• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

Tahapan penelitian pendahuluan ini dilakukan untuk mengetahui mutu kitosan komersil yang digunakan, antara lain meliputi kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, kadar protein, derajat deasetilasi, bentuk patikel dan warna larutan. 4.1.1 Identifikasi kitosan komersil

Kitosan merupakan komponen glukosamin dan juga merupakan turunan kitin melalui proses deasetilasi dan banyak terkandung pada lapisan cangkang kepiting, krustasea dan juga terdapat pada serangga, alga, diatom dan kapang (Rinaudo 2006). Kitin dan kitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri, hidrofobik, memiliki reaktivitas kimia yang tinggi yang disebabkan oleh kandungan gugus OH dan gugus NH2 yang bebas serta ligan yang bervariasi (Prashanth dan Tharanathan 2006).

Kitosan yang digunakan pada penelitian ini adalah kitosan komersil yang didapatkan dari PT. Vital House Indonesia (Gambar 4). Kitosan tersebut kemudian dilarutkan dalam asam organik yaitu asam asetat dengan konsentrasi 1,5% (v/v). Pemilihan pelarut kitosan yaitu asam asetat 1,5% yang digunakan untuk melarutkan kitosan didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ornum (1992), pelarut kitosan yang baik adalah asam formiat dan asam asetat dengan konsentrasi masing-masing 0,2-1,0% dan 1,0-2,0%. Kitosan lebih mudah larut dalam asam asetat 1-2% dan akan membentuk suatu garam ammonium asetat (Tang et al. 2007).

(2)

Kitosan merupakan polimer linear yang tersusun oleh 2000-3000 monomer N-asetil-D-glukosamin dalam ikatan β-(1-4), tidak toksik dengan LD50 setara dengan 16 g/kg BB dan mempunyai berat molekul 800 Kda. Berat molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari biopolimer kitosan, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan (Tang et al. 2007).

Kitosan sebagian besar diperoleh dari bahan baku cangkang krustasea, kapang, cumi-cumi dan lain-lain, melalui proses deproteinasi menggunakan NaOH, demineralisasi dengan menggunakan HCl dan deasetilasi dengan NaOH 50%. Masing-masing proses memiliki tujuan yang berbeda. Proses deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein yang terdapat pada cangkang, demineralisai bertujuan untuk menghilangkan kandungan mineral yang terdapat pada cangkang dan proses deasetilasi bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil. Proses ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas fungsi dari kitosan (Angka dan Suharso 2000).

Kitosan banyak memilik manfaat antara lain sebagai antibakteri, pengkelat, penstabil, pembentuk film, penjernih, flokulan, koagulan dan antifungi. Aplikasi ini tidak terlepas dari gugus amin (NH) yang reaktif dan gugus hidroksil yang banyak (Suptijah 1992). Melihat aplikasi dari fungsi dan manfaat kitosan ini, upaya komersialisasi telah banyak dilakukan. Saat ini kitosan komersil sudah banyak terdapat di Indonesia dalam bentuk kitosan larut asam.

Kitosan larut asam yang komersil harus memiliki mutu yang baik. Hal ini bertujuan agar kitosan dengan mutu yang baik akan bekerja secara efektif dan hasil aplikasi yang digunakan seragam. Tabel 5 menyajikan hasil uji mutu kitosan larut asam dan standar mutu kitosan yang ada :

Tabel 5 Karakterisasi kitosan komersil

Karakterisasi Hasil penelitian Standar mutu kitosan*

Bentuk partikel Serbuk Serpihan/bubuk

Kadar air (% berat kering) 9% ≤ 10%

Kadar abu/mineral (% berat kering) 0,21% ≤ 2%

Kadar nitrogen 1,33% < 5

Warna larutan Jernih Jernih

Derajat deasetilasi (%) 88,66% ≥ 70%

(3)

Bentuk kitosan sangat dipengaruhi oleh bahan bakunya. Bahan baku yang berasal dari kulit udang memiliki bentuk yang lebih halus dan mudah hancur selama proses pembuatan kitosan. Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa mutu kitosan yang digunakan tidak terlalu berbeda dengan standar yang telah ditetapkan. Nilai kadar air kitosan komersil memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan standar mutu yang telah ditetapkan. Persentase kadar air ini kemungkinan dipengaruhi oleh lingkungan yang lembab dan waktu penyimpanan dari bahan baku tersebut. Lingkungan yang lembab akan meningkatkan kadar air dalam suatu bahan. Kitosan memiliki sifat yang mudah menyerap air (hidrophillic) (Kumar 2000), sehingga semakin lama waktu penyimpanan dan kondisi lingkungan lembab maka jumlah kadar air kitosan semakin meningkat.

Kadar mineral/abu kitosan larut asam yang diperoleh adalah sebesar 0,21%. Kadar kitosan larut asam tersebut telah memenuhi syarat, dimana syarat dari kadar abu/mineral adalah kurang dari 2%. Faktor yang berpengaruh terhadap kadar mineral kitosan adalah proses demineralisasi dan air yang digunakan ketika penetralan pH. Proses demineralisasi yang efektif akan banyak menghilangkan mineral yang ada pada kitosan (Angka dan Suhartono 2000), sehingga pengotor dapat tereduksi dan kinerja kitosan semakin optimal. Air yang digunakan untuk penetralan tidak mengandung mineral karena dapat meningkatkan kadar mineral dalam bahan, sehingga jumlah pengotor semakin meningkat dan disarankan untuk menggunakan akuades/air yang telah dilakukan proses penghilangan mineral melalui destilasi (Suptijah 2006). Kadar nitrogen kitosan larut asam adalah 1,33%. Kadar nitrogen ini sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan. Kadar nitrogen ini menunjukkan tingkatan dari derajat deasetilasi dan bentuk utama dari grup amino aliphatic (Kumar 2000).

Derajat deasetilasi (DD) kitosan larut asam yang dihasilkan sebesar 88,66%. Hasil ini sesuai dengan standar mutu kitosan yang telah ditetapkan. Derajat deasetilasi (DD) untuk grade industri seharusnya lebih dari 70%. Derajat deasetilasi sangat penting untuk menentukan karakteristik kitosan dan akan mempengaruhi penggunaannya. Waktu dan suhu selama proses deasetilasi juga berpengaruh terhadap hasil akhir. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

(4)

oleh (Rochima et al. 2004), semakin tinggi suhu dan lama perendaman dengan NaOH akan mengakibatkan derajat deasetilasi meningkat.

Derajat deasetilisasi kitosan dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH dan suhu proses (Benjakul dan Sophanodora 1993). Menurut Suptijah et al. (2006) untuk menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi sebesar 84% dibutuhkan pemanasan pada suhu 130 °C selama 4 jam atau suhu 120 °C selama 6–7 jam. Perendamanan dengan NaOH selain dapat meningkatkan derajat deasetilasi dapat juga mengakibatkan terjadinya depolimerisasi, oleh karena itu perendaman dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dan waktu yang singkat. Rincian data hasil uji proksimat kitosan komersil disajikan pada Lampiran 1.

4.2 Penelitian Utama

Tahap penelitian utama ini dilakukan untuk melihat pengaruh konsentrasi kitosan yang optimal dalam mempertahankan mutu daging sapi. Tahap ini menggunakan perlakuan konsentrasi kitosan 1%, 2% , 3% serta 0% sebagai kontrol, dengan lama perendaman selama 3 menit. Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan objektif berupa uji total plate count (TPC), derajat keasaman (pH), kadar protein dan kadar air.

4.2.1 pH daging sapi

Nilai pH sangat erat hubungannya dengan struktur protein daging dan daya kelarutan protein daging yang berakibat lebih lanjut terhadap kemampuan daging untuk mengikat air serta daya emulsi protein daging. Hasil rata-rata pH pada daging sapi dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin disajikan pada Tabel 6, sedangkan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 6 Nilai rata-rata pH daging sapi dengan perlakuan konsentrasi larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin

Lama penyimpanan (hari) Nilai rata-rata pH Konsentrasi 0% Konsentrasi 1% Konsentrasi 2% Konsentrasi 3% 0 5,30 5,10 5,02 4,68 2 5,38 5,11 5,21 5,20 4 5,45 5,06 5,27 5,09

(5)

Daging sapi yang diberi perlakuan kitosan pada penyimpanan hari ke-0 mempunyai nilai pH 4,68-5,30, penyimpanan pada hari ke-2 mempunyai nilai pH 5,11-5,38 dan penyimpanan pada hari ke-4 mempunyai nilai pH 5,06-5,45. Pada penyimpanan hari ke-0 daging sapi kontrol (tanpa pelapisan kitosan) mempunyai nilai pH tertinggi yaitu 5,30, sedangkan nilai pH daging sapi dengan pelapisan kitosan 1%, 2% dan 3% secara berturut-turut yaitu 5,10, 5,02 dan 4,68. Nilai pH pada penyimpanan hari ke-2 untuk daging sapi kontrol maupun daging sapi dengan pelapisan kitosan 1%, 2% dan 3% secara berturut-turut yaitu 5,38; 5,11; 5,21 dan 5,20, sedangkan nilai pH pada penyimpanan hari ke-4 untuk daging sapi kontrol maupun daging sapi dengan pelapisan kitosan 1%, 2% dan 3% secara berturut-turut yaitu 5,45; 5,06; 5,27 dan 5,09. Diagram batang rata-rata nilai pH daging sapi dengan berbagai perlakuan konsentarsi kitosan disajikan pada Gambar 5.

Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf

superscrift yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 5 Histogram nilai pH daging sapi dengan perlakuan konsentrasi kitosan selama penyimpanan suhu dingin

( = kitosan kontrol, = kitosan 1%, = kitosan 2%, = kitosan 3%) Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 6), penambahan kitosan sebagai edible coating memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada nilai pH daging sapi selama penyimpanan hari ke-0 dan ke-2 (p>0,05), tetapi

5,30a 5,38a 5,45a 5,09a 5,11a 5,06c 5,02a 5,21a 5,27b 4,68a 5,19a 5,09c 4,20 4,40 4,60 4,80 5,00 5,20 5,40 5,60 0 2 4 pH

(6)

memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) pada lama penyimpanan hari ke-4. Perbedaan nyata terlihat pada daging sapi yang diberi perlakuan kitosan memiliki nilai rataan pH yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai rataan pH daging sapi kontrol. Hal ini dapat dilihat pada pH daging sapi yang tidak diberi perlakuan kitosan (kontrol) memiliki nilai pH yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai pH daging yang diberi perlakuan kitosan. Uji lanjut Duncan terhadap nilai pH pada penyimpanan hari ke-4, daging sapi dengan perlakuan konsentrasi kitosan 0% (kontrol) berbeda nyata secara signifikan dengan daging sapi dengan perlakuan konsentrasi kitosan 1%, 2% dan 3%.

Penambahan kitosan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai pH daging sapi pada penyimpanan hari ke-4. Hal ini disebabkan daging sapi yang disimpan lebih lama, maka pertumbuhan bakteri terus akan berlangsung dan

mengubah nilai pH daging sapi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Buckle et al. (1985), bahwa waktu merupakan salah satu faktor utama yang

mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme selain suhu, pH, air, oksigen dan adanya suplai makanan. Selain itu, kenaikan pH disebabkan oleh terbentuknya senyawa-senyawa hasil penguraian protein daging sapi yang bersifat basa (amoniak atau NH3) oleh mikroba (Fennema 1985). Peningkatan pH merupakan indikasi terjadinya penurunan kualitas daging sapi karena semakin tinggi pH maka kesempatan bakteri untuk mendegradasi daging sapi semakin besar. Setelah mencapai titik tertentu, pH mengalami penurunan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri asam laktat (Datson et al. 1977).

Penyimpanan pada hari ke-4 nilai pH daging sapi kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi dengan perlakuan kitosan 1%, 2% dan 3%. Nilai pH daging sapi dengan perlakuan kitosan 2% lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi yang diberi perlakuan kitosan 1% dan 3%. Hal ini disebabkan karena kitosan 2% berada pada kondisi jenuh, sehingga kemampuan untuk mengikat air juga lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi kitosan 1% dan 3%. Kemampuan mengabsorbsi molekul air akan meningkatkan kadar air produk gelnya, sehingga akan menyebabkan penurunan konsentrasi proton dan meningkatkan gugus OH-. Menurut Chen et al. (2007), kitosan dalam larutan akan berperan sebagai reagen dasar dan menetralisasi proton yang dilepaskan oleh

(7)

asam. Proses netralisasi ini juga menyebabkan kitosan larut dan terionisasi oleh proton menjadi mutan positif. Analisis nilai pH juga terkait dengan aktivitas antibakteri kitosan. Menurut Eldin et al. (2008) menyatakan bahwa aktivitas antimikroba kitosan naik seiring penurunan pH. Hal ini disebabkan karena gugus amino kitosan terionisasi pada pH dibawah 6 dan membawa muatan positif. Oleh sebab itu, kitosan mampu memperlambat pertumbuhan mikroba pada daging sapi selama penyimpanan karena kondisi pH yang kondusif bagi aktivitas antibakterinya.

4.2.2 Kadar air daging sapi

Kadar air merupakan faktor penting dalam penyimpanan produk pangan, dan dapat menentukan daya awet bahan pangan. Hal ini berkaitan dengan sifat air yang dapat mempengaruhi sifat fisik, perubahan kimia, perubahan mikrobiologi dan perubahan enzimatis. Perubahan-perubahan tersebut akan mempengaruhi tekstur, penampakan, aroma dan cita rasa makanan (Buckle et al. 1985). Hasil analisis rata-rata kadar air pada daging sapi dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 6, sedangkan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 7 Nilai rata-rata kadar air daging sapi dengan perlakuan konsentrasi larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin

Lama penyimpanan

(hari)

Nilai rata-rata % kadar air Konsentrasi 0% Konsentrasi 1% Konsentrasi 2% Konsentrasi 3% 0 75,79 76,78 77,91 78,18 2 74,24 76,35 77,31 76,27 4 73,96 76,90 77,02 74,87

Daging sapi kontrol (tanpa perlakuan kitosan) dan daging sapi yang diberi perlakuan kitosan pada penyimpanan hari ke-0 mempunyai nilai kadar air 75,79-78,18%, penyimpanan pada hari ke-2 mempunyai nilai kadar air 74,24-77,31% dan penyimpanan pada hari ke-4 mempunyai nilai kadar air 73,96-77,02%. Nilai kadar air daging sapi kontrol (tanpa perlakuan kitosan) pada penyimpanan hari ke-0 yaitu 78,18% sedangkan untuk daging sapi dengan perlakuan kitosan 1%, 2% dan 3%, secara berturut-turut yaitu 76,78%, 77,91% dan 77,91%. Nilai kadar air

(8)

daging sapi kontrol (tanpa perlakuan kitosan) dan daging sapi dengan perlakuan kitosan mengalami penurunan pada penyimpanan hari ke-2 dan ke-4. Pada penyimpanan hari ke-2 nilai kadar air untuk daging sapi kontrol (tanpa pelapisan kitosan) dan daging sapi dengan pelapisan kitosan secara berturut-turut yaitu 74,24%, 76,35%, 77,31% dan 76,27%. Sedangkan, penyimpanan pada hari ke-4 nilai kadar air untuk daging sapi kontrol (tanpa perlakuan kitosan) dan daging sapi dengan perlakuan kitosan secara berturut-turut yaitu 73,96%, 76,90%, 77,02% dan 74,87%. Diagram batang rata-rata nilai kadar air daging sapi dengan berbagai perlakuan konsentarsi kitosan disajikan pada Gambar 6.

Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf

superscrift yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf

superscrift yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 6 Histogram nilai kadar air daging sapi dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin

( = kitosan kontrol, = kitosan 1%, = kitosan 2%, = kitosan 3%) Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 6), penambahan kitosan sebagai edible coating memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kadar air daging sapi selama penyimpanan hari ke-0, 2 dan 4 (p<0,05). Uji lanjut Duncan terhadap nilai kadar air pada penyimpanan hari ke-0, 2 dan 4, daging sapi dengan perlakuan konsentrasi kitosan 0% (kontrol) berbeda nyata secara signifikan dengan daging sapi dengan perlakuan konsentrasi kitosan 1%, 2% dan 3%. Penambahan kitosan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai

75,79a 74,24a 73,96a 76,78b 76,35b 76,90b 77,91b 77,31b 77,02b 78,18b 76,27b 74,87a 71,00 72,00 73,00 74,00 75,00 76,00 77,00 78,00 79,00 0 2 4 K ad ar ai r (% )

(9)

kadar air daging sapi. Hal ini diduga karena sifat kitosan sebagai edible coating

mempunyai kemampuan mencegah penguapan air dalam daging (Simpson 1997). Daging sapi dengan perlakuan kitosan mempunyai kadar air

yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging kontrol karena air yang akan keluar dari produk ditahan oleh film yang melapisi produk, selain itu sifat film kitosan yang hidrokoloid memungkinkan film dapat menyimpan air. Adanya kitosan yang berbentuk membran berpori dapat menyerap air pada makanan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba di dalam makanan. Molekul air kebanyakan ditahan secara kuat di dalam kitosan sehingga terjadi proses penggelembungan. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Apriandi (2004) yang menyebutkan bahwa kadar air semakin meningkat dengan penambahan film kitosan karena larutan kitosan yang ditambahkan pada produk bersifat hidrofilik (suka air), larutan tersebut dapat mengabsorbsi molekul air sehingga akan meningkatkan kadar air poduk gelnya (Apriandi 2004).

Keberadaan air terhadap mikroba sangatlah penting. Air akan mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan erat kaitannya dengan jumlah air yang tersedia untuk pertumbuhan mikroba di dalamnya. Jika kandungan air bahan diturunkan, maka pertumbuhan mikroba akan diperlambat. Oleh karena itu adanya kitosan yang berbentuk membran berpori dapat menyerap air pada makanan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba di dalam makanan. Molekul air kebanyakan ditahan secara kuat di dalam kitosan sehingga terjadi proses penggelembungan. Selain itu, selama masa penyimpanan kadar air dipengaruhi oleh kelembaban nisbi udara di sekitarnya. Kondisi penyimpanan di dalam lemari pendingin 5 0C yangmemiliki kelembaban udara (RH) rendah yaitu 70% menyebabkan penguapan air dari produk menuju lingkungan. Penguapan tersebut menurunkan kadar air dalam dalam daging sapi sehingga daging sapi akan mengalami penurunan kadar airnya. Kitosan sebagai polimer film dari karbohidrat lainnya, memiliki sifat selektif permeable terhadap gas CO2 dan O2, namun kurang mapu menghambat perpindahan air. Hal ini karena pelapis yang tersusun dari polisakarida dan turunanya hanya sedikit mampu menahan penguapan air, namun efektif untuk mengontrol difusi dari berbagai gas (Nisperoscarriedo 1995 diacu dalam Herjanti 1997).

(10)

4.2.3 Kadar protein daging sapi

Pada umumnya protein di dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan itu sendiri. Pada tubuh hewan protein terdapat di dalam otot atau daging, kulit kuku dan rambut. Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh manusia, karena protein selain berfungsi sebagai bahan bakar, bahan pengatur dan pembangun (Winarno 2008). Hasil analisis rata-rata kadar protein pada daging sapi dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin disajikan pada Tabel 8, sedangkan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 8 Nilai rata-rata kadar protein daging sapi dengan perlakuan konsentrasi larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin

Lama penyimpanan

(hari)

Nilai rata-rata % kadar protein (% bobot basah) Konsentrasi 0% Konsentrasi 1% Konsentrasi 2% Konsentrasi 3% 0 19,09 19,33 18,14 18,60 2 16,68 17,08 17,03 17,19 4 15,55 16,40 16,06 16,90

Daging sapi kontrol (tanpa perlakuan kitosan) dan daging sapi yang diberi perlakuan kitosan pada penyimpanan hari ke-0 mempunyai nilai kadar protein 18,14-19,33%, penyimpanan pada hari ke-2 mempunyai kadar protein 16,68-17,19% dan penyimpanan pada hari ke-4 mempunyai kadar protein 15,55-16,90%. Nilai kadar protein daging sapi kontrol (tanpa perlakuan kitosan) pada penyimpanan hari ke-0 yaitu 19,09% sedangkan untuk nilai kadar protein daging sapi dengan pelapisan kitosan 1%, 2% dan 3% secara berturut-turut yaitu 19,33%, 18,14% dan 18,60%. Nilai kadar protein daging sapi kontrol (tanpa perlakuan kitosan) dan daging sapi dengan perlakuan kitosan mengalami penurunan pada penyimpanan hari ke-2 dan ke-4. Pada penyimpanan hari ke-2 nilai kadar protein untuk daging sapi kontrol (tanpa perlakuan kitosan) dan daging sapi dengan perlakuan kitosan secara berturut-turut yaitu 16,68%, 17,08%, 17,03% dan 17,19%. Sedangkan penyimpanan pada hari ke-4 nilai kadar protein untuk daging sapi kontrol (tanpa perlakuan kitosan) dan daging sapi dengan perlakuan kitosan secara berturut-turut yaitu 15,55%; 16,40%; 16,06% dan

(11)

16,90%. Diagram batang rata-rata nilai kadar protein daging sapi dengan berbagai perlakuan konsentarsi kitosan disajikan pada Gambar 7.

Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf

superscrift yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)

Gambar 7 Histogram nilai kadar protein daging sapi dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin

( = kitosan kontrol, = kitosan 1%, = kitosan 2%, = kitosan 3%) Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 6), penambahan kitosan sebagai edible coating memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai kadar protein daging sapi selama penyimpanan hari ke-0, ke-2 dan ke-4 (p>0,05). Kadar protein daging sapi lebih dipengaruhi oleh adanya degradasi protein selama penyimpanan. Kitosan belum mampu untuk menghentikan proses degradasi protein. Hal ini disebabkan karena kitosan yang digunakan merupakan kitosan larut asam dengan BM 800.000 Dalton sampai 1.000.000 Dalton, sehingga kitosan yang digunakan ini belum mampu untuk menembus samapi ke bagian dalam daging sapi. Kadar protein daging sapi dengan perlakuan kitosan maupun kontrol selama penyimpanan mengalami penurunan. Penurunan kadar protein ini diduga karena terjadinya degradasi protein selama penyimpanan. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim proteolitik yang dapat memecah molekul protein dalam bahan pangan. Selain itu, kitosan mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolit serta mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Selain itu, penurunan

19,09a 16,68a 15,55a 19,33a 17,08a 16,40a 18,14a 17,03a 16,06a 18,60a 17,19a 16,90a 0 5 10 15 20 25 0 2 4 K ad ar p r o te in (% )

(12)

kadar protein juga dipengaruhi oleh total koloni bakteri karena salah satu faktor yang dibutuhkan oleh bakteri untuk pertumbuhannya adalah protein. Pertumbuhan bakteri akan mempercepat denaturasi protein sehingga kadar protein akan menurun. Bakteri dapat memecah molekul-molekul kompleks dan zat-zat organik seperti polisakarida, lemak dan protein menjadi unit yang lebih sederhana. Pemecahan awal ini dapat terjadi akibat ekskresi enzim ekstraseluler yang sangat erat hubungannya dengan proses pembusukan bahan pangan (Buckle et al. 1985).

Kitosan mampu menghambat pertumbuhan baketri dan kapang, sehingga bakteri dan kapang yang tumbuh sedikit pada daging sapi yang diberi perlakuan kitosan lebih sedikit. Sedikitnya bakteri dan kapang yang tumbuh menyebabkan protein yang digunakan untuk aktivitas bakteri dan kapang sebagai sumber energi juga lebih sedikit, sehingga menjadi sedikit kehilangan dan kerusakan protein selama penyimpanan.

4.2.4 Uji mikrobiologi (TPC) selama penyimpanan

Kitosan memiliki kemampuan sebagai desinfektan atau antibakteri mengingat beberapa sifat yang dimilikinya yaitu kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan kemampuannya dalam memberikan pelapisan/coating terhadap produk sehingga meminimalkan interaksi antara produk dengan lingkungannya. Daging sapi diberikan perlakuan dengan perendaman kitosan pada berbagai konsentrasi kitosan selama 3 menit. Kandungan TPC dalam daging sapi merupakan salah satu parameter mikrobiologis untuk melihat tingkat kemunduran mutu suatu bahan baku dan tingkat kelayakannya untuk dikonsumsi. Jumlah bakteri yang tumbuh pada sampel daging sapi hasil penelitian berkisar antara 3,5x103 sampai 2,8x106 koloni/g sampel. Hasil analisis rata-rata TPC pada daging sapi dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 8, sedangkan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.

Selama penyimpanan daging sapi kontrol (tanpa perlakuan kitosan) memiliki nilai TPC yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai TPC daging sapi yang diberi perlakuan kitosan 1%, 2% dan 3%, baik pada penyimpanan hari ke-0, ke-2 maupun ke-4. Penyimpanan pada hari ke-0 nilai TPC daging sapi kontrol

(13)

(tanpa perlakuan kitosan) yaitu sebesar 4,4 x 104. Sedangkan nilai TPC untuk daging sapi dengan perlakuan konsentrasi kitosan 1%, 2% dan 3% secara berturut-turut yaitu sebesar 6,0 x 103, 4,1 x 103 dan 3,5 x 103. Nilai TPC daging sapi kontrol (tanpa perlakuan kitosan) dan daging sapi dengan perlakuan kitosan mengalami kenaikan pada penyimpanan hari ke-2 dan ke-4. Pada penyimpanan hari ke-2 nilai TPC untuk daging sapi kontrol (tanpa perlakuan kitosan) dan daging sapi dengan perlakuan kitosan secara berturut-turut yaitu 4,0 x 105, 2,6 x 104, 6,7 x 103 dan 5,2 x 103. Sedangkan penyimpanan pada hari ke-4 nilai TPC untuk daging sapi kontrol (tanpa perlakuan kitosan) dan daging sapi dengan perlakuan kitosan secara berturut-turut yaitu 2,8 x 106; 3,1 x 105; 1,9 x 105 dan 3,3 x 104.

Tabel 9 Nilai rata-rata TPC daging sapi dengan perlakuan konsentrasi larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin

Lama penyimpanan (hari) Konsentrasi Kitosan (%) Total bakteri (unit/gram) log 0 0 4,4 x 104 4,6435 1 6,0 x 103 3,7782 2 4,1 x 103 3,6128 3 3,5 x 103 3,5441 2 0 4,0 x 105 5,6021 1 2,6 x 104 4,4150 2 6,7 x 103 3,8261 3 5,2 x 103 3,7160 4 0 2,8 x 106 6,4472 1 3,1 x 105 5,4914 2 1,9 x 105 5,2788 3 3,3 x 104 4,5185

(14)

Gambar 8 Grafik nilai TPC daging sapi dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu dingin

( = kitosan kontrol, = kitosan 1%, = kitosan 2%, = kitosan 3%) Gambar 8 menunjukkan bahwa hasil uji TPC daging sapi kontrol/tanpa perlakuan memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan daging sapi yang diberi perlakuan kitosan. Berdasarkan hasil tersebut kitosan dengan konsentrasi 3% memiliki kemampuan terbesar dalam mengurangi jumlah mikroba dibandingan dengan kitosan dengan konsentrasi 1% dan 2%. Hal ini terlihat dari nilai TPC yang lebih kecil jika dibandingan dengan konsentrasi kitosan lainnya, ini memperlihatkan bahwa kitosan memiliki daya dalam mengikat bakteri. Kitosan yang merupakan polikationik amina akan berinteraksi dengan kutub negatif pada lapisan sel dari bakteri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chaiyakosha et al. (2007) bahwa reduksi dari jumlah sel bakteri dipengaruhi oleh perubahan permukaan sel dan hilangnya fungsi barrier dari bakteri itu sendiri.

Penggunaan kitosan sebagai antibakteri dan bahan pengawet sudah banyak diaplikasi pada bidang pangan. Edible film kitosan dapat digunakan untuk menjaga umur simpan dari precooked pizza. Rodriguez et al. (2003) melaporkan kitosan yang dilarutkan dalam larutan asam asetat untuk pembuatan edible coating (0.079 g/100 g pizza) dapat menghambat pertumbuhan Alternaria sp, Penicillium sp, dan Cladosporium sp (Deuteromycetes) pada precooked pizza. Perlakuan ini memberikan pengaruh yang sama dengan penggunaan pengawet lain seperti

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 0 2 4 lo g T P C cf u /g

(15)

kalsium propionat dan potassium sorbat. Selain itu, Edible film kitosan banyak digunakan untuk mengemas buah dan sayuran seperti apel, pir, strawberry, tomat,

kelengkeng, mangga, pisang, jamur, lada, ketimun, wortel dan alpukat (El Ghouth et al. 1992, Zhang dan Quantick, 1998). Hasil penelitian tersebut

menunjukan adanya penurunan respirasi pada produk dan mengahambat pematangan. Menurut, Durango et al. (2006), penggunaan kitosan 1.5% dengan penambahan yam starch pada pembuatan edible coating untuk produk wortel yang diolah dengan proses minimal menjadi alternatif dalam menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat, total koliform, kamir dan kapang selama penyimpanan. Edible

coating kitosan dengan konsentrasi 1% (b/v) dan 2% (b/v) pada buah tomat dapat

menurunkan tingkat produksi CO2 sebesar 20% dan 25% dibandingkan dengan kontrol. Disamping itu kitosan dengan konsentrasi 2% (b/v) dan 1% (b/v) tidak memberikan pengaruh terhadap respirasi tetapi dapat menunda klimakterik. Konsentrasi kitosan 1% (b/v) dan 2% (b/v) dapat mempertahankan kekerasan buah tomat (El Ghaouth et al. 1992). Menurut Zhang dan Quantrick (1997). Konsentrasi kitosan 1% (b/v) dan 2% (b/v) untuk melapisi buah leci mengakibatkan suplai oksigen menurun dan menghambat degradasi pektin.

Mekanisme aktivitas antibakteri kitosan terjadi melalui interaksi gugus

NH3 glukosamin dengan permukaaan sel yang bermuatan negatif (Eldin et al. 2008). Adanya daya tarik secara struktural antara dinding sel bakteri

dan kitosan disebabkan karena dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang struktur dasar rantai utamanya terdiri dari N-asetilglukosamin dan β-glikan (Qujeq 2004). Menurut Rafaat et al. (2008), interaksi awal antara polikationik kitosan dan polimer dinding sel yang bermuatan negatif dipengaruhi oleh interaksi elektrostatis dan asam teikoat. Akibatnya, pengikatan kitosan pada polimer dinding sel memicu terjadinya efek seluler kedua, yaitu destabilisasi dan perusakan fungsi membran bakteri sehingga mengganggu fungsi membran sebagai pelindung. Permeabilitas membran terganggu dan mengakibatkan pergerakan substansi bakteri terhambat.

Menurut Xheng dan Zhu (2003), mekanisme aktivitas antimikroba kitosan berbeda untuk bakteri gram negatif dan gram positif. Aktivitas antimikroba pada bakteri gram positif meningkat seiring dengan peningkatan bobot molekul kitosan

(16)

dan pada bakteri gram negatif aktivitas mikroba meningkat seiring dengan penurunan molekul kitosan. Disebutkan bahwa pada bakteri gram positif, kitosan pada permukaan sel membentuk membran polimer yang dapat menghambat nutrien masuk ke dalam sel, sedangkan pada bakteri gram negatif, kitosan yang berbobot molekul rendah dapat masuk ke dalam sel melalui penyebaran.

Kitosan pada konsentrasi lebih rendah memungkinkan berikatan dengan muatan negatif pada permukaan bakteri sehingga mengganggu membran sel dan menyebabkan kematian sel dengan membocorkan komponen intraseluler pada konsentrasi tinggi, kitosan mungkin menambah lapisan permukaan bakteri yang mencegah kebocoran komponen intraseluler yang sama dengan menghambat transfer massa pada sel. Selanjutnya Liu (2003) menjelaskan pula bahwa aktivitas antibakteri tergantung pada konsentrasi kitosan dalam larutan. Aktivitas antibakteri dari kitosan dalam medium akan meningkat jika konsentrasi kitosan meningkat.

4.2.5 Mikrostruktur edible coating daging sapi

Mutu suatu produk dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah penampakan ukuran, bentuk serta tekstur. Tekstur berkaitan dengan mikrostruktur dari komponen penyusun produk. Mikrostruktur dari edible coating kitosan yang melapisi produk bakso diamati menggunakan alat SEM (Scanning Electron

Microscope). Penggamatan menggunakan SEM bertujuan untuk memperlihatkan

bahwa larutan kitosan mampu melapisi daging sapi dengan baik. Mikrostruktur daging sapi dengan pelapis kitosan memperlihatkan adanya perbedaan struktur pada permukaan daging sapi. Mikrostruktur daging sapi dengan pelapisan kitosan dan tanpa kitosan disajikan pada Gambar 9 dan 10.

Menurut Noor (2001) prinsip kerja SEM adalah apabila suatu pancaran elektron diiradiasi pada permukaan spesimen, interaksi antara pancaran dan atom-atom yang dikandung oleh spesimen akan memberikan bermacam-macam informasi, antara lain penggamatan topografi suatu permukaan dan penggamatan struktur internal. SEM telah lama digunakan dalam ilmu dan teknologi daging untuk mempelajari permukaan ultrastruktur serat otot, penggaruh kontraksi otot

(17)

selama rigor mortis , perubahan struktur otot selama penyimpanan post mortem (Hatta 2005).

Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan Scanning

Electron Microscope menunjukkan bahwa, struktur pada permukaan daging sapi

yang diberi perlakuan kitosan 1% (Gambar 10) terdapat lapisan (edible coating) yang menutupi permukaan daging sapi. Pelapisan daging sapi dengan kitosan terlihat pada bagian permukaan daging sapi yang berbeda antara daging sapi kontrol (Gambar 9) dengan daging sapi yang dilapisi kitosan 1%. Pada daging sapi kotrol (tanpa perlakuan kitosan) serabut-serabut otot (muscle bundle) masih terlihat jelas dan perimisium memisahkan serabut otot yang satu dengan serabut otot yang lainnya. Namun, pada daging sapi yang diberi perlakuan kitosan 1%, serabut-serabut otot tampak tidak terlihat jelas. Hal ini disebabkan karena bagian permukaan daging sapi tertutup oleh lapisan tipis kitosan.

Edible coating kitosan ini akan berfungsi sebagi barrier/penghalang

terhadap uap air serta pertukaran gas O2 dan CO2 (Bourtoom 2008), sehingga bakteri aerob yang memanfaatkan gas O2 pertumbuhannya menjadi terhambat. Selain itu edible coating kitosan akan menutupi pori-pori permukaan daging. Penyebab utama kerusakan makanan karena adanya pertumbuhan mikroba pada permukaan oleh mikroba pembusuk maupun mikroba penyebab penyakit. Mikroba yang menjadi penyebab rusaknya daging sapi terutama mikroba yang bersifat aerobik. Sehingga adanya edible coating yang memiliki sifat antimikroba menjadikan bahan makanan lebih tahan terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh pertumbuhan mikroba tersebut. Sehingga, dengan fungsinya sebagai barrier terhadap migrasi mikroba yang berhasil mengkontaminasi bahan pangan pada bagian permukaan, edible coating mampu memperpanjang masa simpan daging sapi (Danggi 2008).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hadi (2008), memperlihatkan bahwa larutan kitosan dan penambahan ekstrak bawang putih mampu melapisi bakso dengan baik. Mikrostruktur bakso dengan pelapis kitosan memperlihatkan adanya perbedaan struktur yaitu struktur bakso yang dilapisi oleh lapisan kitosan dan bakso tanpa pelapis. Struktur pada penampang melintang memperlihatkan bahwa adanya pelapisan (edible coating) yang menutupi permukaan produk.

(18)

Pelapisan sampel terlihat pada dua bagian strukur yang berbeda yang membuktikan adanya dua lapisan, lapisan lapisan putih tipis pada bakso memperlihatkan lapisan coating kitosan dan lapisan kedua adalah marfologi dari tekstur bakso yang kasar (rongga-rongga bakso) Gambar dapat dilihat pada Lampiran 11. Ketebalan dari coating dipengaruhi oleh lamanya waktu pencelupan sehingga larutan kitosan dapat terserap ke dalam daging sapi, memungkinkan

coating yang terbentuk akan lebih tebal dan melapisi daging sapi dengan

sempurna. Pencelupan dalam larutan yang cukup lama dan konsentrasi kitosan yang tinggi membantu pelapisan yang lebih baik dan lebih tebal, sehingga daya tahan daging sapi dapat dipertahankan.

Adanya edible coating pada daging sapi menunjukkan bahwa kitosan dapat melapisi daging sapi dengan baik dan dapat dibuktikan dari data pengujian (pH, kadar air, kadar protein dan TPC) yang memberikan penilaian bahwa edible

coating dapat berfungsi sebagai barrier dengan menghambat pertumbuhan

bakteri, khususnya pada permukaan bahan pangan, sehingga kitosan mampu mempertahankan mutu daging sapi jika dibandingkan dengan daging sapi tanpa adanya edible coating selama penyimpanan pada suhu dingin.

(19)

A

B (a)

(b) B A

Keterangan : Keterangan : (A) serabut otot (muscle bundle), (B) perimisium Gambar 9 Lapisan permukaan daging sapi kontrol (tanpa perlakuan kitosan) (a) perbesaran 200X, lebar 660µm (b) perbesaran 750X, lebar 176µm

(20)

A (a)

A

B (b)

Keterangan : (A) serabut otot (muscle bundle), (B) lapisan kitosan Gambar 10 Lapisan permukaan daging sapi dengan perlakuan kitosan 1%

Gambar

Gambar 4 Kitosan
Tabel 5 Karakterisasi kitosan komersil
Tabel  6  Nilai  rata-rata  pH  daging  sapi  dengan  perlakuan  konsentrasi  larutan     kitosan selama penyimpanan suhu dingin
Gambar 5 Histogram nilai pH daging sapi dengan perlakuan konsentrasi kitosan  selama penyimpanan suhu dingin
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa, Ada perbedaan rentan infeksi cacing parasit ( Fasciola hepatica ) pada hati sapi antara daerah

Pada bulan Agustus, yaitu saat kebutuhan energi desa Praingkareha tidak dapat dipenuhi oleh PLTMH Laputi, maka PLTD Tabundung akan membantu dalam memasok energi

Karena itu, dengan ditekannya keserakahan, kehidupan yang sederhana seharusnya men- jadi bagian dari kehidupan seorang injili. Tidak hanya itu, seorang injili pun dapat men-

Strategi tersebut dapat dilihat dari kegiatan-kegitan yang harus dilakukan guru ketika mengelola kelas yaitu (1) penentuan tata tertib, strategi yang digunakan

Dalam penelitian ini akan dikembangkan aplikasi pada perangkat dengan sistem operasi Android yang dapat mencari lokasi fasilitas umum di sekitar pengguna dengan

Imajući u vidu da floristički sastav i građa korovskih zajednica jednog područja zavise od agroekoloških uslova sredine, izborom odgovarajuće gustine gajenja za svaki hibrid,

sangat signifikan antara inteligensi dan kemandirian dengan resiliensi pada siswa kelas unggulan, dengan demikian hipotesis mayor yang diajukan dalam penelitian ini