• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian

Para pemikir ekonomi pembangunan telah lama menyadari bahwa sektor pertanian memiliki peranan yang besar dalam perekonomian, terutama di tahap awal pembangunan. Sektor pertanian yang tumbuh dan menghasilkan surplus yang besar merupakan prasyarat untuk memulai proses transformasi ekonomi. Pada masa awal transformasi, pertanian berperan penting melalui beberapa cara. Sektor pertanian yang tumbuh cepat akan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk perdesaan yang pada gilirannya dapat meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor nonpertanian. Permintaan yang tumbuh tidak saja terjadi bagi produk-produk untuk konsumsi akhir, tetapi juga produk-produk sektor nonpertanian yang digunakan sebagai input usahatani ataupun untuk investasi (Tomich et al., 1995).

Menurut Harianto (2007), pertanian memiliki peran penting dalam transformasi ekonomi perdesaan. Pertanian mempengaruhi aktifitas nonpertanian di perdesaan melalui tiga cara, yaitu: produksi, konsumsi, dan keterkaitan pasar tenaga kerja. Pada sisi produksi, pertumbuhan sektor pertanian memerlukan input berupa pupuk, pestisida, benih, dan lainnya yang diproduksi dan didistribusikan oleh perusahaan nonpertanian. Sektor pertanian yang tumbuh mendorong semakin berkembangnya aktifitas-aktifitas di bagian hilirnya, yaitu dengan bahan baku untuk diproses ataupun didistribusikan. Pada sisi konsumsi, meningkatnya pendapatan menyebabkan konsumsi rumahtangga tani meningkat, ini berarti permintaan barang dan jasa yang dihasilkan sektor nonpertanian meningkat.

(2)

Sektor pertanian juga mempengaruhi sisi penawaran dari ekonomi sektor nonpertanian di perdesaan. Upah di sektor pertanian menjadi patokan biaya oportunitas dari tenaga kerja yang disalurkan ke aktifitas-aktifitas sektor nonpertanian. Permintaan tenaga kerja di sektor pertanian yang bersifat musiman berpengaruh terhadap penawaran tenaga kerja untuk aktifitas nonpertanian. Sebaliknya, peningkatan kesempatan kerja di sektor nonpertanian belum tentu akan menyebabkan meningkatnya tingkat upah. Peningkatan kesempatan kerja di sektor nonpertanian akan menyebabkan kenaikan upah apabila ekonomi sektor nonpertanian tumbuh akibat meningkatnya permintaan dan produktivitas tenaga kerja.

Negara-negara berkembang yang menyadari bahwa usaha untuk memajukan dan memperluas sektor industri haruslah sejajar dengan pembangunan dan pengembangan sektor-sektor lain, terutama sektor pertanian. Hal ini karena sektor pertanian yang lebih maju dibutuhkan oleh sektor industri, baik sebagai penyedia bahan baku maupun sebagai pasar yang potensial bagi produk-produk industri. Berkaitan dengan hal ini, Tambunan (2001) menyatakan bahwa sektor pertanian dan sektor industri mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Keterkaitan tersebut terutama didominasi oleh efek keterkaitan pendapatan, keterkaitan produksi, dan keterkaitan investasi.

Menurut Timmer (1997) ada tiga pandangan yang dapat dijadikan pijakan dalam melihat hubungan antara sektor pertanian dan kondisi perekonomian, yaitu: 1. Lewis melihat hubungan tersebut dari aspek pasar faktor-faktor produksi,

khususnya pasar tenaga kerja dan kapital, dimana dinyatakan bahwa tingkat produktivitas sektor pertanian merefleksikan kondisi perekonomian.

(3)

2. Johnston-Mellor melihat hubungan tersebut dari aspek pasar produk dan interaksi produksi antara sektor industri dan pertanian yang mana antara kedua sektor tersebut saling memenuhi kebutuhan akan inputnya masing-masing. Terjadinya interaksi antara sektor industri dan pertanian akan menumbuhkan kedua sektor ini secara lebih cepat.

3. Keterkaitan sektor pertanian dan industri dapat juga dilihat dari aspek nonpasar, misalnya pertumbuhan sektor pertanian akan menjamin ketersediaan pangan dan peningkatan gizi. Kondisi ini menunjukkan adanya peningkatan terhadap kinerja perekonomian.

2.2. Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi

Menurut Rostow (1960) diacu dalam Todaro dan Smith (2006), proses

pembangunan ekonomi dapat dibedakan ke dalam lima tahap, yaitu: (1) masyarakat tradisional (the traditional society), (2) prasyarat untuk tinggal

landas (the preconditions for take-off), (3) tinggal landas (the take-off), (4) menuju kedewasaan (the drive to maturity), dan (5) masa konsumsi tinggi (the age of high mass-consumption).

Dasar pembedaaan proses pembangunan ekonomi menjadi lima tahap tersebut adalah karakteristik perubahaan keadaan ekonomi dan sosial politik yang terjadi. Pembangunan ekonomi atau proses transformasi suatu masyarakat

tradisional menjadi masyarakat modern merupakan suatu proses yang multi-demensional. Pembangunan ekonomi bukan hanya berarti perubahan

struktur ekonomi suatu negara yang ditunjukkan oleh menurunnya peranan sektor pertanian dan peningkatan peranan sektor industri saja. Pembangunan ekonomi

(4)

berarti pula sebagai suatu proses yang menyebabkan antara lain: (1) perubahan orientasi organisasi ekonomi, politik, dan sosial yang pada mulanya berorientasi kepada suatu daerah menjadi berorientasi ke luar, (2) perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga, yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi keluarga kecil, (3) perubahan dalam kegiatan investasi masyarakat, dari melakukan investasi yang tidak produktif menjadi investasi yang produktif, dan (4) perubahan sikap hidup dan adat istiadat yang terjadi kurang mendukung pembangunan ekonomi.

Menurut Rostow, masyarakat tradisional ditandai oleh cara produksi yang relatif masih primitif sehingga tingkat produktivitas per pekerja masih rendah, oleh karenanya sebagian besar sumberdaya masyarakat digunakan untuk kegiatan sektor pertanian. Pada tahap prasyarat tinggal landas, Rostow menyatakan bahwa kenaikan investasi yang akan menciptakan pembangunan ekonomi yang lebih cepat dari sebelumnya bukan semata-mata tergantung kepada kenaikan tingkat tabungan, tetapi juga pada perubahan radikal dalam sikap masyarakat terhadap ilmu pengetahuan, perubahan teknik produksi, pengambilan resiko, dan sebagainya. Selain itu, kenaikan investasi hanya akan tercipta jika terjadi perubahan struktur ekonomi. Pembangunan ekonomi hanya dimungkinkan oleh adanya kenaikan produktivitas di sektor pertanian dan perkembangan di sektor pertambangan. Kemajuan sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam masa peralihan sebelum mencapai tahap tinggal landas. Peran tersebut antara lain,

kemajuan pertanian menjamin penyediaan bahan makanan bagi penduduk di perdesaan maupun perkotaan dan kenaikan produktivitas di sektor pertanian

(5)

Pada tahap tinggal landas, terjadi perubahan yang drastis dalam masyarakat seperti revolusi politik, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi atau berupa terbukanya pasar-pasar baru. Sebagai akibat dari perubahan-perubahan tersebut akan terjadi peningkatan investasi. Investasi yang semakin tinggi akan mempercepat laju pertumbuhan pendapatan nasional dan melebihi tingkat pertumbuhan penduduk sehingga tingkat pendapatan perkapita semakin besar. Kemampuan suatu negara untuk mengerahkan sumber-sumber modal dalam negeri menjadi penting, karena kenaikan tabungan dalam negeri peranannya besar dalam menciptakan tahap lepas landas. Tiga kondisi penting yang merupakan prasyarat bagi tahap tinggal landas adalah: (1) kenaikan output per kapita harus melebihi tingkat pertumbuhan penduduk untuk mempertahankan

tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi di dalam perekonomian, (2) perkembangan salah satu atau beberapa sektor penting dalam perekonomian,

dan (3) munculnya kerangka budaya yang mendorong ekspansi di sektor modern. Tahap menuju kedewasaan diartikan sebagai masa dimana masyarakat sudah secara efektif menggunakan teknologi modern pada hampir semua kegiatan produksi. Selanjutnya berbagai sektor penting baru tercipta, tingkat investasi neto lebih dari 10 persen dari pendapatan nasional, dan perekonomian mampu menahan segala goncangan yang tak terduga. Tahap terakhir dari proses pembangunan ekonomi menurut Rostow adalah tahap konsumsi tinggi. Pada tahap ini perhatian masyarakat lebih menekankan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumsi dan kesejahteraan masyarakat bukan lagi pada masalah produksi. Kecenderungan kepada konsumsi besar-besaran barang tahan lama,

(6)

ketiadaan pengangguran, dan peningkatan kesadaran akan jaminan sosial, membawa kepada laju pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi.

Salah satu model teoritis tentang pembangunan Lewis yang paling terkenal yaitu transformasi struktural (structural transformation) suatu perekonomian subsisten. Model pembangunan oleh Lewis, perekonomian yang terbelakang dibagi atas dua sektor, yaitu: (1) sektor tradisional, yaitu sektor perdesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marginal tenaga kerja sama dengan nol dan mendefinisikannya sebagai kondisi surplus tenaga kerja sebagai suatu fakta bahwa sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian dan sektor tersebut tidak akan kehilangan output dan (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer secara perlahan dari sektor subsisten (Lewis 1954, diacu dalam Ghatak and Ingersent 1984).

Perhatian utama dari model ini diarahkan pada terjadinya pengalihan tenaga kerja serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor modern. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja tersebut dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada sektor modern tersebut.

Adapun laju terjadinya perluasan tersebut ditentukan oleh tingkat investasi di bidang industri dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern.

Peningkatan investasi itu sendiri dimungkinkan oleh adanya kelebihan keuntungan sektor modern dari selisih upah dengan asumsi bahwa para pengusaha bersedia menanamkan kembali seluruh keuntungannya. Kritik terhadap asumsi-asumsi dari model Lewis antara lain:

(7)

1. Model Lewis secara implisit menganggap bahwa tingkat perpindahan tenaga kerja dan tingkat penciptaan tenaga kerja di sektor modern proporsional dengan akumulasi modal (investasi). Semakin cepat tingkat akumulasi modalnya, maka semakin tinggi tingkat pertumbuhan sektor modern dan semakin cepat pula penciptaan lapangan kerja baru. Akan tetapi bagaimana bila keuntungan investor tersebut diinvestasikan kembali ke barang-barang modal yang lebih modern dan menghemat tenaga kerja, sudah tentu yang terjadi adalah jumlah tenaga kerja yang diserap akan menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan teknologi padat karya.

2. Asumsi kedua dari model Lewis adalah adanya dugaan bahwa terjadi surplus tenaga kerja di daerah perdesaan sedangkan daerah perkotaan terjadi penyerapan faktor-faktor produksi secara optimal (full employment). Akan tetapi pada kenyataannya menunjukkan bahwa pada umumnya di negara-negara berkembang jumlah pengangguran di perkotaan cukup besar tetapi hanya sedikit surplus tenaga kerja di perdesaan.

3. Asumsi dari model Lewis yang juga tidak realistis adalah anggapan bahwa upah nyata di perkotaan akan selalu tetap sampai pada suatu titik dimana penawaran dari surplus tenaga kerja di perdesaan habis terpakai. Tetapi salah satu gambaran dari pasar tenaga kerja dan penentuan tingkat upah perkotaan di hampir semua negara berkembang adalah adanya kecenderungan tingkat upah untuk meningkat dari waktu ke waktu atau naik sepanjang waktu baik secara absolut maupun relatif meskipun adanya kenaikan tingkat pengangguran di sektor modern dan produktivitas marginal yang rendah atau nol di sektor modern.

(8)

4. Asumsi tingkat hasil yang semakin menurun di sektor modern. Pada faktanya bahwa tingkat hasil yang semakin meningkat juga terjadi di sektor modern.

Di negara berkembang khususnya Indonesia, ternyata model Lewis tidak dapat menjawab permasalahan tentang penawaran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Masalahnya penerapan model Lewis sangat tergantung pada tingkat dan jenis teknologi yang digunakan investor. Apabila para pengusaha menggunakan teknologi padat modal dan perluasan hanya terjadi pada industri hulu, maka surplus tenaga kerja di sektor pertanian tidak dapat terserap semuanya oleh sektor industri.

Fei dan Ranis menyempurnaan model Lewis mengenai penawaran tenaga kerja tidak terbatas. Model Lewis lebih mengkaji pertumbuhan di sektor modern dan mengabaikan pengembangan sektor pertanian. Sedangkan Model Fei-Ranis menunjukkan adanya interaksi antara sektor industri dan sektor pertanian di dalam mempercepat pembangunan. Menurut model Fei-Ranis, kecepatan transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian (industri) tergantung pada: (1) tingkat pertumbuhan penduduk, (2) perkembangan teknologi di sektor pertanian, dan (3) tingkat pertumbuhan stok modal industri. Keseimbangan pertumbuhan kedua sektor ini menjadi prasyarat untuk menghindari stagnasi dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Kedua sektor ini harus tumbuh secara seimbang dan transfer penyerapan tenaga kerja di sektor industri harus lebih cepat dari pertumbuhan angkatan kerja. Pertumbuhan berimbang memerlukan investasi serentak di sektor pertanian dan sektor industri dalam perekonomian (Fei and Ranis 1964, diacu dalam Ghatak and Ingersent 1984).

(9)

2.3. Model Pertumbuhan Ekonomi Regional

Menurut model basis ekspor (export-base model) pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh keuntungan kompetitif (competitive adventage) yang dimiliki daerah yang bersangkutan. Bila daerah yang bersangkutan dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang mempunyai keuntungan kompetitif sebagai basis ekspor, maka pertumbuhan daerah yang bersangkutan akan dapat ditingkatkan. Hal ini terjadi karena peningkatan ekspor tersebut akan memberikan dampak berganda kepada perekonomian daerah (Sjafrizal, 2008).

Selanjutnya, menurut model basis ekspor, aktivitas dalam perekonomian regional digolongkan dalam dua sektor kegiatan, yaitu aktivitas basis dan nonbasis. Kegiatan basis merupakan kegiatan yang melakukan aktivitas berorientasi ekspor barang dan jasa ke luar batas wilayah perekonomian yang bersangkutan. Kegiatan nonbasis adalah kegiatan yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berada di dalam batas wilayah perekonomian yang bersangkutan. Luas lingkup produksi dan pemasarannya bersifat lokal. Aktivitas basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (prime mover) dalam pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain akan semakin maju pertumbuhan wilayah tersebut dan demikian sebaliknya. Setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis akan memberikan efek ganda dalam perekonomian regional (Adisasmita, 2005).

Pengembangan dari model basis ekspor dapat dilakukan dengan memasukkan unsur hubungan ekonomi antar wilayah yang dikenal sebagai interregional income model. Model inter regional ini, ekspor diasumsikan sebagai faktor yang berada dalam sistem (endogenous variable) yang ditentukan oleh

(10)

perkembangan kegiatan perdagangan antar wilayah. Kegiatan perdagangan antar daerah tersebut dibagi atas barang konsumsi dan barang modal. Disamping itu, pada model inter regional ini dimasukkan pula unsur pemerintah yang ditampilkan dalam bentuk penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah serta investasi (Sjafrizal, 2008).

Model neo-klasik menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh kemampuan daerah tersebut untuk meningkatkan produksinya. Sedangkan kegiatan produksi pada suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerah yang bersangkutan, tetapi juga ditentukan pula oleh mobilitas modal antar daerah. Menurut model neo-klasik, pertumbuhan ekonomi suatu

daerah ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu: (1) akumulasi modal, (2) penawaran tenaga kerja, dan (3) kemajuan teknik (Adisasmita, 2005).

Mobilitas faktor produksi, baik modal dan tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan kurang lancar. Akibatnya, pada saat tersebut modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung melebar (divergence). Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembangunan regional akan berkurang (convergence) (Sjafrizal, 2008).

Model penyebab berkumulatif (cumulative causation model) merupakan kritik terhadap model neo-klasik. Menurut model ini, pemerataan pembangunan antardaerah tidak akan dapat dicapai dengan sendirinya berdasarkan mekanisme

(11)

pasar. Ketimpangan pembangunan regional hanya akan dapat dikurangi melalui program pemerintah. Apabila hanya diserahkan pada mekanisme pasar, maka ketimpangan regional akan terus meningkat seiring dengan peningkatan proses pembangunan. Strategi campur tangan pemerintah dimaksud untuk memperkecil ketidakmerataan ekonomi antar wilayah (Adisasmita, 2005).

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu

2.4.1. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian

Block dan Timmer (1994) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan sektor pertanian di Kenya akan memberikan dampak pengganda (multiplier effect) sebesar hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan dampak pengganda yang ditimbulkan oleh sektor nonpertanian. Peningkatan US$ 1 pendapatan sektor pertanian akan berdampak naiknya pendapatan sektor nonpertanian sebesar US$ 0.63, sedangkan peningkatan US$ 1 pendapatan sektor nonpertanian akan berdampak naiknya pendapatan sektor ekonomi lainnya hanya sebesar US$ 0.23.

Degaldo et al. (1998) menyatakan bahwa meningkatnya pendapatan di sektor pertanian karena peningkatan produksi akan berdampak terhadap perekonomian lokal. Peningkatan pendapatan sektor pertanian tersebut digunakan untuk membeli barang dan jasa lokal sehingga akan tercipta spin-off effect. Spin-off effect dari aktifitas lokal karena peningkatan pendapatan sektor pertanian disebut Agricultural Growth Linkages.

Rachman (1993) melakukan penelitian tentang analisis keterkaitan antarsektor dalam perekonomian Wilayah Jawa Barat dengan pendekatan I-O. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor tanaman bahan makanan memiliki

(12)

tingkat keterkaitan ke belakang yang relatif tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sektor tersebut cenderung lebih banyak memanfaatkan output sektor ekonomi lainnya sebagai bahan baku. Secara umum, sektor pertanian memiliki pengganda pendapatan yang tergolong rendah. Sebaliknya ditinjau dari pengganda tenaga kerja, sektor pertanian masih tergolong tinggi dalam penyediaan kesempatan kerja.

Bautista (2001) melakukan penelitian tentang pembangunan berbasis pertanian dengan pendekatan SAM (Social Accounting Matrix) di Vietnam Pusat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pembangunan berbasis pertanian akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja serta penyebaran industri di derah pusat.

Saragih (2003) melakukan penelitian tentang peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan data I-O tahun 2000 menunjukkan bahwa sektor pertanian yang menghasilkan output dan nilai tambah terbesar, yaitu sektor kelapa sawit, padi, perikanan, pengeringan dan lain-lain, sayur-sayuran, dan karet. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Sektor pertanian dan sektor ekonomi lainnya memiliki nilai keterkaitan yang relatif tinggi.

Studi yang dilakukan oleh Herliana (2004) tentang peranan sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia dengan menggunakan analisis Dekomposisi Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) untuk mengkaji kontribusi sektor pertanian dan Dekomposisi Pengganda untuk mengkaji dampak pembangunan di sektor pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

(13)

pembangunan sektor pertanian akan memberikan dampak yang lebih besar dalam mendorong produktivitas dan penciptaan kapital terhadap perekonomian Indonesia karena pembangunan sektor pertanian memberikan dampak paling besar terhadap gross output dan value added dan sektor pertanian memiliki keterkaitan yang paling tinggi dengan peningkatan produksi di sektor-sektor kegiatan produksi lainnya serta sektor pertanian mempunyai pengaruh paling besar terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya yang berada di daerah perdesaan.

Suhendra (2005) melakukan penelitian tentang peranan sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan menggunakan data I-O Indonesia tahun 2000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi nasional masih cukup besar. Sumbangan sektor pertanian bagi Produk Domestik Bruto (PDB), penyediaan lapangan pekerjaan, dan total penawaran output adalah berturut-turut sebesar 17 persen, 46.15 persen, dan 36.02 persen bagi total output. Disamping itu, sektor pertanian juga mampu memberikan nilai tambah produksi sebesar 18.04 persen.

Hotman (2006) melakukan penelitian tentang peranan sektor tanaman bahan makanan dalam pembangunan ekonomi Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan Tabel I-O tahun 2000 dan 2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi sektor tanaman bahan makanan terhadap output dan penyerapan tenaga kerja cukup besar dibandingkan sektor lainnya. Hasil analisis keterkaitan menunjukkan bahwa sektor bahan makanan memiliki peranan yang kecil dalam mendorong dan menarik pertumbuhan sektor perekonomian. Demikian juga dengan hasil analisis dampak menunjukkan bahwa sektor tanaman bahan makanan

(14)

relatif lebih rendah dibandingkan sektor lainnya dalam menghasilkan output, pendapatan, dan tenaga kerja.

Sinaga dan Alim (2007) melakukan penelitian tentang keterkaitan sektor ekonomi dan distribusi pendapatan di Jawa dengan pendekatan SAM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok sektor primer yang memiliki daya penyebaran paling tinggi adalah sektor kehutanan dan perburuan, kemudian disusul oleh sektor perikanan, dan yang terendah adalah sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya. Dilain pihak, sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya memiliki derajat kepekaan yang paling tinggi dalam kelompok sektor primer yang kemudian disusul oleh sektor peternakan dan sektor perikanan, sedangkan yang terendah adalah sektor kehutanan dan perburuan. Sektor kehutanan dan perburuan serta sektor perikanan termasuk kelompok lima besar dalam koefisien multiplier.

Setiawan (2007) melakukan penelitian tentang peranan sektor unggulan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dengan pendekatan I-O Multiregional Jawa Timur (Jatim), Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat enam sektor unggulan, yaitu (1) sektor industri makanan, minuman, dan tembakau, (2) sektor perdagangan (di Provinsi Jatim), (3) sektor hotel dan restoran (di Provinsi Bali), sektor peternakan dan hasil-hasilnya (di Provinsi NTB). Pertumbuhan sektor unggulan ini akan berdampak pada output, nilai tambah bruto, dan penyerapan tenaga kerja intraregional dan interregional. Pada tingkat nasional, pertumbuhan sektor unggulan di Provinsi Jatim dan Bali berdampak lebih besar bila dibandingkan dengan dampak pertumbuhan sektor unggulan di Provinsi NTB.

(15)

2.4.2. Pentingnya Dukungan terhadap Sektor Pertanian.

Beberapa tingkat pendapatan perkapita regional di Eropa mungkin dapat dikatakan di bawah harapan jika dampak positif eksternalitas sektor pertanian, yaitu nilai keindahan diabaikan. Oleh karena itu, dukungan terhadap sektor pertanian digunakan sebagai variabel prasyarat dalam beberapa studi pertumbuhan regional di Eropa. Jika hal ini diabaikan maka terjadi hubungan negatif antara dukungan terhadap sektor pertanian dan pertumbuhan regional (Bivand and Brunstad, 2007). Selanjutnya Bivand dan Brunstad juga menyatakan bahwa kebijakan sektor pertanian berinteraksi dengan pertumbuhan ekonomi melalui dua cara, yaitu: (1) proporsi subsidi pertanian dan intensitas dukungan terhadap sektor pertanian dalam suatu kawasan ekonomi regional menyebabkan pertumbuhan regional yang negatif. Hal ini disebabkan karena subsidi menghambat pergerakan tenaga kerja dan kapital ke sektor-sektor lain (dan/atau daerah) dan (2) aktifitas sektor pertanian memberikan manfaat lebih dan di atas nilai pasar dan kondisi ini dapat disebut dengan multifungsi sektor pertanian. Sektor pertanian memiliki efek eksternalitas positif sebagai public goods seperti nilai keindahan dari kultur pertanian itu sendiri. Hal ini menjadi penting untuk dipertimbangkan dalam merumuskan suatu kebijakan di sektor pertanian.

Dukungan terhadap sektor pertanian sebagai public goods dalam konteks

food security dan landscape preservational masih dilakukan oleh negara-negara maju seperti Norwegia. Untuk mengetahui instrumen kebijakan optimal maka hasil simulasi yang dilakukan oleh Brunstad et al. (2005) menunjukkan bahwa dukungan terhadap sektor pertanian masih layak untuk diberikan maksimal

(16)

sebesar 40 persen. Ini merupakan batas dukungan yang dapat dipertahankan dengan alasan sektor pertanian sebagai public goods.

2.4.3. Dampak Investasi Sektor Pertanian terhadap Perekonomian

Studi tentang investasi pada sektor pertanian sudah banyak dilakukan sebelumnya, diantaranya penelitian oleh Saptana et al. (1994) tentang perkembangan investasi dan kaitannya dengan penerimaan devisa dan penyerapan tenaga kerja di subsektor perikanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan investasi oleh pihak swasta pada subsektor perikanan tidak diikuti secara proporsional oleh perkembangan nilai ekspor yang dihasilkan. Demikian pula rasio tenaga kerja dengan investasi pada subsektor perikanan lebih kecil dibandingkan dengan rasio tersebut pada subsektor lainnya dalam lingkungan sektor pertanian. Hal ini disebabkan teknologi yang digunakan oleh pihak swasta dalam subsektor perikanan lebih bersifat padat modal dibandingkan dengan teknologi yang digunakan oleh subsektor lainnya.

Susanti (2003) melakukan penelitian tentang dampak perubahan investasi dan produktivitas sektor perikanan terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral di Indonesia dengan menggunakan aplikasi Model Ekonomi Keseimbangan Umum. Hasil penelitian antara lain menyimpulkan bahwa peningkatan investasi sektor perikanan memberikan kontribusi positif bagi peningkatan Gross Domestic Product (GDP), penekanan laju inflasi, peningkatan ekspor, konsumsi agregat, dan penyerapan tenaga kerja.

Sudaryanto dan Munif (2005) menyatakan bahwa kontribusi terbesar terhadap penerimaan devisa masih berasal dari produk primer. Hal ini disebabkan masih dominannnya pendekatan produksi daripada pendekatan bisnis dalam

(17)

pembangunan pertanian di Indonesia atau belum berkembangnya agroindustri di perdesaan. Ekspor produk primer mengakibatkan rendahnya nilai tambah yang diperoleh oleh petani. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang sesuai dengan karakteristik usaha pertanian, perdagangan, dan investasi yang mampu

menunjang pengembangan industri khusus pada agroindustri skala kecil di perdesaan dalam menunjang pengembangan sektor pertanian.

Astuti (2005) melakukan penelitian tentang dampak investasi sektor

pertanian terhadap perekonomian dan upaya pengurangan kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan pendekatan SAM dan Foster Greer Thorbecke

(FGT). Hasil analisis menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan investasi di sektor pertanian maka berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia, terutama terhadap peningkatan penerimaan pendapatan sektor produksi, peningkatan pendapatan neraca institusi penerimaan pemerintah, perusahaan, dan rumahtangga, serta penerimaan balas jasa faktor produksi tenaga kerja dan modal. Hasil analisis kemiskinan menunjukkan apabila investasi di sektor pertanian menurun maka akan berdampak terhadap kenaikan insiden kemiskinan pada setiap kelompok rumahtangga dan sebaliknya.

Kalangi (2006) melakukan penelitian tentang peranan investasi di sektor pertanian dan agroindusti dalam penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan dengan menggunakan data utama SNSE tahun 2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi untuk peningkatan output sektor pertanian memiliki dampak yang lebih besar terhadap faktor produksi tenaga kerja dan peningkatan pendapatan rumahtangga. Oleh karena itu, investasi untuk peningkatan output sektor pertanian dan agroindustri sangat efektif karena bersifat meningkatkan

(18)

penyerapan tenaga kerja (pro employment) dan meningkatkan pendapatan golongan rumahtangga yang berpendapatan rendah sehingga memperbaiki distribusi pendapatan.

Purnamadewi et al. (2009) melakukan studi tentang dampak investasi sektor pertanian terhadap disparitas ekonomi antar wilayah Indonesia. Penelitian menggunakan data I-O dan SNSE Indonesia tahun 2003 serta Transaksi Tabel I-O Inter-regional (IRIO) tahun 2005. Untuk mengukur dampak investasi digunakan alat analisis Computable General Equilibrium Model (CGE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi investasi di sektor pertanian, industri berbasis pertanian dan infrastruktur memberikan dampak terbaik dalam hal peningkatan upah sektoral, peningkatan dan pendistribusian pendapatan rumahtangga, serta penurunan disparitas antar wilayah. Oleh karena itu, strategi pembangunan dengan memprioritaskan alokasi investasi terhadap sektor pertanian, agroindustri, dan infrastruktur akan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan baik antar wilayah maupun antar rumahtangga.

Novita et al. (2009) melakukan penelitian tentang dampak investasi sektor pertanian terhadap perekonomian Sumatera Utara dengan pendekatan analisis I-O. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak investasi sektor pertanian mampu membentuk 1.35 kali lipat dari investasi yang ada dengan pembentukan output terbesar dialami oleh sektor unggas dan peternakan lainnya. Selanjutnya, investasi sektor pertanian mampu meningkatkan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja.

Referensi

Dokumen terkait

Nilai Tukar Petani Kabupaten Lumajang 2016 25 Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa indeks yang di bayar menurut sub sektor, Pada bulan januari indeks yang di bayar

guru dan siswa atau sebaliknya, untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sekolahnya. Pendidikan jasmani adalah suatu proses

Mandiri ini yang merupakan kontribusi tambah/ plus terhadap pengembangan swadaya masyarakat, karena pesantren ini tidak hanya bergerak pada satu sisi disektor

Tidak ada pengatasnamaan atau jaminan, baik secara langsung maupun tidak langsung dari BNI SEKURITAS atau pun pihak-pihak lain dari Grup BNI, termasuk pihak-pihak lain

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap

Skripsi dengan judul “ Analisis Simultan Antara Kepemilikan Manajerial dan Risiko Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Pada Bursa Efek Indonesia Peride 2003 – 2008” ini

noise .Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumiyana berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Fama & French (1992) yang menyatakan bahwa perilaku harga

Variabel independent dalam penelitian ini yaitu umur ibu, jenis kelamin balita, tinggi badan ibu, jumlah anggota keluarga, riwayat diare dan ISPA, pola asuh, sikap,