• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI BERDASARKAN MORFOMETRI KELELAWAR PEMAKAN BUAH DI SULAWESI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI BERDASARKAN MORFOMETRI KELELAWAR PEMAKAN BUAH DI SULAWESI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Identifikasi Berdasarkan Morfometri Kelelawar Pemakan Buah di Sulawesi. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU

Keberadaan kelelawar sangat penting bagi kehidupan manusia karena peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan, sebagai penyerbu tumbuhan, sebagai penghasil pupuk organik, dan sebagai bahan pangan. Di Sulawesi Utara, kelelawar pemakan buah dijadikan pangan eksotik sehingga keberadaan kelelawar dikhawatirkan akan terancam punah karena perburuan tak terkendali. Perombakan hutan untuk lahan-lahan perkebunan menyebabkan habitat kelelawar terganggu dan berpindah tempat. Identifikasi morfometri ukuran tubuh, tengkorak, dan ciri-ciri fisik diperlukan untuk mengetahui jenis-jenis dan penyebaran kelelawar pemakan buah di Sulawesi. Metode yang digunakan adalah survei lapangan ke tempat perburuan, pengumpul, dan penjual kelelawar di Sulawesi. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif dan diinterpretasikan melalui narasi untuk menggambarkan seluruh penelitian. Kelelawar pemakan buah yang ditemukan di lokasi ada lima spesies, yaitu Acerodon celebensis ditemukan di Desa Lamaya, Gorontalo dan Desa Kolono, Sulawesi Tengah, Nyctimene cephalotes dan Tooptherus nigrescens ditemukan di Desa Pakuure, Sulawesi Utara, Rousettus amplexicaudatus ditemukan di Desa Peonea, Sulawesi Tengah,

Pteropus alecto ditemukan di Pasar Bersehati Kota Manado, Desa Lamaya

Gorontalo, Desa Matialemba dan Kolono, Sulawesi Tengah.

(2)

Abstract

TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. The Morphometric Identification of Fruit Bats In Sulawesi. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU

The presence of bats is very important for human life, because of its role as pollinators of plants, as a producer of organic fertilizer, and as food. In Northern Sulawesi, fruit bats serve as an exotic food, so the population of bats is feared to be threatened with extinction due to uncontrolled hunting. Overhaul of the forest for plantation lands cause disturbed habitats and migratory bats. Morphometry of body size, skull, and physical characteristics are required to determine the types and distribution of fruit bats in Sulawesi. The method used was a survey of the field to the hunt, collectors, and sellers of bats in Sulawesi. The collected data were analyzed using descriptive method with a narrative that described the entire study. Five types of fruit bats were found at the site. Acerodon celebensis was found in Lamaya, Gorontalo and Kolono, Central Sulawesi. Nyctimene cephalotes and Thoopterus nigrescens were found in Pakuure, North Sulawesi. Rousettus amplexicaudatus was found in Peonea, Central Sulawesi. Pteropus alecto was found in the Bersehati market of Manado, North Sulawesi, Lamaya Gorontalo, Matialemba and Kolono, Central Sulawesi.

(3)

Pendahuluan

Kelelawar merupakan hewan mamalia yang diklasifikasikan dalam kingdom Animalia, subphylum Vertebrata, klas Mammalia, ordo Chiroptera. Berdasarkan jenis makanannya, kelelawar dibagi menjadi dua subordo, yaitu subordo megachiroptera, yaitu pemakan tumbuhan, yang terdiri atas satu famili, yaitu Pteropodidae, 42 genus, 175 spesies, dan subordo microchiroptera, yaitu pemakan serangga, yang terdiri atas 16 famili, 145 genus, dan 788 spesies. Kedua subordo tersebut memiliki perbedaan pada ukuran tubuh, telinga, serta

ecolocation (Corbet & Hill 1992). Megachiroptera mempunyai tubuh berukuran besar, lidah panjang, dan umumnya memiliki cakar pada jari sayap kedua. Di Sulawesi, subordo megachiroptera (Pteropodidae) terdapat 11 genus dan 22 spesies, yaitu Acerodon spp. dua spesies, Boneia sp. satu spesies, Chironax sp. satu spesies, Pteropus spp. lima spesies, Nyctimene spp. dua spesies, Chynopterus

spp. dua spesies, Dopsonia spp. tiga spesies, Neopteryx sp. satu spesies, Rousettus

sp. satu spesies, Thoopterus sp. satu spesies, dan Macroglossus sp. satu spesies (Flanery 1995, Suyanto 2001, Maryanto & Yani 2003).

Di beberapa negara, seperti Nigeria, Madagaskar, Selandia Baru, dan Malaysia, sebagian masyarakat menjadikan daging kelelawar sebagai bahan pangan (Wiles et al. 1997, Lee 2000b, Riley 2002, Jenkins & Racey 2008, Mickleburgh et al. 2008, Afolabi et al. 2009), serta sebagai obat tradisional (Mohd-Azlan et al. 2001). Masyarakat di Sulawesi Utara menjadikan daging kelelawar pemakan buah sebagai bahan makanan tradisional yang penting, dan kelelelawar terus diburu sehingga di pasar-pasar tradisional dan swalayan sering dijumpai kelelawar sebagai salah satu produk yang dipasarkan (Lee 2000b).

Lee et al. (2005) melaporkan bahwa spesies kelelawar yang dipasarkan di

Sulawesi Utara adalah Pteropus hypomelanus, P. alecto, A. celebensis, dan

Acerodon humilis, dengan jumlah yang terjual adalah 38.000 ekor selama 2 tahun

hanya untuk 6 pasar tradisional. Berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan penjual kelelawar pada Maret-Oktober 2011 di pasar Pinasungkulan dan Pasar Bersehati Manado, diketahui bahwa kelelawar pemakan buah yang dipasarkan di Sulawesi Utara, berasal dari Provinsi Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Jenis-jenis kelelawar yang dipasarkan adalah P.

(4)

alecto dan A. celebensis dan rata-rata kelelawar yang terjual adalah 100 ekor per hari.

Melihat minat masyarakat terhadap daging kelelawar, dikhawatirkan suatu saat keberadaannya akan terancam punah. Lane et al. (2006) melaporkan bahwa diduga ada 24% kelelawar pemakan buah di Asia Tenggara akan punah pada akhir abad 21, dan 25 spesies dari genus Pteropus dan 5 spesies dari genus Acerodon

masuk status concern. Beberapa spesies kelelawar endemik Sulawesi yang masuk daftar IUCN Red List dengan status endangered adalah Neopteryx frosti dan A.

humilis (IUCN Redlist 2012). Oleh karena itu, diperlukan usaha-usaha untuk

mengendalikan populasi kelelawar, di antaranya usaha budi daya dengan harapan bahwa masyarakat mengkonsumsi daging kelelawar yang berasal dari hasil budi daya. Untuk mencegah kepunahan maka keberadaan populasi kelelawar perlu dikaji. Salah satu bentuk kajian awal yang sangat penting adalah identifikasi morfomeri kelelawar.

Identifikasi berdasarkan morfomeri adalah salah satu upaya untuk mengetahui jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang dikonsumsi masyakarat. Atas dasar pertimbangan tersebut, tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis-jenis kelelawar pemakan buah di Sulawesi berdasarkan morfometri dan ciri-ciri fisik kelelawar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi untuk pengelolaan kelelawar pemakan buah di Sulawesi sebagai komoditas alternatif satwa penghasil daging, sekaligus dasar untuk mengkaji upaya pelestarian kelelawar pemakan buah sebagai sumber plasma nutfah Indonesia.

Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian

Identifikasi kelelawar pemakan buah dilakukan di enam tempat, yaitu (1) Pasar Bersehati Kecamatan Wenang, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara; (2) Perkebunan rakyat hutan Gunung Lolombulan, Desa Pakuure, Kecamatan Tenga, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, di titik ordinat 1° 06᾿10.50” N, 124° 26’19.54” E; (3) Hutan sekitar Desa Matialemba, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso; (4) Hutan Lindung Saluwaidei, Desa Peonea, Kecamatan Mori Bawah, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, di titik

(5)

ordinat 01°59᾿15,6”S, 121°08’48,8” E; (5) Hutan mangrove Desa Kolono, Kecamatan Bungku Selatan, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, di titik ordinat 02°40᾿56.0”S, 122°00’26,1” E; (6) Hutan Tapa, Desa Lamaya, Kecamatan Talaga Biru, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo di titik ordinat 00°41᾿55.0”S, 122°51’00.0”E. Pertimbangan melaksanakan penelitian di enam lokasi ini ialah hasil survei lapangan bahwa tempat-tempat ini merupakan jalur perdagangan dan perburuan kelelawar. Hal ini ditunjang oleh kenyataan bahwa semua lokasi penelitian terletak di jalur trans-Sulawesi. Penelitian dilaksanakan selama 6 (enam) bulan, yaitu bulan April hingga Oktober 2011.

Bahan dan Alat Penelitian

Peralatan dan bahan yang digunakan adalah kompas, GPS (Global Position System), jangka sorong, jaring kabut, senter, kain blacu, timbangan, kamera, alkohol, kloroform, formalin, kapas, tofles, dan beberapa spesies kelelawar pemakan buah.

Metode Penelitian

Teknik pengambilan sampel dilaksanakan secara langsung pada saat bulan baru di tiap-tiap lokasi. Teknik penangkapan dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan jaring kabut yang dipasangkan di dekat gua dan tempat yang diduga dilalui kelelawar pada waktu malam dan menggunakan kail nomor 12 yang dipasang di sekitar pohon tempat kelelawar tidur pada waktu malam. Cara pertama dilakukan untuk jenis Dobsonia sp, Nyctimene sp, Rousettus sp,

Thoopterus sp, sedangkan cara kedua untuk jenis P. alecto dan A. celebensis.

Kelelawar yang berhasil ditangkap dimasukkan ke dalam kandang untuk diidentifikasi. Identifikasi kelelawar dilakukan dengan cara pengambilan gambar pada kelelawar hidup, pengukuran bagian-bagian tubuh, termasuk tengkorak, serta struktur gigi menggunakan kunci identifikasi kelelawar (Suyanto 2001). Untuk menindaklanjuti hasil identifikasi dengan pengukuran karakter morfometri, beberapa spesimen kelelawar dibawa ke Laboratorium Mamalia LIPI Cibinong untuk dicocokkan dengan spesimen kelelawar yang ada di labaratorium tersebut.

Sebelum dibawa ke laboratorium, kelelawar terlebih dahulu difiksasi dengan formalin 4-8% netral selama 12 jam.

(6)

Identifikasi kelelawar pemakan buah didasarkan pada ciri-ciri fisik, ukuran tubuh, ukuran tengkorak, dan struktur gigi menggunakan kunci identifikasi kelelawar. Karakter yang diamati adalah cici-ciri fisik tubuh, struktur gigi, ukuran tubuh, dan tengkorak. Peubah yang diukur untuk ukuran tubuh dan tengkorak adalah panjang ekor, yang diukur dari panjang pangkal ekor sampai ujung ekor. Panjang kaki belakang diukur dari tumit sampai ujung jari terpanjang. Panjang telinga diukur dari pangkal telinga sampai ujung telinga terjauh. Panjang betis diukur dari lutut sampai pergelangan kaki. Panjang lengan bawah sayap diukur dari sisi luar siku sampai sisi luar pergelangan tangan pada sayap yang melengkung. Panjang tengkorak total diukur dari titik paling belakang pada tengkorak belakang sampai ke titik terdepan pada rahang atas. Panjang tengkorak

conylobasal diukur pada titik condylus occipytalus yang paling belakang sampai titik terdepan pada rahang atas di antara gigi seri pertama kanan dan kiri. Panjang tengkorak condylocaninus diukur dari titik pada condylus occipitalis yang paling belakang sampai titik terjauh pada taring. Lebar tulang pipi adalah jarak terlebar antara tulang pipih kanan dan kiri (Suyanto 2001, Maharadatunkamsi & Maryanto 2002). Tingkat ketelitian pengukuran tubuh dan tengkorak adalah 1 milimeter dan untuk bobot badan adalah 1 g. Sebelum dilakukan pengukuran tengkorak dan gigi, bagian kepala dan bagian daging dikeluarkan dengan cara direbus terlebih dahulu.

Analisis Data

Metode deskriptif dengan tabel dan narasi digunakan untuk menjelaskan data ciri-ciri fisik tubuh, ukuran tubuh, dan tengkorak. Selain itu analisis dilakukan untuk melihat struktur komunitas kelelawar berdasarkan tingkat kelimpahan jenis. Kesamaan suatu spesies ditentukan berdasarkan karakter morfometri dan kelimpahan jenis pada setiap lokasi penelitian, menggunakan analisis kluster berupa dendogram.

(7)

Hasil dan Pembahasan Jenis-Jenis Kelelawar

Jenis-jenis kelelawar pemakan buah beserta jumlah individu yang ditemukan di lokasi pengambilan sampel disajikan pada Tabel 1. Kesepuluh jenis kelelawar yang ditemukan, tujuh jenis dapat diidentifikasi sampai spesies berdasarkan ciri fisik, ukuran tubuh, tengkorak, dan stuktur gigi, dan tiga jenis hanya sampai pada genus karena mempunyai ciri fisik yang berbeda, yaitu

Pteropus sp, Thoopterus sp1 dan Thoopterus sp 2. Tiga spesies merupakan

endemik Sulawesi, yaitu A. celebensis, D. exoleta, N. cephalotes, empat spesies, yaitu R. celebensis dan T. nigrescens tersebar di Sulawesi dan Maluku, P. alecto

tersebar di Sulawesi, Maluku, Ambon, Nusa Tenggara, Papua Barat, Papua Nuigini, dan Australia, serta R. amplexicaudatus tersebar di Indonesia, Malaysia Timur, Filipina, dan Asia Tenggara(Flannery 1995).

Tabel 1 Jenis-jenis dan jumlah kelelawar pemakan buah yang ditemukan di lokasi pengambilan sampel

A: Pasar bersehati, B: Pakuure, C: Lamaya, D: Matialemba, E: Peonea, F: Kolono Berdasarkan pada lokasi penangkapan, jenis kelelawar yang paling banyak ditemukan (6 jenis dengan jumlah individu 64 ekor) terdapat di Desa Pukuure, di Lumaya dua spesies dengan jumlah individu 50 ekor, di Kolono dua jenis dengan jumlah individu 42 ekor, di Pasar Bersehati, Matialemba, dan Peonea masing-masing satu jenis dengan jumlah individu masing-masing-masing-masing 32 ekor, 9 ekor, dan 26 ekor. Analisis cluster mengelompokkan keenam lokasi dalam empat kelompok lokasi dengan tingkat kesamaan 78.01% (Gambar 1). Keempat kelompok lokasi itu terdiri atas kelompok 1, yaitu Pasar Bersehati dan Matialemba, kelompok 2,

Jenis Kelelawar A B C D E F Total A. celebensis 0 0 29 0 0 28 57 D. exoleta 0 4 0 0 0 0 4 N. cephalotes 0 12 0 0 0 0 12 P. alecto 32 0 0 9 0 14 55 Pteropus sp. 0 0 21 0 0 0 21 R. amplexicaudatus 0 7 0 0 16 0 23 R. celebensis 0 2 0 0 0 0 2 T. nigrescens 0 15 0 0 0 0 15 Thoopterus sp.1 0 11 0 0 0 0 11 Thoopterus sp.2 0 13 0 0 0 0 13 Total 32 64 50 9 16 42 213 Individu/Lokasi

(8)

yaitu Lamaya dan Kolono, kelompok 3, yaitu Pakuure, dan kelompok empat, yaitu Peonea. Hal ini berarti bahwa kehadiran jenis dan kelimpahan kelelawar dari masing-masing kelompok memiliki kesamaan. Pengelompokan ini dipengaruhi oleh kondisi habitat. Secara umum, kondisi keenam lokasi hampir sama karena memiliki hutan primer dan hutan sekunder dengan struktur vegetasi yang beragam, yang merupakan tempat kelelawar bertengger dan mencari makan. Demikian pula keadaan bentang alam dengan ketersediaan berbagai sumber air menyebabkan kelembapan tanahnya tinggi sehingga sangat baik untuk habitat satwa.Walaupun demikian, lokasi Pakuure dan Peonea berdiri sendiri.

A: Pasar bersehati, B: Pakuure, C: Lamaya, D: Matialemba, E: Peonea, F: Kolono Gambar 1 Struktur komunitas kelelawar di Pasar Bersehati, Pakuure, Lamaya,

Matialemba, Peonea, dan Kolono.

Perbedaan ini karena di Pakuure, selain memiliki hutan primer dan hutan sekunder, juga memiliki perkebunan rakyat yang di dalamnya terdapat jenis buah-buahan, seperti pisang, pepaya, duren, mangga, dan rambutan sebagai sumber pakan. Sebaliknya, di Peonea, walaupun lokasi habitat kelelawar berada di hutan lindung, kehadiran kelelawar di hutan hanya untuk mencari makan, sedangkan tempat bertengger dan tidur berada di gua yang terletak di dalam hutan, dan kehadiran kelelawar di dalam gua membentuk koloni dengan spesies yang sama. Selain itu, juga terdapat perkebunan rakyat berupa perkebunan cokelat, jeruk, dan pepaya yang merupakan sumber pakan.

Berdasarkan struktur gigi, ukuran lengan bawah sayap, dan panjang telinga Pteropus sp dapat digolongkan ke dalam P. alecto, namun berdasarkan warna tubuh masih diragukan, karena Pteropus sp memiliki warna kuning kecokelatan di daerah leher, sebagian punggung dan kepala yang berwarna

B E F C D A 34.04 56.02 78.01 100.00 Lokasi Ti ng ka t K es am aa n Kelompok Lokasi

(9)

kontras dengan warna bagian tubuh yang hitam, sedangkan P. alecto berwarna hitam pada seluruh tubuh (Gambar 2).

Gambar 2 Perbedaan warna Pteropus sp (a) dan P. alecto (b) pada bagian leher dan punggung.

Analisis cluster yang didasarkan pada ukuran tubuhdan ukuran tengkorak (Gambar 3) menunjukkan bahwa Pteropus sp yang berasal dari Lamaya mempunyai tingkat kesamaan yang mencapai 99.54% dan 99.95% dengan P.

alecto yang berasal dari Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono.

PaB:P.alecto Pasar Bersehati, PaM:

P.alecto Matialemba, PaK: P.alecto

Kolono, PaL: P. alecto Lamaya.

PaB:P.alecto Pasar Bersehati, PaM:

P.alecto Matialemba, PaK:P.alecto

Kolono, PaL: P. alecto Lamaya. Gambar 3 Tingkat Kesamaan Pteropus sp dengan P. alecto berdasarkan ukuran

tubuh dan tengkorak di Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono. PaL PaK PaM PaB 99.54 99.70 99.85 100.00 Lokasi T in gk at k es am aa n Ukuran Tubuh PaK PaL PaM PaB 99.95 99.97 99.98 100.00 Lokasi T in gk at k es am aa n Ukuran tengkorak a b

(10)

Melihat tingkat kesamaan yang besar berdasarkan ukuran badan dan tengkorak maka Pteropus sp yang berasal dari Lamaya dapat dikelompokkan bersama P. alecto yang berasal dari Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono. Dua jenis Thoopterus sp tidak digolongkan bersama dengan T. nigrescens karena

T. nigrescens berwarna cokelat kemerahan dan abu yang menyebar pada seluruh

tubuh. Thoopterus sp 2 memiliki warna abu-abu, dan Thoopterus sp 1 memiliki warna cokelat pada bagian leher belakang sampai ekor, sedangkan pada kepala, perut, dan lengan berwarna abu-abu (Gambar 4).

Gambar 4 Perbedaan T. nigrescens (a), Thoopterus sp 1 (b) dan Thoopterus sp 2 (c) berdasarkan warna tubuh.

Analisis cluster dari ketiga jenis kelelawar Thoopterus yang didasarkan pada tengkorak dan ukuran tubuh (Gambar 5) menunjukkan tingkat kesamaan

(a).belakang (b). belakang (c). belakang (a). muka (b). muka (c). muka

(11)

yang mencapai 99.91 dan 99.02. Oleh karena itu, Thoopterus sp dapat dikelompokkan dengan T. nigrescens.

TnP:T. negrescens, TnP1:Thoopterus

sp jenis satu yang diidentifikasi sampai genus, TnP2:Thoopterus sp jenis dua yang diidentifikasi sampai genus.

TnP:T. negrescens, TnP1:Thoopterus sp

jenis satu yang diidentifikasi sampai genus, TnP2 :Thoopterus sp jenis dua yang diidentifikasi sampai genus.

Gambar 5 Tingkat kesamaan Thoopterus sp dengan T. nigrescens berdasarkan ukuran tubuh dan tengkorak di Pakuure.

Spesies dari jenis Pteropus sp dan Thoopterus sp ini dipastikan dengan membawa contoh ke Laboratorium Mamalia LIPI Cibinong Jl. Raya Jakarta-Bogor KM 46 Cibinong untuk dibandingkan dengan spesimen utama yang dipakai sebagai acuan pemberian nama spesies (Holotype), namun holotype tidak tersedia.

Karekteristik A. celebensis

Berdasarkan identifikasi morfometri diketahui bahwa genus Acerodon yang diperoleh dalam penelitian adalah A. celebensis. Flannery (1995), Suyanto (2001) melaporkan bahwa genus Acerodon di Indonesia ada tiga jenis, yaitu A. mackloti

di Nusatenggara, serta A. celebensis, dan A. humilis di Sulawesi. Rataan, simpangan baku, jumlah sampel, dan kisaran parameter ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 1. Rataan variabel pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 6. Bobot badan A. celebensis dari Desa Lamaya Gorontalo lebih kecil (56.11 g) dibandingkan dengan yang berasal dari Desa Kolono Sulawesi Tengah. Perbedaan bobot badan maksimum dan minimum dari Gorontalo 94.9 g, sedangkan dari Kolono 286 g. Perbedaan ini menggambarkan bobot badan A. celebensis dari Lamaya Gorontalo tidak banyak bervariasi, dibandingkan dengan A. celebensis dari Desa Kolono Sulawesi Tengah. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah polulasi di Lamaya mulai

TnP2 TnP1 TnP 99.91 99.94 99.97 100.00 Jenis kelelawar T in g k a t k e sa m a a n Ukuran tubuh TnP1 TnP2 TnP 99.02 99.35 99.67 100.00 Jenis kelelawar T in g k at k es am aa n Ukuran tengkorak

(12)

mengalami penurunan yang disebabkan oleh perburuan yang tidak terkendali. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan penangkap dan penjual di lokasi penelitian diketahui bahwa penangkapan kelelawar di Lamaya dilakukan setiap hari, dan hasil penangkapan ada yang langsung dipasarkan, ada juga yang dikumpulkan ke penampung dan setiap minggunya dipasarkan ke lokasi pemasaran, seperti Minahasa dan Manado. Sebaliknya, di Kolono, penangkapan kelelawar dilakukan sesuai dengan pesanan, dan setiap dua minggu diambil oleh pengumpul di lokasi penangkapan. Selain itu, aktivitas masyarakat untuk pemburuan masih kurang.

bb : bobot badan, pb : panjang badan, plb: panjang lengan bawah, pb: panjang betis, pk : panjang kaki, pt : panjang telinga. Satuan (bb=gram, ukuran, pb,plb,pbt,pk dan pt =milimeter)

ptt : panjang tengkorak, cbl : panjang tengkorak condylobasal, ccs : panjang tengkorak condylocaninus, ra : panjang baris gigi geraham atas, ltp:lebar tulang pipih, g-g:lebar geraham premolar, gm : lebar baris gigi molar

Gambar 6 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak A. celebensis di Lamaya dan Kolono.

Rataan lengan bawah sayap, betis, telinga, dan tengkorak total A.

celebensis dari Gorontalo lebih pendek dibandingkan A. celebensis dari Sulawesi

Tengah, namun parameter ini sesuai ukuran yang dilaporkan Flannery (1995), yaitu A. celebensis bobot badan 250-500 g mempunyai panjang lengan bawah sayap 120.5-144.3 mm, telinga 28.8-31.1 mm, dan panjang betis 50.2-54.3 mm, serta tengkorak total 62.5-64.9 mm (Suyanto 2001). Parameter lain dari komponen ukuran tubuh dan tengkorak belum ada pembanding karena belum ada laporan sebelumnya.

Karakteristik fisik A. celebensis yang teridentifikasi adalah memiliki cakar pada jari kedua, tidak ada ekor, warna tubuh cokelat kekuningan, sayap cokelat dan pada jari sayap kedua dan tiga berwarna kuning muda (Gambar 7). Rumus

bb pb plb pbt pk pt Lamaya 354.14 213.29 136.86 59.29 50.71 31.86 Kolono 410.25 213.27 140.77 59.42 53.46 31.54 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 S atu an Variabel pengukuran Ukuran tubuh ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm Lamaya 59.29 52.00 47.29 25.00 34.86 19.86 15.14 12.86 8.29 Kolono 62.88 55.58 49.38 24.85 36.08 20.19 15.50 13.73 8.65 0 10 20 30 40 50 60 70 Satuan Variabel pengukuran Ukuran tengkorak

(13)

gigi I1I2CP1P3P4M1M2/I1I2CP1P3P4M1M2M3. P1 umumnya tanggal, di tengah

permukaan kunyah geraham bawah P4 M1 M2 mempunyai tonjolan yang

memanjang, dan ada tonjolan sebelah depan geraham atas P4 M1. Berdasarkan rumus gigi diketahui bahwa hampir semua kelelawar yang ditangkap sudah dewasa karena gigi sudah tumbuh semuanya, walaupun tidak dapat ditentukan umurnya yang tepat. Beberapa ekor ditemukan bunting (17.64%) untuk A.

celebensis dari Kolono, dan (25%) dari Lamaya.

Gambar 7 Warna tubuh A. celebensis cokelat kekuningan (a), dan warna sayap cokelat tua (b).

Persentase betina yang tertangkap adalah 65.38% dan jantan 34.64% untuk A. celebensis dari Kolono, sedangkan A. celebensis dari Lamaya adalah betina 57.14% dan jantan 42.86%. Ini berarti, sebagian besar yang tertangkap adalah betina produktif yang mengindikasikan bahwa suatu waktu populasi spesies ini akan terancam apabila pemburuan tidak terkendali.

Karakteristik N. cephalotes

Di Sulawesi, genus Nyctimene terdapat dua jenis, yaitu N. cephalotes dan

N. minitus. Ciri yang membedakan kedua spesies ini adalah garis cokelat di tengah punggung, panjang tengkorak total, kaki belakang, lengan bawah sayap, dan betis, serta garis cokelat di tengah punggung (Flannery 1995, Suyanto 2001). Berdasarkan parameter di atas diketahui bahwa jenis yang terjaring di Pakuure adalah N. cephalotes. Rataan, simpangan baku, dan jumlah sampel dari parameter ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 2. Rataan variabel pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 8. Rataan bobot badan N. cephalotes yang terjaring lebih tinggi (9.40 g) dan perbedaan

(14)

variasi bobot 16.9 g dari rataan bobot badan N. cephalotes yang berasal dari pulau Sanana. Flannery (1995) melaporkan bahwa rataan bobot badan jantan dan betina adalah 43.2 g dengan variasi bobot antara 40-47 g, dan ukuran lengan bawah sayap, betis dan telinga N. cephalotes jantan asal Sanana, Pulau Maluku secara berurutan adalah 64.7, 25.5, dan 14.6 mm, sedangkan betina adalah 65.3, 6.3, dan 14.6 mm. Lebih besarnya bobot badan N. cephalotes pada penelitian ini mungkin disebabkan karena lokasi dan ketersediaan pakan yang memenuhi kebutuhan disertai aktivitas perburuan yang jarang dilakukan.

bb:bobot badan, pb:panjang sayap, plb : panjang lengan bawah, pb:panjang betis, pk:panjang kaki, pt:panjang telinga. Satuan (bb=gram, ukuran, pb, plb, pbt, pk dan pt =milimeter)

ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang tengkorak condylobasal, ccs:panjang tengkorak condylocaninus, ra: panjang baris gigi geraham atas, ltp: lebar tulang pipih, g-g:lebar geraham

premolar, gm:lebar baris gigi molar

Gambar 8 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak N. cephalotes di Pakuure.

Ukuran lengan bawah sayap dan betis N. cephalotes yang terjaring sama dengan ukuran lengan bawah sayap dan betis N. cephalotes yang dilaporkan Suyanto (2001), namun kaki dan telinga lebih panjang masing-masing 1.40 mm dan 0.30 mm. Panjang tengkorak total dan tengkorak condylobasal sama dengan panjang tengkorak total dan tengkorak condylobasal yang dilaporkan Kitchener et al. (1993).Kesamaan ukuran panjang lengan bawah sayap, kaki, tengkorak total, dan tengkorak condylobasal dapat dijadikan paremeter untuk identifikasi N.

cephalotes karena paremeter ini tidak akan berubah apabila kelelawar sudah

dewasa. Parameter lain dari komponen ukuran tubuh dan tengkorak belum ada pembanding karena belum ada laporan sebelumnya.

52.60 509.80 69.30 27.00 19.60 16.80 0 100 200 300 400 500 600 bb ps plb pbt pk pt S atu an Variabel pengukuran Ukuran tubuh 32.00 28.00 25.57 10.14 22.57 10.29 6.00 3.29 6.00 0 5 10 15 20 25 30 35 40 ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm satuan Variabel pengukuran Ukuran tengkorak

(15)

Rumus gigi kelelawar ini adalah I1CP1P3P4M1/CP1P3P4M1M2.. Berdasarkan

rumus gigi diketahui bahwa hampir semua kelelawar yang ditangkap sudah dewasa karena gigi sudah tumbuh semuanya, bahkan sudah ada yang aus dan tanggal. Karakteristik fisiklain N. cephalotes yang teridentifikasi adalah memiliki ekor, hidung berbentuk tabung, ada bercak kuning pada sayap, hidung, dan telinga. Warna seluruh tubuh cokelat kehijauan, ada garis cokelat dan sempit di tengah punggung(Gambar 9).

Gambar 9 Warna tubuh dan bercak kuning pada sayap (a), garis cokelat di tengah puggung (b), ekor dan bentuk hidung (c) N. cephalotes.

Persentase betina yang tertangkap adalah 40% dan jantan 60%. Ini berarti bahwa jantan dan betina pada habitatnya seimbang yang mengindikasikan bahwa spesies ini pada habitatnya dapat bertahan dan dapat memperbanyak diri sehingga tidak diragukan terancam pada suatu waktu tertentu.

Karakteristik P. alecto

Di Indonesia, genus Pteropus ada 20 spesies dan di Sulawesi ada lima spesies, yaitu P. alecto, P. caniceps, P. griseus, P. pumilis dan P. speciosus

(Suyanto 2001). Ciri yang membedakan spesies adalah basal ledge posterior,

warna tubuh, ukuran lengan bawah sayap, ukuran panjang telinga, dan bulu pada betis. Berdasarkan parameter di atas diketahui bahwa marga Pteropus yang ditemukan di empat lokasi adalah P. alecto. Rataan, simpangan baku, jumlah sampel dari parameter ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 3. Variasi pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 10. Bobot badan P. alecto dari Pasar Bersehati hampir seragam dengan selisih bobot badan maksimum dan minimum 95 g, sedangkan P. alecto asal Lamaya, Matialemba dan Kolono bervariasi dengan selisih bobot maksimum dan minimum masing-masing 277.4 g, 247 g, dan 470 g. Variasi bobot badan paling kecil adalah

(16)

pada P. alecto asal Pasar Bersehati. Hal ini disebabkan karena P. alecto tidak diambil dari habitat asalnya, tetapi diambil dari pasar yang merupakan pusat penjualan kelelawar di Kota Manado sehingga sudah dipilih dan dikelompokkan berdasarkan bobot badan. Hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan penjual kelelawar diperoleh informasi bahwa kelelawar yang dipasarkan berasal dari Pulau Sangihe dan Talaud, walaupun ada juga yang berasal dari Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.

bb:bobot badan, pb:panjang badan, plb:panjang lengan bawah, pb: panjang betis, pk:panjang kaki, pt:panjang telinga. Satuan (bb=gram, ukuran, pb, plb, pbt, pk dan pt = milimeter)

ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang tengkorak condylobasal, ccs:panjang tengkorak condylocaninus, ra:panjang baris gigi geraham atas, ltp:lebar tulang pipih, g-g:lebar geraham premolar, gm :lebar baris gigi molar

Gambar 10 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak P. alecto di Pasar Bersehati (PaB), Lamaya (PaL), Matialemba (PaM), dan Kolono (PaK).

Variasi bobot badan paling besar adalah pada P. alecto asal Kolono, diikuti Matilemba dan Lamaya. Hal ini karena lokasi habitat hutan primer di ketiga lokasi dan hutan mangrove di pesisir pantai Desa Kolono masih baik, selain itu budaya masyakarat yang tidak mengkonsumsi daging dan lokasi pemasaran yang cukup jauh juga ikut menentukan kurangnya aktivitas masyarakat untuk memburu kelelawar. Berdasarkan hasil survei dan wawancara langsung dengan penangkapan kelelawar di Kolono diperoleh informasi bahwa jumlah penangkap kelelawar di Kolono ada dua orang. Kelelawar yang diburu dikumpulkan dan dipasarkan di daerah sekitar Motibawah Kecamatan Beteleme, Kabupaten Morowali, Makasar dan Manado setiap dua minggu oleh pengumpul. Hasil survei dan wawancara langsung dengan penangkap dan pengumpul di Lamaya, Gorontalo diperoleh informasi pada musim buah, setiap minggu kelelawar

bb pb plb pbt pk pt PaB 508,89 231,33 154,67 73,93 59,33 32,53 PaL 535,66 247,14 166,43 75,71 57,86 32,14 PaM 679,00 262,78 166,11 77,22 61,33 32,22 PaK 545,86 236,79 159,29 74,29 59,29 32,00 0 100 200 300 400 500 600 700 800 S a t ua n Variabel pengukuran Ukuran Tubuh 0 20 40 60 80 ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm PaB 69.60 59.60 54.33 28.20 38.27 19.13 14.13 15.27 8.00 PaL 69.29 59.86 54.86 27.71 35.29 20.14 16.86 16.14 8.43 PaM 70.56 61.67 56.67 29.56 39.44 22.00 15.00 16.33 8.00 PaK 70.14 60.07 54.64 27.43 37.29 20.07 16.86 16.21 8.93 S at u an Variabel pengukuran Ukuran tengkorak

(17)

ditangkap dan dikumpulkan untuk dipasarkan di daerah Minahasa dan Manado, sedangkan pada musim buah-buahan tidak berbuah aktivitas penangkapan berkurang karena populasi kelelawar berkurang atau berpindah tempat. Hasil wawancara di Pasar Bersehati diperoleh informasi bahwa kelelawar yang berasal dari Pulau Mantehage hanya di bawa ke Manado pada waktu tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa habitat di Sulawesi Tengah masih lebih baik dibanding habitat asal P. alecto yang diambil di Pasar Bersehati dan Habitat di Lamaya Gorontalo.

Rataan ukuran lengan bawah sayap, betis, telinga, dan panjang tengkorak total dari ke empat lokasi variasinya sama dengan yang dilaporkan oleh Flannery (1995) dan Suyanto (2001). Hal ini berarti bahwa ukuran lengan bawah sayap, betis, telinga, dan panjang tengkorak total merupakan parameter penentu dalam identifikasi P. alecto. Parameter lain dari komponen ukuran tubuh dan tengkorak belum ada pembanding karena belum ada laporan sebelumnya.

Karakteristik fisik lain P. alecto yang teridentifikasi adalah, seluruh tubuh berwarna hitam, sayap berwarna cokelat tua, dan rigi palatum 5+5+3 (Gambar 11).

Gambar 11 Warna seluruh tubuh, sayap, dan rigi palatum P. alecto.

Rumus gigi marga Pteropus adalah I1I2CP1P3P4M1M2/I1I2CP1P3P 4M1M2M3. Berdasarkan rumus gigi diketahui bahwa semua kelelawar yang

ditangkap sudah dewasa karena gigi permanen sudah tumbuh semuanya, bahkan ada beberapa gigi geraham belakang yang sudah tanggal. Hampir semua P. alecto

betina belum pernah beranak. Persentase betina dan jantan yang tertangkap adalah 33.33% dan 66.67% untuk P. alecto asal Pasar Bersehati, Matialemba dan Kolono sama yaitu 21.43% dan 78.57%, dan Lamaya 57.15% dan 42.85%,

(18)

dengan persentase kebuntingan 28.57%, dan persentase kebuntingan dari Kolono 21.43%. Ini berarti jumlah kelelawar jantan yang tertangkap di keempat lokasi lebih tinggi daripada kelelawar betina. Walaupun jantan lebih banyak yang tertangkap dibanding betina, betina yang tertangkap adalah betina produktif. Lebih banyaknya jantan yang tertangkap mungkin disebabkan karena populasi jantan lebih besar daripada betina. Ini mungkin karena jantan lebih banyak yang dilahirkan daripada betina. Hasil pengamatan langsung pada P. alecto yang dikandangkan, dari tujuh ekor yang bunting semua melahirkan anak jantan.

Karakteristik R. amplexicaudatus

Di Indonesia genus Rousettus terdiri atas empat jenis, yaitu R. amplexicaudatus, R. celebensis, R. spinalatus dan R. leschenauli, sedangkan di Sulawesi dan Maluku marga ini hanya terdapat satu jenis, yaitu R. celebensis. Ciri yang membedakan spesies ini adalah ada tidaknya perlekatan sayap di tengah punggung, ukuran lengan bawah sayap, dan banyaknya bulu (Flannery 1995, Suyanto 2001). Maryanto & Yani (2003) melaporkan bahwa di Sulawesi ada satu spesies baru, yaitu R. linduensis. Ciri-ciri Rousettus sp adalah moncong panjang, lidah panjang, gigi seri belah ujungnya kanan kiri, lengan bawah sayap 69-99 mm, mempunyai cakar pada jari kedua serta rumus gigi I1I2CP1P3P4M1M2/I1I2CP1P3P

4M1M2M3. P1 mengecil seukuran gigi seri, geraham belakang nomor satu lebih

pendek dari pada nomor tiga dan empat.

Berdasarkan parameter tersebut di atas diketahui bahwa jenis yang terjaring di Peonea adalah R. amplexicaudatus. Rataan, simpangan baku, jumlah sampel dari parameter ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Lampiran 4. Rataan variabel pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 12. Rataan bobot badan R. amplexicaudatus adalah 104.24 g dengan variasi berkisar dari 58.5-149.6 g. Rataan bobot badan ini lebih tinggi 27-87. 2 g dibandingkan dengan rataan bobot badan dari R. amplexicaudatus yang dilaporkan Flannery (1995) bahwa rataan bobot badan R. amplexicaudatus di New Ireland adalah 101.5 g dengan kisaran 98-105 g.

Besarnya bobot badan dan variasi bobot badan R. amplexicaudatus di Peonea mengindikasikan struktur populasi yang seimbang, dan habitat gua batu yang menyusuri sungai sepanjang tiga kilometer di tengah hutan lindung

(19)

Saluwaidei, yang ditunjang dengan aneka pohon dan buah-buahan yang tumbuh sebagai sumber pakan yang cocok bagi kehidupan kelelawar.

bb:bobot badan, pb: panjang badan, plb :panjang lengan bawah, pb: panjang betis, pk:panjang kaki, pt:panjang telinga. Satuan (bb=gram, ukuran, pb, plb, pbt, pk, dan pt =milimeter)

ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang tengkorak condylobasal, ccs:panjang tengkorak condylocaninus, ra: panjang baris gigi geraham atas, ltp:lebar tulang pipih, g-g:lebar geraham

premolar, gm:lebar baris gigi molar

Gambar 12 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak R. amplexicaudatus di Peonea.

Selain itu, aktivitas penangkapan masyarakat di sekitar hutan lindung jarang dilakukan. Flannery (1995) melaporkan bahwa panjang lengan bawah sayap, ekor, dan telinga R. amplexicaudatus jantan asal New Ireland adalah 74.9 (73.2-77.2 mm, 18,7 (17.6-20.6) mm dan 15.7 (14.4-17) mm, dan betina adalah 70.3 (66.8-74) mm, 16 (14.8-15.2) mm dan 16 (14-18.3) mm. Bergman & Rozendaal (1988) melaporkan beberapa ukuran tubuh dan tengkorak dari R.

amplexicaudatus dari Sulawesi adalah, panjang lengan bawah sayap 81.55

(77.3-85.6) mm, panjang tengkorak total 36.85 (35.2-38.5) mm, tengkorak condylobasal

35.4 (34.2-37.2) mm dan lebar tulang pipi 22.3 (20.7-23.3) mm.

Ukuran maksimum dan minimum lengan bawah sayap R. amplexicaudatus

di Peonea lebih tinggi 4-33 mm dan panjang telinga lebih tinggi 2-5 mm dari ukuran panjang ekor dan telinga R. amplexicaudatus yang dilaporkan oleh Flannery (1995), sedangkan ukuran maksimun dan minimum panjang ekor sama. Ukuran maksimum dan minimum tengkorak total lebih tinggi 1.8-9.5 mm dan tengkorak condylobasal lebih tinggi 0.8-4.8 mm dari ukuran maksimum dan minimum tengkorak total dan tengkorak condylobasal yang dilaporkan Bergmans & Rozendaal (1988). Hal ini mengindikasikan bahwa panjang ekor merupakan

104.24 133.56 87.63 45.56 30.25 20.44 0 20 40 60 80 100 120 140 160 bb pb plb pbt pk pt S at u an Variabel pengukuran Ukuran tubuh 42.69 37.94 33.75 14.81 23.13 12.88 11.2510.06 5.13 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm S at u an Variabel pengukuran Ukuran tengkorak

(20)

parameter yang tidak mengikuti bobot badan, sedangkan ukuran lengan bawah sayap, telinga, tengkorak total, dan tengkorak condylobasal mengikuti bobot badan sehingga panjang lengan dan tengkorak condylobasal dapat dijadikan parameter dalam mengidentifikasi spesies ini. Karakteristik fisik lain yang teridentifikasi adalah, seluruh tubuh berwarna cokelat abu-abu dan bulu yang tidak lebat dan pendek (Gambar 13). Persentase jantan dan betina yang tertangkap adalah 75% dan 25%.

Gambar 13 R. amplexicaudatus yang terjaring di Peonea.

Karakteristik T. nigrescens

Marga ini hanya satu jenis, yaitu codot walet T. nigrencens yang penyebarannya terbatas di Sangihe, Sulawesi Utara, Morotai, dan Mangole . Ciri-cirinya moncong perdek, warna keabuan dan cokelat pada daerah punggung dan bahu (Flannery 1995). Rumus giginya adalah I1I2CP1P3P4M1/I1I2CP1P3P4.M1M2. P4

dan M1 sangat lebar dibandingkan gigi lainnya. M2 kecil hampir sama dengan P1,

I2 lebih pendek daripada I (Suyanto 2001). Berdasarkan rumus gigi, bentuk kepala, dan bentuk moncong maka jenis yang ditemukan adalah T. nigrescens.

Namun, berdasarkan bobot badan, ukuran lengan bawah sayap, betis, dan warna bulu, ditemukan kemungkinan dua jenis berbeda yang dapat digolongkan sebagai marga Thoopterus sp, yaitu Thoopterus sp1 dan Thoopterus sp 2. Data rataan, simpangan baku, jumlah sampel, parameter ukuran tubuh, dan tengkorak hasil pengukuran ketiga jenis ini dapat dilihat pada Lampiran 5. Rataan variabel pengukuran ukuran tubuh dan tengkorak dapat dilihat pada Gambar 14.

Rataan bobot badan T. nigrescens hasil penelitian ini lebih rendah 8,81 g dan ukuran betis lebih tinggi 1,43 mm dari kisaran T. nigrescens asal Morotai yang dilaporkan Flannery (1995). Rataan bobot badan, lengan bawah sayap, betis, panjang tengkorak total, dan tengkorak condylobasal Thoopterus sp 1 dan

(21)

Thoopterus sp 2 lebih rendah dari T. nigrescens yang ditemukan di lokasi penelitian dan T. nigrescens asal Mangole yang dilaporkan Flannery (1995), yaitu

T. nigrescens mempunyai panjang tubuh 107-109 mm, lengan bawah sayap

71.2-72.3 mm, panjang betis 28.7 mm, telinga 16.6-16.8 mm, dan bobot badan 62-88 g untuk jantan dan panjang tubuh 94.1-106.7 mm, lengan bawah sayap 70.4-73.9 mm, panjang betis 27.4-31 mm, telinga 14.1-16.7 mm, dan bobot badan 52-60 g untuk betina.

Bb:bobot badan, pb: panjang badan, plb:panjang lengan bawah, pb: panjang betis, pk : panjang kaki, pt : panjang telinga. Satuan (bb=gram, ukuran, pb, plb, pbt, pk, dan pt =milimeter)

ptt:panjang tengkorak, cbl:panjang tengkorak condylobasal, ccs: panjang tengkorak condylocaninus, ra: panjang baris gigi geraham atas, ltp: lebar tulang pipih, g-g: lebar geraham

premolar, gm:lebar baris gigi molar

Gambar 14 Rataan ukuran tubuh dan tengkorak T. nigrescens (TnP) Thoopterus

sp 1 (TnP 1), dan Thoopterus sp 2 (TnP 2) di Pakuure.

Dari rumus gigi diketahui bahwa T. nigrescens yang tertangkap sebanyak 13 ekor (84.62%) sudah dewasa, dan dua ekor (15.38%) masih muda. Dengan jumlah jantan yang terjaring lebih rendah dari betina dengan persentase 46.15: 53.85, demikian juga Thoopterus sp 1 dengan persentase jantan 27:73. Sebaliknya, untuk jenis Thoopterus sp 2 jumlah jantan yang terjaring lebih tinggi daripada betina dengan persentase 90.90:0.90. Dilihat dari perbandingan jantan dan betina yang terjaring, maka pada kondisi habitat yang tidak menunjang kehidupan kelelawar ada kemungkinan suatu waktu akan terjadi penurunan populasi dan perubahan struktur populasi apabila perburuan terus dilakukan.

bb ps plb pbt pk pt TnP 83.65 553.15 75.92 30.15 25.31 17.00 TnP1 51.59 467.67 66.00 27.53 20.53 15.47 TnP2 24.42 379.09 53.82 20.09 14.64 15.91 0 100 200 300 400 500 600 S at u an Variabel pengukuran Ukuran tubuh ptt cbl ccs ra ltp g-g t-t gmp gm TnP 37.88 34.00 30.88 13.75 23.25 13.25 8.13 0.00 8.13 TnP1 33.60 29.67 28.27 16.73 16.80 10.87 7.13 2.47 6.67 TnP2 29.00 25.88 24.38 10.88 18.75 10.25 6.38 2.00 5.50 0 5 10 15 20 25 30 35 40 S at u an Variabel pengukuran Ukuran tengkorak

(22)

Simpulan

Berdasarkan susunan gigi, ukuran tengkorak dan ukuran tubuh maka jenis kelelawar pemakan buah yang ditemukan ada lima spesies yang terdiri atas 1. A. celebensis dapat ditemukan di Hutan mangrove di pesisir pantai Desa Lumaya Gorontalo dan Hutan mangrove di pesisir pantai Desa Kolono Kecamatan Bungku Selatan, Kabupaten Marowali, Provinsi Sulawesi Tengah, 2. N. cephalotes, dan 3.

T. nigrescens dapat ditemukan di Perkebunan Rakyat Toori sekitar hutan Gunung

Lolombulan Kecamatan Tenga, Kabupaten Manahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, 4. R. amplexicaudatus dapat ditemukan di gua batu hutan lindung Saluwadei, Desa Peonea, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, 5. P. alecto dapat ditemukan di Pasar Bersehati, Kota Manado, Desa Lamaya, Kecamatan Talaga Biru, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo dan Hutan sekitar Desa Matialemba, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso, dan Hutan mongrove di pesisir pantai Desa Kolono, Kecamatan Bungku Selatan, Kabupaten Marowali, Provinsi Sulawesi Tengah.

Saran

Perlu dilakukan penelitian molekuler untuk memperkuat informasi morfometri jenis-jenis kelelawar di setiap lokasi. Penelitian tentang populasi dan habitat kelelawar perlu dilakukan untuk mengetahui status populasi dan habitat kelelawar pemakan buah yang tersebar di Sulawesi.

(23)

Daftar Pustaka

Afolabi OO et al. 2009. Determination of major mineral in bats (Chiropterans disambiguation). Continent J Food Sci Technol 3:14-18.

Bergmens W, Rozendaal FG. 1988. Notes on a collection of fruit bats from Sulawesi and Some off-lying island (Mamalia, Megachiroptera). Zool

Verhandlugen 248:1-14.

Bumrungsri S, Sripaoraja E, Chongsir T, Sridith K. 2009. The pollination ecology of durian (Durio zibethinus, Bombacae) in southern Thailand. J Trop Ecol

25:85-92.

Conkey KM, Drake DL. 2006. Flying foxes cease to function as seed dispersers long they become rare. Ecologi 87(2):271-276.

Corbet GB, Hill JE. 1992.The Mammals of the Indomalayan Region: A Systematic

Review. Oxford : Oxford University Press.

Dumont ER, O'nell R. 2004. Food hardness and feeding behavior in old word fruit bats (Pteropodidae). J mammal 85 (1): 8-14.

Flannery T. 1995. Mammals of the South-West pacific & Moluccan Islands. Sydney : Australian Museum/ Reed Book.

Hodgkison R, Balding ST. 2003. Fruit bats (Chiroptera: pteropodidae) as seed dispersers and pollinators in a Lowland Malaysian rain forest. Biotropic

34(4):491-503

Jenkins RKB, Racey PA. 2008. Bats as bustmeat in Madagascar. Madagascar

Conserv Develop 3 (1):22-30.

Kitchener DJ, Packer WC, Maryanto I. 1993. Taxonomic status of Nyctimene

(Chiroptera : Pteropodidae) from the Banda, Kei and Aru Is., Maluku, Indonesia. Implication for biogeography. Rec West Aust Mus 16:399-417.

Lane DJW, Kingston T, Lee BPY-H. 2006. Dramatic decline in bat species richness in Singapore, with implication for Southeast Asia. Biol Conserv

131:584-593.

Lee RJ. 2000b. Market hunting pressure in North Sulawesi, Indonesia. Trop

Biodivers 6:145-162.

Lee RJ et al. 2005. Wildlife trade and implication for law enforcement in Indonesia: a case study from North Sulawesi. Biol Conserv 123:477-488.

(24)

Maharadatunkamsi, Maryanto I. 2002. Morpholical variation of the three species fruit bat genus megaerops from Indonesia with its new distribution record.

Treubia 32(1):63-85.

Maryanto I, Mohamad Y. 2003. A new spesies of Rousettus (Chiroptera : Pteropodidae) from Lore Lindu, Central Sulawesi. Mammal Study 28:111-120.

Mickleburgh S, Waylen K, Racey P. 2008. Bat as bushmeat: a global review.

Oryx 43(3):217-234.

Mohd-Azlan J, Zubaid A, Kunz TH. 2001. The distribution, relative abundance, and conservation status of the large flying fox, Pteropus vampyrus, in Peninsular Malaysia: a preliminary assessment. Acta Chiropt 3:149-162.

Riley J. 2002. Mammal survey on the Sangihe and Talaud Island, Indonesia and the impact of hunting and habitat loss. Oryx 36:288-296

Suyanto A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Seri panduan lapangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor.

Wiles GJ, Engbring J, Otobed D, 1997. Abudance, biology, and human exploitation of bat in the Pulau Islands. J Zool 241 :203-227

Gambar

Tabel 1 Jenis-jenis dan jumlah kelelawar pemakan buah yang ditemukan di lokasi  pengambilan sampel
Gambar   3 Tingkat  Kesamaan  Pteropus sp dengan  P. alecto berdasarkan  ukuran  tubuh dan  tengkorak di Pasar Bersehati, Matialemba, dan Kolono
Gambar  4 Perbedaan T. nigrescens (a), Thoopterus sp 1 (b) dan Thoopterus sp  2  (c) berdasarkan warna tubuh
Gambar    7  Warna  tubuh  A.  celebensis  cokelat  kekuningan  (a),  dan  warna  sayap  cokelat tua (b)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menandakan bahwa secara terpisah (parsial) variabel bebas dalam penelitian ini tidak mempunyai pengaruh yang signifikan pada variabel terikat. 2) Jika nilai

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang

Sistem telemetri pengamatan profil cuaca dan kualitas udara di Gunung tangkuban perahu yang sudah diimplementasikan alat pengukurannya ini sudah memiliki

gambaran umum mengenai materi pencatatan transaksi ke dalam jurnal umum perlu diketahui peserta didik agar mereka bisa menyiapkan diri pada pembelajaran yang akan

Siklus I berlangsung selama lima pertemuan dengan kegiatan pembelajaran dan praktik pendekatan Rational Emotive Behavior Therapy (REBT). Siklus II juga dilakukan selama

Sangat disarankan kepada petugas Lapas khususnya petugas Lapas Kelas II B Pasir Pengaraian dibagian pembinaan agar mengikuti pelatihan-pelatihan, training atau

Individu cenderung menggunakan strategi ini pada saat individu tersebut meyakini bahwa tidak ada yang dapat diperbuat untuk mengubah situasi (Chamberlain & Lyons,

Maka kedua populasi berbeda dalam hal penurunan stres akademik atau dengan kata lain, data stres akademik kelompok siswa yang diberi perlakuan menggunakan teknik restrukturisasi