BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Dasar
Berdasarkan permasalahan yang diteliti, metode dan jenis Penelitian ini menggunakan penelitian metode penelitian lapangan. Metode ini dipandang dapat untuk menjawab tujuan permasalahan yang di bicarakan di atas. Karena metode penelitian lapangan berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat yang diteliti dan hasil yang didapat juga lebih akurat. sebab seorang peneliti harus berbaur langsung dengan keseharian masyarakat dan mengikuti semua tatacara adat Budaya yang mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan ada atau tidaknya ungkapan bahasa eufeumisme yang digunakan dalam keseharian sesuai budaya masyarakat setempat.
Bentuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Basrowi dan Suwandi ,2009:21) mengatakan, “Metode kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang dan perilakunya dapat diamati”. Pada Penelitian ini digunakan bentuk kualitatif karena penelitian ini menganalisis dan menggambarkan tentang eufemisme dalam BMR
3.2 Lokasi dan Sumber Data
Lokasi penelitian adalah Desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar. Alasan penulis memilih lokasi penelitian ini adalah karena penduduknya asli etnis Melayu Riau dan eufemisme disana masih asli atau belum dipengaruhi
oleh kebudayaan lain.Kamus yang digunakan sebagai sumber data tulis antara lain keajaiban pepatah minang karangan Drs. Gouzali Saydam, Bc. T.T.
3.3 Intrumen Penelitian
Sebelum penulis melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu mempersiapkan instrumen atau alat bantu penelitian. Instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah: buku catatan untuk mencatat hal-hal yang terdapat dalam dokumen yang menjadi data penelitian dan alat perekam atau tape
recorder, yang digunakan untuk membantu merekam wawancara dengan
informan sehingga mempermudah penulis saat pengolahan data.
3.4 Metode pengumpulan Data
Studi kepustakaan ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka. Membaca, mendokumentasikan, dan melakukan wawancara langsung. Mendatangi tempat dan benda peninggalan bersejarah, menelaah sumber pustaka dari perpustakaan setempat, dan ikut serta mengambil bagian dalam setiap kegiatan kebudayaan yang diadakan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Teknik Observasi
Pada penelitian ini teknik pengambilan data yang digunakan adalah langsung turun ke lapangan untuk mencari data yang ada dan lengkap dari informan (tokoh-tokoh adat) dan masyarakat setempat yang penulis jadikan sebagai informan dalam melakukan penelitian.Penulis bertanya seefektif mungkin
sehingga data yang didapat dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya dan tidak terjadi kesalahpahaman.
b. Teknik Wawancara Langsung
Tantawi (2014) dalam bukunya Bahasa Indonesia Akademik mengatakan bahwa melalui metode wawancara merupakan salah satu cara memperoleh data dari seseorang yang memiliki kompetensi tentang sesuatu. Metode wawancara ini sangat dibutuhkan dan diutamakan dibanding metode angket dan dokumentasi.
Penulis mengutamakan data dari setiap penduduk (pemakai bahasa) atas bahasa yang digunakan sehari-hari untuk mengetahui peranan penghalusan makna melalui sistem percakapan mereka, baik di tempat kerja maupun dalam acara tertentu yang bertemakan kebudayaan Melayu Riau. Penulis berbaur dan ikut dalam keseharian mereka dan berprilaku layaknya adat istiadat budaya Melayu Riau.
c. TeknikKepustakaan (Dokumentasi)
Arikunto (2002:135) menyatakan bahwa dokumentasi asal katanya “dokumen” yang artinya barang-barang tertulis. Dalam melaksanakan metode dokumentasi, penulis menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku, majalah, peraturan, catatan harian, serta dokumen lainnya. Metode ini digunakan untuk memperoleh data mengenai tabel penduduk, gambar peta wilayah, bahasa keseharian, gambaran umum penduduk pada wilayah ajang penelitian.
3.5 Metode Analisis Data
Metode analisis data merupakan proses pengaturan data dan mengorganisasikannya ke dalam suatu pola. Dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara deskriptif. Metode ini digunakan untuk mengolah data mentah sehingga menjadi data akurat dan ilmiah.
Adapun langkah-langkah dalam metode analisis data adalah sebagai berikut:
a. Data diklasifikasikan sesuai dengan objek pengkajian;
b. Menganalisis data yang di dalamnya terdapat bahasa eufemisme BMR; c. Menginterpretasikan hasil analisis dalam bentuk tulisan yang sistematis; dan d. Memberikan kesimpulan tentang eufemisme dalam BMR.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1Tipe-tipe Eufemisme dalam BMR
Allan dan Burridge mengelompokkan tipe-tipe eufemisme yang dijumpainya dalam bahasa Inggris sebanyak 16 tipe yakni (1) ekspresi figuratif (figurative expressions), (2) metafora (metaphor), (3) plipansi (flippancy), (4) memodelkan kembali (remodelling), (5) sirkumlokasi (circumlocutions), (6) kliping (clipping), (7) akronim (acronyms), (8) singkatan (abbreviation),(9) pelesapan ( omission), (10) satu kata untuk menggantikan satu kata lain (11) umum ke khusus (general for specific), (12) sebahagian untuk keseluruhan (part
for whole euphemism), (13) hiperbola (hyperbole), (14) makna di luar pernyataan
(understatement), (15) jargon (jargon) dan (16) kolokial (qolloquial)
Berdasarkan hasil penelitian, dalam BMR hanya enam tipe yang ditemukan dari keenam belas tipe dalam bahasa Inggris tersebut. Keenam tipe yang ditemukan di atas merupakan sesuatu hal yang wajar, karena BM khususnya BMR merupakan bahasa yang sederhana. Jika kembali ke masa lampau. Dikatakan bahwa kesederhanaan BM merupakan salah satu syarat untuk diangkat menjadi Bahasa Indonesia.
Meski hanya enam tipe yang ditemukan namun ungkapan mengenai eufemisme sangat banyak dalam BMR. Sebahagian besar kata-kata ataupun ungkapan dalam BMR merupakan eufemisme. Hal ini tentu sejalan dengan budaya dalam MMR yang sangat bersopan santun dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam hal berbicar.a
Kesopan santunan ini membuat MMR enggan menyampaikan segala sesuatu dengan terus terang, untuk itu dicari kata-kata atau ungkapan yang lebih halus untuk menggantikan ungkapan yang dianggap kasar, kurang menyenangkan ataupun menyakitkan hati pendengar.
Berikut ini contoh keenam tipe eufemisme BMR tersebut, seperti: A. Ekspresi Figuratif (figurative expressions)
Eufemisme ini bersifat perlambangan, ibarat, atau kiasan. Contoh:
(1) Ketika ado jangan dimakan, lah tak ado baru dimakan.
‘Ketika ada jangan dimakan, sesudah tidak ada baru dimakan.’ Maknanya:
Sepintas kalimat di atas merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Karena sesuatu yang dimakan itu adalah ketika memiliki makanan, dan tidak bisa memakan sesuatu yang tidak ada kita miliki. Namun, bila kita teliti lebih mendalam, eufemisme ini merupakan nasihat jitu yang harus dilaksanakan agar kita terhindar dari kelaparan dan kesukaran. Eufemisme ini menggambarkan sikap yang selalu hemat dalam menggunakan harta benda, senantiasa mengingat masa depan yang mungkin tidak cerah. Ia menyarankan agar kita berhemat selagi ada sehingga hasil penghematan kita itu dapat dimanfaatkan pada musim paceklik. B. Metaphor (metafor)
Metaphor adalah perbandingan yang implisit, jadi tanpa kata seperti atau sebagaidiantaranya dua hal yang berbeda.
Contoh:
(2) Kenyang lah lintah melekat di kaki. (3) Angin lalu membawa berita.
C. Satu Kata Menggantikan Kata Lain (one for one substitution) Contoh :
(4) ayam penaik rumah>anak bujang yang suka bertandang ke rumah
gadis atau sebaliknya.
(5) karambia cukia > alat kelamin perempuan D. Umum ke Khusus (general for specific)
Contoh:
(6) gunting> alat yang dibutuhkan untuk keperluan menjahit (7) berisi> masih gadis
(8) burung salah nama> burung punai E. Hiperbola (hyperbole)
Hiperbola adalah ungkapan yang melebih-lebihkan apa sebenarnya dimaksudkan, seperti jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya.
Contoh:
(9) Cintaku tak mungkin luntur
(10) Akan kubawa nama kanda sampai ke liang kubur. F. Kolokial (colloquial)
Contoh:
(11) datang bulan > haid
4.2 Fungsi Eufemisme
Berdasarkan hasil penelitian, eufemisme dalam BMR berfungsi untuk: 1. Sapaan
2. Menghindari tabu 3. Menyatakan cara 4. Menyatakan situasi
4.2.1 Sapaan (untuk Menjaga Hubungan) A. Nama Tuhan
Sebagai umat yang beragama MMR yang dikenal ketaatannya dalam menjalankan agama yang dipeluknya, yakni agama Islam, selalu menjaga hubungan baik dengan sang pencipta, yakni Tuhan. Dengan demikian, sudah menjadi hal yang tidak asing lagi dalam BMR, banyak ditemukan nama untuk menggantikan kata Tuhan yang digunakan dalam situasi resmi, maupun situasi tidak resmi yakni dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya Allah azza wazalla,
Nur Ilahi Robbi, Bismillah, dan sebagainya.
B. Nama Orang yang Didasarkan kepada Perbedaan Umur, Gender Latar Belakang Sosial, dan Fungsi Sosial
MMR sangat menghargai sopan santun dalam masyarakat.Salah satu hal dari perwujudan sopan santun itu ialah menyapa orang lain.Dalam MMR sangat dipantangkan memanggil nama seseorang yang lebih tua dari penutur. Yang
terutama harus dilihat sebelum menyapa yakni umur dan jenis kelamim seseorang. Apakah lebih tua atau lebih muda dari penyapa kepada orang yang lebih tua usianya dari penutur akan disapa dengan abahjika laki-lakidan akak jika perempuan. Jika usia seseorang tersebut lebih tua dari usia penutur, maka dipanggil uwak, jika lebih muda usianya dari orang tua si penutur,maka si penutur akan memanggilnya dengan pakcik jika laki-laki, dan makcik jika perempuan.
Masyarakat Melayu tersusun dari peringkat yang paling bawah yaitu rakyat jelata. Sistem sosial dalam masyarakat Melayu yakni sistem susunan lapis dan pelapisan masyarakat. Urutan yang paling tinggi berada pada raja dan sultan, selanjutnya rakyat berada di bawahnya.
Selain itu merupakan hal yang penting diperhatikan. Dalam masyarakat Melayu panggilan kepada seseorang didasarkan urutan kelahiran. Anak pertama harus disebut ulung, ulong, long, iyung ataupun yong. Anak kedua disebut ngah atau angah, anak ketiga disebut alang, anak keempat disebut uda , anak kelima disebut andak , anak keenam disebut uteh, anak ketujuh disebut itam ,anak kedelapan disebut acik atau cik, anak kesembilan disebut ucu atau bungsu. Sebutan itu berlaku umum kecuali sapaan terhadap anak-anak.
C. Nama Binatang Buas
Ternyata hubungan baik tidak saja kepada sang pencipta ataupun kepada sesama umat manusia, yang harus dijaga juga hubungan baik tersebut.Untuk itu, ada nama-nama tertentu pada hewan yang tidak dibenarkan disebut sesuka hati, karena ia dapat marah .
Kata ular harus diganti dengan kata akar.
Jika di dalam laut agar ia tidak menggigit ataupun mengejar
Kata harimau jika berada didalam hutan, harus diganti dengan kata nenek ataupun datuk.
4.2.2 Menghindari Tabu
Sesuatu yang tabu merupakan suatu hal yang tidak boleh dilanggar karena akan menyebabkan sesuatu terjadi pada diri kita yang melanggar tabu tersebut . Misalnya kata kapur tabu diucapkan pada malam hari karena jika kata tersebut diucapkan maka penyakit akan menimpa terutama terhadap anak-anak dari keluarga yang mengucapkanya . Sebagai gantinya digunakan kata tahi
burung . Kata minyak tabu diucapkan pada malam hari karena jika diucapkan akan
mendatangkan bahaya kebakaran, sebagai gantinya digunakan kata air.
Berbeda halnya dengan eufemisme, jika seseorang melanggar atau tidak menggunakannya, maka akibatnya berupa sanksi sosial, yakni dikatakan tidak sopan, tidak tahu adat. Sesuatu yang ditabukan dipastikan masuk ke dalam eufemisme, namun sebaliknya eufemisme tidak dapat dikatakan tabu.
Menurut Allan dan Burridge dalam bahasa Inggris ada 9 hal yang ditabukan, sedangkan di dalam bahasa Indonesia ada 7 yakni: (1) bahagian tubuh, (2) seks, (3) haid, (4) cacat mental atau tubuh (5) yang dibuang/dikeluarkan dari tubuh (6) kematian, sedangkan tiga lagi yakni tabu terhadap bagian tubuh, penyakit dan seni tidak ditemukan.
Terdapat kata-kata tabu pada bahagian tubuh khusus dalam BMR. Contoh:
Kata conek ‘alat kelamin laki-laki’ sangat keras ditabukan. Sebagai gantinya dipakai kata burung dengan makna kandungan yaitu burung di dalam celana.
Kata pantek ‘alat kelamin perempuan’ juga ditabukan, sebagai gantinya digunakan kata ayam atau kata kerambil ‘kelapa’.
Kata tetek ‘buah dada’ sangat keras ditabukan dalam MMR. Tidak ada pengganti untuk itu. Penghindaran penyebutan bentuk itu berkaitan dengan penghormatan atau sikap santun pada bahagian tubuh yang menjadi pusat penyaluran makanan manusia pada awal kehidupannya.
B. Tabu dalam Bidang Seks
BMR sebagaimana halnya dengan bahasa-bahasa lain di dunia, bahwa kata-kata yang mengarah ke bidang seks dianggap sesuatu yang tabu. Contoh: kata malam pertama digunakan untuk menggantikan kata pengantin yang telah melakukan hubungan badan sebagai suami istri untuk pertama kalinya. Kata hubungan suami istri sangat ditabukan untuk disebut, maka sebagai gantinya digunakan kata gunting. Kata perawan untuk menyatakan seorang istri yang masih gadis pada malam pertama juga ditabukan disebut, sebagai gantinya digunakan kata berisi.
C.Tabu di Bidang Kesehatan
Kata haid dalam BMR juga ditabukan. Seorang wanita akan merah mukanya menahan malu jika dikatakan ia sedang haid. Sebagai penggantinya digunakan kata datang bulan atau sering juga disebut tamu bulanan. Hal ini
disebutkan demikian karena datangnya sekali dalam satu bulan bagi wanita yang normal kesehatannya.
D. Tabu Atas Cacat Mental dan Tubuh.
Cacat mental merupakan suatu hal yang tabu untuk diceritakan dalam MMR. Jika ingin mengetahui kebenaran dari cerita yang didengar menyangkut cacat mental seseorang, maka ia sangat ditabukan untuk menanyakan langsung kepada keluarga yang bersangkutan. Ia harus menanyakan kebenaran cerita itu kepada orang lain yang dipercayainya. Dengan ungkapan terganggu ingatan untuk menggantikan kata gila yang bermakna cacat mental dalam BMR.
Sama halnya dengan cacat mental ‘cacat pada anggota tubuh’ yang lainnya juga sangat ditabukan dalam BMR. Kata pincang ‘cacat anggota tubuh’ pada kaki. Sebutan buta untuk mata, bengang (turiak);pakak untuk cacat pendengaran, dan sebagainya. Yang berhubungan dengan cacat pada anggota tubuh sangat ditabukan untuk disebutkan. Keseluruhan kata itu dapat digantikan dengan kata berubah.
(11) sudah berubah den tengok kakinyo tu
(12) Iao, sudah tak elok den tengok doh. Kena apo kakinyo tu?
E .Tabu Atas yang Dibuang/yang Dikeluarkan Tubuh
Ada hal-hal yang tabu untuk dibicarakan pada bahagian tubuh atau yang dibuang atau yang dikeluarkan tubuh . Contoh bere ’buang air besar’ sangat tabu diucapkan, dianggap sangat tidak sopan jika seseorang mengucapkan kata Awak
Kata kencing juga sangat ditabukan untuk diucapkan, sebagai gantinya digunakan kata kemeh.
Contoh .
Adekmu ingin kemeh kebelakang.
F . Tabu Atas Kematian
Mati yang melenyapkan semua kenikmatan dari dalam dunia sangat ditabukan untuk disebut-sebut. Orang tua sangat marah sekali jika ia mengetahui anaknya menyebut-nyebut katamati, apalagi meminta untuk mati. Dalam BMR kata matidiganti dengan pulang atau udah duluan.
4.2.3 Cara Eufemisme Digunakan
Untuk mengatakan cara eufemisme, digunakan strategi komonikasi. Contoh:seorang tamu yang sangat haus, ketika sudah berbicara panjang lebar belum juga melihat tuan rumah akan menyediakan minuman, maka ia akan berkata sebagai berikut:
(15) Ape mati aer disini?
Ungkapan itu sangat halus bila dibandingkan dengan ungkapan yang sama maknanya tapi membuat tuan rumah akan kehilangan muka, seperti:
(16) Awak udah haus kali ne, bagilah minom.
Contoh berikut ini juga menunjukkan strategi komunikasi yang digunakan untuk menyatakan cara. Contoh:Aminah memerlukan bantuan Badu untuk
4.2.4 Menyatakan Situasi
Terdapat dua hal yang penting untuk menyatakan situasi yakni: A. Situasi Resmi
Situasi resmi yang dalam hal ini diwakili oleh dua hal yakni dalam acara (1) perkawinan, dan(2)kematian.Untuk dapat diketahui dengan jelas perhatikanlah contoh berikut ini.
Contoh:
(18) Ampun datuk,
Nikah dimaksud sebelum mengetam Langsung mahar setengah bagian Jumlah genap 64 ringgit
Tepat pada tujuh Sya’ban
Contoh (18)menunjukkan situasi resmi yakni suatu rangkaian dari acara perkawinan, untuk menetapkan hari aqad nikah yakni pada tujuh Sya’ban. Tempat dilaksanakan aqad niah yakni di rumah mempelai perempuan. Situasi resmi ini dapat pula dijumpai pada acara kematian, berupa kata-kata yang dapat diwakili dengan kalimat berikut.
(19) Raja mangkat, raja menanam.
Raja meninggal raja menanam.
Hanya pada saat upacara kematian saja dapat dijumpai ungkapan yang berbunyi (19). Jadi, pada saat raja wafat langsung dilantik pengganti raja, yang tugas pertamanya dimulai dengan pemimpin acara kematian raja yang digantikannya .
B. Situasi Penggunaan Tidak Resmi
Dua peristiwa yakni perkawinan dan kematian telah mewakili penggunaan situasi secara resmi dalam eufemisme. Sedangkan situasi yang tidak resmi terdapat dalam kehidupan sehari hari. Misalnya jika seseorang berjumpa ‘ular’ di dalam laut tidak boleh disebut ular. Harus digantikan dengan kata akar atau kayu. Menurut kepercayaan Masyarakat Melayu Serdang (MMS) jika seorang menyebut nama ‘ular’, maka ular tersebut akan menggigit ataupun mengejar. Kata ‘harimau’
Tidak dibenarkan disebut jika berada di dalam hutan sebagai gantinya harus disebut nenek atau datuk.
Selain hal di atas, tabu (pantang) disebut ‘nama orang tua’. Hal ini dilakukan agar nama orang tua tetap dihormati. Sebagai gantinya disebut ayah untuk ‘orang tua laki-laki’, dan emak untuk ‘orang tua perempuan’.
Kata ‘kapur’ juga ditabukan penggunaannya terutama di malam hari. Kata itu harus diganti dengan kata tai burung, agar tidak menimbulkan bencana sakit bagi yang menyebutnya.
Kata ‘jarum’ dihindari menyebutnya pada malam hari, sabagai penggantinya digunakan kata tombak, sesuai dengan sifat benda itu yang tajam. Masyarakat penutur BMS percaya bahwa jika barang tersebut diucapkan namanya maka kerugian dalam perdagangan akan menimpa. Sama halnya dengan kata minyak lampu yang tidak boleh disebutkan pada malam hari, karena akan mendatangkan bahaya kebakaran. Sebagai penggantinya digunakan kata aer.
4.3 Makna Eufemisme
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam metode analisis data, bahwa untuk menentukan makna digunakan kajian pragmatik. Dengan tahap yakni menjelaskan makna sesuai dengan konteks yang meliputi : (1) penutur dan lawan tutur, (2) konteks tuturan, (3) tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, (4) tujuan tuturan, dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal.
4.3.1 Penutur dan Lawan Tutur
Konsep ini mencakup penulis dan pembaca bila tuturan yang dijadikan objek dikomunikasikan dengan media tulisan. Ada empat aspek penting yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini yakni : usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban. Untuk lebih jelasnya perhatikan tuturan berikut ini.
Tuturan dalam BMR (20) Sireh besusun pinang belonggok Tepak berbaris menunggu sape Anak beru menunggu izin
Dari keluarge Datok Husny mulie
TDBI (20) Sireh besusun pinang berlonggok Tepak berbaris menunggu sapa Anak beru menunggu izin
Tuturan dalam BMR (21) Ampun Datok,
Seperti sireh pulang ke gagang Seperti pisang pulang ke tampok Tak ade raje menolak sembah Hidup dikandung adat
Mati dikandong tanah Lembage diisi adat dituang
TDBI (21) Ampun Datok,
Seperti sirih pulang ke gagang Seperti pisang pulang ke tampuk Tak ada raja menolak sembah Hidup dikandung adat
Mati dikandung tanah Lembaga diisi adat dituang
A. Usia Penutur dan Lawan Tutur
Tuturan di atas dikutip dari sebahagian pantun dalam rangkaian acara peminangan. Tuturan tersebut dituturkan oleh penutur (telangkai) yang berusian sekitar 40-an, diambil dari rata rata usia penutur dalam acara adat, khususnya acara perkawinan Meskipun kadang-kadang dijuimpai penutur yang berusia sekitar 50-an, namun ini jarang terjadi. Hal ini disebabkan banyaknya rangkaian acara yang harus diikuti dalam acara perkawinan, mulai dari merisik, meminang, mengantar, menikah, dan bersanding. Untuk itu maka dipilih usia 40-an suatu usia
yang dianggap sudah matang dari segi fisik dan mental untuk mengikuti rangkaian acara yang sedemikian banyak tersebut.
Sama halnya dengan usia penutur, usia lawan tutur pun rata-rata berkisar 40-an. Pada umumnya pihak yang ikut ambil bagian dalam acara tersebut hanya yang sudah berumah tangga. Kecuali dalam acara mengantar diikutkan seorang anak dara, dan seorang anak lajang, masing masing mereka akan mengiringkan pengantin.
B. Latar Belakang Sosial Ekonomi Penutur dan Lawan Tutur
Pada umumnya latar belakang sosial ekonomi penutur dan lawan tutur yakni menengah ke atas. Sebagaiman hal yang sudah umum diketahui bahwa hanya golongan kelas menengah ke atas yang mempunyai waktu untuk mengikuti acara-acara adat. Kelas ekonomi menengah ke bawah, pastilah disibukkan oleh tuntutan kebutuhan hidup yang harus mau tidak mau dipenuhinya seharian penuh, sehingga tidak memungkinkannya lagi untuk mengikuti rangkaian acara yang demikian rupa.
C. Jenis Kelamin Penutur dan Lawan Tutur
Sesuai aturan dalam agama islam yang dianut oleh masyarakat Melayu, dimana kaum lelaki ditempatkan sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Maka dalam acara adat , seperti perkawinan , dimana penutur dianggap sebagai pemimpin dalam acara tersebut, begitu juga dengan lawan tutur, keduanya berjenis kelamin laki-laki. Belum pernah ditemukan penutur dalam acara adat berjenis kelamin perempuan.
D. Tingkat Keakraban Penutur dan Lawan Tutur
Tingkat keakraban penutur dan lawan tutur pada tuturan di atas, dikatakan tidak akrab. Penutur dan lawan tutur baru saling berkenalan pada acara tersebut berlangsung. Hal ini diketahui dari tuturan, (20) Anak beru menunggu izin, dari
keluarge Datok Husny mulie, jika hubungan antara penutur dan lawan tutur sudah
akrab, biasanya nama tidak lagi disebutkan pada acara tersebut.
4.3.2 Konteks Tuturan
Austin (1962), dalam Wijana (1996:24-25) mengatakan bahwa konteks tuturan harus memenuhi tiga syarat (1) orang yang mengutarkan dan situasi pengutaraan harus sesuai, (2) tindakan harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh penutur dan lawan tutur, (3) penutur dan lawan tutur harus memiliki niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan tindakan itu.
A. Orang yang Mengutarakan dan Situasi Pengutaraan harus Sesuai
Tuturan dalam BMR (22) Kalau die kene isok teketawaran lagi, jangan dilanggar pantang, macam-macam saje isok tibe, ke atas te bepucok, ke bawah te berakar, ne bukan kate ambe, tapi kate orang halus
TDBI (22) Kalau dia kena nanti, tidak dapat dibantu lagi, jangan dilanggar pantang, macam-macam saja nanti ke atas tidak berpucuk ke bawah tidak berakar, ini bukan kata penulis tapi kata orang halus
Diperlihatkan dari Tuturan (22) di atas bahwa syarat 1, telah dipenuhi yakni kesesuaian antara orang yang mengutarakan dan situasi pengutaraan. Tuturan (22) Dikatakan bahwa kesesuaian itu dapat dipenuhi di sini karena tuturan dalam konteks (22) di atas dituturkan oleh pawang laut pada acara jamu laut, bertempat di pinggir pantai. Acara ini merupakan peninggalan animisme berupa kepercayaan dalam masyarakat untuk mempersembahkan kepada penunggu laut, agar hasil-hasil dari laut melimpah ruah.
B. Tindakan Harus Dilakukan Secara Sungguh-sungguh oleh Penutur dan Lawan Tutur
Tindakan yang dilakukan oleh pawang laut dalam hal ini sebagai penutur, juga diyakini secara sungguh-sungguh oleh lawan tutur dalam hal ini masyarakat yang hadir dengan cara mematuhi pantangan yang telah disebutkan penutur (22)
kalau die kene isok, teketawaran lagi... Semua masyarakat sebagai lawan tutur
yakin bahwa jika mereka melanggar pantangan tersebut, maka mereka tidak dapat disembuhkan lagi.
C. Penutur dan Lawan Tutur Harus Memenuhi Niat yang Sungguh-sungguh Untuk Melakukan tindakan
Tuturan berikut ini menunjukkan bahwa hal itu terlaksana, sehingga tuturan berikut ini dikatakan valid.
Tuturan dalam BMR (23) Sedeh sunggoh anak piatu Tiade beharte diri dibenci Adat rumah tentu bepintu Adat pintu tetap bekunci
Tidak berharta diri dibenci Adat rumah tentu berpintu Adat berpintu tentu berkunci Tuturan dalam BMR (24) Kalau rumah tide berpintu
Dimane arah boleh disingkup Kalau puan kate begitu Inilah kunci due serangka
TDBI (24) Kalau rumah tidak berpintu
Dimana arah boleh disingkap Kalau puan kata begitu Inilah kunci dua serangkap
Niat penutur dan lawan tutur memang terlihat sungguh-sungguh untuk melakukan tindakan yakni memenuhi janji berupa (uang hempang pintu) yang telah mereka tetapkan bersama. Dalam konteks ini niat memberi kunci (uang hempang pintu) yang diberikan dengan ikhlas oleh penutur telah diterima dengan ikhlas pula oleh lawan tutur. Keikhlasan tersebut tercermin dengan dipenuhinya pemberian tersebut, Inilah kunci dua serangkap.
4.3.3 Tujuan Tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu (wijana,1996:11). Bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyampaikan maksud yang sama. Sebaliknya berbagi macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama.
Tuturan dalam BMR (25) same umor dah setahun jagung (26) same darah setampok pinang (27) same akal lumboh ke luar
TDBI (25) sama umur sudah setahun jagung (26) sama darah setumpuk pinang (27) sama akal tumbuh ke luar
Tuturan (25), (26), (27), meski disampaikan dalam bentuk yang berbeda-beda, namun ketiga bentuk tuturan tersebut mempunyai makna yang sama yakni menyatakan ‘usia yang masih muda’.
Selanjutnya, berbeda halnya dengan kata mendai, jika diucapkan dalam berbagai variasi dan situasi yang berbeda-beda dapat berarti : (1) mengejek seseorang yang kelakuannya kurang baik, lihat tuturan (8) berikut ini :
Tuturan dalam BMR (28) Mendai betol peelmu. TDBI (28) Bagus benar kelakuanmu.
Kata mendai juga dapat diartikan (2) sebagai kelakuan yang baik, lihat tutura (29) berikut ini.
Tuturan dalam BMR (29) Mendai betol kelakuan subang ne genari. TDBI (29) Bagus benar kelakuan subang ini sekarang Kata mendai dapat juga berarti (3) ‘kabar baik’ contoh perhatikan tuturan (30). Dan jawaban tuturan pada no (31), berikut ini.
Tuturan dalam BMR (30) Maye kabarmu genari ? (31) Mendai
TDBI (30) Apa kabarmu sekarang ? (31) Bagus
Dari tuturan no (31) jelas diketahui bahwa kata mendai diartikan sebagai kabar baik.
4.3.4 Tuturan Sebagai Bentuk Tindakan Atau Aktivitas.
Hal ini menyangkut penutur, lawan tutur, tempat, dan waktu diselenggarakannya tuturan.
Tuturan dalam BMR (32) Lancang kuning belayar malam Arus deras karangnye tajam Jike mualem kurang paham Alamat kapal akan tenggelam
TDBI (32) Lancang kuning berlayar malam Arus deras karangnya tajam Jika mualim kurang paham Alamat kapal akan tenggelam
Penutur pada tuturan di atas yakni telangkai, yakni utusan dari pihak pengantin perempuan. Tuturan itu ditujukan kepada pihak mempelai pria sebagai sindiran agar ia berhati-hati dalam menjalankan kehidupan rumah tangga yang akan dijalaninya.Pria sebagai kepala rumah tangga akan sangat menentukan sekali dalam kelanggengan rumah tangga yang dipimpinnya.Tempat tuturan dilangsungkan yakni di rumah mempelai wanita, dan waktu berlangsung acara ini ialah pada siang hari, setelah akad nikah dilaksanakan.
4.3.5 Tuturan Sebagai Bentuk Tindak Verbal
A. Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung
Penggunaan suatu kalimat secara konvensional sesuai dengan fungsinya. Misal kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu, kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah digunakan untuk memerintah sesuatu. Perhatikan contoh berikut.
Tuturan dalam BMR (33) Kami orang jauh di sungai (34) Bolehkah bunga kalau dipetik ? (35) Mari kite bersantap
Tindak tutur tidak langsung dapat dibentuk dari kalimat perintah, yang diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya dimaksudkan untuk memperhalus perintah tersebut.
Tuturan dalam BMR (36) Teruna sudah lelah (37) Kemane anak mas te ?
TDBI (36) Teruna sudah lelah
(37) Kemana anak emas tersebut ?
Tuturan (36) bila diucapkan kepada panitia acara itu berarti memerintahkan agar acara dipercepat karena pengantin pria telah lelah. Berikutnya tuturan (37) bila diucapkan kepada lawan tutur dimaksudkan untuk memerintah agar lawan tutur mencari anak ke penulisngan yang sedang tidak berada di tempat.
Tindak tutur tidak langsung, tidak dapat dijawab secara langsung, namun memerlukan tindakan yang segera harus dilaksanakan.
Tuturan dalam BMR :
(38) Maaf ye,Abang dak berangkat ne.
(39) Ielah,patek pun dak mengorak sile lah ne. TDBI (38) Maaf ya Abang akan berangkat.
(39) Oh ya, penulis pun mohon dirilah.
Dari uraian di atas skema penggunaan modus kalimat, dalam hubungannya dengan tindak tutur digambarkan oleh Wijana (1996:32) sebagai berikut :
Tabel 7 :
Penggunaan Modus Kalimat dalam Hubungannya dengan Berlangsungnya Tindak Tutur
Modus Tindak Tutur
Langsung Tidak Langsung
berita memberitakan menyuruh
tanya bertanya menyuruh
perintah memerintah -
B. Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal
Tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya disebut tindak tutur literal, sedangkan tindak tutur yang maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya disebut tindak tutur tidak literal.
Tuturan dalam BMR :
(40) Pelukis ian lukisannye bagus.
(41) Lukisanmu bagos, tapi usahko ngelukis. (42) Tapenye kuatke awak dak nyatat lagu ne.
(43)Tapenye tide kuat, Tolong kuatkue awak endak belajar. TDBI : (40) Pelukis itu lukisannya bagus.
(41) Lukisan mu bagus, tapi tidak usah kau melukis. (42) Tapenya keraskan! Penulis ingin mencatat lagu.
(43) Tapenya kurang keras, tolong keraskan lagi akau mau belajar.
Tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung disinggungkan (diinterseksikan) dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, maka akan didapatkan variasi berikut ini :
1. Tindak tutur langsung literal 2. Tindak tutur tidak langsusng literal 1. Tindak tutur langsung tidak literal 2. Tindak tutur tidak langsung tidak literal C.Tindak Tutur Langsung Literal
Tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya disebut tindak tutur langsung literal. Perhatikan contoh berikut (42) dan (43).
Tuturan dalam BMR:
(44) Kami dengar Datok orang arif, orang bijaksane (45) Bolehkah bunge kalau dipetik ?
Tuturan (44) dan (45) merupakan tindak tutur langsung literal karena dimaksudkan menyatakan bahwa orang yang dibicarakan sangat pandai (46), sedangkan tuturan (47) dimaksudkan untuk menanyakan apakah anak gadis boleh
dipinang.Maksud memberitahukan diutarakan dengan kalimat berita, maksud bertanya diutarakan dengan kalimat tanya.
D. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal
Tindak tutur yang diungkapkan dengan maksud yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur disebut tindak tutur tidak langsung literal. Maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya. Perhatikan tuturan (47), dan (48) berikut ini :
Tuturan dalam BMR (47) + Rumah ne tide disapu.
- le lah, biar awak sapu genari.
(48) + Kemane bunge tenan ?
- Sekejap ye ,awak carike.
TDBI (47) + Rumah ini tidak disapu.
- Ialah, biar penulis sapu sekarang. (48) + Kemana anak gadis tadi pergi ?
- Sebentarlah, penulis carikan. E. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
Tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya disebut tindak tutur langsung tidak literal.
Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah, dan maksud menginformasikan diungkapkan dengan kalimat berita. Untuk jelasnya perhatikan contoh di bawah ini :
Tuturan dalam BMR (49) Suaremu merdu betul
(50) Kalau duduk biar nampak sopan, naikke kakimu
Tidak tutur langsung tidak literal yang dimaksudkan penutur pada (49) yakni untuk menyatakan bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus. Sementara tuturan (50) penutur menyuruh lawan tuturnya untuk tidak menaikkan kaki saat duduk agar terlihat sopan.
Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act) yakni tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Untuk menyuruh anak menyapu lantai yang kotor, ibu bisa menggunakan tuturan (51). Demikian juga bila hendak menyuruh adik untuk mengecilkan volume televisi, penutur dapat mengutarakan kalimat berita dan kalimat tanya (52), dan (53) berikut ini :
Tuturan dalam BMR (51) Lantainye bersih betol
(52) Televisinye telalu pelan,tide kedengaran
(53) Ape radio yang pelan begian dapat engko dengar?
Penutur bahasa umumnya menggunakan dua jenis makna yakni makna harfiah dan makna tidak harfiah. Makna harfiah merupakan makna yang sama dengan makna bahasa, sedangkan yang dimaksud dengan makna tidak harfiah yakni makna yang berbeda dengan makna bahasa.
Dibicarakan mengenai makna pada awal pembahasan ini karena untuk mengindentifikasi dan mengelompokkan tipe-tipe eufemisme dalam BMS terlebih dahulu harus dilihat status maknanya.
Apakah makna pada kata tersebut harfiah atau tidak. Jika makna pada suatu kata merupakan makna tidak harfiah, maka kata tersebutlah yang diduga
(cenderung) eufemisme. Selanjutnya, kata-kata yang diduga (cenderung) eufemisme ini bukan berarti sudah dapat dikategorikan ke dalam eufemisme. Harus dilihat pula apakah makna pada kata tersebut mengandung unsur halus, sopan, ataupun merupakan penghindaran terhadap kata-kata yang dianggap tabu. Jika salah satu unsur sebagaimana yang telah disebutkan tadi terpenuhi, barulah kata-kata ini dapat digolongkan ke dalam eufemisme.Hal inilah yang mengakibatkan semua aspek kehidupan dalam BMR banyak di sampaikan dengan eufemisme.
Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi budaya maka MMR tidak saja menghargai keberadaan dirinya, namun mengharigai sang pencipta dan makhluk lain yang diciptakan-Nya.Salah satu hal yang merupakan perwujudan dari menghargai yang diciptakan di luar dirinya dapat dilihat dalam penggunaan terhadap sapaan.MMR tidak dapat langsung menyapa seseorang, ada tiga hal yang penting yang harus diperhatikannya sebelum menyapa yakni sebagai berikut : (1) usia, (2) jenis kelamin, (3)urutan kelahiran.
Usia menentukan seseorang untuk disapa, apakah usia di atas pesapa, di bawah atau sebaya dengan pesapa. Apakah usia di atas orang tua pesapa, di bawah atau sebaya dengan orang tua pesapa.Meski seseorang sudah diketahui keberadaan usianya, harus diketahui jenis kelamin pesapa. Seseorang yang berada di atas pesapa harus di panggil akak atau abah, untuk itu usia dan jenis kelamin sangat menentukan di sini.
Tidak hanya kedua hal di atas yakni usia dan jenis kelamin yang harus dilihat, tetapi juga urutan kelahiran sangat menentukan dalam BMR. Seseorang tidak saja disapa dengan uwak, abah atau akak harus jelas uwak yang mana? Wak
yong, wak ngah, wak alang, dan seterusnya sesuai urutan kelahiran. Demikian juga untuk abah dan akak. Jadi urutan ini umum sifatnya untuk seluruh sapaan.
Sebagai masyarakat yang taat dalam menjalankan aturan agama, maka sapaan untuk Tuhan sangat banyak ditemukan dalam BMR. Dalam hal ini sesuai dengan agama islam satu-satunya agama yang dianut masyarakat Melayu. Untuk itu sapaan kepada Tuhan diambil dari ajaran agama Islam yang didasarkan pada bahasa sumbernya yakni bahasa Arab.
Kepada makhluk ciptaan Tuhan harus dijaga hubungan sosial, jangan sampai makhluk tersebut marah sehingga mengakibatkan terganggunya kelangsungan hidup yang penuh tentram dan harmonis. Untuk itu dijumpai sapaan terhadap binatang seperti ‘ular’ yang harus di sapa dengan akar agar ia tidak menggigit dan mengejar, ‘harimau’ disapa dengan datuk dan juga ‘lipan’ disapa dengan pengantin. MasyarakatMelayu Riau merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi adat istiadat yang secara turun temurun diuraikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Adat istiadat itu dipelihara dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu hal dari adat istiadat tersebut dijumpai larangan-larangan yang merupakan ‘tabu’ yang harus dihindari disebabkan dalam MMR diyakini bahwa siapa pun yang berani melanggar larangan tersebut akan datang bencana (bala) baik kepada dirinya, keluarganya maupun masyarakt sekitarnya.
Berbeda halnya jika seseorang yang tidak menggunakan pemakaian eufemisme dengan tepat, maka hanya ia yang dianggap sebagai orang yang tidak tahu bersopan santun atau tidak mempunyai adat. Hal ini menyebabkan
masyarakat Melayu khususnya MMR lebih merasa takut jika melanggar larangan tabu, dibandingkan bila ia melanggar larangan eufemisme.
Makna dalam eufemisme dikaji dari sudut pandang pragmatik karena menentukan makna tergantung pada konteks. Hanya dari kontekslah dapat diketahui makna yang terkandung dalam kalimat maupun ucapan seseorang. Ada lima hal yang dikaji untuk menjelaskan makna eufemisme yakni :
a. penutur dan lawan tutur yang mencakup : (1) usia diperkirakan 40 tahun. Hal ini mengingat banyaknya rangkaian acara yang harus diikuti dengan aktif , (2) latar belakang sosial ekonomi menengah ke atas. Penutur yang kelas ekonominya menengah kebawah tidak dapat mengikuti dan aktif. Karena ia harus memenuhi nafkah keluarganya , (3) Jenis kelamin laki-laki. Tidak ada dijumpai penutur dalam acara adat perempuan, (4) tingkat keakraban ternyata tidak akrab karena baru pertama kali berjumpa pada saat itu. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan , anak beru menunggu izin, Dari keluarga Datuk Husny b. konteks tuturan. Dalam hal ini semuanya sudah terpenuhi yakni kesesuaian
antara penutur dan lawan tutur, waktu dan tempat tuturan.
c. tujuan tuturan, dapat berbeda-beda tergantung kepada maksud dan tujuan tertentu dari si penutur. Bentuk dan bermacam-macam dapat mengungkapkan maksud yang sama.
Same umur setahun jagung Same darah setampuk pinang Same akal tumbuh keluar
d. tuturan sebagai tindakan atau aktivitas. Meliputi penutur, lawan tutur, tempat dan waktu tuturan.
e. tuturan sebagai produk tindak verbal. Vandijk (1977) sebagaimana dilaporkan Astuti 2001 : 170 – Tindak tutur merupakan pusat dalam pragmatik. Itulah sebabnya jenis-jenis tuturan sangat banyak dijumpai sebagaimana yang dikemukakan berikut ini :
1. Tindak tutur langsung yakni penggunaan kalimat disesuaikan dengan fungsinya. Hal ini merupakan yang sangat biasa digunakan. Kalimat berita dipakai untuk menginformasikan sesuatu. Kalimat tanya untuk bertanya.
2. Tindak tutur tidak langsung merupakan kebalikan dari tindak tutur langsung. Kalimat berita dapat digunakan untuk bertanya atau memerintah.
3. Tindak tutur literal yakni tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya contoh. Penari Yen, bagus tariannye.
4. Tindak tutur tidak literal. Kalimat yang digunakan berlawanan dengan makna kata yang disusunnya. Mendai nilaimu, tapi usahlah engko sekolah .
5. Tindak tutur langsung literal, modus tuturan dan makna sama dengan maksud penutur. Maksud memuji digunakan mendai betul bajumu.
6. Tindak tutur tidak langsung literal, modus kalimat tidak sesuai dengan maksud pengutaraan, sedangkan makna kata sesuai dengan maksud penutur. Maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya.
Contoh : Rumahne kotor
7. Tindak tutur langsung tidak literal, modus kalimat sesuai dengan tuturan kata-kata tidak mempunyai maksud yang sama dengan maksud penutur.
Contoh :
Biar nampak cantikmu, usah ko berbedak.
Maksudnya pakailah bedak, agar engkau kelihatan cantik.
8. Tindak tutur tidak langsung tidak literal, modus dan makna kalimat tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan.
Contoh : seorang ibu yang akan menyuruh anaknya mengecilkan tape ketika sedang belajar mengatakan,
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Umumnya eufemisme banyak dijumpai dalam BMS sehingga tidak salah bila dikatakan sebahagian besar kata-kata atau ungkapan terdiri dari eufemisme dalam BMR. Hal ini sesuai dengan budaya MMR yang antara lain sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip sopan santun. Ketinggian dalam bersopan santun menyebabkan terdapat keengganan untuk mengungkapkan hal hal yang tidak disenangi ataupun untuk menegur orang lain secara terus terang. Untuk itu, dicarilah kata-kata tertentu yang dapat mengungkapkan perasaan tanpa harus menyinggung perasaan orang yang di tegur, yakni ungkapan eufemisme.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tipe eufemisme dalam BMR ada sebanyak 6 tipe, yakni: (1) ekspresif figuratif (figurative expressions) , (2) metaphor (metafor), (3) satu kata menggantikan kata lain (one for one
substitution), (4) umum ke khusus (general for specific), (5) hiperbola
(hyperbole), dan (6) kolokial (colloquial).
Fungsi eufemisme dalam BMR ada 4 yakni : (1) fungsi sapaan, (2) menghindari tabu, (3) menyatakan cara, dan (4) menyatakan situasi. Khususnya pada fungsi sapaan dalam BMR urutan kelahiran seseorang sangat menentukan untuk disapa.
Makna dalam Eufemisme dikaji dari sudut pandang pragmatik karena merupakan makna tuturan. Makna ujaran seseorang sangat bervariasi tergantung dari berbagai aspek.Makna dapat dijelaskan sesuai dengan konteks yang meliputi: (1) penutur dan lawan tutur, (2) konteks tuturan, (3) tuturan sebagai bentuk
tindakan atau aktivitas, (4) tujuan tuturan, dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal.
6.2 Saran
Mengingat hampir sebahagian besar kata dan ungkapan terdiri dari eufemisme dalam BMS. Namun di sisi lain generasi muda Melayu (GMM) sebagai generasi penerus pada umumnya tidak lagi menggunakan eufemisme dalam berbicara, maka segera harus diambil langkah-langkah agar bahasa Melayu Riau tetap dipakai oleh masyarakat Riau. Revitalisasi perlu dilakuan jika tidak menginginkan kehilangan eufemisme dalam BMR yang merupakan salah satu bahagian dari budaya bangsa.