Selasa Pon,25
Maret
2O'14HALAMAN
4
WACANA
BERT{AS
JOGJA
Netralitas
Pergunnn
Tinggi
dalam Kampanye
MASA
kampanye
telah
tiba,artiny4Pemilu 20 14 tinggal hitungan hari. Komisi Pemilihan Umum
(KPLf
baik
pusat maupun daerah setiaphari
terus
melakukan countdownatau
hitung
mundur sebagai salah satu cara menyosialisasikansekali-gus
mengingatkan
masyarakatbahwa tidak lama lagi pesta
demo-krasi
itu
akan dihelat. Tidak hanyaKPU
sebagai panitia maupun ma-syarakat yang harus siapmengha-dapi pemilu. Bahkan banyak pihak
terutama partai politik, calon legislatif
(caleg), hingga calon
presiden
(capreS) sejak jauh-jauh
hari
sibukmelakukan sosialisasi
meskipunmasa kampanye belum resmi dimulai.
Sebelum kampanye
resmi
di-mulai,
sosialisasiyang
dilakukanoleh partai-partai politik'peserta
pe-milu
hingga capres tidak semuanya terang-terangan. Ada banyak upayauntuk melakukan sosialisasi secara
rapi
yang dibungkus oleh kemasantertentu.
Sebagaicontoh
di
awaltahun 2014, banyaknya
bencanaalam
di
sisi lain justru
menjadi"berkah"
bagi partai-partaipolitik.
Hampir
semua peserta pemilufer-lomba-lomba memberikan bantuan
dan perhatian pada
part
korbanbencana.
Atribut
partai bertebarandi
tempat-tempat
pengungsian.Meskipun
adajuga yang
kononkatanya menyumbang semata-mata
demi kemanusiaan.
Cara
yang
lebih
elegan untuk memperkenalkanpartai
dan
para kadernya yaitu melalui dialog dari kampus ke kampus. Beberapa partai maupun tokohpolitik
sudah cukup larna melakukan kegiatan sepertiini
dan umumnya mendapat sambutan
yang
positif dari
seluruh
civitasakademika. Meskipun sifatnya
da-lam
konteksilmiah,
misalnyaber-tajuk
dialog
kebangsaan, tetapi'adanya
bumbu
politis
tentu sulit
untuk
dipungkiri.Bagaimanapun
penyelenggara-an
kegiatan yang melibatkan para petinggi dan tokoh partai dalam auratahun
politik
tentu
akan menjadi sorotan. Dalam konteksmenyong-song
Pemilu 2014 tentu
kegiatan tatap muka dengan berbagai lapisan masyarakat, termasuk kalanganaka-demisi, menjadi kesempatan yang tepat untuk menyisipkan visi-misi,
pandangan, maupun agenda
politik
tertentu.
Maka
sekecil apapunda-lam
kegiatan semacamini
unsurpolitis tidak dapat dihindari seratus
persen. Paling tidak ada upaya untuk menciptakan kesan (pencitraan) bagi
partai maupun
tokoh
tertentu. Dalam penjelasan UU Nomorl2
Tahun
2012
tentang
Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa perguruantinggi
sebagai lembagayang
me-nyelenggarakan pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat harus memiliki otonomidalam mengelola seqdiri lembaga-nya.
Hal itu
diperlukan agar dalam pengembanganilmu
pengetahuandan teknologi
di
perguruan tinggiberlaku kebebasan akademik,
mim-bar akademik, dan otonomi keilmuan.
'
St. Sunardi (2004) dalam orasiilmiahnya pernah mengungkapkan
bahwa perguruan
tinggi
layaknyatahta
berkaki
tiga
yang memiliki
perhatian pada
ranah
intelektual,moralitas, dan keberanian.
Perguru-an tinggi tidak perlu terjun langsung
ke
politik
praktis karena akan me-mengaruhi objektivitas dalam peng-galian ilmu.Pada masa pemberlakuan kebi-jakan Normalisasi Kehidupan Kam-puslBadan Koordinasi
Kemahasis-waan
(NKWBKK),
perguruan tinggi sempat sepidari
kegietanpolitik.
Akan tetapi seiring dengan
bergulir-nya reformasi, perguruan tinggi
se-bagai wadah kaum intelektual tentu harus memiliki sikap kritis terhadap
berbagai persoalan bangsa. Per-guruan
tinggi
sifatnya independendan terbuka terhadap berbagai hal.
termasuk yang berbau
politik.
Per-masalahannyadi
masa kampanyedan
menjelangpemilu
sepertise-karang
ini,
bagaimana perguruantinggi
harus menyikapi segala ke-mungkinan agar jangan sampaiter-jebak pada kepentingan
partai
politik.
Terkait dengan peran perguruan
tinggi sebagai lembaga pendidikan, maka perguruan tinggi juga dituntut
menjadi sarana mencerdaskan
rnaha-siswa sebagai generasi muda dan masyarakat pada umumnya dalam
berpolitik.
Perguruantinggi
harus mampu membedakan antara kegiat-an pendidikkegiat-anpolitik
yang berbasis akademik denganpolitik
praktis.Persoalan netralitas perguruan
tinggi dari
kegiatanpolitik
praktis sudah diatur secara tegrls. Pasal 86IJU
Nomor8
Tahun2OI2
tentangPemilihan Umum
menyebutkanlarangan kampanye yang menggu-nakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Fasi-litas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan
jika
peserta pemilu hadir tanpaatri-but kampanye pemilu atas
undang-an dari
pihak
penanggung jawabfasilitas pemerintah, tempat ibadah,
dan tempat pendidikan tersebut.
Per-guruan
tinggi
sebagai tempat pen-didikanjelas terkena aturan ini. Salahsatu
indikasinya
secara sederhanaialah
kampus haruslahsteril
dariatribut
maupun tanda-tandakam-panye peserta pemilu.
Meskipun demikian bukan ber-arti per-euruan tinggi lantas menutup
diri dan bersifat anti politik. Diperlu.
kan sikap
jeli
dalam menangkap danmgnyikapi
persoalanpolitik
agar perguruan tinggi tetap berpijak pada prinsip kenetralannya. Kegiatanaka-demik
dalam kerangka pendidikarrpolitik berupa dialog, seminar,
hing-ga penelitian mengenai pemilu dapat menjadi alternatif. Dalam penyeleng-garaan kegiatan semacam ini, pergu-ruan tinggi harus membuka peluang
bagi
semua pihak dantidak
hanya pada pihak tertentu saja. Selainitu
juga
diperlukan sikap kehati-hatian agar jangan sampaiaktivitas
aka-demik tersebut ditunggangi
kepen-tingan
politik
tertentu.Momentum pemilu menjadi ke-sempatan
baik
untuk dimanfaatkan sebagai bagiandari
proses pendi-dikan politik. Untukitu
seluruhele-men perguruan
tinggi
seyogyanyadapat
memberi
sumbanganpemi-kiran
kepadapartai
politik,
calonwakil
rakyat, hingga calon presidenmengenai berbagai
jalan
keluar
maupun solusi
bagi
permasalahan bangsa. Sikap netral dantidak
me-mihak pada kekuatan
politik
mana-pun
akan menempatkan perguruantinggi
sebagai agent of changebagi
kehidupan
berbangsa
dan
ber-negara
yang
lebih baik
dan
ber-kualitas.
*+*
Hendra
Kurniawan
l|IPd.,
DosenPendidikan Sejarah
Universitas