• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Penataan Ruang dan Implikasinya Terhadap Interaksi, dan Hirarki Sosial Manusia Masa Lampau pada Situs Gunung Kawi, Kabupaten Gianyar, Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pola Penataan Ruang dan Implikasinya Terhadap Interaksi, dan Hirarki Sosial Manusia Masa Lampau pada Situs Gunung Kawi, Kabupaten Gianyar, Bali"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

339 Pola Penataan Ruang dan Implikasinya Terhadap Interaksi, dan Hirarki Sosial

Manusia Masa Lampau pada Situs Gunung Kawi, Kabupaten Gianyar, Bali

Dani Sunjana1, I Wayan Ardika2, I Wayan Srijaya3

123Prodi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Unud

1[e-mail: danisunjana@gmail.com] 2[e-mail: Ardika52@yahoo.co.id] 3[e-mail:

srijaya59@yahoo.co.id] *Corresponding Author

Abstract

Gunung Kawi Site is the biggest site from Hindu Buddhist period in Bali. This site located in Banjar Penaka, Tampaksiring Village, Tampaksiring District, Gianyar Region. This research highlight the spatial arrangement pattern and its implication to social interaction and social hierarchy of the ancient community settled the site in the past.

Gathered data techniques used were observation, bibliographical study, and interview while the analysis including Nearest Neighbor Analysis and contextual analysis. To enrich the interpretation, The Social Logic of Space Theory and Post-Procesual Theory were used with the basic theory of agency - class a la Pierre Bourdieu and Anthony Giddens, and discipline and power/knowledge theory a la Michel Foucault.

Based on the research, spatial arrangement pattern of Gunung Kawi site shows the clustered pattern in site scale. In subsite scale the spatial arrangement generally show linear pattern which combined with clustered pattern. The clustered pattern used in Gunung Kawi site shows the space diferentiation of social classes. This pattern was also implicated on the social interaction bordering and causing social hierarchy. The social interaction bordering made in space regionalisation which was the form of disciplinisation of the ancient ascetic community setlled the site in the past. The social hierarchy develoved from the spatiality of the site is a materialization form of social status and knowledge difference.

Key Words: Spatial Arrangement Pattern, Social Interaction, Social Hierarchy

1. Pendahuluan

Kajian arkeologi ruang merupakan salah satu studi khusus yang menitikberatkan perhatian pada pengkajian dimensi ruang (spatial) dari benda atau situs arkeologi daripada pengkajian atas dimensi bentuk (formal) dan dimensi waktu (temporal). Kajian ini, meskipun berakar dari tradisi lama penelitian arkeologi, baru populer pada empat dasawarsa terakhir dan muncul sebagai bagian dari kajian arkeologi modern (Mundardjito, 2002: 2-3; Seibert, 2006: xiii). Bila dilihat dari sisi historis dan sifat pendekatannya, kajian arkeologi keruangan muncul dari dua kutub produsen teori-teori

(2)

340 arkeologi dunia, Eropa dan Amerika, serta dipengaruhi dua pendekatan rumpun keilmuan yang berbeda yaitu rumpun ilmu-ilmu alam (geografi dan ekologi) serta rumpun ilmu-ilmu sosial.

Salah satu situs arkeologi yang potensial untuk dijadikan bahan kajian arkeologi ruang dengan pendekatan sosial adalah situs candi dan pertapaan Gunung Kawi. Situs ini merupakan situs terbesar dari periode Hindu Buddha di Bali dan terdiri atas dua komponen bangunan yang berbeda yaitu pahatan candi dan ceruk-ceruk pertapaan yang dibuat pada tebing jurang. Adanya pemisahan ruang dan penataan dengan pola-pola tertentu dapat dijadikan data untuk mengetahui bagaimana jalinan interaksi sosial antara penghuninya dipengaruhi oleh tata ruang. Begitu pula gejala pemisahan ruang dapat dibaca sebagai bentuk pengorganisasian secara hirarki baik secara religius maupun sosial. Hal ini merupakan fenomena yang menarik karena berhubungan dengan bagaimana praktik sosial diaplikasikan dalam budaya material berupa situs keagamaan yang bersifat sakral.

2. Pokok Permasalahan

Penelitian ini pada dasarnya ingin menjawab beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penataan ruang pada Situs Gunung Kawi dan hubungannya dengan sosioaktivitas penghuninya pada masa lampau. Adapun beberapa permasalahan yang akan dijawab adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pola penataan ruang pada Situs Gunung Kawi?

2. Bagaimana hubungan antara pola penataan ruang dengan interaksi sosial penghuni Situs Gunung Kawi pada masa lampau?

3. Bagaimanakah hirarki sosial ruang pada Situs Gunung Kawi?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk merekonstruksi aspek perilaku budaya manusia masa lampau dalam mengorganisasikan ruang. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana pola penataan ruang dan implikasinya terhadap interaksi dan hirarki sosial manusia yang memanfaatkan ruang Situs Gunung Kawi pada masa lampau.

(3)

341 4. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan penalaran induktif yaitu penalaran yang bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus untuk kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum (Kelly, 2013: 30; Tanudirjo, 1989: 34-36). Penelitian dengan metode penalaran induktif ini bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu atau mendapatkan ide baru mengenai gejala tersebut.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif-kuantitatif. Permasalahan dalam penelitian ini akan dijawab dengan melakukan langkah-langkah penelitian arkeologi yang meliputi pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan interpretasi serta penulisan hasil penelitian (Sharer dan Ashmore, 2002: 158-160).

Penelitian ini merupakan penelitian keruangan dalam skala meso atau disebut juga sebagai penelitian keruangan intrasitus. Fokus dari penelitian ini adalah mencari hubungan antarfitur yang terdapat dalam situs sehingga didapatkan bentuk pola penataan ruang, interaksi manusia masa lalu, dan hirarki ruang sosial pada Situs Gunung Kawi, Tampaksiring, Gianyar. Analisis yang digunakan antara lain adalah Analisis Tetangga Terdekat, dan analisis kontekstual.

5. Hasil dan Pembahasan

a. Data Arkeologis Situs Gunung Kawi dan Fungsinya

Data arkeologi yang terdapat pada Situs Gunung Kawi secara umum merupakan fitur yang dipahat pada tebing-tebing batu sehingga sifatnya masih intact dengan lingkungannya. Fitur-fitur yang dimaksud berbentuk pahatan candi, ceruk-ceruk pertapaan, terowongan dan jaringan jalan, pelataran, patirthaan, dan gapura. Fitur-fitur tersebut tersebar pada lima gugusan tempat yang pada tulisan ini disebut sebagai subsitus, antara lain Subsitus Gunung Kawi A (GKWA), Subsitus Gunung Kawi B (GKWB), Subsitus Gunung Kawi C (GKWC), Subsitus Gunung Kawi D, dan Subsitus Gunung Kawi E (GKWE). Sebaran fitur pada Situs Gunung Kawi disajikan dalam tabel sebagai berikut.

(4)

342 Tabel 1 Sebaran Data Arkeologi pada Situs Gunung Kawi

No Subsitus Jumlah Fitur

PC CP TJ G PT PL Biara 1 Gunung Kawi A 4 4 1 1 0 1 0 2 Gunung Kawi B 5 5 0 0 1 1 1 3 Gunung Kawi C 0 9 0 0 0 1 0 4 Gunung Kawi D 1 9 0 2 0 0 0 5 Gunung Kawi E 0 3 0 0 0 0 0

Keterangan: PC= Pahatan Candi, CP= Ceruk Pertapaan, TJ= Terowongan Jalan G= Gapura, PT= Patirthaan, PL= Pelataran

Situs Gunung Kawi merupakan sebuah situs pertapaan dan asrama pendidikan agama pada masa lampau yang disebut sebagai katyagan dan mandala bernama Amaravati berdasarkan keterangan beberapa prasasti Bali Kuno. Prasasti-prasasti yang menyebut situs ini sebagai katyagan dan mandala salah satunya adalah prasasti Tengkulak A nomor 353 B dengan sebutan Sang Hyang Katyãgan ing Pakerisan ring Amarawati (Astra, 2009: 34). Berdasarkan perbandingan dengan sumber-sumber kesusastraan Jawa Kuno dari periode Singasari hingga Majapahit diperoleh keterangan bahwa situs mandala atau katyagan dihuni oleh kaum rsi dan pertapa yang berada pada tingkat hidup wanaprastha dan situsnya disusun sedemikian rupa berdasarkan tingkat pengetahuan dan penguasaan agamanya (Santiko, 2005: 112). Hal ini sesuai dengan penataan ruang di Situs Gunung Kawi yang disusun sedemikian rupa dalam kelompok-kelompok subsitus.

b. Pola Penataan Ruang pada Situs Gunung Kawi dan Implikasinya terhadap Interaksi dan Hirarki Sosial

Analisis Tetangga Terdekat terhadap sebaran fitur yang terdapat di Situs Gunung Kawi menghasilkan nilai koefisien sebaran 0,159904 yang menandakan bahwa situs ini ditata secara mengelompok. Penataan ruang secara mengelompok merupakan karakter sebuah situs pertapaan dalam bentuk maṇḍala dimana bangunan-bangunan dikelompokan berdasarkan kedudukan sosial komunitas pendukungnya. Kelompok-kelompok fitur ini membangun gugus yang selanjutnya disebut sebagai subsitus dalam

(5)

343 penelitian ini. Subsitus-subsitus tersebut adalah Subsitus Gunung Kawi A dan B yang terletak paling utara dalam area situs, Subsitus Gunung Kawi C pada sisi timur Sungai Pakerisan di selatan Subsitus Gunung Kawi B, serta Subsitus Gunung Kawi D dan E pada sisi barat Sungai Pakerisan di selatan Subsitus Gunung Kawi A. Setiap subsitus dipisahkan satu sama lain dengan barrier alam seperti tebing dan jurang.

Setiap subsitus sendiri memiliki pola tata ruang tersendiri baik secara morfologis maupun karakter fitur yang dimiliki. Berdasarkan pola morfologis tata ruang pada subsitus di Situs Gunung Kawi antara lain berbentuk gabungan linear dan mengelompok berbentuk U (Subsitus Gunung Kawi A, B, dan C), berbentuk linear (Subsitus Gunung Kawi D), serta berbentuk mengelompok dengan pola menyerupai huruf L. Tata ruang secara morfologis ini tampaknya berbeda-beda sesuai dengan keadaan geomorfologi lingkungan. Bila dilihat dari karakter fitur penyusunnya, tampak bahwa setiap subsitus berbeda satu sama lain (lihat tabel 1 di atas). Adanya perbedaan-perbedaan fitur penyusun dan kuantitasnya berkaitan dengan tingkat kesakralan dimana subsitus yang memiliki fitur pahatan candi merupakan subsitus sakral, dan sisanya bersifat lebih profan.

Pola penataan ruang secara mengelompok pada Situs Gunung Kawi berimplikasi pada terbatasnya interaksi sosial antar penghuni ruang subsitus satu dengan subsitus lainnya karena adanya jarak dan barrier perantara. Interaksi sosial pada Situs Gunung Kawi mencapai titik maksimal pada ruang-ruang publik seperti pelataran pahatan candi, dan halaman-halaman luas yang mengakomodir banyak orang untuk berkumpul, sedangkan titik terendah interaksi sosial mencapai puncaknya pada ceruk-ceruk pertapaan paling dalam sebagai ruang paling privat. Adanya gejala pemisahan ruang yang mengatur intensitas dan kualitas interaksi sosial mungkin merupakan suatu bentuk pendisiplinan komunitas pertapa/rsi yang menghuni situs Gunung Kawi pada masa lampau. Pendisiplinan ini antara lain mengambil bentuk pembagian ruang (regionalisasi) yang kemudian berhubungan dengan pembatasan interaksi sosial. Pembatasan interaksi sosial ini berhubungan dengan konsep pengunduran diri dan dilatari oleh perbedaan kelas sosial antara penghuni ruang.

Penataan ruang dengan menyusun sedemikian rupa fitur-fitur yang ada pada Situs Gunung Kawi berimplikasi pada hirarki sosial yang terbentuk. Hirarki ruang yang

(6)

344 terbentuk sangat mungkin menggambarkan hirarki sosial penghuninya dari yang berstatus sosial lebih tinggi ke penghuni berstatus sosial rendah. Susunan tersebut berturut-turut diduduki oleh Subsitus Gunung Kawi B, Subsitus Gunung Kawi A, Subsitus Gunung Kawi D, Subsitus Gunung Kawi C, dan Subsitus Gunung Kawi E. Subsitus Gunung Kawi A dan B kemungkinan ditempati oleh rsi/pertapa dari kalangan raja dan istana atau mungkin pula dewaguru serta para pembantunya yang mungkin setingkat ubwan, subsitus Gunung Kawi D kemungkinan dihuni oleh rsi/pejabat dari kalangan pejabat kerajaan atau pula pendeta laki-laki (manguyu) atau perempuan (kili), sedangkan subsitus Gunung Kawi C dan E kemungkinan ditempati rsi/pertapa dari kelas sosial yang lebih rendah seperti tapaswi (tapa), tapi, kaki, dan endang.

Hirarki sosial yang terbentuk pada Situs Gunung Kawi kemungkinan didasarkan pada dua jenis modalitas yaitu modal sosial berupa kedudukan sosial dalam masyarakat dan modal budaya yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan keagamaan. Dengan demikian, penataan ruang pada Situs Gunung Kawi merupakan sebuah bentuk materialisasi kekuasaan/pengetahuan.

6. Simpulan

Pola penataan ruang pada Situs Gunung Kawi menunjukan pola mengelompok pada skala situs dan pola-pola tertentu baik secara morfologi maupun jenis fitur penyusunnya. Adanya pola penataan ruang dengan pola mengelompok pada situs menyebabkan terbatasnya interaksi sosial yang terjadi antar subsitus. Interaksi sosial mencapai titik maksimal pada ruang-ruang publik seperti pelataran pahatan candi, dan halaman-halaman luas yang mengakomodir banyak orang untuk berkumpul, sedangkan titik terendah interaksi sosial mencapai puncaknya pada ceruk-ceruk pertapaan. Selain itu, pola penataan ruang juga berkaitan dengan hirarki sosial dari penghuni situs yang ditandai dengan tingkat kekompleksan yang berkaitan dengan tingkatan pengetahuan keagamaan dari manusia masa lampau yang menggunakan situs ini pada masa lampau. Kedua hal tersebut berupa pembatasan dan pengaturan interaksi serta penyusunan hirarki sosial menggambarkan fenomena pendisiplinan yang didasarkan pada

(7)

345 kuasa/pengetahuan dan perbedaan kelas sosial manusia masa lampau di Situs Gunung Kawi.

Daftar Pustaka

Astra, I Gde Semadi. 2009. ‘’Sekte-Sekte pada Masa Bali Kuno Berdasarkan Rekaman Data Prasasti’’ dalam Dinamika Sosial Masyarakat Bali dalam Lintasan Sejarah. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana, hal. 20-40

Kelly, Robert L dan David Hurst Thomas. 2013. Archaeology. New York: Wadsworth Mundardjito. 2002. Pertimbangan Ekologis Penempatan Situs Masa Hindu-Buda di

Daerah Yogyakarta. Jakarta: Wedatama Widyasastra

Santiko, Hariani. 2005. ‘’Mandala (Kedewaguruan) pada Masa Majapahit’’ dalam Hari Hara: Kumpulan Tulisan tentang Agama Weda dan Hindu di Indonesia. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, hal. 117-127

Seibert, Jeffrey. 2006. ‘’Introduction’’ dalam Space and Spatial Analisys in Archaeology. Alberta: Calgary Press, hal 5-9

Sharer dan Wendy Ashmore. 2002. Fundamentals of Archaeology. New York: Blackwell

Tanudirdjo, Daud Aris. 1993. Arkeologi Indonesia Masa Depan: Unlinierisme atau Multilinearisme?. Makalah pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi di Yogyakarta 25-30 Juli 1993

Referensi

Dokumen terkait

Pada perlakuan H5 umur 120 hari setelah tanam daya berkecambah benih dengan hasil purata 80,40% menunjukkan benih sudah sesuai standar mutu oleh FAO adalah minimal

Di dalam sebuah laporan yang ditulis khusus untuk membantah klaim APA, tim dari “ National Association for Research and Therapy of Homosexuality” (NARTH) menunujukan bahwa studi

Penentuan kemampuan fasilitas rumah sakit tidak hanya pada keter- batasan infrastruktur fisik tetapi juga pada kemampuan menyediakan sumber daya lain yang diperlukan, sehing- ga

Prevalensi HIV, penggunaan narkoba, dan perilaku berisiko yang tinggi pada kelompok mantan pengguna narkoba merupakan hal yang penting untuk diperhatikan.. Program

Pemodelan debit aliran menggunakan model hidrologi IHACRES. Kalibrasi parameter model IHACRES didasarkan pada data curah hujan observasi, temperatur observasi dan debit inflow

Tujuan dari film ini untuk membuktikan bahwa pembuatan film Super Hero di Indonesia masih bisa di hidupkan kembali, terutama untuk para kreator remaja yang dapat memberikan

  Padahal   sebagai   instansi   pemerintah  daerah,  BP4  dituntut  pula  kontribusinya  dalam  meningkatkan   pendapatan  asli  daerah  (PAD). Oleh karena

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wata‟ala yang selalu memberikan kekuatan dan petunjuk serta melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat