• Tidak ada hasil yang ditemukan

DELIGNIFIKASI LIMBAH TANAMAN JAGUNG MENGGUNAKAN KALSIUM HIDROKSIDA. Oleh: ARIF RAKHMAN HAKIM F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DELIGNIFIKASI LIMBAH TANAMAN JAGUNG MENGGUNAKAN KALSIUM HIDROKSIDA. Oleh: ARIF RAKHMAN HAKIM F"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

DELIGNIFIKASI LIMBAH TANAMAN JAGUNG

MENGGUNAKAN KALSIUM HIDROKSIDA

Oleh:

ARIF RAKHMAN HAKIM

F34052686

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Delignifikasi Limbah Tanaman Jagung Menggunakan Kalsium Hidroksida” ini merupakan hasil karya sendiri di bawah bimbingan pembimbing akademik. Se-mua informasi yang ada di dalam teks, yang berasal dari karya orang lain, baik yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan telah tercantum di bagian akhir tulisan ini.

Bogor, 14 April 2010 Pembuat pernyataan,

Arif Rakhman H. F34052686

(3)

Arif Rakhman Hakim. F34052686. Delignifikasi Limbah Tanaman Jagung Menggunakan Kalsium Hidroksida. Di bawah bimbingan : Purwoko. 2010

RINGKASAN

Sejak tahun 90-an, lignoselulosa mulai gencar untuk dijadikan sumber energi oleh para peneliti dunia. Di Indonesia, sebenarnya potensi untuk pengembangan bahan ini cukup baik jika ditinjau dari kebutuhan energi. Di samping itu, ketersediaan bahan tersebut cukup melimpah, salah satunya adalah LTJ (limbah tanaman jagung) yang jumlahnya diperkirakan 18.9x1013 ton/tahun.

Meskipun lignoselulosa cukup melimpah, pemanfaatannya memerlukan perlakukan khusus karena strukturnya yang kompleks antara selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Berbagai perlakukan telah dikembangkan, baik secara fisik, biologi, maupun kimia. Salah satu perlakuan adalah delignifikasi dengan Ca(OH)2 untuk meminimalkan kerusakan selulosa dan hemiselulosa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan Ca(OH)2, penambahan air, temperatur pemanasan, dan lama pemanasan pada delignifikasi. serta mencari kondisi terbaik pada proses delignifikasi limbah tanaman jagung dengan Ca(OH)2.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa hanya perlakuan temperatur yang memiliki pengaruh nyata terhadap proses delignifikasi, sedangkan penambahan Ca(OH)2, penambahan air, dan lama pemanasan tidak berpengaruh nyata terhadap proses delignifikasi. Pada rentang yang diuji telah terdeteksi adanya kurvatur, dan diperoleh persamaan : LR* = − 0.24197 + 0.007951 x3 – 5.3∙10-5 x32. Kondisi terbaik proses ini diperkirakan ada pada suhu 74.6 oC, dengan susut lignin sebesar 0.055 g/g LTJ, tingkat delignifikasi 0.25, dan tingkat selektivitas delignifikasi 0.40.

(4)

Arif Rakhman Hakim. F34052686. Corn Stover Delignification Using Calcium Hydroxide. Supervised by Purwoko. 2010

SUMMARY

Since the 90’s, lignocelluloses began aggressively to become a source of energy by researcher of the world. In Indonesia, the actual potential for the de-velopment of this material is quite good if viewed from its energy needs. In addi-tion, the supply for this material is relatively abundant, one of which is corn stov-er. The production of corn stover is about 18.9x1013 ton/year.

Although, lignocellulose is relatively abundant, its utilization requires spe-cial treatment because of the complex structure of celluloses, hemicelluloses, and lignins. Various treatments have been developed included physical, biological, or chemical. One of the treatments is delignification with lime to minimize damage to the celluloses and hemicelluloses.

This study aims to determine the effect of lime addition, water addition, heating temperature, and heating time on delignification, and to find the best con-dition in the delignification process of corn stover with lime.

The experimental result shows that significant factor in delignification is heating temperature, whereas lime addition, water addition, and heating time did not have significant influence in delignification. In the tested range also has de-tected the existence of curvature, and obtained the equation: LR* = − 0.24197 + 0.007951 x3 – 5.3∙10-5x32. The best condition of this process is estimated at 74.6 o

C, with lignin removal is 0.055 g/g corn stover, delignification level is 0.25, and delignification selectivity is 0.40.

(5)

i

DELIGNIFIKASI LIMBAH TANAMAN JAGUNG

MENGGUNAKAN KALSIUM HIDROKSIDA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

ARIF RAKHMAN HAKIM F34052686

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

ii

Judul : DELIGNIFIKASI LIMBAH TANAMAN JAGUNG MENGGUNAKAN KALSIUM HIDROKSIDA Nama : ARIF RAKHMAN HAKIM

NIM : F34052686 Menyetujui Pembimbing, (Drs. Purwoko, M. Si) NIP : 19590710 197903 1 001 Mengetahui Ketua Departemen,

(Prof.Dr.Ir. Nastiti Siswi Indrasti)

NIP : 19621009 198903 2 001

(7)

iii

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis adalah putra kedua dari pasangan Bapak Moh. Sofwan dan Ibu Nurjanah yang dilahirkan pada tanggal 24 September 1987 di kota Pekalongan, Jawa Tengah. Di kota inilah penulis dibesarkan hingga berusia hampir 18 tahun.

Penulis mengawali belajar secara formal di TK Aisiyah Bligo II, Pekalongan di bawah bimbingan Ibu penulis, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SDN Kradenan I, Pekalongan pada tahun 1993 hingga 1999. Setelah selesai dari sekolah dasar dengan hasil cukup memuaskan, penulis melanjutkan belajar di SLTPN I Pekalongan dari tahun 1999 sampai tahun 2002. Selesai belajar di sini, Penulis masuk ke SMAN I Pekalongan pada tahun yang sama dan lulus pada tahun 2005. Di sekolah inilah penulis mendapat kehormatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.

Penulis masuk ke IPB melalui jalur USMI pada tahun 2005. Setelah satu tahun belajar di Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis masuk ke Departemen Teknologi Industri Pertanian, yang dengan ijin Allah ta’ala, penulis mendapatkan banyak ilmu mengenai seluk beluk industri pengolahan hasil pertanian. Selama masa perkuliahan, penulis lebih aktif belajar dari pada berorganisasi, sehingga sedikit sekali namanya tercatat sebagai anggota organisasi, yang salah satu adalah Forum Bina Islami (2006-2007). Karena lebih aktif belajar, penulis sempat mendapat kepercayaan untuk menjadi Asisten Praktikum Penerapan Komputer (2007), dan Perhitungan Dasar Rekayasa Proses (2009).

Pada tahun 2007, penulis melaksanakan praktek lapangan dengan tema “Teknologi Proses Produksi dan Pengawasan Mutu” di PGT Paninggaran, Perhutani, Pekalongan. Pada tahun 2010, penulis membuat tugas akhir dengan judul “Delignifikasi Limbah Tanaman Jagung Menggunakan Kalsium Hidroksida”.

(8)

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Ta’ala, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan memohon ampun kepada-Nya. Kita berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa kita, dan keburukan amal kita. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Saya bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwa Muhammad SAW. adalah hamba dan utusan Allah. Semoga shalawat dan salam atas Beliau, keluarga dan sahabat-sahabat Beliau, serta orang-orang yang tetap lurus di jalan Beliau hingga hari akhir.

Penyelesaian studi di IPB dan perolehan gelar sarjana memerlukan sebuah persyaratan, yaitu penulisan skripsi. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, penulis melakukan penelitian dan mengambil topik “Delignifikasi Limbah Tanaman Jagung Menggunakan Kalsium Hidroksida.

Ada beberapa pihak yang ikut terlibat dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penulis tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibunda Nurjanah dan Ayahanda Moh. Sofwan, atas kasih sayang Beliau berdua kepada penulis, bantuan, dan dukungan dalam setiap kegiatan yang penulis lakukan, semoga Allah menyayangi Beliau berdua sebagai mana Beliau berdua menyayangi kami (putra-putri mereka) sewaktu kami kecil, hingga saat ini;

2. Bapak Drs. Purwoko, M.Si atas bimbinngan Beliau dalam penyelesaian pendidikan sarjana yang ditempuh oleh penulis, dan atas kesabaran Beliau dalam membimbing;

3. Bapak Wagiman, STP, M. Si atas ijin Beliau kepada penulis untuk membantu proyek yang Beliau tangani, dan mengijinkan topik ini dipakai sebagai tugas akhir serta memberikan arahan dan bantuan ketika penulis melakukan penelitian ini;

(9)

v

4. Ibu Dr. Indah Yuliasih, STP, M.Si dan Ibu Dr.Ir. Liesbetini Hartoto, MS, atas kesediaan Beliau berdua untuk memberikan koreksi dalam penulisan karya ini dan beberapa arahan serta nasihat untuk perbaikan diri penulis; 5. Laboran TIN-IPB yang bersedia membantu selama penulis melaksanakan

penelitian;

6. Teman-teman satu Lab. Bioindustri, atas kesediaan mereka dalam berbagi ilmu yang bermanfaat selama penelitian dan obrolan-obrolan pada waktu-waktu yang membosankan;

7. Kepada teman-teman di Pondok Deboy, Babakan Lio, atas bantuan dan dukungan mereka dalam keseharian penulis dan ketika penulis melaksanakan penelitian;

8. Kepada teman-teman TIN 42, atas bantuan dan keprihatinan mereka kepada penulis yang tidak kunjung menyelesaikan tugas akhirnya;

Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan mereka semua dengan kebaikan pula. Penulis berharap tulisan ini dapat menjadi salah satu pintu dari pintu-pintu kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, khususnya di bidang pemanfaatan biomassa untuk industri.

(10)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. LIGNOSELULOSA ... 4

B. STRUKTUR LIGNIN DAN EKSTRAKSINYA ... 5

C. PERLAKUAN AWAL DAN DELIGNIFIKASI ... 7

D. DELIGNIFIKASI ALKALI ... 9

III. METODE ... 11

A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ... 11

B. BAHAN DAN ALAT ... 11

C. METODE PENELITIAN ... 11

1. Karakterisasi LTJ... 11

2. Penelitian Utama ... 12

3. Pengolahan Data ... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

A. KARAKTERISTIK LIMBAH TANAMAN JAGUNG HASIL PENCUCIAN ... 18

B. PERSAMAAN SUSUT LIGNIN ... 19

C. PENGARUH FAKTOR TERHADAP SUSUT LIGNIN ... 20

1. Penambahan Ca(OH)2 ... 20

2. Penambahan Air ... 22

3. Lama Pemanasan ... 24

4. Temperatur Pemanasan ... 26

(11)

vii

E. SELEKTIVITAS DELIGNIFIKASI ... 29

F. KONDISI TERBAIK PROSES DELIGNIFIKASI ... 32

G. PERKIRAAN NERACA MASSA KONDISI TERBAIK ... 33

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

A. KESIMPULAN ... 34

B. SARAN ... 34

(12)

viii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komposisi kimia limbah tanaman jagung ... 5 Tabel 2. Karakteristik LTJ awal dan LTJ hasil pencucian ... 18 Tabel 3. Peluang nilai p > F interaksi penambahan Ca(OH) dengan

penambahan air, temperatur pemanasan, dan lama pemanasan .... 22 Tabel 4. Peluang nilai p > F interaksi penambahan air dengan

penambahan Ca(OH)2 temperatur pemanasan, dan lama pemanasan ... 24 Tabel 5. Peluang nilai p > F interaksi waktu delignifikasi dengan

penambahan Ca(OH)2, penambahan air, dan temperatur pemanasan ... 26 Tabel 6. Peluang nilai p > F interaksi suhu delignifikasi dengan

penambahan Ca(OH)2, penambahan air, dan lama pemanasan .... 28 Tabel 7. Parameter regresi grafik selektivitas delignifikasi ... 31 Tabel 8. Perkiraan kondisi terbaik proses delignifikasi ... 32

(13)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Hemiselulosa (arabinoxylan) pada tanaman sereal ... 4

Gambar 2. Monolignol ... 6

Gambar 3. Kompleks lignin/fenolik-karbohidrat ... 6

Gambar 4. Posisi pemutusan ikatan lignoselulosa pada perlakuan awal asam dan basa ... 7

Gambar 5. Skema perlakuan awal ... 9

Gambar 6. Diagram alir proses delignifikasi ... 13

Gambar 7. Neraca massa: (a) kontrol, (b) delignifikasi ... 15

Gambar 8. Nilai aktual dan nilai perkiraan susut lignin ... 19

Gambar 9. Pengaruh penambahan Ca(OH)2 (g/g LTJ) terhadap susut lignin ... 21

Gambar 10. Pengaruh penambahan air (ml/g LTJ) terhadap susut lignin . 23 Gambar 11. Pengaruh lama pemanasan (jam) terhadap susut lignin ... 25

Gambar 12. Pengaruh temperatur pemanasan (oC) terhadap susut lignin . 27 Gambar 13. Pengaruh temperatur pemanasan terhadap tingkat delignifikasi ... 29

Gambar 14. Perbandingan kadar lignin (LT) setelah delignifikasi dengan bobot kering LTJ setelah delignifikasi (MDT) ... 30

(14)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Rancangan Percobaan CCD Empat Faktor... 38

Lampiran 2. Data Hasil Delignfikasi ... 40

Lampiran 3. Analisis Ragam ... 42

Lampiran 4. Hasil Pencarian Kondisi Terbaik ... 43

Lampiran 5. Prosedur Pengukuran Kadar Air ... 44

Lampiran 6. Prosedur Pengukuran Kadar Ekstraktif ... 45

(15)

1

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejak tahun 90-an, lignoselulosa sebagai sumber energi telah mendapat banyak perhatian dari para peneliti (Buranov dan Mazza, 2008). Bahan ini diteliti agar dapat digunakan untuk mengatasi kelangkaan energi dan memenuhi kebutuhan manusia terhadap produk-produk turunan lignoselulosa. Beragam sumber energi dapat dibuat dengan bahan baku lignoselulosa, seperti bioetanol, metana, aseton, butanol, dan hidrogen (Classen et al., 1999). Lignin yang ada pada lignoselulosa dapat dibuat produk-produk farmasi, pengawet makanan (Jin et al., 2009), dan dibutuhkan dalam industri pangan dalam bentuk vanilin dan asam ferulat(Buranov dan Mazza, 2008).

Peran yang diharapkan dari bahan ini sangat penting. Salah satu contohnya adalah pemanfaatan lignoselulosa sebagai bahan baku bioetanol. Pada tahun 2006 pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan pemanfaatan bahan bakar alternatif, diantaranya adalah gasohol E10i (Alwin, 2007). Apabila kebijakan tersebut dilaksanakan, maka gasohol yang diperlukan mencapai 17 juta kilo liter/tahun untuk sektor transportasi dan 35 ribu kilo liter/tahun untuk sektor industriii, terdapat potensi sekitar 1.7 juta kilo liter/tahun bioetanol yang diperlukan untuk sektor transportasi dan 3.5 ribu kl/tahun bioetanol untuk sektor industri. Saat ini, pasar yang sebanyak ini hanya mampu dipenuhi sebanyak 38 ribu ton/tahun (sekitar 48 ribu kilo liter/tahuniii) oleh beberapa pemasok, yang sebenarnya mereka memiliki potensi untuk memenuhi 212 ribu ton/tahun (sekitar 268.3 ribu kilo liter/tahun) (Alwin, 2007). Masih terdapat selisih yang sangat besar antara kebutuhan dengan penawaran, sehingga menjadi potensi untuk pengembangan industri bioetanol baru bagi masyarakat.

Ditinjau dari ketersediaan bahan baku, lignoselulosa memiliki keunggulan daripada bahan lain. Bahan ini tersedia dalam jumlah yang sangat banyak mengingat bahan tersebut adalah bagian dari dinding sel tanaman, mudah

i

Campuran premium dan bioetanol (9 : 1 v/v) ii

Setara dengan kebutuhan premium Indonesia iii

(16)

2 baharui, serta memiliki harga yang murah (Szczodrak dan Fiedurek, 1996). Di samping itu, pemanfaatan lignoselulosa tidak berkompetisi dengan pangan (Demirbas, 2005). Lignoselulosa dapat diperoleh dari bermacam-macam sumber, seperti limbah pertanian, limbah industri berbasis kayu, maupun dari tanaman bu-didaya yang sengaja diusahakan.

Di Indonesia, salah satu sumber penting lignoselulosa yang berpotensi untuk dimanfaatkan adalah LTJ (limbah tanaman jagung). Ketersediaannya berkorelasi dengan budidaya tanaman jagung. Sebagai gambaran, pada tahun 2008 produksi jagung Indonesia mencapai 16.3 juta ton dengan luas lahan produksi 4 juta ha (Deptan, 2009). Potensi LTJ yang dapat dihasilkan dari lahan seluas ini adalah sekitar 6.3x1013 ton/paneniv (sekitar 18.9x1013 ton/tahunv). Sepu-luh persen saja dari jumlah ini secara teoritis dapat menghasilkan 41.44x1011 liter bioetanol/tahunvi.

Hingga saat ini pemanfaatan lignoselulosa masih memiliki kendala karena akses terhadap komponennya cukup sulit. Hal ini diakibatkan oleh struktur ligno-selulosa yang kompleks. Sebelum dimanfaatkan, struktur lignoligno-selulosa harus di-rusak dengan perlakuan awal sehingga komponen lignin, hemiselulosa, dan selu-losa dapat dipisahkan. Kerusakan pada lignoseluselu-losa tersebut akan meningkatkan akses enzim penghidrolisis. Ada tiga jenis perlakuan awal yang dapat dilakukan, yaitu perlakuan awal secara fisik, kimia, dan biologi. Dari ketiga jenis perlakuan awal ini, perlakuan awal secara kimia lebih mendapat perhatian (Knauf dan Moniruzzaman, 2004).

Perlakuan awal secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan basa Ca(OH)2 (kalsium hidroksida). Perlakuan awal menggunakan Ca(OH)2 akan me-mutus ikatan antara lignin dengan karbohidrat pada lignoselulosa sehingga lignin dapat dipisahkanvii dan meningkatkan digestibilitas lignoselulosa pada proses enzimatis. Selain itu, perlakuan awal menggunakan Ca(OH)2 memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan menggunakan bahan kimia lain.

iv

Bobot LTJ kering (batang, daun, tongkol, dan klobot) adalah 73.83 g/tanaman (data lapangan). v

Masa jagung panen 100 hari. vi

430 mg glukosa/ g biomassa (Kaar dan Holtzapple, 2000); 0.51 g bioetanol/g glukosa (Demirbas, 2005)

vii

(17)

3 Dalam penelitian ini dipelajari proses pemisahan lignin (delignifikasi) pada lignoselulosa LTJ menggunakan Ca(OH)2 dengan temperatur yang lebih rendah dari delignifikasi yang sudah ada (120 oC), namun dengan waktu yang tidak terlalu lama. Pada akhirnya penelitian ini diharapkan dapat membuka jalan untuk pemanfaatan lignoselulosa baik dari selulosa, hemiselulosa, maupun lignin.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan Ca(OH)2, penambahan air, temperatur pemanasan, dan lama pemanasan terhadap susut lignin, serta mencari kondisi terbaik pada proses delignifikasi limbah tanaman jagung dengan Ca(OH)2.

(18)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. LIGNOSELULOSA

Lignoselulosa merupakan bahan penyusun dinding sel tanaman yang kom-ponen utamanya terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Demirbas, 2005). Selulosa adalah polimer rantai panjang D-glukosa dengan ikatan β 1-4 glikosidik, sedangkan hemiselulosa lebih bersifat heterogen yang terdiri dari xilosa, galak-tosa, manosa, arabinosa atau glukosa, tergantung dari jenis tanaman sumbernya (Gambar 1) (deVries dan Visser, 2001). Berbeda dengan keduanya, lignin merupakan polimer kompleks (monomernya disebut dengan monolignol) dengan struktur yang tidak teratur (tidak berpola) (Buranov dan Mazza, 2008). Kadar komponen-komponen tersebut di dalam tanaman berkisar antara 23-53 % selulosa; 20-35 % hemiselulosa, 10-25 % lignin (Knauf dan Moniruzzaman, 2004). Selain tiga komponen utama, terdapat pula komponen yang dapat diekstrak, disebut dengan ekstraktif yang kadarnya 1-7 % (Demirbas, 2005). Perbedaan kandungan komponen pada lignoselulosa dipengaruhi oleh tempat tumbuh dan umur tanaman sumbernya (Buranov dan Mazza, 2008). Pada LTJ, komposisi ketiga komponen utama lignoselulosa dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 1. Hemiselulosa (arabinoxylan) pada tanaman sereal (Sumber : deVries dan Visser, 2001).

Lignoselulosa dapat diperoleh dari beberapa residu atau limbah, diantaranya adalah limbah pertanian seperti limbah tanaman jagung, jerami gandum dan padi, serta limbah hasil hutan. Lignoselulosa juga dapat diperoleh dari limbah perindustrian, seperti pada industri pulp dan kertas (Demirbas, 2005; Knauf dan Moniruzzaman, 2004). Selain itu, lignoselulosa juga dapat berupa

(19)

5 tanaman yang sengaja dibudidaya untuk tujuan energi, seperti switchgrass. Secara teoritis, 1 ton kering lignoselulosa dari bagas (hasil samping industri gula) dapat menghasilkan 112 galon (424.48 L) etanol (Knauf dan Moniruzzaman, 2004).

Tabel 1. Komposisi kimia limbah tanaman jagung*

Negara/Negara Bagian Lignin (%) Selulosa (%) Hemiselulosa (%) Amerika Serikat 17.2 36.1 21.4 Itali 21.2 36.8 22.2 Colorado 17.6 37.5 20.8 Iowa 17.6 38.6 20.6 China 15 td 28 td: tidak dilaporkan

*modifikasi dari Buranov dan Mazza (2008)

B. STRUKTUR LIGNIN DAN EKSTRAKSINYA

Sebagai bagian dari lignoselulosa, lignin merupakan komponen ketiga terbanyak di bumi. Lignin dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu lignin kayu keras (hardwood), lignin kayu lunak (softwood), dan lignin rerumputan (herbaceous). Secara literatur, pembahasan tentang struktur lignin dari bahan berkayu telah cukup banyak, tetapi untuk lignin dari bahan non-kayu belum banyak diketahui, meskipun akhir-akhir ini komoditas ini menjadi fokus para peneliti (Buranov dan Mazza, 2008).

Lignin merupakan polimer dengan monomer berupa monolignol. Monolignol dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) p-coumaryl, (2) coniferyl, dan (3) sinapyl alcohol (Gambar 2). Di dalam polimer, ketiga molekul alkohol aromatik ini disebut dengan p-hydroxyphenyl (H), guaiacyl (G) dan syringyl (S). Lignin pada tanaman berkayu utamanya tersusun atas G dan S, sedangkan tanaman rerumputan mengandung ketiga alkohol aromatik tersebut (H, G, dan S) (Buranov dan Mazza, 2008).

(20)

6 Gambar 2. Monolignol (Sumber : Buranov dan Mazza (2008))

Pada tanaman jenis rerumputan, lignin terikat pada karbohidrat (arabinoxilan) melalui asam ferulat. Asam ferulat ini terikat pada lignin dengan ikatan eter dan terikat pada karbohidrat dengan ikatan ester. Struktur ini dikenal dengan kompleks lignin/fenolik-karbohidrat (Gambar 3) (Buranov dan Mazza, 2008). Tanaman jagung memiliki ikatan ester pada asam fenoliknya dengan jumlah mencapai lebih dari 90% ikatan totalnya (Lozovaya et al., 2000).

Gambar 3. Kompleks lignin/fenolik-karbohidrat

(modifikasi dari Buranov dan Mazza, 2008)

Mula-mula diketahui lignin dapat diekstrak dengan menggunakan air panas (140 oC), kemudian dikembangkan ekstraksi lignin dengan berbagai pelarut, larutan basa, dan enzim. Metode yang digunakan untuk mengekstrak lignin disesuaikan dengan strukturnya. Ikatan eter pada kompleks lignin/fenolik-karbohidrat memiliki sifat lemah terhadap perlakuan asam, sehingga ekstraksi dengan asam akan memutus ikatan ini dan menghasilkan residu feruloil-arabinosa yang tetap memiliki ikatan ester, sedangkan ikatan esternya bersifat lemah terhadap perlakuan basa (Gambar 4). Gugus fenolik pada lignoselulosa

(21)

7 rerumputan dapat dihilangkan separuhnya dengan ekstraksi menggunakan natrium hidroksida pada temperatur ruang (Buranov dan Mazza, 2008).

Gambar 4. Posisi pemutusan ikatan lignoselulosa pada perlakuan awal asam dan basa (Sumber : Buranov dan Mazza, 2008)

C. PERLAKUAN AWAL DAN DELIGNIFIKASI

Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam memanfaatkan lignoselulosa untuk bahan baku bioetanol adalah rendahnya tingkat digestibilitas enzim dalam proses depolimerisasi selulosa (hidrolisis). Kesulitan ini disebabkan karena kompleksitas struktur lignoselulosa (Classen et al., 1999; Szczodrak dan Fiedurek, 1996). Untuk mengatasi kesulitan ini, maka perlu dilakukan perlakuan awal terhadap lignoselulosa. Perlakuan awal akan mengubah struktur rumit lignoselulosa sehingga akan meningkatkan digesitibilitas enzim (Kim dan Holtzapple, 2006a; Knauf dan Moniruzzaman, 2004; Mosier et al., 2005; Kaar dan Holtzapple, 2000).

Perubahan yang terjadi pada struktur lignoselulosa yang telah diberi perlakuan awal dapat berupa pemisahan antara selulosa dengan materi yang melindunginya (hemiselulosa dan lignin) dan perubahan struktur selulosa yang pada awalnya berbentuk kristal menjadi amorf, sehingga mudah untuk dihidrolisis (Gambar 5). Komposisi hasil proses perlakuan awal sangat tergantung dari sumber lignoselulosa yang digunakan dan proses perlakuan awal yang dilakukan (Knauf dan Moniruzzaman, 2004).

Secara umum terdapat tiga pengelompokan proses perlakuan awal, yaitu perlakuan awal secara fisik, biologi, dan kimia (Taherzadeh dan Karimi, 2008; Knauf dan Moniruzzaman, 2004), selain itu ada juga jenis perlakuan awal secara

(22)

8 fisiko-kimia yang menggabungkan antara perlakukan fisik dengan kimiawi (Taherzadeh dan Karimi, 2008; Mosier et al., 2005). Di antara perlakuan awal secara fisik adalah penggilingan, iradiasi (dengan sinar gama, gelombang elektron, dan gelombang mikro) (Taherzadeh dan Karimi, 2008), akan tetapi hampir semua perlakuan awal secara fisik tidak cukup efektif untuk menghilangkan lignin dan seringkali memerlukan biaya besar (Knauf dan Moniruzzaman, 2004). Perlakuan awal secara biologi dilakukan dengan menumbuhkan organisme pada media lignoselulosa sehingga terjadi pengurangan lignin dan selulosa. Dalam perlakuan awal secara biologi, jamur pelapuk putih yang dianggap paling efektif. Meskipun demikian, secara umum perlakuan awal jenis ini hanya mengurangi sedikit lignin (Taherzadeh dan Karimi, 2008), serta memerlukan waktu yang lama (Knauf dan Moniruzzaman, 2004). Dari ketiga jenis perlakuan awal tersebut, perlakuan awal menggunakan bahan kimia lebih mendapat perhatian karena lebih efektif dalam mengurangi lignin (Knauf dan Moniruzzaman, 2004).

Beberapa jenis perlakuan awal yang menggunakan bahan kimia telah diulas oleh Taherzadeh dan Karimi (2008) serta Mosier et al. (2005), diantaranya adalah steam explosion, steam explosion dengan penambahan SO2, AFEX (ammonia fiber explosion), CO2 explosion, air panas (liquid hot water), gelombang mikro dengan penambahan kimia (microwave chemical), asam, alkali (basa), peroksida alkali, organosolv, dan oksidasi dalam air (wet oxidation). Chen

et al. (2009) telah membandingkan empat jenis perlakuan awal kimiawi yang sering digunakan, yaitu H2SO4 encer, Ca(OH)2, NH3/HCl, dan NaOH, dengan hasil tingkat delignifikasi tertinggi diperoleh dengan perlakuan awal menggunakan NaOH.

Perlakuan awal mengurangi jumlah lignin yang berperan di dalam lignoselulosa sebagai penjaga struktur, dan pencegah lignoselulosa mengembang yang mengakibatkan kerja enzim penghidrolisis terhambat. Oleh sebab itu, delignifikasi terhadap lignoselulosa akan meningkatkan efektivitas hidrolisis enzim. Pemisahan lignin juga akan mengakibatkan pengembangan pada lignoselulosa. Meskipun demikian, pengembangan yang terjadi tidak mengakibatkan perubahan ukuran pori-pori yang dapat mempermudah masuknya

(23)

9 enzim, walaupun tetap terjadi peningkatan efektivitas hidrolisis. Oleh sebab itu, pengaruh pemisahan lignin terhadap hidrolisis lebih karena peningkatan akses enzim pada permukaan lignoselulosa setelah lignin dihilangkan (Taherzadeh dan Karimi, 2008).

Gambar 5. Skema perlakuan awal(Sumber : Mosier et al. (2005)).

D. DELIGNIFIKASI ALKALI

Hingga saat ini terdapat banyak pilihan perlakuan awal secara kimia yang telah dikembangkan. Salah satu yang menarik bagi para peneliti adalah perlakuan awal dengan alkali (Szczodrak dan Fiedurek, 1996). Kim dan Holtzapple (2005) menyebutkan bahwa perlakuan awal dengan alkali akan mengurangi jumlah lignin sehingga meningkatkan efektivitas enzim untuk menghidrolisis selulosa. Perlakuan ini juga mengurangi gugus asetil yang meningkatkan digestibilitas selulosa. Meskipun perlakuan awal ini efektif dalam memutus ikatan antara lignin dengan karbohidrat, pada perlakuan awal dengan natrium hidroksida dan kalsium hidroksida, hanya sedikit jumlah komponen karbohidrat yang hilang (Kaar dan Holtzapple, 2000; Szczodrak dan Fiedurek, 1996). Hasil dari perlakuan awal dengan alkali tidak ditemukan adanya furfural dan hidroksimetilfurfural (HMF) yang menjadi inhibitor dalam proses fermentasi, ini menjadi kelebihan jika dibandingkan dengan jika menggunakan asam (Taherzadeh dan Karimi, 2008).

Sebagai salah satu jenis perlakuan awal dengan alkali, perlakuan awal dengan kalsium hidroksida memiliki kelebihan tersendiri, yaitu kemudahan dan

(24)

10 keamanan dalam recovery dengan karbon dioksida (Mosier et al., 2005) serta harga yang relatif murah jika dibandingkan dengan basa lain (Kaar dan Holtzapple, 2000). Dengan perlakuan awal menggunakan kalsium hidroksida, konversi glukan, xilan, dan arabinan mencapai 88,0 %; 87,7 %; dan 92,1% pada konsentrasi 0,075 g/g biomassa kering dan penambahan 5 g air/ g biomassa kering. Selain itu, perlakuan awal ini dapat dilakukan pada temperatur ruang dengan pengurangan lignin sebanyak 43.6 – 87.4 % tergantung kondisi reaksi (Kim dan Holtzapple 2005).

Selama proses delignifikasi menggunakan Ca(OH)2, lignin terpisah dari lignoselulosa. Semakin lama proses delignifikasi, semakin banyak ikatan-ikatan di dalam lignoselulosa yang terputus. Kinetika delignifikasi LTJ dengan penambahan Ca(OH)2 telah diteliti oleh Kim dan Holtzapple (2006b) baik dalam kondisi oksidatif (dengan penambahan oksigen) maupun non-oksidatif (tanpa penambahan oksigen). Residu lignin selama proses delignifikasi membentuk fungsi eksponensial terhadap lama pemanasan.

Terdapat tiga pembagian tahap dalam proses delignifikasi alkali, yaitu

initial, bulk, dan residual. Dalam tahap initial, terjadi pemutusan ikatan α-O-4 dan β-O-4 pada gugus fenolik, kemudian diikuti dengan pemutusan ikatan β-O-4 pada gugus non-fenolik pada tahap bulk. Apabila delignifikasi terus dilanjutkan hingga tahap residual, maka akan terjadi pemutusan ikatan antar atom C pada lignin dan degradasi karbohidrat (Kim dan Holtzapple, 2006b).

Penggunaan delignifikasi Ca(OH)2 untuk meningkatkan hidrolisis enzim terhadap LTJ telah diteliti oleh Kaar dan Holtzapple (2000) dengan penambahan Ca(OH)2 0.075 g/g bahan. Pada delignifikasi tersebut kondisi delignifikasi yang direkomendasikan untuk hidrolisis enzim (10 FPU/g bahan kering) adalah pada temperatur 120 oC dengan lama pemanasan selama 4 jam. Kemudian Kim dan Holzapple (2005) melakukan hal sama, namun dengan temperatur optimum yang lebih rendah (55 oC) dan dengan waktu yang lebih lama (4 minggu). Pada kondisi tersebut, lignin dapat dihilangkan hingga 47.7 % pada penambahan Ca(OH)2 sebanyak 0.050 g/g bahan.

(25)

11

III. METODE

A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Lab. Bioindustri dan Lab. Teknik Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta – IPB. Penelitian dimulai pada bulan Oktober 2009 hingga Februari 2010.

B. BAHAN DAN ALAT

Limbah tanaman jagung (LTJ) yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas Bisi 2 yang komponen utamanya berupa batang, tongkol, klobot, dan daun. LTJ ini berasal dari Kab. Kulon Progo, Yogyakarta dan dikecilkan ukurannya hingga 40 mesh. Bahan lain yang digunakan untuk delignifikasi adalah Ca(OH)2 p. a. dan akuades. Sedangkan alat utama yang digunakan adalah: labu erlenmeyer 250 ml - untuk reaktor; penangas air; saringan; gelas piala 300 ml dilengkapi dengan magnetic stirrer - untuk pencucian; neraca analitik; oven; dan

filter glass 1G3.

C. METODE PENELITIAN 1. Karakterisasi LTJ

LTJ yang digunakan dalam penelitian dikarakterisasi untuk dijadikan sebagai dasar perhitungan analisis hasil delignifikasi. Ada tiga karakteristik LTJ yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu kadar air, kadar ekstraktif, dan kadar lignin. Hasil dari pengujian kadar air digunakan untuk menghitung bobot kering LTJ. Bobot kering tersebut akan digunakan dalam perhitungan kadar lignin basis kering. Prosedur analisis kadar air LTJ dapat dilihat pada Lampiran 5. Setelah diketahui kadar air LTJ, bobot kering LTJ dapat diketahui dengan persamaan :

(26)

12 Notasi MD0 menunjukkan bobot kering LTJ (dalam g), MB0 menunjukkan bobot basah LTJ (dalam g), dan W0 menunjukkan kadar air LTJ (dalam g).

Setelah diketahui bobot kering LTJ, sebanyak 3 g LTJ diekstrak dengan pelarut yang berupa campuran benzena dan alkohol dengan komposisi 2 : 1. Ekstraksi dilakukan untuk menghilangkan bahan ekstraktif pada LTJ. Prosedur ekstraksi dapat dilihat pada Lampiran 6. Dengan proses ekstraksi akan diketahui kandungan bahan ekstraktif dalam LTJ (E0, dalam g).

Hasil ekstraksi yang berupa padatan diambil sebanyak 0.5 g (sudah diketahui bobot keringnya) untuk analisis kandungan lignin. Prosedur analisis lignin dapat dilihat pada Lampiran 7. Kandungan lignin pada LTJ (L0, dalam g) digunakan untuk menghitung susut lignin dan tingkat delignifikasi.

Selain LTJ segar, LTJ yang telah dicuci juga dikarakterisasi. Dengan demikian akan diketahui pengaruh pencucian terhadap perubahan karakteristik LTJ.

2. Penelitian Utama 2.1. Delignifikasi

Delignifikasi dilakukan terhadap LTJ (10 g/sampel) yang berukuran 40 mesh. Proses delignifikasi dilakukan di dalam labu erlemeyer 250 ml yang ditutup dengan aluminium foil untuk mencegah keluarnya air. Ke dalam labu tersebut sebelumnya telah ditambahkan Ca(OH)2 dan akuades dengan jumlah tertentu. Untuk mencapai temperatur yang diinginkan digunakan penangas air dengan lama pemanasan yang telah ditentukan.

LTJ yang telah didelignifikasi dipindahkan ke dalam gelas piala 300 ml, kemudian ditambahkan akuades sebanyak 200 ml. Campuran tersebut diaduk dengan magnetic stirrer selama 10 menit. Setelah pengadukan, campuran disaring hingga mendapatkan padatan dan cairan. Padatan yang diperoleh dikeringkan pada temperatur 50 oC selama 48 jam, kemudian ditimbang dan disimpan untuk analisis

(27)

13 berikutnya. Diagram alir delignifikasi tanpa pengeringan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram alir proses delignifikasi

2. 2. Analisis Hasil Delignifikasi

LTJ yang telah delignifikasi dianalisis seperti pada analisis karakter LTJ. Hasil analisis akan menghasilkan kadar air LTJ yang telah didelignifikasi (WT, dalam g), kadar ekstraktif (ET, dalam g), kadar lignin (LT, dalam g), dan bobot kering LTJ yang telah didelignifikasi (MDT, dalam g).

Data-data yang diperoleh dari pengujian-pengujian yang dilakukan digunakan untuk menghitung susut lignin tiap perlakuan, tingkat delignifikasi, dan selektivitas delignifikasi.

2. 2. 1. Susut Lignin

Susut lignin LTJ yang telah didelignifikasi (LR, dalam g) diperoleh dari kadar lignin LTJ (L0, dalam g) dikurangi dengan kadar lignin LTJ yang telah didelignifikasi (LT, dalam g). Perhitungan tersebut dapat ditulis dengan persamaan berikut: LTJ (40 mesh) Delignifikasi [temperatur (x3), waktu (x4)] Ca(OH)2 (x1) Air (x2) Pencucian Air (200 ml) Padatan

(28)

14

= − ...(2)

2. 2. 2. Tingkat Delignifikasi

Tingkat delignifikasi (D) seperti yang telah telah dijelaskan oleh Kim dan Holtzapple (2006a) adalah jumlah lignin yang dihilangkan dari LTJ dibandingkan dengan kandungan lignin pada LTJ awal. Tingkat delignifikasi dapat dihitung dengan persamaan :

= 1− ∙ ...(3)

Atau

= ...(4)

Jumlah rendemen padatan (YT) dapat dihitung dari bobot kering LTJ (MD0, dalam g) dan bobot kering LTJ yang telah didelignifikasi (MDT, dalam g) dengan menggunakan persamaan:

= ...(5)

2. 2. 3. Selektivitas Delignifikasi

Selektivitas delignifikasi atau kemudahan proses delignifikasi menggambarkan seberapa mudah lignin dapat dihilangkan. Selektivitas delignifikasi dapat diketahui dengan melihat kemiringan regresi pada plot antara kandungan lignin pada LTJ yang telah delignifikasi (LT, dalam g) dengan bobot

(29)

15 kering LTJ yang telah delignifikasi (MDT, dalam g), dan dapat disimbolkan dengan ∆LT/∆MDT (Kim dan Holtzapple, 2006b).

Keterkaitan analisis-analisis yang dilakukan dapat digambarkan dengan neraca massa seperti pada Gambar 7, sehingga lebih mudah untuk ditelusuri dan dipahami.

(a)

(b)

Gambar 7. Neraca massa: (a) kontrol, (b) delignifikasi

Gambar 7 adalah neraca massa yang digunakan dalam penelitian ini. Neraca massa tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu neraca massa kontrol (tanpa pemberian perlakuan faktor dan hanya dicuci) (Gambar 7

Delignifikasi (x3, x4) Pencucian Pengeringan (50 oC) Bahan Baku Air (W0) Padatan (MD0) Lignin (L0) Ekstraktif (E0) Ca(OH)2 (x1) Air (x2) Air (20 ml) Air Bilasan Air (WR) Padatan Larut (MD0 – MDT) Lignin (LR) Ekstraktif (ER) Air (WS) Hasil Delignifikasi Air (WT) Padatan (MDT) Lignin (LT) Ekstraktif (ET) Pencucian Pengeringan (50 oC) Bahan Baku Air (W0) Padatan (MD0) Lignin (L0) Ekstraktif (E0) Air (20 ml) Air Bilasan Air (WR) Padatan Larut (MD0 – MDC) Lignin (LRC) Ekstraktif (ERC) Air (WS) Hasil Delignifikasi Air (WC) Padatan (MDC) Lignin (LC) Ekstraktif (EC)

(30)

16 a) serta neraca massa proses delignifkasi yang disertai dengan proses pengeringan (Gambar 7 b). Input kedua neraca massa tersebut, yang berupa bahan baku, nilai-nilainya diperoleh dari hasil karakterisasi LTJ, sedangkan bagian output nilai-nilainya diperoleh dari hasil analisis karakterisasi LTJ yang telah dicuci (neraca massa kontrol, Gambar 7 a) dan LTJ yang telah didelignifikasi (neraca massa delignifikasi, Gambar 7 b). Nilai x1, x2, x3, dan x4 adalah perlakuan yang digunakan.

3. Pengolahan Data

3. 1. Rancangan Percobaan

Penelitian ini melibatkan empat faktor, yaitu penambahan kalsium hidroksida (m : 0.075-0.078 g/ g LTJ), penambahan air (V : 6.25-8.75 ml/g LTJ), temperatur pemanasan (T : 62.5-87.5 oC), dan lama pemanasan (t : 2-4 jam). Jumlah penambahan kalsium hidroksida, penambahan air, dan lama pemanasan mengacu pada hasil penelitian Kaar dan Holtzapple (2000), sedangkan temperatur pemanasan ditetapkan pada nilai antara 55 oC (Kim dan Holtzapple, 2006) yang membutuhkan waktu lama dan 120 oC (Kaar dan Holtzapple, 2000) yang memerlukan spesifikasi alat bertekanan.

Percobaan yang dilakukan menggunakan central composite design (CCD) dengan empat faktor. Rancangan ini menghasilkan 29 kombinasi yang harus dilakukan (Lampiran 2) dengan 16 titik faktorial, 8 titik aksial, dan 5 titik pusat. Dengan rancangan ini dihasilkan persamaan respon yang berbentuk:

Lr* = β0 + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 + β11x12 + β22x22 + β33x32 + β44x42 +

β12x12 + β13x13 + β14x14 + β23x23 + β24x24 + β34x34 ...(6)

Notasi Lr* menunjukkan susut lignin proses delignifikasi (g/g LTJ) dengan nilai faktor tertentu, x1 adalah penambahan Ca(OH)2 (g/g LTJ), x2 adalah penambahan air (ml/g LTJ), x3 adalah temperatur

(31)

17 pemanasan (oC), x4 adalah lama pemanasan (jam), sedangkan β adalah koefisien. Metode untuk pembentukan persamaan, teori-teori yang berkaitan dengan CCD, dan beberapa analisis statistika yang dapat dilakukan pada rancangan tersebut telah dijelaskan oleh Myers (1971).

3. 2. Analisis Statistik

Analisis statistik dan penentuan kondisi terbaik pada proses delignifikasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Design Expert 7 trial version. Hasil pengolahan data berupa grafik respon permukaan, analisis ragam, persamaan, dan kondisi terbaik pada proses yang diamati.

(32)

18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISTIK LIMBAH TANAMAN JAGUNG HASIL PENCUCIAN

Analisis kadar ekstraktif dan lignin pada LTJ awal dan LTJ hasil pencucian menghasilkan data karakteristik pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik LTJ awal dan LTJ hasil pencucian

Bahan Ekstraktif* (% bk) Lignin* (% bk) Kadar Air* (% bb) LTJ awal 5.83 (0.053) 23.65 (0.215) 21.9 (0.091) LTJ Hasil Pencucian 2.01 (0.016) 25.84 (0.206) td

* angka di dalam ( ) menunjukkan g/g LTJ basah; td = tidak diukur

Analisis terhadap LTJ awal menunjukkan bahwa kadar lignin LTJ yang digunakan lebih tinggi dari pada kadar lignin limbah tanaman jagung yang ditunjukkan oleh Buranov dan Mazza (2008) pada review-nya (Tabel 1). Akan tetapi, masih berada pada rentang 10 – 25 % yang disebutkan oleh Knauf dan Moniruzzaman (2004). Demikian pula dengan kadar ekstraktif, masih masuk ke dalam rentang yang disebutkan oleh Demirbas (2005), yaitu 1 – 7 %. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat disebabkan karena Perbedaan-perbedaan varietas tanaman, tempat tumbuh, dan umur tanaman yang digunakan (Buranov dan Mazza, 2008). Tabel 2 menunjukkan bahwa pencucian yang dilakukan berpengaruh pada karakteristik LTJ. Pencucian dapat menurunkan kadar ekstraktif sebesar 69.81 %, sedangkan lignin turun sebesar 4.21 %.

Banyaknya penurunan pada kadar ekstraktif kemungkinan disebabkan oleh kerusakan dinding sel akibat penggilingan, sehingga komponen-komponen ekstraktif yang ada di dalam sel mudah terbilas pada saat pencucian. Berbeda dengan komponen ekstraktif, lignin ada di dalam dinding sel dalam keadaan terikat secara kovalen dengan karbohidrat (Buranov dan Mazza, 2008), sehingga penggilingan tidak cukup berarti untuk memisahkan komponen lignin. Dengan

(33)

19 demikian hanya sedikit lignin yang terlepas dari lignoselulosa ketika proses pencucian.

B. PERSAMAAN SUSUT LIGNIN

Hasil pengolahan data susut lignin pada berbagai perlakuan menghasilkan persamaan susut lignin untuk proses delignifikasi yang diamati sebagai berikut.

LR * = 5.030504 – 121.228 x1 – 0.06748 x2 + 0.001182 x3 – 0.07459 x4 + 0.990322 x1x2 + 0.081113 x1x3 + 0.568792 x1x4 – 5∙10 -5 x2x3 – 0.00012 x2x4 + 0.000121 x3x4 + 689.8759 x12 – 0.00023 x22 – 4.9∙10-5 x32 + 0.003178 x42 ...(7)

Notasi LR* adalah susut lignin (g/g LTJ), x1 adalah penambahan Ca(OH)2 (g/g LTJ), x2 adalah penambahan air (ml/g LTJ), x3 adalah temperatur pemanasan (oC), dan x4 adalah lama pemanasan (jam).

Gambar 8. Nilai aktual dan nilai perkiraan susut lignin (*Urutan berdasarkan rancangan percobaan, lihat Lampiran 2)

Meskipun persamaan yang diperoleh bertujuan untuk menggambarkan proses yang diamati, tetapi tetap ada perbedaan antara susut lignin aktual (hasil percobaan) dengan susut lignin perkiraan (hasil perhitungan), seperti yang tampak pada Gambar 8 yang berupa titik-titik yang menyimpang dari hasil perkiraan.

0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 S u su t Li gn in (g/ g LTJ) Nomor Baku* Nilai Aktual Nilai Prediksi

(34)

20 Meskipun demikian, nilai p > F untuk lack of fitviii 0.7618 (analisis ragam terlampir pada Lampiran 4) yang berarti tidak nyata terhadap LR*. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan yang diperoleh cukup untuk menggambarkan proses delignifikasi yang diamati. Sedangkan nilai p > F untuk model pada persamaan tersebut bernilai 0.3529 yang berarti tidak nyata terhadap LR*. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh faktor secara keseluruhan tidak nyata terhadap LR*. Akan tetapi jika dilihat secara individu, dapat diketahui ada faktor yang berpengaruh nyata terhadap LR*, seperti yang akan dibahas pada bagian berikutnya. Dengan persamaan ini, RMSE (root mean square error) atau simpangan baku residual sebesar 0.013.

C. PENGARUH FAKTOR TERHADAP SUSUT LIGNIN 1. Penambahan Ca(OH)2

Penambahan Ca(OH)2 (x1) dalam proses delignifikasi menghasilkan grafik respon susut lignin pada Gambar 9 a, b, dan c. Semua grafik tersebut menunjukkan bahwa penambahan jumlah Ca(OH)2 tidak meningkatkan susut lignin secara nyata, tampak dari respon yang cenderung datar. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis ragam (Lampiran 4) yang menunjukkan nilai peluang nilai p > Fix untuk penambahan Ca(OH)2 bernilai 0.7958. Diduga hal ini terjadi karena pada penambahan Ca(OH)2 paling rendah telah mencukupi kebutuhan OH- pada proses pemutusan ikatan antara lignin dengan karbohidrat, sehingga penambahan Ca(OH)2 melebihi jumlah yang diperlukan tidak akan menambah jumlah lignin yang terlepas.

Kim dan Holtzapple (2005) telah melaporkan bahwa konsumsi Ca(OH)2 tertinggi untuk proses perlakuan awal non-oksidatif (tanpa penambahan oksigen) adalah 0.058 g/g LTJ (55 oC selama 16 minggu) dan akan meningkat seiring meningkatnya temperatur pemanasan, sedangkan Kaar dan Holtzapple (2000) yang melakukan delignifikasi dengan kondisi

viii

Variasi data pada model. Variasi yang nyata tidak diharapkan. ix

Peluang untuk mendapatkan nilai F (F-hitung) dimana hipotesis nol diterima (tidak ada pengaruh nyata). Peluang yang kecil mengakibatkan penolakan hipotesis nol (faktor berpengaruh nyata). Pe-luang nilai p > F lebih kecil dari 0.05 menunjukkan bahwa faktor memiliki pengaruh nyata.

(35)

21 yang lebih ekstrim (120 oC selama 5 jam) merekomendasikan penambahan Ca(OH)2 sebanyak 0.075 g/g LTJ sebagai jumlah yang optimum. Oleh sebab itu, dapat diperkirakan bahwa penambahan Ca(OH)2 optimum pada penelitian ini berada diantara 0.058 – 0.075 g/g LTJ, dibawah penambahan terendah.

a) b)

c)

Gambar 9. Pengaruh penambahan Ca(OH)2 (g/g LTJ) terhadap susut lignin; a) kombinasi dengan penambahan air (ml/g LTJ); b) kombinasi dengan temperatur pemanasan (oC); c) kombinasi dengan lama pemanasan (jam)x

Pengaruh interaksi penambahan Ca(OH)2 dengan penambahan air, temperatur pemanasan, atau lama pemanasan pada proses yang diamati tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai LR*. Ini dapat dilihat dari

x

Gambar 9a sama dengan Gambar 10a, Gambar 9b sama dengan Gambar 12a, Gambar 9c sama den-gan Gambar 11a.

(36)

22 bentuk permukaan respon (Gambar 9 a, b, dan c) yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi dengan faktor lain dan dikuatkan oleh peluang nilai p > F dari hasil analisis ragam yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak berpengaruh nyata (Tabel 3).

Tabel 3. Peluang nilai p > F interaksi penambahan Ca(OH) dengan penambahan air, temperatur pemanasan, dan lama pemanasan

Sumber* Peluang nilai p > F Keterangan

x1-x2 0.5708 Tidak nyata

x1-x3 0.6418 Tidak nyata

x1-x4 0.7936 Tidak nyata

*Notasi “x1-x2” berarti interaksi penambahan Ca(OH)2 dengan penambahan air, dan seterusnya.

2. Penambahan Air

Penambahan air (x2) dalam proses delignifikasi menghasilkan grafik respon susut lignin pada Gambar 10 a, b, dan c. Grafik tersebut menunjukkan bahwa penambahan jumlah air tidak meningkatkan susut lignin secara nyata. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis ragam (Lampiran 4) yang menunjukkan nilai peluang nilai p > F penambahan air adalah 0.7492. Ini berarti bahwa penambahan air paling rendah (6.25 ml/g LTJ) telah memenuhi kebutuhan proses delignifikasi.

Hasil ini menguatkan apa yang diteliti oleh Kaar dan Holtzapple (2000), yang melaporkan bahwa penambahan air tidak akan berpengaruh selama semua komponen tercampur secara merata pada saat terjadi reaksi, dan penambahan air kurang dari 5 g/g LTJ (~5 ml/g LTJ) masih memberikan proses yang efektif.

(37)

23

a) b)

c)

Gambar 10. Pengaruh penambahan air (ml/g LTJ) terhadap susut lignin; a) kombinasi dengan penambahan Ca(OH)2 (mg/g LTJ); b) kombinasi dengan temperatur pemanasan (oC); c) kombinasi dengan lama pemanasan (jam)xi

Pengaruh interaksi penambahan air dengan penambahan Ca(OH)2, temperatur pemanasan, dan lama pemanasan pada proses yang diamati tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Ini dapat dilihat dari bentuk permukaan respon (gambar 10 a, b, dan c) yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi dengan faktor lain dan dikuatkan oleh peluang nilai p > F dari hasil analisis ragam yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak berpengaruh nyata (Tabel 4).

xi

(38)

24 Tabel 4. Peluang nilai p > F interaksi penambahan air dengan

penambahan Ca(OH)2 temperatur pemanasan, dan lama pemanasan

Sumber Peluang nilai p > F Keterangan

x1-x2 0.5708 Tidak nyata

x2-x3 0.8118 Tidak nyata

x2-x4 0.9629 Tidak nyata

*Notasi “x1-x2” berarti interaksi penambahan Ca(OH)2 dengan penambahan air, dan seterusnya.

3. Lama pemanasan

Lama pemanasan (x3) yang diamati menghasilkan grafik respon susut lignin pada gambar 11 a, b, dan c. Meskipun tampak dari grafik tersebut bahwa susut lignin mengalami sedikit penurunan seiring dengan bertambahnya lama pemanasan, tetapi dari analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa penurunan ini tidak nyata, dengan peluang nilai p > F 0.1599. Oleh sebab itu, pengaruh faktor ini tidak dianggap nyata.

Kim dan Holtzapple (2006a), Kim dan Holtzapple (2006b), Kim dan Holtzapple (2005) melaporkan bahwa lama pemanasan terhadap pengurangan lignin (susut) memiliki pola logaritmik, dimana pada awal delignifikasi terjadi penurunan lignin yang nyata hingga mencapai titik waktu dimana penurunan lignin tidak lagi tampak nyata meskipun waktu ditambahkan.

Lama pemanasan erat kaitannya dengan tahap delignifikasi yang terjadi. Semakin waktu reaksi, maka reaksi yang terjadi semakin ke arah bulk

dan residual, dimana banyak komponen selain lignin yang terombak, baik dari selulosa maupun hemiselulosa, sehingga penurunan lignin tidak lagi tampak nyata. Oleh sebab itu, proses delignifikasi yang diamati dalam penelitian ini diduga sudah melewati tahap initial.

(39)

25

a) b)

c)

Gambar 11. Pengaruh lama pemanasan (jam) terhadap susut lignin; a) kombinasi dengan penambahan Ca(OH)2 (mg/g LTJ); b) kombinasi dengan penambahan air (ml/g LTJ); c) kombinasi dengan temperatur pemanasan (oC)xii

Pengaruh interaksi lama pemanasan dengan penambahan Ca(OH)2, penambahan air, dan temperatur pemanasan pada proses yang diamati tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Hal tersebut tampak dari permukaan respon (gambar 11 a, b, dan c) yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi perlakukan, dan dikuatkan dengan hasil analisis ragam dengan nilai peluang nilai p > F yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak nyata (Tabel 5).

xii

(40)

26 Tabel 5. Peluang nilai p > F interaksi lama pemanasan dengan

penambahan Ca(OH)2, penambahan air, dan temperatur pemanasan

Sumber Peluang nilai p > F Keterangan

x1-x4 0.7936 Tidak nyata

x2-x4 0.9629 Tidak nyata

x3-x4 0.6448 Tidak nyata

*Notasi “x1-x4” berarti interaksi penambahan Ca(OH)2 dengan lama pemanasan, dan seterusnya.

4. Temperatur pemanasan

Temperatur pemanasan (x4) merupakan faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap susut lignin pada proses yang diamati. Gambar 12 a, b, dan c menunjukkan respon susut lignin akibat perbedaan temperatur pemanasan. Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa pengaruh temperatur meningkat hingga pada sekitar temperatur 75 oC, kemudian melebihi temperatur tersebut, susut lignin tidak lagi mengalami kenaikan. Adanya pola ini juga dapat diketahui dari hasil analisis ragam yang menunjukkan pengaruh linier faktor ini tidak nyata, dengan peluang nilai p > F 0.8565, sedangkan pengaruh kuadratik berpengaruh nyata dengan peluang nilai p > F 0.0082. Pola demikian ini menunjukkan adanya respon susut lignin tertinggi pada rentang temperatur yang diamati.

Meningkatnya susut lignin akibat bertambahnya temperatur diduga akibat semakin cepatnya reaksi pemutusan lignin, sebagaimana kaidah umum reaksi kimia yang menyebutkan bahwa semakin tinggi temperatur maka reaksi kimia akan terjadi lebih cepat. Akan tetapi, pada reaksi ini temperatur yang terlalu tinggi (> 75 oC) akan mengakibatkan selektivitas semakin rendah sehingga reaksi yang terjadi lebih banyak bukan pemutusan lignin tetapi pemutusan karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa).

(41)

27

a) b)

c)

Gambar 12. Pengaruh temperatur pemanasan (oC) terhadap susut lignin; a) kombinasi dengan penambahan Ca(OH)2 (mg/g LTJ); b) kombinasi dengan penambahan air (ml/g LTJ); c) kombinasi dengan lama pemanasan (jam)

Pengaruh interaksi temperatur pemanasan dengan penambahan Ca(OH)2, penambahan air, atau lama pemanasan pada proses yang diamati tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Ini dapat dilihat dari bentuk permukaan respon (Gambar 12 a, b, dan c) yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi dengan faktor lain dan dikuatkan oleh peluang nilai p > F dari hasil analisis ragam yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak berpengaruh nyata (Tabel 6).

(42)

28 Tabel 6. Peluang nilai p > F interaksi temperatur pemanasan dengan

penambahan Ca(OH)2, penambahan air, dan lama pemanasan

Sumber Peluang nilai p > F Keterangan

x1-x3 0.6418 Tidak nyata

x2-x3 0.8118 Tidak nyata

x3-x4 0.6448 Tidak nyata

*Notasi “x1-x3” berarti interaksi penambahan Ca(OH)2 dengan temperatur pemanasan, dan seterusnya.

D. TINGKAT DELIGNIFIKASI

Tingkat delignifikasi merupakan perbandingan antara jumlah lignin yang dihilangkan dengan jumlah lignin LTJ awal (Kim dan Holtzapple, 2006a). Dengan mengetahui tingkat delignifikasi, akan diketahui tingkat keefektifan proses delignifikasi. Tingkat delignifikasi bernilai 0 hingga 1. Tingkat delignifi-kasi 0 menunjukkan tidak terjadi pengurangan lignin pada LTJ, sedangkan 1 me-nunjukkan lignin pada LTJ dapat dihilangkan dengan sempurna.

Tingkat delignifikasi pada proses delignifikasi yang diamati mencapai titik tertinggi (mendekati 0.26) pada temperatur 75 oC. Tingkat delignifikasi ini lebih rendah, jika dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Kim dan Holtzapple (2006a) dan Kim dan Holtzapple (2006b), dimana delignifikasi pada temperatur 55 o

C memiliki tingkat delignifikasi hingga 0.41 baik pada perlakuan waktu 4 minggu maupun 16 minggu dan Kaar dan Holtzapple (2000) dengan tingkat delignifikasi hingga 0.39 dengan temperatur 120 oC selama 5 jam. Dalam penelitian ini diketahui tingkat delignifikasi meningkat seiring dengan peningkatan temperatur, yaitu dari 50 oC hingga temperatur 75 oC, akan tetapi meningkatkan temperatur lebih lanjut (di atas 75 oC) tidak meningkatkan tingkat delignifikasi (Gambar 13).

Lebih rendahnya tingkat delignifikasi, diduga dipengaruhi pada tahap delignifikasi. Tahap delignifikasi yang terjadi pada proses yang diamati diduga sudah berada pada tahap bulk atau residual, sehingga lebih banyak komponen bukan lignin yang terdegradasi. Hal ini didukung oleh rendahnya tingkat selektivitas delignifikasi dan adanya gula pada air bilasan. Selain itu, proses pencucian dapat juga mempengaruhi, karena proses pencucian yang kurang efektif akan mengakibatkan lignin tetap tertinggal di dalam padatan hasil delignifikasi

(43)

29 meskipun telah terlepas dari karbohidrat, sehingga lignin tersebut akan terdeteksi sebagai residu lignin (lignin yang tetap ada di dalam LTJ yang telah didelignifikasi) pada saat analisis.

Gambar 13. Pengaruh temperatur pemanasan terhadap tingkat delignifikasi

E. SELEKTIVITAS DELIGNIFIKASI

Penggunaan delignifikasi sebagai perlakuan awal lignoselulosa yang ditujukan untuk membuat bioetanol atau produk berbasis karbohidrat yang tidak mengharapkan kerusakan komponen karbohidrat yang terlalu banyak. Kerusakan karbohidrat yang terjadi selama proses perlakuan awal akan mengurangi rendemen gula pada proses hidrolisis dan memungkinkan terbentuknya inhibitor akibat degradasi komponen karbohidrat sehingga dapat menghambat proses fermentasi (pada pembuatan bioetanol). Oleh sebab itu, semakin selektif reaksi yang terjadi pada delignifikasi maka proses tersebut akan dinilai semakin baik.

Kim dan Holtzapple (2006b) menyebutkan bahwa selektivitas delignikasi dapat diketahui dari kemiringan plot antara kandungan lignin setelah delignifikasi (LT, dalam g) dengan bobot kering LTJ setelah didelignifikasi (MDT, dalam g), dan dapat disimbolkan dengan ∆LT/∆MDT.

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 50,0 60,0 70,0 80,0 90,0 100,0 T in gk at D el ign if ik as i Suhu Delignifikasi (oC)

(44)

30 (a)

(b)

(c)

Gambar 14. Perbandingan kadar lignin (LT) setelah delignifikasi dengan bobot kering LTJ setelah delignifikasi (MDT); (a) temperatur 62.5 oC (b) temperatur 75.0 oC (c) temperatur 87.5 oC

Semakin tinggi nilai selektivitas delignifikasi, maka susut lignin lebih banyak daripada kerusakan komponen lain akibat proses. Nilai selektivitas delignifikasi 0.50 (dapat ditulis 0.50/1.00) mempunyai arti bahwa tiap 1.00 g padatan yang hilang, 0.50 g diantaranya adalah lignin dan sisanya adalah komponen selain lignin. Grafik perbandingan jumlah lignin dengan jumlah

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,700 0,750 0,800 0,850 0,900 LT (g/ g L T J) MDT(g/g LTJ) 0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,700 0,750 0,800 0,850 0,900 LT (g/ g L T J) MDT(g/g LTJ) 0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,700 0,750 0,800 0,850 0,900 LT (g/ g L T J) MDT (g/g LTJ)

(45)

31 padatan hasil delignifikasi pada proses yang diamati dapat dilihat pada Gambar 14, dengan parameter pada Tabel 7.

Tabel 7. Parameter regresi grafik selektivitas delignifikasi (Gambar 14)

Grafik Pers. Regresi R R2

a LT = 0.323MDT – 0,077 0.955 0.913 b LT = 0.403MDT – 0.147 0.952 0.907 c LT = 0.301MDT – 0.055 0.956 0.915

Ketiga grafik tersebut menunjukkan korelasi antara kadar lignin (LT) setelah delignifikasi dengan bobot kering LTJ setelah delignifikasi (MDT). Korelasi LT dan MDT ketiga grafik tersebut cukup kuat dengan nilai R positif mendekati 1 (0.956 pada temperatur 87.5 oC, 0.952 pada temperatur 75 oC, dan 0.955 pada temperatur 62.5 oC). Selain itu, dengan melihat nilai R2 dapat diketahui bahwa paling sedikit 90.7 % sampel yang dianalisis dapat diwakil oleh persamaan regresi yang diperoleh.

Secara keseluruhan, selektivitas delignifikasi yang diamati tergolong rendah. Dari tiga temperatur pemanasan yang diamati (62.5 oC, 75.0 oC, dan 87.5 o

C), selektivitas delignifikasi hanya 0.32 pada temperatur 62.5 oC, 0.40 pada temperatur 75.0 oC, dan 0.30 pada temperatur 87.5 oC. Pola seperti ini juga dilaporkan oleh Kim dan Holzapple (2006b), meskipun terdapat perbedaan pada kondisi delignifikasi yang digunakan (temperatur 25-55 oC dengan lama delignifikasi 16 minggu).

Selama delignifikasi terjadi proses peeling reaction yang mengakibatkan degradasi pada hemiselulosa (Kleppe, 1970). Reaksi tersebut terjadi akibat reduk-si ujung-ujung molekul selulosa atau hemiselulosa menjadi D-glukometasakarinat dan D-xilometasakarinat yang sifatnya stabil. Apabila molekul-molekul tersebut telah terbentuk, maka reaksi berhenti (Kim, 2004). Peristiwa peelingreaction, la-rutnya karbohidrat berbobot molekul rendah serta lepasnya golongan asam (asetil dan asam uronat) mengakibatkan loss pada proses delignifikasi (Kleppe, 1970). Di duga reaksi-reaksi penyebab loss ini terjadi lebih cepat pada suhu yang lebih

(46)

32 tinggi sehingga loss lebih banyak dan menurunkan tingkat selektivitas delignifika-si.

F. KONDISI TERBAIK PROSES DELIGNIFIKASI

Kondisi terbaik proses delignifikasi yang diamati dapat diperkirakan menggunakan persamaan susut lignin (persamaan 7), akan tetapi pada persamaan tersebut terdapat faktor-faktor yang tidak berpengaruh. Dengan menghilangkan peubah yang tidak berpengaruh diperoleh persamaan yang hanya menyertakan peubah yang berpengaruh (temperatur pemanasan) sebagai berikut.

LR* = − 0.24197 + 0.007951 x3 – 5.3∙10-5 x32 ... (8) Notasi LR* adalah susut lignin dalam (g/g LTJ), dan x3 adalah temperatur pemanasan (dalam oC).

Pengurangan peubah ini menurunkan simpangan baku menjadi 0.011, dengan peluang nilai p > F lack of fit 0.9013. Dengan demikian diharapkan kesesuaian persamaan dengan kondisi aktual menjadi semakin meningkat sehingga nilai perkiraan yang dihasilkan lebih mendekati nilai aktualnya.

Perkiraan kondisi terbaik dengan menggunakan persamaan yang telah diubah mendapatkan kondisi delignifikasi seperti pada Tabel 8.

Tabel 8. Perkiraan kondisi terbaik proses delignifikasi

Perlakuan*

x1 x2 x3 x4

0.075 6.25 74.6 2.00

*x1 : penambahan Ca(OH)2 (g/g LTJ); x2 : penambahan air (ml/g LTJ); x3 : temperatur pemanasan (oC); x4 : lama pemanasan (jam).

Pada kondisi tersebut, diperkirakan memberikan hasil susut lignin sebesar 0.055 g/g LTJ (25.46 %) pada rendemen padatan 0.770 g/g LTJ. Dengan demikian, apabila kandungan lignin pada LTJ awal adalah 0.219 g/g LTJ, maka tingkat delignifikasinya sebesar 0.25 dan selektivitas delignifikasi sebesar 0.40.

(47)

33

G. PERKIRAAN NERACA MASSA KONDISI TERBAIK

Setelah mengetahui nilai-nilai perkiraan kondisi delignifikasi dan responnya, maka dapat disusun neraca massa pada kondisi terbaik (Gambar 15) dengan memperkirakan nilai-nilainya menggunakan perangkat lunak yang digunakan. Pada neraca massa tersebut, input pada proses delignifikasi berupa bahan baku, Ca(OH)2, dan air dengan jumlah komponen bahan baku (air berjumlah 0.091 g/g LTJ dan padatan berjumlah 0.909 g/g LTJ) diambil dari hasil karakterisasi LTJ yang digunakan, sedangkan penambahan Ca(OH)2 (0.075 g/g LTJ) dan air (6.25 ml/g LTJ) diperoleh dari kondisi terbaik proses yang diamati.

Pada bagian pencucian, ditambahkan air sebanyak 20 ml untuk membilas lignin dari LTJ. Selama proses pencucian inilah terjadi susut lignin yang diperkirakan berkurang sebanyak 0.055 g. Selain itu, terjadi penurunan kadar ekstraktif yang ikut terbilas yang jumlahnya diperkirakan 0.045 g (hampir semua bahan ekstraktif terbuang bersama air). Jumlah padatan yang larut selama pencucian sebanyak 0.139 g. Hal ini berarti terjadi pelarutan komponen selain lignin dan ekstraktif sebanyak 0.084 g.

Setelah dilakukan pengeringan, jumlah padatan yang diperoleh 0.770 g. Padatan tersebut mengandung lignin sebanyak 0.164 g, dan bahan ekstraktif sebanyak 0.008 g.

Jumlah air pada neraca massa tersebut tidak diperhitungkan (td), karena diduga sangat dipengaruhi oleh tekanan yang diberikan pada saat filtrasi.

Gambar 15. Perkiraan neraca pada kondisi terbaik (dalam g) Delignifikasi (74.6 oC, 2 jam) Pencucian Pengeringan (50 oC) Bahan Baku Air (0.091) Padatan (0.909) Lignin (0.219) Ekstraktif (0.053) Ca(OH)2 (0.075) Air (6.25) Air (20 ml) Air Bilasan Air (td) Padatan Larut (0.139) Lignin (0.055) Ekstraktif (0.045) Air (td) Hasil Delignifikasi Air (td) Padatan (0.770) Lignin (0.164) Ekstraktif (0.008)

(48)

34

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Proses delignifikasi (susut lignin) pada penelitian ini tidak dipengaruhi oleh peningkatan penambahan Ca(OH)2, penambahan air, dan lama pemanasan, tetapi dipengaruhi oleh temperatur pemanasan. Proses tersebut dapat dimodelkan dengan persamaan:

LR* = − 0.24197 + 0.007951 x3 – 5.3∙10-5 x32

Notasi LR* menunjukkan susut lignin (g/g LTJ), dan x3 menunjukkan temperatur pemanasan (oC). Dari persamaan tersebut diketahui kondisi terbaik proses delignifikasi ini adalah pada temperatur 74.6 oC selama 2 jam, yang menghasilkan susut lignin sebesar 0.055 g/g LTJ (25.46 %).

Tingkat delignifikasi proses ini tergolong rendah, dengan nilai 0.25 pada kondisi terbaik. Selektivitas proses reaksi juga tidak terlalu tinggi, dengan nilai 0.40 pada kondisi terbaik.

B. SARAN

1. Diduga bahwa delignifikasi dipengaruhi pula oleh cara pencucian, sehingga diperlukan penelitian mengenai cara pencucian yang lebih efektif.

2. Proses delignifikasi ini hanya mengamati pola perubahan pada lignin. Oleh sebab itu, penggunaan proses ini untuk perlakuan awal memerlukan kajian langsung terhadap aktivitas enzim dari hasil proses delignifikasi ini.

3. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penambahan Ca(OH)2 dan air yang minimum berada di bawah rentang nilai yang diamati, sehingga diperlukan penelitian kebutuhan spesifik kedua bahan tersebut untuk mendapatkan proses yang lebih efisien.

(49)

35

DAFTAR PUSTAKA

Alwin, E. 2007. Expansion of Biofuels Retail Market in Indonesia. Disampaikan dalam International Biofuel Conference pada Februari 2007, di Tokyo. Myers, R. H. 1971. Response Surface Methodology. Allyn and Bacon : Boston. Chen, M., J. Zhao, dan L. Xia. 2009. Comparison of Four Different Chemical

Pre-treatments of Corn Stover for Enhancing Enzymatic Digestibility. Biomass

and Bioenergy 33 : 1381–1385.

Classen, P. A. M., J. B. van Lier, A. M. L. Contreras, E. W. J. van Niel, L. Sijitsma, A. J. M. Stams, S. S. de Vries, dan R. A. Weusthuis. 1999. Utilisation of Biomass for the Supply of Energy Carriers. Appl. Microbiol Biotechnol 52 : 741-755.

Demirbas, A. 2005. Bioethanol from Cellulosic Materials: A Renewable Motor Fuel

from Biomass. Energy Resources 27 : 327-337.

Deptan. 2009. http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/tan/. Diakses pada 13 Februari 2010.

deVries, R. P. dan J. Visser. 2001. Aspergillus Enzymes Involved in Degradation of Plant Cell Wall Polysaccharides. Microbiology and Molecular Biology Reviews 65 : 497-522.

Kaar, W. E. dan M. T. Holtzapple. 2000. Using Lime Pretreatment to Facilitate the

Enzymic Hydrolysis of Corn Stover. Biomass and Bioenergy 18 : 189-199.

Kim, S. 2004. Lime Pretreatment and Enzymatic Hydrolysis of Corn Stover. Diserta-si. Chemical Engineering. Texas A&M University.

Kim, S. dan M. T. Holtzapple. 2005. Lime Pretreatment and Enzymatic Hydrolysis of

Corn Stover. Bioresource Technology 96: 1994-2006.

Kim, S. dan M. T. Holtzapple. 2006a . Effect of Structural Features on Enzyme Digestibility of Corn Stover. Bioresource Technology 97 : 583-591.

Kim, S. dan M. T. Holtzapple. 2006b . Delignification Kinetics of Corn Stover in

Lime Pretreatment. Bioresource Technology 97: 778-785.

Kleppe, P. J. 1970. Kraft Pulping. Tappi 53 : 35-47.

Knauf, M. dan M. Moniruzzaman. 2004. Lignocellulosic Biomass Processing: A Perspective. International Sugar Jurnal 106 : 147-151.

Gambar

Tabel 1. Komposisi kimia limbah tanaman jagung*
Gambar 3. Kompleks lignin/fenolik-karbohidrat  (modifikasi dari Buranov dan Mazza, 2008)
Gambar 4. Posisi pemutusan ikatan lignoselulosa pada perlakuan awal asam dan basa  (Sumber : Buranov dan Mazza, 2008)
Gambar 5. Skema perlakuan awal (Sumber : Mosier et al. (2005)).
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait