• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN KELEKATAN ORANGTUA TERHADAP PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA TAHUN PERTAMA DI DAYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN KELEKATAN ORANGTUA TERHADAP PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA TAHUN PERTAMA DI DAYAH"

Copied!
198
0
0

Teks penuh

(1)

(The Influence of Emotional Intelligence and Parents Attachment on Adjustment among First-Year Students at Dayah)

Tesis

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Psikologi

Program Studi Magister Psikologi Profesi Minat Utama Psikologi Klinis Anak

Diajukan Oleh:

SUCI ZAHRATULLIZA 167029011

PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi.

Sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 27 Juli 2020

(Suci Zahratulliza)

(4)

Lembar Pengesahan ... ii

Pernyataan ... iii

Daftar Isi... iv

Daftar Gambar ... vii

Daftar Tabel ... viii

Daftar Lampiran ... x

Ucapan Terima Kasih ... xi

Abstract ... xiii

Abstrak ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 13

1.4.2 Manfaat Praktis ... 13

1.5 Sistematika Penelitian ... 14

BAB II LANDASAN TEORI ... 16

2.1 Penyesuaian Diri ... 16

2.1.1 Pengertian Penyesuaian Diri ... 16

2.1.2 Kriteria Penyesuaian Diri ... 18

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri ... 20

2.2 Kecerdasan Emosi ... 23

2.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosi ... 23

2.2.2 Aspek Kecerdasan Emosi ... 25

2.2.3 Dampak Kecerdasan Emosi... 28

2.3 Kelekatan Orangtua... 29

2.3.1 Pengertian Kelekatan Orangtua ... 29

2.3.2 Aspek Kelekatan Orangtua ... 30

2.3.3 Secure Attachment dan Insecure Attachment ... 32

2.3.4 Perkembangan Kelekatan ... 34

2.3.5 Dampak Kelekatan Orangtua ... 37

2.4 Remaja Awal ... 39

2.5 Pengaruh Kecerdasan Emosi dan Kelekatan Orangtua terhadap Penyesuaian Diri... 40

2.5.1 Pengaruh Kecerdasan Emosi terhadap Penyesuaian Diri ... 40

2.5.2 Pengaruh Kelekatan Orangtua terhadap Penyesuaian Diri... 43

2.5.3 Pengaruh Kecerdasan Emosi dan Kelekatan Orangtua terhadap Penyesuaian Diri ... 46

2.6 Hipotesa Penelitian ... 48

BAB III METODE PENELITIAN... 50

3.1 Identifikasi Variabel Penelitian ... 50

(5)

3.3 Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 52

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 53

3.4.1 Skala Penyesuaian Diri ... 53

3.4.2 Skala Kecerdasan Emosi ... 56

3.4.3 Skala Kelekatan Orangtua ... 57

3.5 Validitas dan Reabilitas Alat Ukur ... 59

3.5.1 Uji Validitas ... 59

3.5.2 Uji Reliabilitas ... 61

3.6 Hasil Uji Coba Validitas dan Reliabilitas ... 62

3.6.1 Skala Penyesuaian Diri ... 62

3.6.2 Skala Kecerdasan Emosi ... 65

3.6.3 Skala Kelekatan Orangtua ... 68

3.7 Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 71

3.7.1 Tahap Persiapan ... 71

3.7.2 Tahap Pengumpulan Data ... 72

3.7.3 Tahap Pengolahan Data ... 72

3.8 Metode Analisa Data ... 72

3.8.1 Uji Asumsi ... 72

3.8.2 Uji Hipotesa ... 74

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 76

4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 76

4.1.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 76

4.1.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ... 76

4.1.3 Gambaran Subjek Berdasarkan Asal Daerah ... 77

4.2 Hasil Uji Asumsi ... 79

4.2.1 Uji Normalitas ... 79

4.2.2 Uji Linearitas ... 80

4.2.3 Uji Heterokedastisitas ... 81

4.2.4 Uji Multikolinearitas ... 82

4.2.5 Uji Autokorelasi ... 83

4.3 Hasil Uji Hipotesa ... 84

4.3.1 Pengaruh Kecerdasan Emosi terhadap Penyesuaian Diri ... 84

4.3.2 Pengaruh Kelekatan Orangtua terhadap Penyesuaian Diri... 86

4.3.3 Pengaruh Kecerdasan Emosi dan Kelekatan Orangtua terhadap Penyesuaian Diri ... 87

4.4 Kategorisasi Data Penelitian ... 89

4.4.1 Penyesuaian Diri ... 89

4.4.1.1 Nilai Empirik dan Hipotetik Penyesuaian Diri ... 89

4.4.1.2 Kategorisasi Penyesuaian Diri ... 90

4.4.2 Kecerdasan Emosi ... 91

4.4.2.1 Nilai Empirik dan Hipotetik Kecerdasan Emosi ... 91

4.4.2.2 Kategorisasi Kecerdasan Emosi ... 92

4.4.3 Kelekatan Orangtua ... 94

(6)

4.5.1 Tabulasi Silang Kecerdasan Emosi dengan Penyesuaian

Diri ... 96

4.5.2 Tabulasi Silang Kelekatan Orangtua dengan Penyesuaian Diri ... 97

4.5.3 Tabulasi Silang Kecerdasan Emosi dan Kelekatan Orangtua dengan Penyesuaian Diri ... 98

4.6 Pembahasan ... 99

4.6.1 Pengaruh Kecerdasan Emosi terhadap Penyesuaian Diri ... 99

4.6.2 Pengaruh Kelekatan Orangtua terhadap Penyesuaian Diri... 103

4.6.3 Pengaruh Kecerdasan Emosi dan Kelekatan Orangtua terhadap Penyesuaian Diri ... 108

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

5.1 Kesimpulan ... 116

5.2 Saran ... 117

5.2.1 Saran Metodologis ... 117

5.2.2 Saran Praktis ... 118

DAFTAR RUJUKAN ... 124

LAMPIRAN ... 139

(7)

Gambar 4.1 Rumus Z kurtosis ... 80

Gambar 4.2 Scatterplot ... 82

Gambar 4.3 Rumus Mean Hipotetik dan Standar Deviasi Hipotetik ... 89

Gambar 4.4 Rumus Kategorisasi Penyesuaian Diri ... 90

Gambar 4.5 Rumus Mean Hipotetik dan Standar Deviasi Hipotetik ... 91

Gambar 4.6 Rumus Kategorisasi Kecerdasan Emosi ... 93

Gambar 4.7 Rumus Mean Hipotetik dan Standar Deviasi Hipotetik ... 94

Gambar 4.8 Rumus Kategorisasi Kelekatan Orangtua ... 95

(8)

Tabel 3.1 Teknik Skoring Skala Penyesuaian Diri ... 54

Tabel 3.2 Blue Print Skala Penyesuaian Diri ... 55

Tabel 3.3 Teknik Skoring Skala Kecerdasan Emosi ... 56

Tabel 3.4 Blue Print Skala Kecerdasan Emosi ... 57

Tabel 3.5 Teknik Skoring Skala Kelekatan Orangtua ... 58

Tabel 3.6 Blue Print Skala Kelekatan Orangtua ... 59

Tabel 3.7 Kriteria Nilai KMO ... 61

Tabel 3.8 Blue Print Skala Penyesuaian Diri setelah Uji Coba ... 65

Tabel 3.9 Blue Print Skala Kecerdasan Emosi setelah Uji Coba ... 68

Tabel 3.10 Blue Print Skala Kelekatan Orangtua setelah Uji Coba ... 70

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 76

Tabel 4.2 Gambaran Sujek Penelitian Berdasarkan Usia... 77

Tabel 4.3 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Asal Daerah ... 77

Tabel 4.4 Nilai Kurtosis pada Setiap Variabel ... 80

Tabel 4.5 Nilai Z Kurtosis pada Setiap Variabel ... 80

Tabel 4.6 Hasil Uji Linearitas ... 81

Tabel 4.7 Hasil Uji Multikolinearitas... 83

Tabel 4.8 Hasil Uji Autokorelasi ... 83

Tabel 4.9 Hasil Regresi Sederhana Pengaruh Kecerdasan Emosi terhadap Penyesuaian Diri ... 84

Tabel 4.10 Hasil Koefisien Korelasi Parsial Pengaruh Kecerdasan Emosi terhadap Penyesuaian Diri... 84

Tabel 4.11 Hasil Determinasi R Pengaruh Kecerdasan Emosi terhadap Penyesuaian Diri ... 85

Tabel 4.12 Hasil Regresi Sederhana Pengaruh Kelekatan Orangtua terhadap Penyesuaian Diri... 86

Tabel 4.13 Hasil Koefisien Korelasi Parsial Pengaruh Kelekatan Orangtua terhadap Penyesuaian Diri... 86

Tabel 4.14 Hasil Determinasi R Pengaruh Kelekatan Orangtua terhadap Penyesuaian Diri ... 87

Tabel 4.15 Hasil Regresi Berganda Pengaruh Kecerdasan Emosi dan Kelekatan Orangtua terhadap Penyesuaian Diri ... 88

Tabel 4.16 Hasil Determinasi R Pengaruh Kecerdasan Emosi dan Kelekatan Orangtua terhadap Penyesuaian Diri ... 88

Tabel 4.17 Nilai Empirik dan Hipotetik Penyesuaian Diri ... 89

Tabel 4.18 Kategorisasi Penyesuaian Diri ... 90

Tabel 4.19 Nilai Empirik dan Hipotetik Kecerdasan Emosi ... 92

Tabel 4.20 Kategorisasi Kecerdasan Emosi ... 93

Tabel 4.21 Nilai Empirik dan Hipotetik Kelekatan Orangtua ... 94

Tabel 4.22 Kategorisasi Kelekatan Orangtua... 95

Tabel 4.23 Tabulasi Silang Kategorisasi Kecerdasan Emosi dengan Penyesuaian Diri ... 96

Tabel 4.24 Tabulasi Silang Kategorisasi Kelekatan Orangtua dengan Penyesuaian Diri ... 97

(9)
(10)

Lampiran 2 Uji Asumsi Lampiran 3 Uji Hipotesa

(11)

akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul “Pengaruh Kecerdasan Emosi dan Kelekatan Orangtua terhadap Penyesuaian Diri pada Siswa Tahun Pertama di Dayah”. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Zulkarnain, Ph.D, Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen pembimbing I. Terima kasih atas segala waktu, bimbingan dan arahan yang Bapak berikan.

2. Ibu Rahma Yurliani, M.Psi, Psikolog, selaku dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing II. Terima kasih atas segala waktu, bimbingan dan arahan yang Ibu berikan.

3. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Si, Psikolog, selaku dosen penguji. Terima kasih atas segala arahan, kritik dan saran yang Ibu berikan.

4. Seluruh dosen Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama menjalani pendidikan di Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh staff dan pegawai di Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas bantuan dan pelayanannya dalam perihal akademik.

(12)

sangat membantu dalam proses penelitian.

7. Teristimewa untuk ayahanda tercinta Drs.Mahyar Safri dan ibunda tercinta Marjumiati. Terima kasih atas segala pengorbanan, kasih sayang, semangat, dukungan, dan do’a yang tiada pernah henti untuk kesuksesan dan keberkahan hidup ananda.

8. Teruntuk suami tercinta Ikhlasillah, S.I.Kom. Terima kasih atas segala pengertian, kasih sayang, semangat, dukungan, dan do’a kepada penulis.

9. Teruntuk adik-adik Yudha Bestari, A.Md dan Muhammad Aqil. Terima kasih atas segala dukungan dan do’a kepada penulis.

10. Seluruh teman-teman angkatan 2016 di Magister Psikologi Profesi, terutama sahabat-sahabat terbaik, Taya, Mela, dan Riza. Terima kasih atas dukungan, semangat, dan waktu yang kita lewati bersama selama masa perkuliahan.

Akhir kata, penulis sangat menerima segala saran maupun kritik yang membangun terhadap tesis ini, agar dapat membantu penulis menjadi lebih baik dikemudian hari. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu Psikologi serta bermanfaat bagi para pembaca.

Penulis,

Suci Zahratulliza

(13)

ABSTRACT

Dayah is an Islamic education institute in Aceh which is collaborating an Islamic educational and general science education. Dayah has rules and routine activities which are must be followed by the students. It can make the students learn to be diciplined, independent and must adjust themselves to these conditions. Several factors influence the adjustment of students, including emotional intelligence and parents’ attachment. This research has the objective to analyze: 1) the influence of emotional intelligence to adjustment among first-year students at Dayah; 2) the influence of parents attachment to adjustment among first-year students at Dayah; and 3) the influence of emotional intelligence and parents attachment to adjustment among first-year students at Dayah. This research using a saturated sampling technique with 200 subjects range from 12-13 years old. The measurement tools used are adjustment scale, emotional intelligence scale, and parents’ attachment scale. The result of research data analysis showed that: 1) emotional intelligence positively and significantly influenced to adjustment among first-year students at Dayah; 2) parents attachment positively and significantly influenced to adjustment among first- year students at Dayah; and 3) emotional intelligence and parents attachment influenced to adjustment among first-year students at Dayah. Emotional intelligence more contributed to increasing adjustment among first-year students at Dayah rather than parents attachment. The implication of this research is to develop emotional intelligence and parents attachment to improves better adjustment.

Keywords: adjustment, emotional intelligence, parents attachment, first-year students, Dayah

(14)

Tahun Pertama di Dayah

Suci Zahratulliza, Zulkarnain, dan Rahma Yurliani ABSTRAK

Dayah merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam di Aceh yang mengkolaborasikan pendidikan ilmu pengetahuan agama Islam dan ilmu pengetahuan umum. Dayah memiliki peraturan dan kegiatan rutin yang wajib diikuti oleh para santri. Hal ini membuat para santri belajar untuk disiplin, mandiri serta harus menyesuaikan dirinya dengan kondisi tersebut. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi para santri melakukan penyesuaian diri, diantaranya kecerdasan emosi dan kelekatan orangtua. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: 1) pengaruh kecerdasan emosi terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama di Dayah; 2) pengaruh kelekatan orangtua terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama di Dayah; dan 3) pengaruh kecerdasan emosi dan kelekatan orangtua terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama di Dayah. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah sampling jenuh, dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 200 orang yang berusia 12-13 tahun. Alat ukur yang digunakan berupa skala penyesuaian diri, skala kecerdasan emosi, dan skala kelekatan orangtua. Hasil analisa data penelitian menunjukkan bahwa: 1) kecerdasan emosi berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama di Dayah; 2) kelekatan orangtua berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama di Dayah; dan 3) kecerdasan emosi dan kelekatan orangtua secara bersama-sama berpengaruh terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama di Dayah. Variabel kecerdasan emosi memberikan sumbangan lebih besar terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama di Dayah dibandingkan dengan variabel kelekatan orangtua. Implikasi dari penelitian ini adalah agar para santri dapat mengembangkan kecerdasan emosi dan kelekatan orangtua untuk meningkatkan penyesuaian diri yang lebih baik.

Kata kunci: penyesuaian diri, kecerdasan emosi, kelekatan orangtua, siswa tahun pertama, Dayah

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dayah merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam di Aceh yang sudah sangat mengakar sejak Islam bertapak di Aceh pada abad pertama Hijriyah (Saifullah, 2013). Menurut sejarah peradaban di Aceh, Dayah memiliki peranan yang sangat penting dalam membina dan membangun pranata kehidupan khususnya bagi masyarakat Aceh (Pemerintah Provinsi Aceh, 2013).

Dayah di Aceh di kelompokkan menjadi dua, yaitu Dayah salafiah (tradisional) dan Dayah terpadu (modern). Dayah salafiah menganut sistem pendidikan yang diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi, sedangkan Dayah terpadu menganut sistem pendidikan yang lebih modern dan formal (Almujahir, 2015).

Salah satu Dayah modern yang ada di Banda Aceh selain menyajikan pendidikan berbasis keagamaan, lembaga ini juga menyajikan pendidikan umum serupa dengan sekolah lainnya. Dayah tersebut juga menerapkan beberapa peraturan serta mewajibkan para siswa yang disebut sebagai santriwan dan santriwati untuk mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan guna membiasakan para santri dalam kedisiplinan dan kemandirian. Peraturan tersebut salah satunya adalah santri diharuskan untuk tinggal setiap hari di asrama yang telah disediakan oleh pihak Dayah dan menjalankan syari’at Islam, serta menggunakan bahasa Arab atau

(16)

Inggris dalam komunikasi sehari-hari. Peraturan lainnya yaitu, memberikan izin untuk pulang ke rumah kepada para santri hanya sekali dalam sebulan. Selain itu, ketika libur semester, puasa Ramadhan, dan hari raya besar Islam, para santri diizinkan pulang dalam batas waktu yang telah ditentukan oleh pihak Dayah (Khalis & Hasyim, 2013).

Para santri yang tidak mentaati peraturan yang diberlakukan di Dayah, akan mendapatkan hukuman sesuai dengan kesalahan yang di langgar. Hukuman tersebut seperti mendapatkan teguran atau pemberian poin pelanggaran, membersihkan lingkungan Dayah, diberdirikan di depan umum, cukur rambut (khusus santriwan), lari keliling lapangan, pemanggilan orangtua, dan membuat surat pernyataan. Jika kesalahan yang dilakukan sudah terlalu berat akan dikeluarkan dari Dayah (Khalis &

Hasyim, 2013).

Selain memiliki peraturan yang wajib untuk di ikuti, Dayah juga memiliki kegiatan harian yang terstruktur serta rutin untuk dilakukan setiap harinya oleh para santri. Kegiatan tersebut di mulai dari pukul 04.30 WIB hingga pukul 23.00 WIB untuk santri kembali beristirahat. Dayah juga menetapkan kegiatan mingguan yang harus di ikuti oleh para santri.

Hal ini akan membuat para santri belajar untuk disiplin serta harus menyesuaikan dirinya dengan keadaan tersebut (Khalis & Hasyim, 2013).

Penyesuaian diri adalah suatu penerapan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan berlangsung secara terus menerus sepanjang hidup serta bervariasi dari waktu ke waktu (Haber & Runyon, 1984). Berdasarkan hasil wawancara

(17)

pada salah satu Uztadz mengenai penyesuaian diri santri di Dayah menyampaikan pendapatnya sebagai berikut (Komunikasi interpersonal, 9 April 2019):

“Masalah paling besar dan sering kali dihadapi dari santri selama disini pastinya masalah mereka untuk adaptasi selama di Dayah. Apalagi kalau santri yang masuk itu ke tingkat SMP nya, biasa lebih sulit untuk adaptasi dibandingkan yang masuk tingkat SMA. Diawal-awal sekitar 6 bulan pertama biasa mereka masih sulit untuk adaptasi. Reaksi mereka juga macam-macam. Masih banyak yang ngeluh, menangis, sering minta pulang karena tidak sanggup ikut prosedur yang ada di Dayah, berontak sama keadaan, berkelahi dengan teman, bahkan ada yang kabur dari Dayah. Mereka kesulitan untuk mengatur emosinya. Sebenarnya kan peraturan yang kita buat di Dayah walaupun ketat tapi dengan tujuan agar santri terbiasa dan bisa disiplin. Kalau misalkan ada diantara mereka yang melanggar kalau masih ringan ya kita tegur dulu. Tapi kalau itu berulang baru kita kasih hukuman dan dapat poin pelanggaran.

Kalau tetap berulah kita coba panggil orangtua, dan kalau tidak bisa di tolerir lagi kita keluarin dari Dayah. Pastinya kami disini selalu mengupayakan bagaimana caranya agar santri tetap merasa betah dan nyaman selama berada di Dayah sebagai pengganti rumah mereka. Biasanya kalau mereka sanggup untuk ikutin semua prosedur di Dayah pasti bertahan, kalau pun ada yang ngeluh tetap kita kasih dukungan, kasih solusi. Tapi kalau pada akhirnya memang tidak sanggup, biasa mereka akan pindah dari Dayah. Rata-rata setiap tahunnya 5-10% yang tidak betah dan pindah dari Dayah.

Biasanya santri-santri yang dipaksa masuk ke Dayah sama orangtuanya rata-rata ga bertahan dan akhirnya keluar. Walapun ada juga beberapa yang karena keinginan sendiri untuk masuk ke Dayah. Tetapi setelah mereka merasakan kehidupan di Dayah pada akhirnya tidak sanggup dan keluar. Kadang ada juga beberapa yang sering melakukan pelanggaran supaya poin pelanggarannya penuh dan itu bisa jadi alasan santri untuk pindah dari Dayah”.

Fenomena kesulitan menyesuaikan diri juga tampak pada sebagian santri di Dayah. Santri mengatakan terdapat beberapa hal yang membuat mereka merasa tidak betah berada di Dayah sehingga sulit untuk menyesuaikan diri. Pada sebagian santri tampak menampilkan berbagai macam emosi dikarenakan mereka tidak dapat mengelola perasaannya

(18)

seperti sedih, menangis, memberontak, mengeluh, meminta pulang, menolak untuk mengikuti peraturan, tidak bersemangat mengikuti berbagai kegiatan di Dayah, murung, sakit, menyendiri dan tidak ingin berteman dengan orang lain, berkelahi dengan teman, ingin keluar dari Dayah, ingin pindah sekolah, serta kabur dari Dayah. Namun, pada beberapa santri juga tampak dapat mengikuti kegiatan dan peraturan yang berlaku di Dayah, menjalin hubungan dengan teman, serta belajar dengan giat. Purwaningsih (2013) menyatakan bahwa setiap tahun siswa yang melakukan mutasi atau pindah sekolah, lebih besar dilakukan oleh siswa yang bersekolah asrama dibandingkan dengan siswa yang tidak bersekolah asrama.

Fenomena kesulitan menyesuaikan diri di Dayah juga tidak terlepas karena harus berpisah dengan orang tua untuk sementara, terlebih bagi mereka yang masuk ke Dayah karena keinginan orang tua. Berdasarkan hasil diskusi, pada sebagian santri mengatakan mereka sangat berat untuk meninggalkan rumah karena harus berjauhan dengan orang tua. Kehidupan rumah yang hangat dan menyenangkan harus digantikan dengan kehidupan di Dayah serta dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Hal ini juga berlaku bagi para santri yang berasal di luar kota Banda Aceh.

Keadaan ini semakin membuat mereka sulit untuk bertemu dengan orang tua dikarenakan terbatasnya waktu untuk berkunjung ke Dayah. Para santri juga mengatakan bahwa mereka merasa tidak betah karena sebelum tinggal di Dayah, orang tua adalah tempat mereka bergantung serta mengadu keluh kesah. Mereka juga tidak bisa menghubungi orangtua setiap waktu. Namun, ketika harus tinggal di Dayah mereka harus

(19)

melakukan segala hal sendiri. Mereka sering meminta kepada orang tua untuk menjemput pulang ke rumah dan berkeinginan untuk keluar dari Dayah. Biasanya, mereka hanya bisa menangis, memikirkan orang tua dan rumah sepanjang waktu, serta adanya keinginan yang sangat besar untuk berjumpa orang tua dan pulang kerumah. Saat para santri diberikan izin bulanan untuk pulang ke rumah, mereka akan merasa malas untuk kembali lagi ke Dayah. Saat terjadi pemisahan anak merasa khawatir tentang dirinya tanpa adanya figur lekat disisinya, sehingga sering terjadi penolakan ketika pergi ke sekolah dan memilih tinggal dirumah bersama figur lekatnya. Anak merasa akan ada bahaya yang menimpa ketika tidak bersama-sama dengan orangtuanya serta merasa takut orangtua akan meninggalkan dan tidak akan pernah kembali lagi (Bilwani & Gupta, 2015).

Sudarsono (2008) menyatakan bahwa ada enam masalah yang sering dialami oleh para remaja di sekolah menengah, yaitu masalah emosi, masalah penyesuaian diri, masalah perilaku seksual, masalah sosial, masalah moral, dan masalah keluarga. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Sari (2018) mengenai identifikasi masalah yang terdapat di pesantren menunjukkan bahwa masalah penyesuaian diri pada santri di pesantren memiliki persentase sebesar 81%. Persentase ini cukup tinggi dibandingkan dengan permasalahan lainnya yang di alami oleh para santri di pesantren. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handono & Bashori (2013) bahwa permasalahan yang sering dirasakan oleh para santri di pesantren adalah hambatan penyesuaian diri, kesulitan

(20)

bergaul serta sulit berkomunikasi dengan teman, sehingga menimbulkan stres dan berpengaruh pada tugas maupun tanggung jawab sebagai seorang santri.

Berdasarkan beberapa penelitian, menggambarkan pada dasarnya ketika santri memilih melanjutkan pendidikannya ke sekolah asrama, salah satu hal yang menjadi permasalahan adalah sulitnya para santri dalam menyesuaikan diri. Sebagaimana hasil penelitian dari Sutris (2008) didapatkan data hampir 75% siswa yang sekolah berasrama adalah kemauan dari orang tua bukan dari siswa itu sendiri, sehingga mengakibatkan siswa membutuhkan waktu yang lama (rata-rata 4 bulan) dalam melakukan penyesuaian diri.

Proses penyesuaian diri tersebut banyak terdapat pada ketidakmampuan santri untuk mengikuti aturan ataupun kedisiplinan. Hasil penelitian dari Wijayanti (2012) menunjukkan kesulitan para siswi dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan di asrama, terutama yang berkaitan dengan kedisiplinan, kemandirian, dan tanggung jawab dalam mengikuti aturan hidup yang ada di asrama, misalnya tidak dapat keluar dari asrama dengan sesuka hati, atau tidak dapat menggunakan handphone dengan bebas, hal ini membuat santri merasa tidak betah dan ingin pulang.

Siswa tahun pertama akan menghadapi tantangan berupa penyesuaian. Mereka perlu menguasai lingkungan sosialnya yang baru, mengembangkan orientasi berdasarkan tempat pendidikan mereka, menjadi siswa produktif di sekolah mereka, dan menyesuaikan dengan peran serta tanggung jawab baru. Mereka juga akan menemukan paket

(21)

metode belajar dan mengajar berbeda dari yang diperoleh sebelumnya (Aderi, Ishak, & Jdaitawi, 2013).

Sulitnya proses penyesuaian diri santri juga berdampak terhadap berbagai hal. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa setiap tahunnya 5- 10% dari santri baru mengalami masalah dalam melakukan proses penyesuaian diri, seperti tidak mampu mengikuti pelajaran, tidak ingin tinggal di asrama karena tidak dapat hidup terpisah dengan orang tua, serta melakukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan pondok (Yuniar, 2005; Hidayat, 2012).

Beberapa dampak lain yang dapat terjadi ketika para santri sulit dalam menyesuaikan diri adalah para santri akan merasa rendah diri, berkelahi, melanggar tertib sekolah, menentang guru, tidak melaksanakan tugas sekolah, membolos, dan terlambat datang ke sekolah (Kusumaningsih & Mulyana, 2013). Para santri yang berada pada fase remaja juga akan memiliki sikap negatif terhadap dirinya dan merasa tidak bahagia apabila tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Kumalasari & Ahyani, 2012).

Hal ini tidak menutup kemungkinan akan menjadi tekanan yang besar dan menimbulkan stres bagi para santri apabila tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan baik serta dapat mengganggu aktivitas kesehariannya. Penyesuaian diri ini sangat dibutuhkan agar para santri dapat bertahan dengan segala situasi dan kondisi di Dayah untuk dapat menyelesaikan pendidikannya. Lazarus (1991) mengungkapkan bahwa individu yang mampu menangani stres dan masalah hidupnya dengan baik

(22)

dan berhasil mempertemukan tuntutan-tuntutan yang berasal dari lingkungan dengan dirinya, maka individu tersebut memiliki penyesuaian diri yang baik.

Berhasil atau tidaknya para santri dalam menyesuaikan diri juga dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah kelekatan orang tua (Gunarsa & Gunarsa, 2008). Menurut Maslihah (2011), ketika para santri memilih untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah asrama, para santri dituntut untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan baik terhadap lingkungannya. Santri tidak hanya bertemu dengan orang-orang yang baru, seperti teman-teman, pengasuh asrama, namun juga harus hidup terpisah dengan orang tua yang tentunya hal ini bukan merupakan sesuatu yang mudah.

Orang tua dan kemampuan penyesuaian diri remaja merupakan dua ikatan yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Orang tua memiliki peran yang sangat penting dan signifikan terhadap penyesuaian diri remaja, karena lingkungan orang tua adalah fase awal pembentukan karakter seorang anak. Semua fase awal itu akan menjadi referensi kepribadian anak pada masa-masa selanjutnya. Oleh sebab itu, keluarga dituntut untuk merealisasikan nilai-nilai positif, nilai-nilai keagamaan sehingga terbina kepribadian anak yang baik dan mampu menyesuaikan diri di dalam masyarakat termasuk dalam lingkungan sekolah boarding school (Ramadhani, 2015).

Penyesuaian diri yang baik didapatkan dari hubungan kasih sayang dan kedekatan dengan orang tua (Gunarsa & Gunarsa, 2008). Penelitian

(23)

yang dilakukan oleh Fitriyah (2013) menyebutkan bahwa kelekatan yang dibangun sejak lahir berguna sebagai fungsi adaptif bagi remaja untuk menguasai lingkungan-lingkungan baru. Relasi yang baik dengan pengasuh akan menjadikan seorang anak memiliki secure attactment dan mengembangkan interaksi yang baik dengan orang lain serta memiliki penyesuaian diri yang baik. Secure attactment yang dimiliki remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosial remaja sebagaimana tercermin dalam penyesuaian diri yang baik terhadap lingkungan.

Selain kelekatan orang tua, faktor lain yang mempengaruhi penyesuaian diri pada remaja, yaitu kecerdasan emosi (Fatimah, 2010).

Hurlock (2004) mengatakan bahwa berbagai persoalan atau kejadian sehari-hari yang dialami membuat individu akan terus-menerus belajar, sehingga keterampilan emosional yang dimiliki akan terus berkembang.

Individu yang matang emosinya memiliki kontrol diri yang baik, mampu mengekspresikan emosinya dengan tepat atau sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga lebih mampu beradaptasi karena dapat menerima beragam orang dan situasi serta memberikan reaksi yang tepat sesuai dengan tuntutan yang dihadapi. Kecerdasan emosi mempunyai peranan yang sangat penting agar individu dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Kar, Saha, & Mondal (2016) menunjukkan bahwa kecerdasan emosi yang tinggi ditemukan sebagai prediktor kepuasan hidup, penyesuaian diri yang baik, interaksi yang positif dengan teman sebaya dan keluarga, serta kehangatan. Kecerdasan

(24)

emosi yang rendah dikaitkan dengan perilaku kekerasan, penggunaan obat terlarang dan alkohol, serta perilaku delinkuen. Penelitian ini juga menyatakan kecerdasan emosional secara langsung mempengaruhi penyesuaian saat dirumah, sekolah, dan sesama teman sebaya.

Goleman (2015) mengatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan individu dalam mengelola emosinya tergantung pada kecerdasan emosional. Semakin tinggi kecerdasan emosi seseorang, maka individu akan semakin mampu untuk mengatasi berbagai masalah khususnya yang memerlukan kendali emosi yang kuat. Kecerdasan emosi yang positif akan memberikan dampak, seperti lebih bahagia, percaya diri, populer, dapat menjalin hubungan yang baik dengan lingkungan, mampu mengelola emosi, mampu mengendalikan stres, dan lebih sukses di sekolah.

Sebaliknya, kecerdasan emosi yang negatif akan memberikan dampak, seperti perilaku agresi, kecemasan, prestasi yang buruk di sekolah, perilaku antisosial, dan hubungan yang buruk dengan teman sebaya (Chandri et. al, 2004; Santrock, 2009). Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shafira (2015) yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosi memiliki kaitan yang signifikan dengan penyesuaian diri, yang mana sumbangan efektif kecerdasan emosi terhadap penyesuaian diri adalah 55,8%.

Pada penelitian ini, peneliti ingin menguji antara pengaruh variabel kecerdasan emosi dan penyesuaian diri serta kelekatan orangtua dan penyesuaian diri pada remaja awal kelas VII tahun pertama di Dayah. Pada fase remaja awal terdapat salah satu tugas perkembangan yang harus

(25)

dilewati, yaitu mampu untuk meninggalkan reaksi sikap atau perilaku kekanak-kanakan dan melakukan penyesuaian diri (Yusuf, 2012).

Beberapa penelitian diantara variabel-variabel tersebut diujikan pada Mahasiswa dan siswa ditingkat SMA. Pada siswa tingkat SMP rata-rata mengambil seluruh jenjang kelas. Hal tersebut yang kemudian melatarbelakangi penelitian ini.

Selain itu, terdapat juga beberapa perbedaan pada hasil penelitian.

Penelitian yang dilakukan oleh Angelina (2015) yang diujikan pada siswa tingkat SMP seluruh jenjang kelas menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan penyesuaian diri santri di Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Amin Pabuaran. Hal ini merujuk pada santri yang cenderung hidup saling berkelompok dan kurang dapat bersosialisasi dengan sesama santri, seperti kurang komunikasi, enggan untuk bergabung, serta kurang mengenal teman sebaya. Selain itu, para santri juga cenderung kurang memiliki rasa kekeluargaan, empati, dan kepedulian terhadap satu sama lain, seperti enggan untuk membantu apabila temannya dalam masalah, serta kurang ramah dengan sesama santri. Kondisi ini berdampak terhadap proses penyesuaian diri santri selama di pesantren.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth (2014) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dan penyesuaian diri siswa SMA yang tinggal ditempat kost.

Peneletian lainnya yang dilakukan oleh Wicaksono & Mahmudah (2017) menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh positif dan signifikan dari

(26)

kualitas kelekatan ayah terhadap peningkatan kualitas penyesuaian diri santri.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh kecerdasan emosi dan kelekatan orangtua terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama di Dayah.

1.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan yang telah diuraikan di atas, maka rumusan dalam penelitian ini adalah:

a. Adakah pengaruh kecerdasan emosi terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama di Dayah?

b. Adakah pengaruh kelekatan orangtua terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama di Dayah?

c. Adakah pengaruh kecerdasan emosi dan kelekatan orangtua terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama di Dayah?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini, antara lain:

a. Untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosi terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama di Dayah.

b. Untuk mengetahui pengaruh kelekatan orangtua terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama di Dayah.

c. Untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosi dan kelekatan orangtua terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama di Dayah.

(27)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat yang baik bagi remaja yang bersangkutan, orang tua, maupun bagi masyarakat luas dan instansi terkait.

1.4.1 Manfaat Teoritis

a. Penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang Psikologi dan selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan perbandingan untuk dikaji lebih mendalam.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang penyesuaian diri pada siswa tahun pertama di Dayah.

b. Bagi remaja, hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan dan informasi mengenai pengaruh antara kecerdasan emosi dan kelekatan orangtua terhadap penyesuaian diri, sehingga dapat dijadikan sebagai wacana pemikiran bagi remaja agar mampu menyesuaikan dirinya dengan baik di lingkungan.

c. Bagi orang tua, memberi masukan dan informasi tentang pengaruh kecerdasan emosi dan kelekatan orangtua terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama, sehingga orangtua dapat lebih membangun hubungan yang baik agar

(28)

para remaja mampu untuk menyesuaikan dirinya dilingkungan.

d. Bagi pihak terkait, dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak atau instansi yang terkait dalam memberi solusi terhadap penyesuaian diri pada siswa tahun pertama.

1.5 Sistematika Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan sistematika penulisan yang dapat dilihat sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Pada bab ini akan diuraikan latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian secara teoritis dan praktis, serta sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Pada bab ini berisi landasan teori dari variabel yang akan diteliti, yaitu penyesuaian diri, kecerdasan emosi, serta kelekatan orangtua. Landasan teori dari masing-masing variabel akan menjabarkan definisi, kriteria atau aspek, dan faktor yang mempengaruhi. Selain itu, bab ini juga berisi dinamika variabel dan hipotesa penelitian.

(29)

Bab III : Metode Penelitian

Pada bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, populasi dan sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, alat ukur penelitian, validitas dan reliabilitas alat ukur, hasil uji coba alat ukur penelitian, prosedur pelaksanaan penelitian, serta metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

Bab IV : Hasil dan Pembahasan

Pada bab ini menguraikan gambaran umum subjek penelitian dan hasil utama penelitian dengan menggunakan SPSS for windows versi 23.0, serta pembahasan hasil penelitian yang dikaitkan dengan teori dan hasil penelitian lainnya yang relevan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini menguraikan kesimpulan dan saran penelitian.

Kesimpulan yang diuraikan merupakan hasil penelitian secara umum yang diperoleh peneliti di lapangan. Saran yang diuraikan merupakan masukan peneliti kepada beberapa pihak yang terkait dalam penelitian ini.

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Penyesuaian Diri

2.1.1 Pengertian Penyesuaian Diri

Haber & Runyon (1984) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai suatu penerapan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan berlangsung secara terus menerus sepanjang hidup serta bervariasi dari waktu ke waktu.

Penyesuaian diri merupakan proses mengubah perilaku individu untuk menciptakan dan mendapatkan hubungan yang seimbang dan harmonis dengan lingkungannya. Perubahan ini dapat membangkitkan perasaan tidak menyenangkan karena seseorang harus mencoba melakukan suatu hal yang baru terhadap keseimbangan dan homeostasis antara individu dan lingkungannya (Mudasir & Gannaie, 2013).

Menurut Mesidor & Sly (2016) penyesuaian diri adalah proses multidimensi yang melibatkan beberapa faktor. Individu yang mengalami proses ini akan menghadapi permasalahan yang berbeda- beda. Ketika individu memiliki tekanan psikologis terhadap lingkungannya dan mereka berhasil beradaptasi dengan lingkungan yang baru, maka mereka memiliki penyesuaian diri yang baik. Wijaya

& Judistira (2017) menyatakan penyesuaian diri sebagai tindakan adaptasi terhadap berbagai kondisi, posisi atau tujuan tertentu. Dalam

(31)

psikologi, penyesuaian diri merupakan proses perilaku dimana manusia

mempertahankan keseimbangan di antara berbagai kebutuhan mereka dan hambatan dari lingkungan mereka.

Ghufron & Risnawati (2014) mengartikan penyesuaian diri sebagai kemampuan individu dalam menghadapi tuntutan-tuntutan, baik dari dalam diri maupun dari lingkungan sehingga terdapat keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dengan tuntutan lingkungan dan tercipta keselarasan antara individu dengan realitas.

Menurut Deshmukh (2017) penyesuaian diri adalah interaksi antara seseorang dan lingkungannya. Proses tersebut terbentuk karena individu hidup dalam lingkungan keluarganya dan terlibat dalam hubungan sosial, matang secara emosional dan tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat secara fisik dan mental. Efektivitas penyesuaian diukur dalam hal seberapa baik seseorang mengatasi keadaannya yang berubah.

Sharma (2016) mengungkapkan penyesuaian diri sebagai reaksi terhadap tuntutan dan tekanan sosial lingkungan yang dibebankan pada individu. Individu harus bereaksi secara eksternal atau internal. Para psikolog telah melihat dari dua perspektif. Pertama, penyesuaian adalah prestasi dan yang kedua, penyesuaian adalah suatu proses. Sudut pandang pertama menekankan kualitas atau efisiensi penyesuaian dan yang kedua memberi penekanan pada proses dimana seorang individu sampai pada istilah eksternal lingkungan hidup.

(32)

Penyesuaian adalah proses dimana organisme hidup menjaga keseimbangan antara kebutuhannya dan keadaan yang mempengaruhi kebutuhan kepuasan tersebut. Penyesuaian mengacu pada kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Sasikumar

& Jeyakumari, 2018).

Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan penyesuaian diri merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan oleh individu dalam kehidupan sehari-hari, baik secara internal (diri sendiri) maupun eksternal (orang lain dan lingkungan sekitarnya) untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan.

2.1.2 Kriteria Penyesuaian Diri

Haber & Runyon (1984) menyatakan ada lima kriteria penyesuaian diri, yaitu:

a. Persepsi yang akurat terhadap realitas

Individu yang mampu melakukan penyesuaian diri yang baik akan menetapkan tujuan hidupnya sesuai dengan kemampuan dan kenyataan yang ada serta akan aktif mengejar tujuan tersebut.

Pencapaian tujuan akan dipengaruhi oleh hambatan dan peluang yang berasal dari lingkungan. Untuk itu, individu yang realistis akan mengubah dan memodifikasi tujuan sesuai dengan hambatan dan peluang yang ada. Individu memikirkan konsekuensi sebelum dia bertindak, dan menerima konsekuensi tersebut dari tindakan yang telah dilakukan.

(33)

b. Kemampuan untuk mengatasi stres dan kecemasan

Dalam pemenuhan tujuan hidup, individu tentunya mengalami hambatan dan kesulitan. Hal tersebut terkadang dapat membuat individu merasa stres dan cemas. Individu dengan penyesuaian diri yang baik mampu mengatasi stres dan kecemasan dalam proses mencapai tujuan dan pemenuhan hidup. Individu mampu mengatasi situasi yang terjadi dengan sikap yang tenang dan terarah. Adanya konflik, ketegangan, dan permasalahan tidak membuat individu tertekan dan stres. Individu dengan penyesuaian diri yang baik akan mencari cara ataupun solusi untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut dengan kemampuannya.

c. Citra diri yang positif

Para psikolog memandang berbagai persepsi tentang diri sebagai indikator kualitas penyesuaian diri. Penyesuaian diri yang efektif memerlukan adanya citra diri yang positif, namun sangat penting bagi individu untuk tidak menghilangkan realitas mengenai dirinya.

Salah satu yang menunjukkan individu memiliki penyesuaian diri yang baik adalah kemampuan individu dalam menggambarkan dirinya secara positif. Individu mempunyai keyakinan untuk dapat melakukan sesuatu dalam mencapai tujuannya dengan potensi yang dimilikinya. Selain itu, individu juga sadar akan kekurangan dan kelebihannya. Jika individu mampu mengenal dan memahami

(34)

dirinya secara realitas, berarti individu tersebut berada pada pencapaian sumber kekuatan penuh dari dirinya.

d. Kemampuan untuk mengekspresikan berbagai emosi

Individu dengan penyesuaian diri yang baik dapat mengekspresikan emosi yang dirasakan dengan baik pula serta memiliki kontrol emosi yang terkendali. Individu juga dapat mengekspresikan emosi yang dirasakan sesuai dengan kondisi dan lingkungan dimana ia berada.

e. Hubungan interpersonal yang baik

Memiliki hubungan interpersonal yang baik berkaitan dengan hakekat individu sebagai makhluk sosial, yang sejak awal bergantung dengan orang lain berdasarkan kebutuhan fisik, sosial, dan emosional. Individu yang dapat menyesuaikan dirinya dengan baik, maka akan mampu menjalin hubungan terhadap orang lain dengan cara yang produktif dan saling menguntungkan.

Berdasarkan uraian diatas, untuk menjadi individu dengan penyesuaian diri yang baik haruslah memenuhi beberapa kriteria, seperti persepsi yang realitas terhadap kehidupan, mampu mengatasi stres dan cemas dalam hidup, mempunyai citra diri yang positif, mampu mengekspresikan emosi dan mengontrolnya dengan baik, serta menjalin hubungan interpersonal yang baik, apabila hal ini terpenuhi maka individu akan dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik, serta menjadi individu yang produktif dan berkualitas.

(35)

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Fatimah (2010) menyatakan ada sepuluh faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, yaitu:

a. Faktor Fisiologis

Hal ini berkaitan dengan bentuk tubuh atau fisik. Fisik yang kurang baik akan menjadi hambatan individu dalam melakukan penyesuaian diri dilingkungannya.

b. Faktor Psikologis

Faktor psikologis yang memengaruhi kemampuan penyesuaian diri diantaranya pengalaman, hasil belajar, kebutuhan-kebutuhan, aktualisasi diri, depresi, dan lain-lain.

c. Faktor Pengalaman

Pengalaman yang termasuk kedalam penyesuaian diri diantaranya pengalaman menyenangkan dan tidak menyenangkan (traumatik).

Pengalaman yang menyenangkan dapat menimbulkan proses penyesuaian diri yang sesuai, sedangkan pengalaman traumatik akan menimbulkan penyesuaian yang salah.

d. Faktor Belajar

Hal utama yang harus dilakukan agar dapat melakukan penyesuaian diri adalah melalui belajar. Melalui belajar, individu akan membentuk ciri kepribadian dan selanjutnya akan dikembangkan.

Belajar yang dilakukan secara terus-menerus dan diperkuat dengan kematangan akan membuat seseorang dapat melakukan penyesuaian diri.

(36)

e. Determinasi Diri

Determinasi diri digunakan sebagai petunjuk arah dan pengendali individu. Individu yang mampu mengarahkan dan mengendalikan dirinya meskipun dalam situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan bagi dirinya akan menentukan berhasil atau tidak pada penyesuaian dirinya.

f. Faktor Konflik

Konflik tidak selalu bersifat negatif atau merugikan. Melalui konflik seseorang akan dapat memotivasi dirinya untuk dapat melakukan penyesuaian diri dengan meningkatkan usaha dirinya.

g. Faktor Perkembangan dan Kematangan

Kedua faktor ini memiliki tingkatan yang berbeda pada setiap individu, hal ini tergantung pada pencapaian proses perkembangan maupun kematangan yang telah dijalani. Ini tentu akan berpengaruh pada penyesuaian diri yang akan individu alami.

h. Faktor Lingkungan Keluarga

Faktor keluarga merupakan faktor yang paling utama dan sangat penting karena keluarga merupakan media sosialisasi yang pertama bagi anak. Hasil dari sosialisasi tersebut dikembangkan di lingkungan sekolah dan masyarakat umum.

i. Faktor Lingkungan Sekolah

Sekolah sebagai tempat untuk bersosialisasi, yaitu memengaruhi kehidupan intelektual, sosial, dan moral anak. Selama berada di sekolah, individu akan mendapatkan pendidikan yang dikemudian

(37)

hari ini akan menjadi bekal bagi proses penyesuaian diri di lingkungan masyarakat.

j. Faktor Budaya dan Agama

Penyesuaian diri individu, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara bertahap ini dipengaruhi oleh faktor budaya dan agama. Lingkungan tempat tinggal individu yang membentuk budaya akan membentuk cara-cara tersendiri individu didalam melakukan penyesuaian diri. Fungsi agama dalam hal ini dapat memberikan suasana psikologis tertentu dalam mengurangi konflik melalui suasana yang damai dan tenang bagi individu.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi inidvidu atau kelompok dalam menyesuaikan dirinya dengan baik, seperti faktor fisik, psikologis, pengalaman, belajar, determinasi diri, konflik, perkembangan dan kematangan, keluarga, sekolah, budaya dan agama.

2.2 Kecerdasan Emosi

2.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosi

Menurut Goleman (2000) kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, bertahan dalam menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan, tidak melebih- lebihkan kesenangan maupun kesusahan, mengatur suasana hati agar

(38)

beban stres tidak mengganggu kemampuan berfikir, berempati, dan berdoa. Kecerdasan emosi adalah kemampuan dan keterampilan memonitor perasaan dan emosi untuk membimbing pemikiran, tindakan, mengatasi tuntutan dan tekanan yang mempengaruhi lingkungan. Mengelola emosi dan kemampuan beradaptasi adalah faktor utama kecerdasan emosi (Seoki, 2016).

Masaong (2014) menyatakan kecerdasan emosi sebagai kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh manusiawi. Kecerdasan emosional didefinisikan sebagai kapasitas individu untuk memahami emosi, mengatur emosi, dan menerapkan informasi tersebut untuk memfasilitasi pemikiran dan mencapai tujuan. Kecerdasan emosional berperan penting dalam kesehatan mental, keberhasilan di bidang akademik, profesional dan sosial (Killgore, Smith, Olson, Weber, Rauch, & Nickerson, 2017).

Kecerdasan emosi didefinisikan sebagai kemampuan untuk menilai dan mengekspresikan emosi dengan benar (kemampuan intrapersonal), kemampuan untuk mengendalikan emosi pada orang lain (kemampuan antarpribadi), kemampuan untuk mengatur emosi secara efektif, dan kemampuan menggunakan emosi untuk membimbing perilaku (Sadri & Janani, 2015).

Bar-On (2010) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai sederet keterampilan emosional dan sosial yang saling terkait untuk menentukan seberapa efektif individu dalam memahami dan

(39)

mengekspresikan diri mereka, memahami dan berhubungan dengan orang lain, mengatasi tuntutan, tantangan, dan tekanan sehari-hari.

Menurut Serrat (2009) kecerdasan emosional menggambarkan keterampilan, kapasitas, atau kemampuan persepsi diri untuk mengidentifikasi, menilai, dan mengelola emosi diri sendiri, orang lain, dan kelompok. Orang yang memiliki tingkat emosi yang tinggi dapat mengenal diri mereka sendiri dengan baik dan juga mampu merasakan emosi orang lain. Mereka akan bersikap ramah, ulet, dan optimis.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan kecerdasan emosi merupakan kemampuan individu dalam memahami, mengelola dan mengendalikan emosi sebagai pedoman dalam menentukan pikiran dan tindakan yang dilakukan.

2.2.2 Aspek Kecerdasan Emosi

Goleman (2000) menyatakan ada lima aspek kecerdasan emosi, yaitu:

a. Kesadaran Diri

Kesadaran diri merupakan kemampuan individu mengenali emosi diri dalam suatu situasi. Kesadaran diri membuat individu mampu menyadari dan membedakan emosi yang terjadi dalam diri.

Kemampuan ini juga digunakan individu ketika proses pengambilan keputusan. Hal ini dikarenakan kesadaran diri akan membuat individu menjadi lebih reflektif, belajar dari pengalaman,

(40)

serta terbuka pada masukan dan perspektif baru. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan membuat individu berada dalam keadaan yang dikuasai oleh emosi. Hal ini akan membuat individu cenderung tidak dapat melakukan pertimbangan ketika hendak mengambil keputusan.

b. Pengaturan Diri

Pengaturan diri merupakan kemampuan individu untuk mengatasi dan mengungkapkan emosi sehingga memberikan dampak positif, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Kemampuan ini membuat individu dapat menyeimbangkan emosi dengan baik serta mampu mengatasi tekanan emosi yang muncul dalam dirinya. Mereka mampu berpikir jernih dan tetap fokus meskipun sedang dalam tekanan. Pengaturan diri juga diperlukan untuk mencegah dan mengatasi suatu permasalahan dan memungkinkan individu untuk mampu bersikap positif dalam menghadapi situasi yang berat.

c. Motivasi Diri

Motivasi diri merupakan suatu bentuk keyakinan pada kemampuan yang dimiliki individu sehingga mampu memunculkan dorongan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Individu dengan motivasi diri yang tinggi memiliki dorongan yang kuat untuk mencapai target dan standar yang ditentukan serta cenderung berorientasi pada kemungkinan akan keberhasilan. Individu yang memiliki keterampilan ini mampu melakukan suatu perilaku dengan baik, mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif. Motivasi

(41)

diri juga membuat individu mampu mengatasi kecemasan, frustasi, dan kegagalan yang terjadi pada dirinya.

d. Empati

Empati merupakan kemampuan untuk melihat suatu peristiwa dengan perspektif orang lain, sehingga mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Individu yang memiliki kecakapan ini akan menunjukkan kepekaan dan pemahaman terhadap perspektif orang lain. Kemampuan ini juga membuat indivudu menjadi lebih peduli dengan tanda-tanda sosial dari orang lain dan mampu menjadi pendengar yang baik serta dapat menjadi pribadi yang bisa membantu orang lain untuk mengembangkan diri. Sikap empati ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa percaya ketika menjalin hubungan dengan orang lain.

e. Membina hubungan

Membina hubungan merupakan keterampilan sosial individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Individu diharapkan mampu berinteraksi dengan baik dan bersikap bijaksana ketika menjalin hubungan interpersonal. Keterampilan ini juga mencakup kemampuan untuk mengatur suatu relasi yang baik dan membentuk jaringan sosial dengan lingkungan sekitar. Kemampuan ini menuntut individu agar dapat melakukan persuasi, berkomunikasi dengan baik, menyampaikan pesan dengan jelas, kemapuan berorganisasi, serta kemampuan manajemen konflik dengan baik.

Kecakapan dalam hal ini membuat individu memiliki kemampuan

(42)

untuk menjaga dan memelihara hubungan dengan orang lain, mampu bekerjasama atau bekerja dalam kelompok.

Berdasarkan uraian diatas, untuk menjadi individu dengan kecerdasan emosi yang baik haruslah memenuhi beberapa aspek, seperti kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati, dan membina hubungan dengan orang lain, apabila hal ini dapat direalisasikan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari, maka individu dapat memahami diri sendiri dan orang lain dengan baik pula.

2.2.3 Dampak Kecerdasan Emosi

Gangguan emosi dan perilaku merupakan permasalahan yang serius dalam perkembangan remaja. Emosi pada masa remaja cenderung bersifat fluktuasi, tidak sedikit remaja yang tidak dapat mengelola emosinya secara efektif. Sebagai akibatnya, mereka rentan marah, kurang mampu mengendalikan emosi, serta dapat memicu munculnya berbagai masalah dengan emosi negatifnya (Yuliani, 2013). Oleh karena itu, kecerdasan emosi sangatlah penting bagi remaja dalam membina hubungan dengan orang lain (Alrasheed &

Aprianti, 2018).

Yusuf (2012) menyatakan ada beberapa dampak emosi negatif terhadap perilaku remaja diantaranya adalah melemahkan semangat, menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, terganggu dalam penyesuaian diri serta suasana emosional yang diterima dan dialami

(43)

semasa kecil akan mempengaruhi sikapnya dikemudian hari. Namun, yang paling menonjol dialami remaja pada dampak emosi negatif, yaitu terganggunya dalam penyesuaian diri. Sebaliknya, individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosi yang tinggi akan mampu mengatasi berbagai masalah atau tantangan yang muncul dalam hidupnya (Setyowati, Hartati, & Sawitri, 2010).

2.3 Kelekatan Orangtua

2.3.1 Pengertian Kelekatan Orangtua

Istilah kelekatan pertama kali dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby.

Kemudian formulasi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969 (Mc Cartney & Dearing, 2002). Kelekatan merupakan ikatan afeksi antara dua individu yang memiliki intensitas yang kuat (Armsden & Greenberg, 1987). Menurut Vrticka, Sander, &

Vuilleumier (2012) kelekatan menggambarkan bagaimana orang terikat secara emosional dengan orang lain dan memanfaatkan interaksi sosial mereka untuk mengatur kebutuhan afektif.

Khairani & Hildayani (2012) menyatakan kelekatan merupakan sebuah konstruk yang berlaku sepanjang hidup. Seorang anak akan mempertahankan ikatan kelekatan yang dimilikinya dengan orangtua dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Kelekatan berkaitan dengan kedekatan emosional antara anak dengan orang tua yang akan

(44)

menciptakan rasa aman dan membentuk dasar yang kuat bagi kesehatan mental yang positif (Hastuti, 2015).

Kelekatan merupakan hubungan ikatan khusus yang dibentuk anak-anak dengan satu atau lebih terhadap orang dewasa. Hal ini akan menciptakan rasa aman ketika anak berada didekat orang dewasa (Wittmer, 2011). Menurut Papalia, Olds, & Feldman (2009) kelekatan didefinisikan sebagai hubungan timbal balik yang aktif dan reaktif antara dua individu yang dibedakan dari orang lain, dan interaksi yang terjalin antara dua individu merupakan usaha untuk menjaga kedekatan.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan kelekatan orangtua merupakan ikatan emosional antara dua individu yang meliputi perasaan, emosi, pikiran, dan disertai dengan adanya kepercayaan, komunikasi yang intens, maupun penerimaan.

2.3.2 Aspek Kelekatan Orangtua

Armsden & Greenberg (1987) menyatakan ada tiga aspek kelekatan orangtua, yaitu:

a. Kepercayaan (Trust)

Kepercayaan merupakan kualitas penting dalam suatu hubungan.

Kepercayaan berhubungan dengan perasaan aman dan yakin bahwa orang lain akan sensitif dan responsif dalam memahami, memaklumi, mengerti keinginan, memenuhi kebutuhan, kepentingan, dan keperluannya. Tingkat kepercayaan yang kuat

(45)

antara orangtua dan anak dapat menciptakan ikatan yang baik dan sehat. Kepercayaan pada figure attachment merupakan proses pembelajaran terhadap orang lain yang selalu hadir untuk dirinya.

Kepercayaan dapat dibentuk setelah adanya pembentukan rasa aman

melalui pengalaman-pengalaman positif yang terjadi secara konsisten pada individu.

b. Komunikasi (Communication)

Individu menunjukkan persepsi bahwa orangtua mau mendengarkan dan tanggap terhadap sebagian emosinya dan menilai intensitas keterlibatan dan komunikasi verbal. Komunikasi yang memuaskan akan membangun ikatan emosional yang kuat antara orangtua dan anak. Komunikasi yang terjalin antara orangtua dan anak ditunjukkan melalui pengungkapan perasaan, orangtua yang menanyakan permasalahan yang dialami individu, dan orangtua yang mendukung individu dalam memahami dirinya sendiri. Remaja mencari kedekatan dan kenyamanan dalam bentuk nasehat sehingga komunikasi menjadi hal yang penting pada masa remaja.

c. Keterasingan (Alienation)

Keterasingan merupakan jarak yang terjadi karena figur attachment yang tidak empati. Keterasingan berkaitan erat dengan peghindaran

(46)

dan penolakan, dimana kedua hal tersebut sangat penting bagi pembentukan attachment. Ketika seseorang merasa atau menyadari ketidakhadiran figur, maka akan berakibat pada buruknya attachment yang dimiliki. Hal ini menimbulkan perasaan terasing dan terisolir. Ketika orangtua dapat meluangkan waktu dan mampu mencurahkan kasih sayang secara penuh, maka anak akan merasa aman saat berada bersama orangtua. Begitupun sebaliknya, individu menyadari ketika orangtua tidak sedang bersama di dekatnya, maka individu akan memiliki persepsi pada buruknya kelekatan yang diterima oleh individu. Rendahnya keterasingan akan menumbuhkan rasa aman yang mengacu pada kurang adanya perasaan terasing, terisolasi, serta kemarahan yang dialami oleh anak dalam suatu hubungan.

Berdasarkan uraian diatas, terdapat beberapa aspek yang dapat menjadikan individu memiliki ikatan emosional yang kuat dengan individu lainnya, khususnya orangtua dan anak seperti kepercayaan, komunikasi yang baik, dan keterasingan.

2.3.3 Secure Attachment dan Insecure Attachment

Ada dua hal mendasar yang harus dipenuhi oleh orangtua untuk membentuk hubungan yang hangat dengan anak, yaitu pembentukan kepercayaan (basic of trust) semenjak bayi, hal ini akan terbentuk jika orangtua selalu ada kapanpun bayi membutuhkan serta memberikan penghargaan terhadap regulasi emosi dalam

(47)

mengekspresikan perasaannya secara terus menerus yang didasarkan dengan pola fisiologis (Armsden & Greenberg, 2009).

Ada beberapa ciri perilaku orangtua yang berkaitan dengan secure attachment, yaitu: a) sensitif dan responsif, b) jelas, konsisten, harapan yang tepat terhadap perkembangan dan memberikan pengawasan, c) hangat, berinteraksi secara positif dan memberikan respon verbal yang baik, d) melihat anak sebagai individu yang unik dan memahami anak, e) merespon anak dengan penuh perasaan (Armsden & Greenberg, 2009).

Perilaku anak-anak yang berkaitan dengan secure attachment, yaitu: a) merasa nyaman dalam mengeksplorasikan diri dengan orang yang lekat dengannya, b) ketika merasa gelisah atau sakit, maka ia pergi kepada orang yang lekat dengannya untuk mencari kenyamanan, c) mencari bantuan jika ia membutuhkannya, d) mau menuruti permintaan untuk meminimalisasi konflik, e) tidak begitu membutuhkan kontrol yang berlebihan dari pengasuh (Armsden &

Greenberg, 2009).

Insecure attachment memiliki karakteristik antara lain ketidakmampuan anak untuk menjadikan orangtuanya sebagai dasar rasa nyaman. Ada tiga tipe perilaku kelekatan yang tidak aman, yaitu:

a) sebagian besar anak cenderung tidak mandiri, sulit berpisah dengan orangtuanya, dan tidak mandiri saat bermain, kelekatan ini disebut dengan insecure-resistant attachment, b) beberapa anak memiliki rasa ketergantungan, tidak dekat dengan orangtuanya, dan tidak peduli

(48)

ketika orangtuanya pergi, kelekatan ini disebut dengan insecure- avoidant attachment, c) anak memperlihatkan kelekatan yang kacau dengan orangtuanya, hal ini terlihat dari kebingungan dan perilaku yang tidak beraturan di depan orangtuanya, kelekatan ini disebut dengan disorganized atau disoriented attachment (Armsden &

Greenberg, 2009).

Ciri-ciri perilaku orangtua yang berkaitan dengan insecure attachment, yaitu: a) tidak membiarkan anak melakukan eksplorasi diri dan terlalu mengontrol anak, b) perilaku orangtua tidak jelas, tidak konsisten, harapan yang berlebihan terhadap anak, dan sangat mengawasi, c) mengabaikan kebutuhan dan isyarat anak, d) tidak konsisten dan respon perilaku orangtua tidak dapat diandalkan, e) perilaku bermusuhan, mengancam, dan menakutkan, f) lebih memprioritaskan kebutuhan orangtua dibandingkan anak, g) berperilaku seperti anak kecil atau memperlakukan anak seolah-olah anak yang bertanggung jawab, h) penarikan diri yang ditandai dengan ketakutan, keragu-raguan dan ketakutan ketika berada disekitar anak, i) terlalu dekat dengan anak atau adanya perilaku seksual yang kurang wajar (Armsden & Greenberg, 2009).

Perilaku anak yang berkaitan dengan insecure attachment, yaitu: a) sangat tergantung, b) pemalu, menarik diri, dan tidak bisa menjalin pertemanan, c) tidak mampu mencari seseorang untuk memperoleh rasa aman jika diperlukan, d) terlalu ramah bahkan kepada orang yang tidak dikenal, e) memiliki sifat yang suka

(49)

menghukum dan memerintah orang lain, f) lebih mementingan kepentingan orangtuanya, g) takut kepada orangtuanya, seperti mendekati sambil menjauh, diam, dan kaku, h) memiliki kecenderungan perilaku seksual (Armsden & Greenberg, 2009).

2.3.4 Perkembangan Kelekatan

Kelekatan yang terbentuk antara bayi dan orangtua merupakan landasan dasar bagi hubungan manusia pada masa selanjutnya.

Kualitas kelekatan pada masa bayi akan menjadi akar kepercayaan anak terhadap figur lekat sebagai sumber rasa aman. Pada masa anak- anak, figur lekat utama yang paling berperan biasanya ibu sebagai seorang pengasuh. Interaksi yang intens antara ibu dan anak biasanya dimulai saat proses pemberian ASI, karena dalam proses ini terjadi kontak fisik yang disertai upaya untuk membangun hubungan psikologis antara ibu dan anak. Kelekatan yang kuat akan memberikan dasar perkembangan emosi dan sosial yang sehat dalam masa selanjutnya (Bowlby; Santrock, 2003).

Pengaruh kelekatan tidak hanya berdampak hingga masa kanak-kanak atau remaja saja, melainkan hingga masa dewasa.

Kelekatan memiliki peranan penting untuk membantu remaja dalam memenuhi tugas-tugas perkembangannya. Kelekatan yang kuat dengan orangtua dapat menyangga remaja dari kecemasan dan potensi perasaan depresi yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak- kanak ke masa dewasa. Kelekatan pada masa remaja berbeda dengan

(50)

masa dewasa atau masa kanak-kanak. Pada masa remaja, kelekatan akan lebih fokus dalam menggambarkan kualitas kelekatan yang dimiliki dibandingkan gaya kelekatan (Armsden & Greenberg, 1987).

Menurut Armsden & Greenberg (1987) secure attachment antara remaja dan orangtua ditandai dengan adanya rasa saling percaya dan komunikasi yang hangat antara remaja dan orangtua.

Kepercayaan mengacu pada kepercayaan remaja bahwa orangtua memahami dan menghormati kebutuhan dan keinginan mereka.

Sedangkan komunikasi mengacu pada persepsi remaja bahwa orangtua akan sensitif dan responsif terhadap keadaan emosional mereka dan menilai sejauhmana kualitas keterlibatan dan komunikasi verbal dengan mereka. Insecure attachment ditandai dengan adanya keterasingan atau terkucilkan. Keterasingan mengacu pada perasaan remaja yang terisolasi, kemarahan, dan pengalam ketidak-dekatan (detachment) dengan orangtua.

Orangtua sebagai figur kelekatan masih sangat dibutuhkan selama masa kanak-kanak dan remaja. Namun, pada masa remaja keinginan mereka mencari kedekatan dan mengandalkan figur kelekatan pada saat tertekan cenderung mengalami penurunan.

Meskipun frekuensi dan intensitas beberapa perilaku kelekatan diketahui menurun seiring bertambahnya usia, akan tetapi kualitas ikatan kelekatan remaja akan tetap stabil. Memasuki usia remaja, mereka menjalin hubungan yang lebih dekat dengan teman sebaya (Doyle, Ducharme, & Markiewicz, 2002). Armsden & Greenberg

Gambar

Gambar 4.2 Scatterplot

Referensi

Dokumen terkait

Departemen Agama, 2004, Pedoman Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum , Jakarta:.. Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam; Direktorat Madrasah

Pendidikan akhlak Islam, cirinya adalah menggali kepada ilmu dan pengetahuan mendorong untuk mendapatkan ilmu, bahkan menuntut ilmu agama yang pokok dinilai sebagai

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang bertugas untuk mencetak manusia yang ahli dalam bidang agama, ilmu pengetahuan dan kemasyarakatan serta berakhlak mulia..

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

Untuk memotivasi anak agar memiliki kecerdasan spiritual yang baik, maka Pendidikan Agama Islam mempunyai banyak kegiatan, selain proses blajar mengajar di dalam kelas

2 Siti Humaeroh/2013 / Skripsi/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pengaruh Tingkat Kecerdasan Emosional terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam pada Siswa di SMP Muhammadiyah

Guru Agama Islam sebagai penanggung jawab mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yaitu mengajar ilmu pengetahuan agama Islam, menanamkan keimanan ke dalam jiwa

Penjelasan tentang kiamat sebagaimana Firman Allah Swt, tersebut sesuai dengan penemun dalam ilmu pengetahuan umum, yaitu geologi sebagaimana dijelaskan dalam buku Pendidikan