• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. PENGARUH FAKTOR TERHADAP SUSUT LIGNIN

2. Penambahan Air

pemanasan ... 26 Tabel 6. Peluang nilai p > F interaksi suhu delignifikasi dengan

penambahan Ca(OH)2, penambahan air, dan lama pemanasan .... 28 Tabel 7. Parameter regresi grafik selektivitas delignifikasi ... 31 Tabel 8. Perkiraan kondisi terbaik proses delignifikasi ... 32

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Hemiselulosa (arabinoxylan) pada tanaman sereal ... 4

Gambar 2. Monolignol ... 6

Gambar 3. Kompleks lignin/fenolik-karbohidrat ... 6

Gambar 4. Posisi pemutusan ikatan lignoselulosa pada perlakuan awal asam dan basa ... 7

Gambar 5. Skema perlakuan awal ... 9

Gambar 6. Diagram alir proses delignifikasi ... 13

Gambar 7. Neraca massa: (a) kontrol, (b) delignifikasi ... 15

Gambar 8. Nilai aktual dan nilai perkiraan susut lignin ... 19

Gambar 9. Pengaruh penambahan Ca(OH)2 (g/g LTJ) terhadap susut lignin ... 21

Gambar 10. Pengaruh penambahan air (ml/g LTJ) terhadap susut lignin . 23 Gambar 11. Pengaruh lama pemanasan (jam) terhadap susut lignin ... 25

Gambar 12. Pengaruh temperatur pemanasan (oC) terhadap susut lignin . 27 Gambar 13. Pengaruh temperatur pemanasan terhadap tingkat delignifikasi ... 29

Gambar 14. Perbandingan kadar lignin (LT) setelah delignifikasi dengan bobot kering LTJ setelah delignifikasi (MDT) ... 30

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Rancangan Percobaan CCD Empat Faktor... 38

Lampiran 2. Data Hasil Delignfikasi ... 40

Lampiran 3. Analisis Ragam ... 42

Lampiran 4. Hasil Pencarian Kondisi Terbaik ... 43

Lampiran 5. Prosedur Pengukuran Kadar Air ... 44

Lampiran 6. Prosedur Pengukuran Kadar Ekstraktif ... 45

1

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejak tahun 90-an, lignoselulosa sebagai sumber energi telah mendapat banyak perhatian dari para peneliti (Buranov dan Mazza, 2008). Bahan ini diteliti agar dapat digunakan untuk mengatasi kelangkaan energi dan memenuhi kebutuhan manusia terhadap produk-produk turunan lignoselulosa. Beragam sumber energi dapat dibuat dengan bahan baku lignoselulosa, seperti bioetanol, metana, aseton, butanol, dan hidrogen (Classen et al., 1999). Lignin yang ada pada lignoselulosa dapat dibuat produk-produk farmasi, pengawet makanan (Jin et al., 2009), dan dibutuhkan dalam industri pangan dalam bentuk vanilin dan asam ferulat (Buranov dan Mazza, 2008).

Peran yang diharapkan dari bahan ini sangat penting. Salah satu contohnya adalah pemanfaatan lignoselulosa sebagai bahan baku bioetanol. Pada tahun 2006 pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan pemanfaatan bahan bakar alternatif, diantaranya adalah gasohol E10i (Alwin, 2007). Apabila kebijakan tersebut dilaksanakan, maka gasohol yang diperlukan mencapai 17 juta kilo liter/tahun untuk sektor transportasi dan 35 ribu kilo liter/tahun untuk sektor industriii, terdapat potensi sekitar 1.7 juta kilo liter/tahun bioetanol yang diperlukan untuk sektor transportasi dan 3.5 ribu kl/tahun bioetanol untuk sektor industri. Saat ini, pasar yang sebanyak ini hanya mampu dipenuhi sebanyak 38 ribu ton/tahun (sekitar 48 ribu kilo liter/tahuniii) oleh beberapa pemasok, yang sebenarnya mereka memiliki potensi untuk memenuhi 212 ribu ton/tahun (sekitar 268.3 ribu kilo liter/tahun) (Alwin, 2007). Masih terdapat selisih yang sangat besar antara kebutuhan dengan penawaran, sehingga menjadi potensi untuk pengembangan industri bioetanol baru bagi masyarakat.

Ditinjau dari ketersediaan bahan baku, lignoselulosa memiliki keunggulan daripada bahan lain. Bahan ini tersedia dalam jumlah yang sangat banyak mengingat bahan tersebut adalah bagian dari dinding sel tanaman, mudah

i

Campuran premium dan bioetanol (9 : 1 v/v)

ii

Setara dengan kebutuhan premium Indonesia

iii

2 baharui, serta memiliki harga yang murah (Szczodrak dan Fiedurek, 1996). Di samping itu, pemanfaatan lignoselulosa tidak berkompetisi dengan pangan (Demirbas, 2005). Lignoselulosa dapat diperoleh dari bermacam-macam sumber, seperti limbah pertanian, limbah industri berbasis kayu, maupun dari tanaman bu-didaya yang sengaja diusahakan.

Di Indonesia, salah satu sumber penting lignoselulosa yang berpotensi untuk dimanfaatkan adalah LTJ (limbah tanaman jagung). Ketersediaannya berkorelasi dengan budidaya tanaman jagung. Sebagai gambaran, pada tahun 2008 produksi jagung Indonesia mencapai 16.3 juta ton dengan luas lahan produksi 4 juta ha (Deptan, 2009). Potensi LTJ yang dapat dihasilkan dari lahan seluas ini adalah sekitar 6.3x1013 ton/paneniv (sekitar 18.9x1013 ton/tahunv). Sepu-luh persen saja dari jumlah ini secara teoritis dapat menghasilkan 41.44x1011 liter bioetanol/tahunvi.

Hingga saat ini pemanfaatan lignoselulosa masih memiliki kendala karena akses terhadap komponennya cukup sulit. Hal ini diakibatkan oleh struktur ligno-selulosa yang kompleks. Sebelum dimanfaatkan, struktur lignoligno-selulosa harus di-rusak dengan perlakuan awal sehingga komponen lignin, hemiselulosa, dan selu-losa dapat dipisahkan. Kerusakan pada lignoseluselu-losa tersebut akan meningkatkan akses enzim penghidrolisis. Ada tiga jenis perlakuan awal yang dapat dilakukan, yaitu perlakuan awal secara fisik, kimia, dan biologi. Dari ketiga jenis perlakuan awal ini, perlakuan awal secara kimia lebih mendapat perhatian (Knauf dan Moniruzzaman, 2004).

Perlakuan awal secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan basa Ca(OH)2 (kalsium hidroksida). Perlakuan awal menggunakan Ca(OH)2 akan me-mutus ikatan antara lignin dengan karbohidrat pada lignoselulosa sehingga lignin dapat dipisahkanvii dan meningkatkan digestibilitas lignoselulosa pada proses enzimatis. Selain itu, perlakuan awal menggunakan Ca(OH)2 memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan menggunakan bahan kimia lain.

iv

Bobot LTJ kering (batang, daun, tongkol, dan klobot) adalah 73.83 g/tanaman (data lapangan).

v

Masa jagung panen 100 hari.

vi

430 mg glukosa/ g biomassa (Kaar dan Holtzapple, 2000); 0.51 g bioetanol/g glukosa (Demirbas, 2005)

vii

3 Dalam penelitian ini dipelajari proses pemisahan lignin (delignifikasi) pada lignoselulosa LTJ menggunakan Ca(OH)2 dengan temperatur yang lebih rendah dari delignifikasi yang sudah ada (120 oC), namun dengan waktu yang tidak terlalu lama. Pada akhirnya penelitian ini diharapkan dapat membuka jalan untuk pemanfaatan lignoselulosa baik dari selulosa, hemiselulosa, maupun lignin.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan Ca(OH)2, penambahan air, temperatur pemanasan, dan lama pemanasan terhadap susut lignin, serta mencari kondisi terbaik pada proses delignifikasi limbah tanaman jagung dengan Ca(OH)2.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. LIGNOSELULOSA

Lignoselulosa merupakan bahan penyusun dinding sel tanaman yang kom-ponen utamanya terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Demirbas, 2005). Selulosa adalah polimer rantai panjang D-glukosa dengan ikatan β 1-4 glikosidik, sedangkan hemiselulosa lebih bersifat heterogen yang terdiri dari xilosa, galak-tosa, manosa, arabinosa atau glukosa, tergantung dari jenis tanaman sumbernya (Gambar 1) (deVries dan Visser, 2001). Berbeda dengan keduanya, lignin merupakan polimer kompleks (monomernya disebut dengan monolignol) dengan struktur yang tidak teratur (tidak berpola) (Buranov dan Mazza, 2008). Kadar komponen-komponen tersebut di dalam tanaman berkisar antara 23-53 % selulosa; 20-35 % hemiselulosa, 10-25 % lignin (Knauf dan Moniruzzaman, 2004). Selain tiga komponen utama, terdapat pula komponen yang dapat diekstrak, disebut dengan ekstraktif yang kadarnya 1-7 % (Demirbas, 2005). Perbedaan kandungan komponen pada lignoselulosa dipengaruhi oleh tempat tumbuh dan umur tanaman sumbernya (Buranov dan Mazza, 2008). Pada LTJ, komposisi ketiga komponen utama lignoselulosa dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 1. Hemiselulosa (arabinoxylan) pada tanaman sereal (Sumber : deVries dan Visser, 2001).

Lignoselulosa dapat diperoleh dari beberapa residu atau limbah, diantaranya adalah limbah pertanian seperti limbah tanaman jagung, jerami gandum dan padi, serta limbah hasil hutan. Lignoselulosa juga dapat diperoleh dari limbah perindustrian, seperti pada industri pulp dan kertas (Demirbas, 2005; Knauf dan Moniruzzaman, 2004). Selain itu, lignoselulosa juga dapat berupa

5 tanaman yang sengaja dibudidaya untuk tujuan energi, seperti switchgrass. Secara teoritis, 1 ton kering lignoselulosa dari bagas (hasil samping industri gula) dapat menghasilkan 112 galon (424.48 L) etanol (Knauf dan Moniruzzaman, 2004).

Tabel 1. Komposisi kimia limbah tanaman jagung*

Negara/Negara Bagian Lignin (%) Selulosa (%) Hemiselulosa (%) Amerika Serikat 17.2 36.1 21.4 Itali 21.2 36.8 22.2 Colorado 17.6 37.5 20.8 Iowa 17.6 38.6 20.6 China 15 td 28 td: tidak dilaporkan

*modifikasi dari Buranov dan Mazza (2008)

B. STRUKTUR LIGNIN DAN EKSTRAKSINYA

Sebagai bagian dari lignoselulosa, lignin merupakan komponen ketiga terbanyak di bumi. Lignin dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu lignin kayu keras (hardwood), lignin kayu lunak (softwood), dan lignin rerumputan (herbaceous). Secara literatur, pembahasan tentang struktur lignin dari bahan berkayu telah cukup banyak, tetapi untuk lignin dari bahan non-kayu belum banyak diketahui, meskipun akhir-akhir ini komoditas ini menjadi fokus para peneliti (Buranov dan Mazza, 2008).

Lignin merupakan polimer dengan monomer berupa monolignol. Monolignol dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) p-coumaryl, (2) coniferyl, dan (3) sinapyl alcohol (Gambar 2). Di dalam polimer, ketiga molekul alkohol aromatik ini disebut dengan p-hydroxyphenyl (H), guaiacyl (G) dan syringyl (S). Lignin pada tanaman berkayu utamanya tersusun atas G dan S, sedangkan tanaman rerumputan mengandung ketiga alkohol aromatik tersebut (H, G, dan S) (Buranov dan Mazza, 2008).

6 Gambar 2. Monolignol (Sumber : Buranov dan Mazza (2008))

Pada tanaman jenis rerumputan, lignin terikat pada karbohidrat (arabinoxilan) melalui asam ferulat. Asam ferulat ini terikat pada lignin dengan ikatan eter dan terikat pada karbohidrat dengan ikatan ester. Struktur ini dikenal dengan kompleks lignin/fenolik-karbohidrat (Gambar 3) (Buranov dan Mazza, 2008). Tanaman jagung memiliki ikatan ester pada asam fenoliknya dengan jumlah mencapai lebih dari 90% ikatan totalnya (Lozovaya et al., 2000).

Gambar 3. Kompleks lignin/fenolik-karbohidrat (modifikasi dari Buranov dan Mazza, 2008)

Mula-mula diketahui lignin dapat diekstrak dengan menggunakan air panas (140 oC), kemudian dikembangkan ekstraksi lignin dengan berbagai pelarut, larutan basa, dan enzim. Metode yang digunakan untuk mengekstrak lignin disesuaikan dengan strukturnya. Ikatan eter pada kompleks lignin/fenolik-karbohidrat memiliki sifat lemah terhadap perlakuan asam, sehingga ekstraksi dengan asam akan memutus ikatan ini dan menghasilkan residu feruloil-arabinosa yang tetap memiliki ikatan ester, sedangkan ikatan esternya bersifat lemah terhadap perlakuan basa (Gambar 4). Gugus fenolik pada lignoselulosa

7 rerumputan dapat dihilangkan separuhnya dengan ekstraksi menggunakan natrium hidroksida pada temperatur ruang (Buranov dan Mazza, 2008).

Gambar 4. Posisi pemutusan ikatan lignoselulosa pada perlakuan awal asam dan basa (Sumber : Buranov dan Mazza, 2008)

C. PERLAKUAN AWAL DAN DELIGNIFIKASI

Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam memanfaatkan lignoselulosa untuk bahan baku bioetanol adalah rendahnya tingkat digestibilitas enzim dalam proses depolimerisasi selulosa (hidrolisis). Kesulitan ini disebabkan karena kompleksitas struktur lignoselulosa (Classen et al., 1999; Szczodrak dan Fiedurek, 1996). Untuk mengatasi kesulitan ini, maka perlu dilakukan perlakuan awal terhadap lignoselulosa. Perlakuan awal akan mengubah struktur rumit lignoselulosa sehingga akan meningkatkan digesitibilitas enzim (Kim dan Holtzapple, 2006a; Knauf dan Moniruzzaman, 2004; Mosier et al., 2005; Kaar dan Holtzapple, 2000).

Perubahan yang terjadi pada struktur lignoselulosa yang telah diberi perlakuan awal dapat berupa pemisahan antara selulosa dengan materi yang melindunginya (hemiselulosa dan lignin) dan perubahan struktur selulosa yang pada awalnya berbentuk kristal menjadi amorf, sehingga mudah untuk dihidrolisis (Gambar 5). Komposisi hasil proses perlakuan awal sangat tergantung dari sumber lignoselulosa yang digunakan dan proses perlakuan awal yang dilakukan (Knauf dan Moniruzzaman, 2004).

Secara umum terdapat tiga pengelompokan proses perlakuan awal, yaitu perlakuan awal secara fisik, biologi, dan kimia (Taherzadeh dan Karimi, 2008; Knauf dan Moniruzzaman, 2004), selain itu ada juga jenis perlakuan awal secara

8 fisiko-kimia yang menggabungkan antara perlakukan fisik dengan kimiawi (Taherzadeh dan Karimi, 2008; Mosier et al., 2005). Di antara perlakuan awal secara fisik adalah penggilingan, iradiasi (dengan sinar gama, gelombang elektron, dan gelombang mikro) (Taherzadeh dan Karimi, 2008), akan tetapi hampir semua perlakuan awal secara fisik tidak cukup efektif untuk menghilangkan lignin dan seringkali memerlukan biaya besar (Knauf dan Moniruzzaman, 2004). Perlakuan awal secara biologi dilakukan dengan menumbuhkan organisme pada media lignoselulosa sehingga terjadi pengurangan lignin dan selulosa. Dalam perlakuan awal secara biologi, jamur pelapuk putih yang dianggap paling efektif. Meskipun demikian, secara umum perlakuan awal jenis ini hanya mengurangi sedikit lignin (Taherzadeh dan Karimi, 2008), serta memerlukan waktu yang lama (Knauf dan Moniruzzaman, 2004). Dari ketiga jenis perlakuan awal tersebut, perlakuan awal menggunakan bahan kimia lebih mendapat perhatian karena lebih efektif dalam mengurangi lignin (Knauf dan Moniruzzaman, 2004).

Beberapa jenis perlakuan awal yang menggunakan bahan kimia telah diulas oleh Taherzadeh dan Karimi (2008) serta Mosier et al. (2005), diantaranya adalah steam explosion, steam explosion dengan penambahan SO2, AFEX (ammonia fiber explosion), CO2 explosion, air panas (liquid hot water), gelombang mikro dengan penambahan kimia (microwave chemical), asam, alkali (basa), peroksida alkali, organosolv, dan oksidasi dalam air (wet oxidation). Chen et al. (2009) telah membandingkan empat jenis perlakuan awal kimiawi yang sering digunakan, yaitu H2SO4 encer, Ca(OH)2, NH3/HCl, dan NaOH, dengan hasil tingkat delignifikasi tertinggi diperoleh dengan perlakuan awal menggunakan NaOH.

Perlakuan awal mengurangi jumlah lignin yang berperan di dalam lignoselulosa sebagai penjaga struktur, dan pencegah lignoselulosa mengembang yang mengakibatkan kerja enzim penghidrolisis terhambat. Oleh sebab itu, delignifikasi terhadap lignoselulosa akan meningkatkan efektivitas hidrolisis enzim. Pemisahan lignin juga akan mengakibatkan pengembangan pada lignoselulosa. Meskipun demikian, pengembangan yang terjadi tidak mengakibatkan perubahan ukuran pori-pori yang dapat mempermudah masuknya

9 enzim, walaupun tetap terjadi peningkatan efektivitas hidrolisis. Oleh sebab itu, pengaruh pemisahan lignin terhadap hidrolisis lebih karena peningkatan akses enzim pada permukaan lignoselulosa setelah lignin dihilangkan (Taherzadeh dan Karimi, 2008).

Gambar 5. Skema perlakuan awal (Sumber : Mosier et al. (2005)).

D. DELIGNIFIKASI ALKALI

Hingga saat ini terdapat banyak pilihan perlakuan awal secara kimia yang telah dikembangkan. Salah satu yang menarik bagi para peneliti adalah perlakuan awal dengan alkali (Szczodrak dan Fiedurek, 1996). Kim dan Holtzapple (2005) menyebutkan bahwa perlakuan awal dengan alkali akan mengurangi jumlah lignin sehingga meningkatkan efektivitas enzim untuk menghidrolisis selulosa. Perlakuan ini juga mengurangi gugus asetil yang meningkatkan digestibilitas selulosa. Meskipun perlakuan awal ini efektif dalam memutus ikatan antara lignin dengan karbohidrat, pada perlakuan awal dengan natrium hidroksida dan kalsium hidroksida, hanya sedikit jumlah komponen karbohidrat yang hilang (Kaar dan Holtzapple, 2000; Szczodrak dan Fiedurek, 1996). Hasil dari perlakuan awal dengan alkali tidak ditemukan adanya furfural dan hidroksimetilfurfural (HMF) yang menjadi inhibitor dalam proses fermentasi, ini menjadi kelebihan jika dibandingkan dengan jika menggunakan asam (Taherzadeh dan Karimi, 2008).

Sebagai salah satu jenis perlakuan awal dengan alkali, perlakuan awal dengan kalsium hidroksida memiliki kelebihan tersendiri, yaitu kemudahan dan

10 keamanan dalam recovery dengan karbon dioksida (Mosier et al., 2005) serta harga yang relatif murah jika dibandingkan dengan basa lain (Kaar dan Holtzapple, 2000). Dengan perlakuan awal menggunakan kalsium hidroksida, konversi glukan, xilan, dan arabinan mencapai 88,0 %; 87,7 %; dan 92,1% pada konsentrasi 0,075 g/g biomassa kering dan penambahan 5 g air/ g biomassa kering. Selain itu, perlakuan awal ini dapat dilakukan pada temperatur ruang dengan pengurangan lignin sebanyak 43.6 – 87.4 % tergantung kondisi reaksi (Kim dan Holtzapple 2005).

Selama proses delignifikasi menggunakan Ca(OH)2, lignin terpisah dari lignoselulosa. Semakin lama proses delignifikasi, semakin banyak ikatan-ikatan di dalam lignoselulosa yang terputus. Kinetika delignifikasi LTJ dengan penambahan Ca(OH)2 telah diteliti oleh Kim dan Holtzapple (2006b) baik dalam kondisi oksidatif (dengan penambahan oksigen) maupun non-oksidatif (tanpa penambahan oksigen). Residu lignin selama proses delignifikasi membentuk fungsi eksponensial terhadap lama pemanasan.

Terdapat tiga pembagian tahap dalam proses delignifikasi alkali, yaitu initial, bulk, dan residual. Dalam tahap initial, terjadi pemutusan ikatan α-O-4 dan β-O-4 pada gugus fenolik, kemudian diikuti dengan pemutusan ikatan β-O-4 pada gugus non-fenolik pada tahap bulk. Apabila delignifikasi terus dilanjutkan hingga tahap residual, maka akan terjadi pemutusan ikatan antar atom C pada lignin dan degradasi karbohidrat (Kim dan Holtzapple, 2006b).

Penggunaan delignifikasi Ca(OH)2 untuk meningkatkan hidrolisis enzim terhadap LTJ telah diteliti oleh Kaar dan Holtzapple (2000) dengan penambahan Ca(OH)2 0.075 g/g bahan. Pada delignifikasi tersebut kondisi delignifikasi yang direkomendasikan untuk hidrolisis enzim (10 FPU/g bahan kering) adalah pada temperatur 120 oC dengan lama pemanasan selama 4 jam. Kemudian Kim dan Holzapple (2005) melakukan hal sama, namun dengan temperatur optimum yang lebih rendah (55 oC) dan dengan waktu yang lebih lama (4 minggu). Pada kondisi tersebut, lignin dapat dihilangkan hingga 47.7 % pada penambahan Ca(OH)2

11

III. METODE

A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Lab. Bioindustri dan Lab. Teknik Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta – IPB. Penelitian dimulai pada bulan Oktober 2009 hingga Februari 2010.

B. BAHAN DAN ALAT

Limbah tanaman jagung (LTJ) yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas Bisi 2 yang komponen utamanya berupa batang, tongkol, klobot, dan daun. LTJ ini berasal dari Kab. Kulon Progo, Yogyakarta dan dikecilkan ukurannya hingga 40 mesh. Bahan lain yang digunakan untuk delignifikasi adalah Ca(OH)2 p. a. dan akuades. Sedangkan alat utama yang digunakan adalah: labu erlenmeyer 250 ml - untuk reaktor; penangas air; saringan; gelas piala 300 ml dilengkapi dengan magnetic stirrer - untuk pencucian; neraca analitik; oven; dan filter glass 1G3.

C. METODE PENELITIAN 1. Karakterisasi LTJ

LTJ yang digunakan dalam penelitian dikarakterisasi untuk dijadikan sebagai dasar perhitungan analisis hasil delignifikasi. Ada tiga karakteristik LTJ yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu kadar air, kadar ekstraktif, dan kadar lignin. Hasil dari pengujian kadar air digunakan untuk menghitung bobot kering LTJ. Bobot kering tersebut akan digunakan dalam perhitungan kadar lignin basis kering. Prosedur analisis kadar air LTJ dapat dilihat pada Lampiran 5. Setelah diketahui kadar air LTJ, bobot kering LTJ dapat diketahui dengan persamaan :

12 Notasi MD0 menunjukkan bobot kering LTJ (dalam g), MB0 menunjukkan bobot basah LTJ (dalam g), dan W0 menunjukkan kadar air LTJ (dalam g).

Setelah diketahui bobot kering LTJ, sebanyak 3 g LTJ diekstrak dengan pelarut yang berupa campuran benzena dan alkohol dengan komposisi 2 : 1. Ekstraksi dilakukan untuk menghilangkan bahan ekstraktif pada LTJ. Prosedur ekstraksi dapat dilihat pada Lampiran 6. Dengan proses ekstraksi akan diketahui kandungan bahan ekstraktif dalam LTJ (E0, dalam g).

Hasil ekstraksi yang berupa padatan diambil sebanyak 0.5 g (sudah diketahui bobot keringnya) untuk analisis kandungan lignin. Prosedur analisis lignin dapat dilihat pada Lampiran 7. Kandungan lignin pada LTJ (L0, dalam g) digunakan untuk menghitung susut lignin dan tingkat delignifikasi.

Selain LTJ segar, LTJ yang telah dicuci juga dikarakterisasi. Dengan demikian akan diketahui pengaruh pencucian terhadap perubahan karakteristik LTJ.

2. Penelitian Utama 2.1. Delignifikasi

Delignifikasi dilakukan terhadap LTJ (10 g/sampel) yang berukuran 40 mesh. Proses delignifikasi dilakukan di dalam labu erlemeyer 250 ml yang ditutup dengan aluminium foil untuk mencegah keluarnya air. Ke dalam labu tersebut sebelumnya telah ditambahkan Ca(OH)2 dan akuades dengan jumlah tertentu. Untuk mencapai temperatur yang diinginkan digunakan penangas air dengan lama pemanasan yang telah ditentukan.

LTJ yang telah didelignifikasi dipindahkan ke dalam gelas piala 300 ml, kemudian ditambahkan akuades sebanyak 200 ml. Campuran tersebut diaduk dengan magnetic stirrer selama 10 menit. Setelah pengadukan, campuran disaring hingga mendapatkan padatan dan cairan. Padatan yang diperoleh dikeringkan pada temperatur 50 oC selama 48 jam, kemudian ditimbang dan disimpan untuk analisis

13 berikutnya. Diagram alir delignifikasi tanpa pengeringan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram alir proses delignifikasi

2. 2. Analisis Hasil Delignifikasi

LTJ yang telah delignifikasi dianalisis seperti pada analisis karakter LTJ. Hasil analisis akan menghasilkan kadar air LTJ yang telah didelignifikasi (WT, dalam g), kadar ekstraktif (ET, dalam g), kadar lignin (LT, dalam g), dan bobot kering LTJ yang telah didelignifikasi (MDT, dalam g).

Data-data yang diperoleh dari pengujian-pengujian yang dilakukan digunakan untuk menghitung susut lignin tiap perlakuan, tingkat delignifikasi, dan selektivitas delignifikasi.

2. 2. 1. Susut Lignin

Susut lignin LTJ yang telah didelignifikasi (LR, dalam g) diperoleh dari kadar lignin LTJ (L0, dalam g) dikurangi dengan kadar lignin LTJ yang telah didelignifikasi (LT, dalam g). Perhitungan tersebut dapat ditulis dengan persamaan berikut: LTJ (40 mesh) Delignifikasi [temperatur (x3), waktu (x4)] Ca(OH)2 (x1) Air (x2) Pencucian Air (200 ml) Padatan

14 = − ...(2)

2. 2. 2. Tingkat Delignifikasi

Tingkat delignifikasi (D) seperti yang telah telah dijelaskan oleh Kim dan Holtzapple (2006a) adalah jumlah lignin yang dihilangkan dari LTJ dibandingkan dengan kandungan lignin pada LTJ awal. Tingkat delignifikasi dapat dihitung dengan persamaan :

= 1 − ...(3)

Atau

= ...(4)

Jumlah rendemen padatan (YT) dapat dihitung dari bobot kering LTJ (MD0, dalam g) dan bobot kering LTJ yang telah didelignifikasi (MDT, dalam g) dengan menggunakan persamaan:

= ...(5)

2. 2. 3. Selektivitas Delignifikasi

Selektivitas delignifikasi atau kemudahan proses delignifikasi menggambarkan seberapa mudah lignin dapat dihilangkan. Selektivitas delignifikasi dapat diketahui dengan melihat kemiringan regresi pada plot antara kandungan lignin pada LTJ yang telah delignifikasi (LT, dalam g) dengan bobot

15 kering LTJ yang telah delignifikasi (MDT, dalam g), dan dapat disimbolkan dengan ∆LT/∆MDT (Kim dan Holtzapple, 2006b).

Keterkaitan analisis-analisis yang dilakukan dapat digambarkan dengan neraca massa seperti pada Gambar 7, sehingga lebih mudah untuk ditelusuri dan dipahami.

(a)

(b)

Gambar 7. Neraca massa: (a) kontrol, (b) delignifikasi

Gambar 7 adalah neraca massa yang digunakan dalam penelitian ini. Neraca massa tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu neraca massa kontrol (tanpa pemberian perlakuan faktor dan hanya dicuci) (Gambar 7

Delignifikasi (x3, x4) Pencucian Pengeringan (50 oC) Bahan Baku Air (W0) Padatan (MD0) Lignin (L0) Ekstraktif (E0) Ca(OH)2 (x1) Air (x2) Air (20 ml) Air Bilasan Air (WR) Padatan Larut (MD0 – MDT) Lignin (LR) Ekstraktif (ER) Air (WS) Hasil Delignifikasi Air (WT) Padatan (MDT) Lignin (LT) Ekstraktif (ET) Pencucian Pengeringan (50 oC) Bahan Baku Air (W0) Padatan (MD0) Lignin (L0) Ekstraktif (E0) Air (20 ml) Air Bilasan Air (WR) Padatan Larut (MD0 – MDC) Lignin (LRC) Ekstraktif (ERC) Air (WS) Hasil Delignifikasi Air (WC) Padatan (MDC) Lignin (LC) Ekstraktif (EC)

16 a) serta neraca massa proses delignifkasi yang disertai dengan proses pengeringan (Gambar 7 b). Input kedua neraca massa tersebut, yang berupa bahan baku, nilai-nilainya diperoleh dari hasil karakterisasi LTJ, sedangkan bagian output nilai-nilainya diperoleh dari hasil analisis karakterisasi LTJ yang telah dicuci (neraca massa kontrol, Gambar 7 a) dan LTJ yang telah didelignifikasi (neraca massa delignifikasi, Gambar 7 b). Nilai x1, x2, x3, dan x4 adalah perlakuan yang digunakan.

3. Pengolahan Data

3. 1. Rancangan Percobaan

Penelitian ini melibatkan empat faktor, yaitu penambahan kalsium hidroksida (m : 0.075-0.078 g/ g LTJ), penambahan air (V : 6.25-8.75 ml/g LTJ), temperatur pemanasan (T : 62.5-87.5 oC), dan lama pemanasan (t : 2-4 jam). Jumlah penambahan kalsium hidroksida, penambahan air, dan lama pemanasan mengacu pada hasil penelitian Kaar dan Holtzapple (2000), sedangkan temperatur pemanasan ditetapkan pada nilai antara 55 oC (Kim dan Holtzapple, 2006) yang membutuhkan waktu lama dan 120 oC (Kaar dan Holtzapple, 2000) yang memerlukan spesifikasi alat bertekanan.

Percobaan yang dilakukan menggunakan central composite design (CCD) dengan empat faktor. Rancangan ini menghasilkan 29 kombinasi yang harus dilakukan (Lampiran 2) dengan 16 titik faktorial, 8 titik aksial, dan 5 titik pusat. Dengan rancangan ini dihasilkan persamaan respon yang berbentuk:

Lr* = β0 + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 + β11x12 + β22x22 + β33x32 + β44x42 + β12x12 + β13x13 + β14x14 + β23x23 + β24x24 + β34x34 ...(6)

Notasi Lr* menunjukkan susut lignin proses delignifikasi (g/g LTJ) dengan nilai faktor tertentu, x1 adalah penambahan Ca(OH)2 (g/g LTJ), x2 adalah penambahan air (ml/g LTJ), x3 adalah temperatur

17 pemanasan (oC), x4 adalah lama pemanasan (jam), sedangkan β adalah koefisien. Metode untuk pembentukan persamaan, teori-teori yang berkaitan dengan CCD, dan beberapa analisis statistika yang dapat dilakukan pada rancangan tersebut telah dijelaskan oleh Myers (1971).

3. 2. Analisis Statistik

Analisis statistik dan penentuan kondisi terbaik pada proses delignifikasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Design Expert 7 trial version. Hasil pengolahan data berupa grafik respon permukaan, analisis ragam, persamaan, dan kondisi terbaik pada proses yang diamati.

18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISTIK LIMBAH TANAMAN JAGUNG HASIL PENCUCIAN

Analisis kadar ekstraktif dan lignin pada LTJ awal dan LTJ hasil pencucian menghasilkan data karakteristik pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik LTJ awal dan LTJ hasil pencucian

Bahan Ekstraktif* (% bk) Lignin* (% bk) Kadar Air* (% bb) LTJ awal 5.83 (0.053) 23.65 (0.215) 21.9 (0.091) LTJ Hasil Pencucian 2.01 (0.016) 25.84 (0.206) td

* angka di dalam ( ) menunjukkan g/g LTJ basah; td = tidak diukur

Analisis terhadap LTJ awal menunjukkan bahwa kadar lignin LTJ yang digunakan lebih tinggi dari pada kadar lignin limbah tanaman jagung yang ditunjukkan oleh Buranov dan Mazza (2008) pada review-nya (Tabel 1). Akan

Dokumen terkait