MODEL PENGELOLAAN WADUK BERKELANJUTAN
BERBASIS PERIKANAN BUDIDAYA
KARAMBA JARING APUNG
(KASUS WADUK CIRATA JAWA BARAT)
ANI WIDIYATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rancang Bangun Model Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Berbasis Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung (Kasus Waduk Cirata Jawa Barat) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, April 2011
ANI WIDIYATI. Design Based on The Model of Sustainable Management of Reservoir Fisheries Floating Cage (Reservoir Case Cirata West Java). Under direction of D. DJOKOSETIYANTO, DIETRIECH G BENGEN, M. KHOLIL AND ZAINAL ABIDIN.
The research of the sustainable management model’s design of Reservoir Fisheries floating cage (Reservoir Case Cirata, West Java) aims to calculate the carrying capacity, make its institutional model, build dynamic system model and assess the sustainability of the reservoir management of floating cage based aquaculture in Cirata Reservoir. The calculation of the pollution load and capacity of assimilation is used to calculate its carrying capacity and Interpretative Structural Modeling (ISM) is used to create institutional. Furthermore, Powersim software is used to create dynamic models and Rapfish used to assess the status of sustainability in the management of Cirata Reservoir. This study shows the status of water quality in Cirata reservoir has been low into high polluted (based on water quality classification class B PP 82-year-2001), the carrying capacity of the reservoir parameters in Cirata based on TSS, BOD, COD, PO4, NO3, NO2, Fe,
Cd, Zn, and Mn parameter have passed the threshold of the standard quality of water in the river. The ideal reservoir management involves the central government (Ministry of Forestry), Cirata Reservoir Management Agency, Department of Fisheries and Marine West Java Province and the Ministry of Fisheries and Marine. The population growth is the factor of problem in the utilization of Cirata Reservoir. The problem follows the basic pattern of boundary dynamic model for success, tragedy of the common and shifting of the burden, with the dominant building block is reinforcing. The increased activity of the population (KJA, industry, agriculture, livestock, forest encroachment) increased sedimentation and pollution balance the functions of ecological, economic and socio-cultural. Ecology aspect is the weakest aspect in the sustainable management of Cirata Reservoir. Socio-cultural aspect is the dominant aspect as a major capital in the intervention of four other aspects. (economic, legal-institutional, technology / infrastructure and ecology).
ANI WIDIYATI. Rancang Bangun Model Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Berbasis Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung (Kasus Waduk Cirata Jawa Barat). Dibimbing oleh D.DJOKOSETIYANTO, DIETRIECH G BENGEN, M. KHOLIL dan ZAINAL ABIDIN.
Waduk Cirata seperti halnya waduk serbaguna lainnya, dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan ekonomi yaitu untuk budidaya ikan dalam KJA. Terjadinya alih fungsi utama sebagai PLTA menjadi fungsi untuk kegiatan ekonomi masyarakat mengakibatkan terjadinya konflik sosial antara Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) dengan masyarakat sebagai pelaku kegiatan usaha perikanan di Waduk Cirata. Oleh karenanya kondisi Waduk Cirata pada saat ini telah mengalami degradasi yang sangat serius karena masyarakat dalam melakukan kegiatan perikanan budidaya tidak memperhatikan fungsi lingkungan waduk tersebut. Luasan waduk yang makin lama semakin sempit dengan kedalaman air yang makin berkurang serta tingginya sedimentasi dan pencemaran perairan diduga mengakibatkan fungsi utama waduk sebagai PLTA terabaikan.
Pengelolaan waduk merupakan suatu kegiatan yang penting, kompleks dan dinamis. Penting karena waduk memiliki fungsi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya menjadi kompleks karena melibatkan multi stakeholder dengan karakteristik yang berbeda, dan dinamis karena tingkat pencemaran dan sedimentasi selalu berubah seiring dengan perubahan waktu. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan masalah–masalah yang berkaitan dengan pengelolaan waduk harus dilakukan secara integratif–holistik dengan pendekatan kesisteman. Pendekatan ini diduga akan memudahkan bagi pengambil kebijakan (decision maker) dalam pengelolaan waduk untuk secara dini menyiapkan langkah–langkah strategis, dalam pengelolaannya dan dalam menghadapi setiap perubahan yang akan terjadi ke depan. Pendekatan sistem dapat mengidentifikasi faktor pengungkit dalam pengelolaan waduk, sehingga kebijakan strategis yang akan diambil menjadi lebih efektif. Pendekatan sistem dinamik merupakan bagian dari pendekatan kesisteman dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam pengelolaan waduk karena pendekatan sistem dinamik ini dapat menyederhanakan struktur sistem yang kompleks dan rumit.
Penelitian tentang rancang bangun model pengelolaan waduk berkelanjutan berbasis perikanan budidaya karamba jaring apung (kasus Waduk Cirata-Jawa Barat) telah dilakukan dengan tujuan menghitung beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di perairan, membuat model kelembagaan untuk pengelolaan waduk serta membuat rancang bangun model sistem dinamik pengelolaan Waduk Cirata (Jawa Barat). Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, untuk data biofisik perairan Waduk Cirata merupakan data time series 5 tahun. Metode penelitian untuk menghitung daya dukung perairan waduk dengan penghitungan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi perairan. Interpretative Structural Modelling (ISM) digunakan untuk menganalisis kelembagaan dan software Powersim digunakan untuk membuat model dinamik.
Hasil analisis model kelembagaan memperlihatkan untuk pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan diperlukan 4 elemen penting yang dapat menjadi faktor pengungkit dalam pengelolaan waduk tersebut yaitu tujuan utama yang ingin dicapai memiliki daya penggerak yang sangat kuat terhadap keberhasilannya adalah (1) Rasionalisasi/penurunan jumlah KJA, (2) Penyesuaian tata letak KJA dengan zonasi peruntukan, (3) Kelestarian sumberdaya perairan waduk, (4) Terjaganya keseimbangan ekosistim perairan, (5) Kelestarian sumber daya perikanan, (6) Penegakan regulasi pemerintah, (7) Terjalinnya koordinasi antar institusi, dan (8) Monitoring dan evaluasi pengelolaan.
Kebutuhan utama program yang diperlukan dalam keberhasilan pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan di Waduk Cirata yang memiliki daya penggerak yang kuat adalah (1) Penetapan zonasi budidaya KJA dan areal penangkapan suaka perikanan, (2) Penentuan kepemilikan sumberdaya waduk, (3) Pemilihan unit pengelola yang tepat, (4) Permodalan dan fasilitas pinjaman, (5) Pemasaran yang baik.
Kendala utama yang akan dihadapi yang berpengaruh sebagai penggerak yang kuat dalam pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan adalah masih terdapat perbedaan persepsi dalam pengelolaan waduk. Lembaga yang berperan untuk keberhasilan pengelolaan waduk berkelanjutan di Waduk Cirata yang mempunyai penggerak yang kuat adalah (1) Badan Pengelola Waduk Cirata, (2) Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan), (3) Dinas Perikanan Pemerintah Propinsi Jawa Barat, (4) Dinas Perikanan Kotamadya/Kabupaten/Kecamatan/Desa.
pertanian: teknis kebijakan yang dapat dilakukan adalah pelatihan pemanfaatan limbah untuk dijadikan kompos, sehingga petani beralih menggunakan pupuk kompos/organik daripada pupuk pabrik. Begitu pula agar lahan pertanian tidak cepat gersang maka perlu pelatihan dan sosialisai teknik konservasi tanah dan air seperti penanaman searah kontur, dan teras. (e) Penanganan RPH dan Industri: penerapan penegakan hukum pelarangan pembangunan RPH dan industri pada wilayah sempadan sungai 50-100 meter dan waduk 50-100 meter dari titik pasang tertinggi (Keppres No. 32 Tahun 1990 pasal 16-18), pembangunan industri dan RPH di kawasan yang layak lingkungan atau sesuai RT/RW dan perlu pemberian penghargaan bagi pengusaha yang membangun mengikuti persyaratan ekologis (pasal 7 UU No. 4 Tahun 1992), penegakan regulasi dengan sangsi yang berat bagi pengusaha yang akan membuka usaha tanpa membuat amdal dan ipal bagi RPH atau industri lainnya.
Pertumbuhan penduduk menjadi faktor pengungkit bagi sumber konflik pemanfaatan Waduk Cirata, permasalahan mengikuti archetype model dinamik limit to succes, tragedy of the common dan shifting of the burden, dengan building block yang dominan adalah reinforcing. Peningkatan aktifitas penduduk (KJA, industri, pertanian, peternakan, perambahan hutan) meningkatkan sedimentasi dan pencemaran menjadi balancing terhadap fungsi ekologi, ekonomi dan sosial budaya.
Aspek ekologi merupakan aspek yang sangat lemah sehingga perlu ditingkatkan dalam pengelolaannya. Kondisi aspek lainnya juga masih perlu ditingkatkan. Keberlanjutan aspek sosial budaya merupakan aspek terbesar yang merupakan modal utama dalam melakukan intervensi pada keempat aspek lainnya, yaitu aspek kelembagaan-kebijakan, teknologi/infrastruktur, aspek sosial dan ekologi.
© Hak cipta milik IPB, Tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang – Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
MODEL PENGELOLAAN WADUK BERKELANJUTAN
BERBASIS PERIKANAN BUDIDAYA
KARAMBA JARING APUNG
(KASUS WADUK CIRATA JAWA BARAT)
ANI WIDIYATI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc
(Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB)
2. Dr. Ir. Yanuar D. Purwanto, MS
(Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian, IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka :
1. Dr. Ir. Triheru Prihadi, M.Sc
(Kepala Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, KKP)
2. Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si
Nama : Ani Widiyati
NRP : P062050241
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. Dr. Ir. D. Djokosetiyanto, DEA
Prof. Dr. Ir. Dietrich G Bengen Dr. Ir. Kholil, M. Kom Dr. Drs. Zainal Abidin, M.Geothml
Anggota Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Si
PRAKATA
Assalamualaikum Warohmatullaahi Wabarakatuh,
Alhamdulillah, penulisan disertasi dengan judul “Rancang Bangun Model Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Berbasis Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung (Kasus Waduk Cirata-Jawa Barat)” dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Komisi Pembimbing yaitu Prof. Dr. Ir. Djokosetiyanto, DEA (Ketua), Dr. Ir. M. Kholil, M. Kom (Anggota), Prof. Dr. Ir. Dietriech G Bengen DEA (Anggota), Dr. Drs. Zainal Abidin M. Geothermal (Anggota) yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. Bapak Dr. drh. Hasim, DEA sebagai Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian serta arahannya dalam menyelesaikan studi. Badan Sumberdaya Daya Manusia, Departemen Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan beasiswa. Kepala Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar yang telah memberikan rekomendasi dan bantuan dana kepada penulis untuk melanjutkan studi S3 di IPB Bogor. Kepala Badan Pengelola Waduk Cirata yang telah memberikan ijin untuk mengambil data primer dan sekunder dari Waduk Cirata. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Barat, Kepala dinas Kabupaten Purwakarta, Bandung dan Cianjur atas bantuan dalam penyediaan data sekunder. Dr. Auldry F Walukow dan Dr. Rakhman Kurniawan yang telah memberikan dukungan moril dan membantu dalam pengolahan data. Bapak Dr. Triheru Prihadi, Dr. Estu Nugroho, Dr. Anang Hari Kristanto, Dra. Kusdiarti, Ir. Winarlin, Ati Puspitasari atas dukungan moril dan bantuannya selama penulis menyelesaikan disertasi. Penghargaan yang tak terhingga penulis sampaikan kepada suami tercinta Ir. Andjar Koentjoro M.Sc, dan anak–anak tersayang Iswidiarman Angga Krislianto, SE dan Iswiditya Andi Hapsara atas do’anya dengan segala kasih sayang dan telah banyak berkorban dengan penuh kesabaran serta pengertiannya sehingga penulis tetap semangat menyelesaikan studi ini. Ir. Yaya Hudaya (Staf Data-Badan Pengelola Waduk Cirata), Bapak Jahidin (Staf Data-Pembangkitan Jawa Bali-Cirata), Ir. Lusi (Kasubdit Pengelolaan Lingkungan-BPLHD Jabar) atas bantuannya dalam penyediaan data sekunder. Adik-adikku tercinta Anto, Doyo, Endro, Fajar, Galuh dan Herman atas kasih sayang dan dorongan semangat serta do’anya. Dr. Mazfia Umar MM, Dr. Ridwan, Ir. Partomo atas bantuan dan dorongan semangat, serta rekan–rekan PSL 2005 IPB. M. Nurdin S.Pi dan Rizki Maulana atas bantuannya dalam pengeditan disertasi, dan semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, semoga Allah SWT membalas semua amalnya, Aamiin.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, April 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1960 di Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah, sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara dari ayah Soejadi (Almarhum) dan Sri Suliharti (Almarhum).
Pendidikan SD Kebondalem I, SMP Negeri I dan SMA Negeri diselesaikan di Kabupaten Pemalang. Setamat dari SMA tahun 1979 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK. Penulis memilih Fakultas Perikanan Jurusan Akuakultur dan menyelesaikan studi pada tahun 1983. Pada tahun 1984 penulis diterima bekerja di Lembaga Penelitian Perikanan Darat Bogor. Pada tahun 1985 penulis diangkat sebagai PNS, sebagai peneliti pada Kelompok Penelitian Pembenihan. Pada tahun 1988 penulis diangkat sebagai Kepala Instalasi Kolam Percobaan Cibalagung Bogor sampai tahun 1999. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan kuliah di Pasca Sarjana Juruan Ilmu Perairan Institut Pertanian Bogor, lulus tahun 2002. Tahun 2002 sampai 2004 penulis diangkat menjadi Kepala Kolam Percobaan Plasma Nutfah Cijeruk Bogor. Tahun 2004-2005 sebagai Kepala Subsie Program di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor. Pada tahun 2005 penulis menempuh studi S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah dengan Ir. Andjar Koentjoro, M.Sc pada tanggal 23 Agustus 1985, dan telah dikaruniai dua orang anak yaitu Iswidiarman Angga Krislianto, SE (25 tahun) dan Iswiditya Andi Hapsara (20 tahun).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xxii
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Kerangka Pemikiran ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
1.5 Kebaruan (Novelty) ... 8
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Perairan Waduk ... 9
2.2 Sedimentasi di Waduk... 10
2.3 Pencemaran di Waduk... 12
2.4 Budidaya Ikan di Karamba Jaring Apung ... 14
2.5 Pembangunan Berkelanjutan ... 17
2.6 Sistem dan Model Dinamik ... 19
2.6.1 Sistem ... 19
2.6.2 Pemodelan ... 21
2.6.3 Sistem Dinamik ... 24
2.6.4 Pola-Pola Dasar Sistem Dinamik ... 27
2.7 Interpretation Structural Modelling (ISM) ... 33
3 METODOLOGI PENELITIAN ... 37
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 37
3.2 Bahan dan Alat ... 38
3.3 Rancangan Penelitian ... 40
3.3.1 Mengukur Daya Dukung Perairan ... 40
3.3.2 Model Kelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata ... 41
3.3.3 Analisis Keberlanjutan ... 42
3.3.4 Tahapan Penelitian Analisis Sistem ... 43
3.3.5 Pengembangan Model ... 48
3.3.6 Uji Validasi dan Sensitivitas Model ... 54
3.3.7 Simulasi Model ... 55
3.3.8 Analisis Kebijakan ... 55
3.3.9 Keterkaitan Model Biofisik dengan Dinamik ... 56
4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 57
4.1 Morfometri Waduk Cirata ... 57
4.2 Kedalaman Perairan Waduk Cirata ... 59
5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 61
5.1 Daya Dukung Perairan Waduk Cirata ... 61
5.1.1 Status Kualitas Perairan Muara Sungai Citarum ... 61
5.1.2 Karakteristik Fisika–Kimia Perairan Waduk Cirata ... 64
5.1.3 Status Mutu Perairan Waduk Cirata ... 70
5.1.4 Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Perairan Waduk Cirata... 72
5.2 Analisis Kelembagaan untuk Pengelolaan Waduk Berbasis Perikanan Budidaya KJA Berkelanjutan (Kasus Waduk Cirata) ... 84
5.2.1 Tujuan yang Ingin dicapai ... 87
5.2.2 Kebutuhan Program yang diperlukan dalam Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Waduk Cirata ... 90
5.2.3 Lembaga yang Berperan dalam Pengelolaan Waduk Berkelanjutan di Waduk Cirata ... 92
5.2.4 Elemen Kendala dalam Pengelolaan Waduk Berkelanjutan (Kasus Waduk Cirata) ... 95
5.3 Model Dinamik... 98
5.3.1 Sub Model Sumber Pencemar ... ... 99
5.3.2 Model Beban Pencemaran ... ... 107
5.3.3 Model Kualitas Air Waduk... ... 110
5.4 Analisis Kecenderungan Sistem ... 112
5.5 Uji Validitas ... 114
5.5.1 Uji Validitas Struktur ... 114
5.5.2 Validitas Kinerja (output model) ... 115
5.5.3 Verifikasi Model ... 117
5.5.4 Analisis Kebijakan ... 146
6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN ... 157
6.1 Kebijakan Status Waduk Cirata ... 161
6.2 Kebijakan Konservasi DAS Citarum ... 162
6.3 Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Sosial ... 163
6.4 Kebijakan Peningkatan Nilai Ekonomi ... 163
6.5 Verifikasi Model Kebijakan ... 164
6.6 Implikasi Kebijakan ... 164
6.7 Status Keberlanjutan... 165
6.7.1 Aspek Ekologi ... 165
6.7.2 Aspek Ekonomi ... 167
6.7.3 Aspek Hukum Kelembagaan ... 168
6.7.4 Aspek Infrastruktur dan Teknologi... 170
6.7.5 Aspek Sosial Budaya ... 171
6.7.6 Status Keberlanjutan Pengelolaan Waduk ... 172
7 SIMPULAN DAN SARAN ... 175
7.1 Simpulan ... 175
DAFTAR PUSTAKA ... 177
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Sedimentasi di Waduk Cirata dari tahun 1987-2001 ... ... 11 2 Titik koordinat sampling di Waduk Cirata ... ... 37 3 Parameter fisika, kimia, dan biologi perairan waduk yang
diukur serta alat dan metode analisis ... ... 39 4 Analisis kebutuhan aktor/stakeholder yang terlibat dalam
pengelolaan Waduk Cirata secara berkelanjutan berbasis perikanan
budidaya KJA ... … ... .. 44 5 Konversi rumus statistik ke persamaan powersim ... ... 54 6 Karakteristik Waduk Cirata ... ... 57 7 Data morfometri dan hidrologi Waduk Cirata, Jawa Barat ... ... 59 8 Kisaran kedalaman, rasio kedalaman, dan area pemanfaatan
KJA di Waduk Cirata Sumber: (Prihadi 2005) ... ... 60 9 Status kualitas perairan Sungai Citarum ... ... 63 10 Kualitas Perairan Waduk Cirata ... ... 69 11 Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata Triwulan I
tahun 2008 ... ... 71 12 Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata Triwulan II
tahun 2008 ... ... 71 13 Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata Triwulan III
tahun 2008 ... ... 71 14 Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata Triwulan IV
tahun 2008 ... ... 72 15 Beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di perairan Waduk Cirata
(Jawa Barat) tahun 2008 ... ... 74 16 Jumlah KJA di perairan Waduk Cirata hasil sensus tahun 2007 ... ... 87 17 Tujuan yang ingin dicapai dalam strategi pengelolaan waduk
berkelanjutan ... ... 88 18 Kebutuhan program yang diperlukan dalam pengelolaan Waduk
Cirata Berkelanjutan ... ... 90 19 Lembaga yang berperan dalam pengelolaan Waduk Cirata dijabarkan
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kepadatan dan zonasi keramba jaring apung di Waduk Cirata
Sumber: Prihadi (2005)... ... 6 2 Kerangka pemikiran rencana penelitian ... ... 7 3 Garis besar pengembangan model dinamik ... ... 26 4 Struktur dasar model perbaikan yang gagal... ... 28 5 Struktur dasar pemindahan beban ... ... 28 6 Diagram simpal kausal model batas keberhasilan ... ... 29 7 Struktur dasar sasaran yang berubah ... ... 30 8 Diagram simpal kausal struktur model pertumbuhan dan
kekurangan modal ... ... 31 9 Struktur dasar sukses bagi yang berhasil ... ... 32 10 Diagram simpal kausal model eskalasi ... ... 32 11 Struktur dasar kesulitan bersama ... ... 33 12 Lokasi pengambilan parameter fisika dan kimia perairan ... ... 37 13 Grafik hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi
polutan ... ... 41 14 Diagram input output sistem pengelolaan waduk berkelanjutan ... ... 47 15 Matriks DP-D untuk elemen tujuan ... ... 49 16 Diagram alir analisis kelembagaan dengan metode ISM ... ... 50 17 Hubungan interaksi antar sub model dalam pengelolaan
Waduk Cirata ... ... 52 18 Diagram sebab akibat (causal loop) model pengelolaan waduk
berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA ... ... 53 19 Ringkasan keterkaitan model biofisik dengan dinamik ... ... 56 20 Waduk Cirata berlokasi di wilayah 3 kabupaten yaitu Bandung
Barat, Purwakarta, dan Cianjur (BPWC 2010). ... ... 58 21 Tampilan Waduk Cirata dengan Landsat 7 kombinasi band 543
(RGB): (a) April 2002 (musim kemarau) dan (b) September
2002 (musim penghujan) (Prihadi, 2005) ... ... ... 59 22 Kapasitas asimilasi TDS di Waduk Cirata ... ... 75 23 Kapasitas asimilasi TSS di Waduk Cirata ... ... 76 24 Kapasitas asimilasi BOD di Waduk Cirata ... ... 77 25 Kapasitas asimilasi COD di Waduk Cirata ... ... 77 26 Kapasitas asimilasi PO4
27 Kapasitas asimilasi NO
di Waduk Cirata ... ... 78
3
28 Kapasitas asimilasi NO
di Waduk Cirata ... ... 79
2
29 Kapasitas asimilasi Fe di Waduk Cirata ... ... 81 di Waduk Cirata tahun 2007 ... ... 80
30 Kapasitas asimilasi Cd di Waduk Cirata ... ... 81 31 Kapasitas asimilasi Cu di Waduk Cirata ... ... 82 32 Kapasitas asimilasi Zn di Waduk Cirata ... ... 82 33 Kapasitas asimilasi Mn di Waduk Cirata tahun 2008 ... ... 83 34 Kapasitas asimilasi Pb di Waduk Cirata ... ... 83 35 Hubungan keterkaitan parameter pengelolaan waduk berbasis
36 Diagram hierarki dari tujuan yang ingin dicapai dalam strategi
pengelolaan waduk berkelanjutan (Kasus di Waduk Cirata) ... ... 89 37 Matriks Driver Power (DP) dan Dependence (D) tujuan yang
ingin dicapai dalam strategi pengelolaan waduk berkelanjutan
(kasus di Waduk Cirata) ... ... 90 38 Diagram hierarki kebutuhan program dalam pengelolaan waduk
berkelanjutan (Kasus Waduk Cirata) ... ... 91 39 Matriks Driver Power (DP) dan Dependence (D) untuk
kebutuhan program dalam pengelolaan waduk berkelanjutan
(Kasus di Waduk Cirata) ... ... 92 40 Diagram hierarki lembaga yang berperan dalam pengelolaan
waduk berkelanjutan (Kasus di Waduk Cirata) ... ... 94 41 Matrik Driver Power (DP) dan Dependence (D) lembaga yang
berperan dalam pengelolaan waduk berkelanjutan (Kasus di
Waduk Cirata) ... ... 95 42 Diagram hierarki kendala utama dalam pengelolaan Waduk
Cirata berkelanjutan ... ... 96 43 Diagram hierarki dari sub elemen kendala utama dalam
pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan ... ... 97 44 Model terpadu pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan ... ... 98 45 Sub model dinamik sederhana total sumber pencemar ... ... 100 46 Sub model dinamik KJA tunggal dan luas KJA ... ... 101 47 Sub model dinamik limbah ternak dan industri ... ... 102 48 Sub model dinamik limbah pertanian, limbah padat, dan tinja ... ... 103 49 Sub model dinamik luas hutan, pemukiman, dan pertanian... ... 104 50 Sub model dinamik KJA ganda, serta model limbah KJA
tunggal versus KJA ganda ... ... 105 51 Sub model dinamik sumber pencemar Waduk Cirata ... ... 106 52 Sub model dinamik beban pencemaran Waduk Cirata ... ... 109 53 Sub model kualitas air Waduk Cirata ... ... 111 54 Kecenderungan populasi penduduk total (jiwa) ... ... 112 55 Kecenderungan jumlah masing–masing sumber pencemar yang
masuk ke Waduk Cirata ... ... 113 56 Grafik perbandingan perkembangan jumlah penduduk hasil
simulasi dengan data empirik ... ... 116 57 Grafik perbandingan jumlah RTP hasil simulasi dan aktual ... ... 116 58 Pertumbuhan jumlah penduduk berdasarkan perbedaan fraksi
penduduk ... ... 118 59 Pertumbuhan jumlah sampah ... ... 118 60 Pertumbuhan jumlah limbah feses penduduk total ... ... 119 61 Pertumbuhan jumlah limbah KJA tunggal ... ... 120 62 Perbandingan jumlah limbah N dan P KJA tunggal ... ... 120 63 Perbandingan jumlah limbah KJA ganda (Mas Nila-MN) dan
68 Perkembangan limbah ternak ... ... 124 69 Perkembangan limbah ternak ayam, itik, domba dan sapi ... ... 125 70 Perkembangan limbah pupuk pertanian limbah pupuk pertanian
merupakan akumulasi dari limbah pupuk N dan P ... ... 126 71 Perkembangan limbah pupuk N dan P... ... 126 72 Perkembangan luas pemukiman, luas pertanian, dan luas hutan
di DAS Cirata ... ... 127 73 Nilai kapasitas asimilasi TDS dan perkembangan beban
pencemaran TDS ... ... 128 74 Nilai kapasitas asimilasi TSS dan perkembangan beban
pencemaran TSS ... ... 128 75 Nilai kapasitas asimilasi BOD dan perkembangan beban
pencemaran BOD... ... 129 76 Nilai kapasitas asimilasi COD dan perkembangan beban
pencemaran COD... ... 130 77 Nilai kapasitas asimilasi dan perkembangan beban pencemaran
−
3
NO ... 131
78 Nilai kapasitas asimilasi 3− 4
PO dan perkembangan beban pencemaran 3−
4
PO ... 132 79 Nilai kapasitas asimilasi F dan perkembangan beban
pencemaran F ... ... 132 80 Nilai kapasitas asimilasi As dan perkembangan beban
pencemaran As... ... 133 81 Nilai kapasitas asimilasi Cd dan perkembangan beban
pencemaran Cd ... ... 134 82 Nilai kapasitas asimilasi Fe dan perkembangan beban
pencemaran Fe ... ... 135 83 Nilai kapasitas asimilasi Pb dan perkembangan beban
pencemaran Pb ... ... 135 84 Nilai kapasitas asimilasi Mn dan perkembangan beban
pencemaran Mn ... ... 136 85 Nilai kapasitas asimilasi Zn dan perkembangan beban
pencemaran Zn... ... 137 86 Perkembangan total beban pencemaran air dan daya dukung
lingkungan ... ... 138 87 Nilai baku mutu TDS dan perkembangan konsentrasi TDS
2005-2045 ... ... 138 88 Nilai baku mutu COD dan perkembangan konsentrasi COD
2005-2045 ... ... 139 89 Nilai baku mutu BOD dan perkembangan konsentrasi BOD
2005-2045 ... ... 140 90 Nilai baku mutu −
3
NO dan perkembangan konsentrasi −
3
NO ... 140
91 Nilai baku mutu 3− 4
PO dan perkembangan konsentrasi 3− 4
PO
2005-2045 ... 140 92 Nilai baku mutu Fe dan perkembangan konsentrasi Fe
2005-2045 ... ... 141 94 Nilai baku mutu F dan perkembangan konsentrasi F 2005-2045 . ... 142 95 Nilai baku mutu Zn dan perkembangan konsentrasi Zn ... ... 142 96 Nilai baku mutu As dan perkembangan konsentrasi As
2005-2045 ... ... 143 97 Nilai baku mutu Cd dan perkembangan konsentrasi Cd
2005-2045 ... ... 144 98 Nilai baku mutu Pb dan perkembangan konsentrasi Pb
2005-2045 ... ... 144 99 Nilai baku mutu Mn dan perkembangan konsentrasi Mn
2005-2045 ... ... 145 100 Hubungan populasi penduduk dengan daya dukung lingkungan
2005-2045 ... ... 146 101 Penurunan jumlah limbah ternak berdasarkan intervensi fraksi
peternakan. ... ... 148 102 Penurunan total limbah ternak berdasarkan intervensi fraksi
peternakan ... ... 148 103 Penurunan jumlah limbah KJA tunggal berdasarkan intervensi
fraksi KJA dan RTP ... ... 149 104 Penurunan jumlah limbah KJA ganda berdasarkan intervensi
fraksi KJA dan RTP ... ... 150 105 Penurunan limbah industri, limbah tinja, limbah padat dan
limbah pupuk pada skenario optimis... ... 151 106 Perbandingan total beban limbah pada kondisi existing, skenario
pesimis, moderat dan optimis ... ... 152 107 Model konseptual pengelolaan Waduk Cirata (Jawa Barat)
berkelanjutan ... ... 160 108 Peta overlay keberadaan KJA tahun 2004 dengan KJA tahun
2008/2009 di Waduk Cirata ... ... 162 109 Atribut aspek ekologi pada pengelolaan waduk berbasis
perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata ... ... 167 110 Atribut aspek ekonomi pada pengelolaan waduk berbasis
perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata ... ... 168 111 Atribut aspek hukum dan kelembagaan pada pengelolaan waduk
berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata ... ... 170 112 Atribut aspek infrastruktur dan teknologi pada pengelolaan
waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk
Cirata ... ... 171 113 Atribut aspek sosial budaya pada pengelolaan waduk berbasis
perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata ... ... 172 114 Status keberlanjutan pengelolaan waduk berbasis perikanan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara
berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang
diperuntukkan bagi pembangunan ekonomi dan sosial. Semakin besar intensitas
kegiatan pembangunan maka semakin besar pula peningkatan eksploitasi
sumberdaya alam yang bersifat berlebihan antara lain kegiatan pertanian,
perikanan, pariwisata, industri, dan pertambangan, sehingga terjadi konflik
kepentingan yang memicu kerusakan lingkungan. Tumbuhnya kemiskinan akibat
pertambahan penduduk telah menghancurkan lingkungan demi kelangsungan
hidupnya (WCED 1987). Salah satu contoh akibat dari terjadinya kerusakan
lingkungan adalah rusaknya daerah tangkapan air (hutan, situ, danau, waduk dll.)
Waduk adalah danau buatan manusia sebagai tempat menampung dan
tangkapan air yang umumnya dibentuk dari sungai atau rawa dengan tujuan
tertentu. Waduk dibangun dengan tujuan multi fungsi yaitu sebagai pembangkit
listrik tenaga air (PLTA), sumber air minum, kegiatan pertanian, pengendali
banjir, sarana olahraga air, budidaya perikanan, dan untuk pariwisata. Indonesia
mempunyai sekitar 800 danau serta 162 waduk buatan besar dan kecil untuk
kepentingan irigasi pertanian, bahan baku air bersih, dan PLTA. Sekitar 500
danau dan waduk di Indonesia mulai terancam punah akibat pengelolaan yang
tidak optimal, dimulai dari hulu hingga hilir
(http://www.pusair-pu.go.id/artikel/kesatu.pdf). Waduk Cirata merupakan salah satu waduk besar di
Jawa Barat yang selesai dibangun pada tahun 1988. Waduk tersebut dibangun
dengan fungsi utama sebagai PLTA untuk menghasilkan daya listrik terpasang
sebesar 1008 MW atau energi per tahun 1.426 GW jam sebagai pemasok tenaga
listrik Jawa dan Bali (BPWC 2003). Volume air pada waktu normal sekitar
2.160.000.000 m3, dengan luas permukaan sekitar 6.200 ha, kedalaman rata-rata
sekitar 34,9 m, kedalaman maksimum mencapai 106 m. Status kesuburan Waduk
Cirata adalah mesotropic hingga eutropic (BPWC 2003). Waduk Cirata
merupakan waduk yang mendapat sumber air terbesar dari daerah aliran Sungai
daerah yang tergenang dan menjadi Waduk Cirata ini, berasal dari 28 desa yang
berada dalam delapan kecamatan yang termasuk ke dalam daerah administrasi
Kabupaten Cianjur, Purwakarta, dan Bandung Barat.
Salah satu permasalahan yang dihadapi waduk di Indonesia saat ini adalah
tingginya sedimentasi yang telah menjadi faktor utama penyebab penurunan daya
dukung ekosistem waduk. Waduk Cirata telah mengalami permasalahan seperti
halnya waduk lainnya di Indonesia yaitu pendangkalan dan penurunan luasan
perairan akibat tingginya sedimentasi. Peningkatan beban sedimentasi ini diduga
disebabkan oleh peningkatan laju erosi akibat aktivitas-aktivitas di daratan,
buangan limbah industri dan rumah tangga di DAS, serta aktivitas manusia di
perairan seperti budidaya ikan dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA)
di waduk dengan pemberian pakan buatan yang berlebihan. Jumlah sedimen yang
masuk ke waduk yang melebihi daya dukung akan mengurangi kapasitas volume
daya tampung air waduk, dan merusak kualitas perairan pada akhirnya dapat
memperpendek usia fungsional waduk tersebut. Turunnya volume air waduk
menyebabkan waduk tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, baik untuk
keperluan irigasi maupun pembangkit tenaga listrik. Sebagai contoh Waduk
Djuanda, Saguling, dan Cirata di DAS Citarum volumenya tinggal 57,6% dari
volume pada saat rencana pembangunan.
Salah satu penyebab dari sedimentasi di Waduk Cirata adalah akibat
aktivitas budidaya perikanan yang meningkat dari tahun ke tahun. Teknik
budidaya intensif di KJA, telah mendorong petani memberikan pakan buatan
secara berlebihan (sistem pompa), sehingga sisa pakan yang diberikan ikan dan
feses banyak terbuang ke perairan. Menurut BPWC (2008), pada awal
pembangunan waduk jumlah petakan KJA yang dianjurkan 12.000 petak dengan
jumlah pemilik 2.472 orang, tetapi pada kenyataannya sampai tahun 2007 tercatat
51.000 petak dari jumlah pemilik 3.899 orang. Perkembangan KJA di perairan
Waduk Cirata sudah tidak terkendali, mulai tahun 1988-1994 meningkat 140% per
tahun (Krismono 1999). Akibat dari pertambahan KJA yang tidak terkendali
tersebut menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan perairan serta sedimentasi
yang meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Goldburg et al. (2001), dampak
limbah budidaya selama operasional, limbah tersebut adalah sisa pakan yang tidak
termakan oleh ikan serta feses yang larut ke dalam perairan. Menurut Mc Donald
et al. (1996), dalam budidaya perikanan secara komersial 30% dari total pakan
yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan sekitar 25-30% dari pakan yang
dikonsumsi akan diekskresikan. Kartamiharja (1998) mengemukakan bahwa pada
budidaya KJA yang dilakukan petani ikan di Jawa Barat menunjukkan jumlah
pakan yang terbuang ke perairan berkisar antara 30-40%. Menurut Mc Ghie et al.
(2000), bahan organik yang dihasilkan dari aktivitas budidaya ikan akan
terakumulasi di bawah KJA akibat dari pakan ikan yang tidak dikonsumsi dan
kotoran ikan.
BPWC (2003)menyatakan , selain permasalahan teknis yang dihadapi oleh
Waduk Cirata, terdapat permasalahan non teknis yaitu sejak diberlakukannya
otonomi daerah maka pengelolaan waduk sebagai sumberdaya alam menjadi
kabur, belum jelas dalam wewenang dan tanggung jawab pengelolaannya.
Selanjutnya dikatakan bahwa tata ruang waduk yang ada belum tepat dan belum
ditaati dalam pelaksanaannya.
Dalam pengelolaan waduk agar tetap lestari sebaiknya melibatkan multi
stakeholder, yaitu: (1) pelaku usaha, baik yang bergerak di dalam kawasan
maupun di luar kawasan waduk; (2) pemerintah, yakni Dinas Pekerjaan Umum
dan Dinas Perikanan; (3) perguruan tinggi; (4) lembaga swadaya masyarakat dan
masyarakat umum (masyarakat nelayan dan non nelayan). Faktor lain yang sangat
menentukan keberhasilan dalam pengelolaan waduk, seperti kualitas sumberdaya
manusia, organisasi, kelembagaan, regulasi, dan infrastruktur.
Pengelolaan waduk merupakan suatu kegiatan yang penting, kompleks dan
dinamis. Penting karena waduk memiliki fungsi ekologi, ekonomi, sosial. dan
budaya, menjadi kompleks karena melibatkan multi stakeholder dengan
karakteristik yang berbeda, dan dinamis karena tingkat pencemaran dan
sedimentasi selalu berubah seiring dengan perubahan waktu. Hal ini menunjukkan
bahwa penanganan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan waduk
harus dilakukan secara integratif–holistik dengan pendekatan kesisteman, bukan
secara parsial–sektoral. Pendekatan kesisteman ini didasarkan pada sybernetic,
Salah satu pendekatan kesisteman yang memungkinkan teridentifikasinya
seluruh variabel terkait, dan memudahkan untuk mengetahui pola perkembangan
ke depan seiring dengan perubahan waktu adalah dengan sistem model dinamik.
Pendekatan ini akan memudahkan bagi pengambil kebijakan dalam pengelolaan
waduk untuk menyiapkan langkah–langkah strategis dalam menghadapi setiap
perubahan yang akan terjadi ke depan. Selanjutnya pendekatan ini juga dapat
mengidentifikasi faktor pengungkit dalam pengelolaan waduk, sehingga kebijakan
strategis yang akan diambil menjadi lebih efektif. Pendekatan sistem dinamik
merupakan bagian dari pendekatan kesisteman yang dapat menjadi salah satu
alternatif pendekatan dalam pengelolaan waduk karena pendekatan sistem
dinamik ini dapat menyederhanakan struktur sistem yang kompleks dan rumit
(Muhammadi et al. 2001).
Secara garis besar pengembangan sistem model dinamik meliputi 3 tahap,
yaitu: (a) cognitive map, (b) construction model, (c) simulation and policy
analysis. Cognitif map merupakan langkah pengenalan masalah secara mendasar,
dilakukan melalui studi literatur, wawancara pakar, dan diskusi dengan
stakeholder melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion: FGD).
FGD merupakan forum diskusi stakeholder untuk mengidentifikasi seluruh
variabel, masalah, kendala, dan kebutuhannya dalam pengelolaan waduk. Hasil
dari FGD kemudian dibuat kedalam system conceptualization dalam bentuk
diagram sebab akibat (causal loop diagram) yang menggambarkan hubungan
sebab akibat dan feed back-nya satu variabel terhadap lainnya, sehingga
memudahkan pengendalian sesuai dengan yang diinginkan. Construction model
merupakan tahap pengembangan model yang didasarkan pada causal loop
diagram. Pengembangan model menggunakan software tool Powersim. Sebagai
langkah akhir dari pengembangan model dinamis adalah simulasi dan analisis
kebijakan. Analisis kebijakan ini dilakukan terhadap hasil simulasi model
berdasarkan skenario yang dikembangkan. Selanjutnya hasil analisis kebijakan
akan menjadi bahan rekomendasi kebijakan dalam pengelolaan waduk secara
1.2 Kerangka Pemikiran
Waduk Cirata adalah waduk terluas kedua di Jawa Barat yang terletak di
tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Purwakarta, Bandung Barat dan Cianjur,
dibangun oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan utamanya sebagai pembangkit
listrik tenaga air. Pada kenyataannya berfungsi sebagai waduk serbaguna yang
diambil manfaatnya untuk kegiatan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya.
Waduk Cirata seperti halnya waduk serbaguna lainnya, dimanfaatkan untuk
melakukan kegiatan ekonomi yaitu untuk budidaya ikan dalam KJA. Terjadinya
alih fungsi utama sebagai PLTA menjadi fungsi untuk kegiatan ekonomi
masyarakat mengakibatkan terjadinya konflik sosial antara Badan Pengelola
Waduk Cirata (BPWC) dengan masyarakat sebagai pelaku kegiatan usaha
perikanan di Waduk Cirata. Oleh karenanya kondisi Waduk Cirata pada saat ini
telah mengalami degradasi yang sangat serius karena masyarakat dalam
melakukan kegiatan perikanan budidaya tidak memperhatikan fungsi lingkungan
waduk tersebut. Luasan waduk yang makin lama semakin sempit dengan
kedalaman air yang makin berkurang serta tingginya sedimentasi dan pencemaran
perairan diduga mengakibatkan fungsi utama waduk sebagai PLTA terabaikan
(Garno 2001).
Secara garis besar ada dua aspek utama yang terkait dalam pengelolaan
waduk. Pertama adalah aspek teknis yang berlangsung yaitu sistem pertanian di
daerah aliran sungai, industri di daerah hulu, erosi, pendangkalan waduk, usaha
karamba jaring apung, dan pemukiman penduduk. Kedua adalah aspek non teknis
seperti kelembagaan, regulasi, teknologi, perilaku sosial, dan kesadaran
masyarakat. Untuk menjamin keberlanjutan waduk maka dalam pengelolaannya,
tidak hanya menekankan pada aspek teknis atau non teknis saja, tetapi keduanya
harus dilaksanakan, dan secara menyeluruh (holistik) dengan menggunakan
pendekatan kesisteman, bukan berdasarkan pendekatan yang terpisah yang hanya
menekankan pada satu variabel saja. Menurut BPWC (2003), selain permasalahan
teknis yang dihadapi oleh Waduk Cirata, terdapat permasalahan non teknis yaitu
sejak diberlakukannya otonomi daerah maka pengelolaan waduk sebagai
sumberdaya alam menjadi kabur, belum jelas dalam wewenang dan tanggung
sudah tidak tepat lagi, dan belum ditaati dalam pelaksanaannya, sehingga
diperlukan zonasi baru yang sudah disesuaikan dengan kondisi Waduk Cirata
sekarang. Kepadatan dan zonasi keramba jaring apung di Waduk Cirata yang
[image:34.595.86.486.178.506.2]sudah tidak sesuai dengan zonasi ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Kepadatan dan zonasi keramba jaring apung di Waduk Cirata.
Sumber: Prihadi (2005)
Dampak positif maupun negatif yang ditimbulkan adalah sesuai dengan
fungsi waduk tersebut, sedangkan dampak negatif dan permasalahan yang paling
menonjol adalah pemukiman kembali penduduk asal kawasan yang digenangi,
pengadaan lapangan kerja, hilangnya daratan, hutan, perkebunan, dan sumberdaya
lainnya termasuk flora, fauna, serta dampak ekologi yang merugikan lainnya baru
akan terasa dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, maka pembangunan waduk
perlu dinilai dan dikaji dengan memperhitungkan arti dan peran pentingnya bagi
pembangunan ekonomi dan kemudian memantapkan cara dan teknik pengelolaan
sumberdaya perairan waduk agar diperoleh hasil optimal dengan meminimalkan
WADUK CIRATA
Fungsi Ekologi Fungsi Sosial Budaya
Fungsi Ekonomi
PLTA KJA
Tenaga Kerja Pariwisata Konservasi
Penyerapan pengangguran Kelestarian plasma nutfah
dan tata guna air
Pendapatan
Fungsi Turbin Daya dukung perairan
Strategi Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Pengelolaan Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung
Konfik Kepentingan
Kelembagaan/ Regulasi
diperlukan adanya suatu kajian untuk membahas masalah mengenai pengelolaan
sumberdaya perairan waduk secara optimal dan terpadu, untuk mendukung suatu
program pengelolaan yang efektif guna menjamin keberlanjutan fungsí utama dari
waduk tersebut.
Dahuri (2003) menyatakan bahwa pendekatan yang penting untuk
diterapkan dalam pengembangan pemanfaatan sumberdaya perairan, khususnya
perairan waduk adalah dengan pendekatan berkelanjutan. Secara garis besar
konsep pembangunan berkelanjutan memiliki 4 dimensi yaitu: (1) ekologis, (2)
sosial ekonomi-budaya, (3) sosial politik, serta (4) hukum dan kelembagaan.
Dengan dasar pembangunan berkelanjutan maka strategi pengelolaan waduk
sebaiknya mengikuti keempat dimensi tersebut. Gambar 2 memperlihatkan
[image:35.595.118.512.347.680.2]diagram alir kerangka pemikiran rencana penelitian.
1.3 Tujuan Penelitian
1) Menghitung daya dukung lingkungan perairan Waduk Cirata (Jawa Barat).
2) Membuat model kelembagaan untuk pengelolaan Waduk Cirata (Jawa
Barat) berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA.
3) Merancang bangun model sistem dinamik pengelolaan Waduk Cirata (Jawa
Barat) berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA.
4) Menilai keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata berbasis perikanan
budidaya karamba jaring apung.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Manfaat praktis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai suatu masukan bagi
para pengambil kebijakan dalam pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan
berbasis perikanan budidaya karamba jarring apung, sehingga kebijakan
yang dibuat menjadi cepat, tepat, dan akurat.
2) Manfaat teoritis akademis:
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan rujukan bagi
para peneliti lain yang akan melakukan pengkajian pengelolaan waduk
dengan pendekatan kesisteman.
1.5 Kebaruan (Novelty)
Kebaruan dari penelitian ini adalah model pengelolaan waduk berkelanjutan
berbasis perikanan budidaya dengan menggabungkan aspek ekologi, ekonomi,
kelembagaan dan sosekbud. Penelitian terdahulu hanya melakukan kajian bersifat
pemantauan terhadap kualitas perairan saja. Metoda yang digunakan pada
penelitian ini dengan menggabungkan hard system methodology (daya dukung
perairan) dengan soft system methodology (ekonomi, sosial budaya, kelembagaan)
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perairan Waduk
Kebutuhan manusia akan pasokan sumber air sebagai sumber energi yang
meningkat dari waktu ke waktu telah mendorong manusia untuk membendung
sungai untuk menciptakan waduk. Keberadaan waduk di suatu wilayah diperlukan
mengingat waduk mempunyai banyak fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Yuningsih dan Soewarno (1995) menyatakan bahwa waduk
sebagai tempat menampung air dengan cara membendung alur sungai. Menurut
Ryding dan Rast (1989) waduk umumnya dibentuk oleh pembuatan suatu dam
melintang sungai atau suatu aliran yang menghasilkan suatu perairan yang
terkurung oleh adanya bangunan dam tersebut. UNEP-IETC/ILEC (2000)
mendefinisikan waduk sebagai badan air buatan yang dibangun oleh manusia
dengan membendung sungai atau mengalihkan air dari sungai dan mengurungnya
ke lembah buatan.
Waduk dibuat manusia untuk dapat berfungsi sebagai sumber daya alam
untuk kegunaan irigasi pertanian, pengendalian banjir, transportasi air, wisata air,
penggelontoran limbah domestik, pembangkit listrik tenaga air, air baku untuk
keperluan domestik dan industri serta sebagai sumber daya untuk perikanan
penangkapan atau perikanan budidaya. Keberadaan waduk ternyata memberikan
dampak positif dan dampak negatif terhadap lingkungannya. Dampak positif
utama yang dapat diberikan oleh adanya waduk adalah tersedianya energi listrik
dari pembangkit listrik tenaga air. Banjir yang biasanya datang pada musim
penghujan dapat dikendalikan dan ditampung ke dalam waduk. Waduk sebagai
penampung air dapat dimanfaatkan untuk pengairan dari aktivitas pertanian,
sebagai bahan baku air minum masyarakat perkotaan di sekitar wilayah waduk.
Selanjutnya keberadaan waduk dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya
perikanan, olahraga air, dan pariwisata. Selain dampak positif, timbul dampak
negatif baik secara ekologis, teknis, kebijakan dan sosial.
Saat ini di Indonesia tercatat ada 232 bendungan atau waduk dengan
ketinggian lebih besar dari 10 m. Jumlah waduk tersebut masih belum mencukupi
Indonesia Timur. Sejumlah besar dari waduk tersebut sudah mengalami kondisi
kelayakan di bawah normal yaitu: Waduk Djuanda, Waduk Cirata, Waduk
Saguling, Waduk Darma, Waduk Kedung Ombo, Waduk Wonogiri, Waduk
Wadas Lintang, Waduk PB Soedirman, Waduk Sermo, Waduk Selorejo, Waduk
Sutami, Waduk Wonorejo, dan Waduk Bening. Beberapa waduk menghentikan
operasi PLTA yaitu Waduk Djuanda, Waduk Saguling, Waduk Kedung Ombo,
Waduk Sempor, dan Waduk Wadaslintang (Syarief 2003).
Menurut Solichin (2005), permasalahan yang dihadapi dalam
pendayagunaan sumber daya air seperti waduk adalah mencari cara pengelolaan
yang tepat sehingga didapat hasil yang optimum dari sumber daya yang ada. Oleh
sebab itu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, maka telah digunakan
program dinamik stokastik untuk mengkaji operasi suatu sistem waduk
pembangkit listrik, telah diperoleh hasil optimasi yang berupa tabel pola operasi
pembangkit listrik yang memberikan kemungkinan pemakaian pola operasi
tersebut untuk operasi nyata. Setiawan (2004), telah membuat suatu model
pengelolaan waduk dengan memperkirakan debit air untuk mengantisipasi operasi
pembangkit listrik pada debit minimum.
2.2 Sedimentasi di Waduk
Salah satu permasalahan waduk di Indonesia adalah tingginya sedimentasi,
dimana sedimentasi telah menjadi faktor utama penyebab penurunan daya dukung
ekosistem waduk. Menurut Manan (1979) sedimentasi adalah agregat-agregat
partikel yang berkumpul di beberapa tempat yang telah dipindahkan pada jarak
tertentu baik lateral maupun vertikal. Selanjutnya dikatakan sedimentasi adalah
proses pengendapan dari bahan organik dan anorganik yang tersuspensi di dalam
air dan diangkut oleh air. Peningkatan beban sedimentasi ini terutama disebabkan
oleh peningkatan laju erosi yang disebabkan oleh aktivitas-aktivitas di daratan,
buangan limbah industri dan rumah tangga di DAS, serta aktivitas manusia di
perairan seperti budidaya ikan di waduk dengan pemberian pakan buatan yang
berlebihan (sistem pompa). Menurut BPWC (2003), sedimentasi di Waduk Cirata
Tabel 1 Sedimentasi di Waduk Cirata dari tahun 1987-2001
Tahun Pengukuran 1987 1991 1993 1997 2000 2001
Volume Sedimen (106) m3 0 10,11 11,27 25,52 15,33 5,87
Kumulatif Sedimen (106) m3 0 10,67 21,98 47,45 62,78 68,69
Total Kapasitas (106) m3 1.973,00 1.962,29 1.951,02 1.925,50 1.910,17 1.904,31
Kap. Efektifitas Waduk (106) m3 796,00 790,10 789,20 782,89 781,00 778,69
Sumber: BPWC (2003)
Secara fisik sedimentasi waduk akan menyebabkan penurunan elevasi air
yang berakibat mengurangi manfaat waduk dan mengancam kelestarian waduk
termasuk mengurangi luas lahan untuk KJA. Pendangkalan di waduk dapat
menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas perairan serta merusak habitat
organisme yang ada di dalamnya (Syarief 2003). Menurut UNEP-IETC/ILEC
(2000) salah satu masalah lingkungan yang terjadi di danau dan waduk di seluruh
dunia yaitu penurunan elevasi air. Selanjutnya dikemukakan bahwa penurunan
elevasi air dapat disebabkan oleh penggunaan air yang berlebihan di danau atau
waduk atau adanya sedimentasi. Sedimentasi yang terjadi bersumber terutama dari
aktivitas di daerah aliran sungainya, yang disebabkan adanya penggundulan hutan
atau pengolahan tanah yang mengabaikan aspek konservasi air dan tanah sehingga
menyebabkan erosi tanah. Erosi tanah dalam jumlah besar yang masuk ke waduk
atau badan air penerimanya, akan mengakibatkan terjadinya pendangkalan.
Berbagai kegiatan yang menyebabkan erosi tanah seperti penebangan hutan,
pembukaan lahan pertanian, pembukaan jalan baru, menyebabkan kandungan
sedimen pada aliran permukaan meningkat yang akhirnya akan bermuara di
waduk. Sedimen yang tersuspensi dalam bentuk partikel halus dan kasar akan
menimbulkan dampak negatif terhadap biota dalam ekosistem waduk. Biota akan
sulit bernafas dan akhirnya akan mati lemas. Selanjutnya sedimen akan
meningkatkan kekeruhan air yang akan menghalangi penetrasi cahaya dan
mengganggu organisme dalam fotosintesa. Sedimen yang berasal dari lahan
pertanian dapat menimbulkan eutrofikasi. Menurut Dahuri (2003), eutrofikasi
dapat mengakibatkan perairan pada kondisi annoxia (kekurangan oksigen) di
dalam kolom air yang disebabkan kelebihan organisme pemakai oksigen yang
sering dikombinasikan dengan stratifikasi oksigen. Sebagian komunitas
jumlah individu yang sangat banyak sehingga dapat menyebabkan kematian pada
ikan.
2.3 Pencemaran Waduk
Dari sekian banyak penyebab kerusakan lingkungan, pencemaran
merupakan faktor yang paling dominan. Hal ini disebabkan karena pencemaran
tidak saja dapat merusak atau mematikan komponen biotik perairan tetapi dapat
pula membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan manusia yang
memanfaatkan biota atau perairan yang tercemar. Pencemaran ekosistem perairan
didefinisikan sebagai perubahan fungsi normal dari suatu ekosistem perairan
akibat masuk atau dimasukannya benda-benda lain. Pada ekosistem perairan
seperti sungai, danau, waduk, pesisir, serta tambak, pencemaran dapat terjadi
karena masuknya limbah dari berbagai kegiatan manusia seperti: rumah tangga,
industri, pemukiman, peternakan, pertanian, dan perikanan. Limbah yang masuk
ke ekosistem perairan dikategorikan dalam 2 jenis; yakni limbah anorganik yang
sulit atau tidak-dapat terurai oleh mikroorganisme dan limbah organik yang
mudah terurai oleh mikroorganisme (Garno 2002)
Waduk sebagai penampung air, adanya pencemaran di DAS nya akan
menumpuk ke dalam perairan, sehingga kualitas lingkungan perairan waduk
tersebut menjadi terdegradasi. Secara langsung maupun tidak langsung
pencemaran perairan akan mempengaruhi komunitas di waduk karena akan
mengurangi produktivitas perairan, menimbulkan perusakan habitat, dan
menurunkan kualitas lingkungan perairan sebagai media hidup organisme
perairan. Bahan pencemar seperti pestisida dari aktivitas pertanian dan logam
berat limbah dari industri dapat terakumulasi dan melalui proses pemangsaan
akan mengalami magnifikasi biologis. Melalui sistem rantai makanan, semakin
tinggi tingkatan tropiksi pemangsa maka semakin besar pula tingkat akumulasi
bahan pencemar dalam tubuh organisme (Dahuri 2003).
Terjadinya peningkatan logam berat di lingkungan perairan telah
menyebabkan efek toksik pada biota-biota yang berada di perairan tersebut.
Logam berat bersifat akumulatif, maka logam berat cenderung untuk terpartisi
sedimen. Butiran polen dan spora yang mengendap dalam sedimen dapat
menggambarkan kondisi vegetasi pada suatu masa. Hal tersebut disebabkan oleh
lapisan sporopolenin pada dinding sel polen dan spora yang memiliki laju
dekomposisi yang sangat lambat. Oleh karena itu dapat digunakan untuk melihat
proses sedimentasi yang terjadi pada suatu diwilayah tertentu. Kandungan logam
berat yang tinggi di perairan waduk dapat mempercepat korositas dari turbin
PLTA, sehingga jika tidak dikendalikan akan merusak peralatan mesin turbin
yang harganya mahal.
Eutrofikasi adalah pengayaan suatu perairan akibat masuknya nutrien (N
dan P) sehingga terjadi peningkatan produktivitas primer. Adanya N dan P yang
berlebihan dan didukung oleh kondisi perairan lentik menyebabkan terjadinya
eutrofikasi. Menurut Siska (2002), masalah eutrofikasi merupakan salah satu
permasalahan yang kompleks dalam pengelolaan suatu waduk yang sudah bersifat
hipertrofik seperti Waduk Jatiluhur, sehingga dalam memecahkan permasalahan
tersebut sebaiknya digunakan kesisteman.
Eutrofikasi mengakibatkan blooming algae, penetrasi matahari ke dalam
perairan menjadi terhambat sehingga proses fotosintesa dalam perairan terganggu,
terjadinya persaingan penggunaan oksigen perairan antara algae dengan
organisme lainnya sehingga mengakibatkan penurunan kandungan oksigen
terlarut pada malam hari, organisme yang tidak tahan terhadap kekurangan
oksigen akan mati. Masuknya N dan P yang berlebih di perairan berasal dari erosi
lahan pertanian dan akumulasi hasil limbah budidaya ikan, dapat mengakibatkan
alga hijau tumbuh dengan subur, selanjutnya jika menutupi perairan dapat
memusnahkan organisme akuatik aerob.
Midlen and Redding (2000) menyatakan bahwa dari pakan ikan yang
diberikan maka hanya 25% P dan 25% N yang dimanfaatkan oleh ikan, sisanya
masuk ke lingkungan perairan. Selanjutnya dikatakan bahwa pakan ikan yang
masuk ke lingkungan perairan 10% P dan 65% N berada dalam bentuk terlarut,
sedangkan 65% P dan 10% N berada dalam bentuk partikel. Pakan ikan dalam
bentuk partikel akan masuk ke sedimen tergantung kondisi perairan dan dinamika
oksigen, sejumlah P dilepaskan ke perairan sehingga mempercepat terjadinya
eutrofikasi.
Pada kegiatan budidaya ikan dengan pemberian pakan buatan seperti
kegiatan budidaya ikan di karamba jaring apung di waduk, maka buangan pakan
ikan yang tidak termakan oleh ikan serta feces yang terbuang ke perairan
merupakan limbah bahan organik yang pada jumlah berlebih dapat mencemari
dan mengganggu ekosistem lingkungan perairan tersebut. Kehadiran bahan
beracun seperti amonia, nitrit dan H2S ini yang berada di dasar perairan
mengganggu pernapasan organisme perairan, karena hemoglobin yang berfungsi
untuk mengangkut oksigen pada akhirnya akan mengangkut gas-gas beracun. Hal
ini diduga disebabkan hemoglobin mempunyai affinitas yang jauh lebih tinggi
terhadap gas beracun dibandingkan terhadap oksigen, akibatnya biota air
mengalami hipoksia (Dahuri 2003).
2.4 Budidaya Ikan di Karamba Jaring Apung
Kegiatan perikanan di waduk merupakan salah satu alternatif pemanfaatan
sumberdaya perairan tersebut. Oleh karena itu, sejak tahun 1974 di Waduk
Jatiluhur mulai dilakukan penelitian dan uji coba pemeliharaan ikan di karamba.
Dasar hasil penelitian tersebut maka dimulai budidaya ikan di Waduk Saguling,
selanjutnya berkembang ke Danau Toba, Waduk Cirata, Waduk Wonogiri, dan
Waduk Kedung Ombo. Budidaya ikan dalam karamba di Waduk secara intensif
mulai dilakukan pada tahun 1986 (Hardjamulia et al. 1991) dan perkembangan
yang paling pesat baru mulai pada tahun1988 (Kartamiharja 1995).
Perkembangan yang pesat budidaya ikan dalam KJA karena terdapatnya
potensi produksi ikan yang dihasilkan, luas perairan yang tersedia, kelestarian
sumberdaya, kemudahan melaksanakannya, sudah tersedianya paket teknologi
budidaya serta adanya informasi bahwa budidaya ikan dalam KJA memberikan
hasil secara ekonomis menguntungkan (Hardjamulia et al. 1991).
Budidaya ikan dalam keramba jaring apung di Waduk Cirata telah
memberikan keuntungan yang cukup besar, terbukti dari jumlah KJA di Waduk
Cirata dari waktu ke waktu makin meningkat. Kegiatan budidaya ikan di Waduk
diberikan 100% adalah pakan buatan (pelet). Frekuensi pemberian pakan rata-rata
tiga kali sehari bahkan lebih dan penggunaan pakan komersial (pelet)
mengandung protein tinggi (lebih dari 20%) dengan kandungan nutrisi lainnya
cukup lengkap. Melimpahnya limbah organik yang berasal dari sisa pakan ini
mengakibatkan Waduk Cirata menghadapi masalah yang cukup serius antara lain
proses sedimentasi yang tinggi dan penurunan kualitas perairan. Pertambahan
jumlah KJA budidaya ikan di Waduk Cirata yang dimulai tahun 1987, sampai
tahun 2002 semakin meningkat. Peningkatan jumlah KJA sampai tahun 1997
dapat meningkatkan produksi total ikan tetapi mulai tahun 1998 peningkatan
jumlah KJA tidak sejalan dengan peningkatan produksinya. Hal ini diduga karena
kualitas air di Waduk Cirata yang mulai menurun setelah tahun 1997 sampai
tahun 2002, serta akibat sering terjadinya kematian massal ikan budidaya akibat
pencemaran dan terserang virus herpes (Prihadi et al. 2005).
Ryding dan Rast (1989) mengemukakan bahwa budidaya ikan dalam
karamba jaring apung merupakan budidaya di wilayah perairan yang disekat,
biasanya mengapung dan dibatasi oleh jaring. Wilayah tersebut melindungi
karamba yang digunakan untuk produksi ikan. Di awal masa pertumbuhan,
karamba ditebari ikan kecil, selanjutnya ikan diberi pakan pelet yang kaya hara
dan diberikan pada interval waktu tertentu. Di dalam wilayah perlindungan
karamba tersebut, ikan tumbuh cepat dan biasanya dipanen pada akhir masa
pertumbuhan.
Menurut Sukadi et al. (1989) KJA merupakan tempat pemeliharaan ikan
yang terbuat dari bahan jaring yang dapat menyebabkan keluar masuknya air
dengan leluasa sehingga terjadi pertukaran air dari karamba ke perairan
sekitarnya, serta pembuangan sisa pakan dengan mudah. Hardjamulia et al. (1991)
mengemukakan prinsip dasar pada KJA yaitu sebagai wadah yang semua sisi
samping dan dasarnya dibatasi jaring yang dapat menampung ikan di dalamnya,
terjadi pertukaran air dari dalam dan luar keramba serta kotoran dan sisa-sisa
pakan ke luar dari karamba ke lingkungan perairan sekitarnya.
Kartamiharja (1998) mengemukakan bahwa sejak tahun 1988 budidaya KJA
berkembang pesat di beberapa perairan waduk dan danau. Fenomena ini
Jatiluhur. Jumlah karamba meningkat dari 1.367 unit pada tahun 1988 menjadi
14.215 unit pada tahun 1995. Produksi ikan juga meningkat dari 2.651 ton pada
tahun 1988 menjadi 19.000 ton pada tahun 1995 atau rata-rata meningkat 75% per
tahun. Selanjutnya dikatakan bahwa pada budidaya ikan di KJA yang dilakukan
petani ikan di Jawa Barat menunjukkan jumlah pakan yang terbuang ke perairan
berkisar antara 30-40%. Salah satu teknologi yang telah dikembangkan untuk
menanggulangi jumlah pakan yang terbuang sekaligus menanggulangi
pencemaran perairan adalah dengan karamba jaring apung ganda. Dalam
pelaksanaan teknologi ini, pakan diberikan hanya untuk ikan utama (pada
umumnya ikan mas). Ikan utama dipelihara pada jaring lapisan atas sedangkan
dalam jaring lapisan bawah dipelihara ikan yang dapat memanfaatkan pakan yang
terbuang dari jaring lapisan atas (contoh: ikan nila). Hasil uji coba di Waduk
Jatiluhur dengan jaring lapisan atas ukuran 6m x 6m x 2m untuk ikan mas dan
jaring lapisan bawah 7m x 7m x 3m untuk ikan nila, dengan lama pemeliharaan 90
hari, diperoleh produksi rata-rata ikan mas saat panen adalah 15 kali dari bobot
awal, sedangkan ikan nila diperoleh produksi 10 kali. Konversi pakan ikan mas
didapatkan 1,6 dan ikan nila 1,0.
Karamba jaring apung secara umum merupakan kegiatan ekonomi yang
menguntungkan jika dikelola dengan baik, sehingga telah menarik investor baik di
investor dari masyarakat sekitar waduk itu sendiri maupun investor dari luar
masyarakat sekitar Waduk Cirata. Perkembangan KJA di Waduk Cirata sangat
cepat. Menurut Garno (2000), pada tahun 1999 tedapat 27.786 KJA dengan
produksi ikan 25.114 ton. KJA di Waduk Cirata telah menutupi 136 ha atau 2,2%
permukaan waduk dan sisa-sisa pakan yang tertampung di dalam waduk ada
sekitar 198,376 ton (8,667 ton N dan 1,239 ton P) sedangkan pada tahun 2003,
tercatat sebanyak 38.276 unit KJA sehingga sisa pakan yang berada di dasar
waduk adalah sebesar 279.121 ton (Prihadi 2005).
Menurut Schimittou (1991) dalam Adnyana (2001), KJA kondisinya sangat
tidak teratur dan telah melampaui batas lestari (1%) dari total area yang tersedia.
Sisa pakan dan kotoran ikan yang berlebihan telah menimbulkan endapan sekitar
kondisi perairan menjadi eutrofikasi yang menjadi bahaya laten budidaya ikan
perairan waduk yang dapat mengakibatkan kematian masal pada ikan.
Limbah dari aktivitas KJA di Waduk Cirata yang menumpuk di dasar
perairan waduk telah menimbulkan dampak negatif baik terhadap lingkungan
perairan maupun terhadap kelangsungan umur waduk dan kegiatan usaha
perikanan. Sebagai contoh, adanya hujan terus menerus selama minimal dua hari
mendung dan atau gerimis apalagi diikuti dengan angin yang cukup kencang, akan
berakibat munculnya peristiwa pembalikan massa air di dasar perairan ke perairan
bagian atas, sehingga zat beracun yang sudah lama terakumulasi di dasar perairan
terangkat ke atas. Peristiwa ini disebut dengan kejadian umbalan yang
mengakibatkan kematian massal pada ikan dalam KJA.
2.5 Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan merupakan kebijakan global yang dicetuskan
sebagai akibat akumulasi keprihatinan terhadap ketidakseimbangan antara
pertumbuhan penduduk dengan kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan,
ketidakmeratan kesejahteraan umat manusia, dan kecenderungan timbulnya
dampak lingkungan.
WCED menyelesaikan agenda pembangunan global dengan mengeluarkan
dokumen Our Common Future pada tahun 1987, dalam dokumen dikemukakan
bahwa tata ekonomi dunia menjadi pemicu kerusakan lingkungan dan
mengusulkan pembangunan berkelanjutan. “Pembangunan Berkelanjutan”
menjadi jalan tengah untuk mewadahi pembangunan berorientasi ekonomi dan
kelestarian lingkungan. Pembangunan berkelanjutan mengintegrasikan nilai
lingkungan, ekonomi, dan sosial dalam perencanaan sehingga tercipta pemerataan
distribusi manfaat antar strata sosial ekonomi dan jender, dan tersedia peluang
pembangunan bagi generasi mendatang. Berdasarkan definisi di atas maka
pembangunan berkelanjutan ditopang oleh tiga pilar, yaitu 1) pembangunan
lingkungan hidup, 2) pembangunan ekonomi dan 3) pembangunan sosial. Ketiga
pilar saling terkait dan memperkuat satu sama lain (Eppel 1999; Harris 2000),
pengembangan teknologi dan kelembagaan yang dapat mengawal pemenuhan
kebutuhan generasi saat ini dan akan datang (WCED 1987).
Sumberdaya perlu digunakan secara efisien untuk mencapai produksi
optimal secara berkelanjutan dengan memelihara kestabilan dan menghindari
eksploitasi sumberdaya yang berlebihan. Untuk menghindari eksploitasi yang
berlebihan perlu dicapai suatu keseimbangan antara konsumsi dan ketersediaan
sumberdaya. Pada sumberdaya tak terbarukan efisiensi ditempuh melalui konversi
atau investasi kembali menjadi sumberdaya terbarukan. Kestabilan sumberdaya
dilakukan melalui pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas atmosfer, dan
fungsi ekosistem lainnya. Keberlanjutan sumberdaya juga ditandai oleh
kemampuan pulih lingkungan terhadap gangguan dan kerusakan lingkungan.
Pembangunan ekonomi berkelanjutan harus mampu memproduksi barang
dan jasa secara berkelanjutan dan berkeadilan antara sektor terkait untuk
meningkatkan kesejahteraan manusia. Peningkatan kesejahteraan dapat dicapai
dengan dipenuhinya kebutuhan pangan, pakaian, perumahan, transportasi,
kesehatan, dan pendidikan melalui penggunaan sumberdaya yang efisien.
Pembangunan sosial berkelanjutan dicapai dengan tercapainya keadilan,
pemerataan pemenuhan kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, persamaan
jender, peranan politik dan partisipasi (Harris 2000). Pembangunan berkelanjutan
menempatkan manusia sebagai pelaku pembangunan yang bersinergi satu sama
lain dalam menggunakan sumberdaya secara efisien bagi peningkatan
kesejahteraannya (people oriented) dan minim dampak lingkungan.
Penilaian keberlanjutan memiliki beberapa tujuan yaitu dalam upaya untuk
(1) mencapai efisiensi penggunaan sumberdaya, (2) mendorong pencapaian tujuan
berkelanjutan, dan (3) mengembangkan landasan ilmiah mempunyai dasar ilmiah
dalam menilai keberlanjutan suatu aktifitas pembangunan. Efesiensi penggunaan
sumberdaya dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya dalam
jangka panjang dan lintas generasi (Campbell et al. 2001), menekan terjadinya
konflik (Hassanshahi et al. 2008), mengoptimalkan jasa lingkungan dan
pencapaian tujuan keberlanjutan pembangunan (Rammel et al. 2007). Adanya
keberlanjutan perlu dikembangkan karena memerlukan pemahaman ilmu lintas
disiplin yaitu ilmu sosial, ekonomi, dan lingkungan (Hassanshahi et al. 2008).
Penilaian keberlanjutan juga dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan
seperti pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat, atau lembaga penelitian.
Penilaian keberlanjutan juga sebaiknya dilaksanakan secara terus menerus,
sehingga diperoleh informasi ilmiah terkait perkembangan pemanfaatan
sumberdaya dan pola penggunaannya.
2.6 Sistem dan Model Dinamik
2.6.1 Sistem
Banyak definisi sistem yang telah dikemukakan olek penulis, diantaranya Ford
(1999) menyebutkan bahwa sistem adalah suatu kombinasi dari dua atau lebih
elemen yang saling terkait. Grant et al. (1997) juga menyatakan bahwa sistem
adalah suatu kumpulan dari bahan-bahan dan proses-proses yang saling
berhubungan dan secara bersama melakukan sejumlah peranan. Analisis sistem
merupakan suatu penerapan dari metode ilmiah tentang masalah-masalah dalam
suatu sistem yang kompleks. Analisis sistem merupakan suatu teori dan teknik
untuk mempelajari, menggambarkan dan membuat prediksi tentang sistem yang
kompleks, umumnya menggunakan penghitungan matematik, statistik dan
komputer. Inti dari analisis sistem lebih mengarah kepada strategi pemecahan
masalah yang lebih luas, bukan sekedar sekumpulan teknik-teknik kuantitatif.
Pengertian tentang sistem dikemukakan oleh Muhammadi et al. (2001) yaitu
sebagai keseluruhan interaksi antar komponen dari sebuah obyek dalam batas
lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Pengertian interaksi adalah
pengikat atau penghubung antar komponen yang memberi bentuk atau struktur
kepada obyek, sehingga membedakan dengan obyek lain dan mempengaruhi
kelakuan dari obyek. Pengertian komponen adalah benda, baik konkrit atau
abstrak yang menyusun obyek sistem. Pengertian obyek adalah sistem yang
menjadi perhatian dalam suatu batas tertentu, sehingga dapat dibedakan antara
sistem dengan lingkungan sistem. Pengertian batas antara sistem dengan