• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali Sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali Sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR PENERAPAN IPTEKS

Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali Sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V

Kecamatan Gerokgak

Oleh:

Putu Nanci Riastini, S.Pd.,M.Pd. (Ketua) NIP. 198604272009122003

I Gede Margunayasa, S.Pd.,M.Pd. (Anggota) NIP. 198504022009121009

Drs. Ndara T Rendra, M.Pd. (Anggota) NIP. 195709061986031004

Dibiayai dari DIPA Universitas Pendidikan Ganesha SPK Nomor: 101/UN48.16/PM/2016 tanggal 1 Maret 2016

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

TAHUN 2016

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul Program : Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali Sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak

2. Ketua Pelaksana :

a. Nama lengkap : Putu Nanci Riastini, S.Pd., M.Pd.

b. Jenis kelamin : Perempuan

c. NIP : 198604272009122003

d. Disiplin ilmu : Pend. IPA SD e. Pangkat/Gol : Penata /IIIc

f. Jabatan : Lektor

g. Fakultas / jurusan : Ilmu Pendidikan / PGSD h. Alamat Kantor : Jln. Udayana-Singaraja

i. Telp : (0362) 23950

j. Alamat Rumah : Dusun Pendem, Desa Alasangker, Singaraja

k. Telp : 085737192895

3. Jumlah anggota pelaksana : 2 orang 4. Lokasi Kegiatan :

a. Nama : Guru SD Gugus V

b. Kecamatan : Gerokgak

c. Kabupaten : Buleleng

d. Provinsi : Bali

5. Jumlah biaya kegiatan : Rp. 10.000.000,00 6. Lama Kegiatan : 8 Bulan

Mengetahui, Singaraja, 14 November 2016

Dekan FIP Undiksha Ketua Pelaksana,

Prof. Dr. Ni Ketut Suarni, M.S. Putu Nanci Riastini, S.Pd., M.Pd.

NIP 195703031983032001 NIP 198604272009122003

Mengetahui, Ketua LPPM Undiksha

Prof. Dr. I Nengah Suandi, M.Hum.

NIP 195612311983031022

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit:

www.foxitsoftware.com/shopping

(3)

Kata Pengantar

Puji syukur dihaturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan anugrah dan karunia-Nya sehingga laporan akhir program pengabdian kepada masyarakat dengan judul “Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali Sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak” dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Pada kesempatan ini ijinkan kami mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya terhadap Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Undiksha yang telah mempercayai program ini untuk dibiayai dan guru-guru KKG Gugus V Kecamatan Gerokgak yang telah menjadi mitra yang sangat baik bagi terlaksananya program ini.

Dan semua pihak yang telah membantu pelaksanaan program ini.

Tentunya laporan ini masih jauh dari sempurna khususnya mengenai isi yang kemungkinan besar belum dapat mewakili apa yang telah kami lakukan dalam pelaksanaan program pengabdian kepada masyarakat di KKG Gugus V Kecamatan Gerokgak. Oleh karena itu, besar harapan kami adanya saran dan masukan guna kesempurnaan laporan ini yang nantinya akan dikembangkan menjadi laporan akhir.

Tim pelaksana,

(4)

DAFTAR ISI

HalamanPengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

BAB II.METODE PELAKSANAAN ... 5

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7

BAB IV. PENUTUP ... 11

DAFTAR PUSTAKA ... 12

LAMPIRAN ... 13

(5)

BAB I PENDAHULUAN

a. Analisis Situasi

Gugus V Kecamatan Gerokgak merupakan salah satu gugus sekolah dasar yang ada di Kecamatan Gerokgak. Gugus V Kecamatan Gerokgak beranggotakan beberapa SD yang tersebar di tiga desa berbeda, yaitu Desa Musi, Desa Penyabangan, dan Desa Banyupoh. Sekolah-sekolah yang ada di desa tersebut, yaitu: SDN 1 Musi, SDN 2 Musi, SDN 1 Penyabangan, SDN 2 Penyabangan, SDN 1 Banyupoh, SDN 2 Banyupoh, dan SDN 3 Banyupoh. Jumlah guru di masing-masing SD tersebut berbeda-beda, tergantung pada jumlah guru kelas yang ada pada tiap sekolah. Berdasarkan data guru gugus V, jumlah guru di gugus tersebut adalah 60 orang, dengan jumlah guru laki-laki adalah 27 orang dan guru perempuan adalah 33 orang. Berdasarkan tingkat pendidikan guru, sebagian besar guru telah berpendidikan S1 (91,67%) dan sekitar 8,33% guru masih berpendidikan D2.

Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua Gugus V Kecamatan Gerokgak, Bapak Putu Buda Ada, S.Pd. pada tanggal 16 September 2015, diperoleh informasi bahwa guru-guru di Gugus V Kec. Gerokgak belum memiliki pemahaman yang lebih mendalam mengenai perangkat pembelajaran IPA terutama pada RPP. Memang guru-guru sudah mampu menerapkan pembelajaran di kelas, namun secara administratif berkaitan dengan RPP mereka masih binggung. Diduga faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah kurangnya pelatihan atau sosialisasi secara kontinyu mengenai perangkat pembelajaran. Di awal diterapkan KTSP, memang guru-guru berlatih secara intensif mengenai perangkat pembelajaran. Akan tetapi, sepanjang perjalanannya mereka tidak pernah dilatih lagi. Mereka menggunakan RPP yang dibuat oleh kelompok KKG di Kecamatan Gerokgak pada saat KTSP mulai diberlakukan. RPP yang mereka gunakan tidak pernah mereka revisi dalam kaitannya dengan isi dan kegiatan pembelajarannya cenderung sama untuk semua sekolah. Mereka hanya merevisi tanggal, tahun, sekolah, dan kegiatan RPP dilaksanakan.

(6)

Di lain pihak, sepanjang perjalanan KTSP, di awal tahun 2010 pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan pendidikan karakter dalam pembelajaran di RPP dan implementasinya di kelas. Akan tetapi, sosialisasi, pelatihan atau workshop mengenai hal itu tidak pernah dilakukan oleh pemerintah terutama di Kecamatan Gerokgak. Mereka hanya mendapat contoh mengenai RPP berbasis pendidikan karakter dari pengawas mereka. Mereka belum memiliki pemahaman yang memadai tentang pendidikan karakter. Mereka juga belum memiliki keterampilan dalam membuat RPP berbasis pendidikan karakter, apalagi mengimplementasikan di kelas. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui juga bahwa guru-guru di Gugus V Kecamatan Gerokgak belum pernah dilatih untuk mengintegrasikan satua Bali sebagai basis pendidikan karakter di sekolah dasar.

Padahal, satua Bali sarat akan nilai-nilai karakter yang sangat berpeluang untuk mewujudkan pendidikan karakter berbasis budaya lokal.

Berdasarkan wawancara, dipaparkan juga harapan dari ketua Gugus V Kecamatan Sukasada mengenai adanya kegiatan pengabdian yang dilakukan oleh Undiksha berkaitan dengan pembuatan perangkat pembelajaran IPA, integrasi nilai budaya lokal dalam hal ini satua Bali, dan pendidikan karakter. Untuk itu, solusi yang ditawarkan oleh tim adalah berupa kegiatan Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA berbasis Satua Bali sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak.

b. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan yang dapat diidentifikasi dan diprioritaskan untuk ditangani adalah sebagai berikut.

1. Pemahaman yang masih kurang yang dimiliki oleh guru sekolah mitra mengenai perangkat pembelajaran IPA, terutama bagian kegiatan pembelajaran.

2. Pemahaman yang masih kurang yang dimiliki oleh guru sekolah mitra mengenai integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran.

3. Keterampilan guru sekolah mitra yang masih kurang dalam membuat perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali.

(7)

4. Guru sekolah mitra belum memiliki keterampilan dalam menerapkan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dalam pembelajaran di kelas.

Masalah diatas dapat dipecahkan dengan memberikan solusi berupa kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak. Dengan demikian dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

 Apakah kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak dapat meningkatkan pemahaman guru sekolah mitra mengenai perangkat pembelajaran IPA?

 Apakah kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak dapat meningkatkan pemahaman guru sekolah mitra mengenai integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran?

 Apakah kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak dapat meningkatkan keterampilan guru sekolah mitra dalam membuat perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali?

 Apakah kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak dapat meningkatkan keterampilan guru sekolah mitra dalam menerapkan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dalam pembelajaran di kelas?

c. Tujuan Kegiatan

Tujuan dari pelaksanaan P2M ini adalah sebagai berikut.

 Untuk meningkatkan pemahaman guru sekolah mitra mengenai perangkat pembelajaran IPA melalui kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak?

(8)

 Untuk meningkatkan pemahaman guru sekolah mitra mengenai integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran melalui kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak?

 Untuk meningkatkan keterampilan guru sekolah mitra dalam membuat perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali melalui kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak?

 Untuk meningkatkan keterampilan guru sekolah mitra dalam menerapkan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dalam pembelajaran di kelas melalui kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak?

d. Manfaat Kegiatan

Adapun manfaat dari pelaksanaan P2M ini adalah sebagai berikut.

1. Bagi guru, memperoleh tambahan pengetahuan mengenai perangkat pembelajaran IPA. Di samping itu, guru sekolah mitra memperoleh informasi mengenai integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran.

Guru sekolah mitra juga memperoleh keterampilan dalam membuat perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali, serta memiliki keterampilan dalam menerapkan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dalam pembelajaran di kelas.

2. Bagi kepala sekolah, memperoleh pengetahuan tambahan mengenai perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dalam pendidikan karakter.

3. Bagi pengawas sekolah, memperoleh pengetahuan tambahan tentang perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter, serta dapat berbagi dengan tim mengenai pendidikan karakter.

4. Bagi unit pengelola pendidikan, dapat mengarsip segala hasil kegiatan yang dilaksanakan yang nantinya dapat dikembangkan di seluruh gugus yang ada di Kecamatan Gerokgak.

(9)

BAB II

METODE PELAKSANAAN

a. Waktu dan Tempat

Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat di Gugus V Kecamatan Gerokgak telah dilaksanakan mulai tanggal 8 April 2016 sampai dengan 29 April 2016. Tempat pelaksanaan kegiatan dilakukan di SDN 2 Banyupoh, Kecamatan Gerokgak.

b. Metode Pelaksanaan

Untuk mengimplementasikan kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak, maka akan diadakan tiga kegiatan inti dengan metode pelaksanaan sebagai berikut:

1. Seminar mengenai perangkat pembelajaran IPA dan pendidikan karakter.

Seminar ini akan membahas perangkat pembelajaran IPA, terutama bagian RPP dan integrasi Pendidikan Karakter ke dalam RPP. Seminar ini akan dihadiri oleh 28 orang guru dari Gugus V Kecamatan Gerokgak dan 2 mahasiswa Jurusan PGSD sebagai peserta seminar. Metode yang digunakan dalam seminar adalah ceramah, tanya jawab, dan diskusi.

2. Workshop pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua bali.

Workshop ini akan membahas mengenai satua Bali dan integrasi satua Bali dalam perangkat pembelajaran IPA, terutama bagian RPP dan media satua Bali. Selain itu, workshop ini akan mengerjakan RPP berbasis satua Bali. Wokshop ini akan dihadiri oleh 28 orang guru dari Gugus V Kecamatan Gerokgak dan 2 mahasiswa Jurusan PGSD sebagai peserta workshop. Metode yang digunakan dalam workshop adalah ceramah, tanya jawab, diskusi, penugasan, dan kerja kelompok.

3. Pendampingan selama penerapan perangkat di dalam kelas. Setelah perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali (RPP dan media satua Bali) selesai dikerjakan, maka tahapan selanjutnya adalah pendampingan selama penerapan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali (RPP

(10)

dan media satua Bali) di dalam kelas. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kebiasaan dengan menerapkan metode drill.

Kegiatan pengabdian yang dilakukan terlihat pada bagan berikut.

Gambar 1. Bagan Pelaksanaan Kegiatan

Kesepakatan Pelatihan

Perizinan pada instansi terkait

Seminar perangkat pembelajaran dan integrasi pendidikan karakter dalam

pembelajaran

Workshop mengenai pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis

satua Bali

Pendampingan pembuatan dan pengimplementasian perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali

Gugus V Kecamatan

Gerokgak

Perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dan video pembelajaran

Pemahaman, keterampilan membuat, dan mengimplementasikan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali

(11)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat dengan judul Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali Sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak sampai pada bulan Oktober 2016 telah dilaksanakan sebanyak 100% dari program yang dirancang. Kegiatan-kegiatan yang telah terlaksana adalah seminar dan workshop pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis Satua Bali dan pendampingan pembelajaran.

Pada tahap awal pelaksanaan program, telah dilaksanakan kegiatan berupa perancangan kegiatan workshop, penyiapan narasumber, sosialisasi dan koordinasi dengan ketua UPP Kecamatan Gerokgak, sosialisasi dan koordinasi dengan ketua Gugus V Kecamatan Gerokgak, penentuan jadwal kegiatan bersama mitra, penyiapan bahan workshop, dan penyiapan lokasi serta sarana prasarana kegiatan.

Kegiatan persiapan dilaksanakan dari tanggal 8 sampai dengan 21 April 2016.

Setelah tahap persiapan, dilaksanakan kegiatan workshop dan pendampingan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Kegiatan dilaksanakan di SDN 2 Banyupoh. Masing-masing kegiatan dipaparkan di bawah ini.

a. Seminar perangkat pembelajaran IPA dan Satua Bali

Seminar mengenai perangkat pembelajaran IPA dan Satua Bali dilaksanakan pada tanggal 22 April 2016. Narasumber dalam kegiatan ini adalah Bapak I Gede Margunayasa, S.Pd, M.Pd. Kegiatan ini bertujuan untuk membekali mitra tentang model-model pembelajaran inovatif untuk mata pelajaran IPA dan media Satua Bali. Respon mitra terhadap kegiatan pelatihan sangat baik. Mereka antusias berpartisipasi dalam diskusi interaktif mengenai media satua Bali. Dalam pelaksanaan seminar ini tidak ditemukan kendala yang berarti.

b. Workshop perangkat pembelajaran IPA dan Satua Bali

Workshop pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis Media Satua Bali dilaksanakan pada tanggal 23 April 2016. Narasumber dalam kegiatan ini

(12)

adalah Tim Pelaksanakan P2M yang diketuai oleh Ibu Putu Nanci Riastini, S.Pd.,M.Pd. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan keterampilan mitra dalam membuat perangkat pembelajaran IPA berbasis Media Satua Bali. Respon mitra terhadap kegiatan pelatihan sangat baik. Hal in terlihat dari antusiasme peserta berpartisipasi dalam diskusi interaktif.

c. Pendampingan penerapan perangkat pembelajaran

Pendampingan penerapan perangkat pembelajaran IPA berbasis Satua Bali dilaksanakan sebanyak 3 kali, yaitu tanggal 25, 28, dan 29 April 2016. Kegiatan yang dilaksanakan adalah dua orang guru ditunjuk oleh tim untuk menerapkan perangkat pembelajaran yang dibuat di kelas yang mereka ampu. Kemudian tim melaksanakanobservasi untuk melihat keterlaksanaan pembelajarannya. Setelah itu, diadakan refleksi kembali oleh tim dan guru yang menerapkan pembelajaran.

Dari kegiatan yang dilaksanakan, semuanya berjalan dengan baik dan tidak ada kendala.

3.2 Pembahasan

Penerapan nilai-nilai karakter dalam kurikulum dapat dilakukan melalui integrasi dalam mata pelajaran, integrasi dalam muatan lokal, dan integrasi melalui kegiatan pengembangan diri (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2011).

Untuk itu, maka penerapan nilai-nilai karakter pada “Satua Bali” juga dapat dilakukan melalui integrasi dalam mata pelajaran. Integrasi nilai-nilai karakter dalam mata pelajaran dapat dilakukan melalui pengembangan silabus dan RPP pada kompetensi yang telah ada sesuai dengan nilai yang akan diterapkan. Supaya silabus dan RPP yang dikembangkan memuat penerapan nilai-nilai karakter dalam satua bali, maka langkah-langkah dalam pengembangan silabus adalah:

Menganalisis nilai karakter yang ada pada “Satua Bali” dan menyesuaikan dengan materi yang ada. Kemudian menganalisis Indikator, baik kata kerjanya maupun materinya. Penganalisisan pertama menentukan kata kerjanya apakah ranah kognitif, afiktif, atau psikomotor, kemudian lihat tingkat kesulitannya, kemudian tentukan nilai karakter apa dan “Satua Bali” mana yang digunakan. Langkah berikutnya memasukkan nilai karakter dari “Satua Bali” yang terpilih kedalam

(13)

silabus. Nilai Karakter yang terpilih yang telah dimuat sebelum kegiatan pembelajaran, satu demi satu secara berangsur dimasukkan kedalam langkah- langkah proses kegiatan pembelajaran, yang tentunya nilai-nilai karakter yang sesuai dengan kegiatan pembelajaran siswa, sehingga tercermin pada setiap langkah kegiatan pembelajaran, baik pada kegiatan exsplorasi, elaborasi maupun pada kegiatan konfirmasi.

Dalam RPP, “Satua Bali” dapat dimasukkan di kegiatan inti pada tahap eksplorasi. Pada tahap ini, siswa diberikan “Satua Bali”, kemudian siswa diminta untuk membacakan sekaligus menghayatinya. Selain itu, guru juga dapat membacakannya dan siswa menyimaknya. Pada tahap elaborasi, siswa diminta untuk mendiskusikan secara berkelompok mengenai nilai karakter setiap tokoh yang ada dalam cerita dan mendiskusikan materi pelajaran yang ada. Pada tahap konfirmasi, guru mempertegas nilai-nilai karakter yang ada dalam “Satua Bali”, meminta siswa untuk menceritakannya di depan kelas, dan mengkonfirmasi materi pelajaran dalam “Satua Bali”, dan menambahkan materi sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Dengan demikian, penerapan “Satua Bali” dalam pembelajaran dapat melestarikan kebudayaan lokal, menumbuhkan nilai-nilai karakter siswa, dan sangat berkaitan dengan materi yang ada di kurikulum.

Disamping itu, dengan “Satua Bali”, maka dapat melatih kemampuan membaca dan kemampuan menyimak siswa.

Ada beberapa faktor perlunya Satua Bali digunakan sebagai media pembelajaran. Pertama, keberadaan sebuah media pembelajaran, dalam hal ini Satua Bali, sangat penting bagi keberhasilan proses pembelajaran. Adanya media pembelajaran membuat materi pelajaran menjadi lebih kontekstual dan mendorong rasa ingin tahu siswa. Materi yang dimaksud adalah ditinjau dari ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. Jika anak mengalami hal-hal yang bersifat kontekstual dan memiliki rasa ingin tahu tinggi terhadap sesuatu, maka anak akan belajar secara aktif dan bermakna. Implikasinya adalah pengetahuan dapat tersimpan dalam long term memory, sikap dapat dibudayakan, dan keterampilan pun dapat diasah secara tidak langsung. Dengan demikian, media pembelajaran membuat anak belajar secara kontekstual dan menumbuhkan rasa ingin tahu siswa sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna. Penjelasan di

(14)

atas sesuai dengan pendapat Willis (2012), yang menyatakan bahwa manfaat sebuah media diantaranya menarik minat siswa untuk belajar, siswa memperoleh gambaran nyata tentang sesuatu, mendorong keingintahuan siswa, dan membuat siswa riang belajar.

Kedua, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang melibatkan fisik dan jiwa siswa. Untuk menciptakan terjadinya belajar yang demikian, maka siswa harus belajar aktif. Belajar aktif yang dimaksud adalah siswa berpikir, berkata, dan melakukan kegiatan yang dapat membuat mereka memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Untuk mewujudkan pembelajaran yang demikian, tidak bisa hanya dilakukan dengan mendengarkan penjelasan guru. Pembelajaran tersebut dapat terwujud bila siswa terlibat langsung dalam kegiatan pembelajaran, termasuk memanipulasi media pembelajaran. Jika hal ini dapat dilakukan, maka pengetahuan dapat diperoleh dengan benar, sikap dapat diamalkan, dan keterampilan dapat dikembangkan. Pemaparan tersebut sesuai dengan pendapat Silberman (2007), yang menyatakan bahwa belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan pelajar itu sendiri. Cara belajar aktiflah yang dapat mewujudkan belajar tersebut, sehingga belajar dapat dikategorikan belajar yang sebenarnya dan tahan lama.

Ketiga, pendidikan karakter bukan sekedar sebuah pengaturan pembelajaran di sekolah. Implementasi pendidikan karakter lebih mengarah pada transformasi budaya dan perikehidupan sekolah, bukan sekedar menambahkan materi nilai-nilai karakter dalam kurikulum. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan bercerita sebagai salah satu cara efektif untuk mengimplementasikan nilai-nilai karakter bagi anak. Melalui kegiatan seperti ini, siswa dapat membedakan sikap baik dan buruk dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, implementasi pendidikan karakter dapat terjadi dengan bantuan cerita. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Lickona (1991), yang menyatakan bahwa salah satu cara agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif adalah dengan penggunaan cerita dalam pembelajaran.

(15)

BAB IV PENUTUP

a. Simpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pelaksanaan program pengabdian kepada masyarakat ini adalah:

1. Pelaksanaan program mampu meningkatkan pemahaman guru-guru di Gugus V Kecamatan Gerokgak tentang perangkat pembelajaran IPA dan media satua Bali. Di samping itu, guru-guru juga memiliki keterampilan dalam membuat dan melaksanakan pembelajaran IPA dengan media Satua Bali.

2. Pelaksanaan program mampu menghasilkan luaran-luaran yang diharapkan oleh program pengabdian kepada masyarakat ini, antara lain perangkat pembelajaran IPA dengan media satua bali.

b. Saran

Tingkat partisipasi dan antusiasme peserta dalam program ini sangat tinggi. Hal ini dapat dijadikan modal dasar dalam kegiatan-kegiatan berikutnya di tingkat KKG di Gugus V Kecamatan Gerokgak. Dukungan dari segala pihak yang meliputi dukungan penuh dari kepala UPP, pengawas, dan ketua gugus sangat baik dan terus dipertahankan sehingga segala kegiatan yang dilaksanakan di tingkat KKG dapat berjalan dengan baik dan sudah tentu dapat meningkatkan pemahaman dan keterampilan guru dalam membuat dan melaksanakan pembelajaran IPA dengan media Satua Bali.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Baittstich. History Teacher’s Discussion Forum, July 2008.

http://www.schoolhistory.co.uk (diakses tanggal 8 Oktober 2013).

Depdiknas. 2003. Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta.

Depdiknas. 2006. Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu. Jakarta:

Depdiknas.

Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 41 tahun 2007, tentang Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.

Elkind, David H. dan Sweet, Freddy. How to Do Character Education. Artikel yang diterbitkan pada bulan September/Oktober 2004

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010.

Kemdiknas. Buku Induk Pembangunan Karakter. Jakarta. 2010.

Lickona, Thomas. Educating for Character. New York: Bantam Book. 1991.

Lickona, Thomas, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books, 1992.

Lickona, Tom; Schaps, Eric, dan Lewis, Catherine. Eleven Principles of Effective Character Education. Character Education Partnership, 2007.

Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional. 2011.

Pusat Kurikulum. Jakarta: Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah (hal. 9-10). 2009.

Riastini, Putu Nanci & I Gede Margunayasa. Pengaruh Satua Bali terhadap Nilai- Nilai Karakter Bangsa (Quasi eksperimen pada siswa kelas IV SD Gugus III Kecamatan Buleleng). Prosiding. Singaraja: Lembaga Penelitian Undiksha. 2013.

Sairin, Weinata. Pendidikan yang Mendidik. Jakarta: Yudhistira, 2001

Schwartz, Merle J. Effective Character Education. New York: Mc. Graw-Hill Companies. 2008.

Silberman, Mel. Active Learning; 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Penerjemah:

Sarjuli dkk. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2007.

(17)

LAMPIRAN

(18)

LAMPIRAN FOTO KEGIATAN

(19)
(20)
(21)
(22)
(23)

PEMBELAJARAN BERBASIS NILAI KARAKTER DALAM SATUA BALI

I Gede Margunayasa,Putu Nanci Riastini

PENDAHULUAN

Penanaman nilai-nilai karakter bangsa saat ini menjadi isu utama dunia pendidikan. Salah satu landasan yang mendukung penanaman nilai karakter adalah pernyataan pada Pembukaan UUD 1945 alinea 4. Selanjutnya, ditegaskan pula penanaman nilai karakter dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pada Bab I pasal 1 (1) UU No. 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Mengacu pada pernyataan tersebut, pendidikan diamanatkan untuk membentuk manusia Indonesia yang cerdas dan berakhlak mulia. Artinya, pendidikan tidak hanya difokuskan pada kegiatan kognitif semata, tetapi juga pembentukan nilai-nilai karakter bagi generasi muda bangsa. Pendidikan merupakan salah satu strategi dasar dari pembangunan karakter bangsa yang dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara koheren dengan beberapa strategi lain. Strategi tersebut mencakup: sosialisasi atau penyadaran, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerjasama seluruh komponen bangsa. Pembangunan karakter dilakukan dengan pendekatan sistematik dan integratif dengan melibatkan keluarga, satuan pendidikan, pemerintah, masyarakat sipil, anggota legislatif, media massa, dunia usaha, dan dunia industri (Sumber: Buku Induk Pembangunan Karakter, 2010).

Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Sumber: Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10).

Menurut Baittstich (2008) bahwa pembangunan karakter yang efektif dapat dilakukan dalam lingkungan sekolah yang memungkinkan semua anak menunjukkan potensi mereka untuk mencapai tujuan yang sangat penting. Artinya, kegiatan-kegiatan di sekolah, khususnya proses pembelajaran, merupakan cara yang paling efektif untuk pembangunan karakter. Salah satu cara pembenahan dalam proses pembelajaran untuk mengembangkan nilai karakter pada anak adalah dengan penggunaan perangkat pembelajaran yang bersumber pada kebudayaan lokal. Pendapat ini didasarkan pada Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional. Instruksi ini mengamanatkan tentang kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa. Sebagai contoh implementasinya, satua Bali, yang sarat nilai-nilai moral dan nilai-nilai karakter. Penggunaan satua Bali dalam

(24)

proses pembelajaran sangat berdampak positif bagi karakter anak. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Riastini dan I Gede Margunayasa (2013), yang menunjukkan bahwa penggunaan media satua Bali dalam pembelajaran berpengaruh terhadap nilai- nilai karakter bangsa, khususnya aspek bersahabat/komunikatif, toleransi, disiplin, dan tanggung jawab.

PEMBAHASAN

Nilai karakter dalam satua bali

Berdasarkan hasil kajian, Satua Bali yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam pembelajaran untuk menumbuhkan nilai-nilai karakter ada sebanyak 20 judul satua bali. Masing-masing satua memuat nilai-nilai karakter yang beragam dan materi yang berbeda pula. Hasil analisis satua Bali tampak pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis “Satua Bali”

No Judul Materi yang dikandung

Pengetahuan Nilai karakter 1 I Lutung Teken I

Kekua

 Bentuk tubuh hewan dan fungsinya

 Buah dan kandungannya

Toleransi

Kejujuran 2 Kambing Takutin

Macan

 Ciri-ciri mahluk hidup

 Hewan langka Kreatif

Cermat 3 I Ketimun Mas  Indera pendengaran

 Indera penglihatan

 Hubungan timbal balik antara manusia dengan hewan

 Hewan dan makanannya

Tanggung jawab

Tolong-menolong

Teliti

4 I Buta Teken I Rumpuh

 Indera penglihatan

 Sistem rangka tubuh

 Jenis makanan

Kerjasama

Tulus Iklas

Tolong-menolong 5 I Belog  Ciri-ciri mahluk hidup

 Ciri-ciri khusus mahluk hidup

Tanggung jawab

Cermat 6 I Pengangon Bebek  Cara merawat mahluk hidup

 Sumber daya alam  Tanggung jawab

 Cinta kasih

 Kejujuran 7 I Siap selem  Ciri-ciri mahluk hidup

 Gaya gravitasi

 Percaya diri

 Keiklasan 8 Men Sugih teken

Men Tiwas

 Jenis-jenis sumber daya alam

 Teknologi sederhana dan modern  Keiklasan

 Kejujuran 9 Nang Bangsing

teken I Belog

 Teknologi sederhana

 Sumber daya alam hayati  Kejujuran

 Hati-hati

 Peduli lingkungan 10 Lutung teken Kekua

memaling isen

 Ciri-ciri tumbuhan

 Manfaat tumbuhan

 Pemanfaatan hewan

 Peduli lingkungan

 Teliti

 Tanggung jawab 11 I Bawang teken i

kesuna

 Air dan manfaatnya

 Berbagai jenis benda dan sifatnya  Kesabaran

 Keiklasan

 Tanggung jawab 12 Anak ririh  Pentingnya matahari bagi kehidupan

 Teknologi sederhana dan manfaatnya

 Kreatif, Jujur

 Tanggung jawab 13 I Lutung dadi

pecalang

 Sumber bunyi

 Cahaya dan sifatnya

 Ciri-ciri-khusus mahluk hidup

 Disiplin

 Tanggung jawab

 Kerjasama

 Tolong-menolong

(25)

No Judul Materi yang dikandung

Pengetahuan Nilai karakter 14 I Ubuh  Teknologi sederhana

 Sumber daya alam dan manfaatnya  Tekun

 Tolong menolong 15 I Lanjana  Sumber daya alam hayati dan non hayati

 Ciri-ciri hewan dan makanannya

 Peduli

 Kreatif

 Percaya diri 16 I Tuung Kuning  Hubungan sumber daya alam dan

pekerjaan

 Kandungan bahan makanan

 Pemeliharaan hewan

 Keiklasan

 Tanggung jawab

17 I Belibis Putih  Jenis-jenis makanan dan kandungannya

 Ciri-ciri hewan

 Proses menanam padi

 Jenis sumber daya alam hewan yang dimanfaatkan dan cara pemanfaatannya

 Kasih sayang

 Tolong menolong

 Kerjasama

18 Men Tingkes  Makanan dan manfaatnya

 Sumber daya alam

 Tolong menolong

 Kasih sayang

 Peduli lingkungan 19 I Pucung  Jenis-jenis buah

 Manfaat air

 Hewan dan makanannya

 Kejujuran

 Teliti

 Tolong menolong

 Kasih sayang

 Ketulusan 20 Ni Daa Tua  Pemanfaatan tumbuhan

 Hutan dan pemanfaatannya

 Perdagangan sumber daya alam

 Tidak iri hati

 Peduli lingkungan

 Menghargai milik orang lain

Penerapan nilai karakter dalam pembelajaran

Penerapan nilai-nilai karakter dalam kurikulum dapat dilakukan melalui integrasi dalam mata pelajaran, integrasi dalam muatan lokal, dan integrasi melalui kegiatan pengembangan diri (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2011). Untuk itu, maka penerapan nilai-nilai karakter pada “Satua Bali” juga dapat dilakukan melalui integrasi dalam mata pelajaran. Integrasi nilai-nilai karakter dalam mata pelajaran dapat dilakukan melalui pengembangan silabus dan RPP pada kompetensi yang telah ada sesuai dengan nilai yang akan diterapkan. Supaya silabus dan RPP yang dikembangkan memuat penerapan nilai-nilai karakter dalam satua bali, maka langkah-langkah dalam pengembangan silabus adalah: Menganalisis nilai karakter yang ada pada “Satua Bali”

dan menyesuaikan dengan materi yang ada. Kemudian menganalisis Indikator, baik kata kerjanya maupun materinya. Penganalisisan pertama menentukan kata kerjanya apakah ranah kognitif, afiktif, atau psikomotor, kemudian lihat tingkat kesulitannya, kemudian tentukan nilai karakter apa dan “Satua Bali” mana yang digunakan. Langkah berikutnya memasukkan nilai karakter dari “Satua Bali” yang terpilih kedalam silabus. Nilai Karakter yang terpilih yang telah dimuat sebelum kegiatan pembelajaran, satu demi satu secara berangsur dimasukkan kedalam langkah-langkah proses kegiatan pembelajaran, yang tentunya nilai-nilai karakter yang sesuai dengan kegiatan pembelajaran siswa, sehingga tercermin pada setiap langkah kegiatan pembelajaran, baik pada kegiatan exsplorasi, elaborasi maupun pada kegiatan konfirmasi.

(26)

Dalam RPP, “Satua Bali” dapat dimasukkan di kegiatan inti pada tahap eksplorasi. Pada tahap ini, siswa diberikan “Satua Bali”, kemudian siswa diminta untuk membacakan sekaligus menghayatinya. Selain itu, guru juga dapat membacakannya dan siswa menyimaknya. Pada tahap elaborasi, siswa diminta untuk mendiskusikan secara berkelompok mengenai nilai karakter setiap tokoh yang ada dalam cerita dan mendiskusikan materi pelajaran yang ada. Pada tahap konfirmasi, guru mempertegas nilai-nilai karakter yang ada dalam “Satua Bali”, meminta siswa untuk menceritakannya di depan kelas, dan mengkonfirmasi materi pelajaran dalam “Satua Bali”, dan menambahkan materi sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Dengan demikian, penerapan “Satua Bali” dalam pembelajaran dapat melestarikan kebudayaan lokal, menumbuhkan nilai-nilai karakter siswa, dan sangat berkaitan dengan materi yang ada di kurikulum. Disamping itu, dengan “Satua Bali”, maka dapat melatih kemampuan membaca dan kemampuan menyimak siswa.

Ada beberapa faktor perlunya Satua Bali digunakan sebagai media pembelajaran.

Pertama, keberadaan sebuah media pembelajaran, dalam hal ini Satua Bali, sangat penting bagi keberhasilan proses pembelajaran. Adanya media pembelajaran membuat materi pelajaran menjadi lebih kontekstual dan mendorong rasa ingin tahu siswa. Materi yang dimaksud adalah ditinjau dari ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. Jika anak mengalami hal-hal yang bersifat kontekstual dan memiliki rasa ingin tahu tinggi terhadap sesuatu, maka anak akan belajar secara aktif dan bermakna. Implikasinya adalah pengetahuan dapat tersimpan dalam long term memory, sikap dapat dibudayakan, dan keterampilan pun dapat diasah secara tidak langsung. Dengan demikian, media pembelajaran membuat anak belajar secara kontekstual dan menumbuhkan rasa ingin tahu siswa sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna. Penjelasan di atas sesuai dengan pendapat Willis (2012), yang menyatakan bahwa manfaat sebuah media diantaranya menarik minat siswa untuk belajar, siswa memperoleh gambaran nyata tentang sesuatu, mendorong keingintahuan siswa, dan membuat siswa riang belajar.

Kedua, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang melibatkan fisik dan jiwa siswa.

Untuk menciptakan terjadinya belajar yang demikian, maka siswa harus belajar aktif.

Belajar aktif yang dimaksud adalah siswa berpikir, berkata, dan melakukan kegiatan yang dapat membuat mereka memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Untuk mewujudkan pembelajaran yang demikian, tidak bisa hanya dilakukan dengan mendengarkan penjelasan guru. Pembelajaran tersebut dapat terwujud bila siswa terlibat langsung dalam kegiatan pembelajaran, termasuk memanipulasi media pembelajaran.

Jika hal ini dapat dilakukan, maka pengetahuan dapat diperoleh dengan benar, sikap dapat diamalkan, dan keterampilan dapat dikembangkan. Pemaparan tersebut sesuai dengan pendapat Silberman (2007), yang menyatakan bahwa belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan pelajar itu sendiri. Cara belajar aktiflah yang dapat mewujudkan belajar tersebut, sehingga belajar dapat dikategorikan belajar yang sebenarnya dan tahan lama.

Ketiga, pendidikan karakter bukan sekedar sebuah pengaturan pembelajaran di sekolah. Implementasi pendidikan karakter lebih mengarah pada transformasi budaya dan perikehidupan sekolah, bukan sekedar menambahkan materi nilai-nilai karakter dalam kurikulum. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan bercerita sebagai salah satu cara efektif untuk mengimplementasikan nilai-nilai karakter bagi anak.

Melalui kegiatan seperti ini, siswa dapat membedakan sikap baik dan buruk dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, implementasi pendidikan karakter dapat terjadi dengan bantuan cerita. Pendapat tersebut sejalan

(27)

dengan pendapat Lickona (1991), yang menyatakan bahwa salah satu cara agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif adalah dengan penggunaan cerita dalam pembelajaran.

SIMPULAN

Satua bali tidak saja berisi nilai karakter, akan tetapi sangat berkaitan dengan materi kurikulum di sekolah dasar. Begitu juga, Satua bali sangat cocok diterapkan pada kurikulum 2013 di sekolah dasar. Dalam pembelajaran, “Satua Bali” dapat dimasukkan di kegiatan inti pada tahap eksplorasi. Pada tahap ini, siswa diberikan “Satua Bali”, kemudian siswa diminta untuk membacakan sekaligus menghayatinya. Selain itu, guru juga dapat membacakannya dan siswa menyimaknya. Pada tahap elaborasi, siswa diminta untuk mendiskusikan secara berkelompok mengenai nilai karakter setiap tokoh yang ada dalam cerita dan mendiskusikan materi pelajaran yang ada. Pada tahap konfirmasi, guru mempertegas nilai-nilai karakter yang ada dalam “Satua Bali”, meminta siswa untuk menceritakannya di depan kelas, dan mengkonfirmasi materi pelajaran dalam “Satua Bali”, dan menambahkan materi sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Dengan demikian, penerapan “Satua Bali” dalam pembelajaran dapat melestarikan kebudayaan lokal, menumbuhkan nilai-nilai karakter siswa, dan sangat berkaitan dengan materi yang ada di kurikulum. Disamping itu, dengan “Satua Bali”, maka dapat melatih kemampuan membaca dan kemampuan menyimak siswa.

DAFTAR RUJUKAN

Baittstich. History Teacher’s Discussion Forum, July 2008.

http://www.schoolhistory.co.uk (diakses tanggal 8 Oktober 2013).

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010.

Jackson, Paul. The Pop-up Book. Singapore: Anness Publishing Limited. 2000.

Kemdiknas. Buku Induk Pembangunan Karakter. Jakarta. 2010.

Lickona, Thomas. Educating for Character. New York: Bantam Book. 1991.

Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional. 2011.

Pusat Kurikulum. Jakarta: Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah (hal. 9-10). 2009.

Riastini, Putu Nanci & I Gede Margunayasa. Pengaruh Satua Bali terhadap Nilai-Nilai Karakter Bangsa (Quasi eksperimen pada siswa kelas IV SD Gugus III Kecamatan Buleleng). Prosiding. Singaraja: Lembaga Penelitian Undiksha.

2013.

Schwartz, Merle J. Effective Character Education. New York: Mc. Graw-Hill Companies. 2008.

Silberman, Mel. Active Learning; 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Penerjemah: Sarjuli dkk. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2007.

UU No. 20 Tahun 2003. www.mandikdasmen.depdiknas.go.id (diakses tanggal 20 Agustus 2012).

Willis, Sofyan S. Psikologi Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta. 2012.

(28)

Pembelajaran IPA yang Inovatif*

Oleh

I Gede Margunayasa**

* Makalah Disajikan pada Workshop P2M dengan tema: “ Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali Sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak.

** Dosen Jurusan PGSD FIP Undiksha

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKA GANESHA

SINGARAJA 2016

(29)

Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan. Dalam konteks sistem pendidikan nasional tersebut, seorang pendidik harus memiliki kompetensi untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Agar bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan profesional, maka guru dituntut memiliki empat kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial (UU Sisdiknas, 2003 & PP No 19, 2005).

Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir a dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Slamet PH (2006) mengatakan kompetensi pedagogik terdiri dari sub kompetensi (1) berkontribusi dalam pengembangan KTSP yang terkait dengan matapelajaran yang diajarkan; (2) mengembangkan silabus matapelajaran berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar; (3) merencanakan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berdasarkan silabus yang telah dikembangkan; (4) merancang manajemen pembelajaran dan manajemen kelas; (5) melaksanakan pembelajaran yang pro perubahan (aktif, kreatif, inovatif, eksperimentatif, efektif dan menyenangkan); (6) menilai hasil belajar peserta didik secara otentik; (7) membimbing peserta didik dalam berbagai aspek, misalnya pelajaran, kepribadian, bakat, minat dan karir; dan (8) mengembangkan profesionalisme diri sebagai guru (Sagala, 2009:31-32).

Dalam pandangan tersebut, dapat ditegaskan bahwa kompetensi pedagogik merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik meliputi (1) pemahaman wawasan guru akan landasan dan filsafat pendidikan; (2) guru mampu memahami potensi dan keberagaman peserta didik, sehingga dapat didesain strategi pelayanan belajar sesuai keunikan masing-masing peserta didik;(3) guru mampu mengembangkan kurikulum/ silabus baik dalam bentuk dokumen maupun implementasi dalam bentuk pengalaman belajar; (4) guru mampu menyusun rencana dan strategi pembelajaran berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar; (5) mampu melaksanakan pembelajaran yang mendidik dengan suasana dialogis dan interaktif; (6) mampu melakukan evaluasi hasil belajar dengan memenuhi prosedur dan standar yang dipersyaratkan; dan (7) mampu mengembangkan bakat dan minat peserta didik melalui kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler untuk mengaktualisasikan berbagai otensi yang dimilikinya.

Dengan demikian, tampak bahwa kemampuan pedagogik bagi guru bukanlah hal yang sederhana, karena kualitas guru harus di atas rata-rata. Kualitas ini dapat dilihat dari aspek intelektual meliputi aspek (1) logika sebagai pengembangan kognitif mencakup kemampuan intelektual mengenal lingkungan terdiri atas enam macam yang disusun secara hierarkis dari yang sederhana sampai yang kompleks. Yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian; (2) etika sebagai pengembangan afektif mencakup kemampuan emosional dalam mengalami dan menghayati sesuatu hal meliputi lima macam kemampuan emosional disusun secara hierarkis. Yaitu : kesadaran, partisipasi, penghayatan nilai, pengorganisasian nilai dan karakterisasi diri. dan (3) estetika sebagai pengembangan psikomotorik.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, guru perlu berpikir secara antisipatif dan proaktif.

Guru harus secara terus menerus belajar sebagai upaya melakukan pembaharuan atas ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Salah satu upaya yang dilakukan guru untuk dapat meningkatkan kompetensi pedagogiknya adalah dengan memahami pembelajaran inovatif dan menerapkannya di dalam kelas. Dengan demikian, makalah ini akan memaparkan 4 model pembelajaran inovatif seperti yang diamanatkan dalam K13 yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam menerapkan pembelajaran inovatif di kelas pembelajaran.

(30)

PEMBAHASAN

Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran sains dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah, selalu diawali dengan penyajian masalah. Proses pembelajaran dimulai setelah siswa dikonfrontasikan dengan struktur masalah real, sehingga siswa mengetahui mengapa mereka harus mempelajari materi ajar tersebut. Informasi-informasi akan mereka kumpulkan dan mereka analisis dari unit-unit materi ajar yang mereka pelajari dengan tujuan untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Masalah yang disajikan hendaknya dapat memunculkan konsep-konsep maupun prinsip-prinsip yang relevan dengan content domain. Melalui model pembelajaran berbasis masalah para siswa akan belajar bagaimana menggunakan suatu proses interaktif dalam mengevaluasi apa yang mereka ketahui, mengidentifikasi apa yang perlu mereka ketahui, mengumpulkan informasi, dan berkolaborasi dalam mengevaluasi suatu hipotesis berdasarkan data yang telah mereka kumpulkan. Sedangkan, guru lebih berperan sebagai tutor dan fasilitator dalam menggali dan menemukan hipotesis, serta dalam mengambil kesimpulan.

Terdapat empat penerapan esensial dari model pembelajaran berbasis masalah seperti yang diurutkan oleh Gallagher et al. (dalam Sadia & Suma, 2006), yaitu sebagai berikut.

1. Pemusatan masalah di sekitar pembelajaran dari konsep-konsep sains yang penting.

2. Memberikan kesempatan bagi pebelajar untuk menguji ide mereka dengan berbagai teori maupun dengan eksperimen.

3. Memberikan kesempatan kepada siswa mengolah data sebagai bagian dari melatih metakognitif.

4. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan pemecahan masalah yang mereka hasilkan, dengan tiap kelompok mempresentasikan laporannya dalam suatu bentuk diskusi kelas.

Menurut Arends (2004), berbagai pengembangan pembelajaran berdasarkan masalah telah memberikan model pembelajaran ini memiliki karakteristik sebagai berikut.

1. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berdasarkan masalah tidak hanya mengorganisasikan di sekitar prisip-prinsip atau kemampuan akademik tertentu namun mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang dua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa.

2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial), masalah yang akan diselidiki telah dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.

3. Penyelidikan autentik. Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisa informasi, melakukan eksperimen, membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Metode penyelidikan yang digunakan akan bergantung kepada masalah yang sedang dipelajari.

4. Menghasilkan produk dan mempresentasikannya. Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk tersebut dapat berupa transkrip debat, laporan, model fisik, video maupun program komputer. Karya nyata dan peragaan seperti yang akan dijelaskan kemudian, direncanakan oleh siswa untuk mendemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang mereka pelajari.

5. Kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh adanya kerja sama antara satu siswa dengan siswa yang lainnya, paling tidak secara berpasangan atau dalam kelompok kecil untuk menyelesaikan permasalahan. Bekerja sama antar siswa akan dapat memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan

(31)

memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog serta untuk mengembangkan kemampuan sosial dan kemampuan berfikir.

Menurut Barrows (1996) dalam tulisannya yang berjudul Problem-Based Learning in Medicine and Beyond juga mengemukakan beberapa karakteristik model pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut.

1. Proses pembelajaran bersifat Student-Centered. Melalui bimbingan tutor (guru) siswa harus bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya, mengidentifikasi apa yang mereka perlu ketahui untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik, mengelola permasalahan, dan menentukan di mana mereka akan memperoleh informasi (buku teks, jurnal, Internet, dll.).

2. Proses pembelajaran berlangsung dalam kelompok kecil. Setiap kelompok biasanya terdiri atas 5-8 orang. Anggota kelompok sebaiknya ditukar untuk setiap unit kurikulum lainnya.

Kondisi demikian akan memberi pengalaman praktis kepada siswa untuk bekerja dan belajar secara lebih intensif dan efektif dalam variasi kelompok yang berbeda.

3. Guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing. Guru tidak berperan sebagai pemberi ceramah atau pemberi informasi faktual. Peran guru sebagai fasilitator yakni tidak memberi tahu siswa secara langsung apakah pemikiran siswanya benar atau salah, dan juga tidak memberi tahu siswa tentang apa yang harus mereka pelajari atau baca. Siswa itu sendirilah (secara berkelompok) yang mengidentifikasi dan menentukan konsep-konsep atau prinsip- prinsip apa yang harus mereka pelajari dan mereka pahami agar mampu memecahkan masalah yang telah disajikan guru pada awal pembelajaran.

4. Permasalahan-permasalahan yang disajikan dalam pembelajaran diorganisasi dalam bentuk dan fokus tertentu dan merupakan stimulus pembelajaran. Kondisi demikian akan menantang dan menghadapkan siswa dalam situasi praktis serta akan memotivasi siswa untuk belajar. Siswa dalam memecahkan masalah tersebut akan merealisasikan apa yang perlu mereka pelajari dari ilmu-ilmu dasar (basic science), serta akan mengarahkan mereka untuk mengintegrasikan informasi-informasi dari berbagai disiplin ilmu.

5. Informasi baru diperoleh melalui belajar secara mandiri (self-directed learning). Siswa diharapkan belajar dari dunia pengetahuan dan mengakumulasikan keahliannya melalui belajar secara mandiri, serta dapat berbuat seperti praktisi yang sesungguhnya. Selama proses belajar secara mandiri, siswa bekerja bersama dalam kelompok, berdiskusi, melakukan komparasi, me-review, serta berdebat tentang apa yang sudah mereka pelajari.

6. Masalah merupakan wahana untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah klinik. Format permasalahan hendaknya mempresentasikan permasalahan sesuai dengan dunia realita. Format permasalahan juga harus memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyan-pertanyaan kepada pasien, melakukan test fisik, test laboratorium, dan lainnya.

Ada lima tahapan dalam penerapan model pembelajaran berbasis masalah yang diuraikan oleh Arends (2004), di mana pembelajaran dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan situasi real dan akhirnya dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut.

1. Orientasi siswa pada masalah

Pada saat mulai pembelajaran, guru menyampaikan tujuan pembelajaran secara jelas, menumbuhkan sikap positif terhadap pelajaran. Guru menyampaikan bahwa tujuan utama dari pembelajaran adalah tidak untuk mempelajari sejumlah informasi baru, namun lebih kepada bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadikan pebelajar yang mandiri. Guru perlu menyajikan masalah dengan hati-hati dengan prosedur yang jelas untuk melibatkan siswa dalam identifikasi. Hal penting disini adalah orientasi kepada situasi masalah menentukan tahap untuk penyelidikan selanjutnya. Oleh karena itu, pada tahap ini presentasi masalah harus menarik minat siswa dan menimbulkan rasa ingin tahu.

(32)

2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar

Model pembelajaran berbasis masalah membutuhkan kemampuan kolaborasi di antara siswa yang nantinya digunakan untuk menyelidiki masalah secara bersama. Oleh karena itu mereka juga membutuhkan bantuan untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas belajarnya. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar kooperatif juga berlaku untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok model pembelajaran berbasis masalah. Intinya disini adalah guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan.

3. Membantu penyelidikan siswa

Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data-data atau melaksanakan eksperimen sampai mereka betul-betul memahami dimensi dari masalah tersebut. Tujuannya agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk membangun ide mereka sendiri. Siswa akan membutuhkan untuk diajarkan bagaimana menjadi penyelidik yang aktif dan bagaimana menggunakan metode yang sesuai untuk masalah yang sedang dipelajari. Setelah siswa mengumpulkan cukup data mereka akan mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan dan pemecahan. Selama tahap ini guru mendorong semua ide dan menerima sepenuhnya ide tersebut.

4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Pada tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan hasil karya yang akan disajikan. Masing-masing kelompok menyajikan hasil pemecahan masalah yang diperoleh dalam suatu diskusi. Penyajian hasil karya ini dapat berupa laporan, poster maupun media-media yang lain.

5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Tahap akhir ini meliputi aktivitas yang dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri dan di samping itu juga untuk mengevaluasi kemampuan penyelidikan dan kemampuan intelektual yang telah mereka gunakan.

Model pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain. Beberapa keunggulan dari model pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut.

1. Pembelajaran berbasis masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk memahami isi pelajaran.

2. Pembelajaran berbasis masalah dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.

3. Pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa

4. Pembelajaran berbasis masalah dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.

5. Pembelajaran berbasis masalah dapat membantu siswa mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Di samping itu, PBL dapat mendorong siswa untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.

6. Pembelajaran berbasis masalah dipandang lebih mengasikkan dan disukai siswa.

7. Pembelajaran berbasis masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyelesaikan dengan pengetahuan baru.

8. Pembelajaran berbasis masalah dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka miliki dalam dunia nyata.

Implementasi model pembelajaran berbasis masalah akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam perbaikan proses belajar mengajar, khususnya dalam menumbuhkembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, baik dalam merumuskan masalah, memberikan argumen, melakukan deduksi, melakukan induksi, melakukan evaluasi, dan memutuskan serta melaksanakan.

(33)

Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing

Inkuiri yang dalam bahasa Inggris inquriy, berarti pertanyaan, pemeriksaan atau penyelidikan. Pembelajaran inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuan dengan penuh percaya diri1. Lebih lanjut Kuslan & Stone menyatakan ciri-ciri mengajar dengan inkuiri2 adalah sebagai berikut ini.

 Menggunakan keterampilan proses IPA.

 Waktu tidak menjadi suatu masalah karena tidak ada keharusan untuk menyelesaikan unit tertentu dalam waktu tertentu.

 Jawaban-jawaban yang dicari tidak diketahui lebih dahulu. Jawaban-jwaban ini tidak ditemukan dalam buku pelajaran, sebab buku-buku pelajaran dan buku-buku petunjuk yang dipilih berisi pertanyaan-pertanyaan dan saran-saran untuk menemukan jawaban, bukan memberi jawaban.

 Siswa berhasrat untuk menemukan pemecahan masalah.

 Proses belajar mengajar lebih berpusat pada pertanyaan “mengapa”, “bagaimana”.

 Suatu masalah yang ditemukan kemudian dipersempit, hingga terlihat pemecahan masalah tersebut.

 Siswa merumuskan hipotesis untuk membimbing penyelidikan.

 Siswa mengusulkan cara mengumpulkan data dengan melakukan eksperimen, mengadakan pengamatan,membaca, dan menggunakan sumber-sumber lain.

 Semua usul dinilai bersama. Bila mungkin ditentukan pula asumsi-asumsi, keterbatasan- keterbatasan dan kesukaran-kesukarannya.

 Para siswa melakukan penelitian secara individual atau kelompok untuk mengumpulkan data yang diperlukan guna menguji hipotesis.

 Para siswa mengolah data sehingga mereka sampai pada kesimpulan sementara.

Inkuiri adalah bentuk aktivitas yang melibatkan pengamatan, pengajuan pertanyaan, merujuk pada buku dan sumber-sumber lain, merencanakan penyelidikan, meninjau ulang apa yang telah diketahui dari bukti-bukti hasil percobaan sederhana menggunakan perangkat-perangkat untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasi data, pengajuan jawaban, penjelasan dan perkiraan, serta mengkomunikasikan hasil3.

Lee menyatakan bahwa ”the inquiry-based teaching lays special emphasis on the core concepts of cognitive and discovery learning and its goal to develop higher-order thinking. In other words, teachers do not teach everything directly or explicitly. Instead, learners are expected and encouraged to discover the knowledge, to generate underlined rules based on a series of examples and counterexamples, and to be able to further apply these rules or knowledge to novel cases and deal with everyday life situations. The teacher thus becomes the facilitator to assist learners in exploring and constructing their conceptual system. It is evident that this type of teaching challenges”4.

Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa pengajaran berbasis inquiri meletakkan penekanan khusus pada konsep inti dari pembelajaran kognitif dan penemuan dan tujuannya untuk mengembangkan pemikiran tingkat tinggi. Dengan kata lain, guru tidak mengajarkan segala sesuatu secara langsung atau eksplisit. Sebaliknya, peserta didik diharapkan dan didorong untuk menemukan pengetahuan, untuk menghasilkan aturan berdasarkan serangkaian contoh dan untuk

1 Gulo, W, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002).

2 Suastra, I Wayan, Pembelajaran Sains Terkini: Mendekatkan Siswa dengan Lingkungan Alamiah dan Sosial Budaya (Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha, 2009).

3 Olson, Steve and Horsley, Susan Loucks, Inquiry and The National Science Education Standards, A Guide for Teaching and Learning (Washington, D.C: National Academy Press, 2000).

4 Lee, Horng-Yi. “Inquiry-based Teaching in Second and Foreign Language Pedagogy”. Journal of Language

Gambar

Gambar 1. Bagan Pelaksanaan Kegiatan
Tabel 1. Hasil analisis “Satua Bali”
Gambar 2. Siklus inkuiri
Tabel 2.1 Karakteristik Utama Pembelajaran Berbasis Proyek  I.  ISI: memuat gagasan yang orisinil

Referensi

Dokumen terkait