MENGEMBANGKAN KECAKAPAN MATEMATIS
SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN
MODEL-FACILITATED LEARNING (MFL)
Disertasi
Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Doktor Pendidikan Matematika
Promovendus:
Laswadi
NIM. 1005094
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
MENGEMBANGKAN KECAKAPAN MATEMATIS
SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN
MODEL-FACILITATED LEARNING (MFL)
Oleh Laswadi 1005094
Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan Matematika pada Sekolah Pascasarjana
© Laswadi2015
Universitas Pendidikan Indonesia Juni 2015
Hak cipta dilindungi undang-undang.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xxi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian ... 14
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 16
A. Kecakapan Matematis ... 16
1. Conceptual Understanding ... 17
2. Procedural Fluency ... 18
3. Strategic Competence... 20
4. Adaptive Reasoning ... 21
5. Productive Disposition ... 22
B. Pengertian Model ... 23
C. Peran Model dalam Pembelajaran Matematika ... 25
D. Penggunaan Komputer dalam Pembelajaran Matematika ... 27
E. Model-Facilitated Learning ... 29
F. MFL dan Kecakapan Matematis ... 33
2. Procedural Fluency ... 34
3. Strategic Competence... 35
4. Adaptive Reasoning ... 35
5. Productive Disposition ... 36
G. Penelitian yang Relevan ... 37
H. Definisi Operasional ... 41
I. Hipotesis ... 42
BAB III. METODE PENELITIAN ... 44
A. Metode dan Disain Penelitian ... 44
B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 46
C. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ... 48
1. Tes ... 48
2. Skala Productive Disposition ... 53
D. Perangkat Pembelajaran ... 55
1. LKS ... 55
2. Software Pembelajaran ... 55
C. Prosedur Penelitian ... 57
1. Tahap Pendahuluan ... 57
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 58
D. Prosedur Pengolahan Data ... 58
E. Agenda Kegiatan Penelitian ... 59
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61
A. Hasil Analisis Data ... 61
1. Analisis Skor Tes Pengetahuan Awal Matematika (PAM) .... 62
2. Deskripsi Kecakapan Matematis Siswa ... 65
3. Analisis Data Conceptual Understanding ... 68
4. Analisis Data Procedural Fluency ... 84
5. Analisis Data Strategic Competence ... 99
6. Analisis Data Adaptive Reasoning ... 113
7. Analisis Data Productive Disposition ... 125
1. Faktor Pendekatan ... 144
2. Gambaran Kinerja Siswa... 146
3. Kecakapan Matematis ... 162
BAB IV. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI ... 171
A. Kesimpulan ... 171
B. Implikasi ... 176
C. Rekomendasi ... 176
DAFTAR PUSTAKA ... 178
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya manusia yang unggul merupakan potensi yang sangat
penting untuk dikembangkan dalam rangka membangun Indonesia. Dengan
sumber daya manusia yang unggul kita dapat mengelola kekayaan alam kita
sendiri dan tidak mengandalkan pihak luar. Disamping itu, sumber daya manusia
yang unggul diperlukan untuk membuat perencanaan yang baik dan matang di
segala bidang dalam menentukan arah pembangunan di masa depan. Oleh karena
itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia mutlak diperlukan demi kemajuan
bangsa.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia erat kaitannya dengan
peningkatan sektor pendidikan sebagai basis pengembangan sumber daya
manusia. Melalui pendidikan yang berkualitas akan muncul generasi-generasi
yang memiliki keahlian atau kecakapan di berbagai bidang. Keahlian atau
kecakapan yang diharapkan antara lain adalah kecakapan matematis.
Sumber daya manusia dengan kecakapan matematis yang unggul dapat
menjadi salah satu modal untuk menuju bangsa yang maju. Wood et al. (2012)
menyatakan bahwa potensi matematika sebagai ilmu meningkatkan kesadaran
terhadap masalah sosial dan dapat mengubah masyarakat menjadi lebih baik.
Dengan demikian, kecakapan matematis merupakan potensi sumber daya manusia
yang harus dikembanngkan dalam rangka memajukan bangsa.
Menurut Kilpatrick et al. (2001), kecakapan matematis (matemathical
proficiency) merupakan kemampuan tertentu yang diperoleh oleh seseorang
setelah mengalami pembelajaran matematika. Kilpatrick et al. (2001) memakai
istilah kecakapan matematis untuk mewakili istilah keahlian, pengetahuan,
kompetensi, dan facility yang merupakan hasil dari pembelajaran matematika.
Kecakapan matematis ini terdiri dari lima cabang yang saling terkait yaitu:
conceptual understanding (pemahaman konsep), procedural fluency (penerapan
prosedur), strategic competence (kompetensi strategi), adaptive reasoning
(penalaran adaptive), dan productive disposition (disposisi produktif). Kelima
matematis. Lima cabang kecakapan matematis yang disebutkan di atas sangat
sesuai dengan lima Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk mata pelajaran
matematika yang tercantum dalam Permen 23 Tahun 2006 (Puskur Kemendiknas,
2007:4) yaitu:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara
luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Kelima SKL mata pelajaran matematika ini sudah tercakup dalam lima
cabang kecakapan matematis. Berdasarkan hubungan ini dapat dilihat bahwa
pengembangan kecakapan matematis merupakan bagian dari tujuan pendidikan di
Indonesia.
Menurut Ojose (2011) kecakapan matematis yang dimiliki seseorang
akan membuatnya mampu dan percaya diri untuk menggunakan matematika
dalam menyelesaikan masalah sehari-hari. Kemampuan dan kepercayaan diri ini
akan menjadikan seseorang dapat berperan secara produktif dan lebih memiliki
kesempatan dalam persaingan global saat ini. Dengan demikian, kecakapan
matematis perlu mendapat perhatian serius serta upaya untuk mengembangkannya
secara optimal.
Upaya untuk mengembangkan kecakapan matematis tidak terlepas dari
pembelajaran matematika harus terus dilakukan mengingat masih terdapat hasil
pembelajaran matematika di Indonesia yang tergolong rendah. Beberapa hasil
pembelajaran matematika yang masih rendah terungkap pada survey yang
dilakukan oleh TIMSS dan PISA.
Hasil survey TIMSS (Trends in International Mathematics and Science
Study) bidang matematika 2011 menunjukkan bahwa Indonesia mendapat
peringkat ke-38 dari 63 negara yang berpartisipasi dengan rerata 386 di bawah
rerata internasional yaitu 500 (Mullis et al., 2012). Sejak berpartisipasi pada
survey TIMSS tahun 1999, 2003, 2007 dan 2011 peserta dari Indonesia belum
menunjukkan adanya peningkatan yang berarti. Hasil survey TIMSS tidak
berbeda jauh dengan hasil survey PISA (Programme for International Student
Assessment) untuk bidang matematika. Pada tahun 2012 hasil survey PISA
menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 65 negara yang
disurvey dengan rerata 375. Rerata ini kecil dari rerata internasional yaitu 494
(Kopertis12, 2013).
Pada survey TIMSS 2011 ada dua domain yang diujikan yaitu content
domain dan cognitive domain (Mullis et al., 2012). Content domain meliputi
empat aspek yaitu: number, algebra, geometry, dan data and changes sedangkan
Cognitive domain meliputi tiga aspek yaitu: knowing, applying, reasoning (Mullis
et al., 2012). Bila kita cermati hasil survey TIMSS, salah satu cabang dari
kecakapan matematis yaitu pemahaman konsep ( aspek knowing) masih menjadi
Gambar 1.1
Soal TIMSS 2011 content domain: number dan cognitive domain: knowing
(Mullis, 2012:130)
Soal ini menuntut pemahaman konsep tentang persen. Rerata persentase
siswa secara internasional yang menjawab soal dengan benar adalah 37%
sementara hanya 20% peserta dari Indonesia yang menjawab soal tersebut dengan
benar (Mullis et al., 2012).
TIMSS 2011 juga mengungkapkan masih terdapat siswa SMP yang
memiliki kemampuan rendah pada soal yang menuntut kemampuan penerapan
(applying) prosedur yang juga merupakan cabang kecakapan matematis. Pada
contoh soal yang ditampilkan berikut, siswa dari Indonesia yang menjawab soal
dengan benar hanya 28% dibawah rerata persentase siswa secara internasional
sebesar 47%. Berikut contoh soal yang menuntut kemampuan penerapan
Gambar 1.2
Soal TIMSS 2011 content domain: Data and Chance dan cognitive
domain: applying (Mullis, 2012:132)
Pada soal yang menuntut kecakapan matematis kemampuan penalaran
(reasoning), peserta dari Indonesia yang mampu menjawabnya dengan benar
Gambar 1.3
Soal TIMSS 2011 content domain: algebra dan cognitive domain: reasoning
(Mullis et al., 2012:131)
Persentase internasional siswa yang menjawab benar untuk soal di atas
adalah 47% sedangkan persentase rata-rata peserta dari Indonesia yang menjawab
benar adalah 18% saja (Mullis et al., 2012). Data ini menunjukkan masih adanya
siswa yang memiliki kemampuan penalaran yang lemah.
Bukan hanya kemampuan matematis yang menjadi kelemahan siswa
dalam menyelesaikan soal-soal matematika. Siswa juga belum menunjukkan
orisinalitas strategi penyelesaian soal. Suryadi (2005) dalam mengomentari hasil
olimpiade internasional matematika tingkat SD mengemukakan bahwa peserta
dari Indonesia tidak menunjukkan orisinalitas strategi penyelesaian soal. Suryadi
(2005) menjelaskan bahwa siswa belum mampu memikirkan dan menggunakan
strategi sendiri dalam penyelesaian soal. Hal ini menggambarkan kondisi siswa
diberikan guru sehingga tidak ada kepercayaan diri untuk menggunakan
pengetahuan dan pemahaman yang sudah dimiliki sebelumnya. Berdasarkan
pendapat Ojose (2011), kemampuan matematis yang rendah dan kurangnya
kepercayaan diri merupakan salah satu indikator masih rendahnya kecakapan
matematis yang dimiliki oleh siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Killpatrick et
al. (2001) bahwa kepercayaan diri merupakan bagian dari productive disposition
yang merupakan cabang dari kecakapan matematis.
Tingkat kecakapan matematis siswa sangat berhubungan dengan kualitas
pembelajaran yang diperoleh. Data lapangan kajian kebijakan kurikulum mata
pelajaran matematika (Puskur Kemendiknas, 2007) memperlihatkan bahwa
lemahnya daya serap siswa dalam pembelajaran disebabkan belum optimalnya
upaya guru ke arah peningkatan kualitas proses belajar mengajar. Hal ini
ditunjukkan oleh metode, pendekatan dan evaluasi yang digunakan guru belum
beranjak dari pola tradisional. Data lapangan ini juga memperlihatkan bahwa
alasan guru hanya menggunakan pola tradisional dengan dominasi metode
ceramah dalam mengajar karena cara ini dianggap paling aman untuk
menyelesaikan materi. Hal inilah yang menyebabkan pembelajaran menjadi tidak
efektif dan kemampuan siswa belum sesuai dengan apa yang diharapkan.
Data lapangan kajian kebijakan kurikulum mata pelajaran matematika
oleh Puskur Kemendiknas yang dikemukakan di atas merupakan gambaran
bagaimana proses pembelajaran yang terjadi di Indonesia terutama di
daerah-daerah. Data lapangan tersebut sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lokasi
penelitian yang dilaksanakan penulis yaitu kabupaten Kerinci provinsi Jambi.
Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di kabupaten Kerinci
menunjukkan bahwa hasil belajar matematika siswa SMP belum sesuai dengan
apa yang diharapkan. Hal ini terlihat dari rata-rata hasil ujian siswa yang
menunjukkan adanya siswa yang belum mencapai kriteria ketuntasan minimal
(KKM) yang ditetapkan guru. Sartika (2010) dalam survei awal skripsinya
melaporkan bahwa di kelas VIII SMP Negeri 3 Keliling Danau Kerinci hasil ujian
semester matematika mendapatkan rata-rata berada di bawah KKM mata pelajaran
yang ditetapkan. Fenomena yang sama juga terjadi di SMP Negeri 26 Kerinci
bahwa rata-rata ujian semester matematika kelas VIII berada di bawah KKM mata
pelajaran yang ditetapkan guru.
Selain rata-rata hasil belajar, Sartika (2010) dan Cahyani (2012) juga
melaporkan bahwa pembelajaran yang terjadi di kelas masih berpusat kepada
guru. Guru mendominasi kegiatan pembelajaran dengan metode ceramah dan
menulis contoh di papan tulis. Kegiatan siswa hanya mendengarkan penjelasan,
mencatat materi dan mengerjakan latihan sesuai dengan contoh yang diberikan
guru. Data ini memperkuat temuan lapangan kajian kebijakan kurikulum mata
pelajaran matematika oleh Puskur Kemendiknas (2007) tentang proses
pembelajaran yang terjadi di kelas.
Proses pembelajaran seharusnya tidak hanya terpaku pada selesainya
materi namun bagaimana siswa memperoleh pengalaman belajar yang tepat
sehingga kecakapan matematis siswa dapat berkembang dengan optimal.
Kilpatrick et al. (2001) menyarankan kepada guru untuk selalu berupaya
mengembangkan kecakapan matematis dengan memanfaatkan berbagai sumber
daya pembelajaran. Salah satu upaya yang disebutkan oleh Kilpatrick et al. adalah
bagaimana guru mengelola dan mengadaptasi bahan ajar sehingga dapat disajikan
secara benar dan dapat diakses oleh siswa. Selanjutnya Kilpatrick et al. (2001)
juga mengemukakan bahwa kualitas suatu pembelajaran bergantung pada tingkat
keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Keterlibatan siswa dalam
kegiatan pembelajaran akan lebih optimal jika siswa dapat mengakses bahan ajar
dengan baik yaitu ketika siswa dapat mengaitkan antara pengetahuan dan
pengalaman yang sudah dimiliki dengan konsep baru yang ada di dalam bahan
ajar.
Siswa sering mengalami kesulitan untuk dapat memahami suatu konsep
yang bersifat abstrak. Untuk mengatasi kesulitan ini siswa memerlukan
‘jembatan’ yang dapat mengantarkan siswa dari berpikir konkret ke berpikir abstrak. Menurut Suryanto et al. (2010) untuk menjembatani siswa dari berpikir
konkret ke berpikir abstrak diperlukan penggunaan model. Selanjutnya Suryanto
et al. memaparkan bahwa model tersebut dapat berbentuk konkret berupa benda,
atau semi konkret berupa gambar atau skema. Model seperti ini mewakili konteks
atas, ada model yang lebih umum dan mengarah kepada matematika formal
(Suryanto, dkk., 2010). Model seperti ini dapat berupa formula atau rumus.
Suryanto, dkk menjelaskan bahwa model yang lebih umum ini dapat diperoleh
atau dikembangkan melalui generalisasi atau formulasi yang terjadi pada proses
pembelajaran.
Penggunaan model dalam pembelajaran matematika akan membantu
guru untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan
kecakapan matematis. Hal ini sesuai dengan pendapat Kilpatrick et al. (2001)
bahwa pengalaman belajar menggunakan model yang disukai siswa akan
menjadikan pembelajaran lebih efektif. Saat ini penggunaan model telah banyak
diadaptasi ke dalam berbagai pendekatan pembelajaran. Salah satu pendekatan
pembelajaran yang melibatkan penggunaan model dalam proses pembelajaran
adalah pendekatan Model-Facilitated Learning (MFL).
Pengembangan MFL berdasarkan pada dua jenis model seperti yang telah
disebutkan di atas yaitu model sebagai wakil dari konteks berupa benda konkret
atau semi konkret dan model yang mengarah kepada matematika formal serta
bersifat abstrak. Dengan demikian di dalam MFL terdapat dua kegiatan utama
yaitu belajar melalui model dan belajar melalui pemodelan.
Pembelajaran menggunakan model dalam MFL memberikan kesempatan
kepada siswa untuk bereksplorasi menggunakan model yang dinamis dan
interaktif berbasis komputer. Kegiatan pembelajaran yang melibatkan siswa
secara aktif seperti ini menurut NCTM (2000) akan membangun salah satu cabang
dari kecakapan matematis yaitu conceptual understanding.
Terbangunnya conceptual understanding merupakan dasar bagi
pengembangan procedural fluency. Hal ini sesuai dengan pendapat Bahr (2010)
bahwa pembelajaran yang menekankan pada pemahaman akan membangun
procedural fluency. Selain itu MFL juga memberikan kesempatan kepada siswa
untuk membangun aturan atau memodelkan hubungan-hubungan sesuai dengan
pemahaman mereka (Milrad et al., 2003). Menurut Milrad et al., ketika siswa
dilibatkan dalam kegiatan membangun sebuah model matematis atau disebut juga
prosedur-prosedur yang lebih kompleks, dan tidak hanya terpaku pada rumus atau
solusi yang sudah jadi.
Selain dapat mengembangkan kemampuan procedural fluency,
pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam membangun model atau
merumuskan hubungan-hubungan matematis akan mengembangkan kemampuan
penalaran mereka. Hal ini dikarenakan kegiatan ini melibatkan proses justifikasi
dan elaborasi yang mengasah kemampuan bernalar siswa. Brodie (2010)
mengatakan bahwa perlu adanya kegiatan justifikasi dan elaborasi dalam
pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan penalaran siswa. Dengan
demikian MFL berpotensi untuk mengembangkan cabang kecakapan matematis
adaptive reasoning.
Menurut Devlin (2011), salah satu cabang kecakapan matematis strategic
competence dapat dikembangkan dengan pembelajaran yang menggunakan
lingkungan virtual. Lingkungan virtual dapat menyajikan tantangan, daya tarik,
serta latihan yang dinamis dan interaktif. Berdasarkan pendapat ini dapat
dikatakan bahwa model virtual berbasis komputer yang digunakan di dalam MFL
memiliki potensi untuk mengembangkan strategic competence.
MFL dikembangkan seiring dengan perkembangan teknologi khususnya
teknologi komputer. Milrad et al. (2003) mengemukakan bahwa pendekatan MFL
melibatkan penggunaan model berbasis komputer dalam proses pembelajaran. Hal
ini memperlihatkan bahwa MFL sesuai dengan prinsip pengembangan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang harus tanggap terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Perkembangan teknologi komputer yang begitu pesat akhir-akhir ini
menawarkan berbagai fitur yang dikembangkan untuk memberikan kemudahan
dan pelayanan dalam berbagai bidang kehidupan. Matematika merupakan bidang
studi yang sangat dekat dengan komputer. Kedekatan antara teknologi komputer
dengan matematika dapat dimanfaatkan oleh guru untuk mengintegrasikan
penggunaan komputer dalam pembelajaran matematika di sekolah. Chambers
(2008) berpendapat bahwa penggunaan teknologi komputer dalam pembelajaran
matematika dapat memberikan begitu banyak fungsi-fungsi yang berbeda.
memungkinkan anak mengakses data dalam jumlah besar atau memberikan
analisis yang cepat serta akurasi tampilan yang lebih baik membantu anak
mengeksplorasi ide-ide matematis lebih mudah. Selain itu, fungsi dari
penggunaan teknologi komputer adalah meningkatkan kemampuan anak di bidang
teknologi informasi dan komunikasi seperti kemampuan anak menggunakan
komputer untuk mengorganisasikan, menganalisis, dan menampilkan informasi.
Beberapa fungsi penggunaan komputer dalam pembelajaran di kelas
yang dipaparkan oleh Chamber (2008) menggambarkan bagaimana komputer
dapat mengurangi banyaknya waktu yang diperlukan dalam pembelajaran
matematika khususnya pembelajaran yang berpusat pada kegiatan siswa (student
centre). Hal ini disebabkan bekerja dengan komputer akan lebih cepat dan akurat
jka dibandingkan dengan bekerja secara manual. Kecepatan dan akurasi yang
dimiliki oleh komputer dapat memotong waktu yang diperlukan untuk
pekerjaan-pekerjaan rutin dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran yang
banyak melibatkan kegiatan siswa akan lebih hemat waktu dengan bantuan
komputer.
Banyaknya manfaat penggunaan teknologi komputer dalam
pembelajaran matematika merupakan potensi besar untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran. Oleh karena itu penggunaan komputer dalam pembelajaran perlu
dioptimalkan. Penggunaan komputer dalam pembelajaran dapat dipotimalkan
dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yang dirancang khusus
melibatkan penggunaan komputer. Salah satu pendekatan yang dirancang dengan
pemanfaatan teknologi komputer dalam proses pembelajaran adalah
Model-Facilitated Learning (MFL).
Untuk menunjang pendekatan MFL, perlu diperhatikan beberapa hal,
yaitu: peringkat sekolah (PS), dan pengetahuan awal matematika (PAM) siswa.
Penerapan pendekatan MFL pada peringkat sekolah yang berbeda diprediksi akan
memberikan hasil yang berbeda pula. Pada umumnya, siswa yang memiliki
kemampuan tinggi dapat diterima pada sekolah peringkat tinggi. Artinya, semakin
tinggi kemampuan siswa, peluang untuk diterima pada semua peringkat sekolah
cenderung besar. Sebaliknya, peluang siswa berkemampuan rendah untuk
penelitian ini PS ditentukan berdasarkan data prestasi belajar matematika
masing-masing sekolah.
Pendekatan MFL diduga lebih menguntungkan siswa pada sekolah
peringkat sedang dan rendah. Hal ini karena langkah-langkah pendekatan MFL
yang berdasarkan pada pengembangan kreativitas dan teori belajar yang
melibatkan proses-proses kognitif dan afektif, serta dapat menumbuhkan
kegairahan belajar dan potensi-potensi kreatifnya. Sebagaimana diketahui bahwa
pada umumnya dalam pembelajaran matematika yang menjadi perhatian guru
adalah siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedangkan siswa dengan
kemampuan sedang dan rendah yang umumnya ada di sekolah peringkat sedang
dan rendah kurang memperoleh perhatian. Oleh sebab itu, pendekatan MFL
diduga dapat mengakomodasi keinginan semua siswa untuk untuk menunjukkan
potensi-potensi kemampuan yang dimilikinya.
Sementara itu, pendekatan MFL juga diduga akan mengembangkan
kecakapan matematis siswa yang ada pada sekolah peringkat tinggi. Namun
demikian, perkembangan kemampuan tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor
keunggulan siswa di sekolah peringkat tinggi.
PAM siswa juga merupakan aspek yang perlu diperhatikan dalam melihat
keberhasilan pembelajaran. Sebagaimana dikemukakan oleh Burns (2007) dan
Gruber et al (2011) bahwa pengetahuan awal matematika mempengaruhi
keberhasilan siswa untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Pengetahuan awal
matematika yang baik menjadi dasar yang kuat untuk mempelajari konsep-konsep
matematika yang baru. MFL diduga dapat mengoptimalkan pengetahuan awal
matematika yang dimiliki oleh siswa karena MFL memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengemukakan ide-ide yang dimilikinya untuk memahami
suatu konsep.
Berdasarkan problematika yang dipaparkan di atas penulis terdorong
untuk meneliti Pengembangan Kecakapan Matematis Siswa SMP melalui
Pendekatan Model-Facilitated Learning (MFL).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
Model-Facilitated Learning lebih baik dari pendekatan pembelajaran konvensional dalam
hal mengembangkan kecakapan matematis siswa? Masalah ini dapat disajikan
lebih rinci menjadi beberapa submasalah, yaitu:
1. Apakah pencapaian dan peningkatan conceptual understanding siswa yang
mendapat pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional ditinjau dari
(1) keseluruhan, (2) peringkat sekolah, (3) pengetahuan awal matematika
siswa ?
2. Apakah pencapaian dan peningkatan procedural fluency siswa yang
mendapat pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional ditinjau dari
(1) keseluruhan, (2) peringkat sekolah, (3) pengetahuan awal matematika
siswa ?
3. Apakah pencapaian dan peningkatan strategic competence siswa yang
mendapat pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional ditinjau dari
(1) keseluruhan, (2) peringkat sekolah, (3) pengetahuan awal matematika
siswa ?
4. Apakah pencapaian dan peningkatan adaptive reasoning siswa yang
mendapat pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional ditinjau dari
(1) keseluruhan, (2) peringkat sekolah, (3) pengetahuan awal matematika
siswa ?
5. Apakah pencapaian dan peningkatan productive disposition siswa yang
mendapat pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional ditinjau dari
(1) keseluruhan, (2) peringkat sekolah, (3) pengetahuan awal matematika
siswa ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan di atas, maka tujuan utama
Model-Facilitated Learning dalam hal mengembangkan kemampuan berpikir matematis
tingkat tinggi siswa. Secara lebih rinci, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji perbedaan pencapaian dan peningkatan conceptual
understanding siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan
MFL lebih dan siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan
konvensional ditinjau dari (1) keseluruhan, (2) peringkat sekolah, (3)
pengetahuan awal matematika siswa
2. Mengkaji perbedaan pencapaian dan peningkatan procedural fluency siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan MFL dan siswa yang
mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional ditinjau dari (1)
keseluruhan, (2) peringkat sekolah, (3) pengetahuan awal matematika
siswa
3. Mengkaji perbedaan pencapaian dan peningkatan strategic competence
siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan MFL dan siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional ditinjau
dari (1) keseluruhan, (2) peringkat sekolah, (3) pengetahuan awal
matematika siswa
4. Mengkaji perbedaan pencapaian dan peningkatan adaptive reasoning
siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan MFL dan siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional ditinjau
dari (1) keseluruhan, (2) peringkat sekolah, (3) pengetahuan awal
matematika siswa
5. Mengkaji perbedaan pencapaian dan peningkatan productive disposition
siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan MFL dan siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional ditinjau
dari (1) keseluruhan, (2) peringkat sekolah, (3) pengetahuan awal
matematika siswa
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa, guru, dan dunia
pendidikan. Manfaat itu adalah:
1. Bagi siswa, penerapan pendekatan Model-Facilitated Learning sebagai
meningkatkan hasil belajarnya khususnya kecakapan matematis siswa
diharapkan dapat meningkat.
2. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk
meningkatkan hasil belajar matematika khususnya kecakapan matematis
siswa. Pendekatan Model-Facilitated Learning yang digunakan dapat
menjadi pengetahuan baru dan alternatif pendekatan pembelajaran untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di kelas.
3. Bagi dunia pendidikan, penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia khususnya bidang studi
matematika. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai acuan untuk
diterapkan di sekolah-sekolah lain dalam rangka meningkatkan kecakapan
matematis siswa.
4. Bagi Peneliti, sebagai ajang meningkatkan kemampuan meneliti,
mengembangkan dan mengenalkan pendekatan MFL dalam pendidikan
matematika di Indonesia, dan dapat dijadikan referensi untuk peneliti lain
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode dan Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen untuk menguji pengaruh
sebuah perlakuan pembelajaran terhadap kecakapan matematis. Dalam
impelementasinya peneliti tidak dapat mengontrol semua variabel-variabel yang
berpengaruh oleh karena itu penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimen.
Penelitian ini melibatkan dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen yang
menggunakan metode Model-Facilitated Leaning (MFL), dan kelompok
kontrol, yaitu kelompok yang diberi perlakuan pendekatan konvensional (PK)
sesuai dengan pendekatan pembelajaran yang digunakan guru selama ini.
Desain penelitian adalah desain kelompok control pretes-postes
(Ruseffendi, 2005) yang dapat digambarkan sebagai berikut:
O X O
---
O O
Keterangan:
X : pembelajaran menggunakan pendekatan Model-Facilitated Learning
(MFL)
O : tes kecakapan matematis
Penelitian ini melibatkan variabel bebas dan juga variabel tak bebas. Variabel
bebasnya adalah pembelajaran dengan pendekatan Model-Facilitated Learning
(MFL) sedangkan variabel tak bebasnya adalah kecakapan matematis siswa yang
terdiri dari: Procedural Fluency (PF), Conceptual Understanding (CU), Strategic
Competence (SC), Adaptive Reasoning (AR), dan Productive Dispodition (PD).
Penelitian ini menggunakan variabel kontrol yaitu level sekolah terdiri dari Atas (A);
menengah (S); Bawah (B) dan pengetahuan awal matematika (PAM) siswa terdiri
dari tinggi (T), sedang (S), rendah (R).
Keterkaitan antara variabel bebas, variabel tak bebas dan variabel kontrol
Tabel 3.1
Keterkaitan Antara Variabel Bebas, Variabel Terikat dan Variabel Kontrol (Level Sekolah)
PF-AM : Kecakapan matematis cabang Procedural Fluency siswa berasal
dari sekolah level atas yang memperoleh pembelajaran MFL.
CU-MK : Kecakapan matematis cabang Conceptual Understanding siswa
berasal dari sekolah level menengah yang memperoleh
pembelajaran Konvensional.
SC-BM : Kecakapan matematis cabang Strategic Competence siswa berasal
dari sekolah level bawah yang memperoleh pembelajaran MFL.
AR-AK : Kecakapan matematis cabang Adaptive Reasoning siswa berasal
dari sekolah level atas yang memperoleh pembelajaran
Konvensional.
PD-MM : Kecakapan matematis cabang Productive Disposition siswa
berasal dari sekolah level menengah yang memperoleh
pembelajaran MFL.
Tabel 3.2
Keterkaitan Antara Variabel Bebas, Variabel Terikat dan Variabel Kontrol (Pengetahuan Awal Matematika)
Kemampuan
PF-TM : Kecakapan matematis cabang Procedural Fluency siswa dengan
PAM tinggi yang memperoleh pembelajaran MFL.
dengan PAM sedang yang memperoleh pembelajaran
Konvensional.
SC-RM : Kecakapan matematis cabang Strategic Competence siswa dengan
PAM rendah yang memperoleh pembelajaran MFL.
AR-TK : Kecakapan matematis cabang Adaptive Reasoning siswa dengan
PAM tinggi yang memperoleh pembelajaran Konvensional.
PD-SM : Kecakapan matematis cabang Productive Disposition siswa
dengan PAM sedang yang memperoleh pembelajaran MFL.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah siswa SMP di Kabupaten Kerinci. Alasan
siswa SMP dipilih sebagai populasi adalah menurut teori perkembangan kognitif
oleh Piaget usia siswa SMP merupakan usia awal memasuki tahap operasional
formal atau peralihan dari tahap operasi konkret ke tahap operasi formal
(Ruseffendi, 2006). Tahap perkembangan kognitif seperti ini sangat tepat
diajarkan dengan pendekatan MFL karena pendekatan ini menggunakan model
tidak konkret sehingga siswa tidak tergantung pada benda-benda konkret tetapi
tidak langsung ke berpikir abstrak.
Populasi terdiri dari 53 SMP. Sekolah-sekolah tersebut dikategorikan
sebagai sekolah peringkat atas, menengah, dan bawah berdasarkan data prestasi
belajar matematika (nilai rapor semester akhir tahun 2012) sekolah dari dinas
pendidikan kabupaten Kerinci. Berdasarkan rerata prestasi belajar matematika
tersebut sekolah-sekolah dalam populasi diurutkan dan dibagi menjadi 3
kelompok peringkat sekolah dengan komposisi kelompok atas terdiri dari 17
sekolah, kelompok sedang 18 sekolah, dan kelompok bawah 18 sekolah.
Setelah sekolah-sekolah dalam populasi dikelompokkan, maka ditentukan
sampel dengan memilih satu sekolah untuk mewakili tiap-tiap kelompok secara
acak. Hasil pemilihan ini adalah SMPN 19 Kerinci mewakili peringkat atas,
SMPN 26 Kerinci mewakili peringkat menengah dan peringkat bawah diwakili
oleh SMPN 21 Kerinci.
Subjek penelitian adalah siswa kelas VIII. Kelas VIII dipilih karena siswa
kelas VIII sedang berada pada tahap peralihan operasi konkret ke operasi formal
Kelas IX tidak dapat diganggu karena sedang persiapan untuk menghadapi UN.
Dengan demikian maka dipilih secara acak dua kelas untuk menjadi kelas
ekperimen dan kelas kontrol dari masing-masing sekolah yang telah dipilih. Hasil
penentuan kelas eksperimen dan kelas kontrol diperlihatkan pada Tabel 3.3
berikut.
Tabel 3.3 Sekolah dan Kelas sebagai Sampel Penelitian
Kategori Sekolah Sekolah Sampel Subyek Penelitian
Atas SMPN 19 Kerinci VIII A Kelas Eksperimen
VIII B Kelas Kontrol
Menengah SMPN 26 Kerinci VIII B Kelas Eksperimen VIII A Kelas Kontrol
Bawah SMPN 21 Kerinci VIII B Kelas Eksperimen
VIII C Kelas Kontrol
Siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol selanjutnya dibagi menjadi
tiga kelompok berdasarkan pengetahuan awal matematika (PAM).
Pengelompokkan berdasarkan pada hasil tes PAM yang diadakan sebelum
penelitian dimulai. Tes PAM berisi materi yang telah dipelajari siswa baik di kelas
VII maupun kelas VIII semester ganjil. Kriteria pengelompokan siswa
berdasarkan PAM adalah sebagai berikut:
Tabel 3.4 Kriteria pengelompokan siswa berdasarkan PAM
Kriteria Kategori
̅ Kelompok PAM Tinggi
̅ ̅ Kelompok PAM Sedang
̅ Kelompok PAM Rendah
Keterangan:
: skor tes PAM siswa
̅ : rerata skor tes PAM kelas
: simpangan baku skor tes PAM kelas
Tabel 3.5 menunjukkan komposisi siswa yang berada pada PAM tinggi,
Tabel 3.5
Banyaknya Siswa pada PAM Tinggi, Sedang, dan Rendah
Kelompok
C. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya
Instrumen penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu tes dan non tes.
1. Tes
Instrumen dalam bentuk tes terdiri dari dua perangkat tes, yaitu tes untuk
mengukur pengetahuan awal matematika siswa dan tes untuk mengukur
kecakapan matematis.
a. Soal Tes Pengetahuan Awal Matematika
Pengetahuan awal matematika adalah pengetahuan yang dimiliki siswa
sebelum pembelajaran berlangsung. Pengetahuan ini dapat berperan membantu
siswa dalam memahami konsep baru yang akan diberikan. Hal ini disebabkan
matematika merupakan ilmu yang terstruktur sehingga konsep yang satu
berhubungan dengan konsep yang lainnya.
Tes ini digunakan untuk mengelompokkan siswa menurut pengetahuan
awal matematikanya. Berdasarkan skor pengetahuan awal matematika yang
diperoleh, siswa dikelompokkan kedalam tiga kelompok yaitu siswa kelompok
tinggi, siswa kelompok sedang, dan siswa kelompok rendah.
Tes PAM siswa ini berupa soal tes objektif (pilihan ganda) terdiri dari 15
butir soal. Soal dipilih dari tes Ujian Akhir Nasional (UAN) matematika tahun
2010 sampai tahun 2013 (kisi-kisi terlampir) yang memuat materi pada kelas VII
Tabel 3.6
Materi yang Diujikan pada Tes PAM
No Materi/Pokok Bahasan Kelas
1. Bilangan Bulat dan Bilangan Pecah VII
2. Persamaan dan petidaksamaan linear
satu variabel VII
3. Perbandingan dan aritmetika sosial VII
4. Himpunan VII
5. Garis dan Sudut VII
6. Segiempat dan segitiga VII
7. Bentuk aljabar VII
8. Relasi dan fungsi VIII
9. Garis Lurus VIII
Pertimbangan dipilihnya soal-soal UAN adalah soal-soal tersebut telah
memenuhi standar nasional sebagai alat ukur.
b. Soal Tes Kecakapan Matematis
Penyusunan soal tes kecakapan matematis (KM) ini bertujuan untuk
mengukur kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi setelah proses
pembelajaran dalam empat cabang dari kecakapan matematis yaitu procedural
fluency, conceptual understanding, strategic competence, dan adaptive reasoning.
Indikator yang diukur pada tes KM dapat dilihat pada Tabel 3.7 berikut.
Tabel 3.7 Cabang Kecakapan Matematis dan Indikatornya
Cabang Kecakapan
Matematis Indikator
1 2
situasi matematis dengan Adaptive Reasoning a) Mampu menjustifikasi
pernyataan baik secara
mengetahui tingkat reliabilitas perangkat soal dan validitas butir soal tes KM.
Validitas isi dan validitas muka tes KM diperoleh dengan memberikan
perangkat tes kepada 5 orang penimbang untuk ditelaah. Lima orang penimbang
ini terdiri dari dua orang mahasiswa S3 Pendidikan Matematika UPI, dua orang
rekan dosen pendidikan matematika di STAIN Kerinci, dan seorang guru
matematika SMP yang telah memiliki pengalaman mengajar matematika selama
20 tahun.
Unsur-unsur dari validitas isi adalah (1) Butir-butir soal sesuai dengan
indikator; (2) Isi materi sesuai dengan tujuan pembelajaran; (3) Isi materi yang
ditanyakan sesuai dengan jenjang, jenis sekolah, dan tingkat kelas; (4) Butir soal
tidak tergantung pada butir sebelumnya; dan (5) Tabel, diagram, masalah atau
ditanyakan.
Adapun unsur-unsur untuk validitas muka adalah (1) Rumusan kalimat
dalam bentuk kalimat tanya atau perintah yang menuntut jawaban; (2) Ada
petunjuk yang jelas cara pengerjaannya atau menyelesaikan soal; (3) Rumusan
kalimat komunikatif; (4) Kalimat soal menggunakan bahasa yang baik serta sesuai
dengan ragam bahasanya; (5) Rumusan kalimat tidak menimbulkan penafsiran
ganda atau salah pengertian; (6) Menggunakan bahasa/kata yang umum (bukan
bahasa lokal); dan (7) Soal tidak mengandung kata-kata yang dapat menyinggung
perasaan siswa.
Untuk melihat apakah para penimbang memberikan penilaian dan
pertimbangan yang seragam pada validitas isi dan validitas muka, maka
digunakan statistik Q-Cohran dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Semua penimbang memberikan pertimbangan yang seragam
H1 : Ada penimbang yang memberi pertimbangan tidak sama
Kriteria pengujian yang digunakan adalah terima H0 jika probabilitas >
0,05. Hasil uji statistik Q-Cohran ini diperlihatkan pada Tabel 3.8 dan 3.9
Tabel 3.8 Hasil Pertimbangan Validasi Isi Tes KM
N 5
Cochran's Q 3.000a
df 5
Asymp. Sig. .700
Tabel 3.8 memperlihatkan hasil uji statistik Q-Cohran untuk validitas isi.
Pada baris Asymp. Sig. terlihat nilai probabilitas = 0,70 lebih besar dari 0,05. Hal
ini berarti bahwa H0 diterima pada taraf signifikansi 95%. Hasil ini mendasari
kesimpulan bahwa kelima penimbang memberikan pertimbangan yang seragam
Tabel 3.9 Hasil Pertimbangan Validasi Muka Tes KM
N 5
Cochran's Q 5.556a
df 5
Asymp. Sig. .352
Hasil uji statistik Q-Cohran untuk validitas muka diperlihatkan pada tabel
3.9 di atas. Baris Asymp. Sig. menunjukkan bahwa nilai probabilitas = 0,35 lebih
besar dari 0,05. Dengan demikian H0 diterima pada taraf signifikansi 95%. Seperti
halnya validitas isi, pada validitas muka kesimpulan hasil pengujian adalah kelima
penimbang memberikan pertimbangan seragam untuk validitas muka tes KM.
Setelah dilakukan validasi isi dan validasi muka, selanjutnya perangkat tes
diujikan kepada 27 orang siswa kelas VIII SMP. Uji coba soal ini dilakukan di
kelas VIII D SMPN 19 Kerinci. Hasil tes uji coba digunakan untuk menentukan
validitas butir soal dan reliabilitas tes.
Perhitungan validitas butir soal dilakukan dengan teknik Corrected
Item-Total Correlation. Menurut Sugiyono (2001) Corrected Item-Total Correlation
merupakan korelasi antara skor item dengan skor total item yang dapat dijadikan
sebagai uji validitas instrumen. Hasil perhitungan (r hitung) dibandingkan dengan
nilai r tabel pada taraf signifikansi 5% dan . Suatu butir soal valid jika r
hitung r tabel. Hasil perhitungan dan keputusan validitas butir soal tes KM
disajikan pada Tabel 3.10.
Tabel 3.10 Hasil Perhitungan Validitas Tes KM
besarnya r hitung untuk masing-masing butir soal. Tampak bahwa dari butir 1
sampai butir 6 memiliki nilai r hitung yang lebih besar dari 0,3673. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa keenam butir soal tes KM valid.
Selanjutnya ditentukan reliabilitas tes KM. Reliabilitas tes KM ditentukan
dengan cara menghitung koefisien reliabilitas. Nilai koefisien reliabilitas yang
diperoleh dijadikan sebagai dasar untuk menentukan tingkat reliabilitas tes KM.
Klasifiksi besarnya koefisien reliabilitas menurut Guilford (Ruseffendi, 2005)
sebagai berikut:
Tabel 3.11 Koefisien Reliabilitas Soal
Koefisien Reliabilitas (r) Klasifikasi
0,00 ≤ r ≤ 0,20 Kecil
0,20 < r ≤ 0,40 Rendah
0,40 < r ≤ 0,70 Sedang
0,70 < r ≤ 0,90 Tinggi
0,90 < r ≤ 1,00 Sangat tinggi
Berdasarkan hasil uji coba tes KM diperoleh nilai koefisien reliabilitas r =
0,878. Koefisien reliabilitas ini termasuk dalam klasisfikasi tingkat reliabilitas tinggi.
2. Skala Productive Disposition
Khusus untuk cabang kelima dari kecakapan matematis yaitu productive
disposition dilakukan pengukuran menggunakan skala. Instrumen yang digunakan
merupakan adopsi dari skala yang telah dikembangkan oleh Kesumawati (2010).
Instrumen ini dipilih karena subjek penelitian Kesumawati (2010) memiliki
karakteristik yang sama dengan subjek penelitian ini yaitu siswa SMP.
Skala yang digunakan untuk mengukur disposisi produktif siswa
mencakup indikator-indikator (1) percaya diri dalam menyelesaikan masalah
matematis, mengkomunikasikan ide-ide dan memberi alasan; (2) fleksibel dalam
mengeksplorasi ide-ide matematis dan mencoba berbagai metode untuk
memecahkan masalah; (3) bertekad kuat menyelesaikan tugas-tugas matematika;
(4) ketertarikan dan keingintahuan untuk menemukan sesuatu yang baru dalam
mengerjakan matematika; (5) kecenderungan untuk memonitor dan merefleksi
dan dalam kehidupan sehari-hari; dan (7) penghargaan peran matematika dalam
kultur dan nilai, baik matematika sebagai alat, maupun matematika sebagai
bahasa. Skala disposisi matematis ini terdiri atas 41 pernyataan dengan 4 kategori
respon, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak
Setuju (STS).
Berdasarkan hasil ujicoba yang dilakukan oleh Kesumawati (2010)
diketahui bahwa 41 butir pernyataan dinyatakan valid untuk digunakan sebagai
alat ukur dengan reliabilitas sebesar 0,88. Skor skala productive disposition
mengikuti hasil perhitungan pemberian skor oleh Kesumawati seperti tampak
pada Tabel 3.12 berikut.
Tabel 3.12 Skor Pernyataan Skala
D. Perangkat Pembelajaran
Perangkat pembelajaran pada penelitian ini ada dua yaitu bahan ajar dan
software pembelajaran. Perangkat pembelajaran ini disusun sedemikian rupa
sehingga proses pembelajaran sesuai dengan skenario yang telah ditetapkan agar
tujuan pembelajaran dapat tercapai.
1. LKS
Bahan Ajar disusun dalam bentuk lembar kerja siswa (LKS) dan Software
Pembelajaran. LKS ini berfungsi sebagai pemandu siwa dalam kegiatan belajar
dengan pendekatan MFL. Dalam LKS terdapat langkah-langkah kegiatan
pembelajaran menggunakan software pembelajaran dan keterangan tentang
fungsi-fungsi peralatan pada software.
Penyusunan LKS mengacu pada tahap-tahap pembelajaran dalam
pendekatan MFL yaitu: (1) Orientasi masalah (Problem-orientation), (2)
Explorasi penemuan (Inquiry-exploration), (3) Pengembangan aturan
(Policy-development). LKS disusun dengan berkonsultasi pada pembimbing. Setelah
penyusunan LKS rampung, LKS diberikan kepada tiga orang penimbang untuk
diberikan pertimbangan sebagai bahan untuk dilakukan revisi. Penimbang ini
terdiri dari satu orang dosen pendidikan matematika STAIN Kerinci dan dua
orang guru matematika SMP yang berpengalaman.
2. Software Pembelajaran
Salah satu ciri khas pendekatan pembelajaran MFL adalah menggunakan
teknologi komputer untuk menciptakan lingkungan belajar berupa model-model
berbasis komputer (Jong dan Joolingen, 2007 dan Shoop et al , 2011). Oleh
karena itu pada penelitian ini dikembangkan suatu software pembelajaran berbasis
komputer.
Pengembangan software pembelajaran dilakukan dengan berkonsultasi
pada pembimbing sejak perancangan hingga software jadi. Software pembelajaran
yang telah jadi di perlihatkan kepada tiga orang penimbang untuk diminta
pertimbangan dan sarannya sebagai bahan revisi software. Di samping itu,
software pembelajaran dan LKS diujicobakan juga pada 5 orang siswa SMP di
luar sampel untuk melihat keterbacaan bahasa dan sekaligus untuk memperoleh
Software pembelajaran dirancang sesuai dengan LKS yang berisi
tahap-tahap pembelajaran MFL. Berikut contoh tampilan software pembelajaran yang
digunakan dalam penelitian:
Gambar 3.1
Contoh Tampilan Software Pembelajaran
Gambar di atas memperlihatkan contoh tampilan software pembelajaran
yang digunakan pada penelitian. Pada LKS siswa ditanya tentang unsur-unsur dari
sebuah lingkaran dan diminta untuk mengenali unsur-unsur lingkaran menggunakan
model virtual lingkaran pada software pembelajaran. Hal ini sesuai dengan tahap
pembelajaran MFL yaitu tahap orientasi masalah dan tahap eksplorasi penemuan.
Tahap eksplorasi penemuan melibatkan kegiatan manipulasi model agar siswa
mampu melihat hubungan-hubungan dari konsep (Milrad et al, 2003). Kegiatan
Gambar 3.2
Contoh Tampilan Software Pembelajaran
Setelah tahap eksplorasi dan penemuan, pada LKS siswa diminta untuk
memberikan definisi atau hubungan matematis menurut pemahaman mereka
setelah kegiatan memanipulasi model. Kegiatan ini merupakan tahap MFL yang
ketiga yaitu pengembangan aturan. Agar siswa mendapatkan pembanding untuk
memeriksa hasil pekerjaannya diadakan diskusi kelas yang juga dipandu dalam
LKS. Pada kegiatan penutup guru dan siswa membuat rangkuman dan melakukan
revisi dengan mengacu pada hasil diskusi dan buku sumber.
E. Prosedur Penelitian
1. Tahap Pendahuluan
1) Melakukan observasi lapangan dan mengkaji teori-teori yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian, kecakapan matematis siswa, pendekatan
MFL, dan pendekatan konvensional
2) Menyusun dan mengembangkan bahan ajar (LKS dan software
pembelajaran), rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan instrumen
penelitian.
3) Melakukan validasi bahan ajar, RPP dan instrumen penelitian
4) Melakukan uji coba bahan ajar dan instrumen penelitian di kelas uji coba.
5) Menganalisis data hasil uji coba, revisi, dan menetapkan bahan ajar, RPP,
6) Menentukan SMP tempat penelitian yang terdiri dari satu sekolah kategori
atas, satu sekolah kategori menengah, dan satu sekolah kategori bawah.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
1) Sosialisasi pendekatan MFL kepada guru; pengarahan penggunaan bahan
ajar dan RPP; dan tujuan pemberiaan instrumen kecakapan matematis
2) Melaksanakan pretes kecakapan matematis dan pengisian sakala disposisi
produktif
3) Pelaksanaan proses pembelajaran matematika di kelas eksperimen dengan
pendekatan MFL dan di kelas kontrol dengan pendekatan konvensional
4) Pelaksanaan postes kecakapan matematis dan pengisian skala disposisi
produktif
5) Pengolahan data dan analisis hasil pengolahan data
6) Penyusunan laporan tentang temuan-temuan, kesimpulan hasil penelitian
dan rekomendasi
F. Prosedur Pengolahan Data
1) Tahap pertama: melakukan analisis deskriptif data pencapaian dan data
peningkatan kecakapan matematis. Analisis deskriptif data pencapaian
kecakapan matematis dilakukan melalaui perhitungan rerata dan variansi
skor postes kecakapan matematis dan skor skala akhir disposisi produktif.
Berdasarkan hasil perhitungan rerata dan variansi ini selanjutnya
dilakukan pengelompokkan menggunakan kriteria campuran Penilaian
rerata skor secara keseluruhan.
S = ( ̂ dengan ̂ ̂ dan adalah simpangan baku secara
keseluruhan.
Analisis peningkatan kecakapan matematis dilakukan dengan menghitung
gain ternormalisasi (normalized gain) pretes dan postes. Gain
ternormalisasi digunakan untuk mengetahui besarnya peningkatan
kecakapan matematis sebelum dan sesudah mendapat pembelajaran baik
kelas yang mendapat pendekatan MFL maupun kelas mendapat
pendekatan konvensional. Menurut Meltzer (2002), gain ternormalisasi
( ) ini diperkenalkan oleh Hake dan secara sederhana merupakan gain
absolut dibagi dengan gain maksimum yang mungkin (ideal), seperti
rumus yang diberikan oleh Hake (1999):
Kriteria interpretasinya adalah:
Tabel 3.14 Kriteria Interpretasi Nilai
Nilai Klasifikasi
Tinggi
Sedang
Rendah
2) Tahap kedua: menguji persyaratan analisis statistik parametrik yang
diperlukan sebagai dasar dalam pengujian hipotesis. Pengujian
persyaratan analisis dimaksud adalah uji normalitas data dan uji
homogenitas varians keseluruhan data kuantitatif.
3) Tahapa ketiga: menguji keseluruhan hipotesis. Secara umum, uji hipotesis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji-t tunggal, uji
Mann-Whitney U, uji-t dua rata-rata, ANAVA satu jalur atau uji Kruskal-Wallis,
ANAVA dua jalur, uji beda lanjut pasangan kelompok data (post hoc)
dengan menggunakan uji Tukey-HSD, dan uji lanjutan Kruskal-Wallis.
G. Agenda Kegiatan Penelitian
bulan April 2014. Rincian kegiatan penelitian disajikan pada Tabel 3.14 berikut:
Tabel 3.15
Waktu Pelaksanaan Penelitian
No Waktu Pelaksanaan Kegiatan
1. Desember 2013 Pengurusan izin penelitian, pengumpulan data pengetahuan awal matematika siswa, dan koordinasi jadwal dan materi matematika yang diteliti
2. Januari – Pebruari 2014
Pelaksanaan pretes KM dan penyebaran skala disposisi produktif awal, pelaksanaan pembelajaran, Pelaksanaan postes KM dan penyebaran skala disposisi produktif akhir 3. Maret – April 2014 Pengolahan dan analisis data serta penyusunan
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah, hasil penelitian, dan pembahasan yang
telah dikemukakan pada bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
1. Conceptual Understanding
a) Pencapaian conceptual understanding siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari keseluruhan.
b) Pencapaian conceptual understanding siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari peringkat sekolah (atas, menengah, dan bawah).
c) Pencapaian conceptual understanding siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang,
dan rendah).
d) Secara keseluruhan pencapaian conceptual understanding
kelompok MFL dan kelompok konvensional berada pada
klasifikasi cukup.
e) Peningkatan conceptual understanding siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari keseluruhan.
f) Peningkatan conceptual understanding siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
g) Peningkatan conceptual understanding siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang,
dan rendah).
h) Secara keseluruhan peningkatan conceptual understanding
kelompok MFL dan kelompok konvensional berada pada
klasifikasi sedang.
2. Procedural Fluency
a) Pencapaian procedural fluency siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari keseluruhan.
b) Pencapaian procedural fluency siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari peringkat sekolah (atas, menengah, dan bawah).
c) Pencapaian procedural fluency siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang,
dan rendah).
d) Secara keseluruhan pencapaian procedural fluency kelompok MFL
dan kelompok konvensional berada pada klasifikasi cukup.
e) Peningkatan procedural fluency siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari keseluruhan.
f) Peningkatan procedural fluency siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
g) Peningkatan procedural fluency siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang,
dan rendah).
h) Secara keseluruhan peningkatan procedural fluency kelompok
MFL dan kelompok konvensional berada pada klasifikasi sedang.
3. Strategic Competence
a) Pencapaian strategic competence siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari keseluruhan.
b) Pencapaian strategic competence siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari peringkat sekolah (atas, menengah, dan bawah).
c) Pencapaian strategic competence siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang,
dan rendah).
d) Secara keseluruhan pencapaian strategic competence kelompok
MFL berada pada klasifikasi baik dan kelompok konvensional
berada pada klasifikasi cukup.
e) Peningkatan strategic competence siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari keseluruhan.
f) Peningkatan strategic competence siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
g) Peningkatan strategic competence siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang,
dan rendah).
h) Secara keseluruhan peningkatan strategic competence kelompok
MFL dan kelompok konvensional berada pada klasifikasi sedang.
4. Adaptive Reasoning
a) Pencapaian adaptive reasoning siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari keseluruhan.
b) Pencapaian adaptive reasoning siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari peringkat sekolah (atas, menengah, dan bawah).
c) Pencapaian adaptive reasoning siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang,
dan rendah).
d) Secara keseluruhan pencapaian adaptive reasoning kelompok MFL
dan kelompok konvensional berada pada klasifikasi cukup.
e) Penigkatan adaptive reasoning siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari keseluruhan.
f) Peningkatan adaptive reasoning siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
g) Peningkatan adaptive reasoning siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang,
dan rendah).
h) Secara keseluruhan peningkatan adaptive reasoning kelompok
MFL dan kelompok konvensional berada pada klasifikasi sedang
5. Productive Disposition
a) Pencapaian productive disposition siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari keseluruhan.
b) Pencapaian productive disposition siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari peringkat sekolah (atas, menengah, dan bawah).
c) Pencapaian productive disposition siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang,
dan rendah).
d) Secara keseluruhan pencapaian productive disposition kelompok
MFL berada pada klasifikasi cukup dan kelompok konvensional
berada pada klasifikasi kurang.
e) Peningkatan productive disposition siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari keseluruhan.
f) Peningkatan productive disposition siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
g) Peningkatan productive disposition siswa yang mendapat
pembelajaran dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional
ditinjau dari pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang,
dan rendah).
B. Implikasi
Penelitian ini berhasil mengungkap bahwa keckapan matematis siwa
yang belajar dengan pendekatan MFL lebih baik daripada siswa yang belajar
dengan pendekatan konvensional baik secara keseluruhan maupun masing-masing
peringkat sekolah dan masing-masing pengetahuan awal matematika.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan beberapa
implikasi dari kesimpulan penelitian sebagai berikut.
1. Pendekatan MFL dapat diterapkan untuk meningkatkan kecakapan
matematis siswa SMP
2. Penerapan pendekatan MFL berpotensi melatih kreativitas guru dalam
mengintegrasikan IT dengan pembelajaran matematika.
3. Peran guru sebagai mediator dan fasilitator dalam pembelajaran MFL dapat
membantu guru lebih memahami kekuatan dan kelemahan bahan ajar serta
karakteristik kemampuan individu siswa.
C. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini, diajukan
rekomendasi sebagai berikut.
1. Pendekatan MFL dapat menjadi alternatif pembelajaran matematika di
SMP, khususnya untuk meningkatkan kecakapan matematis siswa.
2. Bagi peneliti yang akan menerapkan pendekatan MFL dan kecakapan
matematis agar dapat digali lebih jauh bagaimana rancangan software dan
kegiatan pembelajaran yang lebih tepat untuk kelompok siswa PAM atas
dan PAM bawah.
3. Bagi peneliti yang akan menerapkan pendekatan MFL disarankan untuk
meneliti pengaruh MFL terhadap aspek hasil belajar matematika di luar
4. Mengingat kecakapan matematis siswa perlu dikembangkan di setiap
jenjang pendidikan maka perlu dilakukan penelitian pada jenjang SD dan