6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prinsip Dasar Magnetik
Metode magnetik merupakan salah satu dari banyak metode dalam geofisika yang dapat digunakan untuk survei pendahuluan pada eksplorasi minyak bumi, panas bumi (geothermal), batuan mineral maupun untuk keperluan pemantauan (monitoring) gunung berapi. Identifikasi struktur bawah permukaan seperti sesar, lipatan, intrusi batuan beku atau kubah garam dan reservoir geothermal juga dapat menggunakan metode magnetik. Pada eksplorasi geofisika lingkungan, metode magnetik hanya akan memberikan gambaran secara umum [8]. Metode magnetik memiliki beberapa keunggulan dibanding metode geofisika yang lain yakni diantaranya memiliki akurasi pengukuran yang relatif tinggi dan pengoperasian instrumentasi yang relatif sederhana.
Pada dasarnya metode magnetik mengukur variansi intensitas magnetik bumi suatu bahan dimana variansi ini disebabkan karena distribusi material termagnetisasi di bawah permukaan bumi. Kemampuan untuk termagnetisasi bergantung pada suseptibilitas masing-masing material. Variansi material berbanding lurus dengan anomali magnet total dimana semakin besar nilai variansi intensitas yang terukur maka akan semakin besar pulak nilai anomali magnet daerah penelitian. Analisis anomali magnet total digunakan untuk menginterpretasikan nilai suseptibilitas magnetik yang menjadi target penelitian daerah tersebut.
2.1.1 Gaya Magnetik
Gaya magnetik berbanding terbalik terhadap kuadrat jarak antara dua muatan magnetik, yang persamaannya mirip seperti hukum gaya gravitasi Newton (Charles Augustin de Coulomb, 1785). Dengan demikian, apabila dua buah kutub 𝑃1 dan 𝑃2 dari monopole magnetik yang berlainan terpisah pada jarak r, maka persamaan gaya magnetik dinyatakan seperti berikut:
7 𝐹⃑ = 1
𝜇 𝑃1𝑃2
𝑟2 𝑟⃑ (2.1)
Keterangan:
𝐹⃑ = gaya Coloumb (N)
𝑃1 dan 𝑃2= kuat kutub magnet (A.m) r = jarak antar kutub (m)
𝑟⃑ = vektor satuan
𝜇 = permeabilitas medium (N/A2) = 4п.10-7 H/m.
2.1.2 Kuat Medan Magnetik
Gaya magnetik 𝐹⃑ per satuan muatan 𝑃1 didefinisikan sebagai kuat medan magnetik terukur (H). Dengan demikian dihasilkan kuat medan magnet pada muatan 𝑃1 dapat dinyatakan sebagai [9]:
𝐻 = 𝐹⃑
𝑃1 =1
𝜇 𝑃1
𝑟2𝑟⃑ (2.2)
dimana, H adalah kuat medan magnetik terukur (Tesla).
2.1.3 Suseptibilitas Magnetik
Jika suatu benda terinduksi oleh medan magnet H, maka besar intensitas magnetik yang dialami oleh benda tersebut adalah [10]:
I = k H (2.3)
Keterangan :
I = intensitas magnet (nT)
k = suseptibilitas magnetik batuan (SI)
H = kuat medan magnet bumi (0.6 gauss = 6 ×10−5 T = 6 ×104 nT)
Suspetibilitas magnetik merupakan derajat kemagnetan suatu material. Harga k pada batuan semakin besar apabila dalam batuan semakin banyak dijumpai mineral- mineral yang bersifat magnetik [11]. Suseptibilitas magnetik merupakan besaran yang tidak memiliki dimensi dan merupakan parameter dasar yang dipergunakan
8
dalam metode magnetik. Nilai suseptibilitas magnetik dalam ruang hampa sama dengan nol karena hanya benda berwujud yang dapat termagnetisasi [12].
Sifat magnetisasi batuan atau suseptibilitas pada batuan beraneka ragam tergantung pada pembentukan batuan itu sendiri diantaranya [13].
1. Diamagnetik
Batuan diamagnetik mempunyai kerentanan magnet atau suseptibilitas (k) negatif dengan nilai yang sangat kecil dan tidak bergantung pada medan magnet luar.
Gambar 2.1 menunjukkan arah polarisasi diamagnetik. Harga suseptibilitas magnetik untuk bahan ini adalah sebesar (-8 < k < 310) × 10−6 emu (electromagnetic unit). Contohnya adalah grafit, marmer, kuarsa dan garam [14].
Gambar 2. 1 Arah polarisasi diamagnetik [13]
2. Paramagnetik
Batuan paramagnetik mempunyai harga kerentanan magnet (k) positif dengan nilai kecil. Medan magnet pada material ini hanya ada jika termagnetisasi oleh medan magnet luar. Jika pengaruh ini hilang maka medan magnet pada material ini pun akan bersifat acak. Untuk arah polarisasi paramagnetik dapat dilihat pada Gambar 2.2 Contohnya adalah batuan beku asam [14].
Gambar 2. 2 Arah polarisasi paramagnetik [13]
9 3. Feromagnetik
Batuan feromagnetik memiliki harga kerentanan magnet (k) positif dengan nilai yang besar. Contohnya batuan beku basa dan batuan beku ultra basa [14]. Batuan feromagnetik ini memiliki sifat yang bergantung pada temperature. Sifat lain yang dimiliki oleh feromagnetik ini yaitu saat medan magnet luar dihilangkan maka momen magnet tidak kembali acak. Namun momen magnet akan kembali acak dan sifat feromagnetiknya hilang saat dipanaskan pada temperature currie. Dimana Temperature Curie merupakan temperature tertinggi dimana sifat feromagnetik masih dapat dipertahankan. Contoh: nikel, besi, kobalt. Untuk arah polarisasi magnetik dapat dilihat pada Gambar 2.3 dan Gambar 2.4.
Feromagnetik dibagi menjadi dua yaitu:
a. Antiferomagnetik
Pada bahan antiferomagnetik domain-domain tadi menghasilkan dipole magnetik yang saling berlawanan arah sehingga momen magnetik secara keseluruhan sangat kecil. Suseptibilitasnya seperti pada bahan paramagnetik tetapi harganya naik sampai dengan titik curie kemudian turun lagi menurut hukum curie-weiss. Contoh: hematite (Fe2O3) [15].
Gambar 2. 3 Arah polarisasi antiferomagnetik [13]
b. Ferimagnetik
Pada bahan ferimagnetik domain-domain tadi juga saling anti paralel tetapi jumlah dipole pada masing-masing arah tidak sama sehingga masih mempunyai resultan magnetisasi cukup besar. Suseptibilitasnya tinggi dan tergantung pada temperature. Contoh: magnetit (Fe3O4), ilmenite (FeTiO3), pirhotit (FeS), hematit (Fe2O3), ferrite (NiOFe2O3) [15].
10
Gambar 2. 4 Arah polarisasi ferimagnetik [13]
Nilai suseptibilitas batuan bervariasi bergantung pada mineral yang menyusun batuan tersebut. Nilai suseptibilitas batuan dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2
Tabel 2. 1 Nilai Suseptibilitas Batuan [9]
Suseptibilitas Volume x 10^-3 SI (Satuan
International)
No Tipe
Range Average
Sedimen
1 Dolomite 0-0.9 0.1
2 Batuan Gamping 0-3 0.3
3 Batupasir 0-20 0.4
4 Serpih 0.01-15 0.6
Metamorf
1 Amphibiotite 0.7
2 Sekis 0.3-3 1.4
3 Filit 1.5
4 Kuarsit 4
5 Serpentin 3-17.
6 Sabak 0-35 6
Beku
1 Granit 0-50 2.5
2 Riolit 0.2-35
3 Dolorit 1-35. 17
4 Porphyry 0.3-200 60
5 Gabbro 1-90. 70
6 Basalt 0.2-175 70
7 Diorite 0.6-120. 85
8 Piroksenit 125
9 Peridotit 90-200 150
10 Andesit 160
11
Tabel 2. 2 Nilai Suseptibilitas Mineral [9]
Suseptibilitas Volume x 10^-3 SI (Satuan International)
No Tipe
Range Average
1 Grafit 0.1
2 Kuarsa -0.01
3 Rock Salt -0.01
4 Gypsum -0.01
5 Kalsit -0,001-(-0,01)
6 Batubara 0.002
7 Lempung 0.2
8 Kalkopirit 0.4
9 Spalerit 0.7
10 Kasiterit 0.9
11 Siderite 1-4
12 Pirit 0.05-5 1.5
13 Limonit 2.5
14 Arsenopirit 3
15 Hematite 0.5-35 6.5
16 Kromit 3-110 7
17 Franklinit 430
18 Pirotit 1500
19 Ilmenit 300-3500 1800
20 Magnetite 1200-19200 6000
2.2 Kemagnetan Bumi
Medan magnet bumi terkarakterisasi oleh parameter fisis yang dapat diukur yaitu arah dan intensitas kemagnetannya. Parameter fisis yang dimaksud yakni deklinasi, inklinasi, intensitas horizontal dan medan magnetik total dimana parameter yang menggambarkan arah medan magnet adalah deklinasi dan inklinasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5. Dari beberapa parameter fisis maka medan magnet lainnya dapat dihitung.
Beberapa alasan bumi memiliki medan magnetik diantaranya:
1. Kecepatan rotasi Bumi yang tinggi
2. Proses konveksi mantel dengan inti luar Bumi (bersifat kental) 3. Inti dalam (padat) yang konduktif, kandungan yang kaya besi.
12
Kekuatan magnet bumi sering menghasilkan gerak melingkar oleh karena itu sering dikaitkan dengan rotasi bumi. Saat bumi berotasi inilah partikel bermuatan listirk di cairan inti luar bergerak dan menghasilkan medan magnet. Medan magnet bumi terkarakterisasi oleh parameter fisis atau disebut juga elemen medan magnet bumi yang data diukur yakni meliputi arah dan intensitas kemagnetannya. Parameter fisis tersebut antara lain sebagai berikut [16].
a. Deklinasi (D)
Deklinasi merupakan sudut yang dibentuk antara Utara magnetik dengan komponen horizontal dihitung dari Utara menuju Timur.
b. Inklinasi (I)
Inklinasi merupakan sudut yang dibentuk antara medan magnetik total dengan bidang horizontal yang dihitung dari bidang horizontal menuju bidang vertikal ke bawah.
c. Intensitas Horizontal (H)
Intensitas horizontal merupakan besar dari medan magnetik total pada bidang horizontal.
d. Medan Magnetik Total (F)
Merupakan besar dari vektor medan magnetik total.
Kuat medan magnet yang terukur di permukaan bumi sebagian besar berasal dari dalam bumi (internal field) mencapai lebih dari 90%. Sedangkan sisanya adalah medan magnet dari kerak bumi yang menjadi target dalam eksplorasi geofisika dan medan dari luar bumi (external field). Medan magnet dari dalam bumi merupakan bagian yang terbesar, maka medan ini sering juga disebut sebagai medan utama (main field) yang dihasilkan oleh adanya aktivitas di dalam inti bumi bagian luar (outer core) [17].
13
Gambar 2. 5 Unsur-Unsur dari Medan Magnet Bumi [18]
Sumber medan magnet utama secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu medan magnet utama bumi (main field), medan luar (external field), dan medan magnet lokal atau anomali magnet total (anomaly field) [19].
2.2.1 Medan Magnet Utama (Main Field)
Medan magnet utama bumi disebabkan oleh sumber dari dalam dan luar bumi.
Medan magnet dari dalam bumi dibangkitkan oleh perputaran aliran arus dalam inti. Karena medan magnet utama bumi berubah terhadap waktu maka untuk menyeragamkan nilai-nilai medan utama magnet bumi, dibuat standar nilai yang disebut sebagai International Geomagnetic Reference Field (IGRF) yang diperbaharui setiap 5 tahun sekali. Nilai-nilai IGRF tersebut diperoleh dari hasil pengukuran rata-rata pada daerah luasan sekitar 1 juta km2 [20].
Nilai IGRF termasuk nilai yang terukur pada saat kita melakukan penelitian medan magnet di permukaan bumi, yang merupakan komponen paling besar dalam survei magnetik sehingga perlu dikoreksi.
14 2.2.2 Medan Magnet Luar (External Field)
Medan magnet bumi juga dipengaruhi oleh medan luar. Medan ini bersumber dari luar bumi yang merupakan hasil ionisasi di atmosfer yang ditimbulkan oleh sinar ultraviolet dari matahari. Karena sumber medan luar ini berhubungan dengan arus lisrik yang mengalir dalam lapisan terionisasi di atmosfer, maka perubahan medan ini terhadap waktu jauh lebih cepat dari pada medan magnet utama dan berubah bentuk terhadap waktu. Beberapa sumber medan luar antara lain [9]:
a. Perubahan konduktivitas listrik pada lapisan atmosfer dengan siklus 11 tahun dan berkorelasi dengan aktivitas matahari.
b. Variansi harian (Diurnal Variation) dengan periode 24 jam yang berhubungan dengan pasang surut matahari dan mempunyai range 30 nT dan dipengaruhi oleh aksi matahari pada lapisan ionosfer .
c. Variansi harian (Diurnal Variation) dengan periode 25 jam yang berhubungan dengan pasang surut matahari mempunyai jangkauan 2 nT.
d. Badai magnet yang bersifat acak dan mempunyai jangkauan sampai dengan 1000 nT pada semua garis lintang. Pada puncak badai magnetik, praktis eksplorasi dengan menggunakan metode magnetik tidak berguna.
Badai magnetik terjadi karena adanya aktivitas matahari terutama saat munculnya bintik matahari (sunspot). Jangkauan badai magnetik bisa mencapai ratusan hingga ribuan gamma dan berlangsung dalam beberapa jam. Pengukuran saat terjadi badai magnet tidak bisa dilakukan jika menggunakan metode magnet karena besar medan magnet yang dihasilkan oleh badai tersebut dapat mengganggu pengukuran [9].
Indikasi terjadinya badai magnet dapat dilihat dari indeks dst. Indeks yang merupakan ukuran aktivitas geomagnet yang menjadi indikator terjadinya gangguan geomagnet atau dikenal dengan badai geomagnet.
2.2.3 Medan Magnet Lokal (Anomali Magnet Lokal)
Medan magnet lokal atau sering disebut dengan anomali medan magnet (crustal field) adalah medan magnet yang dihasilkan oleh anomali atau batuan termagnetisasi pada kerak bumi akibat induksi medan utama magnet bumi. Nilai
15
anomali dapat dihitung dari pengukuran medan magnet total dikurangi medan magnet bumi melalui nilai IGRF yang sesuai dengan tempat penelitian [9].
Pada umumnya medan anomali lokal ini tidak menyebar pada daerah yang luas karena letak sumbernya tidak terlalu dalam seperti halnya dalam metode gravitasi.
Medan magnet ini dihasilkan oleh batuan yang mengandung mineral bermagnet seperti phyrotite (Fe7S8).
2.3 Koreksi Data Magnetik
Nilai anomali medan magnet diperoleh dengan melakukan koreksi terhadap data medan magnetik hasil total hasil pengukuran, yang mencakup koreksi harian, dan koreksi IGRF.
2.3.1 Koreksi Harian
Koreksi harian atau variansi harian merupakan penyimpangan nilai medan magnetik bumi akibat adanya perbedaan waktu dan efek radiasi matahari dalam satu hari. Waktu yang dimaksudkan harus sesuai dengan waktu pengukuran data medan magnetik di setiap titik lokasi yang akan dikoreksi. Apabila variasi harian bernilai positif, maka koreksinya dilakukan dengan cara mengurangkan nilai variasi harian yang terekam pada waktu tertentu terhadap data medan magnetik yang akan dikoreksi, begitu sebaliknya apabila nilai variasi harian negatif, maka koreksi harian dilakukan dengan cara menambahkan nilai variasi harian yang terekam pada waktu tertentu terhadap data medan magnetik yang akan dikoreksi [20].
Persamaan dapat ditulis sebagai berikut:
∆𝐻 = 𝐻𝑛 ± ∆𝐻 ℎ𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 (2.4)
Keterangan:
∆𝐻 = anomali magnet total (nT)
𝐻𝑛 = intensitas magnet total yang terukur (nT)
∆𝐻 ℎ𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 = intensitas magnet akibat variansi harian (nT)
16 2.3.2 Koreksi IGRF
Nilai intensitas medan magnet total yang didapatkan dari hasil pengukuran merupakan gabungan dari tiga komponen dasar, yakni medan magnet bumi, medan magnet luar, dan medan anomali. Yang menjadi nilai IGRF adalah medan magnetik utama, sehingga medan magnetik utama perlu dihilangkan dengan koreksi IGRF.
Koreksi IGRF dilakukan untuk mendapatkan nilai anomali medan magnet yang menjadi target penelitian. Koreksi IGRF atau International Geomagnetic Reference Field diperoleh dengan cara memasukkan nilai koordinat dalam bentuk longitude dan lattitude serta tanggal penelitian untuk mendapatkan nilai Higrf. Koreksi IGRF sendiri dapat diperoleh dari website NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration).
Persamaan untuk koreksi IGRF sendiri sebagai berikut :
∆𝐻 = 𝐻𝑛 ± ∆𝐻 ℎ𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 ± H0 (2.5)
Keterangan :
∆𝐻 = intesnitas magnet teoritis berdasarkan nilai IGRF pada stasiun (nT) 𝐻𝑛 = anomali magnet total (nT)
∆𝐻 ℎ𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 = intensitas magnet total yang terukur (nT) H0 = intensitas magnet akibat variansi harian (nT)
2.4 Reduksi Ke Kutub (Reduce To The Pole Magnetik)
Metode magnetik memiliki kekurangan dalam melakukan interpretasi kualitatif karena medan magnetiknya yang bersifat dipole [21]. Sifat tersebut menyebabkan data magnetik memiliki banyak penafsiran sehingga menyulitkan proses interpretasi, sehingga diperlukan metode transformasi reduksi ke kutub untuk mengurangi pengaruh medan magnet bumi dan mempermudah dalam interpretasi kualitatif pada data magnetik. Hasil dari transformasi ini akan menunjukkan anomali yang bersifat monopole, memiliki pola simetris, dan kurva berbentuk setengah gelombang yang dapat dilihat pada Gambar 2.6. Pada transformasi reduksi ke kutub benda anomali berada tepat di bawah kurva yang memiliki nilai anomali magnetik tertinggi [21]. Metode transformasi reduksi ke kutub telah
17
banyak digunakan dalam kajian geofisika baik itu untuk eksplorasi panas bumi [22]
karakterisasi patahan [23] dan pemetaan teluk Bone [24].
Bentuk anomali magnetik bergantung pada bentuk dan distribusi masa, anomali magnetik berbeda dengan anomali gravity dimana anomali magnetik lebih kompak.
Hal itu disebabkan karena pengaruh bentuk anomali tidak hanya bergantung pada body batuan dan suseptibilitas batuan namun juga dipengaruhi oleh arah kerentanan magnetik dan arah medan regional daerah target.
Gambar 2. 6 Anomali Magnet Total dan Anomali Magnet Total Hasil Reduksi Ke Kutub [21]
Baranov dan Naudy dalam Blakely (1995) mengembangkan metode transformasi untuk menyederhanakan interpretasi data magnet pada daerah berlintang rendah dan menengah yang dikenal dengan reduksi ke kutub. Metode transformasi ini merupakan filter pengolahan data magnetik untuk menghilangkan pengaruh sudut inklinasi magnetik dan mengubah sudut inklinasi dan deklinasi berturut-turut menjadi 90ᵒ dan 0ᵒ.
Pengaplikasian metode reduksi ke kutub menggunakan Fast Fourier Transform (FFT) yaitu sebagai berikut:
ℱ[∆𝑇𝑟] = ℱ[𝜓𝑟]ℱ[∆𝑇] (2.6)
Dimana:
ℱ[𝜓𝑟] = 1
𝜃𝑚𝜃𝑓 (2.7)
18
|𝑘2|
𝑎1𝑘𝑥2+ 𝑎2𝑘𝑦2+ 𝑎3𝑘𝑥𝑘𝑦+i |𝑘| (𝑏1𝑘𝑥+ 𝑏2𝑘𝑦 (2.8) Dengan |𝑘|≠ 0,
a1 = 𝑚̂z 𝑓̂z - 𝑚̂x 𝑓̂x, (2.9) a2 = 𝑚̂z 𝑚̂z - 𝑚̂y𝑓̂y, (2.10) a3 = - 𝑚̂y 𝑓̂x - 𝑚̂x 𝑓̂y , (2.11) b1 = 𝑚̂x 𝑓̂z - 𝑚̂z 𝑓̂x , (2.12) b2 = 𝑚̂y𝑓̂z - 𝑚̂z 𝑓̂y , (2.13) ℱ[𝜓𝑟] adalah transformasi Fourier reduksi ke kutub. ℱ[∆𝑇𝑟] adalah transformasi Fourier anomali medan magnetik di kutub. ℱ[∆𝑇] adalah transformasi Fourier anomali medan magnet yang menjadi lokasi penelitian. K adalah bilangan gelombang. 𝜃m adalah fungsi kompleks magnetisasinya, 𝜃f adalah fungsi kompleks medan magnet utama. 𝑚̂(xyz) adalah vektor dalam arah magnetisasi (x,y,z) dan 𝑓̂(xyz)
adalah vektor satuan dalam arah medan utama (x,y,z) [21].
2.5 Gaussian Regional/Residual Filtering
Gaussian regional/residual filtering merupakan salah satu filtering dalam metode magnetik yang digunakan untuk memisahkan anomali regional dengan anomali residual dari hasil anomali magnet total yang telah direduksi ke kutub. Dalam pengaplikasiannya filtering ini memanfaatkan distribusi data matriks Kernel Gauss sesuai namanya, yang mana dapat dituliskan sebagai berikut [25].
𝐺(𝑖, 𝑗) = 𝑐. 𝑒
−(𝑖−𝑢)2 + (𝑗−𝑣)2
2𝜎2 (2.14)
Dimana:
G(i,j) : Matriks Kernel Gauss
c : Konstanta
i,u,j, dan v : Komponen matriks
19
𝜎
: Konstanta nilai yang disesuaikan dengan ukuran matriks kernel (G(i,j))Dalam melakukan pemisahan anomali Gaussian Regional/Residual Filter ini melakukan analisis spektral berupa Radially Averaged Power Spectrum (RAPS) dimana sistem dari analisis spektrum ini yaitu dengan melakukan analisis peta Anomali Magnet Total dengan merata-ratakannya. Berdasarkan grafik RAPS yang ditunjukkan pada Gambar 2.7 ini akan diperoleh nilai cut-off pada panjang gelombang yang mana cut-off ini akan digunakan untuk memisahkan zona anomali dangkal dan anomali dalam.
Gambar 2. 7 Grafik Analisis Spektral
Untuk mengetahui kedalaman dari tiap anomali digunakan persamaan di bawah ini:
ℎ = − 𝑠
4п (2.15)
dimana:
h = kedalaman (m) s = slope (kemiringan)
𝑠 =𝛥 𝑙𝑛𝑃
𝛥𝑘 (2.16)
dimana:
s = slope (m)
k = bilangan gelombang
20 2.6 Second Vertical Derivative (SVD)
Second Vertical Derivative (SVD) dilakukan untuk memunculkan efek dangkal dari pengaruh regional serta untuk menentukan batas-batas struktur yang ada di daerah penelitian, sehingga filter ini dapat menyelesaikan anomali residual yang sebelumnya tidak dapat dipisahkan menggunakan filtering yang ada. SVD ini mengaplikasikan persamaan Laplace yang dapat dituliskan sebagai berikut [9].
∇2∆𝐻 = 0 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 ∇2∆𝐻 = 𝜕2(∆𝐻)
𝜕𝑥2 + 𝜕2(∆𝐻)
𝜕𝑦2 + 𝜕2(∆𝐻)
𝜕𝑧2 (2.17)
Sehingga persamaannya menjadi:
𝜕2(∆𝐻)
𝜕𝑥2 + 𝜕2(∆𝐻)
𝜕𝑦2 + 𝜕2(∆𝐻)
𝜕𝑧2 = 0 (2.18)
𝜕2(∆𝐻)
𝜕𝑧2 = − [𝜕2(∆𝐻)
𝜕𝑥2 + 𝜕2(∆𝐻)
𝜕𝑦2 ] (2.19)
Dari persamaan di atas menunjukkan bahwa SVD dari suatu anomali adalah sama dengan negatif dari derivative orde dua horizontalnya.
Terdapat beberapa operator filter SVD yaitu dihitung oleh Henderson dan Zeith (1949), Elkins (1951), dan Rosenbach (1952) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8.
21
Gambar 2. 8 Berbagai Operator Filter SVD
2.6 Pemodelan Data Magnetik
Dalam metode magnetik pola sebaran anomali dapat dilihat dengan melakukan pemodelan data ke depan (forward modeling) dan pemodelan inversi (inverse modeling). Forward modeling berjalan dengan cara suatu data dihasilkan langsung dari model dengan membuat dan menghitung model awal sembarang yang didasari atas intuisi geologi dan geofisika untuk membandingkannya dengan pola sebaran anomali dari hasil pengukuran [9]. Inverse modeling merupakan kebalikan dari forward modeling yakni model dihasilkan langsung dari data dengan melakukan
22
penyayatan pada peta anomali residual yang melewati data anomali dengan nilai tertinggi dan terendah.
2.6.1 Forward Modeling
Forward modeling adalah salah satu metode yang digunakan untuk menggambarkan bentuk bawah permukaan bumi. Metode ini memanfaatkan bentuk sederhana (simple geometry) untuk menentukan perhitungan yang diperlukan untuk mendekati bentuk bawah permukaan bumi. Proyek pemograman ini menganalogikan bentuk anomali dyke, slope, dan reservoir dengan bentuk yang sederhana seperti kotak dan jajaran genjang. Dalam aplikasinya secara kasar seperti mencocokkan data magnetik yang didapat dari lapangan dengan data yang didapat dari forward modeling yang dibentuk, dengan seperti itu akan diketahui model mana yang mendekati data lapangan tersebut, akan tetapi pembaca juga harus tahu bahwa metode ini hanya pendekatan. Maka harus mengkombinasikan pemodelan dengan pendekatan geofisika yang lain agar model yang didapat lebih akurat
2.6.2 Inverse Modeling
Inverse modeling merupakan cara yang digunakan untuk memperkirakan model respon magnetik yang paling cocok dengan data observasi. Fungsi objektif dalam pemodelan inversi berfungsi sebagai fungsi yang mencocokkan data dimana fungsi objektif merupakan fungsi dari selisih antara teoritis dengan data observasi. Setiap anomali magnetik yang diamati di atas permukaan dapat dievaluasi dengan menghitung proyeksi anomali medan magnet dari arah yang ditentukan. Sumber pada lokasi penelitian di set kedalaman sebuah cell ortogonal berupa mesh 3D [26].
Dengan asumsi mesh 3D memiliki suseptibilitas di setiap cell dan magnetik remanen diabaikan.
Hubungan antara anomali magnetik pada suatu lokasi penelitian dengan suseptibilitas bawah permukaan dapat dituliskan sebagai berikut:
Δt = G k (2.20)
23 G = (
𝐺11 𝐺12… 𝐺𝑖𝑗 𝐺12 𝐺22… 𝐺𝑖𝑗 𝐺𝑖𝑗 𝐺𝑖𝑗… 𝐺𝑖𝑗
) (2.21)
Dimana:
G = matriks Kernel dengan ukuran i x j i,j = jumlah parameter model.
Matriks Kernel digunakan untuk memetakan suatu model dari data keseluruhan pada saat proses inversi. Perhitungan komponen matriks kernel tersebut mengikuti perumusan, algoritma perhitungan dan juga program komputer [27].
Gambar 2. 9 Geometri model 3D bentuk prisma tegak atau kubus [28]
2.7 Sesar
Sesar merupakan suatu rekahan pada batuan yang mengalami pergeseran sehingga terjadi perpindahan antara bagian yang berhadapan dengan arah yang sejajar dengan bidang patahan. Simpson mengatakan bahwa sesar merupakan rekahan pada masa batuan yang telah memperlihatkan pergeseran pada kedua bidang rekahan [29].
24
Dua unsur terpenting dalam sesar adalah atap sesar (hanging wall) dan alas sesar (foot wall), dimana sesar akan terjadi ketika mengalami pergeseran pada salah satu blok relative naik atau turun terhadap lainnya.
Berdasarkan klasifikasinya sesar dibedakan berdasarkan up-dip bidang sesar dan arah gerak relatifya yaitu menjadi sesar normal, sesar naik, dan sesar mendatar [30]
[31].
a) Sesar Normal (Normal Fault)
Sesar Normal merupakan sesar yang paling banyak dijumpai pada banyak cekungan penelitian. Sesar normal atau disebut juga sesar turun ditandai oleh adanya lembah dan lereng yang curam. Sesar ini cenderung mengalami penurunan pada bagian hanging wall dibandingkan dengan foot wall nya disebabkan oleh hilangnya pengaruh gravitasi sehingga posisi batuan menuju posisi seimbang yang dapat dilihat pada Gambar 2.10.
Gambar 2. 10 Sesar Normal (Normal Fault) menurut Anderson, 1951 [30]
b) Sesar Naik (Reverse Fault)
Sesar naik (Reverse Fault) merupakan sesar yang cenderung mengalami penurunan pada blok foot wall nya dibandingkan pada bagian hanging wall nya yang relatif bergeser ke arah atas seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.11. Sesar ini ditandai dengan adanya pemisahan yang bersifat kontinyu sehingga terdapat lapisan yang hilang.
25
Gambar 2. 11 Sesar Naik (Reverse Fault) menurut Anderson, 1951 [30]
c) Sesar Mendatar (Strike-Slip Fault)
Pada Gambar 2.12 menunjukkan jenis sesar mendatar (Strile-Slip Fault) yang ditandai dengan tidak adanya perbedaan ketinggian dari blok bidang yang dilalui sesar. Pada sesar mendatar ini biasanya terdapat struktur penyerta seperti lipatan, sesar naik, dan anjak yang berasosiasi dengan sesar ini. Sesar mendatar juga dibedakan berdasarkan pergerakannya yakni sesar mendatar dextral (searah jarum jam) dan sesar mendatar sinistral (berlawanan arah jarum jam).
Gambar 2. 12 Sesar Mendatar (Strike-Slip Fault) menurut Anderson, 1951 [30]
2.8 Prinsip Akusisi Data Magnetik Laut
Pengukuran data medan magnet bumi dilakukan menggunakan sistem Marine Magnetometer SeaSPY dan satu unit komputer PC. Sistem ini menggunakan kabel sepanjang 150 meter yang ditarik di belakang kapal dengan posisi tenggelam 1-5 meter di bawah permukaan air laut. Ini bertujuan untuk menghilangkan pengaruh gangguan anomali dari sifat magnetik kapal. Sistem ini juga dilengkapi dengan
26
sistem GPS yang sebelumnya telah dihubungkan dengan data posisi GPS C-Nav sehingga perangkat komputer dapat menerima langsung data intensitas magnet total di sepanjang lintasan. Pengukuran medan magnet ini dilakukan secara kontinyu dengan pertimbangan kondisi di lapangan menggunakan alat yang dapat dilihat pada Gambar 2.13. Untuk survei magnetometer di laut ditunjukkan pada Gambar 2.14.
Gambar 2. 13 Sensor Marine Magnetometer SeaSPY
Gambar 2. 14 Survei Magnetometer di Laut [32]