ABSTRACT
ANI WIDIYATI. Design Based on The Model of Sustainable Management of Reservoir Fisheries Floating Cage (Reservoir Case Cirata West Java). Under direction of D. DJOKOSETIYANTO, DIETRIECH G BENGEN, M. KHOLIL AND ZAINAL ABIDIN.
The research of the sustainable management model’s design of Reservoir Fisheries floating cage (Reservoir Case Cirata, West Java) aims to calculate the carrying capacity, make its institutional model, build dynamic system model and assess the sustainability of the reservoir management of floating cage based aquaculture in Cirata Reservoir. The calculation of the pollution load and capacity of assimilation is used to calculate its carrying capacity and Interpretative Structural Modeling (ISM) is used to create institutional. Furthermore, Powersim software is used to create dynamic models and Rapfish used to assess the status of sustainability in the management of Cirata Reservoir. This study shows the status of water quality in Cirata reservoir has been low into high polluted (based on water quality classification class B PP 82-year-2001), the carrying capacity of the reservoir parameters in Cirata based on TSS, BOD, COD, PO4, NO3, NO2, Fe,
Cd, Zn, and Mn parameter have passed the threshold of the standard quality of water in the river. The ideal reservoir management involves the central government (Ministry of Forestry), Cirata Reservoir Management Agency, Department of Fisheries and Marine West Java Province and the Ministry of Fisheries and Marine. The population growth is the factor of problem in the utilization of Cirata Reservoir. The problem follows the basic pattern of boundary dynamic model for success, tragedy of the common and shifting of the burden, with the dominant building block is reinforcing. The increased activity of the population (KJA, industry, agriculture, livestock, forest encroachment) increased sedimentation and pollution balance the functions of ecological, economic and socio-cultural. Ecology aspect is the weakest aspect in the sustainable management of Cirata Reservoir. Socio-cultural aspect is the dominant aspect as a major capital in the intervention of four other aspects. (economic, legal-institutional, technology / infrastructure and ecology).
RINGKASAN
ANI WIDIYATI. Rancang Bangun Model Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Berbasis Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung (Kasus Waduk Cirata Jawa Barat). Dibimbing oleh D.DJOKOSETIYANTO, DIETRIECH G BENGEN, M. KHOLIL dan ZAINAL ABIDIN.
Waduk Cirata seperti halnya waduk serbaguna lainnya, dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan ekonomi yaitu untuk budidaya ikan dalam KJA. Terjadinya alih fungsi utama sebagai PLTA menjadi fungsi untuk kegiatan ekonomi masyarakat mengakibatkan terjadinya konflik sosial antara Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) dengan masyarakat sebagai pelaku kegiatan usaha perikanan di Waduk Cirata. Oleh karenanya kondisi Waduk Cirata pada saat ini telah mengalami degradasi yang sangat serius karena masyarakat dalam melakukan kegiatan perikanan budidaya tidak memperhatikan fungsi lingkungan waduk tersebut. Luasan waduk yang makin lama semakin sempit dengan kedalaman air yang makin berkurang serta tingginya sedimentasi dan pencemaran perairan diduga mengakibatkan fungsi utama waduk sebagai PLTA terabaikan.
Pengelolaan waduk merupakan suatu kegiatan yang penting, kompleks dan dinamis. Penting karena waduk memiliki fungsi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya menjadi kompleks karena melibatkan multi stakeholder dengan karakteristik yang berbeda, dan dinamis karena tingkat pencemaran dan sedimentasi selalu berubah seiring dengan perubahan waktu. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan masalah–masalah yang berkaitan dengan pengelolaan waduk harus dilakukan secara integratif–holistik dengan pendekatan kesisteman. Pendekatan ini diduga akan memudahkan bagi pengambil kebijakan (decision maker) dalam pengelolaan waduk untuk secara dini menyiapkan langkah–langkah strategis, dalam pengelolaannya dan dalam menghadapi setiap perubahan yang akan terjadi ke depan. Pendekatan sistem dapat mengidentifikasi faktor pengungkit dalam pengelolaan waduk, sehingga kebijakan strategis yang akan diambil menjadi lebih efektif. Pendekatan sistem dinamik merupakan bagian dari pendekatan kesisteman dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam pengelolaan waduk karena pendekatan sistem dinamik ini dapat menyederhanakan struktur sistem yang kompleks dan rumit.
Penelitian tentang rancang bangun model pengelolaan waduk berkelanjutan berbasis perikanan budidaya karamba jaring apung (kasus Waduk Cirata-Jawa Barat) telah dilakukan dengan tujuan menghitung beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di perairan, membuat model kelembagaan untuk pengelolaan waduk serta membuat rancang bangun model sistem dinamik pengelolaan Waduk Cirata (Jawa Barat). Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, untuk data biofisik perairan Waduk Cirata merupakan data time series 5 tahun. Metode penelitian untuk menghitung daya dukung perairan waduk dengan penghitungan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi perairan. Interpretative Structural Modelling (ISM) digunakan untuk menganalisis kelembagaan dan
software Powersim digunakan untuk membuat model dinamik.
Hasil penelitian memperlihatkan status mutu perairan Waduk Cirata pada kondisi sudah tercemar sedang sampai berat (pada klasifikasi baku mutu air
golongan B yaitu peruntukan pertanian perikanan dan peternakan). Kapasitas asimilasi perairan Waduk Cirata terhadap parameter TSS, BOD, COD, PO4, NO3,
NO2
Hasil analisis model kelembagaan memperlihatkan untuk pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan diperlukan 4 elemen penting yang dapat menjadi faktor pengungkit dalam pengelolaan waduk tersebut yaitu tujuan utama yang ingin dicapai memiliki daya penggerak yang sangat kuat terhadap keberhasilannya adalah (1) Rasionalisasi/penurunan jumlah KJA, (2) Penyesuaian tata letak KJA dengan zonasi peruntukan, (3) Kelestarian sumberdaya perairan waduk, (4) Terjaganya keseimbangan ekosistim perairan, (5) Kelestarian sumber daya perikanan, (6) Penegakan regulasi pemerintah, (7) Terjalinnya koordinasi antar institusi, dan (8) Monitoring dan evaluasi pengelolaan.
, Fe, Cd, Zn, dan Mn, sudah melewati ambang batas baku mutu perairan.
Kebutuhan utama program yang diperlukan dalam keberhasilan pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan di Waduk Cirata yang memiliki daya penggerak yang kuat adalah (1) Penetapan zonasi budidaya KJA dan areal penangkapan suaka perikanan, (2) Penentuan kepemilikan sumberdaya waduk, (3) Pemilihan unit pengelola yang tepat, (4) Permodalan dan fasilitas pinjaman, (5) Pemasaran yang baik.
Kendala utama yang akan dihadapi yang berpengaruh sebagai penggerak yang kuat dalam pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan adalah masih terdapat perbedaan persepsi dalam pengelolaan waduk. Lembaga yang berperan untuk keberhasilan pengelolaan waduk berkelanjutan di Waduk Cirata yang mempunyai penggerak yang kuat adalah (1) Badan Pengelola Waduk Cirata, (2) Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan), (3) Dinas Perikanan Pemerintah Propinsi Jawa Barat, (4) Dinas Perikanan Kotamadya/Kabupaten/Kecamatan/Desa.
Analisis kebijakan alternatif dalam pengelolaan Waduk Cirata yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat melalui beberapa cara, yaitu: (a) Penduduk secara umum: sosialisasi program KB (revitalisasi program KB
nasional, angka kenaikan bisa ditekan menjadi 1,1% per tahun), penyuluhan
kepada masyarakat tentang keluarga sederhana bahagia. Penduduk sekitar wilayah waduk: dibuat kebijakan untuk pembatasan penduduk di luar wilayah waduk yang akan melakukakan usaha perikanan budidaya di perairan Waduk Cirata, untuk penduduk yang berdomisili di wilayah waduk diberi porsi usaha yang lebih besar, selain diberi ijin usaha juga diberikan modal usaha dalam bentuk pinjaman lunak atau bantuan benih ikan unggul. Penebaran ikan pemakan plankton (nilem, bandeng, mola, grasscarp) ke perairan waduk sebagai sumber penghasilan nelayan tangkap, manfaat lainnya adalah sebagai pengendali eutrofikasi karena memanfaatkan plankton sebagai pakannya. Penyuluhan tentang pentingnya pengelolaan waduk berkelanjutan kepada penduduk yang berada di wilayah perairan waduk. (b) Limbah sampah penduduk, tinja manusia, dan feses ternak: Pengolahan dengan pendekatan sumber. Pergeseran pendekatan dari pendekatan ujung-pipa (end- pipe of solution) ke pendekatan sumber. Pengembangan program pengelolaan sampah/limbah dengan pendekatan Reduce, Reuse, Recycle, Recovery
dan Participation (4R + P) yang meliputi, antara lain: waste to energy dan kompos. (c) Limbah Budidaya KJA: penegakan regulasi pembatasan luas KJA sebesar 1% dari luas waduk (6200 ha) yaitu 62 ha, upaya menurunkan jumlah RTP (Rumah Tangga Perikanan) di Waduk Cirata dengan memberikan pelatihan
dan keterampilan usaha baru, pemerintah perlu membuka lapangan kerja baru dan menggali teknologi baru untuk pemanfaatan limbah budidaya KJA, misalnya untuk bahan filler pupuk organik, dan sumber energy. (d) Limbah pupuk pertanian: teknis kebijakan yang dapat dilakukan adalah pelatihan pemanfaatan limbah untuk dijadikan kompos, sehingga petani beralih menggunakan pupuk kompos/organik daripada pupuk pabrik. Begitu pula agar lahan pertanian tidak cepat gersang maka perlu pelatihan dan sosialisai teknik konservasi tanah dan air seperti penanaman searah kontur, dan teras. (e) Penanganan RPH dan Industri: penerapan penegakan hukum pelarangan pembangunan RPH dan industri pada wilayah sempadan sungai 50-100 meter dan waduk 50-100 meter dari titik pasang tertinggi (Keppres No. 32 Tahun 1990 pasal 16-18), pembangunan industri dan RPH di kawasan yang layak lingkungan atau sesuai RT/RW dan perlu pemberian penghargaan bagi pengusaha yang membangun mengikuti persyaratan ekologis (pasal 7 UU No. 4 Tahun 1992), penegakan regulasi dengan sangsi yang berat bagi pengusaha yang akan membuka usaha tanpa membuat amdal dan ipal bagi RPH atau industri lainnya.
Pertumbuhan penduduk menjadi faktor pengungkit bagi sumber konflik pemanfaatan Waduk Cirata, permasalahan mengikuti archetype model dinamik
limit to succes, tragedy of the common dan shifting of the burden, dengan
building block yang dominan adalah reinforcing. Peningkatan aktifitas penduduk (KJA, industri, pertanian, peternakan, perambahan hutan) meningkatkan sedimentasi dan pencemaran menjadi balancing terhadap fungsi ekologi, ekonomi dan sosial budaya.
Aspek ekologi merupakan aspek yang sangat lemah sehingga perlu ditingkatkan dalam pengelolaannya. Kondisi aspek lainnya juga masih perlu ditingkatkan. Keberlanjutan aspek sosial budaya merupakan aspek terbesar yang merupakan modal utama dalam melakukan intervensi pada keempat aspek lainnya, yaitu aspek kelembagaan-kebijakan, teknologi/infrastruktur, aspek sosial dan ekologi.