab terbatas yaitu anggota yang bertanggung jawab terbatas terhadap hutang perusahaan sebesar modal. terhadap hutang perusahaan

Berdasarkan Hadits riwayat Bukhari diatas menunjukkan bahwa betapa dekat dan cintanya Nabiullah Muhammad SAW dengan anak yatim (anak yang diterlantarkan) sehingga

Penelitian terdahulu diatas yang ter- kait dengan Pernikahan Beda Agama, namun beberapa penelitian tersebut ber- fokus pada faktor penyebab terjadinya pin- dah agama

Patuha Raya Blok.. Pondok

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Penetapan Status Penggunaan Barang Milik Negara pada

KELOMPOK BUDIDAYA IKAN LELE PAGUYUBAN D esa Cihampelas K ecam atan Cihampelas Kab. calon anggota baru dapat menjadi anggota penuh apa bila yang bersangkutan yang berasal

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Model Pembelajaran biologi berbasis Praktikum Virtual untuk membangun karakter bangsa. Karakter bangsa yang diukur meliputi komponen

Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur