• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDUAN MONITORING STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI INDONESIA. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PANDUAN MONITORING STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI INDONESIA. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2020"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Pusat Penelitian Oseanografi

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

2020

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE

PANDUAN MONITORING

(3)
(4)

Tim Penyusun:

I Wayan Eka Dharmawan

Suyarso

Yaya Ihya Ulumuddin

Bayu Prayudha

Pramudji

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE

PANDUAN MONITORING

DI INDONESIA

PT Media Sains Nasional

Ruko Bangbarung Grande No. K-9 Kota Bogor - Indonesia

(5)

Judul Buku:

PANDUAN MONITORING STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI INDONESIA

Penyusun:

I Wayan Eka Dharmawan Suyarso

Yaya Ihya Ulumuddin Bayu Prayudha Pramudji

Penyunting Bahasa:

Selamet W

Aditya Dwi Gumelar

Desain Sampul & Penata Isi:

Makhbub Khoirul Fahmi

Jumlah Halaman:

94 + 16 hal romawi

Edisi/Cetakan:

Cetakan 1, Agustus 2020

Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh

PT Media Sains Nasional

Anggota IKAPI No. 276/JB/2015

Ruko Bangbarung Grande No. K-9 Kota Bogor Telp. 0251-7160668, 7550470

Fax.: 0251-7550470 ISBN: 978-623-94306-0-3

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2020, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit

(6)

KATA PENGANTAR

Mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir terbesar di Indonesia yang menyediakan fungsi dan jasa ekosistem terhadap biota laut-terrestrial, ekosistem lamun-terumbu karang dan masyarakat sekitar. Indonesia memiliki luasan mangrove terbesar di dunia dengan proporsi sebesar 22.6% sehingga mangrove Indonesia memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap penyerapan gas rumah kaca karbon dioksida (CO2). Oleh karena itu, mangrove Indonesia

berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim global.

Luasan hutan mangrove mengalami penurunan yang cukup signifikan dalam dua dekade terakhir di Indonesia. Faktor utama yang menyebabkan degradasi mangrove adanya alih guna lahan dalam kegiatan reklamasi dan pertambakan. Sumatera dan Kalimantan merupakan dua wilayah dengan penurunan luasan mangrove yang paling besar, dibandingkan Papua yang masih tergolong alami. Pengelolaan yang berkelanjutan sangat dibutuhkan untuk mempertahankan dan meningkatkan luasan dan kualitas mangrove saat ini.

Ketersediaan data yang baik dan berkelanjutan merupakan kunci dalam melaksanakan pengelolaan mangrove dengan perencanaan yang baik. Parameter struktur komunitas mangrove merupakan data dasar yang sangat diperlukan untuk melakukan pengelolaan mangrove di suatu wilayah. Namun, rancangan penelitian yang kurang baik akan menyebabkan kekeliruan dalam menginterpretasikan dan membuat kesipulan sehingga berdampak pada kesalahan dalam penyusunan kebijakan.

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, buku Panduan Monitoring Struktur Komunitas Mangrove di Indonesia dapat diselesaikan tepat waktu. Buku ini akan menyediakan pilihan rancangan penelitian yang lebih baik dengan pendekatan awal menggunakan citra satelit. Stratified sampling akan digunakan dalam menentukan ulangan yang lebih representatif dalam keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Penarikan kesimpulan juga didasarkan pada ratio luasan dari setiap strata. Kami berharap, buku panduan ini berkontribusi sebagai salah satu acuan dalam penelitian dan monitoring kondisi komunitas mangrove di Indonesia

Jakarta, 22 Juli 2020 Tim Penyusun

(7)
(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...v

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR GAMBAR ...ix

DAFTAR TABEL ...xv

BAB I KONSEP MONITORING STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE ... 1

1.1 Peran Strategis Komunitas Mangrove dalam Ekosistem ... 1

1.2 Monitoring Komunitas Mangrove ... 4

1.3 Metode Monitoring Kesehatan Komunitas Mangrove ... 5

1.4 Rancangan Penelitian ... 6

DAFTAR PUSTAKA ... 11

BAB II IDENTIFIKASI LOKASI KAJIAN ... 13

2.1 Aplikasi Citra Satelit dalam Monitoring Mangrove ... 13

2.2 Perolehan Data Citra Satelit ... 14

2.3 Pengolahan Citra Satelit ... 16

2.4 Menampilkan daerah kajian ... 17

2.5 Klasifikasi lahan ... 24

2.6 Memisahkan fitur mangrove terhadap fitur-fitur lainnya ... 27

2.7 Klasifikasi mangrove dengan analisis indeks vegetasi ... 28

2.8 Penentuan luasan komunitas mangrove tiap strata ... 33

2.9 Penentuan Plot – Plot untuk Pengambilan Data ... 34

2.10 Hasil Uji Akurasi Kesehatan Komunitas Mangrove ... 34

(9)

BAB III PENGAMBILAN DATA STRUKTUR KOMUNITAS

MANGROVE ... 49

3.1 Identifikasi Parameter Struktur Komunitas Mangrove ... 49

3.2 Metode Pengambilan Data ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 69

BAB IV ANALISIS DATA & INTEPRETASI HASIL ... 71

4.1 Pengolahan Foto Hemisphere ... 71

4.2 Pengolahan Data Struktur Komunitas ... 76

4.3 Penggunaan Template Analisis ... 77

4.4 Intepretasi Hasil ... 88

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peran strategis komunitas mangrove dalam mendukung fungsi dan jasa ekosistem. ... 3 Gambar 2. Ilustrasi penempatan plot stratified random sampling

dan transek garis dalam satu area mangrove ... 8 Gambar 3. Karakteristik spektral mangrove pada sampel jenis

Avicennia marina dan Rhizophora conjugate

(Kuenzer et al. 2011). ... 16 Gambar 4. Kurva respon pantulan tanah dan vegetasi hasil pengukuran di

lapangan (Jensen, 2014). ... 17 Gambar 5. Delineasi mangrove yang ditampilkan menggunakan citra

komposit RGB 563 di Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. .... 21 Gambar 6. Citra rekayasa 1 band hasil dari algoritma (B3-B5)/(B3+B5),

nilai indeks >0 adalah tubuh air. ... 22 Gambar 7. Citra masker yang dipergunakan untuk menghilangkan

fitur air. ... 23 Gambar 8. Citra 7 band (band 1 hingga band 7) hanya memperlihatkan

fitur darat dan mangrove, gambar warna putih adalah bekas laut / kanal-kanal sungai. ... 23 Gambar 9. Perbedaan tegakan mangrove bertekstur lebih kasar dan lebih

gelap dibanding semak (kiri) dan mangrove yang berteksur lebih halus dan berwarna lebih gelap dibanding hutan primer pada komposit citra Landsat 8 RGB 562 (kanan). ... 25 Gambar 10. Penyusunan sampel / ROI (region of interest) untuk

memisahkan fitur mangrove terhadap fitur-fitur lainnya. ... 26 Gambar 11. Hasil klasifikasi terpandu (supervised classification)

menggunakan Maximum Likelihood Classification. ... 26 Gambar 12. Distribusi komunitas mangrove (putih) setelah pengeditan

dan penghapusan fitur non mangrove lainnya dengan

(11)

Gambar 13. Masker lahan mangrove, merupakan Citra Raster single-band yang mempunyai nilai digital 1 (putih=mangrove)

dan 0 (hitam=lahan lainnya dan tubuh air). ... 27 Gambar 14. Vegetasi yang diperoleh menggunakan formula NDVI,

nilai tertinggi ditunjukkan warna merah ... 29 Gambar 15. Vegetasi yang diperoleh menggunakan formula ARVI,

nilai tertinggi ditunjukkan warna merah ... 29 Gambar 16. Vegetasi yang diperoleh menggunakan formula SAVI,

nilai tertinggi ditunjukkan warna merah ... 30 Gambar 17. Vegetasi yang diperoleh menggunakan formula SIPI,

nilai tertinggi ditunjukkan warna merah ... 31 Gambar 18. Vegetasi yang diperoleh menggunakan formula EVI,

nilai tertinggi ditunjukkan warna merah ... 31 Gambar 19. Vegetasi yang diperoleh menggunakan formula GCI,

nilai tertinggi ditunjukkan warna merah ... 32 Gambar 20. Vegetasi yang diperoleh menggunakan formula NBR,

nilai tertinggi ditunjukkan warna merah ... 32 Gambar 21. Vegetasi yang diperoleh menggunakan formula MI,

nilai tertinggi ditunjukkan warna merah ... 33 Gambar 22. Contoh penentuan plot – plot penelitian berdasarkan

hasil stratifikasi yang diperoleh dari analisis citra satelit. ... 34 Gambar 23. Sebaran persentase tutupan kanopi komunitas mangrove

di Indonesia hasil monitoring COREMAP CTI 2015-2020 ... 50 Gambar 24. Contoh foto hemisphere yang diperoleh dengan metode

hemispherical photography sederhana ... 51 Gambar 25. Akar tunjang pada Rhizophora ... 52 Gambar 26. Sistem perakaran Bruguiera (atas) dan Ceriops (bawah)

kombinasi antara akar tunjang kecil dan akar lutut. ... 52 Gambar 27. Akar nafas pada kelompok Avicennia (1),Sonneratia (2),

dan Xylocarpus moluccensis (3)... 53 Gambar 28. Akar papan pada Xylocarpus granatum. ... 54 Gambar 29. Sketsa daun Rhizophora apiculata (kiri), R. mucronata (tengah)

(12)

xi DAFTAR GAMBAR Gambar 30. Bentuk daun Bruguiera (1), Ceriops (2), satu helaian daun

(leaflet) Xylocarpus moluccensis (3) dan X. granatum

(4) ; serta daun majemuk Xylocarpus (5). ... 55 Gambar 31. Sketsa bentuk daun dari kelompok Avicennia yang umum

ditemukan, yaitu: A. marina (kiri), A. alba (tengah),

dan A. lanata (kanan). ... 56 Gambar 32. Sketsa bentuk daun Sonneratia ovata (kiri), S. caseolaris

(tengah) dan S. alba (kanan) ... 56 Gambar 33. Perbedaan propagul dan pembungaan antar jenis

Rhizophora: R. apiculata (a); R. lamarckii (b); R. mucronata (c); R. stylosa (d). Sumber : Yong and Sheue (2014). ... 57 Gambar 34. Perbedaan bentuk propagul pada kelompok Bruguiera.

1) B. hainesii; 2). B. sexangula; 3) B. gymnorrhiza;

4) B. cylindrica; dan B. parviflora. Sumber: Sheue et al. (2005). .. 58 Gambar 35. Dinamika morfologi propagul pada Ceriops tagal (kiri),

C. zippeliana (tengah) dan C. decandra (kanan). ... 58 Gambar 36. Buah dan bunga pada Sonneratia ovata (kiri; Yong and Sheue,

2014), S. alba (tengah) dan S. caseolaris (kanan). ... 59 Gambar 37. Bunga (kiri) dan buah X. moluccensis (kanan atas) serta

X. granatum (kanan bawah). ... 59 Gambar 38. Perbedaan antar beberapa jenis Avicennia dari morfologi buah

dan bunga. Sumber: Yong and Sheue (2014). ... 60 Gambar 39. Ukuran diameter rata-rata tegakan mangrove pada lokasi

penelitian dan monitoring LIPI dalam

COREMAP-CTI 2015-2020. ... 61 Gambar 40. Kerapatan mangrove (tegakan/100 m2) pada lokasi penelitian

dan monitoring LIPI dalam COREMAP-CTI 2015-2020. ... 62 Gambar 41. Species dominan pada lokasi penelitian LIPI, 2015-2020

(di dalam dan diluar lokasi COREMAP-CTI) ... 63 Gambar 42. Penggunaan GPS receiver dalam memasukkan dengan tombol

ENTER (orange) dan melacak dengan tombol FIND dari titik pengambilan data (hijau). ... 64

(13)

Gambar 43. Pembagian plot menjadi 4 – 9 kuadran pengambilan foto yang tergantung dari kerimbunan kanopi komunitas

mangrove. ... 66 Gambar 44. Rentang ketinggian posisi kamera untuk pengambilan foto

hemisphere yang ditunjukkan dengan kotak berwarna merah (kiri); dan potongan melintang dari batang tegakan mangrove yang berwarna merah untuk memperlihatkan posisi

pengambilan foto dalam satu kuadran yang tepat, (kanan) ... 66 Gambar 45. Ketentuan lain dalam pengambilan foto hemisphere ... 67 Gambar 46. Posisi pengukuran lingkar batang pohon mangrove pada

beberapa tipe batang, yang dipengaruhi oleh sistem perakaran dan percabangan (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 201 tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman

Penentuan Kerusakan Mangrove). ... 67 Gambar 47. Salah satu prinsip dan teknik pengambilan data untuk estimasi

tinggi tegakan pohon dalam komunitas dimana

H = H0 + H1 dan H1 = d x tan Ɵ ... 68

Gambar 48. Garis warna saluran Red-Green-Blue (RGB) dan kombinasi RGB 16.7 juta kemungkinan warna yang berbeda.

Sumber: Anonim. 2020 ... 72 Gambar 49. Satu garis warna 8bit yang terdiri dari 256 pilihan warna

dibandingkan dengan 2-5 bit warna. Sumber: Anonim. 2020. .. 72 Gambar 50. Tampilan awal ImageJ ... 72 Gambar 51. Satu foto hemisphere yang dibuka dengan imageJ

[ File >> Open… >> [pilih foto] (kiri); Konversi foto menjadi 8 bit satu saluran warna dengan imageJ [Image >> Type >> 8-bit] (kanan).

(Dharmawan & Pramudji, 2017) ... 73 Gambar 52. Proses threshold pada foto yang belum (kiri) dan sudah (kanan)

disesuaikan dengan variabilitas intensitas cahaya.

[Image >> Adjust >> Threshold]. Insert: kotak kuning dapat diatur dan disesuaikan berdasarkan intepretasi peneliti tentang batasan langit dan kanopi. ... 74

(14)

xiii DAFTAR GAMBAR Gambar 53. Histogram yang menunjukkan foto yang dianalisis memiliki

pixel total 12 juta (Count) yang di dominansi pixel kanopi (255) dengan jumlah 10.845.715 pixel hitam

[Analyze>>Histogram]. Dua atribut dalam kotak kuning

akan digunakan pada tahap selanjutnya. ... 74 Gambar 54. Komposisi pixel langit yang lebih banyak dibandingkan dengan

pixel kanopi yang secara otomatis ditampilkan pada “Mode”. .... 75 Gambar 55. Template yang digunakan dalam analisis struktur komunitas

mangrove. ... 78 Gambar 56. Template kosong (kiri) dan yang sudah terisi (kanan)

pada sheetID” untuk memasukan identitas plot ... 79 Gambar 57. Template kosong (kiri) dan yang sudah terisi (kanan)

pada sheetGBH”. Keterangan: Lingkaran Orange

(1) Sheet GBH, sebagai tempat input data jenis dan lingkar batang; (2) Cell yang digunakan untuk memasukan jumlah plot kuadrat yang dibuat [Default: 3 plot]; (3) Cell untuk

menentukan batasan ukuran Lingkar Batang antara pohon dan sapling [Default terisi 16 cm]; (4) Cell untuk mencatat jenis mangrove, dimana dalam template disediakan 100 baris untuk 10 jenis yang berbeda; (5) Cell yang digunakan untuk

memasukkan data keliling tiap individu dan jenis. ... 80 Gambar 58. Tahapan menambahkan jenis lainnya

(BG: Bruguiera gymnorrhiza) dari kiri ke kanan

pada sheet “GBH” ... 80 Gambar 59. Memasukkan data jumlah semai/seedling dalam sheet “SD” ... 81 Gambar 60. Sheet “C” pada template yang masih kosong (kiri)

dan yang sudah diisi data (kanan). Keterangan: lingkaran orange (1) = masuk ke sheet “C”; (2) = total pixel foto; (3) = tempat input nilai

P255 masing-masing foto dan setiap plot; (4) = persentase

tutupan kanopi tiap foto; (5) Nilai total pixel yang bisa

diubah per foto ... 81 Gambar 61. Tahapan estimasi ketinggian tegakan dalam komunitas

dengan memperhatikan ketinggian mata pengamat (2), jarak pengukuran (3) dan sudut ujung kanopi tegakan (4) ... 82

(15)

Gambar 62. Memasukkan data persentase tutupan sampah dan jumlah tebangan pada sheet “EF” ... 83 Gambar 63. Rangkuman hasil analisis parameter struktur komunitas

mangrove per plot, jenis dan kategori umur tegakan pada sheet “PLOT” (atas) ; dan tanpa kategori jenis pada sheet

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbedaan indikator penerapan Line Transek dan Stratified Random Sampling dalam kegiatan penelitian dan monitoring mangrove. ...7

Tabel 2. Perbandingan kerapatan mangrove dengan metode sampling

transek Garis (LT) dengan Stratified Random Sampling (SRS) ... 9 Tabel 3. Perbandingan dominansi jenis mangrove dengan metode sampling

transek garis (LT) dengan Stratified Random Sampling (SS) ... 10 Tabel 4. Jenis dan jumlah band citra satelit yang umum digunakan

untuk identifikasi mangrove ... 15 Tabel 5. Aplikasi komposit False Color untuk menampilkan vegetasi

mangrove ... 21 Tabel 6. Prinsip formula dan penerapan dalam citra Landsat 8

dan Sentinel 2 setiap indeks vegetasi dalam analisis citra satelit ... 28 Tabel 7. Ringkasan formula persentase tutupan kanopi (C) yang

digunakan pada dua skenario hasil Histogram[Mode] ... 76 Tabel 8. Parameter dan formula yang digunakan secara umum dalam

analisis struktur komunitas mangrove. ... 76 Tabel 9. Simulasi penghitungan rata-rata kerapatan, diameter, tinggi

dan INP dalam strata satu strata ... 84 Tabel 10. Penentuan rata-rata kerapatan seluruh lokasi penelitian yang

dapat digunakan untuk menghitung setiap kelas umur tegakan (pohon, sapling, total pohon+sapling dan seedling) dengan

mempertimbangkan proporsi tiap strata. ... 85 Tabel 11. Penentuan rata-rata diameter (DBH) seluruh lokasi penelitian

dengan mempertimbangkan proporsi tiap strata. Pola yang

sama juga dapat digunakan untuk Tinggi dan Basal Area ... 86 Tabel 12. Penentuan indeks nilai penting (INP) seluruh lokasi penelitian

(17)

Tabel 13. Kategori status degradasi mangrove dalam Kepmen

LH No. 201 tahun 2004. ... 88 Tabel 14. Simulasi intepretasi dengan menggunakan standar dari

Kepmen LH No. 201 tahun 2004. ... 88 Tabel 15. Lima Kategori kondisi struktur tegakan mangrove berdasarkan

CHDNcv ... 89 Tabel 16. Simulasi penilaian kondisi mangrove dengan CHDNcv ... 89

(18)

BAB I

KONSEP MONITORING STRUKTUR

KOMUNITAS MANGROVE

I Wayan Eka Dharmawan Yaya Ihya Ulumuddin

Peran Strategis Komunitas Mangrove dalam Ekosistem

1.1

Mangrove, salah satu kelompok tumbuhan pantai yang tumbuh pada kawasan intertidal, memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kesehatan komponen biotik (biota terrestrial-laut), abiotik (substrat dan perairan) serta sosial ekonomi masyarakat. Produktivitas ekosistem dan keberlangsungan jejaring makanan biota yang ada di dalamnya sangat tergantung pada kesehatan tegakan mangrove sebagai produsen utama (Nagelkernen et al., 2008). Serasah dan bagian biomassa mangrove yang telah mati menjadi sumber bahan organik utama yang mendukung keberlanjutan sistem ekologi pada hutan mangrove (Chen et al., 2019). Sistem ekologi yang lebih baik akan meningkatkan kelimpahan dan keanekaragaman jenis biota yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai habitat, dan tempat berkembang biak (Bosire et al., 2008). Hal ini dapat meningkatkan peran mangrove dalam memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.

(19)

Secara fisik, komunitas mangrove yang sehat dapat meningkatkan kemampuan proteksi wilayah pesisir terhadap ancaman abrasi, badai dan tsunami (Marois & Mitsch, 2015; Del Valle et al., 2020; Xiao et al., 2020). Hal ini mampu mempertahankan bentuk geomorfologi wilayah pesisir dan habitat biota yang hidup di dalamnya. Observasi yang dilakukan Horstman et al. (2014) menemukan bahwa mangrove maksimal mampu menurunkan 79% kekuatan dan 49% tinggi gelombang pada lebar 141 meter. Walaupun, kerapatan dan jenis mangrove dominan memberikan perlindungan yang bervariasi. Mangrove berkontribusi dalam menurunkan dampak banjir rob yang sering banyak terjadi di wilayah pesisir (Menendez et al., 2020). Keberadaan mangrove mampu menurunkan laju intrusi air laut di Jakarta dimana pada wilayah yang memiliki mangrove intrusinya mencapai 0.2 km/tahun, sedangkan pada daerah non-mangrove intrusi air laut mencapai 0.4 km/tahun (Hilmi et al., 2017).

Mangrove, salah satu ekosistem blue carbon, berperan dalam upaya mitigasi perubahan iklim global. Estimasi serapan karbon mangrove global diperkirakan sebesar 174 gr C/m2/tahun dengan kontribusi 14% dari total serapan di kawasan

pesisir (Alongi 2012). Karbon yang diserap akan disimpan dalam bentuk biomassa melalui proses fotosintesis. Mangrove dapat menyimpan biomassa karbon total 934 tonC/ha dimana sekitar tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan hutan tropis daratan (Donato et al., 2011).

Secara ekonomi, mangrove memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap masyarakat sekitar. Penelitian Rizal et al. (2018). Menghasilkan valuasi mangrove di Indonesia berkisar US $3,624.98 - US $26,734.61 per ha per tahun. Malik et al (2015) menemukan total valuasi ekonomi konservasi mangrove lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas pertambakan. Produksi sektor perikanan pesisir sangat dipengaruhi oleh keberadaan ekosistem mangrove (Anneboina & Kumar, 2017). Potensi biota kepiting, ikan dan kerang-kerangan bernilai US$750 to 11 280 per ha per tahun (Ronnback, 1999).

Fungsi dan jasa yang diberikan oleh ekosistem mangrove optimal jika komunitas mangrove terjaga dengan baik. Namun, dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan alih guna lahan dan aktivitas pengembangan kawasan pesisir lainnya yang menurunkan luasan hutan mangrove di Indonesia (Ilman et al., 2017). Saat ini, Indonesia memiliki 22.6% dari keseluruhan mangrove global dimana yang merupakan terluas di dunia (Giri et al., 2011). Deforestasi mangrove juga dianggap sebagai penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Romanach et

(20)

3 BAB I KONSEP MONITORING STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE al. (2018) menyebutkan bahwa peningkatan populasi manusia menjadi ancaman serius bagi mangrove di masa depan dimana aktivitasnya dapat memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kelestarian ekosistem.

Secara mikro, aktivitas penebangan pohon mangrove yang terus menerus dapat mengubah sistem ekologi mangrove dan mengganggu keseimbangan jejaring makanan. Granek & Rutterberg (2008) menemukan bahwa penebangan mangrove yang masif menyebabkan perubahan pada proses biotik dan abiotik yang dapat berpengaruh juga pada ekosistem di sekitarnya. Habitat yang ditebang akan menjadi lebih terbuka yang menyebabkan peningkatan suhu substrat akibat dari peningkatan intensitas sinar matahari. Carugati et al (2018) menunjukkan bahwa mangrove yang terganggu akan menurunkan kelimpahan dan diversitas dari biota yang disebabkan oleh perubahan komponen abiotik sehingga dapat mengganggu keseimbangan jejaring makanan dalam ekosistem.

Peran strategis komunitas mangrove dalam

Gambar 1.

mendukung fungsi dan jasa ekosistem.

Oleh karena itu, komunitas tumbuhan mangrove merupakan bagian terpenting dari kesehatan ekosistem. Hilangnya mangrove akan mengganggu sistem ekologi mangrove yang terdiri dari komponen biotik/biota dan abiotik/

(21)

substrat. Ekosistem mangrove yang rusak dan luasannya yang berkurang akan memberikan fungsi dan jasa ekosistem yang lebih rendah dibandingan dengan mangrove yang sehat (Gambar 1). Nelayan akan lebih sulit menemukan kepiting, udang dan sumber pangan alternatif lainnya pada ekosistem mangrove yang telah rusak. Degradasi mangrove sebesar 191.000 ha di Myanmar menyebabkan kehilangan nilai ekonomi sebesar US$2,397 per tahun (Estoque et al., 2018). Alih guna lahan akan menyebabkan penurunan cadangan karbon secara signifikan baik pada substrat maupun biomass, dimana akan membutuhkan 15-40 tahun untuk mengembalikan kehilangan tersebut (Sasmito et al., 2019).

Monitoring Komunitas Mangrove

1.2

Monitoring struktur komunitas mangrove bertujuan untuk menyediakan informasi bagi pengelola kawasan secara berkala untuk penyusunan kebijakan-kebijakan dan strategi pengelolaan yang dibutuhkan dalam kegiatan pengelolaan berkelanjutan dalam upaya mempertahankan atau meningkatkan fungsi dan jasa ekosistem mangrove. Sebagai contoh, mangrove yang memiliki tingkat ancaman yang sangat tinggi terhadap penebangan dan kondisi yang semakin rusak, maka pengelola kawasan perlu melakukan sebuah program edukasi dan penyadaran masyarakat tentang fungsi dan jasa ekosistem mangrove terhadap masyarakat. Selain itu, strategi pengawasan juga bisa diterapkan sistem kolaborasi dengan partisipasi masyarakat serta jika dibutuhkan pengelola melaksanakan kegiatan rehabilitasi pada kawasan mangrove yang sudah ditebang dengan berbagai macam pemangku kepentingan. Contoh lainnya, pada kawasan mangrove yang masih baik, bersih dan estetika yang baik, dapat digunakan sebagai laboratorium alami dan dikontribusikan untuk sarana pendidikan dan penelitian, atau bahkan ekowisata. Kondisi mangrove yang dinamis akan membutuhkan kebijakan pengelolaan yang adaptif.

Monitoring struktur komunitas mangrove umumnya dilakukan pada satuan plot permanen dan atau luasan area tertentu (Dharmawan & Pramudji, 2017). Plot permanen yang dibuat merupakan satuan luas pengambilan data pada satu lokasi tertentu untuk memudahkan pengambilan data pada waktu berikutnya sehingga dapat dibandingkan dari waktu ke waktu. Penggunaan plot permanen ini dapat mendeteksi perubahan parameter struktur komunitas mangrove yang terjadi di dalam plot tersebut. Selanjutnya, luasan mangrove dapat dimonitor dari analisis spasial dengan menggunakan citra satelit untuk mengetahui perubahan tutupan lahan dan dinamika zonasi mangrove akibat tekanan tertentu. Penggunaan

(22)

5 BAB I KONSEP MONITORING STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE

teknologi spasial dapat dilakukan untuk mendeteksi dinamika yang berlangsung dalam kurun waktu yang lebih lama, atau terjadinya kebijakan alih guna lahan yang cukup masif.

Metode Monitoring Kesehatan Komunitas Mangrove

1.3

Penjelasan sebelumnya memberikan gambaran jelas bahwa kesehatan komunitas mangrove berpengaruh signifikan terhadap kesehatan ekosistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, parameter struktur komunitas mangrove dapat digunakan sebagai indikator dasar dalam penentuan kesehatan ekosistem dalam kegiatan penelitian ataupun monitoring. Sistem monitoring yang digunakan juga harus sederhana sehingga mudah digunakan oleh pengguna yang bukan peneliti atau akademisi mangrove saja, walaupun masih bersifat ilmiah.

Pendekatan monitoring struktur komunitas mangrove dapat dilakukan dengan analisis penginderaan jauh, analisis vegetasi (konservatif), dan gabungan dari dua analisis tersebut. Pada citra satelit resolusi tinggi, analisis penginderaan jauh dapat menggambarkan variasi species, biomassa dan cadangan karbon (Pham et al., 2011). Kajian ini memiliki keterbatasan sumberdaya untuk dilakukan di Indonesia, sehingga citra resolusi lebih rendah (Landsat dan Sentinel) dan gratis merupakan pilihan yang paling sering digunakan. Namun, resolusi yang rendah tidak dapat memberikan gambaran struktur komunitas mangrove, sehingga diperlukan kombinasi antara analisis citra satelit dengan analisis vegetasi. Analisis penginderaan jauh pada citra resolusi rendah (Landsat 8 OLI) dapat digunakan untuk mengidentifikasi area mangrove dan non-mangrove (Gupta et al., 2018), serta mengklasifikasikan mangrove menjadi beberapa kelas (Valderrama-Landeros, 2018). Analisis pengideraaan jauh tersebut sangat dibutuhkan dalam monitoring kesehatan mangrove untuk menggambarkan luasan dan variasi struktur komunitas yang sesuai dengan kondisi sebenarnya.

Monitoring mangrove dengan pendekatan analisis vegetasi dilakukan dengan pengukuran langsung terhadap struktur komunitas tegakan pada berbagai level (pohon dewasa/tree, remaja/sapling dan semai/seedling) dengan menampilkan parameter utama, seperti kerapatan, dominansi dan frekuensi jenis; serta indeks nilai penting (INP) dari jenis yang ditemukan. Kerapatan digunakan untuk menggambarkan jumlah/distribusi seluruh tegakan atau per jenis dalam area tertentu, sedangkan dominansi dapat mengidentifikasi jenis mangrove yang dominan dalam komunitas dengan estimasi luasan basal tegakan. Pengukuran dilakukan pada area sampling (plot) dengan luasan tertentu yang umumnya berbentuk persegi.

(23)

Dalam pelaksanaan monitoring kesehatan komunitas mangrove COREMAP CTI 2014-2020, parameter persentase tutupan kanopi dimasukan sebagai salah satu parameter utama. Pengambilan data dilakukan dengan metode Hemispherical Photography dengan menganalisis foto hemisphere yang diambil dengan perangkat kamera sederhana (Dharmawan & Pramudji, 2017). Aplikasi metode ini cukup mudah dan memiliki bukti dari setiap foto yang dianalisis.

Rancangan Penelitian

1.4

Transek garis merupakan salah satu metode yang paling umum digunakan dalam menentukan penempatan plot /tempat pengambilan sampel pada pendekatan analisis struktur komunitas mangrove. Transek garis termasuk dalam systematic sampling method, dimana penempatan plot sampling memiliki jarak yang teratur antar plot dari laut ke darat. Metode ini sangat baik digunakan untuk menganalisis perubahan/dinamika struktur komunitas mangrove yang lebih detail di sepanjang garis transek. Namun, beberapa kelemahan yang ditemukan dengan metode ini, yaitu: membutuhkan tenaga, waktu dan biaya yang lebih banyak untuk mendapatkan hasil yang cukup representatif; kesulitan dalam menempatkan garis transek dalam suatu kawasan yang luas (panjang dan lebar); beberapa area atau variasi dalam komunitas tidak terjangkau.

Pada kawasan hutan yang luas dan heterogen, pendekatan stratified sampling lebih cocok digunakan. Pendekatan stratified sampling membedakan populasi data yang heterogen menjadi sub-populasi yang biasa disebut strata, dimana setiap strata diestimasikan homogen (Jayaraman, 1999). Strata pada ekosistem mangrove disebabkan oleh perbedaan dominansi jenis komunitas dari laut ke darat, yang umumnya dikenal dengan istilah zonasi. Salinitas perairan dan tipe substrat sangat menentukan sebaran jenis mangrove terkait dengan variabilitas kemampuan adaptasi setiap jenis. Identifikasi zonasi mangrove dapat dilakukan dengan menggunakan analisis citra satelit.

Sistematik dan stratified random sampling memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam pengambilan data struktur komunitas mangrove. Monitoring mangrove umumnya memiliki keterbatasan sumber daya, baik waktu, dan tenaga serta anggaran. Dengan demikian, pada kawasan hutan mangrove yang luas, dengan rentang geografi yang lebar, maka stratified random sapling lebih cocok digunakan untuk memperoleh representasi yang lebih baik dalam keterbatasan sumber daya. Misalnya, hutan mangrove Segara Anakan, Sembilang, Bintuni dan tipe estuarine lainnya. Sistematik sampling juga bisa digunakan pada wilayah

(24)

7 BAB I KONSEP MONITORING STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE

tersebut, namun akan membutuhkan sumber daya yang lebih banyak. Sistematik sampling sangat baik digunakan pada cakupan area penelitian yang lebih kecil, seperti pulau-pulau kecil. Walaupun demikian, stratified random sampling juga dapat digunakan pada kawasan pulau-pulau kecil, dengan mengetahui batasan yang jelas antar strata sebelum melakukan penelitian.

Perbedaan

Tabel 1. indikator penerapan Line Transek dan Stratified Random Sampling

dalam kegiatan penelitian dan monitoring mangrove.

Indikator Systematic SamplingLine Transect (LT), Stratified Random Sampling (SRS)

Tujuan Penggunaan Struktur komunitas mangrove dari pantai ke darat

Struktur komunitas pada setiap strata hutan Klasifikasi awal Kurang dibutuhkan Sangat dibutuhkan Data luasan total mangrove Sangat dibutuhkan Sangat dibutuhkan Ratio luasan per strata Kurang dibutuhkan Sangat dibutuhkan Pengukuran pada kawasan

mangrove yang luas dan lebar Bisa (waktu, tenaga dan biaya lebih banyak) Bisa disesuaikan dengan sumber daya yang ada Representasi terhadap lokasi

penelitian Tergantung banyaknya garis yang dibuat Tergantung banyaknya plot per strata Ulangan data berupa Plot di sepanjang garis

transek Plot dalam strata Jika sumber daya minimal

(waktu, tenaga dan biaya) Kurang sesuai diterapkan Bisa disesuaikan Penarikan kesimpulan Rata-rata nilai dari

seluruh plot Tiga Tahap :1. Rata-rata per strata Dikali ratio luasan per 2.

strata

Dibagi total ratio luasan 3.

(25)

Contoh Kasus 1. Penarikan kesimpulan pada parameter kerapatan dengan menggunakan Transek Garis dan Stratified Random Sampling

Ilustrasi penempatan plot

Gambar 2. stratified random sampling dan transek

garis dalam satu area mangrove.

Keterangan : Kotak Putih adalah plot kuadrat yang dibuat dengan metode stratified random sampling sedangkan Kotak merah adalah plot kuadrat yang berpatokan pada transek garis dengan jarak yang konsisten antar plot dalam setiap garis transek.

Diketahui:

1) Kerapatan sebenarnya (K) tiap zona, yaitu K1 = 100 ind/ha;

K2 = 300 ind/ha; K3 = 500 ind/ha; K4 = 700 ind/ha; K5 = 900 ind/

ha; K6 = 1100 ind/ha.

2) Ratio Luas (A) tiap zona, yaitu A1 : A2 : A3 : A4 : A5 : A6 = 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : 6 (Luas Total=21)

Dari data diatas, kerapatan rata-rata sebenarnya dari lokasi penelitian dapat dihitung dari “kerapatan tiap zona” dikalikan “ratio luasan per zona”, dan kemudian dibagi dengan “total ratio luasan zona”, yaitu: [(100x1) + (300x2) + (500x3) + (700x4) + (900x5) + (1100x6)] / 21 = 16.200/21 = 767 ind/ha. Hasil tersebut sama dengan hasil analisis dengan menggunakan metode stratified sampling. Namun ditemukan perbedaan dengan menggunakan metode transek garis, yaitu 780 tegakan/ha (Tabel 2). Sehingga penarikan kesimpulan dengan menggunakan stratified random sampling lebih akurat dibandingkan dengan transek garis.

(26)

9 BAB I KONSEP MONITORING STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE

Perbandingan kerapatan mangrove dengan metode

Tabel 2. sampling transek

Garis (LT) dengan Stratified Random Sampling (SRS)

Zona ke-i Ratio Ai Ki (ind/ha) Jumlah Plot yang dibuat pada zona ke-i Kerapatan (ind./ha) LT SRS LT Kxi = ∑KiLTi SRS Kmi = ∑Ki/SRSi Kci = Kmi x Ai 1 1 100 1 3 Kx1 = 100 Km1 = (3x100)/3 = 100 Kc1 = 100 x A1 = 100 2 2 300 3 3 Kx2 = 900 Km2 = (3x300)/3 = 300 Kc2 = 300 x A2 = 600 3 3 500 0 3 Kx3 = 0 Km3 = (3x500)/3 = 500 Kc3 = 500 x A3 = 1.500 4 4 700 5 3 Kx4 = 3.500 Km4 = (3x700)/3 = 700 Kc4 = 700 x A4 = 2.800 5 5 900 5 3 Kx5 = 4.500 Km5 = (3x900)/3 = 900 Kc5 = 900 x A5 = 4.500 6 6 1100 6 3 Kx6 = 6.600 Km6 = (3x1.100)/3 = 1.100 Kc6 = 1.100 x A6 = 6.600 Total 21 767 20 18 (∑Kx1-6)/LTtotal = 15.600/20 = 780 (dibulatkan) (∑Kc1-6)/Atotal (100+600+1500+ 2800+4500+6600)/21 = 16.100/21 = 767 (dibulatkan) Keterangan:

LT = Transek Garis/Systematic sampling, Line Transect SRS = Stratified random sampling

Ki = nilai kerapatan hasil pengukuran

Kxi = kerapatan total pada zona ke –i

LTi = jumlah plot pada metode transek garis, berada pada zona ke –i

SRSi = jumlah plot pada metode stratified random sampling pada zona ke –i

Kmi = rata-rata kerapatan pada zona ke-i

(27)

Contoh Kasus 2. Penarikan kesimpulan jenis mangrove yang dominan menggunakan Transek Garis (LT) dan Stratified Random Sampling (SS) berdasarkan

Gambar 2

Diketahui:

1) Jenis yang dominan tiap zona (Di), yaitu D1 = XG (Xylocarpus

granatum) ; D2 = BG (Brugueira gymnorrhiza); D3 = CT (Ceriops

tagal); D4 = RA (Rhizophora apiculata); D5 = SA (Sonneratia alba);

D6 = AM (Avicennia marina).

2) Ratio Luas (A) tiap zona, yaitu A1 : A2 : A3 : A4 : A5 : A6 = 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : 6 (Luas Total=21)

Perbandingan dominansi jenis mangrove dengan metode

Tabel 3. sampling

transek garis (LT) dengan Stratified Random Sampling (SS)

Zona Ratio A i Di Jumlah Plot (ni) Dominansi Jenis ke-i (Dxi) LT SS Dmi = ni/nLT total Dxi = ni/ntotal x100% SRS Dxi = [Dmi] x Ai x 100% Atotal 1 1 XG (1/21) = 4.8% 1 3 XG = 1/20x100= 5% XG = [3/3] x A1 x 100 21 = 4.8% 2 2 BG (2/21) = 9.5% 3 3 BG = 3/20x100%= 15% BG = (3/3) x A2 x 100 21 = 9.5% 3 3 CT (3/21) = 14.3% 0 3 CT = 0/20x100= 0% CT = (3/3) x A3 x 100 21 = 14.3% 4 4 RA (4/21) = 19.0% 5 3 RA = 5/20x100= 25% RA = (3/3) x A4 x 100 21 = 19.0% 5 5 SA (5/21) = 23.8% 5 3 SA = 5/20x100= 25% SA = (3/3) x A5 x 100 21 = 23.8% 6 6 AM (6/21) = 28.6% 6 3 CT = 6/20x100= 30% AM = (3/3) x A2 x 100 21 = 28.6% Total 21 21/21 = 100% 20 18 100% 100% Keterangan:

(28)

11 BAB I KONSEP MONITORING STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE

Ilustrasi 1 dan 2 menunjukkan adanya konsistensi yang sangat baik pada penggunaan metode Stratified Random Sampling. Oleh karena itu, metode ini akan sangat direkomendasikan untuk digunakan dalam pelaksanaan penelitian dan monitoring struktur komunitas yang dikombinasikan dengan klasifikasi awal dengan analisis citra satelit. Intepretasi hasil dan penarikan kesimpulan juga berdasarkan ratio luasan antar strata sehingga diharapkan dapat menggambarkan struktur komunitas mangrove yang lebih akurat dalam keterbatasan sumber daya yang dimiliki.

DAFTAR PUSTAKA

Alongi, D.M., 2012. Carbon sequestration in mangrove forests. Carbon management, 3(3), pp.313-322.

Anneboina, L.R. and Kumar, K.K., 2017. Economic analysis of mangrove and marine fishery linkages in India. Ecosystem Services, 24, pp.114-123.

Chen, J., Chen, G., Gu, Y., Zhu, H. and Ye, Y., 2020. Fate of leaf litter in restored Kandelia obovata (SL) mangrove forests with different ages in Jiulong River Estuary, China. Restoration Ecology, 28(2), pp.369-377.

Carugati, L., Gatto, B., Rastelli, E., Martire, M.L., Coral, C., Greco, S. and Danovaro, R., 2018. Impact of mangrove forests degradation on biodiversity and ecosystem functioning. Scientific reports, 8(1), pp.1-11.

Del Valle, A., Eriksson, M., Ishizawa, O.A. and Miranda, J.J., 2020. Mangroves protect coastal economic activity from hurricanes. Proceedings of the National Academy of Sciences, 117(1), pp.265-270.

Donato, D.C., Kauffman, J.B., Murdiyarso, D., Kurnianto, S., Stidham, M. and Kanninen, M., 2011. Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. Nature geoscience, 4(5), pp.293-297.

Estoque, R.C., Myint, S.W., Wang, C., Ishtiaque, A., Aung, T.T., Emerton, L., Ooba, M., Hijioka, Y., Mon, M.S., Wang, Z. and Fan, C., 2018. Assessing environmental impacts and change in Myanmar’s mangrove ecosystem service value due to deforestation (2000–2014). Global change biology, 24(11), pp.5391-5410.

Giri, C., Ochieng, E., Tieszen, L.L., Zhu, Z., Singh, A., Loveland, T., Masek, J. and Duke, N., 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. Global Ecology and Biogeography, 20(1), pp.154-159. Granek, E. and Ruttenberg, B.I., 2008. Changes in biotic and abiotic processes

following mangrove clearing. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 80(4), pp.555-562.

(29)

Gupta, K., Mukhopadhyay, A., Giri, S., Chanda, A., Majumdar, S.D., Samanta, S., Mitra, D., Samal, R.N., Pattnaik, A.K. and Hazra, S., 2018. An index for discrimination of mangroves from non-mangroves using LANDSAT 8 OLI imagery. MethodsX, 5, pp.1129-1139.

Hilmi, E., Kusmana, C., Suhendang, E. and Iskandar, I., 2017. Correlation Analysis Between Seawater Intrusion and Mangrove Greenbelt. Indonesian Journal of Forestry Research, 4(2), pp.151-168.

Ilman, M., Dargusch, P. and Dart, P., 2016. A historical analysis of the drivers of loss and degradation of Indonesia’s mangroves. Land use policy, 54, pp.448-459. Jayaraman, K. 1999. A Statistical Manual for Forestry Research. FAO. Bangkok, pp234. Malik, A., Fensholt, R. and Mertz, O., 2015. Economic valuation of mangroves

for comparison with commercial aquaculture in South Sulawesi, Indonesia. Forests, 6(9), pp.3028-3044.

Marois, D.E. and Mitsch, W.J., 2015. Coastal protection from tsunamis and cyclones provided by mangrove wetlands–a review. International Journal of Biodiversity Science, Ecosystem Services & Management, 11(1), pp.71-83.

Menéndez, P., Losada, I.J., Torres-Ortega, S., Narayan, S. and Beck, M.W., 2020. The global flood protection benefits of mangroves. Scientific Reports, 10(1), pp.1-11. Pham, T.D., Yokoya, N., Bui, D.T., Yoshino, K. and Friess, D.A., 2019. Remote

sensing approaches for monitoring mangrove species, structure, and biomass: Opportunities and challenges. Remote Sensing, 11(3), p.230.

Rizal, A., Sahidin, A. and Herawati, H., 2018. Economic value estimation of mangrove ecosystems in Indonesia. Biodiversity International Journal, 2(1), pp. 98-100. Romañach, S.S., DeAngelis, D.L., Koh, H.L., Li, Y., Teh, S.Y., Barizan, R.S.R. and

Zhai, L., 2018. Conservation and restoration of mangroves: Global status, perspectives, and prognosis. Ocean & Coastal Management, 154, pp.72-82. Rönnbäck, P., 1999. The ecological basis for economic value of seafood production

supported by mangrove ecosystems. Ecological economics, 29(2), pp.235-252. Sasmito, S.D., Taillardat, P., Clendenning, J.N., Cameron, C., Friess, D.A., Murdiyarso, D. and Hutley, L.B., 2019. Effect of land‐use and land‐cover change on mangrove blue carbon: A systematic review. Global Change Biology, 25(12), pp.4291-4302. Valderrama-Landeros, L., Flores-de-Santiago, F., Kovacs, J.M. and Flores-Verdugo, F., 2018. An assessment of commonly employed satellite-based remote sensors for mapping mangrove species in Mexico using an NDVI-based classification scheme. Environmental monitoring and assessment, 190(1), p.23. Xiao, H., Su, F., Fu, D., Wang, Q. and Huang, C., 2020. Coastal mangrove response

to marine erosion: Evaluating the impacts of spatial distribution and vegetation growth in Bangkok Bay from 1987 to 2017. Remote Sensing, 12(2), p.220.

(30)

1

2

3

4

4

5

6

7

8

9

BAB II

IDENTIFIKASI LOKASI KAJIAN

Suyarso Bayu Prayudha

Aplikasi Citra Satelit dalam Monitoring Mangrove

2.1

Salah satu informasi penting yang dibutuhkan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah status dan kondisinya. Informasi tersebut dapat disajikan secara keruangan atau spasial, sehingga dapat memberikan gambaran yang holistik dari ekosistem. Gambaran tersebut akan memudahkan para pengambil kebijakan/ keputusan dalam melakukan aktivitas pengelolaan wilayah. Informasi spasial mengenai sebaran dan kondisi mangrove dapat dihasilkan melalui teknologi penginderaan jauh. Penginderaan jauh memungkinkan kajian pada wilayah luas serta sulit di jangkau (Lillesand et al 2004; Vaipasha et al. 2006; Liu et al. 2008), sehingga sangat cocok digunakan pada wilayah Indonesia yang sebagian besar masih cukup sulit diakses.

Mangrove cukup mudah dibedakan dari vegetasi lainnya karena memiliki respon pantulan yang spesifik di spektrum NIR (Near Infra-Red) dan SWIR (Short Wave Infra-Red) (Purwanto & Asriningrum, 2019; Purwanto, 2014). Beberapa citra satelit yang umum digunakan dan relatif mudah didapat saat ini seperti SPOT-6, Landsat-8 OLI dan Sentinel-2A memiliki saluran spektrum

(31)

tersebut yang dibutuhkan untuk mendeteksi mangrove. Secara rinci, spesifikasi saluran spektrum yang dimiliki kedua satelit tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Meskipun demikian, citra satelit Landsat-8 OLI dan Sentinel-2A akan digunakan sebagai contoh penerapan dalam pemetaan mangrove karena mudah diperoleh dan sudah umum digunakan dalam.

Perolehan Data Citra Satelit

2.2

Data citra satelit sudah cukup mudah untuk dapat diakses oleh masyarakat pada umumnya. Beberapa data citra satelit bersifat komersil dan sebagian lainnya dapat diakses secara gratis. Data citra satelit dengan resolusi spasial yang tinggi seperti IKONOS (1 meter), WorldView (0,5 meter), dan SPOT-6 (2 meter) merupakan contoh data citra satelit komersil. Meskipun demikian, Indonesia memiliki kebijakan tersendiri mengenai penyediaan data citra satelit beresolusi tinggi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Dalam peraturan tersebut, penggunaan citra satelit resolusi tinggi (< 4 meter) oleh pemerintah hanya dapat diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai tugas penyelenggaraan penginderaan jauh, yaitu LAPAN.

Perolehan data citra satelit beresolusi menengah seperti Landsat 7 ETM+, Landsat 8 OLI, dan Sentinel-2 relatif cukup mudah karena dapat diakses secara gratis melalui internet. Data satelit Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 OLI dapat diakses melalui http://earthexplorer.usgs.gov/ atau http://glovis.usgs.gov/ atau https://landsatlook.usgs.gov . Sementara itu, data satelit Sentinel-2 dapat diunduh melalui link berikut: https://sentinel.esa.int/web/sentinel/sentinel-data-access dan https:// earthexplorer.usgs.gov/.

(32)

15 BAB iI IDENTIFIKASI LOKASI KAJIAN

Jenis dan jumlah band citra satelit yang umum digunakan untuk

Tabel 4.

identifikasi mangrove

Citra

Spesifikasi Saluran Spektrum

Keterangan Jenis Saluran Gelombang (µm)Panjang Resolusi (m)

Landsat

8-OLI Band 1 CoastalBand 2 Blue Band 3 Green Band 4 Red Band 5 NIR Band 6 SWIR 1 Band 7 SWIR 2 Band 8 Pan Band 9 Cirrus Band 10 TIRS 1 Band 11 TIRS 2 0.43 - 0.45 0.45 - 0.51 0.53 - 0.59 0.63 - 0.67 0.85 - 0.88 1.57 - 1.65 2.11 - 2.29 0.50 - 0.68 1.36 - 1.38 10.6 - 11.19 11.5 - 12.51 30 30 30 30 30 30 30 15 30 30 (100) 30 (100) Kedalaman bit = 12-bit Sapuan scene (FOV) = 185 km *) across track Interval perekaman = 16 hari Sentinel 2 Band 1 Coastal

Band 2 Blue Band 3 Green Band 4 Red Band 5 Red Edge Band 6 Red Edge Band 7 Red Edge Band 8 NIR Band 8A Red Edge Band 9 Water Vapour Band 10 SWIR - Cirrus Band 11 SWIR Band 12 SWIR 0.443 0.490 0.560 0.665 0.705 0.740 0.783 0.842 0.865 0.945 1.375 1.610 2.190 60 10 10 10 20 20 20 10 20 60 60 20 20 Kedalaman bit = 12-bit Sapuan scene (FOV) = 25 km *) across track Interval perekaman = 5 hari *) dua satelit identik

(33)

Pengolahan Citra Satelit

2.3

Citra satelit yang telah diunduh kemudian diolah dalam perangkat lunak penginderaan jauh seperti ENVI, ERMAPPER, GRASS, SAGA, ERDAS, IDRISI, serta software pengolahan citra lainnya yang sudah cukup banyak berkembang. Saat ini, fitur pengolahan data citra satelit tidak hanya dimiliki oleh software pengolah citra saja, tetapi sudah tersedia juga pada perangkat lunak sistem informasi geografi (SIG), yaitu ArcGIS dan QGIS.

Penggunaan citra satelit untuk mendeteksi ekosistem mangrove didasarkan pada tiga karakteristik utama, yaitu vegetasi yang memiliki struktur daun serta zat hijau daun (klorofil), substrat tumbuh dan adanya genangan air laut (Kuenzer et al. 2011). Oleh karena itu, pengolahan data citra akan berhubungan dengan saluran-saluran citra yang memiliki kemampuan pembedaan objek-objek tersebut.

Kandungan klorofil, struktur sel daun, kanopi, dan kandungan air pada vegetasi mangrove dapat dibedakan melalui saluran panjang gelombang Red, NIR hingga SWIR (Gambar 3). Panjang gelombang ini pada citra satelit Landsat 8 OLI berada pada band 4 (Red), band 5 (NIR), band 6 (SWIR1), dan band 7 (SWIR2).

Karakteristik spektral mangrove pada sampel jenis

Gambar 3. Avicennia marina

dan Rhizophora conjugate (Kuenzer et al. 2011).

Substrat mangrove dapat dibedakan dengan objek vegetasi karena memiliki perbedaan yang mencolok pada spektrum Red dan NIR. Pada spektrum Red, respon pantulan substrat lebih tinggi daripada vegetasi dan sebaliknya pada NIR

(34)

17 BAB iI IDENTIFIKASI LOKASI KAJIAN

respon pantulannya lebih kecil daripada vegetasi (Gambar 4). Substrat mangrove juga dipengaruhi oleh adanya genangan air, karena berada pada zona pasang surut air laut. Daerah dengan lahan basah tersebut sangat mudah diidentifikasi dengan memanfaatkan spektrum NIR dan SWIR karena sifatnya yang diserap oleh air (Du et al. 2016; Rokni et al. 2014; Sun et al. 2012). Semakin besar serapan energi elektromagnetiknya, maka semakin besar kandungan airnya.

Kurva respon pantulan tanah dan vegetasi hasil pengukuran

Gambar 4.

di lapangan (Jensen, 2014).

Menampilkan daerah kajian

2.4

Menampilkan Data Citra Satelit

2.4.1

Data citra satelit dapat ditampilkan pada perangkat lunak yang mendukung format data penginderaan jauh. Beberapa perangkat lunak yang telah disebutkan pada sub-bab sebelumnya sudah mendukung hampir seluruh format data citra penginderaan jauh yang digunakan pada umumnya. Beberapa format data citra penginderaan jauh dapat menyimpan data digital citra dari masing-masing band dalam satu file, dan sebaliknya beberapa format lainnya menyimpan data digital citra tiap band pada masing-masing file terpisah. Secara umum format

(35)

penyimpanan data citra penginderaan jauh terdiri dari 3 jenis, yaitu BIP (Band Interleaved by Pixel), BIL (Band Interleaved by Line), dan BSQ (Band Sequential). Format BIP dan BIL merupakan jenis format yang dapat menyimpan data citra beberapa band dalam satu file. Contoh format data yang mendukung adalah *.TIFF, *.IMG, dan *.DAT (ENVI). Jenis format BSQ merupakan format penyimpanan data citra dengan metode penyimpanan data beberapa band pada masing-masing file terpisah, salah satu contoh format data yang mendukung metode ini adalah *.MTL. Meskipun demikian, pada umumnya format data citra penginderaan jauh minimal memiliki dua file yang terdiri dari file digital citra itu sendiri dan file yang berisi informasi mengenai parameter-parameter yang dibutuhkan untuk menampilkan data citra tersebut. File kedua tersebut biasa disebut header. Tanpa file header, data citra penginderaan jauh tidak dapat ditampilkan. Contoh file header citra yang umum digunakan adalah *.hdr dan *.xml.

Langkah-langkah menampilkan data citra adalah sebagai berikut:

Data citra penginderaan jauh dapat ditampilkan dengan mengakses atau 1.

membuka data yang berisi file citra. Ketika data citra dibuka atau diakses, secara otomatis perangkat lunak akan membaca file header yang menyertainya. File

2. header citra dapat juga dibuka atau diakses untuk melihat parameter-parameter dari data citra tersebut.

Pra-pemrosesan Citra

2.4.2

Tahap ini merupakan langkah awal sebelum data citra dapat digunakan untuk analisis. Pada tahap ini, dilakukan koreksi citra baik untuk memperbaiki kualitas visual atau radiometrik citra maupun memperbaiki kualitas geometri citra. Walaupun sebagian besar penyedia data citra sudah memberikan pilihan data citra dengan beberapa tingkat data yang terkoreksi, tetapi kesalahan pada citra masih kerap ditemukan. Hal tersebut dikarenakan penyedia data pada umumnya hanya mengkoreksi citra berdasarkan kesalahan atau distorsi perekaman yang sudah diprediksi sebelumnya, sehingga formula untuk memperbaiki distorsi tersebut sudah tersedia. Kesalahan perekaman citra yang sifatnya non-sistematik atau yang tidak dapat diprediksi besarannya, seperti perubahan kondisi atmosfer serta pergerakan satelit (gerakan anggukan, gelengan, dan berguling) tidak dapat diproses oleh penyedia data. Oleh karena itu, koreksi sangat diperlukan oleh pengguna citra. Pada tahap ini, proses koreksi terdiri dari dua jenis, yaitu koreksi radiometri dan koreksi geometri.

(36)

19 BAB iI IDENTIFIKASI LOKASI KAJIAN

Koreksi radiometri

a.

Koreksi radiometri dilakukan untuk memperbaiki kualitas visual citra akibat dari gangguan atmosfir, iluminasi cahaya, serta gangguan pada respon alat (Lillesand et al. 2004). Perbaikan kualitas citra tersebut secara umum dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu penyesuaian histogram dan regresi linear. Pada panduan ini digunakan model penyesuaian histogram yang sudah umum digunakan yaitu metode DOS (Dark Object Substraction) (Chavez 1988).

Pada metode DOS ini, diasumsikan bahwa objek tergelap pada liputan citra seharusnya bernilai nol. Tetapi karena adanya gangguan radiometrik, seperti hamburan atmosfir maka objek yang seharusnya gelap tidak terlihat benar-benar gelap pada data citra, sehingga nilai digital yang terekam pada piksel citranya tidak sama dengan nol. Oleh karena itu dilakukan penyesuaian histogram dengan menggunakan referensi objek yang seharusnya memiliki nilai digital nol, misalnya laut dalam dan objek bayangan. Langkah koreksinya adalah sebagai berikut:

Menyiapkan dan menampilkan data citra pada perangkat lunak •

tertentu.

Mengumpulkan informasi nilai minimum dan maksimum piksel •

melalui histogram atau statistik citra.

Melakukan koreksi DOS dengan berdasarkan pada nilai minimum •

yang tercatat.

Simpan data hasil koreksi tersebut dengan nama

file yang mudah

dikenali.

Koreksi Geometri

b.

Citra penginderaan jauh dihasilkan dari perekaman permukaan bumi pada ketinggian tertentu serta menggunakan wahana angkasa yang selalu bergerak. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran geometri pada perekaman citra akibat pergerakan dan perbedaan tinggi tersebut. Efek pergerakan tersebut dapat menyebabkan pergeseran relief dan bayangan serta ketidaksejajaran perekaman sensor. Lebih jauh, kelengkungan bumi juga berkontribusi pada hasil perekaman citra. Gangguan-gangguan tersebut menyebabkan hasil perekaman pada liputan citra mengalami distorsi geometri, sehingga terjadi pergeseran lokasi yang tidak sesuai dengan lokasi

(37)

yang sebenarnya di permukaan bumi. Oleh karena itu, dibutuhkan koreksi untuk memperbaiki distorsi posisi tersebut dengan melakukan rektifikasi citra melalui penyesuaian posisi pada liputan citra dengan lokasi sesungguhnya di lapangan.

Lokasi yang dijadikan dasar untuk koreksi geometri tersebut dapat diambil dari data koordinat posisi objek tertentu yang tetap serta mudah dikenali dicitra atau dapat juga diambil dari data koordinat objek pada peta atau citra referensi. Koordinat objek yang digunakan sebagai dasar koreksi disebut dengan titik ikat/GCPs (Ground Control Points). Contoh objek yang permanen dan relatif mudah dikenali pada citra yaitu jembatan, perempatan jalan, bangunan besar, dermaga dan objek permanen lainnya. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

Panggil dan buka data peta rujukan menggunakan perangkat lunak •

pengolahan citra. Contoh peta rujukan yaitu peta RBI (Rupa Bumi Indonesia), peta topografi, maupun peta rujukan online seperti OSM, ESRI, atau BingMap.

Panggil dan tampilkan citra yang sudah terkoreksi radiometri •

sebelumnya.

Cek kesesuaian geometri antara citra yang akan dikoreksi dengan •

peta rujukan.

Jika data citra yang digunakan sudah sesuai geometrinya dengan •

peta rujukan, maka citra tersebut dapat langsung digunakan untuk tahapan pemrosesan berikutnya.

Jika citra masih mengalami pergeseran geometri dari peta rujukan, •

maka perlu dilakukan koreksi geometri. Tahapan koreksi geometri adalah sebagai berikut:

Tentukan paling sedikit 6 titik ikat (GCP) pada peta rujukan dan •

citra yang akan dikoreksi. Cek nilai RMSE (

Root Mean Square Error) pada titik ikat yang dikumpulkan. Pada umumnya nilai rujukan RMSE yang baik adalah kurang dari 0,5.

Jika nilai RMSE lebih besar dari nilai rujukan, maka perlu •

(38)

21 BAB iI IDENTIFIKASI LOKASI KAJIAN

Setelah nilai RMSE sudah sesuai dengan nilai rujukan, maka dapat •

dilakukan koreksi geometri secara otomatis.

Menampilkan mangrove menggunakan komposit

2.4.3

false

color

.

Aktivitas ini dilakukan untuk mempermudah identifikasi area mangrove dan non-mangrove dengan melihat perbedaan warna yang ditampilkan. Hal ini diakukan dengan mengatur band/pita pada komposisi warna Red-Green-Blue (RGB). Band X yang memiliki spesifikasi X ditempatkan pada tampilan RED. Sedangnya Band Y yang memiliki spesifikasi Y ditampilkan pada GREEN. Sementara itu, pada kolom BLUE dimasukkan citra Band Z yang memiliki spesifikasi Z. Setiap citra satelit memiliki jumlah dan karakteristik band yang berbeda sehingga komposisi band untuk menampilkan komposit false color (Tabel 5). Tampilan false color pada mangrove di contohkan pada kawasan hutan mangrove Segara Anakan, Cilacap dengan menggunakan Citra Satelit Landsat 8 (Gambar 5).

Aplikasi komposit False Color untuk menampilkan vegetasi mangrove

Tabel 5.

Citra Komposit False Color

Landsat RGB 5 6 4, RGB 5 7 4

Sentinel RGB 8A 11 4, RGB 8A 12 2

Delineasi mangrove yang ditampilkan menggunakan citra

Gambar 5.

(39)

Vegetasi komunitas mangrove akan terlihat berwarna lebih merah dari hasil tampilan false color (Gambar 5). Hal ini disebabkan karakteristik mangrove yang dapat memantulkan spektrum cahaya infra merah-hijau, dan menyerap spektrum warna biru-merah. Karakter tersebut memudahkan identifikasinya dengan menggunakan komposit false color (penggunaan spektrum infra merah) dibanding penggunaan komposit true color (penggunaan spektrum cahaya nyata / Red, Green, Blue). Pada gambar di atas, sebenarnya banyak vegetasi darat berada di ketinggian 5 m di atas permukaan laut seperti terlihat di Pulau Nusakambangan (bukan mangrove) akan menampakkan spektrum yang sama dengan mangrove. Untuk menghindari kekeliruan, perlu pengetahuan ekologi mangrove, dukungan peta topografi dan terutama uji lapangan.

Menghilangkan fitur air / laut

2.4.4

Tujuan dari aktivitas ini adalah untuk menyederhanakan fitur-fitur yang ada sehingga mempermudah dalam analisa berikutnya. Hal ini dapat mengurangi misintepretasi yang disebabkan oleh faktor internal dalam fitur air, antara lain: kekeruhan dan visual objek non mangrove lainnya di dalam air. Penghilangan fitur air dapat meningkatkan akurasi dalam pengolahan citra satelit tahap berikutnya. Dalam menghilangkan fitur air, digunakan citra rekayasa menggunakan algoritma: NDWI (Normalize Difference Water Index), diusulkan oleh McFeeters (1998) dengan rumus sebagai berikut: (B3-B5)/(B3+B5) atau (Gren-NIR)/(Green+NIR) pada citra Landsat, dan (B3-B8A)/(B3+B8A) atau (Green-NIR edge)/(Green+NIR edge) pada citra Sentinel 2. Hasil dari penggunaan algoritma tersebut adalah citra 1 band (Gambar 6).

Citra rekayasa 1 band hasil dari algoritma

Gambar 6.

(40)

23 BAB iI IDENTIFIKASI LOKASI KAJIAN

Bila diperhatikan pada gambar di atas, nilai reflektan fitur air mempunyai nilai lebih besar 0 sementara fitur-fitur lainnya berada pada kisaran kurang dari 0. Oleh sebab itu dalam menghilangkan fiitur air dipergunakan pernyataan: (B1 LT 0) * 1, artinya bahwa nilai yang lebih kecil dari 0 akan membentuk piksel-piksel berwarna putih yang akan dipergunakan sebagai masker (Gambar 7).

Citra masker yang dipergunakan untuk

Gambar 7.

menghilangkan fitur air.

Membangun citra tanpa fitur air

2.4.5

Aktivitas ini dilakukan dengan menggunakan fasilitas masking dengan menggunakan masukan data dari Citra Satelit 7 band (1 – 7) Landsat 8 dan Citra Masker yang menghasilkan tampilan citra baru (Gambar 8).

Citra 7 band (band 1 hingga band 7)

Gambar 8.

hanya memperlihatkan fitur darat dan mangrove, gambar warna putih adalah bekas laut / kanal-kanal sungai.

(41)

Klasifikasi lahan

2.5

Tahapan ini dilakukan untuk memisahkan vegetasi mangrove terhadap tutupan lahan / vegetasi lainnya. Proses pemisahan tersebut dilakukan dengan

teknik klasifikasi. Identifikasi lahan tutupan mangrove atau non-mangrove dapat dilakukan dengan intepretasi dari data primer dan interpretasi dari visual citra. Intepretasi pada data primer merupakan pengklasifikasian tipe lahan pada suatu area/region yang sudah terkonfirmasi setelah dilakukan kunjungan ke lokasi secara langsung. Sementara itu, intepretasi pada citra satelit dilakukan pada lokasi yang belum pernah dikunjungi (Gambar 9). Intepretasi citra satelit dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal, antara lain: (Sutanto, 1998 dan Danoedoro, 2012),

Warna dan rona

: mangrove merupakan vegetasi yang khas, diduga adanya jumlah kandungan klorofil yang berbeda dibanding vegetasi lainnya. Penggunaan citra komposit infra merah akan membantu dalam memisahkan antara vegetasi mangrove dan non mangrove (Arhatin dan Wahyuningrum 2013). Demikian pula bila menggunakan citra komposit sinar nyata (merah, hijau dan biru), mangrove akan memperlihatkan warna yang lebih hijau dibanding mangrove asosiasinya. Demikian pula asosiasinya dengan air, warna biru akan terserap oleh air sehingga vegetasi di lingkungan mangrove akan lebih gelap dibanding hutan primer di sekitarnya.

Tekstur:

adalah perubahan rona (tone) dalam suatu kelompok objek. Ekosistem mangrove dapat dikenal melalui teksturnya. Sebagai contoh, tekstur mangrove asosiasi akan lebih halus dibandingkan mangrove sejati, demikian pula tekstur undergrowth (mungkin menyerupai semak di lingkungan mangrove) akan lebih halus dibanding mangrove asosiasi. Demikian pula bila dibandingkan terhadap hutan primer, vegetasi mangrove akan menampakkan tekstur lebih halus karena bentuk daun yang relatif seragam, sedangkan tekstur hutan primer relatif lebih kasar karena bentuk daunnya yang beragam.

Pola:

adalah rangkaian bentuk, merupakan ciri yang menandai pada berbagai objek baik oleh aktivitas manusia maupun alam. Pada ekosistem mangrove, yang mudah dikenal di antaranya adalah pola aliran (tidal creek) yakni kanal-kanal yang terbentuk oleh aktivitas pasang-surut.

(42)

25 BAB iI IDENTIFIKASI LOKASI KAJIAN

Walaupun menggunakan citra Landsat pan-sharpening beresolusi spasial 15m, kanal-kanal mangrove selebar 5-7m masih terlihat jelas dalam citra.

Asosiasi:

di lingkungan mangrove sering berasosiasi dengan tambak. Walaupun prakteknya pada kondisi tertentu sangat sulit membedakan antara tambak dan sawah yang baru ditanam, sehingga perlu mengunduh citra secara multi temporal untuk mengetahui kondisi sawah pada musim lainnya. Ke arah laut, biasanya tambak berada di zona bagian tengah pada suatu area mangrove, sementara sawah berada di zona belakang.

Perbedaan tegakan mangrove bertekstur lebih kasar dan lebih gelap

Gambar 9.

dibanding semak (kiri) dan mangrove yang berteksur lebih halus dan berwarna lebih gelap dibanding hutan primer pada komposit citra Landsat 8 RGB 562

(kanan).

Tahapan berikutnya adalah dengan membuat Region of Interest (ROI) untuk masing – masing tipe lahan (Gambar 10). ROI yang dibuat di Segara Anakan Cilacap diklasifikasikan menjadi empat kelas/strata yaitu: 1) hutan primer, 2) persawahan (2 jenis: sawah berair dan sawah yang sudah mendekati panen), 3) permukiman dan 4) mangrove sejak awal sudah diketahui karakteristiknya. Klasifikasi dapat dilakukan secara terbimbing (supervised) dengan menggunakan teknik Maximum Likelihood Classification (Gambar 11).

Namun demikian masih terlihat persebaran vegetasi mangrove di luar lingkungan mangrove sehingga dibutuhkan tahap klasifikasi lanjutan untuk memisahkan dan membuang fitur non mangrove. Hal ini dapat dilakukan dengan menggabungkan lahan yang mirip lahan mangrove dengan lingkungan sekitarnya atau dihapus menggunakan perangkat pengolah citra atau menggunakan perangkat pengedit data vector (Gambar 12).

(43)

Penyusunan sampel / ROI (

Gambar 10. region of interest) untuk

memisahkan fitur mangrove terhadap fitur-fitur lainnya.

Hasil klasifikasi terpandu (

Gambar 11. supervised classification)

(44)

27 BAB iI IDENTIFIKASI LOKASI KAJIAN

Distribusi komunitas mangrove (putih)

Gambar 12.

setelah pengeditan dan penghapusan fitur non mangrove lainnya dengan latar belakang citra komposit RGB 572.

Memisahkan fitur mangrove terhadap fitur-fitur lainnya

2.6

Setelah terpisahnya fitur mangrove terhadap lainnya, selanjutnya menyusun masker mangrove. Masker mangrove dibentuk berdasar data spasial berformat vektor dari poligon mangrove. Sebagai data masker adalah poligon mangrove yang telah dirasterkan (Gambar 13)

Masker lahan mangrove, merupakan Citra Raster

Gambar 13.

single-band yang mempunyai nilai digital 1 (putih=mangrove) dan 0 (hitam=lahan lainnya dan tubuh air).

(45)

Klasifikasi mangrove dengan analisis indeks vegetasi

2.7

Penerapan indeks vegetasi merupakan teknik analisis citra satelit yang dilakukan untuk tujuan tertentu, misalnya untuk memonitor tingkat degradasi, adanya kerusakan karena penyakit dan bahkan kerusakan akibat pencemaran. Terdapat 7 indeks vegetasi sangat populer diterapkan dalam riset mangrove (Tabel 6).

Prinsip formula dan penerapan dalam citra Landsat 8 dan Sentinel 2

Tabel 6.

setiap indeks vegetasi dalam analisis citra satelit

Indeks Vegetasi Prinsip Formula Contoh Penerapan Citra Landsat 8 Sentinel 2 Normalize Difference

Vegetation Index (NDVI) (NIR-Red)/ (NIR+Red) (b5–b4)/(b5+b4) (b8A-b4)/(B8A+b4) Atmospherically Resistant

Vegetation Index (ARVI) [NIR-(2*Red)+Blue)] /[NIR+(2*Red)+Blue] (b5-(2*b4)+b2)/(b5+(2*b4)+b2) (bbA-(2*b4)+b2)/(b8A+(2*b4)+b2) Soil Adjusted Vegetation

Index (SAVI) (NIR+Red+L)]*(1+L)[(NIR–Red)/ (b5+b4+1))*(1+1)((b5-b4)/ (b8A+b4+1))*(1+1)((b8A-b4)/ Structure Insensitive

Pigment Index (SIPI) /(NIR – Red).(NIR – Blue) (b5-b2)/(b5-b4) (b8A-b2)/(b8A-b4) Enhanced Vegetation

Index (EVI) [(NIR)+(C1*Red) 2.5*((NIR-Red) / -(C2*Blue)+L)] 2.5*((b5-b4)/ (b5+(6*b4)-(7.5*b2)+1)) 2.5*((b8A-b4)/ (b8A+(6*b4)-(7.5*b2)+1)) Green Chlorophyli Index

(GCI) (NIR)/(Green)-1 ((b5/b4)-1) ((bA/b4)-1)

Normalized Burn Ratio

(NBR) (NIR-SWIR 2) /(NIR+SWIR 2) (b5-b7)/(b5+b7) (b8A-b12)/(b8A+b12)

IM (NIR-SWIR) /

(NIR*SWIR) (b5-b6)/(b5*b6) (b8A-b11)/(b8A*b11)

Normalize Difference Vegetation Index

2.7.1

(

NDVI

)

Indeks ini dikenal sebagai indeks ‘kehijauan’ vegetasi atau aktivitas fotosintesis vegetasi, dan salah satu indeks vegetasi yang paling sering digunakan dalam pemetaan mangrove (Rouse Jr. et al., 1974). Beberapa penelitian menggambarkan tingkat kerapatan mangrove menggunakan transformasi NDVI (Rumada et al., 2015; Purwanto et al., 2014; Arhatin & Wahyuningrum, 2013). Indeks vegetasi NDVI didasarkan pada pengamatan bahwa permukaan yang berbeda-beda merefleksikan berbagai jenis gelombang cahaya yang berbeda-beda. Komunitas mangrove yang lebih hijau akan menyerap sebagian besar gelombang merah dan biru sinar matahari dan mencerminkan / memantulkan gelombang infra merah

(46)

29 BAB iI IDENTIFIKASI LOKASI KAJIAN

dekat lebih tinggi. Kisaran nilai NDVI adalah antara 0 dan 1. Kelemahan NDVI adalah sensitifitas yang cukup tinggi terhadap efek kecerahan tanah, warna tanah, atmosfer, awan dan bayangan awan, serta bayangan kanopi daun sehingga penerapannya dalam analisis citra satelit membutuhkan kalibrasi.

Vegetasi yang diperoleh menggunakan formula

Gambar 14.

NDVI, nilai tertinggi ditunjukkan warna merah

Atmospherically Resistant Vegetation Index

2.7.2

(ARVI)

Formula ARVI diusulkan oleh Kaufman & Tanre (1992) untuk indeks vegetasi dengan mempertimbangkan karakteristik atmosfer yang sangat mempengaruhi secara signifikan hasil analisis.

Vegetasi yang diperoleh menggunakan formula

Gambar 15.

(47)

Soil Adjusted Vegetation Index

2.7.3

(SAVI)

Indek ini diusulkan oleh Huete (1988) untuk meminimalisir faktor substrat yang dapat mempengaruhi pembedaan objek vegetasi. Persamaan ini dimodifikasi dari NDVI dengan mempertimbangkan karakteristik kenampakan tanah pada citra yang disebabkan oleh warna, kelembaban dan variabilitas tanah.

Vegetasi yang diperoleh menggunakan formula SAVI,

Gambar 16.

nilai tertinggi ditunjukkan warna merah

Structure Insensitive Pigment Index

2.7.4

(SIPI)

Cara analisis indeks kesehatan vegetasi yang didasarkan atas variable struktur kanopi (tajuk). Formula SIPI diusulkan oleh Haboudane et al. (2002), dengan pertimbangan bahwa perbandingan karotenoid terhadap klorofil menunjukkan suatu vegetasi yang kurang sehat, dengan kata lain nilai SIPI yang tinggi mengindikasikan meningkatnya karotenoid dan berkurangnya krorofil sehingga merupakan indikator vegerasi yang tidak sehat.

(48)

31 BAB iI IDENTIFIKASI LOKASI KAJIAN

Vegetasi yang diperoleh menggunakan formula SIPI,

Gambar 17.

nilai tertinggi ditunjukkan warna merah

Enhanced Vegetation Index (EVI)

2.7.5

Formula tersebut diperkenalkan oleh Huete et al. (2002) guna mengkoreksi NDVI oleh pengaruh atmosfer dan latar belakang soil / tanah, khususnya pada kanopi pohon yang padat. Nilai EVI berkisar antara -1 hingga 1.

Vegetasi yang diperoleh menggunakan formula EVI, nilai tertinggi

Gambar 18.

Gambar

Tabel 1.  indikator penerapan Line Transek dan Stratified Random Sampling  dalam kegiatan penelitian dan monitoring mangrove.
Ilustrasi penempatan plot
Tabel 2.  sampling  transek
Gambar 3.  Avicennia marina
+7

Referensi

Dokumen terkait