1
“Gereja dan Diakonia: Studi Kasus tentang
Perubahan Bentuk Pelayanan
Kesehatan Gratis di Jemaat GKI Salatiga.”
Oleh,
Clara Latupeirissa
712011007
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
Salatiga
6
Motto :
Takut Akan Tuhan Adalah Permulaan Pengetahuan
(Amsal 1:7a)
Allah memberi hikmat, pengetahuan dan kebahagiaan
kepada orang yang menyenangkan hati-Nya
Sebab Segala Sesuatu dari Dia dan oleh Dia dan kepada Dia;
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya
(Roma 11:36)
Ada yang pertama untuk segala sesuatu, perjalanan panjang dimulai dengan
satu langkah kecil. Kalau sudah merasa melakukan 10 langkah gandakanlah
itu menjadi 100 langkah dan seterusnya sampai tiba waktunya untuk berhenti
berjuang karena waktu telah habis di dunia. Kami membantu mengarahkan dan
memenuhi kebutuhanmu tetapi tujuan hidup dan apa yang akan kamu berikan
bagi Tuhanmu, keluarga dan masyarakat adalah keputusanmu. Sesukses
apapun nanti tetap ingat bahwa segalanya dimulai dengan 1 langkah kecil, hal
itu akan mengingatkanmu tentang perjuangan dan proses.
7
KATA PENGANTAR
Terima kasih Tuhan Yesus, untuk semua rencana dan karya-Mu dalam hidupku, yang telah membentuk dan menempahku menjadi manusia yang dapat mengerti kehendak-Mu yang sesungguhnya. Terima kasih Tuhan untuk kesehatan, kekuatan, kemampuan dan hikmat yang Kau beri dalam hidupku, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini. Dalam terang syukur inilah, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus untuk semua pihak yang dipakai Allah untuk membantu dan menopang penulis dalam proses studi, khususnya dalam penulisan tugas akhir ini, lewat dukungan doa, maupun material.
Ucapan terima kasih yang setulusnya penulis sampaikan buat papa-mama (Kel.Latupeirissa-da Costa) yang telah berusaha dengan segala daya dan upaya memberi dukungan doa, motivasi juga nasehat serta membiayai penulis dalam studi.
Ucapan terima kasih yang diiringi rasa hormat penulis sampaikan kepada Pdt. Prof. John. Titaley, Th.D dan Pdt. Dr. Retnowati, M.Si yang dengan bijaksana telah membimbing penulis dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini hingga selesai, terima kasih atas waktu dan
sumbangan pikirannya. Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada :
Pimpinan Fakultas Teologi UKSW, Staf dosen dan pegawai tata usaha.
Kakak adik yang tersayang Charles, Netty, Christy, Iren dan Lola. yang selalu memotivasi dan mendoakan penulis.
Untuk yang terkasih Yulla, yang dengan sabar memotivasi penyelesaian skripsi.
Terimakasih untuk Nuke, Ryan, Nirwa, Chica, Ina, Vanda, Isno, Daud,
Sonya, K’Moe, K’Buce, K’Ika serta teman-teman Asrama Kartini,
Teman-teman seangkatan “11” dan kos Monsa Atas dukungan doa dan motivasi.
terima kasih yang tulus, kiranya TUHAN YESUS KRISTUS yang empunya berkat akan memberkati segala usaha, jerih dan juang kita semua.
Salatiga, 10 Agustus 2016
8
DAFTAR ISI
1 PENDAHULUAN ... 10
1.1 Latar Belakang Masalah ... 10
1.2 Rumusan Masalah ... 13
1.3 Tujuan Penelitian ... 14
1.4 Batasan Masalah ... 14
1.5 Manfaat Penelitian ... 14
1.6 Metode Penelitian ... 14
1.7 Sistematika Penulisan ... 15
2 TEORI ... 16
2.1 Teori Diakonia ... 16
3 DATA LAPANGAN ... 21
3.1 Profil GKI Salatiga ... 21
3.2 Diakonia di GKI Salatiga ... 22
3.3 Pelayanan Kesehatan Gratis GKI Salatiga ... 23
4 ANALISA ... 27
5 PENUTUP ... 31
5.1 Kesimpulan ... 31
5.2 Saran ... 32
9 Abstrak
Clara Latupeirissa
712011007
Gereja dan Diakonia : Studi Kasus tentang Perubahan Bentuk Pelayanan Kesehatan Gratis
di Jemaat GKI Salatiga
Permasalahan kesehatan dewasa ini menjadi hal yang kompleks terjadi di seluruh kalangan masyarakat. Apalagi alasan utama permasalahan kesehatan adalah terkendala biaya yang terlalu mahal dan sulit dicapai oleh masyarakat yang miskin. Dengan kenyataan inilah GKI Salatiga peduli akan keterpanggilannya sebagai gereja yang menghadirkan damai sejahtera di tengah-tengah masyarakat yang plural sesuai dengan moto GKI Salatiga. Salah satunya dengan melakukan diakonia. GKI Salatiga membuat program pelayanan kesehatan
gratis bagi semua anggota masyarakat (jemaat dan non-jemaat) untuk menjawab permasalahan kesehatan yang terjadi khususnya di wilayah Salatiga. Program ini terbentuk atas kerjasama komisi usia lanjut dengan komisi The Khoen Bik. Pusat pelayanan kesehatan di gedung sekretariat lembaga konsultasi dan bantuan hukum WCTUI (Woman Christian Temperance Union of Indonesia) di Jl. Dr Muwardi 51, Salatiga. Setelah beberapa waktu,
gedung sekretariat ini kemudian pindah ke Jl. Senjoyo di Tingkir maka pelayanan kesehatan dipindahkan ke aula 1 GKI Salatiga. Kegitana ini sempat diberhentikan beberapa waktu kemudian dibuka kembali. Namun cakupan sasaran pelayanan kesehatan gratis di GKI Salatiga diubah hanya untuk jemaat saja dengan membayar dengan setengah harga dari pemeriksaan di RS atau di klinik-klinik kesehatan. Alasannya karena komisi kekurangan dana untuk pengadaan obat-obatan dan alat kesehatan. Dengan kata lain, GKI Salatiga mempersempit sasaran pelayanan dan pelayanan kesehatan tidak diberlakukan secara gratis lagi.
10
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kehadiran Gereja di tengah-tengah masyarakat membuat Gereja tidak bisa lepas atas keprihatinan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Untuk menyikapi hal tersebut maka Gereja lewat tri tugas panggilan Gereja yakni Koinonia (persekutuan), Diakonia (pelayanan) dan Marturia (kesaksian) berkontribusi bagi masyarakat. Sejak semula misi pekabaran Injil berorientasi pada permasalahan kesehatan dan pendidikan.1 Kesehatan menjadi salah satu hal yang penting dalam kehidupan seseorang. Indonesia sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, masalah kesehatan menjadi permasalahan yang sangat kompleks.2 Permasalahan kesehatan bisa saja terjadi karena pola hidup yang tidak
sehat, faktor ekonomi yang membuat sebagian masyarakat tidak dapat menjangkau biaya pengobatan yang kian mahal. Melihat hal ini, banyak Gereja yang kemudian peduli terhadap permasalahan kesehatan. Ditandai dengan munculnya gerakan sosial di Gereja-Gereja yang menyuarakan tentang kesehatan bahkan dilakukan dalam tindakan yang sangat konkrit dengan melakukan pelayanan kesehatan untuk menjawab kebutuhan jemaat khususnya yang tidak dapat menikmati pelayanan kesehatan di rumah sakit karena terkendala biaya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi permasalahan kesehatan di Indonesia:3
1. Faktor lingkungan
a.Kurangnya peran serta masyarakat dalam mengatasi kesehatan (masalah-masalah kesehatan).
b. Kurangnya sebagian besar rasa tanggung jawab masyarakat dalam bidang kesehatan. 2. Faktor perilaku dan Gaya Hidup masyarakat Indonesia
a.Masih banyak insiden atau kebiasaan masyarakat yang selalu merugikan dan membahayakankesehatan mereka.
b. Adat istiadat yang kurang atau bahkan tidak menunjang kesehatan. 3. Faktor sosial ekonomi
a. Tingkat pendidikan masyarakat di Indonesia sebagian besar masih rendah.
b. Kurangnya kesadaran dalam pemeliharaan kesehatan. Budaya sadar sehat belum merata kesebagian penduduk Indonesia.
c. Tingkat sosial ekonomi dalam hal ini penghasilan juga masih rendah dan memprihatinkan.
1
Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004),259.
2
Budiman Chandra, Pengantar Kesehatan Lingkungan (Jakarta, Buku Kedokteran EGC,2005),13.
3
11 4. Faktor pelayanan kesehatan
a. Cakupan pelayanan kesehatan belum menyeluruh dimana ada sebagian propinsi di indonsia
yang belum mendapat pelayanan kesehatan maksimal dan belum merata. b. Upaya pelayanan kesehatan sebagian masih beriorientasi pada upaya kuratif. c. Sarana dan prasarana belum dapat menunjang pelayanan kesehatan.
Gereja secara khusus melihat permasalahan kesehatan pada faktor ketiga dan keempat yakni faktor sosial ekonomi dan pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Untuk itulah Gereja mulai melakukan pelayanan diakonia dalam bentuk pelayanan kesehatan dengan tujuan agar masyarakat secara khusus jemaat dapat merasakan pelayanan kesehatan terutama bagi mereka yang tidak mampu. Sejarah Gereja mencatat bahwa para zending yang masuk di Indonesia pun melihat permasalahan kesehatan menjadi persoalan utama sesuai dengan kenyataan yang ditemui. Pelayanan kesehatan merupakan sebuah akta pengabdian Gereja bagi keberadaan jemaatnya. Gereja dengan misinya yang kuat untuk kesejahteraan pribadi akan memiliki suatu pengaruh penting atas pelaksanaan kesehatan dalam komunitasnya.4 Salah satu faktor terbesar permasalahan kesehatan adalah permasalahan ekonomi yaitu kemiskinan. Dulu kemiskinan hanya dirasakan oleh kaum buruh akibat sistem yang diskriminatif yakni hak-hak kaum buruh dikesampingkan termasuk permasalahan kesehatan.5 Namun kini permasalahan kesehatan sepertinya sudah umum terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Permasalahan kesehatan menjadi topik yang hangat dibicarakan apalagi bagi orang-orang yang tidak mampu.
Kota Salatiga merupakan salah satu wilayah kota yang sedang mengalami pertumbuhan dengan adanya rencana pemekaran wilayah mulai tahun 2014 silam.6 Luas wilayah dan adanya pertambahan penduduk Kota Salatiga memiliki kaitan yang erat dengan tingkat kesehatan masyarakat. Tingkat kesehatan masyarakat menentukan tingkat pelayanan kesehatan, pengetahuan serta kesadaran masyarakat akan kesehatan. Beberapa indikator yang menilai derajat kesehatan masyarakat menunjukkan bahwa derajat kesehatan di Kota Salatiga mengalami penurunan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pelayanan kesehatan yang kurang memadai, sosialisasi kesehatan yang kurang, atau tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan kesehatan yang kurang. Peningkatan pelayanan kesehatan oleh pemerintah kepada masyarakat menjadi salah satu hal penting untuk
4
John Rogers, Etika Medis : Suatu Perspektif Kristen (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2003),30.
5
J. B Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu (Yogyakarta, Kanisius, 1993),37.
6Andri Pratiwi,
Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi (sig) Untuk Pemetaan Hasil
12
mengatasi hal tersebut, misalnya dengan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan atau secara kuantitas menambah sarana kesehatan seperti rumah sakit dan Puskesmas sebagai
fasilitas kesehatan yang memadai.7 Masalah kesehatan bukan lagi menjadi tanggung jawab pemerintah bagi rakyatnya saja, dalam hal ini Gereja juga turut berperan dalam menyikapi masalah kesehatan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Gereja dalam melakukan praktik guna membantu permasalahan sosial ini. Pertama, Gereja memperluas wawasan pelayanan dari hanya ritual ke suatu pelayanan yang menyeluruh yang meliputi juga hal-hal etis. Kedua, memperluas pengertian Diakonia sehingga meliputi orang diluar Gereja/jemaat. Ketiga, memperluas struktur Gereja sehingga meliputi baik yang parokhial maupun yang kategorial.8 Gereja dapat berkontribusi membantu permasalahan kesehatan bagi jemaat yaitu melalui pelayanan diakonia.
Diakonia berasal dari bahasa Yunani Diakonein yang jika dimaknai akan membawa kita pada corak utama pelayanan yakni sikap dan sifat yang dibutuhkan dalam pelayanan. Karena makna asasi kata dikonein ini merujuk pada “membungkuk-bungkuk dalam debu tanah
merangkak menaklukan diri” maka dapat diartikan sebagai melayani.9
Diakonia merupakan salah satu tugas panggilan Gereja, yakni melayani sesama. Karena itu, Gereja melaksanakan pelayanaan diakonia bagi jemaat. Ada tiga macam diakonia yang dapat diaplikasikan yakni : diakonia karikatif, diakonia transformatif dan diakonia reformatif.10 Salah satu diakonia yang dapat diambil untuk menyikapi permasalahan kesehatan adalah diakonia karikatif yang merupakan bentuk diakonia yang paling tua yang dipraktikan oleh Gereja dan pekerja sosial
dan sering diwujudkan dalam bentuk pemberian makan atau layanan kemanusiaan lainnya yang berdasarkan amal kebijaksanaan.11 Jemaat GKI Salatiga juga melaksanakan pelayanan diakonia melalui pelayanan kesehatan gratis bagi anggota jemaat maupun non anggota
jemaat. Berawal dari tahun 1884 “Neukirchener Mission” yakni sebuah misi pekabaran Injil yang dilakukan oleh seorang pendeta Jerman bagi Pekabaran Injil di daratan Eropa. Kemudian Ia mengutus misionarisnya ke Salatiga yang dikenal dengan “Salatiga Zending” untuk melakukan pekabaran Injil. Pada tahun 1900-an terjadi bencana kekeringan dan
kelaparan di pulau Jawa, menyadari tugasnya sebagai pekabar Injil maka “Salatiga Zending”
7
Ibid., hlm. 3
8
Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat (Yogyakarta, Taman Pustaka Kristen, 1997),93-99.
9
G. Riemer, Jemaat yang Diakonial (Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2004),47.
10
Jimmy Oentoro, Gereja Impian (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2010),79
11
13
melakukan pelayanan yang menyentuh seluruh kehidupan masyarakat saat itu yakni pelayanan kesehatan dan pendidikan.12
Dari sejarah inilah kemudian GKI Salatiga sebagai salah satu Gereja Protestan yang berdiri tanggal 3 Maret 1959 ini kemudian melakukan pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi jemaat maupun non jemaat. Pelayanan yang sekaligus memperhatikan kesejahtraan hidup bersama merupakan pelayanan yang paling sesuai dengan situasi kebudayaan Indonesia yang selalu memperhatikan kesejahteraan bersama kelompok masyarakat.13 Inilah yang dilihat oleh GKI Salatiga sebagai salah satu cara berdiakonia. Pelayanan kesehatan dan penyuluhan kesehatan diberikan secara gratis dari komisi pelayanan diakonia GKI Salatiga kepada siapa saja. Setiap orang yang datang dapat melakukan pemeriksaan ringan seperti periksa gula darah dan juga berkonsultasi dengan dokter dan tak jarang diberikan obat-obatan gratis sesuai dengan masalah kesehatan yang dialami. Hal ini cukup rutin dilakukan untuk menjawab panggilan Gereja dalam hal melayani. GKI Salatiga menyadari kehadirannya bukan hanya soal relasi vertikal dengan Tuhan saja melainkan relasi dengan sesama yang diwujudkan dalam sikap toleransi kepada sesama manusia lewat pelayanan kesehatan gratis ini.
Namun belakangan ini pelayanan kesehatan gratis di GKI Salatiga mengalami perubahan. Semula pelayanan kesehatan ini diperuntukan bagi anggota jemaat maupun untuk umum setelah ada perubahan tempat pelayanan kesehatan dari kantor sekretariat lembaga konsultasi dan bantuan hukum WCTUI (Woman Christian Temperance Union of Indonesia) yang
beralamat di Jl. Dr. Mumardi 51 Salatiga pindah maka program pelayanan kesehatan ini akhirnya hanya diberlakukan bagi anggota jemaat dan simpatisan (tidak bersifat umum).14 Dengan kata lain sasaran pelayanan kesehatan di GKI Salatiga berubah dari cakupan yang luas menjadi sempit hanya bagi anggota jemaat dan simpatisan saja bukan lagi untuk umum. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk mengambil judul :
“Gereja dan Diakonia: Studi Kasus tentang Perubahan Bentuk Pelayanan Kesehatan
Gratis di Jemaat GKI Salatiga.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini ialah : Mengapa GKI Salatiga tidak lagi memberikan pelayanan kesehatan gratis untuk umum?
12
Th. van den End,J. Weitjens, Ragi Carita: Sejarah Gereja Di Indonesia, Jilid 2 (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2009),44 – 46,235 – 236.
13
Gerrit Singgih, Reformasi, Transformasi dan Pelayanan Gereja (Yogyakarta, Kanisius, 1997),29.
14
14
1.3 Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, tujuan yang hendak dicapai ialah :
Mendeskripsikan alasan perubahan bentuk pelayanan kesehatan gratis di GKI Salatiga.
1.4 Batasan Masalah
Penulisan Tugas Akhir ini akan dibatasi pada deskripsi terjadinya perubahan bentuk pelayanan kesehatan gratis di GKI Salatiga yang mengalami perubahan.
1.5 Manfaat Penelitian
1) Manfaat Teoritis : Diharapkan dalam penulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah untuk memperkaya konsep dan teori diakonia yang dapat membantu Gereja melihat masalah sosial kemasyarakatan khususnya masalah kesehatan.
2) Manfaat Praktis : Penelitian ini diharapkan mampu menolong Gereja mengkaji ulang kebijakan perubahan tersebut demi membawa manfaat bagi Gereja. Dan juga dapat menjadi acuan untuk membangun kesejahtraan masyarakat salah satunya di bidang
kesehatan.
1.6 Metode Penelitian
Berkaitan dengan penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan data verbal dan kualifikasinya bersifat teoritis. Data sebagai bukti dalam menguji kebenaran atau ketidakbenaran hipotesis, tidak diolah melalui perhitungan matematik dengan berbagai rumus statistika. Pengolahan
data dilakukan secara rasional dengan mempergunakan pola berpikir tertentu menurut hukum logika.15
Penelitian ini juga akan bersifat diskriptif-analitis yang mana akan memberikan gambaran secermat mungkin.16 Yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan penyebab perubahan bentuk pelayanan kesehatan gratis di GKI Salatiga serta memfokuskan pada wawancara Pendeta GKI Salatiga, majelis Jemaat, badan pengurus harian GKI Salatiga atau komisi pelayanan serta tenaga medis yang dilibatkan dalam pelayanan kesehatan gratis serta observasi langsung pada kegiatan pelayanan kesehatan gratis.
9 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983),32.
16
15
1.7 Sistematika Penulisan
Sesuai dengan kajian dalam latar belakang di atas, maka dalam penulisan tugas akhir ini terdiri dari beberapa bagian:
Bagian I: Pendahuluan
Bagian pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang permasalahan mengapa penulis tertarik untuk menulis tulisan yang berkaitan dengan masalah pelayanan
diakonia terkhususnya pada pelayanan kesehatan, serta melihat realita yang terjadi di masyarakat saat ini yang berkaitan dengan masalah-masalah kesehatan terutama yang terjadi di Salatiga. Pada bagian ini juga dikemukakan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta metode penelitian yang akan dipakai untuk mendukung penulisan tugas akhir ini sebab penulisan tugas akhir ini akan dilakukan studi lapangan. Selain itu juga terdapat sistematika penulisan yang menjadi dasar acuan penulis menulis tugas akhir ini.
Bagian II: Teori Rujukan
Dalam bagian ini akan dikemukakan teori-teori tentang diakonia agar nantinya dapat digunakan sebagai kajian dan bahan analisis dari temuan di lapangan dalam melakukan penulisan tugas akhir ini.
Bagian III: Hasil Penelitian
Pada bagian ini akan dipaparkan hasil temuan di lapangan baik itu data wawancara maupun observasi langsung pada saat pelayanan kesehatan di GKI Salatiga dilaksanakan. Bagian IV : Analisa
Hasil dari temuan di lapangan tersebut akan dianalisa menggunakan kajian teori yang telah dikemukakan yaitu yang berkaitan dengan pelayanan diakonia.
Bagian V: Penutup
16
2
TEORI
2.1 Teori Diakonia
Didalam kehidupan Kristen kata pelayanan paling banyak dipakai disamping kata mengasihi. Akan tetapi pelayanan pada umumnya ditujukan pada pelayanan kepada Tuhan. Pelayanan kepada Tuhan dalam hal ibadah dan doa. Singkatnya ibadah hanya bersifat kerohanian yang biasa dilakukan oleh Gereja dan kelompok-kelompok Kristen. Pelayanan ini hanya terbatas pada kegiatan ritual dan bidang spiritual saja yang bersifat parokial. Jika mengerti benar arti melayani maka pelayanan yang dilakukan akan sama seperti yang Yesus lakukan yakni melayani orang banyak tanpa melihat siapa dia?17 Pelayanan gerejawi jangan disempitkan menjadi pelayanan ibadah saja. Sebab jika demikian iman yang seharusnya
meliputi dunia nyata dan keras masih jauh lebih besar dan luas ini malah kita sempitkan hanya pada pelayanan ibadah saja. Tekanan yang terlalu kuat pada aspek ritual dan kelembagaan yang melestarikan aspek ritual ini bisa menyebabkan Gereja lupa bahwa tujuan Gereja bukan pada dirinya sendiri, melainkan alat untuk menyatakan kemuliaan Tuhan didunia ini. Maka itu aspek yang dapat dilakukan Gereja adalah Koinonia, Marturia dan Diakonia. Kalau pelayanan hanya dianggap sebagi aspek ritual atau alat untuk membantu organisasi Gereja, maka pelayanan tidak pernah akan menjadi pelayanan sosial yang menjangkau masyarakat luas. Pelayanan yang sekaligus memperhatikan kesejahteraan hidup bersama merupakan pelayanan yang paling sesuai dengan situasi kebudayaan Indonesia yang selalu memperhatikan bersama kelompok masyarakat.18
Keberadaan Gereja ditengah-tengah masyarakat tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab Gereja terhadap permasalahan sosial dalaam masyarakat. Rakyat harus menjadi fokus pelayanan suatu lembaga pelayanan Kristen. Pada tahun-tahun belakangan ini, hampir diseluruh dunia Gereja menaruh perhatian semakin banyak terhadap masalah-masalah sosial yang menjadi keprihatinan Gereja. Karya-karya Gereja di bidang sosial ekonomi merupakan pelayanan Gereja bagi golongan masyarakat yang paling membutuhkan atau lebih jauh bisa diartikan sebagai keterlibatan Gereja dalam bidang pembangunan masyarakat. Dimensi sosial ekonomi sejauh menyangkut kehidupan masyarakat tidak cukup dilihat dari segi yang kelihatan saja berupa masalah-masalah penggangguran, kemiskinan, bahkan permasalahan kesehatan sekalipun. Dimensi sosial ekonomi seharusnya merupakan dimensi yang
17
Gerrit Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja (Yogyakarta, Kanisius, 1997),16.
18
17
diperhatikan oleh seluruh karya pelayanan Gereja baik yang intern (bagi kepentingan Gereja sendiri) maupun ekstern (kepentingan masyarakat luas). Gereja setempat perlu memahami
hal-hal yang menyangkut keberadaannya ditengah-tengah masyarakat atau keterleburannya dalam masyarakat. Identitas Gereja tidak terlepas dari identitas masyarakat sekitarnya.
Pengembangan Gereja setempat tidak lagi dapat dilepaskan dari pengembangan masyarakatnya. Demikian apabila Gereja mau sungguh-sungguh menjadi Gereja yang mendapatkan identitas dari keberadaan masyarakat setempat. Dengan demikian gejolak masyarakat juga menjadi gejolak Gereja dan keprihatinan masyarakat setempat menjadi keprihatinan Gereja.19 Secara harafiah kata diakonia berarti memberikan pertolongan atau pelayanan. Kata diakonia berasal dari bahasa Yunani diakonia (pelayanan), diakonein (melayani), diakonos (pelayan). Didunia Yunani diakonen dilihat sebagai pekerjaan yang rendah karena seseorang yang disebut diakonen dalam arti melayani meja merupakan pekerjaan seorang hamba atau budak. Diakonia sekarang ini lebih dipahami bukan sekedar sebagai sebuah pekerjaan atau proyek tetapi berupa ungkapan sederhana dalam uluran tangan atau tanda cinta kasih kepada sesama.20 Jangkauan kegiatan diakonial berbeda-beda, bukan hanya perkembangan masyarakat dan sosial saja yang dilihat tetapi juga juga pandangan-pandangan teologis. Luasnya diakonia suatu Gereja dapat dilihat dari visi dan misi Gereja tersebut karena diakonia adalah pernyataan dari kehidupan Gereja. Tujuan dalam melakukan diakonia harus jelas kepada siapa dan apa yang dilakukan Gereja dalam berdiakonia. Gereja
terlebih harus melihat realita sosial yang terjadi dimasyarakat. Karena panggilan Gereja untuk berdiakonia adalah kehadirannya ditengah-tengah masyarakat dan apa yang akan dilakukan Gereja.
Diakonia bukan tertutup hanya bagi jemaat saja melainkan kepada sesama dimana Gereja tersebut hadir untuk menyikapi permasalahan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Bentuk keprihatinan Gereja kepada masyarakat diwujudkan dalam pelayanan diakonia kepada masyarakat. Diakonia dalam jemaat mula-mula dalam konteks budaya Yunani dan Romawi yang memerintah adalah raja dan kekaisaran. Moralitas Yunani menekankan kewajiban untuk memperhatikan sesama (orangtua, orang asing, orang jompo, orang yang mengalami ketidakadilan) . Diakonia masa kini menggerakan jemaat untuk benar-benar menjadi jemaat yang diakonal artinya Gereja yang sungguh-sungguh berperan dalam mewujudkan panggilannya sebagai Gereja yang melayani. Gereja yang tidak diakonal adalah Gereja yang
19
Eduard Dopo, Keprihatinan Sosial Gereja (Yogyakarta, Kanisius, 1992),42-92.
20
18
mati yang mengabaikan karunia-karunia Allah dan belum sungguh-sungguh menghayati kasih Kristus. Jangkauan diakonia bukan saja didalam jemaat melainkan juga diluar jemaat
dengan diawali dengan kepedulian terhadap sesama saudara seiman, selanjutnya kepedulian terhadap masyarakat disekitar jemaat bahkan kepedulian terhadap sesama di muka bumi ini. Tujuan umum diakonia Kristen :21
a) Memperlihatkan kasih Allah di dunia
b) Diakonia Kristen selalu merujuk pada Yesus Kristus sebagai penebus dosa
Tujuan khusus menurut bidang perhatian :
a) Diakonia dalam jemaat : anggota jemaat saling mempedulikan
b) Diakonia dalam persekutuan jemaat : Gereja saling bersekutu dan membantu sehingga kualitas hidup memadai
c) Diakonia dalam masyarakat : mempedulikan orang yang kekurangan dalam masyarakat
d) Diakonia di dunia : sesuai kemampuannya, Gereja aktif menyantuni warga negara lain yang membutuhkan santunan
Bagi masalah kesehatan, diakonia ditujukan kepada mereka yang cacat fisik maupun mental, orang jompo, orang dengan penyakit menular maupun tidak menular.
Diakonia pada dibagi dalam tiga bentuk, yakni :
1. Diakonia karikatif yang merupakan bentuk diakonia yang paling tua yang dipraktikan
oleh Gereja dan pekerja sosial. Diakonia karikatif sering diwujudkan dalam bentuk pemberian makan dan pakaian bagi orang miskin, menghibur orang sakit dan
perbuatan amal kebajikan. Bentuk diakonia ini didukung dan dipraktikan oleh institusi Gereja karena dapat memberi manfaat secara langsung, tidak ada resiko sebab didukung oleh penguasa, bisa digunakan untuk menarik seseorang menjadi anggota agama, memusatkan perhatian pada hubungan pribadi, dan menciptakan hubungan subjek-objek.
2. Diakonia reformatif atau pembangunan yang menekankan pada hak asasi dan martabat manusia. Kasih terhadap sesama manusia harus diterapkan dalam hubungan dengan manusia dan sesama masyarakat. Gereja harus meletakan pembangunan dalam proporsi yang sebenarnya dan harus bersikap kritis terhadap ideologi
21
19
pembangunan. Keterlibatan Gereja dalam pembangunan harus memberi warna dan arah bagi isi pembangunan. Diakonia tidak lagi sekedar memberikan bantuan dan
perhatian tetapi menyelenggarakan kursus dan pemberian modal bagi masyarakat untuk diberdayakan bagi keberlangsungan hidup.
3. Diakonia transformatif atau pembebasan yang digunakan untuk menyadarkan dan memberdayakan hak-hak rakyat kecil. Mendorong rakyat untuk percaya diri sendiri melalui pemberdayaan dan pengorganisasian. Artinya membebaskan rakyat kecil dari belenggu struktural yang tidak adil yang mengepung mereka. transformatif yang berupa pemberdayaan/pengorganisasian yang fokus pada rakyat sebagai subjek sejarah bukan objek, tidak karikatif tapi preventif, tidak didorong oleh belas kasihan tetapi ketidakadilan, mendorong partisipasi rakyat dan mengorganisasikan rakyat.22
Salah satu cara Gereja berdiakonia adalah dengan melakukan pelayanan kesehatan yakni melayani yang sakit. Pelayanan kesehatan mempunyai arti strategis baik pada masa lalu dalam sejarah pengabaran Injil, maupun sekarang dan yang akan datang. Penyembuhan/mujizat dan pelayanan kesehatan seperti yang maksudkan sekarang, harus ditempatkan dalam perspektif Kerajaan Allah yang telah, sedang, dan akan datang (teologis-eskatologis). Pelayanan medis merupakan pelayanan (diakonia) Gereja untuk semua orang. Gereja dalam pelayanan kesehatan haruslah merupakan pencerminan dari keprihatinan dan pelayanan Kristus terhadap penderitaan manusia.23 Banyak orang Kristen menaruh perhatian
terhadap pertanyaan-pertanyaan seputar kesehatan dan penyembuhan serta keterlibatan Gereja dalam hal penyediaan pelayanan pemeliharaan kesehatan.24 Konsep yang paling penting dalam bidang kesehatan diseluruh dunia telah berkembang pada beberapa dekade seperti pelayanan kesehatan primer dan relevansinya terhadap kesehatan yang terkait dengan Gereja. Hal ini dapat dicapai apabila orang kristen dan non kristen dapat menunjukan solidaritas dan memahami dampak dari hak asasi manusia yang bersifat universal dalam bidang kesehatan.25 Tujuan keterlibatan Gereja dalam dunia sosial adalah untuk mewujudkan prinsip-prinsip kerajaan Allah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam Perjanjian Baru nampak jelas bahwa Yesus sangat peduli dengan kesehatan banyak orang sehingga mengadakan mujizat bagi mereka yang sakit. Allah adalah Allah yang menyembuhkan dan peduli pada kesehatan. Untuk itu Gereja perlu terlibat dalam
22
Josef Widyatmadja, Yesus dan Wong Cilik (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2010),35-49.
23
Soetarman, Mulai dari Musa dan Segala Nabi (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2003),37-40.
24
Beate Jacob dkk, Penyembuhan yang Mengutuhkan (Yogyakarta, Kanisius, 2003),17.
25
20
bidang kesehatan yang menunjang manusia dan masyarakat pada umumnya. Gereja di Indonesia cukup memberi perhatian pada dalam bidang ini dengan mendirikan poliklinik,
Rumahsakit, dan melakukan pelayanan kesehatan gratis pada masyarakat.26 Inilah suatu gambaran autentik hubungan antara Gereja dan kesehatan dalam pengalaman sebuah jemaat. Namun hal tersebut tidaklah secara akurat menggambarkan apa yang telah terjadi pada peran Gereja dalam perawatan kesehatan masyarakat kita. Menurut sejarah dunia kedokteran mendapat dorongan besar dari Gereja, namun sekarang banyak karya perawatan kesehatan yang diprakarsai Gereja secara fungsional tidak dapat dibedakan dari karya-karya lembaga serupa yang sekuler.
Tantangan bagi Gereja adalah mempelajari bagaiamana menyediakan pelayanan kesehatan dan pengobatan bagi si sakit di suatu zaman dengan kelangkaan ekonomis yang makin meningkat. Pokok persoalannya makin merupakan suatu konflik antara kekudusan hidup dan kelangkaan sumber-sumber daya.27 Menurut konsepsi klasik usaha-usaha kesehatan ini tak lain ialah suatu alat pekabaran Injil. Usaha kesehatan adalah suatu akta, suatu perbuatan bakti kepada sesama manusia secara badani dan perbuatan itu adalah wujud dari kesaksian tentang kasih Allah yang bukan hanya menyelamatkan jiwa melainkan juga tubuh manusia. Dalam menghadapi panggilan tugas pelayanan kesehatan ini terjadilah pemikiran-pemikiran baru mengenai wujud pekerjaan kesehatan, apakah pelayanan kesehatan ini merupakan suatu usaha pekabaran Injil ataukah suatu bentuk diakonia. Konsepsi zending
mengenai pelayanan kesehatan dianggap sebagai usaha pekabaran Injil medis, maka sebab dalam usaha itu Gereja berbuat pekerjaan baik dengan mengharapkan kembali orang-orang yang dilayani itu menjadi Kristen.28 Kalau Gereja atau jemaat menyadari bahwa tugasnya tidak hanya mengatur pelayanan kebaktian saja, maka seharusnya di kompleks Gereja itu ada macam-macam fasilitas seperti kantin murah untuk masyarakat, poliklinik muran biro konsultasi dan biro ketenagakerjaan lainnya.29 Pelayanan sosial sebagai buah Roh, Gereja atau jemaat juga perlu meningkatkan wawasan. Didalam jemaat pasti ada orang berbakat yang bersedia menyumbangkan talentanya.30
26
Jimmy Oentoro, Gereja Impian (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2010),229-230.
27
John Rogers, Etika Medis : Suatu Perspektif Kristen (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2003),25-32.
28
Fridolin ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2002),107-108.
29
Gerit Singgih, BerGereja, Berteologi dan Bermasyarakat (Yogyakarta, Taman Pustaka Kristen, 1997),15.
30
21
3
DATA LAPANGAN
3.1 Profil GKI Salatiga
GKI Salatiga merupakan salah satu Gereja di Salatiga dan merupakan bagian pelayanan dari klasis Magelang yang berdiri pada awal tahun 1900. Diawali dengan berkumpulnya orang Tionghoa di rumah pekabar Injil Jasper,Jl. Kotapraja (kini jalan Sukowati) juga perkumpulan orang pribumi yang dilayani oleh penginjil Kamp di Jl. Beringin (kini jalan Pattimura). Kedua kelompok kemudian menyatu dan dilayani oleh pekabar Injil Van der Veen, setalah itu mereka dipimpin oleh pekabar Injil H. Bax karena Van der Veen harus pindah mengajar di sekolah teologi Ungaran. Pada tahun 1938 pekabar Injil H. Bax wafat dan digantikan oleh Pdt. Liem Siok Hie. Beliau adalah seorang pegawai perusahaan Belanda yang taat dan rajin membaca Alkitab sehingga dipercaya menjadi pekabar Injil dan digaji penuh oleh perusahaan.
Tahun 1935 beliau ditahbiskan menjadi seorang pendeta. Pergolakan perang dunia kedua terjadi pada tahun 1947 Belanda menyerang wilayah Salatiga dan membuat pekabaran Injil di Salatiga mengalami gangguan. Setelah dua tahun tidak ada penginjil di Salatiga Ny. Lo Khoen Giok merasa prihatin dan sepakat untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak kristen Tionghoa yang tidak dapat bersekolah minggu karena pergolakan tersebut dengan nama Holland Chinese Zending School. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dari Hindia— Belanda akhirnya nama sekolah pun diganti menjadi Sekolah Rakyat VI Kristen Tionghwa Salatiga. Karena alasan yang tidak jelas, beberapa tenaga pengajar minta berhenti dari
sekolah tersebut. Pdt. Tan Ik Hay berhasil menarik sdr. Lie Tiek Bie yang adalah kepala sekolah Rakyat VI Masehi Poncol Semarang untuk menjadi tenaga pengajar di Salatiga.
Berkat bantuan tenaga pengajar dan pinjaman uang dari Belanda maka dibangunlah enam kelas di belakang tanah yang akan dibangun Gereja (sekarang GKI Salatiga no 111b). Pada 29 januari 1955 dilakukan peletakan batu pertama Gereja Kristen Indonesia oleh Pdt.
Tan Ik Hay dan diresmikan pada 30 Desember 1959 dengan mengambil tema “Biarlah mata
Tuhan menilik rumah ini siang dan malam” (1 Raj 8 : 29a).31 Secara Geografis GKI Salatiga
terletak di Jl. Jend. Sudirman 111b Kota Salatiga. Dibawah kepemimpinan Pdt. Yefta Setiawan Krisgunadi GKI Salatiga telah menjadi Gereja yang maju dan mandiri dengan berbagai kegiatan sosial yang dilakukan dengan visi mewujudkan damai sejahtera di tengah masyarakat Indonesia, khususnya Gereja Kristen Indonesia Salatiga menjadi mitra Allah
31Valentino G. Purba,
22
dalam di Kota Salatiga yang pluralistis. Anggota Jemaat GKI Salatiga berasal dari berbagai etnis dan latar belakang sosial yang beragam dengan jumlah anggota jemaat sebanyak 2023
jiwa.32 Hal ini membuat GKI Salatiga menjadi Gereja dengan keanggotaan plural dan terbuka bagi siapa saja yang ingin mengambil bagian bersama dalam jemaat GKI Salatiga. Untuk memudahkan koordinasi, wilayah pelayanan dibagi menjadi 13 wilayah Jemaat GKI Salatiga diharapkan untuk dapat berperan secara hakiki dalam melaksanakan visi dan misi Gereja.
GKI Salatiga menekankan perannya yang didasarkan pada panggilan Allah yang dimengerti sebagai pemberian anugrah, tugas dan tanggung jawab dari Allah kepada umatNya. Pada sisi lain, peranan tersebut diwujudkan sesuai dengan talenta, kemampuan dan keahlian dalam anggota jemaat. Berdasarkan hal inilah GKI Salatiga meluaskan pelayanannya baik diakonia, koinonia maupun marturia yang telah menjadi tugas panggilan Gereja ditengah-tengah dunia. Struktur organisasi jemaat dalam badan pekerja majelis jemaat GKI Salatiga terdiri dari 1 ketua majelis jemaat, wakil ketua dan 8 orang majelis pekerja harian dan 11 orang majelis jemaat dengan total 19 majelis yang bertugas di GKI Salatiga. Dengan dibagi tiga bidang antara lain bidang keesaan dan persekutuan, bidang kesaksian dan pelyanan serta bidang organisasi dan kepemimpinan.
3.2 Diakonia di GKI Salatiga
GKI merupakan Gereja yang sangat concern dengan berbagai permasalahan sosial di lingkungannya. Diakonia di GKI Salatiga menjadi program rutin yang dilakukan dalam jemaat. Tujuannya adalah untuk memberitakan kasih Tuhan dalam diakonia, dan menyadari diri sebagai Gereja yang terpanggil untuk peduli terhadap sesama. Dalam komisi diakonia GKI Salatiga, ada berbagai program yang dilakukan. Antara lain : warung tiberias dan pelayanan kesehatan. Meskipun merupakan program dalam komisi yang sama namun pelaksanaannya berbeda. Untuk warung tiberias, sudah ada anggaran yang berikan untuk
menunjang berjalannya program tersebut. Warung tiberias fokus pada pelayanan pemberian makan gratis kepada siapa saja yang membutuhkan, bukan hanya jemaat tetapi juga masyarakat umum. Sedangkan pelayanan kesehatan gratis yang memerlukan banyak biaya untuk obat-obatan dan alat-alat kesehatan tidak disediakan dana untuk menunjang operasionalnya. Terlepas dari ketersediaan biaya, GKI Salatiga sangat menunjukkan kepedulian terhadap sesama. Bahkan program ini pun dilakukan bukan hanya di GKI Salatiga melainkan di seluruh Gereja yang ada dalam naungan sinode GKI.
32
23 3.3 Pelayanan Kesehatan Gratis GKI Salatiga
Pelayanan Kesehatan Gratis di GKI Salatiga merupakan bentuk kepedulian Gereja terhadap dinamika dalam masyarakat khususnya permasalahan kesehatan yang menjadi sorotan GKI Salatiga. Permasalahan kesehatan di masyarakat terutama bagi masyarakat yang kurang mampu membawa dampak yang buruk bagi masyarakat. Banyak masyarakat yang karena keterbatasan biaya harus menderita kesakitan karena tidak mampu menjangkau
pelayanan kesehatan di rumah sakit akibat biaya yang terlalu mahal. Sehingga GKI menyadari keterpanggilannya melayani masyarakat dengan melakukan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Sesuai dengan visi Gereja Kristen Indonesia Salatiga menjadi mitra Allah dalam mewujudkan damai sejahtera ditengah masyarakat Indonesia, khususnya di Kota Salatiga yang pluralistis.
Hal ini membuat GKI Salatiga merasa perlu merealisasikan visinya lewat pelayanan kesehatan bagi kesejahteraan Indonesia dimulai dari tempat dimana GKI Salatiga berada. Komisi diakonia The Khoen Bik yang merupakan nama dari seorang pendeta di GKI Salatiga yang melayani sampai masa emiritus. Beliau sempat diminta oleh GKI di Jakarta untuk menjadi gembala disana namun mengingat pengalaman dan kenangannya di GKI Salatiga akhirnya beliau memutuskan untuk menetap di GKI Salatiga sampai masa emiritus. Pada tanggl 1 September 1989 ia mengambil bagian dalam pelayanan oikumenis di
Presbyterian Church di USA. Beliau melayani di Presbitterian Church di Fremont, Ohio, Amerika Serikat. Rencana selanjutnya beliau meneruskan perjalanan ke Jerman dan Prancis hal itu dilakukan dalam rangka studi banding dalam hal peninjuan dalam memperoleh bekal bagi pelayanan di Indonesia khususnya jemaat GKI Salatiga.
Baru satu bulan melayani tepatnya 1 Oktober 1989 beliau meninggal dunia. Total pelayanannya di GKI Salatiga adalah selama 10 tahun 2 bulan. Setelah meninggal seluruh hartanya diwariskan untuk GKI Salatiga. Sehingga GKI Salatiga menggunakan namanya
24
Tetapi pelayanan kesehatan gratis ini diberhentikan sementara waktu karena kantor sekretariat lembaga konsultasi dan bantuan hukum WCTUI (Woman Christian Temperance
Union of Indonesia) yang digunakan untuk ruang pemeriksaan pelayanan kesehatan gratis tidak dapat lagi dipergunakan karena sekretariat lembaga konsultasi dan bantuan hukum WCTUI pindah dari Jl. Dr Muwardi 51 ke Jl. Senjoyo 51, Tingkir. Pelayanan kesehatan gratis bagi kalangan tidak mampu dan terbuka bagi anggota jemaat maupun non jemaat akhirnya dibatasi pada lingkup GKI Salatiga saja. Dikarenakan alasan tempat pelayanan yang sudah dipindahkan ke wilayah GKI Salatiga awalnya aula I GKI Salatiga yang digunakan namun sekarang ruang UKS YPE yang digunakan untuk tempat pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan di GKI Salatiga terhenti beberapa waktu karena tidak adanya tempat untuk melakukan pelayanan kesehatan gratis setelah sekretariat lembaga konsultasi dan bantuan hukum WCTUI pindah.33 Akhirnya pada tahun 2014 lalu komisi usia lanjut dan komisi diakonia The Khoen Bik melanjutkan program pelayanan kesehatan gratis.
Berawal dari Komisi Usia Lanjut yang memiliki seorang dokter pindahan dari Pekalongan namanya dokter Bintari yang kemudian berbincang mengenai pelayanan kesehatan dengan beberapa anggota komisi The Khoen Bik ditemukan bahwa di GKI Salatiga ternyata memiliki 17 anggota jemaat yang berprofesi sebagai dokter. Setelah hal ini dibicarakan dengan majelis pendamping untuk melanjutkan pelayanan kesehatan. Komisi usia lanjut yang melakukan persekutuan bulanan sebulan sekali dipagi hari kemudian mulai melakukan pemeriksaan kesehatan bagi para lansia. Pertama kali dilakukan pelayanan
kesehatan, komisi usia lanjut meminta kerjasama lagi dengan komisi diakonia The Khoen Bik untuk membantu pengadaan obat-obatan. Karena komisi usia lanjut sama sekali tidak memiliki dana untuk pelayanan kesehatan tersebut. Akhirnya dengan bantuan dari komisi diakonia The Khoen Bik pelayanan kesehatan akhirnya dilanjutkan.
Komisi diakonia The Khoen Bik ternyata mempunyai program yang hampir sama dengan program pada komisi usia lanjut. Pelayanan kesehatan gratis dilakukan dua kali sebulan pada hari jumat diadakan di aula I setelah persekutuan jumat. Pada minggu kedua berjalannya pelayanan kesehatan gratis, dokter Bintari menemukan seorang anggota jemaat yang tidak mampu ke dokter karena alasan biaya. Ia menderita diabetes yang angkanya sudah diatas 500, dokter Bintari kemudian kaget karena ada anggota jemaat GKI yang sudah sakit seperah ini tetapi tidak diketahui oleh para anggota jemaat dan majelis jemaat GKI Salatiga. Kemudian anggota jemaat tersebut diobati, namun gagal karena terlambat diketahui sehingga
33
25
tidak ada penanganan awal terhadap penyakit yang diderita. Mulai dari hal ini kemudian menjadi pelajaran bagi anggota jemaat khususnya yang menjalankan program pelayanan
kesehatan gratis di GKI Salatiga untuk lebih giat melayani dan terus mencari disekitar jemaat apakah ada anggota jemaat yang menderita penyakit tetapi tidak dapat berobat ke dokter karena alasan biaya.
GKI Salatiga mulai menghimbau kepada seluruh anggota jemaat yang bekerja dibidang kesehatan misalnya dokter, perawat, dan apoteker untuk bekerja sama dan ikut terlibat dalam program pelayanan kesehatan gratis yang diadakan oleh komisi usia lanjut dan komisi diakonia The Khoen Bik dengan membentuk tim kesehatan jemaat. Tim kesehatan jemaat melakukan pelayanan kesehatan secara menyeluruh kepada anggota jemaat, namun terkendala bangunan untuk pelayanan kesehatan tidak ada. Sementara seluruh bangunan di GKI Salatiga telah diisi. Yang dapat digunakan hanya aula 1. Akhirnya tim kesehatan dengan keterbatasannya, meminta kepada majelis jemaat untuk pengadaan ruangan bagi kesehatan jemaat. Majelis meminta bantuan YPE (yayasan pendidikan Ebenhaizer) untuk meminjamkan ruangan bagi tim kesehatan jemaat di ruangan UKS YPE. Tim kesehatan jemaat mulai bekerja melakukan pelayanan kesehatan gratis setiap hari jumat minggu kedua dan keempat. Pelayanan kesehatan dilakukan secara umum seperti pemeriksaan diabetes, jantung, kolestrol dan lainnya yang tidak masuk dalam kategori pemeriksaan penyakit kronis. Awalnya pelayanan kesehatan dilakukan secara cuma-cuma namun berjalannya waktu, berkurangnya donatur membuat pelayanan kesehatan gratis kewalahan menangani pengadaan obat-obatan
dan alat-alat kesehatan lainnya.
Akhirnya pelayanan kesehatan dikenakan biaya yang tidak terlalu tinggi dan dapat dijangkau oleh semua golongan. Meski demikian pelayanan kesehatan di GKI Salatiga tetap berjalan dengan baik.34 Melihat pelayanan kesehatan yang dilakukan di GKI Salatiga membawa dampak positif dan dirasa sangat bermanfaat terutama bagi anggota jemaat yang merupakan kalangan tidak mampu. Pelayanan kesehatan merupakan manifestasi pelayanan GKI Salatiga kepada masyarakat. Walaupun awalnya memang diperuntukan bagi anggota jemaat maupun non anggota jemaat dan sekarang dipersempit pada anggota jemaat saja namun setidaknya pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh GKI Salatiga telah membawa banyak manfaat bagi masyarakat. Sayangnya dalam melakukan pelayanan seringkali menemui berbagai kendala, begitu pula dengan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh GKI Salatiga.
34
26
Selain terkendala biaya, mereka juga terkendala pengadaan ruangan untuk melakukan pelayanan kesehatan. Namun hal ini tidak menyurutkan niat dan semangat dalam melakukan
pelayanan kesehatan sebagai bentuk keterpanggilan Gereja ditengah-tengah dunia yang peduli terhadap permasalahan empirik yang terjadi dalam masyarakat yakni permasalahan kesehatan. Pelayanan kesehatan di GKI Salatiga sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam program telah disahkan dalam persidangan jemaat GKI Salatiga. Berdasarkan sejarah awal GKI Salatiga, memang sangat peduli terhadap kesehatan dan pendidikan. Kedua hal ini dirasa sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat. Karena hal itulah, GKI merasa perlu memperhatikan kedua aspek ini untuk meningkat kesejahtraan bersama dan menjawab panggilannya ditengah-tengah dunia ini.
Mengembangkan kesaksian dan pelayanan ditengah masyarakat diarahkan pada meningkatnya kepedulian anggota jemaat terhadap sesamanya. Pelayanan dalam masyarakat harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Pelayanan diakonia adalah pelayanan nyata bagi sesama yang membutuhkan. Hal ini merupakan tugas dari seluruh warga jemaat. Diakonia timbul dan ada karena adanya Gereja dan hal itu dilakukan dan berlangsung meneladani apa yang telah Yesus buat ketika Dia berada di dunia ini. Di dalam Gereja pelayanan diakonia menjadi nyata ketika pelayanan itu menyentuh mereka yang miskin, mereka yang tertindas dan teraniaya, mereka yang sakit dan berduka maupun mereka yang membutuhkan ketenangan jiwa. Diakonia tidak hanya terbatas dalam membantu sesama secara materi (memberikan uang), tapi lebih dari itu ialah menunjukkan kasih dan kepedulian dengan
27
4
ANALISA
Dengan melihat kenyataan yang terjadi tentang permasalahan kesehatan maka GKI Salatiga menunjukkan kepedulian dan keterpanggilannya sebagai Gereja dengan melakukan pelayanan kesehatan gratis bagi mereka yang membutuhkan. Karena melihat keadaan disekitar bahwa pelayanan kesehatan tidak merata dan bahkan tidak tersentuh bagi mereka yang kurang mampu. Menyadari bahwa misinya ditengah-tengah dunia ini sebagai Gereja
yang adalah mitra Allah didunia yang menghadirkan kesejahtraan maka GKI Salatiga ingin agar kehadirannya ditengah-tengah dunia khususnya di Salatiga dapat memberikan kontribusi terkait dengan permasalahan kesehatan yang terjadi. Jika kita melihat pemaparan pada bab III melalui hasil penelitian dari beberapa narasumber menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan gratis di GKI Salatiga diperuntukkan bagi mereka yang ingin berobat tetapi tidak mempunyai biaya. Mereka yang adalah anggota jemaat maupun non anggota jemaat.
Dasarnya adalah kepedulian terhadap sesama, memahami keterpanggilan dalam melakukan tugas gerejawi dan Yesus yang menjadi pedoman dalam melakukan hal tersebut. Diakonia dalam kegiatan pelayanan kesehatan gratis adalah diakonia Karikatif yakni memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi mereka yang membutuhkan. Suatu model diakonia yang sangat tua dan sangat banyak dipraktekan diberbagai Gereja karena tidak mengandung resiko apapun. Hanya sebatas memberi kepada mereka yang membutuhkan pelayanan kesehatan gratis tersebut. Permasalahan yang muncul adalah sasaran pelayanan kesehatan gratis kemudian dipersempit hanya untuk anggota jemaat dan simpatisan saja. Pelayanan kesehatan gratis tidak lagi diperuntukkan bagi kalangan umum, dan mulai tahun 2014 pelayanan kesehatan tidak lagi digratiskan melainkan dipungut biaya meskipun tidak semahal di rumah sakit dan dapat dijangkau untuk seluruh kalangan. Artinya penulis melihat bahwa ada kemunduran yang dialami oleh Gereja. Ketika ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi semua orang selain anggota jemaat harus dibatasi oleh tempat kegiatan ini
dilaksanakan juga permasalahan ekonomi Gereja.
28
alat kesehatan tetap berjalan dan harga yang diberikan pun terjangkau oleh anggota jemaat yang kurang mampu. Apalagi pelayanan kesehatan yang sempat berhenti beberapa waktu lalu
sudah tidak bekerjasama lagi dengan beberapa apotik di daerah Salatiga.
Masalah biaya dapat ditanggulangi dengan memasang harga yang cocok untuk semua kalangan dan tidak menutup kemungkinan bagi para donatur yang dengan sukarela memberikan bantuan dalam bentuk uang maupun obat-obatan dan alat-alat kesehatan. Permasalahan pelayanan kesehatan di GKI Salatiga yang tidak lagi diperuntukkan untuk umum adalah permasalahan lokasi yang awalnya berlokasi di gedung sekretariat lembaga konsultasi dan bantuan hukum WCTUI Jl. Dr Muwardi 51 (dekat RS. DKT) yang kemudian dipindahkan ke aula 1 GKI Salatiga karena sekretariat lembaga konsultasi dan bantuan hukum WCTUI sudah dipindahkan ke daerah Tingkir. Membuat sasaran pelayanan kesehatan dipersempit pada lingkup jemaat saja. Karena jangkauan rumah jemaat lebih dekat dibandingkan harus ke Tingkir yang cukup jauh. Apalagi keadaan sosial disana mayoritasnya adalah bukan beragama kristen dan dikenal sebagai daerah yang cukup rawan bila dimasuki oleh pekerja-pekerja Gereja apalagi dengan misi pelayanan.
Untuk menghidari kesalahpahaman yang bisa saja terjadi karena perspektif yang berbeda-beda dari setiap orang. Isu dan pemikiran tentang kristenisasi sangat dihindari oleh GKI Salatiga, mereka hanya ingin membantu sesama tanpa terkecuali. Namun untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka pihak Gereja berpikir alangkah baiknya bila pelayanan kesehatan ini dipersempit khusus bagi anggota jemaat GKI Salatiga dan
simpatisan. Pelayanan kesehatan gratis akhirnya masih berjalan dengan baik sampai saat ini. Dan memberikan banyak dampak positif juga sambutan yang baik dari anggota jemaat. Bahkan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan sangat terbantu dengan adanya pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh GKI Salatiga. GKI Salatiga masih memikirkan lagi langkah besar yang akan dilakukan dengan melakukan pengembangan dibidang pelayanan kesehatan yang dapat mentransformasi kehidupan Gereja dan jemaat bagi permasalahan kesehatan disekitar GKI Salatiga. Namun hal ini akan membutuhkan proses yang panjang. GKI Salatiga perlu mendapatkan apresiasi karena turut memainkan peran dalam mengatasi permasalahan kesehatan terutama bagi mereka yang kurang mampu. GKI Salatiga telah memahami tugas dan panggilannya sebagai Gereja yang adalah alat Tuhan di muka bumi ini sehingga mampu berkontribusi mewujudkan kesejahteraan bagi mereka yang tertindas, miskin dan lemah.
29
sikap tanpa pamrih, sikap yang menekankan hidup bersama dengan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Tujuan pekerjaan diakonal adalah membantu orang lain dan menempatkannya
pada posisi yang benar di hadapan sesama manusia dan Tuhan Allah. Memperdulikan keberadaan umat manusia secara utuh yaitu kebutuhan rohani, jasmani dan kebutuhan sosial. Tujuan diakonia juga mendukung realisasi sebuah persekutuan cinta kasih dan membangun serta mengarahkan orang untuk hidup di dalamnya. Oleh sebab itu, diakonia mempunyai fungsi kritis dalam jemaat maupun di dalam masyarakat.35 Diakonia harus didasari oleh prinsip preferential option for the poor and the weak. Prinsip ini bergerak diatas wawasan keadilan.
Berdiakonia di Indonesia harus sesuai dengan konteks Indonesia. Apakah ingin menerapkan diakonia karikatif, transformatif ataupun reformatif. Hal ini harus benar-benar didasarkan pada keadaan sosial, budaya dan ekonomi yang mewakili realitas Indonesia.36 Gereja yang memahami akan tugas dan panggilannya adalah Gereja yang peduli kepada yang lemah, yang sakit dan yang tertindas. Tugas-tugas gerejawi inilah yang tidak dapat dipisahkan dengan pelayanan diakonia. Kata diakonia berasal dari bahasa Yunani
diakoni,a37 yang artinya pelayanan. Dalam PB sering dipakai buat pelayanan dalam Gereja Yesus Kristus. Pelayan dalam Gereja disebut diakonos dia,konoj38 (1 Kor 3:5; 2 Kor 6:4; 11:23 dll).39 Dalam bahasa Yunani kata diakonia biasa dipakai untuk pelayanan di
meja makan dan pelayanan pribadi seseorang kepada yang lain. Pelayanan ini terutama dilakukan oleh hamba-hamba dan wanita-wanita dalam bangsa Yunani, yang dianggap sebagai pekerjaan hina.40
Diakonia berarti pelayanan, pemeliharaan, sokongan, bantuan. Diakonia merupakan salah satu tugas panggilan yang terpadu dalam satu kesatuan dengan kedua tugas panggilan Gereja yang lain yakni persekutuan dan pemberitaan. Yang dimaksud dengan pelayanan diakonia dalam hal ini adalah pelayanan dan keterlibatan Gereja yang ditimbulkan dari panggilan dan tugas untuk memperhatikan, membantu, memerdekakan dan melepaskan setiap orang, yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka dan keluarga mereka masing-masing pada masa kini dan masa depan dengan selayaknya. Diakonia pada dibagi dalam tiga bentuk, yakni :
35
Jon Sobrino & Juan Hernandez Pico, Teologi Solidaritas (Yogyakarta: Kanisisus, 1988),14-17.
36
Gerit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan : Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004),21-24.
37
diakoni,a,,,,, , aj pelayanan; pelayanan diaken (Rm 12.7); sumbangan, bantuan
38
dia,konoj , pelayan;diaken.
39
Soedarmo, R.DR, Kamus Istilah Teologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002),19.
40
30
1. Diakonia karikatif yang merupakan bentuk diakonia yang paling tua yang dipraktikan oleh Gereja dan pekerja sosial. Diakonia karikatif sering diwujudkan dalam bentuk
pemberian makan dan pakaian bagi orang miskin, menghibur orang sakit dan perbuatan amal kebajikan. Bentuk diakonia ini didukung dan dipraktikan oleh institusi Gereja karena dapat memberi manfaat secara langsung, tidak ada resiko sebab didukung oleh penguasa, bisa digunakan untuk menarik seseorang menjadi anggota agama, memusatkan perhatian pada hubungan pribadi, dan menciptakan hubungan subjek-objek.
2. Diakonia reformatif atau pembangunan yang menekankan pada hak asasi dan martabat manusia. Kasih terhadap sesama manusia harus diterapkan dalam hubungan dengan manusia dan sesama masyarakat. Gereja harus meletakan pembangunan dalam proporsi yang sebenarnya dan harus bersikap kritis terhadap ideologi pembangunan. Keterlibatan Gereja dalam pembangunan harus memberi warna dan arah bagi isi pembangunan. Diakonia tidak lagi sekedar memberikan bantuan dan perhatian tetapi menyelenggarakan kursus dan pemberian modal bagi masyarakat untuk diberdayakan bagi keberlangsungan hidup.
3. Diakonia transformatif atau pembebasan yang digunakan untuk menyadarkan dan memberdayakan hak-hak rakyat kecil. Mendorong rakyat untuk percaya diri sendiri melalui pemberdayaan dan pengorganisasian. Artinya membebaskan rakyat kecil dari
belenggu struktural yang tidak adil yang mengepung mereka. Transformatif yang berupa pemberdayaan/pengorganisasian yang fokus pada rakyat sebagai subjek
sejarah bukan objek, tidak karikatif tapi preventif, tidak didorong oleh belas kasihan tetapi ketidakadilan, mendorong partisipasi rakyat dan mengorganisasikan rakyat.41
41
31
5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pelayanan diakonia adalah pelayanan nyata bagi sesama yang membutuhkan. Hal ini merupakan tugas dari seluruh warga jemaat. Diakonia timbul dan ada karena adanya Gereja dan hal itu dilakukan dan berlangsung meneladani apa yang telah Yesus buat ketika Dia berada di dunia ini. Di dalam Gereja pelayanan diakonia menjadi nyata ketika pelayanan itu menyentuh mereka yang miskin, mereka yang tertindas dan teraniaya, mereka yang sakit dan berduka maupun mereka yang membutuhkan ketenangan jiwa. Melakukan pelayanan terkadang tidak dipahami secara luas oleh kebanyakan orang. Pelayanan seringkali disalahartikan sebagai bentuk ritual kepada orang-orang yang sedang kesusahan. Diakonia merupakan bentuk ungkapan diri jemaat Kristen. Diakonia yang hidup dan sadar adalah hasil kepercayaan kepada Dia yang dulu berada ditengah-tengah sebagai “pelayan” (Luk 22 : 27).
Oleh sebab itu jika kita benar-benar memahami arti panggilan kita sebagai warga Gereja yakni berdiakonia atau melayani berarti harus disertai dengan tindakan yang nyata. Bukan mempersempit makna diakonia itu sendiri namun harus memperluas arti diakonia agar dipahami secara baik oleh jemaat. Berdasarkan hal itulah manusia harus saling peduli satu dengan yang lainnya sebagai bentuk diakonia itu sendiri dengan melakukan hal-hal yang
berguna bagi kelangsungan kehidupan manusia serta berlandaskan pada Kristus Yesus yang menjadi pedoman bagi setiap pelayanan dan panggilan yang dilakukan. Karunia untuk melayani, adalah anugerah Tuhan yang harus kita lakukan dalam kehidupan, baik melayani Tuhan dan juga melayani sesama, melayani yaitu tugas untuk melakukan pelayanan kasih di bidang praktis dan materil. Melayani orang-orang yang lemah dan yang hidup dalam kekurangan.
32
dipakai Yesus Kristus bersama Dia melanjutkan misi-Nya untuk menyelamatkan dunia dan memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah.
GKI Salatiga sesuai dengan visinya yakni “Menjadi mitra Allah dalam mewujdukan damai sejahtera di tengah masyarakat Indonesia, khususnya kota Salatiga yang pluralistis”
telah melakukan tugas dan panggilannya untuk melayani sesama yang membutuhkan. Meskipun belum dilakukan dalam skala besar namun setidaknya pelayanan diakonia yang dilakukan oleh GKI Salatiga lewat pelayanan kesehatan telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat sekitar. Meskipun belum sepenuhnya menjawab permasalahan kesehatan yang terjadi di Indonesia khususnya di Salatiga. Pelayanan diakonia yang dilakukan GKI Salatiga masih dalam bentuk diakonia karikatif karena tidak dilakukan dengan melibatkan lembaga-lembaga pemerintah dalam bidang kesehatan khususnya dan masih berupa pelayanan bantuan kepada orang yang membutuhkan tanpa memberdayakan ataupun melakukan transformasi.
Hal ini juga disebabkan oleh beberapa kendala seperti faktor lingkungan dan ekonomi yang turut mempengaruhi proses pelayanan diakonia dalam bentuk pelayanan kesehatan di GKI Salatiga. Jadi sebagai orang-orang yang terpanggil dan dipersatukan dalam persekutuan sebagai Gereja sudah menjadi tugas kita bersama untuk bersolider dan peduli terhadap berbagai permasalahan sosial yang terjadi disekitar kita dan turut membantu dengan tindakan konkrit sebagai wujud panggilan dan menyadari tugas kita di dunia sebagai saksi-saksi
Kristus. Pelayanan Kesehatan Gratis di GKI Salatiga, sudah tidak diperuntukkan untuk umum karena terkendala permasalahan biaya. Pengadaan obat-obatan dan alat kesehatan tentunya
memerlukan biaya. Sehingga bagi yang ingin berobat di pos pelayanan kesehatan GKI Salatiga khusus untuk warga jemaat saja.
5.2 Saran
Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai saran bagi para teolog,
pekerja-pekerja Gereja dan terlebih khusus kepada GKI Salatiga dalam mengembangkan tugas dan tanggungjawab sebagai yang terpanggil melakukan pelayanan kesehatan, ialah sebagai berikut :
33
dibatasi hanya pada anggota jemaat saja melainkan secara menyeluruh hingga menyentuh masyarakat dengan masalah kesehatan.
2. Bentuk pelayanan diakonia pun jangan hanya karitatif saja, tetapi lebih dari itu mengupayakan ketrampilan dan usaha-usaha dengan memberdayakan jemaat agar menyadari pola hidup sehat serta memberikan semangat dengan cara yang kreatif untuk memotivasi para pasien (warga jemaat) sehingga tidak terpuruk dengan kondisi yang dialami.
3. Perlu membangun kerjasama dengan dinas kesehatan kota Salatiga untuk bersama-sama melakukan pelayanan kesehatan secara menyeluruh. Karena warga jemaat GKI Salatiga juga merupakan bagian dari warga kota Salatiga yang perlu mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai sehingga proses pelayanan kesehatan tidak terkendala biaya dan suplai obat-obatan.
34
Daftar Pustaka
Abineno, J. L. Pokok-pokok Penting dari Iman Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008. Banawiratma, J. B. Kemiskinan dan Pembebasan, Yogyakarta : Kanisius, 1987.
___________, J. Muller. Berteologi Sosial Lintas Ilmu , Yogyakarta : Kanisius, 1993. Bartlet, David L. Pelayanan dalam Perjanjian Baru, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003.
Bolkestein, M. H. Asas Asas Gereja, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1956.
Chandra, Budiman. Pengantar Kesehatan Lingkungan, Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 2005.
Dopo, Eduard R. Keprihatinan Sosial Gereja, Yogyakarta : Kanisius, 1992.
Eilers, Franz J. Berkomunikasi dalam Pelayanan dan Misi, Yogyakarta : Kanisius, 2008. End Th, van den .J. Weitjens. Ragi Carita: Sejarah Gereja Di Indonesia, Jilid 2 , Jakarta :
BPK Gunung Mulia, 2009.
Galbraith, John Kenneth. Hakikat Kemiskinan Massa , Jakarta : Sinar Harapan 1983. Gerit Singgih, Emanuel. Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat, Yogyakarta : Taman
Pustaka Kristen, 1997.
__________________. Mengantisipasi Masa Depan : Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004.
__________________. Reformasi dan Transfromasi Pelayanan Gereja, Yogyakarta : Kanisius, 1997.
Hadiono, Harun. Iman Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005.
Jacob, Beate dkk. P enyembuhan yang Mengutuhkan , Yogyakarta : Kanisius, 2003. Koentjoroningrat. Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia, 1994.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983.
Niftrik G, C dan Boland, B.J Ds. Dogmatika Masa Kini, Jakarta : BPK Gunung Mulia. 1967. Noordegraaf, A. Orientasi Diakonia Gereja, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004.
Oentoro, Jimmy. Gereja Impian : Menjadi Gereja yang Berpengaruh, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Riemer, G. Jemaat yang Diakonial, Jakarta : Yayasan Bina Kasih/ OMF, 2004.
Rogers, John. Etika Medis : Suatu Perspektif Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003. Setyabudi, Nathan. Bunga Rampai Pemikiran Tentang GKI, Jakarta : Suara GKYE Peduli
Bangsa, 2002.
35
Sobrino, Jon & Pico Juan Hernandez. Teologi Solidaritas, Yogyakarta: Kanisisus, 1988. Ukur, F dan Cooley, F.L. Jerih dan Juang : Laporan Nasional Survey Menyeluruh Gereja di
Indonesia, Jakarta : Lembaga Penelitian dan Studi-DGI , 1979.
Ukur, Fridolin. Tuaiannya Sungguh Banyak , Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2002. Widyatmadja, Josef P. Diakonia Sebagai Misi Gereja, Yogyakarta : Kanisius, 2009. ________________. Yesus dan Wong Cilik : Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi
Rakyat di Indonesia, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010.
Jurnal :
Andri, Pratiwi. “Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi (sig) Untuk Pemetaan Hasil
Proyeksi sarana kesehatan Kota Salatiga Tahun 2016-2035,” Jurnal Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi, 1:3, (Yogyakarta, 2015),2-3.
Valentino, G. Purba. “Warung Tiberias (Suatu Studi Kasus tentang Aspek Pelayanan Diakonia di Lingkungan Warga Jemaat GKI Salatiga)”, Skripsi Teologi, (Salatiga, 2012),36-38.
Sumber Internet :
http://nefosdaeli.com/2009/09/10/tantangan-Gereja-terhadap-pelayanan-kesehatan/ Diunduh Pada Tanggal 02 Desember 2015 Pukul 04.46 WIB.
http://gkisalatiga.org/profil/ Diunduh Pada Tanggal 24 Mei Pukul 17:38 WIB.
https://www.scribd.com/doc/196090365/Faktor-Penyebab-Terjadinya-Masalah-Kesehatan-Di-Indonesia Diunduh Pada Tanggal 25 Mei 2016 Pukul 23:56 WIB.
Wawancara :
Wawancara dengan ketua komisi usia lanjut, Ny. Prayogo 12 Desember 2015.
Wawancara dengan Pendeta GKI Salatiga, Pdt. Yefta Setyawan Krisgunadi 14 Desember 2015.
36
Riwayat Hidup