• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem penegakan hukum pidana (penal law enforcement) pada sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan sistem peradilan yang ada dan diterapkan sejak bangsa Indonesia menentukan nasibnya sendiri dalam berkiprah di dunia Internasional dengan mendasarkan negaranya sebagai negara hukum (rechstaat) sebagaimana yang dicita-citakan bangsa Indonesia dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Amandemen UUD 1945. Dalam hal ini, sebagai salah satu wujud tercapainya adalah terbentuknya kondisi dan kemampuan warga negara atau masyarakat untuk patuh terhadap hukum sebagai panglima dalam menyelesaikan segala permasalahan hukum bahkan menjadikan masyarakat menjadi patuh hukum. Oleh karena itu, proses penegakan hukum seyogyanya tidak sepenuhnya atau selamanya dilakukan dengan menggunakan metode keadilan formal dengan proses hukum litigatif (law enforcement process) melalui jalur litigasi dalam sistem peradilan pidana terpadu (criminal justice system) dari mulai penyidikan di kepolisian sampai pengadilan di lembaga peradilan yang dilaksanakan para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya sebagai alat negara sekarang ini masih cenderung berfikir positivistik dan formalistik. Tindakan formal litigatif tersebut banyak terfokus pada upaya paksa dengan kewenangan aparat penegak hukum yang melakukannya. Selanjutnya, kalaupun muncul suatu hasil, maka umumnya akan berakhir dengan situasi kalah-kalah (lost-lost) atau menang-kalah (win-lost) pada lembaga peradilan.

Kebiasaan di dalam masyarakat bila terjadi perkara pada umumnya diselesaikan melalui berbagai cara, masing-masing pendekatan menggunakan commit to user

(2)

paradigma yang berbeda sesuai dengan tujuan, budaya, atau nilai-nilai yang diyakini oleh pihak-pihak yang sedang berperkara. Dalam masyarakat bisnis terdapat dua pendekatan umum yang sering digunakan untuk menyelesaikan perkara. Pendekatan pertama, menggunakan paradigma penyelesaian perkara litigasi, yaitu suatu pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui sistem perlawanan atau pertentangan (the adversary sistem) dan menggunakan paksaan (coercion) dalam mengelola perkara serta menghasilkan suatu keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak yang berperkara. Pendekatan kedua, menggunakan paradigma penyelesaian perkara non-litigasi, yaitu suatu pendekatan dalam mencapai keadilan lebih mengutamakan pendekatan konsensus dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang berperkara serta bertujuan untuk mendapatkan hasil penyelesaian perkara ke arah win-win solution1. Penggunaan salah satu paradigma tersebut ditentukan oleh konsep tujuan penyelesaian perkara yang tertanam di pikiran masyarakat, kompleksitas, serta tajamnya status sosial yang terdapat dalam masyarakat dan budaya atau nilai-nilai masyarakat2. Dalam praktek peradilan pidana di Indonesia pun pernah terjadi (dalam kasus berinisial Ny.ED, dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara – Timur No.

46/PID/78/UT/wanita pada 17 Juni 19783, Bismar Siregar sebagai Hakim Ketua Sidang memutuskan untuk menjadikan perdamaian sebagai pertimbangan untuk menyatakan bahwa tindak pidana yang terbukti tidak lagi merupakan suatu kejahatan, oleh karenanya melepaskan terdakwa dari tuduhan dan segala tuntutan hukum.

1 Adi Sulistiyono. Membangun Paradigma Penyelesaian Sengketa NonLitigasi dalam Rangka Pemberdayaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis / Hak Kekayaan Intelektual. Disertasi.

Semarang: Universitas Diponogoro. 2002. , hlm. 10

2 Soetandyo Wignjosoebroto. “Mencoba Memahami Pola Prilaku Pemakai Jalan Raya”. 1988.

Yuridika No. 8, hlm 41

3 Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, No. 46/PID/78/UT/WANITA, 17 Juni 1978.

commit to user

(3)

Sistem hukum pidana di Indonesia mengisyaratkan bahwa pelaksanaan pidana pada hakikatnya terlepas dari kemauan orang-orang sehingga pada umumnya, ketentuan hukum pidana yang beraspek perikatan sebagai akibat hukum hubungan kontraktual tetap terlanggar meskipun ada persetujuan dari pihak yang dirugikan, hal ini tentu saja berbeda dengan sistem dalam hukum perdata. Dunia ilmu pengetahuan hukum mengenal ada pemisahan antara hukum publik dan hukum privat namun demikian dalam banyak hubungan hukum, ternyata banyak yang mengandung bersama-sama unsur-unsur publik dan privat sekaligus. Hal ini sudah selayaknya, sebagaimana diungkapkan oleh Wirjono Projodikoro bahwa :

“pada pokoknya semua hukum mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat untuk keselamatan masyarakat, sedangkan masyarakat itu terdiri atas manusia, maka kepentingan masyarakat yang selalu menjadi faktor dalam segala peraturan hukum namun dalam suatu hubungan hukum tertentu, keadaannya adalah sedemikian rupa bahwa titik berat berada pada kepentingan satu orang manusia, sedangkan pada hubungan lainnya ternyata titik berat ada pada kepentingan umum” 4.

Keadaan dengan titik berat pada satu orang manusia maka diserahkan pada individu tersebut untuk menetapkan apakah hubungan hukum akan dilaksanakan atau tidak, sedangkan untuk keadaan yang titik beratnya pada kumpulan manusia, maka harus ditetapkan oleh kumpulan manusia tadi. Inilah yang kemudian membedakan antara hukum publik dan privat. Hukum Pidana menjadi salah satu bagian dari hukum publik dan hukum perdata menjadi bagian dari hukum privat5. Hubungan bisnis yang berkembang saat ini, secara sepintas dapat dikatakan bahwa hubungan bisnis tersebut tampak sebagai hubungan privat, namun jika ditelaah lebih jauh ternyata di dalamnya bukan hanya masalah privat tapi

4 Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta.

2003, hlm 2

5 Ibid.

commit to user

(4)

tersangkut pula masalah pidana. Sebagai contoh, transaksi e – commerce makin digemari karena konsumen tidak perlu repot untuk bepergian, barang dan atau jasa yang diinginkan sudah bisa diperoleh sehingga lebih hemat waktu, tenaga, dan biaya, namun disisi yang lain konsumen harus jeli dalam transaksi e – commerce karena barang dan atau jasa yang dibeli tidak langsung ditangan konsumen, ada kecenderungan konsumen terjebak pada penipuan melalui internet (e – commerce fraud) karena kualitas barang dan atau jasa kadang tidak sama dengan yang dibayangkan dan diinginkan konsumen.

Konsumen yang terikat hubungan kontraktual perjanjian dalam bisnis transaksi e- commerce adakalanya terdapat penipuan dalam hubungan kontraktual perjanjian itu maka penipuan inilah yang akan berkaitan dengan masalah pidana sedangkan hubungan kontraktual berupa perjanjian antara para pelaku bisnis dalam transaksi e – commerce tersebut adalah masalah perdata.

Kasus yang menonjol misalnya kasus penipuan penjualan Lamborghini dan Ferrari yang dilakukan oleh pelaku berinisial YR alias Ian alias Marco alias Christian yang berdomisili di Medan dengan cara menawarkan kedua jenis mobil tersebut melalui internet dengan terlebih dahulu membuka email my282mnfg@yahoo.com dan telah menimbulkan kerugian pada korban Elias Youssef al Habr yang berasal dari Timur Tengah sekitar Rp. 550.000.000,- karena mobil yang dipesan tersebut tidak pernah ada dan tidak dikirim kepada korban6.

Akibat perbuatan pelaku sebagai penjual/pelaku usaha sangat merugikan korban selaku konsumen / pembeli barang karena konsumen sudah melakukan pembayaran untuk pembelian barang tersebut namun barang yang telah dibeli tersebut secara on line tidak pernah diberikan, sehingga dapat dinyatakan bahwa , transaksi e – commerce memiliki beberapa ciri berikut : (1) transaksi secara e –

6 Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1275/Pid.B/2005/PN. Mdn, tanggal 12 Agustus 2005 dikutip dari Sigid Suseno, Yuridiksi Tindak Pidana Siber. Refika Aditama, Bandung, 2012, hlm.

3.

commit to user

(5)

commerce memungkinkan para pihak memasuki pasar global secara cepat tanpa dirintangi oleh batas – batas negara; (2) transaksi secara e – commerce memungkinkan para pihak berhubungan tanpa mengenal satu sama lainnya; dan (3) transaksi melalui e – commerce sangat bergantung pada sarana teknologi yang keandalannya kurang dijamin, karena itu transaksi secara e – commerce ini keamanannya belum atau tidak begitu dapat diandalkan7.

Kejahatan yang sering kali muncul dalam transaksi e – commerce yang berupa penipuan lewat internet (internet fraud) tersebut dapat dinyatakan sebagai perkara pidana yang beraspek perikatan perdata sebagai akibat hubungan kontraktual yang terwujud dalam bentuk perjanjian jual beli secara online antara Pelaku Usaha dan Konsumen dalam melakukan transaksi jual beli terhadap suatu produk atau barang , oleh karena itu sejalan dengan perkembangan hukum pidana, pertanggung jawaban pidana dan kebijakan hukum pidana yang berkaitan dengan perkara pidana beraspek perikatan perdata dalam transaksi bisnis e- commerce, kontrak atau perjanjian yang disepakati antara Pelaku Usaha dan Konsumen via electronic equipment (e-mail, fax, media online internet) seringkali kewajibannya Pelaku Usaha untuk mengirim barang yang dipesan konsumen tidak sesuai yang diharapkan konsumen atau bahkan sama sekali barang tidak diberikan kepada konsumen sehingga menimbulkan kerugian pada konsumen karena penipuan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha, lantaran salah satu pihak dalam hal ini Pelaku Usaha sebelum atau pada awal dimulainya perjanjian jual beli via electronic equipment (e-mail, fax, media online internet) mempunyai itikad tidak baik atau tidak jujur. Akibatnya pihak Pelaku Usaha yang sengaja tidak melaksanakan kesepakatan dalam hubungan kontraktual perjanjian dalam transaksi jual beli online karena itikad tidak baik atau tidak jujur akan dimintakan

7 Abu Bakar Munir, Cyber Law: Policies and Challenges, Malaysia, Singapore, Hongkong. Butter Worths Asia, Singapore, 1999, Hlm 205

commit to user

(6)

pertanggungjawaban secara pidana dengan tuduhan melakukan tindak pidana penipuan. Apabila perkara tersebut dipertanggungjawabkan secara pidana tentunya berdasarkan asas-asas umum hukum pidana maka setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana akan diperiksa dan diadili melalui proses peradilan pidana yang terdapat pada sistem peradilan pidana. Apabila terbukti bersalah maka pelaku akan mendapatkan sanksi pidana .

Sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini masih mengutamakan keadilan retributif (retributive justice) 8 yang diformulasikan dalam penyelenggaraan peradilan pidana sebagai rasionalisasi atau objektivikasi balas dendam kepada pelanggar hukum pidana sehingga menimbulkan penderitaan dan stigma negatif secara permanen kepada pelaku tindak pidana. Louk Hulsman menyatakan bahwa criminal justice system atau sistem peradilan pidana dipandang sebagai masalah sosial dengan pertimbangan yang melandasinya, yaitu:9

1. Sistem peradilan pidana memberikan penderitaan;

2. Sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja sesuai dengan tujuan yang dicita-citakannya;

3. Sistem peradilan pidana tidak terkendalikan

4. Pendekatan yang dipergunakan sistem peradilan pidana memiliki cacat mendasar

Kelemahan Penggunaan proses peradilan pidana yang ada saat ini sebagai sarana pendistribusian keadilan sering dianggap tidak adil bagi semua

8 Pandangan Retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap prilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat, sehingga pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moral masing-masing. Helbert L. Packer, The Limits of the Criminal, Stanford University Press, California, 1968, hlm 10

9 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung, 1996, hlm 97

commit to user

(7)

pihak, dikarenakan sanksi yang diberikan kepada pelaku hanyalah berupa pembalasan atas perbuatannya, sehingga menimbulkan penderitaan dan stigma negatif secara permanen kepada pelaku (dalam kejahatan transaksi e – commerce yaitu pelaku usaha), sehingga pelaku usaha dalam transaksi e – commerce menjadi orang yang terkucilkan di masyarakat, akibat stigma negatif tersebut dapat menurunkan tingkat kepercayaan dan kredibilitas masyarakat dalam hal ini konsumen dalam membeli produk/ barang yang diperjual belikan, dampak jangka panjangnya akan menjadi sulit bagi pelaku usaha sebagai pelaku kejahatan dalam transaksi e – commerce untuk memperbaiki sikap dan prilakunya menjadi warga yang baik dan bertanggung jawab untuk kembali menjalankan profesinya sebagai Pelaku Usaha. Kondisi ini sangat bertentangan dengan keinginan masyarakat yang mendambakan keadilan restoratif yaitu keadilan yang diperoleh melalui sistem peradilan pidana sebagai sistem yang merupakan sarana penyelesaian konflik bagi korban, masyarakat, negara dan pelanggar dengan melakukan mediasi untuk menyelesaikan konflik karena adanya pelanggaran hukum pidana (kejahatan).

Negara tidak lagi diposisikan sebagai peran tunggal dan dominan dalam menyelenggarakan peradilan pidana, karena negara bukanlah korban tunggal yang sesungguhnya dan perannya dibatasi sebagai mediator dan fasilitator. Hubungan antara pelanggar dan korban dalam proses peradilan dibangun berdasarkan hubungan dialogis, yang kemudian dikenal dengan hubungan antar manusia yang saling membutuhkan (humanisasi). Namun berkenaan dengan upaya damai, untuk hukum pidana, upaya perdamaian ini masih merupakan suatu hal yang patut dipertanyakan, mengingat berlakunya suatu ketentuan bahwa tak ada perdamaian dalam pidana dan tercapainya perdamaian, tidak menghilangkan unsur pidana yang ada, sehingga menurut Bagir Manan, proses penegakan hukum pidana dan sistem pemidanaan yang dijalankan selama ini di Indonesia belum sepenuhnya

commit to user

(8)

menjamin keadilan terpadu (integrated justice) yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi masyarakat10.

Memperhatikan fenomena yang muncul di masyarakat guna mencapai keadilan prosedural yang obyektif dan keadilan restoratif, salah satu yang perlu untuk dicermati adalah makin maraknya upaya-upaya damai yang dilakukan ketika timbul suatu dugaan tindak pidana beraspek perikatan perdata untuk hubungan kontraktual berupa perjanjian dalam transaksi jual beli online antara pelaku usaha dan konsumen. Dalam menyelesaikan perkara pidana beraspek perikatan perdata untuk hubungan kontraktual berupa perjanjian dalam transaksi jual beli online hanya mungkin dapat dicapai melalui kesepakatan para pihak yang berkonflik untuk mempertemukan kepentingan – kepentingan dan menghasilkan keputusan yang disepakati bersama para pihak (pelaku dan korban) daripada melalui proses peradilan pidana. Hal ini kerap terjadi dikota-kota besar terutama dalam hubungan dunia bisnis menjalankan transaksi e- commerce yang mempunyai intensitas tinggi, sejalan dengan perkembangan arus informasi dan telekomunikasi yang mempersempit jarak sehingga hubungan antar dan inter negara dapat berlangsung secara singkat dan cepat yang membuat waktu menjadi sangat berharga. Manakala terjadi kasus pidana, maka para pihak cenderung mengambil jalur perdamaian karena dianggap efektif dan efisien, dibandingkan melalui proses peradilan yang menyita waktu dan tenaga.

Mediasi penal sebagai sarana non litigasi tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

10 Bagir Manan, “Restoratif Justice (Suatu Perkenalan)”, dalam Refleksi Dinamika Hukum:

Rangkaian Pemikiran Dekade Terakhir, editor Rudi Rizky et. al., Perum Percetakan Negara RI,

Jakarta, 2008, hlm 4-5 commit to user

(9)

karena ditelaah dari optik yuridis, sistem peradilan pidana di Indonesia berdasarkan KUHAP sangat berfokus pada pelaku tindak pidana, baik mengenai kedudukannya sejak tersangka sampai menjadi terpidana maupun hak – haknya sebagai tersangka ataupun terdakwa sangat dilindungi KUHAP, sehingga dapat dikatakan bahwa proses peradilan pidana di Indonesia adalah offenderation minded atau offender oriented criminal justice process11, artinya dalam sistem pemidanaan terfokus pada kepentingan pelaku tindak pidana, maka kepentingan korban (victim’s interests) tidak mendapat tempat di dalam KUHAP. Begitu pula dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) meskipun telah mengatur kepentingan korban untuk memperoleh ganti kerugian dari pelaku melalui keputusan hakim yang berupa pidana bersyarat, namun mengganti kerugian pada korban dijadikan sebagai syarat khususnya, tetapi dalam prakteknya karena hanya sebagai syarat khusus dari pidana bersyarat, maka seringkali tidak diterapkan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat, sehingga pelaksanaannya tidak efektif, oleh karena itu mediasi penal dapat dijadikan alternatif pembaharuan hukum dalam penyelesaian perkara pidana kejahatan dalam transaksi e – commerce yang berupa penipuan.

Meskipun konsep mediasi penal dalam perkara pidana berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (KUHP dan KUHAP) sebagai hukum positif yang pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan diluar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana diluar pengadilan melalui berbagai diskresi maupun hak oportunitas (depooneering) aparat penegak hukum dalam sistem penegakan hukum pidana di Indonesia, namun saat ini

11 Bagir Manan, “Restorative Justice (Suatu Perkenalan)”, dalam Refleksi Dinamika Hukum:

Rangkaian Pemikiran Dekade Terakhir, editor Rudi Rizky et.al., (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2008), hlm. 4-5

commit to user

(10)

sarana mediasi penal mulai marak dilakukan terutama setelah terbitmya Surat Kapolri No Pol B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (selanjutnya disebut ADR). Surat ini sifatnya parsial dan prinsip-prinsip mediasi penal yang dimaksud dalam Surat Kapolri ini menekankan bahwa penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR, harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional. Selain melalui berbagai diskresi dan hak oportunitas (depooneering) aparat penegak hukum, mediasi penal dalam praktek di masyarakat dapat pula melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga pemaafan (musyawarah keluarga, musyawarah desa dan musyawarah adat), karena tidak ada landasan hukum formalnya sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai walaupun melalui musyawarah hukum adat, namun tetap saja di proses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.

Penanganan perkara pidana kejahatan dalam transaksi bisnis e – commerce melalui mediasi penal belum memiliki landasan yuridis berupa peraturan perundang- undangan karena perdagangan elektronik di Indonesia belum secara eksplisit diakomodir dalam aturan hukum, bila dibandingkan dengan aturan hukum dagang tradisional (konvensional/offline), tanpa mengabaikan kebutuhan akan aturan hukum perdagangan elektronik, jaminan keamanan perdagangan elektronik merupakan satu fokus yang penting dalam perdagangan elektronik untuk meminimalisir terjadinya e- commerce fraud untuk hubungan kontraktual perjanjian dalam transaksi jual beli online, hal ini disebabkan undang-undang ITE (Undang – Undang No. 11 Tahun 2008) dan Peraturan Pemerintah PSTE (PP No. 82 Tahun 2012) belum diarahkan commit to user

(11)

untuk menaungi perdagangan elektronik sebab merupakan hal yang relatif baru bagi masyarakat sebagai dampak utama era digitalisasi dengan adanya perubahan pola ekonomi, dari perekonomian konvensional menuju perekonomian digital. Perekonomian digital merupakan arena virtual di mana proses bisnis dilakukan, nilai dibuat dan dipertukarkan, transaksi dilaksanakan, serta terdapat hubungan antar entitas pelaku ekonomi, independen namun serupa seperti yang terjadi pada ekonomi konvensional12. Perdagangan, sebagai salah satu unsur dalam proses bisnis, mengikuti tren digitalisasi dengan model perdagangan elektronik. Perdagangan elektronik adalah pertukaran barang atau jasa melalui internet atau media elektronis lainnya meliputi komunikasi, transaksi, dan penyelesaian mekanisme pembayaran sesuai dengan prinsip dasar yang berlaku pada perdagangan tradisional dimana pembeli dan penjual melakukan pertukaran barang atau jasa dengan media uang13, sehingga dalam upaya pengembangan dan pembaharuan hukum pidana di Indonesia, Peneliti perlu melakukan pengkajian berkenaan landasan atau dasar perlunya penyelesaian perkara pidana kejahatan dalam transaksi bisnis e – commerce dalam rangka perlindungan konsumen pada sistem peradilan pidana di Indonesia agar dapat melihat perkembangan mediasi penal saat ini, dengan melihat sejauh mana nilai – nilai yang hidup di masyarakat dapat dijadikan acuan untuk menyelesaikan perkara pidana di masyarakat sehingga diharapkan dapat merekonstruksi model alternatif pilihan penyelesaian perkara pidana kejahatan dalam transaksi bisnis e –commerce pada ruang sistem peradilan

12 A. Hartman, J.Sifons, J.Kadar, “Net-ready Strategies for Success in the E-conomy”, MacGraw-Hill.2000, hlm. 99

13 Direktorat Bina Usaha Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Naskah Akademik RPP Perdagangan Elektronik, http://ditjenpdn.kemendag.go.id/WEB/doc/dokumen/45/45.pdf, diakses 6 Maret 2014. 14.20 am

commit to user

(12)

pidana yang memungkinkan dapat diterapkan pada setiap tahapan proses peradilan pidana. Fenomena ini telah banyak dilakukan pada proses penyidikan di Kepolisian untuk perkara tindak pidana biasa (konvensional) yang telah diatur dalam KUHP sehingga issu yang kemudian muncul adalah penanganan kasus pidana dapat dilakukan dengan praktek perdamaian yang menghapuskan unsur pidana. Maka, untuk bisa mempertajam kajian terhadap konsep mediasi penal sebagai suatu alternatif penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi bisnis e – commerce melalui mekanisme diluar pengadilan sebagai sarana non litigasi dalam sistem penegakan hukum pidana di Indonsia, Penulis tertarik untuk mengkajinya secara ilmiah dalam disertasi berjudul “Rekonstruksi Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Kejahatan Transaksi E- Commerce (E-Commerce Fraud) Guna Melindungi Konsumen”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Mengapa diperlukan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana Indonesia terhadap penyelesaian perkara pidana kejahatan E-Commerce Fraud dalam transaksi e-commerce untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen ?

2. Mengapa asas legalitas (Legality Principle) dalam hukum pidana Indonesia dapat diterobos dengan mediasi penal untuk menyelesaikan perkara pidana dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ?

3. Bagaimana rekonstruksi mediasi penal sebagai model ideal alternatif pilihan penyelesaian perkara pidana kejahatan E-Commerce Fraud dalam commit to user

(13)

transaksi e – commerce pada sistem peradilan pidana di Indonesia guna memberikan perlindungan konsumen ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui, menganalisis, dan mengkaji fenomena mediasi penal yang muncul dalam sistem peradilan pidana Indonesia dalam penyelesaian kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e- commerce saat ini.

2. Untuk mengetahui, menganalisis, dan mengkaji bahwa saat ini asas legalitas (Legality Principle) dalam hukum pidana Indonesia dapat diterobos dengan mediasi penal untuk menyelesaikan perkara pidana dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

3. Untuk menganalisis dan mengkaji dalam upaya mendapatkan rekonstruksi mediasi penal yang tepat agar dapat menjadi model ideal alternatif pilihan penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce pada sistem peradilan pidana di Indonesia guna memberikan perlindungan konsumen.

D. Kontribusi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan teoritis dan praktis, antara lain :

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat bermanfaat bagi ilmuwan hukum, praktisi hukum, pemerhati hukum dan mahasiswa fakultas hukum bahwa mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana kejahatan dalam transaksi e- commerce pada sistem peradilan pidana di Indonesia dalam rangka commit to user

(14)

pengembangan dan pembaruan hukum pidana. Adanya kesadaran ini diharapkan mereka akan mengembangkan teori-teori hukum pidana, keadilan yang tumbuh, muncul atau bersumber dari pihak – pihak yang berperkara atau dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat (keadilan komutatif)

b. Untuk menambah perbendaharaan pengetahuan dalam melakukan penelitian, sebagai sarana untuk menambah wawasan dalam menganalisis suatu masalah, agar didapatkan suatu bahasan yang ilmiah dan objektif c. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi penelitian lanjutan yang

fokus pada alternatif penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal 2. Manfaat Praktis

a. Mengurangi beban perkara yang menumpuk di lembaga peradilan pada sistem peradilan pidana.

b. Memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada lembaga eksekutif dan legislatif dalam menyusun, membahas dan menetapkan RUU KUHP, RUU KUHAP, RUU TIPITI (Tindak Pidana Teknologi Informasi) dan peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari RUU KUHP, RUU KUHAP, dan RUU TIPITI dalam rangka pembaharuan hukum pidana

c. Memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dalam mengaplikasikan bahan atau konsep baru dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum terutama yang berkaitan dengan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce.

commit to user

(15)

E. Penelitian yang Relevan dan Kebaruan Penelitian

Dalam upaya menjamin kebaruan pada penelitian ini, peneliti melakukan penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu, karena kemungkinan adanya persamaan topik terhadap penelitian ini. Akibat keterbatasan peneliti dalam melacak hasil penelitian terdahulu, maka tidak menutup kemungkinan pokok persoalan yang diteliti dalam penelitian ini terkait dengan permasalahan yang telah diteliti oleh peneliti sebelumnya tetapi dalam sudut pandang yang berbeda.

Berdasarkan hasil penelusuran terhadap beberapa hasil penelitian sebelumnya yang telah peneliti uraikan diatas, walaupun topik yang dikaji sama-sama berkaitan dengan mediasi, namun terdapat perbedaan judul dan isu hukum yang diteliti, antar lain :

1. Hasil Penelitian Disertasi Ahmadi Hasan (Yogyakarta: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2007).

Judul “Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum nasional”. Isu hukum yang dibahas ada 2 (dua), antara lain : 1) Bagaimanakah penyelesaian sengketa hukum adat bedamai sebagai penyelesaian konflik antara pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana dalam masyarakat adat Banjar dalam kerangka sistem hukum nasional ?; dan 2) Bagaimana prinsip-prinsip yang terkandung dalam penyelesaian sengketa hukum adat badamai sebagai penyelesaian konflik antara pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana dalam masyarakat adat Banjar agar sesuai dengan kerangka sistem hukum nasional ?

2. Hasil Penelitian Disertasi Surya Perdana (Sumatera Utara: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008)

Judul “Mediasi Merupakan Salah Satu Cara Penyelesaian Perselisihan commit to user

(16)

Pemutusan Hubungan Kerja pada Perusahaan di Sumatera Utara”. Isu hukum yang dibahas ada 3 (tiga), antara lain : 1) Mengapa mediasi merupakan pilihan dalam penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja di Sumatera Utara?; 2) Bagaimana peran dan fungsi mediator dalam penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja ?; dan 3) Bagaimana tingkat keberhasilan mediasi dalam penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja ?

3. Hasil Penelitian Disertasi Ridwan Masyur (Bandung: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 2010)

Judul “Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut Sistem Peradilan Pidana dari Perspektif Restorative Justice”. Isu hukum yang dibahas ada 2 (dua), antara lain : 1) Bagaimanakah implikasi yuridik penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga yang memberikan deskripsi yang relatif memadai baik perspektif formulatif dan aplikatif pada Sistem Peradilan Pidana ?; dan 2) Bagaimanakah formulasi yang bersifat memadai bagi penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga ?

4. Hasil Penelitian Disertasi Nirmalasari (Semarang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponogoro, 2011)

Judul “Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup di luar pengadilan”. Isu hukum yang dibahas ada 2 (dua), antara lain : 1) Mengapa mediasi penal seyogyanya menjadi alternatif penyelesaian perkara tindak pidana lingkungan hidup diluar pengadilan; dan 2) Bagaimana konstruksi mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana lingkungan hidup yang ideal dalam sistem hukum pidana di Indonesia ?

commit to user

(17)

5. Hasil Penelitian Disertasi Arifin Rada (Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2011)

Judul “Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Tindak Pidana pada Konflik Horizontal di Kepulauan Kei Melalui Mekanisme sdov (perundingan)”. Isu hukum yang dibahas ada 3 (tiga), antara lain : 1) faktor-faktor apakah yang menjadi latar belakang terjadinya konflik horizontal di kepulauan Kei yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana?; 2) Mengapa aparat kepolisian tidak melakukan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana yang timbul sebagai akibat konflik horizontal di Kepulauan Kei?; dan 3) Mengapa mekanisme sdov (perundingan) dipilih masyarakat untuk menyelesaikan konflik horizontal di Kepulauan Kei ?

Dari 5 (lima) hasil penelitian terdahulu sebagaimana yang dijelaskan diatas, maka penelitian yang dilakukan peneliti mempunyai perbedaan dengan penelitian disertasi terdahulu meskipun topiknya ada kemiripan, yakni mengkaji mediasi sebagai alternatif penyelesaian perkara / sengketa di pengadilan. Dalam penelitian disertasi terdahulu obyek yang diteliti adalah penyelesaian perkara tindak pidana dalam lingkungan masyarakat hukum adat Banjar- Kalimantan Selatan, penyelesaian sengketa perdata pada pemutusan hubungan kerja di perusahaan, penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, penyelesaian perkara tindak pidana lingkungan hidup dan penyelesaian tindak pidana kekerasan pada konflik horizontal di Kepulauan Kei.

Dalam penelitian ini, obyek kajiannya adalah merekonstruksi mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce guna melindungi konsumen dengan mengkaji landasan pemikiran diperlukannya merekonstruksi mediasi penal commit to user

(18)

dalam penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce pada sistem peradilan pidana di Indonesia; mengapa muncul fenomena mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dan mengapa asas legalitas (legality principle) dalam hukum pidana bisa diterobos dengan mediasi penal untuk membangun model ideal alternatif pilihan penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce pada sistem peradilan pidana di Indonesia, dimana pada penelitian disertasi sebelumnya belum ada, sehingga kebaruan penelitian pada disertasi ini dapat dipertanggungjawabkan.

F. Batasan Operasional Variabel Penelitian

Untuk menghindari kesalahpahaman yang mungkin timbul dalam memberikan gambaran bagaimana variable/konstrak dari sesuatu aktivitas atau kegiatan diartikan atau diukur, oleh karena itu peneliti akan memberikan batasan operasional variabel penelitian yang akan dilakukan dengan menjabarkan beberapa hal yang perlu diberikan definisi operasional, antara lain :

1. Pengertian Rekonstruksi berarti membangun kembali (pembaruan) model terhadap suatu objek yang akan dibahas

2. Pengertian Mediasi Penal berarti salah satu bentuk alternatif penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan (alternatif to adjudication) yang pada prinsipnya mediasi ini merupakan perundingan (sdov) yang melibatkan pihak luar / pihak ketiga (mediator) yang netral dan tidak memihak yang bisa diterima kedua belah pihak yang berperkara baik pelaku maupun korban. Dalam hal ini pihak mediator sebatas memberikan bantuan substantif, prosedural, dan memberi saran pada kedua belah pihak, commit to user

(19)

sedangkan otoritas membuat keputusan tetap berada pada konsensus para pihak yang berperkara.

3. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Indonesia berarti suatu mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem di suatu negara (dalam hal ini negara Indonesia) yang bekerjanya secara berkaitan satu dengan yang lain, saling berhubungan dalam satu tujuan bersama mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan (justice), kemanfaatan (utility), dan kepastian hukum (certainly) dengan dijalankan oleh perangkat struktur / sub sistem / komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) yang bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar tercapai efisiensi dan efektifitas yang maksimal. Oleh karena itu, sistem peradilan pidana dengan sendirinya disebut sebagai sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System).

4. Pengertian alternatif penyelesaian perkara pidana berarti pilihan cara untuk menyelesaikan perkara pidana melalui prosedur yang disepakati para pihak di luar pengadilan (non litigasi).

5. Kejahatan dalam transaksi e – commerce (e-commerce fraud) berarti perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum pidana positif terkait yang merupakan salah satu jenis kejahatan di bidang ekonomi yang merupakan bagian dari kejahatan yang terjadi di dunia maya (cyber crime) berupa penipuan yang bekerjanya terjadi dalam bentuk transaksi perdagangan / perniagaan barang atau jasa (trade of goods and service) dengan menggunakan media elektronik berteknologi canggih dalam bidang informasi (komputer/internet) antara lain dapat berupa penipuan melalui email, penipuan melalui website/ blog, dan penipuan melalui SMS (Short messages services) atau melalui BBM (Black Berry Messager) sehingga commit to user

(20)

proses tawar menawar dan jual beli terhadap barang atau jasa tersebut tidak secara langsung (online processing).

6. Perlindungan konsumen berarti segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen dari perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum pidana positif terkait yang dilakukan produsen yang berakibat merugikan konsumen.

G. Sistematika Disertasi

Disertasi ini terdiri dari 7 (tujuh bab) yang akan dilakukan secara terstruktur dan tersistematis dengan bagian-bagian yang merupakan kesatuan yang utuh dalam memahami, menganalisis dan mendeskripsikan terhadap permasalahan yang ada dalam disertasi. Adapun isi dalam disertasi dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Bab I (satu) berisi mengenai Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Penelitian yang Relevan dan Kebaruan Penelitian, dan Batasan Operasional Variabel Penelitian.

2. Bab II (dua) berisi Kajian Pustaka, yaitu mengenai Landasan teoritik dan konseptual yang dibangun yang terbagi dalam 2 (dua) sub bab judul.

landasan teoritik terdiri dari teori-teori hukum (Legal Theories), yaitu : Teori Kebijakan Formulasi Hukum Pidana; Teori Restorative Justice; dan Teori Justice in many rooms. Sedangkan kerangka konseptualnya terdiri dari mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana, penyelesaian perkara dalam sistem peradilan pidana terhadap kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce, dan perlindungan konsumen terhadap kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce.

3. Bab III (tiga) merupakan metode penelitian berkenaan dengan bahasan rekonstruksi mediasi penal dalam sistem peradilan pidana di Indonesia commit to user

(21)

dalam penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e – commerce guna melindungi konsumen, yang terdiri dari 6 (empat) sub bab meliputi lokasi penelitian, jenis penelitian, jenis penelitian, metoda penelitian, sumber data, tehnik sampling, dan analisis data.

4. Bab IV (empat) merupakan dasar pemikiran mediasi penal dilaksanakan pada sistem peradilan pidana di Indonesia terhadap penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce sebagai pembahasan terhadap permasalahan hukum rekonstruksi mediasi penal dalam sistem peradilan pidana di Indonesia pada kejahatan transaksi e- commerce (e-commerce fraud) guna melindungi konsumen, yang terdiri dari 6 (enam) sub bab, yaitu peraturan perundang-undangan yang memungkinkan mediasi penal dapat diterapkan pada sistem peradilan pidana di Indonesia; kearifan lokal yang memfasilitasi terciptanya forum mediasi penal; penyelesaian perkara pidana dengan mediasi penal pada negara-negara asing; keperluan praktis penyelesaian perkara pidana melalui forum mediasi penal; keterlibatan korban dan tanggung jawab pelaku dalam penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce, serta rujukan model mediasi penal yang dapat diterapkan terhadap penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce di Indonesia

5. Bab V (lima) merupakan penerobosan Asas Legalitas (Legality Principle) dalam hukum pidana Indonesia dengan forum mediasi penal sebagai pembahasan terhadap permasalahan hukum rekonstruksi mediasi penal dalam sistem peradilan pidana di Indonesia pada kejahatan transaksi e- commerce (e-commerce fraud) guna melindungi konsumen yang terdiri

commit to user

(22)

dari 3 (tiga) sub bab yaitu : alasan filosofis; alasan yuridis; dan alasan sosiologis.

6. Bab VI (enam) merupakan rekonstruksi mediasi penal terhadap penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce di Indonesia sebagai bentuk perlindungan konsumen sebagai pembahasan terhadap permasalahan hukum rekonstruksi mediasi penal dalam sistem peradilan pidana di Indonesia pada kejahatan transaksi e- commerce (e-commerce fraud) guna melindungi konsumen yang terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu : penanganan perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce dengan forum mediasi penal oleh lembaga negara dan rekonstruksi penyelesaian perkara pidana kejahatan e-commerce fraud dalam transaksi e-commerce dengan forum mediasi penal pada sistem peradilan pidana di Indonesia.

7. Bab VII (Tujuh) merupakan Penutup, yang terdiri dari 3 (tiga) sub bab, yaitu, kesimpulan, implikasi dan saran (rekomendasi).

commit to user

Referensi

Dokumen terkait

informasi tentang jenis dan berbagai motif batik store nusantara, dapat melakukan pemesanan batik secara online dengan mendaftarkan data diri pelanggan dan mengisi form

Bedasarkan faktor-faktor tersebut, maka ketiadaan hubungan paparan debu terhirup dengan kapasitas vital paru pada pekerja penyapu pasar Johar kota Semarang, tidak

Pada hasil KLT dimana noda dengan pola pemisahan yang baik dan dapat memisahkan senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun Macaranga lamellata Whitmore terdapat pada

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Seringkali apabila tunggakan sewa berlaku ianya dikaitkan dengan masalah kemampuan yang dihadapi penyewa dan juga disebabkan faktor pengurusan yang lemah. Ada pula

Mediasi adalah merupakan upaya pihak- pihak yang berperkara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri, bukan kepentingan pengadilan atau hakim, juga bukan

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 95 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang