• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

2.1 Tanaman Kawao (Milletia sericea)

Kawao (Milletia sericea) merupakan tumbuhan perdu yang memanjat, tegak, tinggi batang dapat mencapai 10-30 m, banyak ditemukan di hutan dan tepi sungai mulai dari dataran rendah sampai 1000 m di atas permukaan laut. Tanaman kawao dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Permukaan kulit yang padat pada tanaman kawao mengakibatkan lambatnya evaporasi air permukaan keluar batang. Struktur akarnya mendukung fiksasi nitrogen, yang membawa nutrient dari udara ke tanah (Green Oil Plantations, 2011). Akarnya berwarna kuning kecoklatan, bagian dalam berair, sebagian dari akar keluar di atas lumpur. Tanaman ini memiliki 200 spesies yang tersebar di daerah tropis Afrika, Asia, Australia dan Amerika (Thulin, 1983).

Tanaman kawao di Indonesia dikenal dengan nama akar tuba, bori akar, tungkul bayon, areuy kawao atau tuwa laleur. Tanaman ini berasal dari kingdom Plantae, sub-kingdom Tracheobionta, super-divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub-kelas Rosidae, ordo Fabales, famili Papilionaceae, genus Milletia dan spesies Milletia sericea (Irvine, 1961).

Tanaman kawao dapat dimanfaatkan dalam bidang farmasi (Gamgsa, Fansofree dan Fom, 1993). Akar tanaman ini digunakan sebagai obat tradisional oleh sebagian masyarakat Indonesia seperti obat cacing, mata dan luka luar (Menninger, 1970). Ekstrak akar dan batang Millettia griffoniana digunakan sebagai obat tradisional, insektisida, mengurangi peradangan yang disebabkan penyakit paru dan asma, infertilitas dan masalah menopause. Gambar akar kawao disajikan pada Gambar 1.

(2)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

Gambar 1. Akar Kawao (Milletia sericea) (Dokumentasi Pribadi, 2011)

2.2. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan salah satu pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan. Komponen yang dipisahkan dengan ekstraksi dapat berupa padatan dari suatu sistem campuran padatan-cairan, berupa cairan dari suatu sistem campuran cairan-cairan atau berupa padatan dari suatu sistem padatan-padatan (Gamse, 2002). Produk utama dari ekstraksi umumnya adalah komponen yang terlarut di dalam pelarut, tetapi pada kondisi ampas atau residu merupakan produk utama atau produk yang diinginkan maka proses tersebut disebut leaching walaupun mekanisme kerjanya menggunakan metode maserasi (Suyitno et. al, 1989).

Proses ekstraksi terbagi menjadi 2 jenis, yaitu ekstraksi mekanis dan ekstraksi pelarut. Ekstraksi mekanis menggunakan penekanan atau pengempaan sedangkan ekstraksi pelarut menggunakan pelarut yang didasarkan pada sifat kelarutan. Menurut Suyitno et. al (1989), prinsip ekstraksi dengan pelarut didasarkan pada perbedaan konsentrasi komponen dalam bahan dengan konsentrasi komponen dalam larutan.

(3)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

Pelarut adalah bahan yang ditambahkan untuk membentuk suatu fase yang berbeda dari bahan yang dipisahkan. Pelarut menyebabkan pori-pori bahan mengembang sehingga zat yang berada di dalam bahan berdifusi keluar permukaan partikel bahan. Pemisahan tercapai jika komponen yang dipisahkan larut dalam pelarut sedangkan komponen yang lainnya masih tetap berada dalam bahan asalnya. Kelarutan zat dalam pelarut dipengaruhi oleh tingkat kepolaran pelarutnya. Zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat nonpolar hanya larut dalam pelarut nonpolar (Dwiari et. al., 2008).

Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor, seperti sifat dari bahan mentah tanaman dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi serta kepentingan dalam memperoleh ekstrak dari tanaman. Sifat dari bahan tanaman merupakan faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam memperoleh metode ekstraksi (Harborne, 1999). Usaha untuk mempermudah proses ekstraksi dapat dilakukan dengan cara pengeringan bahan dan penggilingan. Bahan harus dikeringkan terlebih dahulu untuk mengurangi kadar airnya dan disimpan pada tempat yang kering agar terjaga kelembabannya. Pengecilan ukuran akan memperluas kontak antara bahan dengan pelarut. Pada umumnya ekstraksi akan bertambah baik bila permukaan serbuk bahan yang bersentuhan dengan pelarut semakin luas. Metode dasar ekstraksi adalah maserasi, perkolasi, soxhletasi. Pemilihan terhadap metode tersebut disesuaikan dengan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang diinginkan. Metode maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana karena cara dan peralatan yang digunakan tidak serumit dengan metode lainnya. Kekurangan dari metode maserasi antara lain waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi bahan cukup

(4)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

lama, pelarut yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks dan lilin (Supriadi, 2002).

2.2.1. Maserasi

Maserasi merupakan metode perendaman sampel dengan pelarut. Umumnya digunakan pelarut organik dengan molekul relatif kecil pada temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman akan terjadi kontak antara bahan dan pelarut yang cukup lama. Waktu yang lama tersebut memberikan waktu untuk distribusi pelarut yang terus menerus ke dalam sel tumbuhan yang mengakibatkan perbedaan tekanan diantara bagian dalam dan luar sel, kemudian terjadi pemecahan dinding dan membran sel sehingga metabolit sekunder yang berada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut (Suyitno et. al., 1989).

Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam bahan dalam pelarut. Pelarut akan menembus dinding sel yang mengandung zat aktif. Pada saat pelarut dan komponen dalam bahan kontak langsung maka terjadilah pelarutan komponen bahan tersebut. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan paling pekat akan didesak keluar. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Larutan yang terpekat akan didesak menuju keluar untuk mencapai kesetimbangan konsentrasi komponen di dalam dan di luar bahan. Proses kesetimbangan akan berhenti ketika konsentrasi komponen dalam dan di luar bahan

(5)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

sama. Pada kondisi tersebut menunjukkan bahwa ekstraksi dinyatakan selesai (Digunawan, 2010). Mekanisme ekstraksi maserasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Keterangan :

1. Pelarut 4. Pelarut

2. Bahan 5. Komponen terlarut dalam pelarut 3. Komponen terlarut

Gambar 2. Mekanisme Ekstraksi Maserasi (Gamse, 2002)

Lama maserasi menentukan jumlah komponen yang dapat diekstraksi dari bahan. Lama maserasi berhubungan dengan banyaknya kontak antara bahan dengan pelarut (Supriadi, 2002). Lama maserasi pada umumnya selama beberapa hari, setelah waktu tersebut keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan luar sel telah tercapai. Waktu yang dibutuhkan dalam proses ekstraksi suatu bahan berbeda-beda untuk mencapai kondisi equilibrium atau kondisi kesetimbangannya, yaitu kondisi dimana konsentrasi komponen dalam bahan sama dengan konsentrasi komponen dalam pelarut sehingga tidak terjadi perpindahan komponen lagi. Menurut Heldman dan Singh (1981) lama ekstraksi yang tidak cukup akan menyebabkan kondisi kesetimbangan tidak tercapai sehingga jumlah komponen yang terekstrak belum maksimum. Hal tersebut terjadi karena semakin lama ekstraksi

(6)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

maka waktu kontak antara pelarut dengan bahan akan semakin banyak (Buchori, 2007).

Suhu juga berperan penting dalam proses maserasi. Suhu ekstraksi mempengaruhi kemampuan berdifusi ke dalam bahan semakin besar sehingga komponen yang akan diekstrak akan semakin banyak terlarut dalam pelarutnya. Semakin tinggi suhu ekstraksi maka difusivitas pelarut akan semakin besar dan viskositas semakin kecil (Buchori, 2007).

Budiyanto dan Yulianingsih (2008) melakukan penelitian tentang pengaruh suhu dan lama ekstraksi terhadap karakteristik pektin dari ampas jeruk siam (Citrus nobilis L). Suhu ekstraksi yang digunakan adalah 65oC, 80oC dan 95oC. lama ekstraksi yang digunakan adalah 40 menit, 60 menit dan 80 menit. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi dan semakin lama ekstraksi maka rendemen pektin dari ampas jeruk siam akan semakin meningkat. Peningkatan suhu ekstraksi menyebabkan peningkatan energi kinetik larutan sehingga difusi pelarut ke dalam sel jaringan semakin meningkat pula. Lama ekstraksi berpengaruh pada proses difusi larutan pengekstrak ke dalam jaringan yang menyebabkan semakin banyak pektin yang terlarut atau lepas dari jaringan tanaman.

Ramadhan dan Phaza (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh suhu terhadap ekstraksi oleoresin jahe (Zingiber officinale Rosch) secara batch. Perlakuan suhu yang digunakan adalah 30oC, 36oC, 40oC dan 45oC. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa rendemen yang dihasilkan akan meningkat apabila terjadi peningkatan suhu ekstraksi. Namun, pada suhu 45oC oleoresin rendemen oleoresin

(7)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

mengalami penurunan karena pada suhu tersebut sebagian gingerol sebagai senyawa utama dalam oleoresin jahe mengalami dekomposisi menjadi shoagol.

Fatimah (2005) melakukan penelitian tentang pengaruh lama ekstraksi terhadap beberapa karakteristik pektin dari kulit pisang tanduk (Musa paradisiacal L) kultivar Horn Plantain dengan perlakuan lama ekstraksi. Lama ekstraksi yang digunakan adalah 70 menit, 80 menit, 90 menit, 100 menit dan 110 menit. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama ekstraksi maka rendemen pektin yang diperoleh mengalami peningkatan.

2.2.2. Pelarut

Menurut Brady (1987), pelarut pada umumnya adalah zat yang berada pada larutan dalam jumlah yang besar sedangkan zat lainnya dianggap sebagai zat terlarut. Jenis bahan sumber dan komponen yang yang akan diekstrak mempengaruhi besar kecilnya hambatan dalam ekstraksi. Pelarut yang baik untuk ekstraksi adalah pelarut yang mempunyai daya melarutkan yang tinggi terhadap zat yang diekstraksi. Daya melarutkan yang tinggi ini berhubungan dengan kepolaran pelarut dan kepolaran senyawa yang diekstraksi. Terdapat kecenderungan kuat bagi senyawa polar larut dalam pelarut polar atau non-polar. Berdasarkan sifat kepolarannya, suatu bahan digolongkan menjadi bahan polar dan non polar. Suatu bahan bersifat polar bercirikan molekulnya mengandung ikatan ganda, gugus karbonil dan atom elektronegatif sedangkan bahan non polar molekulnya biasanya mengandung cincin aromatik, gugus lipofilik atau molekulnya tidak mengandung ikatan ganda, gugus karbonil dan atom elektronegatif (Houghton dan Raman, 1989). Tingkat polaritas pelarut disajikan pada Tabel 1.

(8)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

Tabel 1. Tingkat Polaritas Pelarut Pelarut Indeks

kepolaran Titik didih (ºC)

Viskositas (cPoise) Kelarutan dalam air (%w/w) n-heksan 0,0 69 0,33 0,001 Diklorometana 3,1 41 0,44 1,6 n-butanol 3,9 118 2,98 7,81 Iso-propanol 3,9 82 2,30 100 n-propanol 4,0 92 2,27 100 Kloroform 4,1 61 0,57 0,815 Etil asetat 4,4 77 0,45 8,7 Aseton 5,1 56 0,32 100 Metanol 5,1 65 0,60 100 Etanol 5,2 78 1,20 100 Air 9,0 100 1,00 100

Sumber : Sarker, Latif dan Gray (2006)

Pemilihan pelarut yang tepat untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut akibat kontak langsung dan waktu yang cukup lama dengan sampel (Djarwis, 2004). Pelarut yang dapat dipakai untuk ekstraksi bahan nabati antara lain akuades, etanol, etil asetat, dan heksan. Keempat jenis pelarut ini merupakan pelarut yang aman digunakan pada makanan.

Etanol adalah alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena sifatnya yang tidak beracun. Pelarut ini banyak dipakai dalam dunia farmasi dan industri makanan dan minuman (Utami dan Dewi, 1997). Heksana dapat digunakan untuk mengekstraksi minyak nilam yang dapat digunakan sebagai minyak atsiri. Etil asetat merupakan pelarut semi polar yang banyak digunakan karena bersifat murah dan aman penggunaannya (Kresnawaty et. al., 2008). Akuades merupakan pelarut yang paling sering digunakan karena sifatnya yang aman, mudah didapat dan mempunyai kemampuan tinggi melarutkan zat (Azizah, 2011).

(9)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

Berdasarkan penelitian Wulandari (2011) pelarut akuades dapat mengekstrak sebagian besar senyawa alkaloid dalam akar kawao.

Menurut Perlman (2011), akuades dapat disebut sebagai pelarut universal karena dapat melarutkan banyak komponen dibandingkan pelarut yang lainnya. Menurut Irwanto (2010), akuades dapat digunakan sebagai pelarut karena murah, mudah diperoleh, stabil, tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar dan tidak beracun. Kerugian penggunaan akuades sebagai pelarut adalah tidak selektif, ekstrak dapat ditumbuhi kapang dan kuman sehingga cepat rusak dan bila ingin dikeringkan memerlukan waktu yang lama.

2.3. Antimikroba

Antimikroba adalah senyawa yang digunakan untuk membunuh mikroorganisme, khususnya bakteri yang merugikan (Entjang, 2003). Definisi ini berkembang bahwa antimikroba merupakan senyawa kimia yang dalam konsentrasi kecil mampu menghambat bahkan membunuh suatu mikroorganisme. Komponen yang membunuh bakteri, fungi dan spora masing-masing disebut bakterisidal, fungisidal dan sporosidal, sedangkan komponen yang menghambat aktivitas atau pertumbuhannya masing-masing disebut bakteristatik, fungistatik dan sporostatik atau germisidal (Fardiaz, Suliantari dan Dewanti, 1987).

Mekanisme kerja antimikroba dibagi ke dalam lima kelompok menurut Pelczar dan Chan (1986) dikutip Widarto (1990), yaitu :

1. Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba

Zat antimikroba dapat menghambat atau mengganggu metabolisme sel yang merupakan reaksi biokimia sehingga dapat menyebabkan kematian sel.

(10)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

Mikroba memerlukan asam folat hasil sintesis dari para amino benzoat untuk kelangsungan hidupnya, maka akan terbentuk analog asam folat yang nonfungsional, akibatnya pertumbuhan mikroba akan terganggu.

2. Antimikroba yang menghambat sintesis dinding sel mikroba

Dinding sel terdiri dari peptidoglikan, yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida). Tekanan osmotik yang lebih tinggi di dalam sel mikroba akan menyebabkan kerusakan dinding sel karena terjadi lisis sebagai efek bakterisidal pada bakteri yang peka.

3. Antimikroba yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba

Antimikroba ini menyebabkan kerusakan membran sel mikroba dan menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba seperti protein, asam nukleat, nukleotida dan lain-lain. Kerusakan pada membran ini akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau kematian sel.

4. Antimikroba yang menghambat sintesis protein sel mikroba

Sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein untuk kehidupannya. Sintesis protein berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Ribosom pada bakteri terdiri atas dua subunit sebagai ribosom 30S dan 50S. Komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA 70S agar dapat berfungsi pada sintesis protein. Penghambatan sintesis protein dapat terjadi dengan cara zat antimikroba berikatan dengan salah satu komponen subunit tersebut sehingga menghambat sintesis protein.

(11)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

5. Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba

DNA, RNA dan protein memegang peranan yang sangat penting di dalam proses kehidupan normal sel. Oleh karena itu, gangguan apapun yang terjadi pada pembentukan atau pada fungsi zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan total sel.

Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas antimikroba adalah (1) jenis, jumlah dan umur mikroba, (2) konsentrasi zat antimikroba, (3) suhu dan waktu kontak, (4) sifat fisio kimia substrat seperti pH, kadar air, tegangan permukaan, jenis dan jumlah zat terlarut, koloid dan senyawa-senyawa lainnya (Frazier dan Westhoff, 1997).

2.4. Mikroorganisme Kontaminan

Kerusakan bahan pangan dapat terjadi akibat adanya mikroorganisme kontaminan yang terdapat dalam bahan pangan tersebut. Kontaminasi dapat berasal dari bahan baku, lingkungan atau juga dari pekerja. Kontaminasi silang dapat terjadi bila produk pangan yang diproduksi berhubungan langsung dengan permukaan meja atau alat pengolah makanan selama proses persiapan bahan yang sebelumnya telah terkontaminasi bakteri patogen. Kehadiran mikroorganisme kontaminan dalam bahan pangan dapat mempengaruhi karakteristik bahan pangan tersebut serta dapat menurunkan nilai gizi (nutrisi) dan dapat menghasilkan senyawa beracun yang dapat membahayakan apabila masuk ke dalam tubuh (Supardi dan Sukamto, 1999).

Mikroorganisme yang mengkontaminasi makanan dapat meliputi bakteri, kapang dan khamir. Mikroorganisme kontaminan dapat dikelompokkan berdasarkan

(12)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

aktifitasnya (proteolitik, lipofilik, dsb) ataupun pertumbuhannya (psikrofilik, mesofilik, halofilik, dsb) (BPOM RI, 2008).

2.4.1. Saccharomyces cerevisiae

S. cerevisiae umumnya memiliki bentuk ellips dengan diameter yang besar antara 5-10 mikrometer, dan diameter yang kecil antara 1-3 mikrometer, warnanya putih kekuningan yang dapat dilihat diatas permukaan tumbuh koloni. Organisme ini biasa tumbuh pada lingkungan hangat, lembab, mengandung gula dan aerobik. Suhu optimum pertumbuhannya yaitu 30oC, suhu maksimumnya 35-37oC dan suhu minimumnya 9-11oC (Walker, 1998). S.cerevisiae dapat berkembang biak dengan membelah diri melalui budding cell. Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrisi yang tersedia bagi pertumbuhan sel (Ahmad, 2005).

Khamir ini menghasilkan spora yang tumbuh didalam askus. Umumnya khamir ini ditemukan pada gula, produk olahan gula, pembuatan bir dan roti. S.cerevisiae dapat mengoksidasi gula menjadi karbondioksida dan air dengan bantuan oksigen. S. cerevisiae dapat mengubah sistem metabolismenya dari jalur fermentatif menjadi oksidatif (respirasi). Kedua sistem tersebut menghasilkan energi, meskipun energi yang dihasilkan melalui respirasi lebih tinggi jika dibandingkan dengan melalui fermentasi (Fardiaz, 1992).

Penggunaan S. cerevisiae sebagai khamir telah dimanfaatkan untuk keperluan pembuatan roti, dan fermentasi tape singkong. Selain itu, juga digunakan untuk keperluan berbagai industri dalam proses produksi minuman beralkohol, biomasa, ekstrak untuk keperluan industri kimia, senyawa beraroma dan produksi protein

(13)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

biologi (Watson dan Tooze, 1988). Peranan khamir dalam bidang biologi molekuler adalah sebagai mikroba eukariot uniseluler yang mempunyai kemampuan untuk disisipkan dengan gen mikroba lain (Nikon, 2004).

Keberadaan S.cerevisiae pada nira terjadi secara alami selama proses penyadapan. Keuntungan keberadaan khamir ini dapat membuat cita rasa yang khas terhadap nira. Selain menguntungkan, khamir ini juga dapat merugikan dan menyebabkan kerusakan pada produk nira. Proses kerusakan nira diawali dengan proses invertasi sukrosa, kemudian proses fermentasi dan diakhiri dengan proses oksidasi yang menghasilkan asam asetat. Reaksi yang terjadi yaitu (Dachlan, 1984) seperti di bawah ini :

1. + O +

sukrosa glukosa fruktosa

2. 2 + 2

glukosa/fruktosa etanol

3. 2C H OH + O COOH + O

etanol asam asetat

Peristiwa invertase seperti pada nomor 1 diatas terjadi karena sukrosa terhidrolisis menjadi D-glukosa dan D-fruktosa. Hal ini disebabkan oleh aktivitas enzim β-fruktofuronosidase (β-h-fruktosidase, invertase) yang dihasilkan mikroba (Goutara dan Wijandi, 1985). Jika terjadi fermentasi lebih lanjut maka kadar gula akan menurun, kadar alkohol meningkat kemudian terjadi peningkatan kadar asam sehingga pH cenderung menurun Pada proses fermentasi akan terjadi perubahan komposisi kimia nira terutama kandungan sukrosa menjadi gula reduksi (fruktosa/glukosa). Gambar sel S. cerevisiae disajikan pada Gambar 3.

(14)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

Gambar 3. Saccharomyces cerevisiae (Flegler, 2005)

2.4.2. Leuconostoc mesenteroides

L. mesenteroides berbentuk bulat, termasuk bakteri asam laktat, gram positif, tak berspora, sel tidak motil, serta merupakan bakteri anaerob fakultatif. Bakteri ini dikelompokan katalase negatif, tidak membentuk spora, kemoorganotrof dan suhu optimum untuk pertumbuhannya pada 30oC (Kusmiati dan Malik, 2002). Sel bakteri ini lebih tahan terhadap keadaan fisik seperti panas, dingin atau radiasi dan bahan kimiawi yang tidak cocok sehingga termasuk bakteri osmofilik yang toleran terhadap konsentrasi gula tinggi (Frazier dan Westhoff, 1997).

Reproduksi sel L.mesenteroides dapat dilakukan melalui proses pembelahan biner. Pada pembelahan biner, L. mesenteroides menduplikasi DNA dimana sekat membelah dari dinding luar ke bagian dalam. Pada sekali pembelahan, terbentuk dua sel identik. L.mesenteroides tidak bereproduksi secara aseksual dengan menghasilkan spora. Spora adalah bentuk dari beberapa bakteri saat kondisi stres. Spora dapat berkembang menjadi organisme baru tanpa bergabung dengan organisme lain

(15)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

Pemanfaatan L. mesenteroides antara lain dalam pembuatan berbagai macam produk olaham makanan seperti sauerkraut, gari (khas Afrika), keju, fermentasi susu, fermentasi sayur dll. L. mesenteroides juga memiliki aktifitas bakteriosin. Bakteriosin merupakan senyawa protein yang dieksresikan oleh bakteri yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri lain. Bakteriosin yang dihasilkan oleh L.mesenteroides mudah diterima sebagai bahan tambahan dalam makanan baik oleh ahli kesehatan maupun oleh konsumen karena bakteri ini secara alami berperan dalam proses fermentasi makanan (Kusmiati dan Malik, 2002).

L.mesenteroides dapat menyebabkan infeksi yang ditemukan terjadi pada pasien di rumah sakit sebagai infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial adalah Infeksi yang didapat atau timbul pada waktu pasien dirawat di rumah sakit. Bagi pasien yang dirawat di rumah sakit ini merupakan persoalan serius yang dapat menjadi penyebab langsung atau tidak langsung terhadap kematian pasien. Infeksi ini bisa ditularkan dari pasien ke petugas dan sebaliknya, pasien ke pengunjung dan sebaliknya, serta antar orang yang berada di lingkungan rumah sakit (Bou, 2008).

L. mesenteroides memiliki peran negatif dalam beberapa produk pangan, terutama pada produk nira. Keberadaan L. mesenteroides dalam produk nira dapat menyebabkan penurunan rendemen gula yang dihasilkan. Hal tersebut terjadi karena L. mesenteroides mampu mengurai sukrosa pada nira dekstran. Dekstran adalah polisakarida yang terbentuk dari molekul D-glukosa. Keberadaan dekstran mengakibatkan kerugian besar karena menurunkan efisiensi produksi gula dan kualitas akhir gula (Baktir, Koiriyah dan Rohman, 2005).

(16)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

L. mesenteroides mempunyai kemampuan untuk menguraikan sukrosa menjadi glukosa yang selanjutnya oleh enzim dekstran-sukrase glukosa tersebut dirubah menjadi senyawa polimer glukosa yang disebut dekstran (Wahyuningtyas et. al., 2008). Dekstran yang terbentuk dapat menyebabkan kesulitan dalam pengolahan gula karena dapat menghambat proses pemurnian nira, meningkatkan viskositas nira sehingga dapat menurunkan kemampuan pabrik memproses nira, dan menurunkan laju kristalisasi sukrosa (Baktir et.al., 2005). Gambar sel L. mesenteroides disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Leuconostoc mesenteroides (Todar, 2008)

2.4.3. Eschericia coli

E.coli merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang, mempunyai flagella dan dibedakan atas sifat serologi antigen O (somatik), K (kapsul) dan H (flagella) dengan ukuran panjang 2-6 µm dan lebar 1,1-1,5 µm (Fardiaz, 1989). E.coli termasuk ke dalam group koliform yang dapat memfermentasikan laktosa dengan menghasilkan asam dan gas pada suhu 44oC, bersifat indol positif tidak dapat Sel L. mesenteroides

(17)

[2] [3] [1]

HAK CIPT

A DILINDUNGI UND

ANG

-UND

ANG

T

idak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

T

idak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

aerob atau anaerob fakultatif yang tumbuh dengan suhu pertumbuhan optimum pada suhu 37oC (Juliantina et. al., 2009).

Bakteri E. coli disebut koliform fekal karena bakteri ini merupakan flora normal yang terdapat di dalam saluran usus hewan dan manusia sehingga sering terdapat dalam feses. Menurut Murtiningsih (1997), bakteri koliform terutama E. coli sering digunakan sebagai indikator kebersihan karena habitatnya yang berada dalam saluran pencernaan manusia atau hewan berdarah panas.

Bakteri ini cenderung berada pada tempat-tempat persiapan bahan makanan melalui bahan baku dan selanjutnya masuk ke dalam bahan makanan yang telah diolah melalui kontaminasi tangan yang tidak bersih seperti susu segar, makanan olahan, sayuran segar, daging segar dan buah-buahan (Buckle et. al., 1987). Jika pada suatu bahan pangan diketahui mengandung bakteri E.coli maka bahan pangan tersebut tidak higienes dan berpotensi menimbulkan penyakit bagi yang memakannya (Supardi dan Sukamto, 1999). E.coli dapat menyebabkan berbagai penyakit tergantung dari tempat infeksinya, seperti infeksi saluran kemih dan diare (Juliantina et. al., 2009). Sel E. coli disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Eschericia coli (Todar, 2008) Sel E. coli

Gambar

Gambar 1. Akar Kawao (Milletia sericea) (Dokumentasi Pribadi, 2011)
Gambar 2. Mekanisme Ekstraksi Maserasi (Gamse, 2002)
Tabel 1. Tingkat Polaritas Pelarut
Gambar 3. Saccharomyces cerevisiae (Flegler, 2005)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pemenuhan kebutuhannya, apa yang telah dilakukan oleh para buruh harian lepas tidak memberikan hasil yang maksimum hal ini dapat dilihat dari kebutuhan primer mereka yang

Ada seorang matematikawan yang sedang mengajarkan bangun ruang, namun dia kebingungan dalam membuat program untuk menghitung luas permukaan dan volume dari

Selain itu, pesan yang terdapat pada kumpulan haiku Kaeru to Nare Yo Hiyashi Uri, Issa ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa sesulit apapun tantangan hidup yang

Tujuan utama dari kegiatan eksplorasi geofisika adalah untuk membuat model bawah permukaan bumi dengan mengandalkan data lapangan yang diukur bisa pada permukaan bumi atau di

Menjadi perusahaan Jasa Keuangan Ritel terbaik di Indonesia, melampaui pengaharapan para nasabah, tenaga pemasaran, staf dan pemegang saham dengan memberikan

Dari hal ini investasi mengenai prulink yang terdapat fixed income fund ada banyak keuntungan yang bisa kita nikmati antara lain keuntungan investasi yang lebih tinggi dari pada

PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PT ANEKA TAMBANG Tbk DAN ENTITAS ANAK LAPORAN ARUS KAS INTERIM KONSOLIDASIAN Enam Bulan Yang Berakhir Pada Tanggal-tanggal 30 Juni 2012 (tidak

metode survei tes, yaitu dengan cara tes dari multitahap bentuk penelitian deskriptif kualitatif, Populasi dalam penelitian ini adalah atlet PPLP cabang Olahraga Sepak