• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modul Diklatama 2015 (Kota)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Modul Diklatama 2015 (Kota)"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

_-_-_-_Fihris-_-_-_-2..………..Sekapur Sirih ASwaJA………..3 6…….……….ke NU an ke IPNU an………..…..16 23……….……….ke IPPNU an CBP IPNU………..25 28……….KPP IPPNU Pertolongan Pertama (PP)……….30 36….………..…SAR Mountainering ……….40 52……….……….. Biodata Pemilik

(2)

Sekapur Sirih Tim Penyusun

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarokatuh Bismillahirrahmaanirrahim....

Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah Azza Wajalla Sang Penguasa sekalian alam, yang senantiasa menganugerahkan kekuatan iman, islam, ihsan serta kesehatan sehingga kami dapat mempersembahkan untaian materi Pendidikan dan Latihan Pertama (DIKLATAMA) 2015 yang terangkum modul materi ini. Semoga Allah meridloi segenap aktivitas yang akan kita jalani, dan memberikan kemanfaatan dalam segala kegiatan sepanjang kegiatan DIKLATAMA 2015 ini, juga kemanfaatan bagi setiap langkah IPNU & IPPNU kecamatan Kota Kudus. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan ke pangkuan baginda Agung kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing kita untuk selalu memperjuangkan dan melestarikan ajaran Islam Ahlussunnah Waljama’ah dalam setiap langkah di kehidupan ini. Semoga kelak kita akan mendapatkan Syafa’at beliau dan juga dapat bersua dengan beliau kelak di hari kiamat.

Selanjutnya dalam kesempatan ini kami ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada beberapa pihak yang telah mendukung dan mensukseskan proses penyusunan modul serta kegiatan DIKLATAMA Kota tahun 2015 ini, yakni kepada:

1. Pemerintah Kecamatan Kota Kudus

2. MWC NU Kota, Muslimat NU Kota, GP. Ansor serta Fatayat Kota 3. Segenap Pembina dan Alumni PAC. IPNU-IPPNU Kecamatan Kota 4. Beberapa pihak dari Buper Ronggo Kusumo Klaling Jekulo Kudus

5. Segenap peserta, Pimpinan Ranting, Pimpinan Komisariat, tamu undangan dan berbagai pihak yang telah berperan aktif dalam pelaksanaan DIKLATAMA Kota 2015.

Melalui tema “Menyiapkan Pasukan Relawan Muda Kader CBP-IPNU Bersama KPP- IPPNU yang Berkarakter dan Berkepribadian ASWAJA” ini, diharapkan agar para perserta DIKLATAMA Kota 2015 dan kader NU lainnya dapat melestarikan nilai-nilai dan budaya Islam Ahlussunnah wal Jama’ah demi tercapainya kader-kader IPNU – IPPNU yang beriman, bertanggung jawab, berkompeten, penuh komitmen, terampil, dan berkualitas sehingga CBP & KPP di Kecamatan Kota ini dapat kembali eksis dan memberi warna keharuman pada citra PAC. IPNU & IPPNU Kota. Demikian yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat bagi kita semua fiddin waddunya Wal akhiroh. Amin

Wallohul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thoriq

(3)

AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH Oleh : Miftah Baidlowi, S. Pd. I.

A. PENDAHULUAN

Semenjak lahirnya Nahdlatul Ulama menegaskan diri sebgaai Jam'iyah yang menganut, mengemban dan mengembangkan Islam Ala Ahlussunnah Waljama'ah. Penegasan ini diperkuat lagi pada Muktamar NU yang ke-26 di Semarang tahun 1979 bahwa Nahdlatul Wathon bertujuan :

1. menegaskan syari'ah islam madzhabil 'arba'ah ( Hanafi, Maliki, Syafi'i, hambali ). 2. mengusahakan berlakunya ajaran Ahlussunnah Wal jama'ah dalam mayarakat.

Hal ini didasarkan hadist nabi yang diriwayatkan HR. Tabrani yang artinya sebagai berikut : Demi Tuhan yang memegang jiwa di tangannya akan firqoh umatku sebanyak 73 firqoh, yang satu masuk surga dan yang lainnya masuk neraka, bertanya para sahabat " Siapakah firqoh yang tidak masuk neraka itu Ya Rosulullah ? Nabi menjawab Ahlussunnah Wal Jama'ah.

Dan hadist Nabi yang lain yang diriwayatkan oleh oleh HR. Turmudzi Nasa'i Hakim adalah : Golongan Yahudi pecah menjadi 71 firqoh,dan golongan Nasrani menjadi 72 firqoh dan akan terpecah umatku menjadi 73 firqoh. Semuanya masuk neraka kecuali satu, sahabat bertanya : siapakah golongan itu ya Rosululloh ? Nabi menjawab : ialah golongan yang menjalankan apa yang ku jalankan dan apa yang dijalankan sahabat-sahabatku.

Dari pengertian yang kita ambil tersebut di atas, maka wajiblah bagi kita para warga NU untuk mengetahui secara mendalam tentang Ahlussunnah Wal Jama'ah.

B. Pengertian Ahlussunnah Wal Jama'ah

1. Arti Ahlussunnah ialah penganut sunnah Nabi SAW.

2. Arti Ahlussunnah ialah penganut I'tiqod sebagai I'tiqod jama'ah sahabat-sahabat Nabi.

3. Yang dimaksud Ahlussunnah Wal Jama'ah yaitu orang-orang yang mengikuti tuntunan Nabi Muhammad SAW dan tuntunan sahabat-sahabat Nabi SAW.

C. Ahlussunnah Wal Jama'ah

1. Tentang bagaimana menerapkan paham Ahlussunnah Wal Jama'ah dalam kehidupan beragama sehari-hari, sebenarnya cukup jelas yaitu bahwa setiap orang mukmin, imannya, ilmunya dan amaliyahnya harus bersumber dari Kitabullah dan sunnah rasul serta sahabat. Akan tetapi bagaimana pengusahaanya agar setiap orang dapat menyesuaikan iman, ilmu dan amalnya pada sumber tingkat kemampuan masing-masing orang.

2. Untuk tingkat pertama orang harus berijtihad yaitu memiliki hukum langsung dari sumber A-Qur'an dan Hadist. Sudah barang tentu tidak sembarang orang dapat mengerjakan ijtihad karena syarat-syaratnya cukup berat di antaranya harus bisa memahami bahasa arab lengkap dengan kesastraannya, mengerti ilmu usul fiqih dan persyaratan-persyaratan lainnya. Orang pada tingkatan pertama itulah yang dinamakan mujtahid yang terbagi dalam berbagai tingkatan (Mutlaq, Madzhab, Fatwa).

3. Apabila tidak menjadi mujtahid maka orang harus mengikuti satu madzhab yang disenanginya dengan bekal percaya pada imam madzhabnya, bahwa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh imam madzhabnya itu benar, walaupun pada hakikatnya dia itu tidak tahu persis dasar-dasar hukum yang dipakai imamnya. Pada tingkat terakhir inipun ada beberapa macam tingkatan, ada pernah membaca buku hasil penelitian

imamnya, ada yang membaca buku-buku cukilan saja, ada yang membaca keterangan pendukung madzhabnya dan ada yang mendengar pengajian-pengajian secara lisan saja.

4. Oleh karena orang pada tingkat terakhir ini hanya berbekal kepercayaan kepada imam madzhabnya, maka hendaknya ia tidak berpindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain, kecuali kalau ia sudah naik

(4)

tingkatannya ke tingkat mujtahid, fatwa atau pindah madzhab dalam salah satu madzhab karena terdorong oleh hajat yang baik dengan syarat tidak boleh talfiq. Hal ini tidak berarti memenjarakan umat di dalam kotak-kotak madzhab dan menjadikan kitab-kitab madzhab sebagai pedoman agama di atas Al-Qur'an dan Hadist, juga tidak pintu ijtihad atau pintu pilihan madzhab

5. ditutup dan tidak berarti menjadikan umat beku pikirannya. Kalau memang bisa jadilah mujtahid mutlaq, atau mujtahid madzhab atau mujtahid fatwa akan tetapi kalau tidak dapat menjadi nomor satu, dua atau tiga lalu akan menjadi orang yang nomor berapa kalau tidak pada tingkat nomor di bawahnya yaitu muqollid

(orang yang bertaqlid pada salah satu madzhab. Dan kalau berada pada tingkat empat (sebagai orang awwam) untuk apa selalu berpindah madzhab? Apa alasan dan dasar mempermasalahkan madzhab yang satu, apa karena kamu sudah naik pada tingkat ketiga, kedua, pertama ataukah hanya sekedar menuruti kesenangan saja? Apakah agama hanya didasarkan pada kesenangan seperti ini, tidakkah hal itu lebih buruk dari pada taqlid yang mathon (renungkan).

5. Adapun para ulama' yang sudah berhasil berijtihad secara mutlaq yang kemudian disebut imam madzhab itu banyak, akan tetapi yang kemudian berkembang dan masih banyak pengikutnya sampai sekarang. a.Imam Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit, lahir di Kuffah tahun 80 H / 699 M, meninggal dunia dalam penjara

di Baghdad tahun 150 H / 767 M.

b.Imam Malik Abdillah Anas bin Abu Amr, lahir tahun 93 H / 71 M di Madinah dan meninggal dunia tahun 179 H / 795 M

c.Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Utsman bin Syafi'i Asy-Syafi'i lahir di Guzzah daerah Astholah tahun 159 H / 767 M dan meninggal dunia di Kairo tahun 204 H / 855 M

d.Imam Ahmad bin Hambal bin Hilal, lahir di Baghdad tahun 164 H / 80 M dan meninggal dunia pada tahun 241 H / 855 M

Keempat imam madzhab tersebut tergolong ahlussunnah terutama dalam bidang fiqih. Adapun ulama ahlussunnah dalam bidang tauhid yang termasyhur dan diikuti oleh mayoritas umat islam seluruh dunia ialah Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan imam Abu Manshur Al-Maturidi.

Selain itu semua masih ada imam-imam madzhab yang lain juga tergolong ahlussunnah wal jama'ah, akan tetapi pada saat sekarang hampir tidak ada pendukung lagi, seperti Imam Abu Amr Abdurrohman bin Muhammad Al-Auzai, Imam daud Adh-Dhoriri, Imam Muhammad bin Jarir bin Zahid Ath-Thabari dan sebagainya.

6. Perkembangan ahlussunnah wal jama'ah di berbagai negara a. Di Maroko madzhab Maliki / ahlussunnah wal jama'ah b. Di Aljazair madzhab Hanafi / ahlussunnah wal jama'ah c. Di Tunisia madzhab Hanafi / ahlussunnah wal jama'ah d. Di Libiya madzhab Hanafi / ahlussunnah wal jama'ah e. Di Turki madzhab Hanafi / ahlussunnah wal jama'ah

f. Di Irak madzhab Hanafi / ahlussunnah wal jama'ah dan sebagian kaum Syi'ah dalam (Najad-Karbela) g. Di Mesir madzhab Hanafi / ahlussunnah wal jama'ah

h. Di India madzhab Hanafi / ahlussunnah wal jama'ah

i. Di Pakistan madzhab Hanafi / ahlussunnah wal jama'ah dan sebagian kecil golongan Syi'ah dan Ismailiyyah

j. Di Indonesia madzhab Syafi'i / ahlussunnah wal jama'ah k. Di Filipina madzhab Syafi'i / ahlussunnah wal jama'ah l. Di Thailand madzhab Syafi'i / ahlussunnah wal jama'ah

(5)

m. Di Malaysia madzhab Syafi'i / ahlussunnah wal jama'ah n. Di Somalia madzhab Syafi'i / ahlussunnah wal jama'ah o. Di Sudan madzhab Hanafi / ahlussunnah wal jama'ah p. Di Nigeria madzhab Hanafi / ahlussunnah wal jama'ah q. Di Afganistan madzhab Hanafi / ahlussunnah wal jama'ah

r. Di Libanon madzhab Hanafi / ahlussunnah wal jama'ah dan sebagian Syi'ah s. Di Hadramaut madzhab Syafi'i / ahlussunnah wal jama'ah

t. Di Hijaz madzhab Syafi'i dan Hanafi / ahlussunnah wal jama'ah dan sebagian Hambali, dan Wahabbiyah u. Di Najdi madzhab Hanafi / Wahabbiyah

v. Di Iran Syi'ah

w. Di Uni Soviet / Rusia sekarang madzhab Hanafi / ahlussunnah wal jama'ah dan Syi'ah x. Di Tiongkok madzhab Hanafi / ahlussunnah wal jama'ah

Nampaknya paham ahlussunnah wal jama'ah yang banyak dianut oleh sebagian besar umat islam di berbagai negara.

D. Kesimpulan

1. Pintu ijtihad belum ditutup, mudah-mudahan di antara sekian banyak warga nahdliyyin (IPNU-IPPNU) ada yang sampai tingkat mujtahid mutlaq atau mujtahid madzhab setidak-tidaknya mujtahid fatwa.

2. Bagi warga Nahdliyyin (IPNU-IPPNU) yang tidak sampai pada tingkatan-tingkatan tersebut,

mudah-mudahan mendapat hidayah dan taufiq Allah SWT walaupun melalui jalan taqlid dan sebagai muqollid yang baik hendaknya tidak mencela pada muqollid madzhab lainnya

Pada hakikatnya golongan ahlussunnah wal jama'ah adalah golongan yang mengikuti jejak nabi dan para sahabatnya dan meraka ialah yang akan selamat dunia dan akhirat. Di luar golongan ahlussunnah wal jama'ah adalah ahlul bid'ah dan mereka ialah kelak yang celaka di akhirat, golongan itu adalah

1.Golongan Mu'tazilah... 20 firqoh 2.Golongan Syi'ah ... 20 firqoh 3.Golongan Khowarij... 20 firqoh 4.Golongan Murji'ah... 5 firqoh 5.Golongan Najjariyah... 3 firqoh 6.Golongan Jabbariyah ... 2 firqoh 7.Golongan Musyabbihah ... 2 firqoh Jumlah... 72 firqoh

Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan naskah ringkasan ini dapat mendasari langkah warga Nahdliyyin (IPNU-IPPNU) dalam rangka menggali doktrin ahlussunnah wal jama'ah.

(6)

KE NU AN

BAB I

KARAKTERISTIK FAHAM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH A. PENDAHULUAN

Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyyah Diniyah Islamiyah (Organisasi Keagamaan Islam), didirikan oleh para ulama yang memiliki kesamaan visi (wawasan) dan misi keagamaan Islam Ahlussunnah wal jama’ah.

Pemaknaan kata (terminologi) Ahlussunnah wal jama’ah bersumber dari sebutan yang dinyatakan oleh junjungan Nabi Muhammad SAW, yaitu Ahlussunnah “ maa ana alaihi al yauma wa ashaabii “ (Apa yang aku berada di atasnya bersama para sahabatku). Dengan kata lain Ahlussunnah wal jama’ah adalah ajaran (wahyu Allah) yang Muhammad SAW sampaikan kepada para sahabatnya dan diamalkan olehnya bersama para sahabatnya. Intinya terletak pada keterpaduan iman, islam dan ihsan yang tercermin pada cara berpikir, bersikap dan berperilaku dalam seluruh aspek kehidupan.

Untuk mewujudkan dan mengamalkan ajaran atau paham Ahlussunnah wal jama’ah tersebut, maka segenap anggota jam’iyyah Nahdlatul Ulama terpanggil untuk menjadikan dirinya sebagai pelaksana dan pelaku dari tugas atau mission Jam’iyyah sesuai dengan tanggung jawab mereka masing-masing.

Maka menjadi syarat mutlak bagi segenap anggota Jam’iyyah terutama golongan pemimpin memiliki karakter pejuang. Karena hakikatnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah medan pengabdian dan perjuangan. Tidak masuk akal apabila seorang pejuang tidak memilki karakter yang tercermin pada kepribadiannya. Kepribadian dan identitas pejuang NU menandai karakteristik yang berbeda dengan orang lain dalam praktek sehari-hari di dalam melaksanakan ibadah dan mu’amalah. Hal tersebut itulah sebenarnya yang menjadi tujuan NU sejak permulaan berdirinya yang terkenal dengan “ Mabadi Khaira ummah “.

B. MABADI KHAIRA UMMAH SEBAGAI MISI NAHDLATUL ULAMA

1. Pengertian, tujuan dan prinsip-prinsip Mabadi Khaira Ummah

a. Pengertian

Mabadi Khaira Ummah adalah prinsip-prinsip dasar yang melandasi terbentuknya umat yang terbaik. Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah utama untuk pembentukan umat yang terbaik.

Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan umat terbaik (khaira ummah) yaitu sutau umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan bagian terpenting dari kiprah Nahdlatul Ulama. Sebab kedua sendi tersebut mutlak diperlukan dalam menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridhai Allah SWT sesuai dengan cita-cita Nahdlatul Ulama.

Oleh karena itu, amar ma’ruf nahi munkar merupakan dua sendi yang tidak dapat dipisahkan untuk mencapai kebahagiaan lahiriah dan batiniah. Prinsip dasar yang melandasinya disebut “ Mabadi Khaira ummah “. Kalimah “ khaira ummah “ diambil dari kandungan Al Qur’an Surah Ali Imran ayat 110 yang berbunyi : مم تتنمكت رريمخر ة ة ممات تم جر ررخمات سر اسِنملنلر نر ومرتمتأم تر فر ومرتعممرلماسِبر نر ومهرنمترور نر عر رركرنممتلما نر ومنتمرؤمتتور ه ر لنلاسِبر ىلنق وملرور نر مراا لت هم ار بر تاكر لما نر اسِكر لر ارريمخر مم هتلم ىلنق مت هتنممر نر ومنتمرؤممتلما مت هت رتثركمارور نر ومقتسر فا لما لا ) نارمع : ۱۱۰ (

Artinya :“ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, maka baik bagi mereka dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasiq “

(7)

b. Tujuan dan Isi Mabadi Khaira Ummah

Sebagaimana dijelaskan di atas, gerakan Mabadi Khaira Ummah yang pertama dahulu diarahkan kepada penggalangan warga untuk mendukung program pembangunan ekonomi NU. Program ini tengah menjadi perhatian serius pula saat ini, sebagaimana hasil keputusan Muktamar NU ke 28 di Yogyakarta tahun 1989 yang mengamanatkan kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama agar menangani masalah sosial dan ekonomi secara lebih bersungguh-sungguh.

Jika ditelaah lebih mendalam, nyatalah bahwa prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Mabadi Khaira Ummah tersebut memang amat relevan dengan dimensi personal dalam pembinaan manajemen organisasi, baik organisasi usaha (bisnis) maupun organisasi sosial lainnya. Manajemen organisasi yang baik membutuhkan sumberdaya manusia yang tidak saja terampil, tetapi juga harus berkarakter terpuji dan bertangggung jawab. Dalam pembinaan organisasi NU, kualitas sumberdaya manusia semacam ini jelas diperlukan.

c. Prinsip-prinsip Mabadi Khaira Ummah

Pada Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung tahun 1992, gerakan Mabadi Khaira Ummah kembali dimunculkan ke permukaan dan bahkan lebih dikembangkan lagi. Mabadi Khairan Ummah yang pada asalnya hanya terdiri atas tiga prinsip, yaitu Asshidqu, Alamanah/ Alwafa bil Ahdi, dan Atta’awun sebagaimana yang dirumuskan oleh KH. Mahfudz Shiddiq selaku Ketua PBNU pada tahun 1935. Kemudian dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Bandar Lampung tahun 1992, tiga prinsip tersebut ditambah dua poin lagi yakni Aladalah dan Alistiqomah, sehingga menjadi lima prinsip dan disebut juga sebagai “ Mabadi’ul Khamsah“.

2. Uraian dan Pemasyarakatan Mabadi Khaira Ummah

Pada pembahasan ini akan diuraikan makna-makna yang terkandung dalam Mabadi Khaira Ummah, yaitu :

a. Asshidqu (memiliki integritas kejujuran)

Butir ini mengandung arti kejujuran pada diri sendiri, sesama dan kepada Allah sebagai Pencipta. Asshidqu mengandung arti juga kebenaran, kenyataan, kesungguhan dan keterbukaan. Kejujuran dan kebenaran adalah satunya kata dengan perbuatan, ucapan dengan pikiran. Apa yang diucapkan sama dengan yang dibatin. Jujur dalam hal ini berarti tidak plin-plan dan tidak dengan sengaja

memutarbalikkan fakta atau memberikan informasi yang menyesatkan. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW : مم كت يملنرعر قر دم صص لاسِبر نم اسِرفر ق ر دم صص لا ي م درهمير ىلرار رصبرلما و نم ارر رمبرلما ي م درهمير ىلرار ةر نمجر لما اسِمرور لت ازرير لت جت رملا ى ارمحرتريرور ق ر دم صص لا ىتتاحر بر تركم يت د ر نمعر ه ر لنلا اسِقر يمدصصر قفتم) (هيلنع

Artinya : “Tetaplah kamu jujur (benar), karena jujur itu menunjukkan kepada kebaktian, dan kebaktian itu menunjukkan kepada surge. Seorang laki-laki senantiasa jujur dan mencari kejujuran sampai dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur“. (HR. Muttafaq alaih)

b. Al amanah walwafa bil’ahdi (terpercaya dan taat memenuhi janji)

Butir ini memuat dua istilah yang saling kait, yakni al amanah dan al wafa bil’ahdi. Yang pertama secara lebih umum meliputi semua beban yang harus dilaksanakan, baik ada perjanjian maupun tidak, sedang yang disebut belakangan hanya berkaitan dengan perjanjian. Kedua istilah ini digabungkan untuk memperoleh satu kesatuan pengertian yang meliputi : dapat dipercaya, setia dan tepat janji.

Dapat dipercaya adalah sifat yang dilekatkan pada seseorang yang dapat melaksanakan semua tugas yang dipikulnya, baik yang bersifat diniyah maupun ijtima’iyyah (kemasyarakatan). Ini berarti manusia harus berdisiplin atas segala yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Dengan sifat ini orang yang akan terhindar dari segala bentuk pembengkalaian dan manipulasi tugas atau jabatan. Firman Allah SWT :

(8)

Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanaya “ (QS. An Nisa’ : 58)

Tepat janji mengandung arti melaksanakan semua perjanjian, baik perjanjian yang dibuatnya sendiri maupun perjanjian yang melekat karena kedudukannya sebagai mukallaf, meliputi janji pemimpin terhadap yang dipimpinnya, janji antar sesama anggota masyarakat (kontrak sosial), antar sesama anggota keluarga dan setiap individu yang lain. Menyalahi janji termasuk salah satu unsur nifaq.

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu “.(QS.Al Maidah:1)

Ketiga sifat di atas (dapat dipercaya, setia dan tepat janji) menjamin integritas pribadi dalam menjalankan wewenang dan dedikasi terhadap tugas. Sedangkan al amanah walwafa bil’ahdi itu sendiri, bersama-sama dengan asshidqu, secara umum menjadi ukuran kredibilitas yang tinggi di hadapan pihak lain, yaitu satu syarat penting dalam membangun berbagai kerjasama.

c. Al’adalah (tegak lurus dalam meneguhkan rasa adil dan keadilan)

Bersikap adil (al’adalah) mengandung pengertian obyektif, proporsional dan taat asas. Butir ini mengharuskan orang berpegang kepada kebenaran obyektif dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Sebagaimana Firman Allah SWT :

مم تتمم كر حراذرارور نر يمبر سر اسِنملا نم ار اوممتكتحمتر لر دم عرلماسِبر ) ... ءاسِسنلا : 58 (

Artinya :“Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.“ (QS. An Nisa : 58)

Implikasi lain dari al’adalah adalah kesetiaan pada aturan main (correct) dan rasional dalam membuat keputusan, termasuk dalam alokasi sumber daya dan tugas. Prinsipnya adalah the right man on the right plece (menempatkan personal sesuai dengan bidang kecakapannya).

d. Atta’awun (saling menolong)

Atta’awun merupakan sendi dalam tata kehididupan masyarakat. Yaitu manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup tanpa berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Prinsip ini mengandung pengertian tolong menolong, setia kawan, dan gotong royong dalam mewujudkan kebaikan dan ketakwaan. Imam Mawardi mengaitkan pengertian al-birr (kebaikan) dengan kerelaan manusia, sedangkan at taqwa (ketaqwaan) dengan kerelaan Allah.

Allah SWT berfirman : ىلنرعر اومنتوراسِعرترور ى اواقمتملاوررصبرلما ىلنص ىلنرعر اومنتوراسِعرترلر ور م ر ثملر ام نر اوردم عتلماور ىلنص هرلنلااوقتتماور ىلنق نم ار هرلنلا بر اسِقر عرلمادتيمدرشر ةدئاسِملا) : ۲ (

Artinya : “ Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong kamu dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya “. (QS. Al Ma’idah : 2)

e. Al Istiqomah (konsisten)

Al-Istiqomah mengandung pengertian ajeg-jejeg, kesinambungan, keberlanjutan dan kontinuitas. Ajeg-jejeg artinya tetap dan tidak bergeser dari jalur (thariqah) sesuai dengan ketentuan Allah SWT, Rasul-Nya, para salaf al salih dan aturan yang telah disepakati bersama. Kesinambungan artinya keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain dan antara periode satu dengan periode yang lain sehingga semuanya merupakan satu kesatuan yang saling menopang dan terkait seperti sebuah bangunan. Keberlanjutan (kontinuitas) artinya bahwa pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut merupakan proses yang berlangsung terus menerus tanpa mengalami kemandegan, merupakan suatu proses maju, bukannya berjalan di tempat.

Allah SWT berfirman : نم ار نر يمذرلما اوملتاسِقر اسِنرببرر هتلنلا مم ثت اوممتاسِقرترسم ا لت زمنرترتر مت هريملنرعر ةتكر ئرلنامرلما اومفتاسِخرترلم ار اومنتزرحمترلر ور اومرتشر بمارور ة ر نمجر لماسِبر يم ترلما مم تتنمكت نر ومدتعر ومتت تلنصص ف) : ۳۰ (

(9)

Artinya :“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS. Fusshilat : 30)

Rasulullah SAW bersabda :

بب حر ار لر مر عرلما ىلرار ه ر لنلا مرادراسِمر هتبتحراسِصر نم ارور لم قر قفتم) (هيلنع

Artinya :“Sebaik-baik amal menurut Allah adalah yang dilakukan oleh pemiliknya (pelakunya) terus menerus walaupun sedikit “ (HR. Muttafaq alaih)

BAB II

PERILAKU WARGA NAHDLATUL ULAMA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

A. Qaidah Fiqhiyah Sebagai Dasar Pembentukan Perilaku Nahdliyin

Sebelum Nahdlatul Ulama dilahirkan, telah terjadi dialog sangat panjang antara budaya lokal versus nilai Islam di tengah-tengah umat Islam Nusantara hingga mewujud menjadi tradisi baru yang membumi. Kelompok Islam ini menyatu dalam pola pikir (ittifaq ara wmadzhab) dan referensi tradisi social keagamaan (ittihad al-ma’khad wal-masyrab).

Dasar pembentukan perilaku etik moral kaum Nahdliyin yang bercirikan sikap tawassuth, tawazun, tasamuh dan I’tidal merupakan implementasi dari kekukuhan mereka dalam memegang prinsip-prinsip

keagamaan (qaidah al fiqhiyyah) yang dirumuskan oleh para ulama klasik. Di antara prinsip-prinsip keagamaan tersebut adalah al-‘Adah al-Muhakkamah ( (ةتمر كم حرمتلماةت دراسِعرلماartinya : sebuah tradisi dapat menjelma menjadi pranata social keagamaan.

ة ت دراسِعرلمار ةتمر كم حرمتلما مم لراسِمر فر لراسِخر يت عر رمشم لا

Artinya : “Adat kebiasaan atau budaya itu bias dijadikan hukum selama tidak bertentangan dengan norma agama “.

Umat Islam Indonesia juga mengenal prinsip dasar keagamaan dengan menggunakan kaidah :

ةتظر فراسِحرمتلمار ىلنرعر م ر يمدرقر لما حرلراسِصم لا حرلنرصم لر امدريمدرجرلماسِبرذتخملر امور

Artinya : “ Upaya pelestarian nilai-nilai yang baik di masa lalu dan melakukan adopsi nilai-nilai baru yang lebih baik “

Kaidah yang tidak kalah pentingnya adalah ةر يمعر رملاةر حر لنرصم مر برطط ومنتمرر اسِمرلم ر امفت ربصر تر (kebijakan pemimpin harus mengacu kepada kebaikan rakyatnya). Maksudnya, seorang penguasa merupakan penjelmaan kepentingan rakyatnya. Ia bukanlah representasi atas dirinya sendiri. Karena itu segala kebijakan yang diambil harus mengacu kepada kepentingan rakyat yang dipimpinnya.

B. Perilaku Keagamaan NU

Islam Ahlussunnah wal jama’ah merupakan prinsip utama NU. Sedangkan formulasi Khitthah NU, mabadi khaira ummah, dan beberapa kaidah fiqhiyyah di atas merupakan tafsir atas prinsip utama yang diharapkan mampu mewujud dalam kepribadian dan perilaku-perilaku warga Nahdliyin yang berkarakter.

Perilaku keagamaan warga NU yang menggunakan system bermadzhab memberikan spesifikasi di bidang aqidah, syari’ah dan tasawuf.

Di bidang akidah ini, NU mengikuti Ahlussunnah wal jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan al- Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.

Dalam bidang fiqih ini, NU mengikuti jalan pendekatan (al-madzhab) kepada salah satu dari madzhab empat, yaitu Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

(10)

Sedangkan dalam bidang tasawuf/akhlak ini, NU mengikuti Imam Abul Qosim al Junaidi al Baghdadi dan Imam al Ghozali serta Imam-Imam yang lain.

C. Perilaku Kemasyarakatan NU

Nahdlatul Ulama sesuai dengan khitthahnya adalah organisasi keagamaan yang dibentuk dalam upaya menegakkan kehidupan keagamaan yang berlandaskan faham Ahlussunnah wal jama’ah, dengan menyatakan diri sebagai pembela dan pengemban ajaran Ahlussunnah wal jama’ah.

Dasar-dasar pendirian faham keagamaan Nahdlatul Ulama tersebut menumbuhkan sikap-sikap kemasyarakatan tertentu yang merupakan ciri-ciri perilaku kemasyarakatan Nahdlatul Ulama, yaitu :

1. At Tawassuth, artinya mengambil jalan tengah atau pertengahan. Bahwa NU tidak bersikap ekstrim baik kanan (berkedok agama), maupun kiri (komunis), karena kebajikan memang selamanya terletak antara dua ujung (kanan dan kiri).

2. Al I’tidal, yang berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan ke kiri. Kata ini diambil dari al-adlu yang berarti keadilan atau I’dilu bersikap adillah.

3. At Tasamuh yang berarti toleran. Maksudnya bahwa NU toleran terhadap perbedaan pandangan dalam

masalah keagamaan, terutama dalam dalam hal-hal yang bersifat furu’iyah atau masalah khilafiyah, serta dalam masalah budaya dan kemasyarakatan. Prinsip tasamuh ini juga dilaksanakan oleh para Walisongo dalam melakukan dakwahnya di Indonesia pada zaman dahulu.

4. At Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak berlebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain. Kata ini juga diambil dari al-Waznu atau al-Mizan yang berarti penimbang.

5. Amar ma’ruf nahi munkar yang berarti selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik,

berguna dan bermanfaat bagi kehidupan, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.

BAB III

UKHUWAH NAHDLIYAH

A. Pengertian Ukhuwah Nahdliyah

Secara etimologi, ukhuwah nahdliyah berasal dari dua kata bahasa Arab; ukhuwwah yang artinya persaudaraan dan nahdliyyah yang artinya perspektif kelompok NU. Secara epistemology, ukhuwwah nahdliyyah adalah formulasi sikap persudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain atau satu kelompok pada kelompok lain dalam interaksi social yang menjunjung tinggi nilai agama, tradisi, dan sejarah bangsa yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip Ahlussunnah Waljama’ah. Kesejatian ukhuwah nahdliyah akan semakin meneguhkan dan meningkatkan kualitas kaum Nahdliyin serta makin meningkatkan kontribusi terbaiknya dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

B. Penjabaran Ukhuwah di bidang social dan politik

Spesifikasi kaum Nahdliyyin yang sangat menonjol adalah sikap kebersamaannya yang tinggi dengan masyarakat di sekelilingnya. Kaum Nahdliyyin merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat, mulai dari struktur yang terkecil hingga yang terbesar. Kaum Nahdliyyin mampu menempatkan manusia pada

kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT sebagimana firmannya sebagai berikut

اسِهريبار يراا ست اسِنملا مم كت ناقملنرخراسِنمإر نم مر رةكرذر ور ىثانمات مم كت نالنمعرجرور اسِبرومعتشت لر ئراسِبرقرور اومفترراسِعرترلر ط نم ار مم كت مررركمار د ر نمعر ه ر لنلا مم كت اسِقرتمار ط نم ار هرلنلا مط يملنرعر رطيمبرخر تارجحلا) : ۱۳ (

Artinya : “ Wahai manusia, sungguh Kami ciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal. “ (QS. Al Hujurat : 13)

(11)

Ukhuwah (persaudaraan atau persatuan) menuntut beberapa sikap dasar, yang akan mempengaruhi kelansungannya dalam realitas kehidupan social. Sikap-sikap dasar tersebut adalah :

a. Saling mengenal (ta’aruf) b. Saling menghargai (tasamuh) c. Saling menolong (ta’awun) d. Saling mendukung (tadlamun) e. Saling menyayangi (tarahum)

Ukhuwah (persaudaraan atau persatuan) akan terganggu kelestariannya, apabila terjadi sikap-sikap destruktif (muhlikat) yang bertentangan dengan kelakuan etika social (akhlakul karimah) seperti :

a. Adanya saling menghina (assakhriyyah) b. Adanya saling mencela (allamdzu) c. Adanya praduga jelek (suudhan)

d. Adanya sikap suka mencemarkan nama baik (ghibah) e. Adanya sikap kecurigaan yang berlebihan (tajassus) f. Adanya sikap congkak (takabbur)

C. Macam-macam Ukhuwah Nahdliyah

Menurut KH. Muchith Muzadi, ukhuwah nahdliyah merupakan formulasi atas tiga konsepsi

persaudaraan dalam skala terbatas yang merupakan penjabaran dari konsepsi ukhuwah islamiyah dalam skala besar.

Dalam redaksi lain, tri ukhuwah yang dikenal di kalangan nahdliyin berakar pada konsep yang pertama, yaitu ukhuwah islamiyah, artinya persaudaraan, kerukunan, berdasarkan ajaran agama Islam. Ketiga konsep persaudaraan dalam perspektif kaum Nahdliyin tersebut adalah :

1. Ukhuwah Islamiyah, yaitu persaudaraan antar pemeluk agama Islam. 2. Ukhuwah Wathaniyah, yaitu persaudaraan antar sesama bangsa.

3. Ukhuwah Insaniyah / Basyariyah, yaitu persaudaraan sesama umat manusia. D. Problema-problema atau hambatan-hambatan ukhuwah

Proses pengembangan wawasan ukhuwah tersebut, kerap kali mengalami hambatan-hambatan, karena beberapa masalah yang timbul dari :

1. Adanya kebanggaan kelompok yang berlebihan, yang mudah menumbuhkan sikap apriori dan fanatisme yang tidak terkontrol.

2. Adanya kesempitan cakrawala berpikir, baik yang disebabkan oleh keterbatasan tingkat pemahaman masalah keagamaan (ke Islaman) dan kemasyarakatan, maupun yang disebabkan oleh rasa ta’asub golongan yang berlebihan.

3. Lemahnya fungsi kepemimpinan umat dalam mengembangkan budaya ukhuwah tersebut, baik dalam memberikan teladan kepada bawahan, maupun dalam cara mengatasi gangguan kerukunan yang timbul dalam kehidupan umat maupun organisasi.

BAB IV

KHITTHAH NAHDLIYAH

A. Pengertian dan Subtansi Khitthah Nahdliyah

Secara harfiyah, khitthah artinya garis. Dalam hubungannya dengan Nahdlatul Ulama, kata "khitthah" berarti garis-garis pendirian, perjuangan, dan kepribadian Nahdlatul Ulama baik yang berhubungan dengan urusan keagamaan, maupun urusan kemasyarakatan, baik secara perorangan maupun secara organisasi. Fungsi garis-garis itu dirumuskan sebagai “landasan berpikir, bersikap, dan bertindak" warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi dalam setiap proses pengambilan keputusan. Ini berarti bahwa pikiran, sikap, dan tindakan warga NU, baik secara perorangan

(12)

maupun secara organisastoris (kolektif) harus berdasarkan atas Khitthah Nahdliyah. Demikian setiap kali pengambilan keputusan. Proses, prosedur maupun hasil-hasil keputusan yang diambil harus sesuai dan tidak bertentangan dengan Khitthah Nahdliyah.

B. Latar Belakang Khitthah Nahdliyah

Salah satu pemikiran yang melatarbelakangi keputusan untuk tidak terikat pada kekuatan politik tertentu adalah bahwa keterlibatan yang berlebihan dalam politik membawa dampak yang kurang baik bagi Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Realitas semacam ini disebabkan oleh sikap pribadi elit NU yang lebih menonjolkan kepentingan politik daripada kepentingan jam’iyah, dan pada gilirannya setahap demi setahap NU mulai ditinggalkan dan kehilangan bidang-bidang kegiatannya, seperti : dakwah, pendidikan, social, ekonomi dan budaya. Kesadaran semacam itu sebenarnya sudah lama muncul dalam benak tokoh-tokoh NU, dan bukan lagi permasalahan.

Usulan kembali kepada khitthah 1926 pertama kali muncul dalam muktamar ke 22 di Jakarta, Desember 1959. Seorang juru bicara dari Pengurus Cabang Mojokerto, KH. Achyat Chalimi, menilai bahwa peran politik Partai NU telah hilang dan peranan dipegang oleh perseorangan, hingga saat itu partai sebagai alat politik bagi NU sudah hilang. Oleh karena itu, diusulkan agar NU kembali kepada khitthah tahun 1926. Namun, usulan itu hanya didukung oleh 1 (satu) cabang, sehingga penilaian kembali ke khitthah berhenti.

Pemikiran serupa kembali digelindingkan tahun 1971 dalam Muktamar ke 25 di Surabaya. Kali ini gagasan datang dari Rais Aam KH. Wahab Hasbullah, dan gagasan tersebut mendapat sambutan yang lebih baik. Oleh karena itu, salah satu persoalan yang diperdebatkan adalah kehendak NU untuk kembali pada garis perjuangannya tahun 1926 ketika pertama kali didirikan, yakni mengurusi persoalan agama, pendidikan, dan social kemasyarakatan saja. Akan tetapi pada akhirnya gagasan kalah oleh arus besar keinginan untuk mempertahankan NU tetap berpolitik praktis.

Kandasnya gagasan kembali ke khitthah sampai kurun waktu tertentu jika diperhatikan, disebabkan dua hal, yaitu :

1. Gagasan itu semata-mata dilandasi alasan politis NU yang akhirnya hanya menjadi alat kepentingan politik pribadi para elitnya, dank arena itu sosulusi yang ditawarkan pun senada, dan tidak popular, yakni agar NU meninggalkan gelanggang politik sama sekali.

2. Konsep kembali ke khitthah tidak terumuskan secara jelas kecuali dalam pengertian “kembali pada tahun 1926”. Pengertian yang kurang jelas itu bias dipahami sebagai langkah mundur, serta menafikan nilai-nilai yang diperoleh NU dalam pengalamannya selama ini. Akhirnya Muktamar ke-25 memutuskan,

mempertimbangkan gagasan tentang sebuah wadah baru yang non politis yang menampung dari

membimbing aspirasi Islam Ahlussunnah wal jama’ah di kalangan umat, yang oleh karena factor-faktor lain harus meninggalkan ikatan-ikatan politiknya dengan partai politik.

Perumusan secara lebih jelas tentang konsep kembali ke khitthah, baru berkembang menjelang

Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979. Landasan pemikiran yang dulunya semata-mata politis kini dilengkapi dengan alas an moral. Merenungi perjalanan politik NU selama ini, seorang Ulama berpengaruh di Jawa Timur KH. Machrus Ali, menyebutkan bahwa telah terjadi kerusakan bathiniah yang parah dalam NU, dan para tokohnya dianggap terlalu hub al-riyasah dan hub al-jaah (cinta kekuasaan dan cinta kedudukan)

Ulama senior NU lain, KH. Achmad Shiddiq, menilai perlunya dirumuskan tekad untuk kembali ke “Khitthah Nahdliyah”, garis-garis besar tingkah laku perjuangan NU. Menurutnya, saat itu telah semakin jauh jarak waktu antara generasi pendiri NU dan generasi penerus, serta makin luasnya medan perjuangan dan bidang garapan NU. Di samping itu, Ulama generasi pendiri NU telah semakin berkurang jumlah dan

peranannya dalam kepemimpinan NU. Itulah sebabnya dikhawatirkan NU akan kehilangan arah di masa nanti, jika prinsip Khitthah Nahdliyah tidak secepatnya disusun rumusannya. Jika pemikiran kolektif semacam itu

(13)

banyak dating dari kalangan ulama, barangkali wajar mengingat keprihatinan mereka akan telalalu dominannya peran kelompok politisi di Tanfidziyah dalam kepemimpinan NU yang secara tak langsung mengurangi peran ulama.

Pada bulan Mei 1983 kelompok yang mengatasnamakan para tokoh muda menyelenggarakan

pertemuan, yang kemudian terkenal dengan nama Majelis 24, yang bertujuan melakukan refleksi terhadap NU, dengan kesepakatan penting terbentuknya “ Tim Tujuh untuk pemulihan Khitthah NU 1926 “. Tim ini terdiri atas KH. Abdurrahman Wahid (Ketua), H.M. Zamroni (Wakil Ketua), Said Budairy (Sekretaris), H. Mahbub Junaidi, Fahmi Saifuddin, Daniel Tanjung, dan Ahmad Bagja (semua anggota). Tim ini merumuskan konsep pembenahan dan pengembangan NU sesuai khitthah 1926 serta menyusun pola kepemimpinan NU. Rumusan yang

dihasilkan oleh Tim Tujuh inilah yang kemudian dijadikan pembahasan dalam Munas Alim Ulama 1983 dan Muktamar Nu ke-27 di Situbondo tahun 1984. Dari kedua forum inilah dihasilkan perubahan Anggaran Dasar NU, Program Dasar pengembangan NU, rekomendasi mengenai masalh keagamaan, pendidikan, social, politik, dan ekonomi sesuai acuan khittah 1926.

C. Tujuan Khitthah Nahdliyah

Tujuan yang pertama dan utama dari Khitthah NU dirumuskan secara tertulis dan sistematis adalah untuk menjadi pedoman dasar bagi warga NU, terutama pengurus, pemimpin dan kader-kadernya. Dalam naskah Khitthah NU (hasil Muktamar ke 27) disebutkan “ … landasan brpikir, bersikap dan bertindak warga NU, yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses

pengambilan keputusan. “

Khitthah NU, diharapkan tetap relevan dalam jangka waktu sepanjang mungkin. Namun, mungkin ada juga hal yang “ situasional kondisional “ yang disisipkan ke dalamnya, dengan susunan kata-kata yang samar-samar, seperti; “ NU sebagai jam’iyyah, secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan

organisasi kemasyarakatan yang manapun juga.” (butir 8 alinea 6 naskah Khitthah NU). Dalam hal ini Khitthah NU juga bertujuan merespon masalah situasional kala itu (system kepartaian Orde Baru).

Meskipun mungkin ada tujuan merespon masalah situasional, namun tujuan utama Khitthah NU adalah memberikan garis-garis pedoman kepada warga NU, terutama para pengurus, pemimpin dan kadernya dalam menjalankan roda organisasi.

D. Butir-butir Khitthah Nahdliyah

1. Dasar-dasar Paham Keagamaan NU

Pada Muktamar NU ke 27 di Situbondo tahun 1984, yang menghasilkan kesepakatan kembali ke khitthah 1926 juga ditegaskan tentang posisi Ahlussunnah wal jama’ah dalam organisasi NU yang dijabarkan secara lebih rinci, yaitu :

a. Nahdlatul Ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam yaitu Al Qur’an, As Sunnah, Al Ijma’ dan Al Qiyas.

b. Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya tersebut di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah wal jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (madzhab).

1) Di bidang aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah wal jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al Maturidi.

2) Di bidang fiqih, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (madzhab) salah satu dari madzhab Abu Hanifah An Nu’man, Imam Malil bin Anas, imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

3) Di bidang tasawwuf, mengikuti antara lain Imam Al Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali serta Imam-Imam lain.

(14)

Dasar-dasar pendirian paham keagamaan NU tersebut menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan pada :

a. Sikap tawassuth dan I’tidal b. Sikap tasamuh

c. Sikap tawazun

d. Amar ma’ruf nahi munkar :

3. Sikap NU dalam bidang Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

a. Dengan sadar mengambil posisi aktif, menyatukan diri dalam perjuangan Nasional. b. Menjadi warga negara RI yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945. c. Memegang teguh ukhuwwah dan tasamuh.

d. Menjadi warga negara yang sadar akan hak dan kewajiban, tidak terikat secara organisatoris, dengan organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan manapun.

e. Warga tetap memiliki hak-hak politik.

f. Menggunakan hak politiknya secara bertanggung jawab, untuk menumbuhkan sikap demokratis, konstitusional, taat hokum dan mengembangkan mekanisme musyawarah.

E. Strategi NU dalam mensosialisasikan Khitthah Nahdliyah

Sesungguhnya sosialisasi Khitthah NU adalah identik dengan “ kaderisasi NU “ di bidang wawasan Ke-NU-an. Kalau saja ada koordinasi antara badan-badan otonom yang ada dengan lembaga-lembaga

(Lakpesdam, RMI, dan lain sebagainya) dan pesantren, Insya Allah hasilnya akan lumayan. Sayang, sosialisasi yang terkoordinasi ini tidak dilakukan. Akibat dari macetnya upaya sosialisasi ini, khitthah menjadi merana, hidup segan mati tak mau. Betapa kacaunya pemahaman terhadap Khitthah NU, dapat ditangkap dari kata-kata seorang kyai pengasuh pesantren sebagai berikut : “ Di era khitthah selama 14 tahun ini, pesantren terputus hubungannya dengan NU. Tokoh NU dilarang masuk pesantren ini. Kami hanya berhubungan dengan PPP, sampai pesantren ini dimusuhi oleh pemerintah habis-habisan. Tetapi sekarang NU sudah punya PKB secara total, tidak ada yang ketinggalan di PPP seorang pun.

Tujuan menjadikan Khitthah NU sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU seperti yang disebutkan dalam naskah yang telah ada masih jauh dari kenyataan. Bukan saja karena realisasi dan aktualisasi Khitthah NU itu sendiri sudah merupakan perjuangan berat, di sisi lain usaha sosialisasinya masih banyak tersendat-sendat.

Proses perumusannya demikian panjang, melibatkan banyak pihak, mulai dari orang tua (Munas Alim Ulama tahun 1983), sampai kepada yang muda (Majelis 24 dan Tim Tujuh), sampai kepada yang formal structural (Muktamar 1984) dan lain sebagainya, sehingga patut dipercaya bahwa hasilnya sudah mantap, baik subtansinya maupun sistematikanya. Namun, sebagai karya manusia, selalu masih ada kekurangsempurnaan. Kalau toh akan disempurnakan, maka hasil penyempurnaan itu harus benar-benar lebih sempurna.

Yang jelas, upaya sosialisasi belum serius, terencana, terarah, terkoordinasi dan merata. Bahkan di kalangan pengurus di semua tingkatan pun belum merata. Akibat paling fatal adalah Khitthah NU sering menjadi “ pemicu pertentangan “ di kalangan warga NU sendiri, tidak menjadi “ pedoman pemersatu “ sebagaimana dimaksudkan semula.

F. Dinamika Khitthah Nahdliyah

1. Khitthah NU 1926 (Muktamar Situbondo 1984)

Gagasan unt uk kembali ke khitthah 1926 itu telah muncul sejak tahun 1971, dimana pada saat itu pemerintah orde baru berupaya untuk menelikung kekuatan politik Islam. Upaya ini semakin mengental pada Muktamar 1979 di Semarang, di mana muncul dua isu utama yang mendominasi, yaitu : kembali ke

(15)

khitthah NU dan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Isu ini terus menggelinding sangat kuat sampai kemudian disepakati dalam Munas Alim Ulama di Situbondo tahun 1983.

Munas Situbondo yang digelar pada tahun 1983 mempertegas hubungan NU dan partai politik. NU telah berseteguh hati untuk keluar dari partai politik (PPP) dan kembali menjadi organisasi social

keagamaan.

“ Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Tetapi Nahdlatul Ulama bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis. Penggunaan hak berpolitik dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang ada dan dilaksanakan dengan akhlakul karimah sesuai ajaran Islam, sehingga tercipta kebuadayaan politik yang sehat. Nahdlatul Ulama menghargai warga negara yang menggunakan hak politiknya secara baik, bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab.

Muktamar NU Situbondo yang berlangsung pada tanggal 8 – 12 Desember 1984 menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu :

1. Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU

2. Pemulihan keutamaan kepemimpinan ulama dengan menegaskan supermasi Syuriyah atas Tanfidziyah dalam status hukum

3. Penarikan diri dari politik praktis dengan cara melarang pengurus NU secara bersamaan memegang kepengurusan di dalam partai politik

4. Pemilihan pengurus baru dengan usulan program baru yang lebih menekankan pada bidang-bidang non politik.

Dalam Muktamar 1984 terdapat regenerasi kepemimpinan di PBNU, yaitu terpilihnya duet

kepemimpinan KH. Achmad Shiddiq menjadi Rais Aam PBNU dan KH. Abdurrahman Wahid menjadi Ketua Umum PBNU, menggantikan KH. Idham Chalid.

2. NU Pasca Khitthah 1926

Adanya berbagai penafsiran terhadap khitthah NU 1926 ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perjalanan NU. Ada dua kelompok yang muncul pada saat itu yaitu :

a. Kelompok kepengurusan lama yang kurang setuju adanya khitthah NU b. Kelompok kepengurusan baru yang setuju adanya khitthah NU.

Kedua kelompok itu terus berseteru hingga Muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta pada bulan Desember 1989. Pada saat itulah khitthah NU dirumuskan secara lebih kongkrit sehingga NU menjadi lebih dinamis dan maju menangani kegiatan-kegiatan soaial kemasyarakatan, dakwah keagamaan, pendidikan, dan ekonomi, bahkan dapat memperluas jaringan pada taraf internasional. NU ditempatkan sebagai organisasi yang moderat dan terbuka sehingga banyak anak-anak muda NU yang bisa mengembangkan gagasan-gagasan cerdas untuk kepentingan keilmuan dan kemasyarakatan. Pada saat itu muncul istilah-istilah Islami seperti ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah.

Pada tahun 1990 an, NU semakin dikenal dan diakui keberadaannya tidak hanya di kalangan umat Islam tetapi juga non Islam. NU menjadi organisasi social keagamaan yang kreatif, penuh ide, gagasan-gagasan cerdas dan maju, terbuka, warganya mempunyai rasa bangga dan percaya diri yang kuat.

Sampai pada Muktamar ke-29 di Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat, NU terus menunjukkan jati dirinya sebagai organisasi modern. Bahkan para kelompok politisi yang dipelopori oleh Slamet Efendi Yusuf dan Chalid Mawardi ini merupakan bagian dari kelompok-kelompok yang ingin memanfaatkan NU untuk kepentingan politiknya, akhirnya tersingkir oleh semangat warga NU yang dipelopori oleh KH. Abdurrahman Wahid untuk tetap melaksanakan amanat khitthah NU 1926.

(16)

Semangat khitthah tidak bisa dipungkiri oleh para kader NU, gerakan-gerakan pemikiran perlu terus dilakukan agar NU tetap menjadi organisasi yang dinamis. Hal ini bias dilakukan oleh para pelajar NU dengan cara :

1) Menulis gagasan-gagasan cerdas yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang disebarluaskan di berbagai media massa baik cetak maupun elektronik.

2) Membudayakan gemar membaca apa saja yang bermanfaat untuk kepentingan keilmuan. 3) Memperluas jaringan dengan pihak luar agar NU semakin dikenal dan diakui keberadaannya. 4) Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu mengikti proses globalisasi.

5) Tetap menjaga jati diri sebagai warga NU dengan amaliah Ahlussunnah wal jama’ah.

Dengan demikian NU akan semakin berdaya mengabdi pada masyarakat, bangsa dan negara. Di bawah kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) NU berhasil melawan campur tangan pemerintah yang ingin melemahkan perjuangannya. Pada kurun waktu periode ini NU terus melakukan sikap kritis terhadap penguasa orde baru dengan zig zag politiknya Gus Dur. Hal ini terus berlanjut hingga berakhirnya pemerintahan Soeharto.

Sebagai generasi penerus, pelajar NU juga harus kritis dan tidak takut dalam melawan kebathilan. Pihak-pihak yang ingin melemahkan perjuangan NU harus dilawan baik secara intelektual maupun moral. Dengan demikian NU akan disegani oleh pihak lain dan tidak diremehkan orang lain. Upaya menjadikan NU besar nama dan besar isi perlu terus dilakukan utamanya melalui jalur pendidikan.

3. NU Masa Reformasi 1998 Hingga Sekarang

Pada pertengahan 1997 Indonesia dilanda krisis moneter sangat dasyat, yang kemudian meluas pada krisis ekonomi dan politik. Krisis ini kemudian bergesar pada krisis kepemimpinan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Krisis multidimensi ini kemudian melahirkan gerakan reformasi yang digalang kelompok menengah dan mahasiswa. Pada akhirnya krisis ini kemudian memicu ketidakpercayaan masyarakat dan memunculkan protes besar-besaran terutama dari kalangan mahasiswa. Ratusan ribu mahasiswa turun kembali ke jalan menuntut turunnya presiden Soeharto sebagai presiden dan mengembalikan kekuasaan pemerintah kepada hati nurani rakyat. Kekuasaan presiden diserahkan kepada wakil presiden BJ. Habibie tanggal 21 Mei 1998.

Menyikapi kondisi bangsa yang semakin tidak menentu ini, dengan jatuhnya korban mahasiswa dalam peristiwa Trisakti dan Semanggi, PBNU mengeluarkan sikap resmi :

a. PBNU menyatakan keprihatinan yang mendalam atas jatuhnya korban dan mengutuk aparat keamanan dan pihak-pihak lain yang menjadi dalang serta tindakan brutal.

b. Mengucapkan belasungkawa pada para korban.

c. Mengutuk aparat keamanan dan pihak yang menjadi dalang dan pelaku tindakan brutal terhadap mahasiswa dan warga masyarakat yang tidak berdosa.

d. Mendesak pada pihak-pihak yang mengatasnamakan umat Islam dan symbol-simbol Islam sebagai alat untuk mencapai tujuan politiknya.

e. Menyesalkan sikap MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang terkesan tidak mengayomi umat dan memberi ruang gerak bagi munculnya gerakan-gerakan yang memaksakan kehendak untuk kepentingan

kelompok dan golongan teetentu yang dapat memperkeruh situasi yang berkaitan dengan SI MPR 1998. f. Mendesak para pemimpin dan aparat pemerintah yang tidak dapat menjalankan amanat rakyat dalam

menjaga persatuan dan kesatuan, serta tidak mampu memberantas KKN sebagai tuntutan rakyat, agar mengundurkan diri dari jabatannya.

g. Menghimbau warga NU dan umat Islam pada umumnya senantiasa taqarrub ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah) dan menjauhkan diri dari tindakan anarkis yang dapat merugikan kepentingan serta kesatuan Negara.

(17)

Pada periode 1999 – 2004 telah terjadi perubahan besar berkaitan dengan penyikapan terhadap khitthah NU 1926. Buah dari reformasi telah memberikan peluang warga NU untuk mendirikan partai politik baru. Pro kontra telah terjadi, tetapi dengan berbagai pertimbangan politik, maka warga NU perlu

mempunyai wadah penyaluran aspirasi politik yang representative. Maka kemudian berdirilah Prtai Kebangkitan Bangsa (PKB), bersamaan dengan itu maka syahwat politik warga NU tidak bias terbendung dan bergabunglah mereka ke PKB sementara mereka banyak yang masih menjabat sebagai pengurus Nu di semua tingkatan.

Dalam kondisi seperti itu, maka pelaksanaan khitthah NU menghadapi banyak persoalan. Terlebih setelah Gus Dur terpilih menjadi presiden, nuansa politik NU cenderung menjadi lebih menonjol dan seolah-olah misi dari khitthah NU agak terlupakan. Upaya untuk mengembalikan NU ke khitthah terus dilakukan, utamanya pada masa kepemimpinan KH. Hasyim Muzadi. Rangkap jabatan tidak diperbolehkan dalam kepengurusan NU di semua tingkatan. Bagi mereka yang menjadi pengurus partai politik (tidak hanya PKB) tidak boleh merangkap menjadi pengurus NU. Demikian pula bagi mereka yang ingin menjadi calon

legislative (DPR) tidak boleh membawa-bawa bendera NU untuk kepentingan politiknya. Kebijakan itu menjadi mentah setelah KH. Hasyim Muzadi digandeng Megawati Soekarno Putri menjadi calon wakil presiden. Di sini Khitthah NU diuji kembali, namun keputusan khitthah tetap berjalan meskipun banyak rintangan.

Warga NU harus menjadikan pelajaran yang berharga bahwa perpecahan di tubuh NU sering terjadi dikarenakan tarik-menarik kepentingan politik. Karena itu penegakan terhadap prinsip khitthah bias menjadi salah satu alternative penyelesaian. Kader NU termasuk pelajar menjadi harapan utama untuk bias

melaksanakan nilai-nilai khitthah NU secara konsisten dan bertanggung jawab. Tidak mudah terbawa oleh arus dinamika politik. Konsentrasi belajar agar menjadi warga NU yang berkualitas dan mampu bersaing dengan orang lain. Tidak ikut-ikutan setiap ada pesta demokrasi seperti pemilu legislative, pilpres, pilkada, dan pilkades harus menjadi prinsip setiap pelajar NU.

(18)

Ke IPNU an

Oleh : PC IPNU Kabupaten Kudus

Makna Sosiologis dan Strategis IPNU Dilahirkan

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) diidrikan pada tanggal 24 Februari 1954 Masehi yang bertepatan dengan tanggal 20 Jumadil Akhir 1373 Hijriyah. IPNU didirikan pada saat itu merupakan suatu keharusan sejarah, karena di berbagai daerah organisasi pelajar dan santri NU sudah banyak berdiri. Sebut saja Tsamratul Mustafidin di Surabaya tahun 1936, PERSANO (persatuan santri Nahdlotul Oelama) Tahun 1945, Persatuan murid NO tahun 1945 di Malang, Ijtimaut Tholabah Nahdlatul Oelama (ITNO) tahun 1946 di Madura, PERPENO (Peratuan Pelajar NO ) di Kediri tahun 1953, IPINO ( Ikatan pelajar NO ) dan IPENO Tahun 1954 di Medan, dll). Dengan demikian, ada kebutuhan untuk membentuk organisasi di tingkat nasional yang dapat menyatukan dan merumuskan formulasi kaderisasi bagi pelajar NU serta mendorong pendirian organisasi yang mewadahi pelajar, santri dan mahasisiwa NU di setiap daerah dan bahkan di setiap tingkatan organisasi NU.

Hal yang juga tidak kalah penting adalah pertarungan Ideologi pada saat itu antara Nasionalis, Islam, dan Komunis. Dapat dilihat dalam runutan sejarah NU sebelum masa kemerdekaan, yakni pada masa awal kemerdekaan NU telah membuktikan diri sebagai kelompok strategis dan memiliki saham paling besar dalam pembentukan bangsa Indonesia ini. Contoh nyata adalah pada sidang BPUPKI simbah KH Wahid Hasyim ‘pasang badan’ sebagai penengah ditengah perdebatan bentuk negara dan dasar negara antara kelompok Islam dan non Islam, maka diputuskan NKRI adalah bentuk final Bangsa Indonesia.

Di tengah pertarungan Ideologi yang semakin runcing tersebut, maka masing-masing kekuatan yang ada juga memperluas pengaruhnya di masing-masing sektor, tak terkecuali di kalangan pelajar. Melakukan ideologisasi

Islam ala Ahlussunah Wal Jamaah dikalangan pelajar NU maka hukumnya menjadi ‘wajib’. Tidak hanya sekedar menyelamatkan kader NU dari kepungan ketiga ideologi diatas, akan tetapi menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan dan kehancuran dini. Para intelektual muda NU, Ulama dan Kyai tidak menginginkan bangsa ini menjadi

‘layu sebelum berkembang’. PenerimaanNU pada konsep NASAKOM merupakan pembuktian kesekian kali bahwa NU menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Bahwa perbedaan yang muncul NU berusaha menerima dan memahami dan kemudian merumuskan menjadi kekuatan bangsa.

Meskipun didirikan ditengah tengah pertarungan politik yang cukup keras, IPNU adalah Jawaban atas kebutuhan organisasi pelajar, santri dan mahasiswa secara nasional untuk menjawab kebutuhan proses kaderisasi di tubuh Nahdlatul Ulama, dan kebutuhan untuk melakukan ideologisasi bagi pelajar sekaligus memberi jaminan bahwa bangsa Indonesia ini utuh di awal kemerdekaan, dan menjadi bangsa yang besar di kemudian hari.

Peristiwa strategis dari konggres ke konggres

Pendirian Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dimotori oleh M Sufjan Cholil (Jombang), H. Mustahal (Solo), dan Acmad Masjhub, dan Abdul Ghoni Farida (Semarang) yang mengusulkan kepada PB LP Maarif yang saat itu menyelenggarakan Konferensi Besarnya di Semarang.

Sebelum menindaklanjuti pengesahan Konferensi Besar Ma’arif NU, assabiqunal awwalun (sebutan bagi tiga perintis IPNU) mengadakan Konferensi Segi Lima di Solo. Konferensi ini meliputi daerah Yogyakarta, Semarang, Solo, Jombang, dan Kediri. Konferensi ini melahirkan beberapa keputusan penting, yaitu bahwa organisasai berazaskan ahlussunah wal jamaah, wilayah garapan organisasi yang khusus putra, dan tujuan keberadaan organisasi adalah mengokohkan ajaran Islam sekaligus risalah diniyah (penyebarluasan), meninggikan dan menyempurnakan pendidikan dan ajaran Islam, serta menghimpun semua potensi pelajar yang berpaham Ahlussunah wal jamaah di semua sekolah sekolah yang ada. Keputusan yang tidak kalah penting adalah menunjuk Mohammad Tholchah Mansoer sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat IPNU dan menetapkan Yogyakarta sebagai kantor pusat, serta sekilas AD/ART IPNU. Berita pelaksanaan Konferensi Segi Lima serta hasil-hasilnya segera

(19)

disebarkan ke seluruh pelosk Tanah Air, terutama kota-kota yang terdapat pesantren. Hingga sampai saat ini perkembangan IPNU-IPPNU sangat signifikan.

Selanjutnya IPNU mendapat pengakuan resmi sebagai bagian dari NU pada Muktamar NU ke 20 di Surabaya pada tanggal 9 – 14 September 1954. Kemudian IPNU melaksanakan muktamar yang pertama pada tanggal 28 Februari 1955 di Malang Jawa Timur. Kebesaran muktamar benar benar terwujud, dan semakin terasa istimewa karena dihadiri oleh Presiden RI Ir. Soekarno, Wakil Perdana Menteri Zainul Arifin, Menteri Agama RI KH. Masykur. Sedangkan dari jajaran PBNU hadir Rois ‘Aam NU KH Abdulwahab Chasbullah, Ketua Umum Partai NU KH Dahlan, Ketua Umum PB Maarif NU KH Syukri Ghozali. Hal itu yang menandai pengakuan pihak Eksternal dan Internal eksistensi IPNU sebagai salah satu organisasi kepemudaan di Indonesia.

Pada muktamar II di Pekalongan pada tahun 1957, mulai diadakan lomba dan beberapa pertandingan cabang olahraga, diantaranya sepak bola, bulutangkis dan catur. Pada muktamar II ini kembali Tolkhah Mansyur dipercaya sebagai ketua Umum.

Muktamar III dilaksanakan di Cerebon, pada tanggal 27 Desember 1958. di muktamar ini IPNU mulai mendapat kritik, karena diusia yang ke-4 kader pesantren merasa ditinggalkan dan kurang diakomodir. Puncaknya mereka menilai bahwa eksistensi IPNU sebagai organisasi tidak jauh berbeda dengan PII. Semangat kritisisme peserta muktamar mulai kelihatan, hal ini dapat dilihat dari Usulan-usulan baik itu kepada PP IPNU, PB Maarif, ataupun kepada Menteri Agama, menteri PP & K, dan Menteri Perhubungan. Dalam muktamar ini POR mulai diadakan secara resmi yang diikuti oleh 56 cabang IPNU dari seluruh Indonesia. Selain Tolkhah Mansyur terpilih kembali sebagai ketua Umum IPNU, yang paling penting adalah munculnya amanat Muktamar bahwa PP IPNU harus menyusun Mukadimmah AD / ART IPNU yang akhirnya berhasil disusun pada tanggal 16 Oktober 1959.

Muktamar IV diselenggarakan di Yogyakarta, pad tanggal 11 Februari 1961, beberapa hal penting yang dihasilkan dalam muktamar ini adalah penghapusan departemen perguruan tinggi IPNU karena sudah ada PMII, penggantian istilah muktamar menjadi konggres, dan perubahan istilah dari Anggaran Dasar / Rumah Tangga (AD/ART) menjadi Peraturan Dasar / Peraturan rumah tangga (PD/PRT) serta finalisasi bentuk lambing IPNU. Dan terpilihnya Ismail Makky sebagai ketua Umum.

Sebelum diadakan Konggres ke V di Purwokerto, diadakan konferensi besar di Pekalongan pada tanggal 28 Oktober 1964, lahirlah rumusan sikap yang disebut dengan ‘Doktrin Pekalongan’, yang isinya sebuah ekspresi kesadaran IPNU untuk terus berusaha melakukan langkah langkah kongkrit aktualisasi perjuangan menuju cita cita Nahdlatul Ulama. Doktrin Pekalongan juga menegaskan pemihakan IPNU kepda Pancasila, mengalahkan manifesto Komunis maupun Declaration of Independence. Dari Doktrin pekalongan inilah yang kemudian mendorong berdirinya Corp Brigade Pembangunan (CBP) pada tahun 1965. Mengingat pada saat itu eskalasi politik sedang meningkat. Operasional CBP ada pada wilayah membantu usaha pembangunan masyarakat desa dan sebagai organ keamanan bagi IPNU. Konggres V di Purwokerto menghasilkan ketua terpilih Asnawi Latif. Dan yang terpenting adalah Ikrar Bersama peserta Konggres V yang berbunyi “Nama Organisasi ‘Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’ tidak akan di ubah untuk selama lamanya.”

Setahun setelah CBP terbentuk, IPNU menyelenggarakan Konggres VI di Surabaya pada tanggal 20 – 24 Agustus 1966, dikonggres ini juga diadakan PORSENI IPNU / IPPNU. Di konggres ini menghasilkan keputusan yang fundamental yaitu IPNU / IPPNU sebagai badan otonom Partai Nahdlatul Ulama. Artinya posisi sejak konggres VI IPNU / IPPNU sejajar dengan GP Ansor, Muslimat dan Banom banom yang lain. Dan keputusan lain yaitu memindahkan kantor pusat IPNU dari Yogyakarta ke ibukota Jakarta.

Tahun 1988 saat kongres ke-10 di Jombang, dikarenakan UU Nomor 8 tahun 1985 tentang aturan keormasan di Indonesia. Azas dan nama berubah, karena tuntutan UU itu, seperti juga pada NU. Tetapi hakekat dari tujuan, sasaran kelompok dll, tetap sama. Akronim IPNU dari Ikatan pelajar NU menjadi Ikatan Putra NU. Bahkan ketika itu, sebenarnya tidak saja kependekan “P” termasuk dua huruf dibelakangnya (NU) yang harus dihapuskan,

(20)

karena hal itu dianggap sebagai bawahan partai tertentu. Pada konggres akhirnya tetap menjadi IPNU, hanya “P”-nya saja yang berubah,dari pelajar menjadi putra. Hal serupa juga terjadi pada organisasi pelajar manapun. Perubahan nama tersebut menjadikan IPNU terpaksa merubah focus sasaran bidang garap dari pelajar dan santri, menjadi lebih difokuskan pada kemahasiswaan.

Namun kemudian dalam kongres ke-13 di Makasar tahun 2000, para kader IPNU memunculkan kesadaran bersama yang terasa hilang sejak tahun 1988, sehingga menghasilkan sebuah “Deklarasi Makasar” yang berisi rekomendasi bahwa IPNU kembali pada proses kepelajaran, lalu menumbuhkembangkan IPNU pada proses perjuangan sekolah dan pondok pesantren dan terakhir menghidupkan lagi Lembaga CBP (Corp Brigade Pembangunan ) yang lahir 1965 sebagai kelompok kedisiplinan, kepanduan, dan Pecinta Alam. Semua itu dalam kerangka mencapai tujuan IPNU yaitu terbentuknya putra-putra banga yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, Berakhlak mulia, dan berwawaan kebangsaan, serta bertanggung jawab atas tegak dan terlaksanakanya syari’at Islam menurut paham Ahlus Sunah Wal Jama’ah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pada konggres IPNU di Surabaya, para kader IPNU membuat sebuah kesepakatan bersama yaitu untuk merubah nama dan sekaligus Visi kepelajaran dan orientasi Pengkaderan IPNU pada garis perjuangan yang semestinya. Pada Kongres di Asrama Haji Sukolilo Surabaya tersebut, sebenarnya sebagian besar peserta, terutama dari luar Jawa, tidak sepakat perubahan Putra ke Pelajar. Namun, karena tekanan dari PBNU (karena memang hak PBNU sebagai induk organisasi untuk mengintervensi IPNU pada saat dipandang perlu), akhirnya pada Pleno khusus ditetapkan secara aklamasi, bahwa IPNU kembali menjadi Ikatan Pelajar NU dengan fokus bidang garap pada segmen Pelajar dan Santri.

Orientasi pengembangan IPNU kedepan a. Penguatan kelembagaan

Ketidak jelasan bidang garap IPNU dalam ranah kaderisasi NU dimulai ketika konggres Jombang

memutuskan akronim ‘P’ berubah dari pelajar ke putra. Akan tetapi hal ini tidak dapat disalahkan, karena Orde Baru sebagai jelmaan kekuasaan militer di Indonesia, pada saat itu sedang dalam posisi ‘On Power’ maka kemudian setiap potensi yang dianggap mengganggu akan disingkirkan kalau perlu ditumpas. kebijakan kebijakan yang bernuansa hegemonik mulai diterapkan, termasuk UU no 8 th 1985 tentang keormasan, dilanjutkan munculnya SKB 3 Menteri yang melakukan pelarangan organisasi di tingkat sekolah selain OSIS dan Pramuka.

Deklarasi makasar dan ditetapkannya keputusan di Konggres Surabaya yang menyatakan perubahan nama dari ‘Putra’ ke ‘Pelajar’ merupakan titik balik. Pilihan kembali kepelajar adalah bentuk kesadaran kritis IPNU terhadap kondisi kaderisasi yang ada di tubuh Nahdlatul Ulama dan berbagai problem bangsa kontemporer.

Empat tahun sudah pilihan dijatuhkan, akan tetapi fokus gerakan IPNU belum sepenuhnya

terkonsentrasikan didunia pelajar dan santri. Sekali lagi pemakluman yang harus disampaikan untuk kasus ini karena secara utuh pembagian wilayah kaderisasi di NU juga carut marut!!! Bagaimana mungkin dalam rentang usia yang panjang (20 – 29 tahun) dua badan otonom diberi kewajiban melakukan kaderisasi atau malah berebut satu sama lain??? Apalagi oleh dua badan otonom, yang satu ‘pelajar’ dan yang satu ‘pemuda’, aneh bukan?. Dalam bahasa matematika, ‘irisan’ wilayah kaderisasi inilah yang perlu dirapikan.

Memperdebatkan hal diatas memang harus, akan tetapi hasil yang diharapkan tidak bisa di capai dalam waktu singkat. Sambil menunggu proses, kesadaran akan fungsi organisasi kiranya menjadi solusi atas problem diatas. Ya..!!! Mencurahkan seluruh potensi yang ada di organisasi untuk lebih fokus ke pelajar dan santri saya kira pilihan rasional. Disiplin gerak adalah kunci agar dari waktu ke waktu karya yang dilakukan dapat diukur, dievaluasi dan kemudian dicarikan solusi pengembangannya dikemudian hari.

Pembenahan di wilayah administrasi dan manajemen organisasi juga menjadi PR seluruh elemen yang terlibat dikepengurusan IPNU di semua tingkatan. Karena organisasi bekerja dan bergerak berdasarkan catatan administrasi yang ada dan penataan manajemen yang dilakukan. compang camping, semrawut, atau bahkan tidak

(21)

ada catatan sama sekali, menjadi temuan yang umum ketika kita membuka-buka catatan administrasi yang dilakukan pengurus IPNU. Baik itu data base organisasi, surat masuk, surat keluar, agenda yang sudah dilakukan ataupun agenda yang akan dilakukan, bahkan jumlah anggota yang dimiliki juga tidak dimiliki. Bagaimana mungkin kita mau menyusun program kerja, kurikulum kaderisasi dan strategi pengembangan organisasi yang utuh dan rasional apabila data yang dipakai adalah asumsi atau bahkan palsu.

Kurangnya disiplin gerak dan kacaunya sistem administrasi organisasi memberi dampak pada lemahnya kurikulum kaderisasi, ketidak tertiban tahapan kaderisasi (formal dan non formal ) yang dilakukan dan kacaunya pembagian kerja diantara pengurus, sehingga kemampuan manajemen organisasi bagi pengurus tidak dapat didesain dan diukur lewat proses kaderisasi yang ada dalam organisasi.

b. Penataan infrastruktur organisasi

Kepengurusan IPNU ada mulai dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Cabang, Pimpinan Anak Cabang, dan sampai Pimpinan Ranting dan Komisariat. kondisi dimasing masing daerah dan tingkatan berbeda satu sama lain. Banyak hal yang mempengaruhi kondisi ini, baik itu kultur masyarakatnya, kinerja pengurus, dan

dukungan dari stakeholder yang ada (NU, Ansor, Maarif, Pondok Pesantren, Pemerintah daerah setempat dll.) Globalisasi semakin menengelamkan semangat kolektif bangsa Indonesia, sehingga kesadaran

berorganisasi ditingkat masyarakat juga semakin rendah. Dampak yang muncul bagi IPNU adalah terjadi pasang surut organisasi disemua tingkatan. Langkah yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi hal ini adalah :

1. Melakukan reorganisasi bagi kepengurusan yang sudah habis periodesasinya. 2. Revitalisasi organisasi di semua tingkatan yang kepengurusannya kurang jalan. 3. Membentuk kepengurusan IPNU di daerah yang belum terbentuk.

4. Disiplin pada aturan organisasi 5. Ketaatan pada instruksi organisasi

c. Kepemimpinan issue kepelajaran

Sebagai organisasi pelajar, IPNU selama ini belum maksimal memerankan dan mencerminkan sebagai organisasi pelajar. Walaupun di dalam keanggotaan dan kepengurusan banyak yang (maaf) sudah ‘kedaluwarsa’ untuk disebut sebagai pelajar, akan tetapi merumuskan issue strategis ke-pelajar-an dalam setiap nafas kegiatan IPNU yang dibuat adalah keharusan. Hal itu dilakukan untuk senantiasa mengingatkan jatidiri organisasi IPNU sebenarnya.

Tugas terberat sekarang adalah bagaimana disetiap daerah setiap ada persoalan yang berkaitan dengan pelajar, IPNU menjadi organisasi yang pertamakali merespon, atau minimal terlibat dalam merespon persoalan tersebut. Perlu kerja ekstra keras memang, karena kita semua harus sering mengikuti perkembangan informasi, berdiskusi, dan merumuskan solusi alternatif yang bisa kita tawarkan untuk menyelesaikan masalah pelajar yang terjadi di sekitar kita. Semoga !!!.

Hal yang harus segera dilakukan adalah membuat IPNU sebagai organisasi yang memberi pelayanan dan manfaat bagi pelajar, tidak sedikit masalah yang dihadapi oleh pelajar misalnya, keterbatasan sarana belajar, kekurangan biaya sekolah, hilangnya motivasi belajar, masalah antar pelajar maupun antara pelajar dengan guru, antara pelajar dengan lingkungan ataupun dengan orang tua dll. Belum lagi ancaman bagi pelajar yang bersifat jangka panjang, misalnya NARKOBA, Free Sex, perdagangan anak dan pelacuran yang melibatkan pelajar.

Alternatif yang bisa IPNU lakukan antara lain fasilitasi peningkatan prestasii belajar (misalnya kelompok belajar / studi club dan lembaga bimbingan belajar) dan pembentukan kelompok yang bersifat kegemaran (olahraga dan seni). Apabila kita dapat konsisiten dalam kepemimpinan issue pelajar, maka setiap ada pelajar yang memiliki ketertariakan untuk terlibat aktif di organisasi, maka IPNU akan senantiasa menjadi tujuan dan pilihan utama bagi pelajar untuk bergabung.

Referensi

Dokumen terkait