• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UU WAKAF TERHADAP PERAN BWI DALAM PELAKSANAAN WAKAF UANG DI JEPARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN UU WAKAF TERHADAP PERAN BWI DALAM PELAKSANAAN WAKAF UANG DI JEPARA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Keyword:

Role, BWI, Cash Waqf

Kata Kunci:

Peran, BWI, Wakaf Uang

Abstract

This study aims to determine how the role of BWI in the implementation of cash waqf in Jepara, whether it is in accordance with the waqf law in Indonesia, especially cash waqf. This study uses a sociological juridical approach, the type of qualitative research, and descriptive analysis methods. Data collection methods used are primary and secondary legal data.

The results of this study state that, First, cash waqf conducted by BWI Jepara is accordance with the legal system and regulations in force in Indonesia, namely in accordance with Law Number 41 of 2004 concerning waqf because it is still not optimal in the implementation of the Act. Second, cash waqf conducted by BWI Jepara is still limited to state civil servants and government officials in Jepara have not touched the wider community aspect due to the low public understanding of cash waqf. Third, BWI Jepara as a cash waqf nair which initially only placed cash waqf funds into Islamic banks with the concept of wadiah (deposit) needs to seek to empower cash waqf assets to a more productive sector.

Abstrak

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran BWI dalam pelaksanaan wakaf uang di Jepara, apakah sudah sesuai dengan Undang-undang perwakafan di Indonesia khususnya wakaf uang. Kajian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, jenis kajian kualitatif dan metode analisis deskriptif.

Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu data hukum primer dan sekunder. Hasil kajian ini menyatakan bahwa Pertama, wakaf uang yang dilakukan oleh BWI Jepara sesuai dengan sistem dan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia yakni sesuai dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf sebab masih belum maksimal dalam implementasi atas Undang-undang tersebut. Kedua wakaf uang yang dilakukan oleh BWI Jepara masih terbatas terhadap aparatur sipil negara dan pejabat pemerintahan yang ada di Jepara belum menyentuh aspek masyarakat secara luas disebabkan oleh rendahnya pemahaman masyarakat mengenai wakaf uang. Ketiga, BWI Jepara sebagai nażir wakaf uang yang semula hanya menempatkan dana wakaf uang ke bank syariah dengan konsep wadiah (titipan) perlu mengupayakan pemberdayaan harta wakaf uang ke sektor yang lebih produktif.

.

SYAHRUL A’DHIM

Badan Wakaf Indonesia Kab. Jepara

Imron Choeri*, Syahrul Adzim**

Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara*, Badan Wakaf Indonesia Kab. Jepara**

imronchoeri@unisnu.ac.id*, adhimsyah@gmail.com**

(2)

Pendahuluan

Wakaf merupakan sistem yang telah terbukti bisa memberikan sumbangsih bagi kemajuan, kebudayaan, pendidikan, ekonomi, sosial, dan peradaban. Dalam Islam wakaf sudah dipraktikkan sejak zaman Rasulullah saw. dan sudah mengalami banyak perubahan yang signifikan mulai dari jenisnya, pengelolaannya hingga peruntukannya. Semua itu menuntut adanya ijtihad-ijtihad baru yang bisa memberikan alternatif pengembangan wakaf pada masa kini yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Dalam Islam wakaf diletakkan sebagai salah satu macam ibadah yang amat membuat hati orang gembira. Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf dapat diharapkan menjadi bekal bagi kehidupan bagi wakif pada hari kemudian, karena ia merupakan salah satu bentuk amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir selama harta tersebut dimanfaatkan (kemenag RI, 2006:13).

Terdapat sebuah ayat al-Qur’an yang menyebutkan mengenai wakaf sebagaimana dalam al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 261:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang yang menafkahkannya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) kepada siapa yang dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) dan Maha Mengetahui” (Q.S. al-Baqarah/2: 261).

Wakaf sebagai suatu institusi keagamaan, di samping berfungsi ubudiyah juga berfungsi sosial. Ia adalah sebagai suatu pernyataan dari perasaan iman yang mantap dan rasa solidaritas yang tinggi antara sesama manusia. Oleh karenanya, wakaf adalah salah satu usaha mewujudkan dan memelihara hablun min Allah dan hablun min an-naas (Zein, 2004: 409).

Dalam konteks negara Indonesia amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia sejak sebelum merdeka.

Wakaf umumnya di praktikkan masyarakat untuk masjid, lembaga pendidikan, pesantren, dan kuburan merupakan jenis wakaf yang paling dikenal dalam masyarakat. Praktik wakaf ini diasumsikan telah ada sejak Islam menjadi kekuatan sosial politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam di nusantara sejak akhir abad ke-12 M.

Di Jawa Timur, tradisi yang menyerupai praktik wakaf telah ada sejak abad ke-15 M dan secara nyata disebut wakaf dengan ditemukannya bukti-bukti historis baru pada awal abad ke-16 M. Praktik yang menyerupai wakaf ini dapat ditemukan dibeberapa daerah seperti di Mataram, telah dikenal praktik semacam wakaf yang disebut tanah perdikan yaitu tanah yang diberikan oleh negara kepada orang tertentu yang dianggap telah berjasa dan mereka dibebaskan dari pembayaran pajak, di Lombok dikenal dengan tanah pareman yaitu tanah negara yang dibebaskan dari pajak yang diserahkan kepada desa-desa Subak (Dhewayani, 2020: 7-8).

(3)

Setelah melalui proses panjang dalam merumuskan Undang-undang mengenai wakaf agar wakaf tersebut dapat terorganisir, pemerintah akhirnya menetapkan Undang- undang yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 Tentang Wakaf serta untuk melengkapi Undang-undang tersebut pemerintah juga menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 mengenai Pelaksanaan Atas Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 (Soemitra, 2009: 455).

Hal tersebut berdampak pada perkembangan wakaf di Indonesia yang kian hari kian meningkat. Hal ini terlihat dari bertambahnya jumlah dan objek harta wakaf, baik berupa tanah, uang dan lainnya yang tersebar di berbagai penjuru di Indonesia, setelah adanya wakaf produktif, kini juga terdapat wakaf uang (cash waqf) yang dapat dilakukan oleh setiap orang melalui lembaga keuangan syariah.

Pada umumnya di negara-negara yang wakafnya sudah berkembang dengan baik, mereka juga memiliki badan wakaf atau lembaga yang seperti badan wakaf yang bersifat nasional dan berada dibawah Kementerian Wakaf seperti di Mesir, Yordania, maupun Arab Saudi, tetapi ada juga badan wakaf yang independen. Di Mesir misalnya badan wakaf langsung ada dibawah kementerian, pendiriannya berdasarkan Undang-undang yakni Undang-undang Nomor 80 Tahun 1971. Karena ada dibawah kementerian tugas badan wakaf Mesir cukup berat yakni menangani wakaf secara

keseluruhan, baik dibidang administrasi, investasi, pengembangan, dan pendayagunaan.

Dalam rangka memajukan dan mengembangkan potensi wakaf di Indonesia maka dibentuklah Badan Wakaf Indonesia.

Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia. Ketentuan mengenai Badan Wakaf Indonesia secara jelas tertuang dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 kemudian diperjelas dengan PP Nomor 42 Tahun 2006, tugas pokok BWI adalah memajukan dan mengembangkan wakaf nasional mulai dari pembinaan nażir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf, memberhentikan dan mengganti nażir, memberi saran kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

Melihat kepada tugas-tugas yang dibebankan kepada BWI, badan ini mempunyai fungsi sangat strategis terutama dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap nażir untuk dapat melakukan pengelolaan wakaf secara produktif. Oleh karena itu keberadaan BWI ini harus profesional dalam melaksanakan tugasnya dan pemerintah dalam hal ini hanya sebagai fasilitator, motivator dan regulator.

Pola organisasi dan kelembagaan badan wakaf diharapkan dapat merespon semua persoalan yang dihadapi masyarakat, terutama masalah kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan hal-hal lain dalam upaya meningkatkan taraf hidup

(4)

umat Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Supaya hal-hal tersebut dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, peran BWI sebagai lembaga yang mengelola harta wakaf diperlukan sumber daya manusia yang benar- benar mempunyai kemampuan dan kemauan dalam mengelola wakaf, berdedikasi tinggi dan memiliki komitmen dalam pengembangan wakaf serta memahami masalah wakaf serta hal-hal yang terkait wakaf (Usman, 2009: 133).

Yang memunculkan permasalahan, belum banyak masyarakat mengetahui peran BWI Jepara dalam pelaksanaan, pengelolaan serta pengembangan harta benda wakaf terutama uang serta pembinaan nażir wakaf uang di Jepara dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf di Jepara. Hal tersebut menarik dilakukan kajian sebab adanya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa BWI mempunyai tugas dan wewenang dalam melakukan pembinaan terhadap nażir serta melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf (UU No. 41 Thn. 2004 Pasal 49, ayat (1)).

BWI Jepara dalam wakaf uang juga melibatkan lembaga keuangan syariah sebagai mediator. Ketentuan ini didasarkan pada pertimbangan keamanan. Terkesan ada pembatasan yang kaku karena tidak dimungkinkannya lembaga atau pihak lain di luar lembaga syariah dalam mengelola wakaf uang, disamping itu, tampak belum diatur yakni lembaga penjamin untuk mengantisipasi kemungkinan habisnya harta wakaf apabila

terjadi pailit. Harus disadari pula bahwa pengelolaan dana wakaf uang merupakan dana publik yang harus dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel (Khosyi’ah, 2010: 213).

Berdasarkan latar belakang kajian ini akan menjawab persoalan tentang bagaimana peran BWI dalam pelaksanaan wakaf uang di Jepara, dan bagaimana tinjauan perundang-undangan wakaf di Indonesia tentang peran BWI dalam pelaksanaan wakaf uang di Jepara.

Metode Kajian

Adapun metode yang digunakan dalam kajian ini adalah kajian lapangan (field research) dan menggunakan pendekatan kualitatif, karena dilakukan di BWI Jepara yakni mengkaji peran BWI dalam pelaksanaan wakaf uang di Jepara dalam kaitannya pengembangan wakaf uang di Jepara.

Kajian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis karena objek kajian dalam kajian ini adalah perilaku dan respon masyarakat Jepara dalam kaitannya dengan penggunaan wakaf uang ditinjau dari perundang-undangan wakaf di Indonesia. Kajian dilakukan di BWI Jepara bertempat di kantor Kementerian Agama di jalan Ratu Kalinyamat, Demaan Kabupaten Jepara.

Sumber data primer dalam kajian ini adalah berupa hasil wawancara dan dokumentasi dengan BWI Jepara, sedangkan data sekunder (secondary data) adalah data yang diperoleh dari kajian kepustakaan dan dokumen yang biasanya disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi berkaitan dengan permasalahan

(5)

yang akan dibahas. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini yaitu observasi dan wawancara dan dokumentasi dengan cara melihat dokumen dan arsip yang ada di BWI Jepara.

Pengecekan keabsahan data dengan triangulasi yaitu tiga teknik diantaranya triangulasi sumber data dengan mencari sumber informasi lain mengenai topik kajian dari sumber atau partisipan lain, yakni melakukan pengecekan wawancara dengan berbagai pihak baik BWI Jepara, buku, dokumen kemudian dikombinasikan dengan analisis menurut perundang-undangan wakaf di Indonesia.

Kedua yaitu triangulasi teknik pengumpulan data, dengan memadukan lebih dari satu metode dalam analisis data kajian, metode tersebut tidak hanya melakukan metode wawancara dengan BWI Jepara saja tetapi juga dapat dilakukan pengecekan dengan observasi, dokumentasi atau kuesioner.

Ketiga yaitu triangulasi waktu kajian, metode tersebut dilakukan dengan mengecek data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari ketika narasumber masih segar, belum banyak masalah, akan memberikan data yang valid sehingga lebih kredibel.

Adapun metode analisis yang digunakan dalam kajian yakni menggunakan metode deskriptif yang bertujuan untuk melukiskan tentang hal di daerah dan saat tertentu untuk menyusun interpretasi dan konklusi.

Pengertian Wakaf Uang

Secara etimologis, wakaf merupakan mashdar dari waqafa asy-syai’, yang memiliki arti sesuatu yang berhenti (Khairi, 2015: 437), serta secara harfiah wakaf dapat diartikan terhenti, penghentian, penundaan, tinggal, menahan, diam, berhenti sejenak, mengistirahatkan, tidak berjalan (tetap), tidak bergerak dan menahan (Lubis, 2016: 10).

Adapun secara terminologis, wakaf menurut Abu Hanifah diartikan sebagai menahan harta benda (al-‘ain) dibawah naungan pemiliknya dengan disertai pemberian manfaat sebagai sedekah. Kemudian menurut jumhur ulama, wakaf adalah menahan harta yang memungkinkan untuk diambil manfaat dengan tetapnya harta tersebut serta memutus pengelolaan dari wakif dan selainnya dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah (Hasan, 2011: 3).

Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 215 ayat 1 wakaf disebutkan sebagai perbuatan hukum seseorang, sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.

Sedangkan dalam perspektif Undang- undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal 1 ayat 1 wakaf dapat diartikan sebagai perbuatan wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan

(6)

umum menurut syariah (Kemenag RI, 2012:

110).

Sementara itu secara umum pengertian uang adalah segala sesuatu yang digunakan sebagai alat untuk transaksi yang dapat berupa uang kartal maupun uang giral. Uang juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang secara umum diterima untuk pembayaran barang dan jasa, serta memiliki fungsi sebagai kekayaan bagi pemiliknya. Definisi uang menurut hukum yaitu sesuatu yang ditetapkan Undang-undang sebagai uang dan sah untuk alat transaksi perdagangan (Muktar, 2016: 1).

Selanjutnya, wakaf uang dalam definisi Departemen Agama disebutkan bahwa wakaf uang merupakan wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang. Dengan demikian, wakaf uang merupakan salah satu bentuk wakaf yang diserahkan oleh seorang wakif kepada nażir dalam bentuk uang. Adapun pengertian wakaf uang menurut Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang administrasi pendaftaran wakaf uang pasal 1 ayat 1 wakaf uang diartikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian uang miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah (Kompilasi Hukum Islam, 108).

Para ahli hukum Islam menyebutkan beberapa dasar hukum wakaf dalam hukum Islam yang meliputi ayat al-Qur’an, hadis,

ijtihad para ahli hukum Islam serta hukum Indonesia yang mengatur tentang wakaf.

Dasar hukum perwakafan dalam nash-nash al-Qur’an yang khusus menyebutkan tentang wakaf, tidak ditemukan sama sekali yang menjelaskan tentang wakaf secara eksplisit, al- Qur’an hanya menyebutkan berbagai bentuk kebajikan, yaitu dalam bentuk sedekah dan infak yang bersifat umum.

Nash al-Qur’an yang menjadi dasar pelaksanaan ibadah wakaf diantaranya adalah Q.S. al-Baqarah (2): 261 dan 267, Q.S. Ali Imran (3): 92, yaitu sebagai berikut:

“Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipat gandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas (karunia- Nya) lagi Maha Mengetahui” (Q.S. al- Baqarah/2: 261).

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (Q.S. al-Baqarah/2: 267).

(7)

Dari kedua ayat tersebut dikemukakan kata infak yang dimaksud infak dapat pula berarti wakaf. Sedangkan wakaf menurut Undang- undang wakaf dapat dipergunakan untuk kebutuhan kegiatan ibadah sarana dan kegiatan pendidikan, beasiswa, kesehatan, bantuan untuk fakir miskin, anak terlantar, dan yatim piatu, serta meningkatkan ekonomi umat dan kemajuan kemaslahatan umum.

Sebagaimana dijelaskan Jalaludin al- Mahalli dan Jalaludin al-Suyuti bahwa kata anfiqu dalam ayat ini berarti berzakatlah kamu.

Seiring dengan penafsiran tersebut, makna menginfakkan harta di jalan Allah dalam ayat ini tentu sangat luas. Apapun perbuatan menginfakkan harta di jalan Allah yang sesuai syariat, perbuatan tersebut dikategorikan sebagai menginfakkan harta dijalan Allah (Lubis, 66). Allah berfirman:

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menginfakkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu infakkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (Q.S. Ali Imron/3: 92).

Imam Qurtubi mengemukakan bahwa ayat ini menunjukkan kemungkinan makna tekstual, beserta cakupan maknanya secara umum.

Karena para sahabat tidak memahami maknanya selain dari yang tertera pada teks.

Dari penafsiran tersebut dapat dimaknai bahwa agar dapat mencapai kebajikan yang sempurna adalah dengan menginfakkan sebagian harta yang dicintai. Menginfakkan

harta yang dicintai pada ayat ini menunjukkan secara khusus bentuk perbuatan hukumnya.

Oleh karena itu, mewakafkan sebagian harta dapat dikategorikan menginfakkan harta (Lubis, Hal. 65).

“Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah, sujudlah, sembahlah Tuhanmu dan lakukanlah kebaikan agar kamu beruntung”

(Q.S. Al-Hajj/22:7).

Ayat tersebut memiliki makna amar atau perintah terhadap orang beriman, selain mengerjakan salat, Allah juga menganjurkan kepada orang beriman untuk melakukan al- khair (kebaikan). Al-Sa’di mengemukakan bahwa al-khair tersebut bersifat umum. Oleh karena itu, makna kebajikan dalam ayat ini dapat juga berarti silaturrahmi dan berakhlak mulia.

Apa saja perbuatan baik dan mulia dapat dikategorikan sebagai perbuatan al-khair.

Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan al-khair sebagai silaturrahmi dan akhlak mulia. Hasan Mansur pula menafsirkan bahwa al-khair berarti perintah untuk melakukan perbuatan baik secara umum, antara lain dengan berwakaf. Dari beberapa penafsiran diatas makna perbuatan kebajikan tersebut bersifat umum oleh karena wakaf adalah perbuatan yang bersifat kebajikan, maka wakaf dapat digolongkan sebagai al-khair (al- Suyuti, 2019: 186-187).

“Bahwa sahabat Umar memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar menghadap Rasulullah untuk meminta

(8)

petunjuk. Umar berkata: “Hai Rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah, bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sadekahkan (hasilnya). Kemudian Umar menyedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu.

Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nażir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (H.R. Bukhari).

“Bahwa anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya” (H.R. Muslim).

Kedua hadis tersebut merupakan dasar umum disyariatkannya wakaf dan dipakai juga oleh MUI dalam fatwa kebolehan wakaf uang.

Hadis pertama wakaf uang menjadikan hadis ini sebagai pijakan hukum karena menganggap wakaf uang memiliki hakikat yang sama dengan wakaf tanah, yakni harta pokoknya tetap dan hasilnya dapat dikeluarkan.

Dengan mekanisme wakaf uang yang telah ditentukan, pokok harta akan dijamin kelestariannya dan hasil usaha atas penggunaan

uang tersebut dapat dipakai untuk mendanai kepentingan umat. Pada hadis kedua, mendorong manusia untuk menyisihkan sebagian rezekinya sebagai tabungan akhirat dalam bentuk sedekah jariyah(Lubis, Hal. 33).

Selain al-Qur’an dan Hadis, lazim berlaku sebagai sumber hukum adalah ijtihad ulama, ijtihad ulama memperjelas hukum jika sumber utama (al-Qur’an dan Hadis) kurang jelas atau membutuhkan diskusi untuk diputuskan.

Hukum wakaf uang telah menjadi perhatian para ahli hukum Islam. Beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah dipraktikkan oleh masyarakat yang menganut madzhab Hanafi.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf uang. Imam Bukhari mengungkapkan bahwa imam az-Zuhri berpendapat bahwa dinar boleh diwakafkan.

Caranya dengan menjadikan dinar itu sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.

Wahbah az-Zuhaili juga mengungkapkan bahwa madzhab Hanafi membolehkan wakaf uang sebagai pengecualian, atas dasar istiḥsān bi al-urfi, karena sudah banyak dilakukan oleh masyarakat. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf (adat istiadat) mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash (teks).

Cara melakukan wakaf uang menurut madzhab Hanafi ialah menjadikan modal usaha dengan mudharabah sedangkan keuntungannya disedekahkan kepada pihak

(9)

wakaf. Pendapat ini didukung oleh Ibn Jibrin yang menyatakan bahwa wakaf uang harus diberdayakan sehingga mampu memberikan kemudahan dalam membantu orang-orang yang secara ekonomi kurang beruntung.

Ibn Abidin mengemukakan bahwa wakaf uang yang dikatakan merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah Romawi, sedangkan wakaf di negeri lain, wakaf uang bukan merupakan kebiasaan. Karena itulah Ibn Abidin berpandangan bahwa wakaf uang tidak boleh atau tidak sah.

Madzhab Syafi’i berpandangan bahwa wakaf uang tidak dibolehkan seperti yang disampaikan Muhammad an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berpendapat bahwa madzhab Syafi’i tidak membolehkan wakaf uang karena dinar dan dirham akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya (Hasan, Hal. 29).

Namun dengan melihat perkembangan sistem perekonomian yang berkembang sekarang, sangat memungkinkan untuk dilaksanakan wakaf uang. Sebagai contoh uang yang diwakafkan dapat dijadikan modal usaha seperti yang dijelaskan madzhab Hanafi atau diinvestasikan dalam bentuk saham atau didepositkan di perbankan syariah dan keuntungannya dapat disalurkan sebagai hasil wakaf. Wakaf uang yang diinvestasikan atau didepositkan, maka wujud atau nilai uang tetap terpelihara dan menghasilkan keuntungan dalam jangka waktu yang lama (Djunaidi, 2007: 6).

Selain ulama madzhab Hanafi, terdapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa madzhab Syafi’i juga membolehkan wakaf uang sebagaimana yang ditulis oleh al- Mawardi serta Abu Saur yang meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham.

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan wakaf uang bahwa wakaf uang hukumnya boleh. Fatwa MUI tersebut dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Dalam fatwa tersebut ditetapkan bahwa wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, sekelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang (cash) termasuk didalamnya surat berharga dan hanya dibolehkan untuk digunakan dan disalurkan kepada hal-hal yang sesuai syariah serta nilai pokok wakaf uang diharuskan terjamin kelestariannya dengan tidak menjual, menghibahkan, maupun diwariskan (Amin dkk, 2011: 424).

Syarat-syarat wakaf ada empat yaitu:

a. Wakif dengan syarat ahliyah at-tabaru’

(mempunyai wewenang untuk memberi), merdeka, sempurna akalnya, balig, dan bijaksana dalam bertindak.

b. Bukan orang murtad, syarat tersebut ditetapkan oleh ulama Hanafiyah, akan tetapi apabila pada kemudian hari orang tersebut masuk Islam kembali, maka sah wakafnya.

c. Mauquf Bih (barang yang diwakafkan), syarat yang harus dipenuhi dari barang yang diwakafkan harus dari harta yang

(10)

mempunyai nilai manfaat, harta tersebut harus diketahui secara pasti ketika berwakaf, serta harta tersebut merupakan milik sempurna wakif.

d. Mauquf Alaih (orang atau badan yang menerima wakaf), pada dasarnya syarat pokok dari wakaf adalah hanya untuk sarana dan prasarana kebaikan akan tetapi masing- masing madzhab menetapkan syarat-syarat tersendiri (Saebani, 2011: 265-270).

Rukun wakaf ada empat sebagai berikut ini:

a. Wakif, yaitu orang yang mewakafkan. Ia harus mempunyai kecakapan dalam mendermakan harta.

b. Mauquf, yaitu barang milik wakif yang diwakafkan.

c. Mauquf ‘alaih, yaitu yang diserahi wakaf, baik orang, golongan, atau pihak tertentu.

d. Shighah, wakaf harus dengan lafal. Lafal wakaf ada yang jelas, seperti aku mewakafkan, aku menahan, dan lafal lainnya. Dengan mengatakan kalimat tersebut, maka wakaf telah sah tanpa menggabungkan dengan perkara lain di luar wakaf. Lafal wakaf juga ada yang berbentuk kinayah, seperti aku sedekahkan, aku abadikan, dan lafal lainnya.

Dengan mengucapkan lafal tersebut maka telah terjadi wakaf. Pengucapan itu harus disertai niat atau dengan sesuatu yang menjelaskan bahwa seseorang bermaksud memberikan wakaf, seperti sedekah yang diwakafkan atau sedekah yang tidak boleh dijual. Begitu pula wakaf telah mengikat dengan adanya perbuatan yang

menunjukkan adanya kehendak mewakafkan (Khairi, Hal. 443).

Adapun menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal 6 menyebutkan bahwa rukun wakaf yaitu adanya wakif, nażir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf, dan jangka waktu wakaf.

Di dunia, wakaf sebagai alat untuk berbuat baik kepada orang-orang terkasih. Di akhirat sebagai alat mendapatkan pahala dengan niat dari yang melakukan.

Kalangan Hanafiyah mengatakan wakaf hukumnya mubah dengan dalil bahwa orang kafir sah melakukan wakaf. Kadang-kadang wakaf berubah menjadi wajib apabila disertai nazar. Oleh karena itu, harta yang diwakafkan atau hasil dari harta wakaf tersebut harus disedekahkan.

Kalau seorang berwakaf kepada orang yang tidak boleh mendapatkan zakat seperti al-ushul (ayah, kakek dan seterusnya) dan al-furu’

(anak, cucu dan seterusnya), maka hukumnya boleh. Artinya, menurut hukum syara’ wakaf itu sah karena muncul dari pemiliknya dan diberikan secara proporsional. Namun nazar tidak bisa gugur dengan wakaf. Sebab sedekah wajib harus ikhlas karena Allah serta memberikan sedekah kepada orang yang kesaksiannya tidak diperbolehkan bisa bermanfaat bagi orang tersebut, meskipun tidak ikhlas karena Allah.

Sebagaimana orang yang memberikan harta kepada orang tersebut untuk tujuan kafarat atau zakat, maka apa yang diberikan itu menjadi

(11)

sedekah sedang tanggungan kafarat atau zakat masih tetap (az-Zuhaili, 2011: 274).

Ketentuan mengenai wakaf uang telah lama muncul. Bahkan dalam kajian fikih klasik sekalipun persoalan ini telah diperbincangkan, yaítu sejalan dengan munculnya ide menegakkan fikih muamalah dalam perspektif maqashid as-syariah (tujuan syariah) yang dalam pandangan Umer Chapra bersumber pada mashlahah al-mursalah (kemaslahatan umum) termasuk usaha mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan.

Dalam catatan sejarah Islam, wakaf uang sudah dipraktikkan sejak awal abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa az-Zuhri salah satu ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadis memfatwakan bahwa wakaf dinar dan dirham dianjurkan untuk pembangunan sarana sosial, dakwah, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya.

Wakaf uang juga dikenal pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir. Pada masa itu, perkembangan wakaf cukup maju karena tidak hanya sebatas pada benda tidak bergerak, tapi juga benda bergerak semisal wakaf uang.

Tahun 1178, dalam rangka menyejahterakan ulama dan kepentingan misi madzhab Sunni, Salahuddin al-Ayyubi menetapkan kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandaria untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Sayangnya, tidak ada penjelasan

apakah orang Kristen yang datang dari Iskandaria itu membayar bea cukai dalam bentuk barang atau uang. Namun umumnya, bea cukai itu dibayar dalam bentuk uang. Uang tersebut akhirnya diwakafkan kepada para fuqaha’ dan para keturunannya.

Di era modern ini, wakaf uang menjadi populer berkat sentuhan piawai M. A. Mannan dengan berdirinya sebuah lembaga yang ia sebut Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh. SIBL memperkenalkan produk sertifikat wakaf uang pertama kali di dunia.

Lembaga ini mengumpulkan dana dari para agniya’ (orang kaya) untuk dikelola secara profesional sehingga menghasilkan keuntungan yang dapat disalurkan kepada fakir miskin.

Di Bangladesh, wakaf uang telah dikelola oleh Social Investment Bank Ltd (SIBL) dengan mengembangkan pasar sosial (the volutary capital market). Instrumen-instrumen keuangan Islam yang telah dikembangkan, antara lain adalah surat obligasi pembangunan perangkat wakaf (waqf properties development bond), sertifikat wakaf uang (cash waqf deposit certificate), sertifikat wakaf keluarga (family waqf certificate), obligasi pembangunan perangkat masjid (mosque properties development bond), saham komunitas masjid (mosque community share), sertifikat qard al- hasan (quard-e-hasana certificate), sertifikat pembayaran zakat (zakat/ushar payment certificate), dan sertifikat simpanan haji (hajj saving certificate).

(12)

Terobosan ini menunjukkan bahwa wakaf uang secara jelas dapat memberikan kontribusi nyata untuk peningkatan kesejahteraan umat (Hasan, Hal. 23-24).

Wacana wakaf uang untuk mewujudkan kesejahteraan sosial yang memiliki kemanfaatan yang sama dengan wakaf tanah mendapat respons positif dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah M.A.

Manan memberikan seminar di Indonesia tentang wakaf uang. Akhirnya pada tanggal 11 Mei 2002 MUI mengeluarkan fatwa tentang kebolehan wakaf uang, dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin tidak berkurang.

Kemudian, perjuangan untuk membuat dasar hukum kegiatan wakaf dalam bentuk Undang- undang terus dilakukan oleh berbagai pihak.

Akhirnya, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004.

Dalam Undang-undang wakaf diatur antara lain tentang bentuk benda wakaf, yaitu benda tidak bergerak, benda bergerak dan uang. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan yang ada dalam Pasal 28 sampai 31 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 dan Pasal 22 sampai 27 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006.

Wakaf benda bergerak antara lain berupa uang, dilakukan oleh pewakaf melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang ditunjuk oleh Menteri. (Pasal 28 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004).

Wakaf atas benda bergerak, berupa uang ini, dilaksanakan wakif secara tertulis kepada LKS.

Kemudian, oleh LKS diterbitkan sertifikat wakaf uang, sertifikat wakaf uang yang telah diterbitkan oleh LKS disampaikan kepada wakif dan nażir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf (Pasal 29 UU Nomor 41 Tahun 2004), kemudian LKS atas nama nażir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang itu kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya sertifikat wakaf uang (Pasal 30 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004).

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 dipertegas wakaf uang yang dapat diwakafkan ialah uang rupiah, jika uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing seperti rial, dolar, euro, ringgit Malaysia dan sebagainya maka harus dikonversikan dulu kepada uang rupiah.

Apabila dikaji dari sudut sistem hukum di bidang perwakafan, maka sistem hukum di Indonesia sangat mendukung pada potensi pemberdayaan gerakan wakaf uang, terutama setelah disahkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004. Undang-undang tersebut kemudian menjadi acuan hukum perwakafan di Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang wakaf.

Secara khusus mengenai wakaf uang, Menteri Agama Republik Indonesia ikut mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia 4 Tahun 2009 Tentang

(13)

Pengelolaan Pendaftaran Wakaf Uang Tunai.

Peraturan tersebut mengatur mengenai ikrar wakaf, pendaftaran, laporan pengawasan, dan peran masyarakat terhadap wakaf uang untuk lebih memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia.

Kemudian Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 juga memerintahkan untuk dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI).

Untuk pembentukan badan ini Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan Keputusan Presiden tentang pembentukan BWI yang mempunyai tugas mengelola dan mengembangkan perwakafan di Indonesia.

Setelah BWI terbentuk, dalam rangka memajukan wakaf di Indonesia khususnya wakaf uang, BWI telah mengeluarkan berbagai peraturan BWI. Diantaranya, Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang hal ini terlihat dalam pasal 4 mengenai setoran wakaf uang yang dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung dimana setoran wakaf uang secara langsung dilakukan oleh wakif atau kuasanya hadir dikantor LKS-PWU dan setoran wakaf uang secara tidak langsung dapat melalui media electronic channel, antara lain;

Anjungan Tunai Mandiri (ATM), phone banking, internet banking, dan mobile banking.

Serta dalam pasal 10 investasi wakaf uang ditujukan untuk proyek-proyek produktif bagi kemaslahatan umat melalui investasi yang langsung dikelola oleh nażir dan tidak dikelola secara langsung oleh nażir dengan investasi

melalui lembaga yang memenuhi kriteria kelayakan kelembagaan dan menguntungkan.

Pada tahun 2010 BWI juga mengeluarkan beberapa aturan, diantaranya yang khusus tentang wakaf uang adalah Peraturan BWI Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pendaftaran Nażir Wakaf Uang dalam peraturan tersebut memuat persyaratan pendaftaran nażir wakaf uang dimana nażir harus memiliki kompetensi dalam pengelolaan keuangan meliputi; pengetahuan di bidang keuangan syariah, pengalaman di bidang pengeloaan keuangan serta komitmen yang tinggi dalam mengembangkan wakaf uang.

Dengan demikian, kedudukan wakaf uang jelas dan telah mendapatkan tempat dalam sistem hukum di Indonesia. Bahkan jika dilihat dari segi potensinya, wakaf uang memiliki prospek besar dalam pengembangan dan pemberdayaan ekonomi umat melalui bentuk investasi mudharabah (full financing), investasi musyarakah (joint venture), investasi ijarah (leasing) dan investasi istisna (hire- purchase) serta investasi lain yang sesuai syariah(Lubis, Hal. 106).

Pelaksanaan Wakaf Uang di BWI Jepara BWI Jepara dalam pelaksanaan wakaf uang di wilayah Kabupaten Jepara memiliki potensi yang sangat besar akan sumber daya manusia yang mayoritas beragama Islam. Menurut data BPS jumlah penduduk yang beragama Islam di Kabupaten Jepara sebanyak 1.173.160 pada tahun 2020.

Menurut ibu Siti Zuliyati apabila dari data tersebut 1 juta orang mau melakukan gerakan

(14)

wakaf uang 10 ribu rupiah, maka BWI Jepara dalam penerimaannya dapat meraih wakaf uang kurang lebih 10 miliar. Meskipun dalam pelaksanaan memiliki keunggulan dalam masyarakat yang mayoritas Islam, BWI Jepara dalam pelaksanaan wakaf uang belum mampu memaksimalkan sektor tersebut yang diakibatkan oleh sedikitnya anggota BWI Jepara yang hanya berjumlah 12 orang serta banyaknya beban kerja yang diemban oleh BWI Jepara dalam mengelola wakaf di Jepara.

BWI Jepara dalam pelaksanaannya baru menerima wakaf uang dari jajaran pemerintahan yakni Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Agama Kabupaten Jepara, petinggi dan lurah yang ada di Jepara serta seluruh ASN yang terdapat di Jepara. Sampai sekarang baru terkumpul dana wakaf sebanyak 120 juta sejak diluncurkan pada akhir bulan Januari 2020.

Adapun dalam pelaksanaan wakaf uang tentunya terdapat mekanisme yang harus dilaksanakan oleh wakif agar dapat mewakafkan uang. Adapun alur wakaf uang yang dapat ditempuh oleh wakif diantaranya:

1. Wakif (perorangan/kelompok/orang/badan hukum) yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:

a. Hadir di Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya.

b. Menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan.

c. Menyetorkan secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU.

d. Mengisi formulir pernyataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai Akta Ikrar Wakaf (AIW) yang berbentuk formulir wakaf uang.

2. Dalam hal wakif tidak dapat hadir, maka wakif dapat menunjuk kuasanya.

3. Wakif dapat menyatakan ikrar wakaf uang kepada nażir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar wakaf (PPAIW) yang selanjutnya nażir menyerahkan AIW tersebut kepada LKS-PWU

4. Wakif berupa organisasi/badan hukum yang mewakafkan uangnya mencantumkan nama dan identitasnya dalam formulir wakaf uang dengan nama pengurus organisasi atau direksi badan hukum yang bersangkutan.

5. Wakif organisasi maupun badan hukum hanya dapat mewakafkan uangnya untuk jangka waktu selamanya.

6. LKS yang dapat menerima wakaf uang uang ditunjuk oleh Menteri atas dasar saran dan pertimbangan dari BWI.

7. Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) bertugas:

a. Mengumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai LKS-PWU.

b. Menyediakan blangko sertifikat wakaf uang.

c. Menerima secara tunai wakaf uang dari wakif atas nama nażir.

d. Menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan atas nama nażir yang sudah terdaftar.

(15)

e. Menerima pernyataan kehendak wakif yang dituangkan secara tertulis dalam formulir pernyataan kehendak wakif.

f. Menerbitkan sertifikat wakaf uang serta menyerahkan sertifikat tersebut kepada wakif dan menyerahkan tembusan sertifikat kepada nażir.

g. Mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri atas nama nażir dengan tembusan BWI.

8. Sertifikat wakaf uang sekurang-kurangnya memuat keterangan mengenai:

a. Nama LKS-PWU.

b. Nama Wakif.

c. Alamat wakif.

d. Jumlah wakaf uang.

e. Peruntukan wakaf.

f. Jangka waktu wakaf.

g. Nama nażir.

h. Alamat nażir.

i. Tempat dan tanggal penerbitan sertifikat wakaf uang.

8. LKS-PWU atas nama nażir mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterbitkannya sertifikat wakaf uang kemudian ditembuskan kepada BWI untuk diadministrasikan.

9. Pengumuman harta benda wakaf, PPAIW menyampaikan AIW kepada kantor Kementerian Agama dan BWI untuk dimuat dalam register umum wakaf yang tersedia pada kantor Kementerian Agama dan BWI.

10. Nażir menerima hasil pengelolaan wakaf uang dari LKS-PWU, atau dapat mengelolanya sendiri bersama mitra, dan

kemudian menyalurkan hasilnya kepada mauquf ‘alaih (dengan tetap menahan harta pokok wakaf).

11. Mauquf ‘alaih menerima manfaat dari hasil pengelolaan wakaf uang.

Terdapat cara praktis yang ditawarkan oleh BWI Jepara dalam wakaf uang di BWI Jepara yaitu:

1. Wakaf uang dengan nażir perwakilan BWI Jepara dapat dilakukan dengan cara transfer uang ke rekening bank yang ditunjuk oleh BWI Jepara yakni Bank BNI syariah dan Bank Jateng syariah atas nama Perwakilan Badan Wakaf Indonesia Kabupaten Jepara serta apabila memerlukan sebuah konfirmasi dari BWI Jepara dapat menghubungi pihak BWI Jepara.

2. Ataupun dapat datang langsung ke kantor layanan wakaf uang perwakilan BWI Kabupaten Jepara yang bertempat di kantor Kementerian Agama Kabupaten Jepara.

Meskipun prosedur dalam berwakaf uang di BWI Jepara sudah sangatlah mudah, namun dalam pelaksanaanya dilapangan cukuplah sulit. Hal ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan masyarakat terhadap wakaf uang sebab pemahaman benda wakaf yang masih sempit, serta harta yang dapat diwakafkan masih dipahami sebatas pada benda tak bergerak, seperti tanah.

Namun dalam perkembangannya wakaf bisa berupa benda bergerak antara lain uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual dan hak sewa. Meskipun BWI Jepara sendiri sudah melakukan berbagai cara

(16)

untuk mensosialisasikan wakaf uang dengan cara seminar wakaf dan juga menyebar pamflet mengenai program wakaf uang serta melakukan kerjasama dengan jajaran pemerintah Kabupaten Jepara untuk melakukan gerakan wakaf uang akan tetapi masih tetap belum bisa menggerakkan wakaf uang di Jepara.

Pengelolaan Wakaf Uang di BWI Jepara Pengelolaan wakaf uang di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 menentukan bahwa ada tiga pihak yang terkait dalam pengelolaan wakaf uang, yakni BWI sebagai pihak pengelola dan pengembangan wakaf uang, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana serta nażir sebagai pengelola dana wakaf uang.

Dalam hal pengelolaan wakaf uang, BWI Jepara melakukan kerjasama pengelolaan wakaf uang dengan perbankan yang ditunjuk yakni Bank Jateng syariah dan BNI syariah untuk mengelola wakaf uang serta tunduk kepada kebijakan bank syariah yang ditunjuk dengan menempatkan uang wakaf dengan konsep wadiah (titipan).

Dalam konsep wadiah, uang wakaf yang disetorkan wakif kepada bank syariah yang ditunjuk oleh BWI Jepara untuk dititipkan kepada bank sebagai pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan uang itu. Dalam hal ini BWI Jepara menggunakan akad wadiah yad adh-dhamanah, dimana pihak bank syariah diberi kuasa untuk

memberdayakan dana wakaf uang tersebut untuk diinvestasikan kepada properti atau produk investasi yang sesuai dengan ketentuan syariah yang kemudian keuntungan yang dihasilkan dari investasi dapat didistribusikan kepada mauquf ‘alaih sebagai penerima manfaat wakaf.

Dalam implementasinya pengelolaan wakaf uang oleh BWI Jepara meskipun atas nama BWI Jepara sebagai nażir wakaf uang akan tetapi dalam pengelolaan wakaf tersebut bank syariahlah yang menjadi nażir wakaf uang dan merangkap sebagai LKS-PWU. Yang hingga sekarang persoalannya dana wakaf uang tersebut belum memiliki manfaat sehingga belum dapat didistribusikan kepada mauquf

‘alaih sebagai penerima manfaat wakaf.

Pendistribusian Wakaf Uang di BWI Jepara Upaya BWI Jepara dalam mendistribusikan hasil manfaat wakaf uang patut dipuji sebab sudah sejak lama direncanakan untuk didistribusikan kepada berbagai lini masyarakat untuk kesejahteraan umat. Program BWI Jepara dalam mendistribusikan manfaat wakaf uang dapat diwujudkan dalam berbagai bidang yaitu:

1. Bidang keagamaan diberikan untuk sarana dan kegiatan ibadah.

2. Bidang sosial yang diberikan kepada yatim piatu, bantuan masyarakat miskin, anak terlantar, dan atau orang berkebutuhan khusus/disabilitas.

3. Bantuan ekonomi untuk pedagang sebagai bantuan modal usaha.

(17)

4. Bidang pendidikan diberikan kepada siswa, santri, mahasiswa yang kurang mampu sebagai bantuan pendidikan ataupun beasiswa pelajar.

5. Bidang kesehatan yang berfokus kepada pemberian bantuan kepada masyarakat dalam memperoleh akses kesehatan dengan pengobatan umum serta bidang lainnya demi memajukan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Analisis Pelaksanaan Wakaf Uang di BWI Jepara

Wakaf merupakan salah satu lembaga sosial ekonomi Islam yang potensinya belum sepenuhnya digali dan dikembangkan. Potensi wakaf, terutama wakaf uang produktif yang dapat digunakan sebagai alternatif pendanaan pada masjid dan pondok pesantren dalam rangka menuju kemandirian finansial yang bermuara pada kemaslahatan umat. Namun, sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa wakaf hanyalah berupa masjid dan kuburan.

Meski wakaf telah mengalami perkembangan dan tampil dalam bentuk lain diantaranya wakaf produktif atau wakaf uang.

Wakaf tak hanya kuburan dan masjid namun potensi wakaf bisa dikembangkan untuk hal- hal produktif yang akan memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat luas.

BWI Jepara dalam pelaksanaan wakaf uang memiliki sisi yang belum maksimal, hal ini dapat diketahui bahwa BWI Jepara sebagai nażir wakaf uang masih menyerahkan pengelolaan wakaf kepada bank syariah serta

nażir wakaf belum mampu mengelola sendiri harta wakaf tersebut dengan menjadikannya wakaf produktif. Hal ini mencerminkan BWI Jepara belum mampu secara optimal mengimplementasikan Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf pasal 2 yang menyatakan bahwa nażir yang dalam hal ini BWI Jepara mempunyai kewajiban dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya yang dilakukan secara produktif sesuai dengan prinsip syariah dan peraturan perundang- undangan.

Dalam implementasinya wakaf uang yang dilakukan oleh BWI Jepara juga masih menempatkan dana wakaf uang sebagai dana wadiah di bank syariah meskipun terdapat model pembiayaan berprospek besar yang membolehkan pengelola wakaf produktif memegang hak ekslusif terhadap pengelolaan yaitu: murabahah, istisna’, ijarah dan mudharabah serta berbagai kepemilikan atau syari’at al-milk, dimana ada beberapa kontraktor yang berbagi manajemen atau menugaskan proyek pada pihak penyedia pembiayaan untuk bagi hasil atas keuntungan dan sewa jangka panjang dalam investasi.

Menurut ibu Siti Zuliyati selaku Sekretaris BWI Jepara terdapat kendala dan tantangan yang dihadapi BWI Jepara dalam mengembangkan wakaf uang di Jepara disebabkan oleh minimnya pengetahuan masyarakat terhadap wakaf uang sebab

(18)

pemahaman yang masih terbatas tentang wakaf, harta wakaf, dan peruntukan wakaf.

Sebagian besar umat masih beranggapan, bahwa harta wakaf masih terbatas pada benda tidak bergerak dan peruntukan wakaf pun dipahami hanya untuk sarana ibadah, sosial, dan pendidikan semata.

Agar konsep wakaf uang dapat dipahami dan diterima secara cepat oleh masyarakat maka konsep wakaf uang ini perlu disosialisasikan. BWI Jepara sendiri sudah melakukan berbagai cara untuk mensosialisasikan wakaf uang dengan cara seminar wakaf dan juga menyebar pamflet mengenai program wakaf uang serta melakukan kerjasama dengan jajaran pemerintah Kabupaten Jepara untuk melakukan gerakan wakaf uang akan tetapi masih tetap belum bisa menggerakkan wakaf uang di Jepara.

Hal ini menunjukan bahwa BWI Jepara belum maksimal dalam mengedukasi masyarakat mengenai wakaf uang serta penggunaan media pamflet dan seminar yang dianggap masyarakat hanya sebagian kelompok yang mengetahui proses wakaf uang.

Hal tersebut menjadikan BWI Jepara perlu mengupayakan dalam menggencarkan wakaf uang melalui media elektronik sebagai bentuk penyebarluasan informasi wakaf uang yang masif kepada masyarakat agar masyarakat dapat mengetahui dan memahami pentingnya wakaf uang.

Tinjauan Perundang-undangan Wakaf di Indonesia Terhadap Peran BWI Dalam Pelaksanaan Wakaf Uang di Jepara

Kelahiran BWI merupakan perwujudan amanat yang digariskan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Kehadiran BWI sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia serta menjadikan BWI sebagai lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan manapun serta bertanggung jawab kepada masyarakat.

BWI Jepara sebagai nażir wakaf uang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 mempunyai kewajiban dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan peruntukannya dalam Undang-undang tersebut secara jelas mengungkapkan bahwa BWI Jepara sebagai nażir wakaf uang memegang peranan sebagai kunci keberhasilan pengembangan harta wakaf, akan tetapi dalam kenyataannya, BWI Jepara belum mampu secara optimal mengelola harta wakaf sebab harta wakaf dijadikan sebagai dana wadiah (titipan) pada bank syariah serta dana yang terkumpul belum memiliki manfaat sehingga belum dapat didistribusikan kepada mauquf

‘alaih sebagai penerima manfaat wakaf.

BWI Jepara sebagai nażir wakaf uang pada dasarnya bisa mengelola wakaf uang ke arah wakaf yang lebih produktif dengan cara

(19)

menempatkan dana wakaf uang tersebut dengan cara investasi properti, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, sarana pendidikan, sarana kesehatan, serta usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah.

Namun, sayangnya jumlah nażir wakaf uang yang bekerja secara penuh sangatlah minim, umumnya mereka bekerja sambilan dengan tetap memiliki pekerjaan tetap, seperti PNS, petani, pedagang, dan sebagainya yang harus diutamakan disamping tugas sebagai nażir yang mengakibatkan wakaf uang belum dapat dikelola dengan baik oleh BWI Jepara, meskipun dalam Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pendaftaran Nazhir Wakaf Uang pasal 2 telah mengatur mengenai syarat nażir wakaf uang yang harus memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan wakaf uang serta transparan dan akuntabel akan tetapi nampaknya hal tersebut belum bisa dilaksanakan oleh BWI Jepara.

Hal tersebut juga belum sesuai dengan pasal 42 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 yang berbunyi bahwa nażir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya serta dalam pasal 43 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh nażir dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah serta dilakukan secara produktif

dan dalam kegiatan investasi tersebut diperlukan lembaga penjamin syariah untuk mengantisipasi kemungkinan habisnya harta wakaf apabila terjadi pailit.

BWI Jepara dalam upayanya memberdayakan wakaf uang juga mengalami berbagai hambatan yang terdapat dilapangan seperti rendahnya pemahaman masyarakat mengenai wakaf uang. Maka dari itu BWI Jepara perlu mengupayakan penyebarluasan informasi dengan melakukan kampanye wakaf uang melalui dua media yakni elektronik dan media cetak sebagai bentuk penyebarluasan informasi wakaf uang yang masif kepada masyarakat agar masyarakat dapat mengetahui dan memahami pentingnya berwakaf uang.

Simpulan

Pelaksanaan wakaf uang yang dilakukan oleh BWI Jepara telah sesuai dengan Undang- undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang didalamnya telah mememenuhi berbagai aspek yakni kelembagaan yang didalamnya terdapat dewan pertimbangan, ketua dan tata cara berwakaf uang yang dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung dengan melalui mobile banking atau internet banking akan tetapi dalam hal pengelolaan wakaf uang BWI Jepara belum mampu mendayagunakan dan menginvestasikan sendiri harta wakaf tersebut.

Dalam hal pengelolaan dan pendistribusian manfaat wakaf uang, BWI Jepara masih memerlukan adanya inovasi yang dapat mengembangkan harta wakaf seperti halnya menggunakan akad mudharabah maupun akad

(20)

lain yang dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengembangkan wakaf uang dan membuat inovasi lain yang telah terbukti dapat menjadikan wakaf uang tersebut produktif yang sesuai dengan ketentuan syariah dengan tetap mengacu pada peraturan perundang- undangan yang berlaku yakni Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang wakaf.

Daftar Pustaka

al-Mahalli, Jalaluddin & Jalaluddin al- Suyuti.

2019.Tafsir al-Jalalain juz 2. Bandung:

Sinar Baru Algensindo.

Aziz, Muhammad. 2017. “Peran Badan Wakaf

Indonesia (BWI) Dalam

Mengembangkan Prospek Wakaf Uang Di Indonesia”. Jurnal Ekonomi Syariah.

vol.1. no.2. Tuban: Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hikmah: 207.

az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. jilid 10. Yogyakarta: Gema Insani Press.

Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Kabupaten Jepara. 2019. Panduan Pelaksanaan Wakaf. Yogyakarta: CV kaizen Sarana Edukasi.

Basrowi. 2008. Memahami Kajian Kualitatif.

Jakarta: Rineka Cipta.

BPS Kabupaten Jepara. 2021. Kabupaten Jepara Dalam Angka. Jepara: Percetakan Sinar Saluyu.

Bungin, Burhan. 2015. Metodologi Kajian Kualitatif Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer.

Jakarta: Rajawali Pers.

Chabiburrohman, Muhammad. 2018. “Analisis Yuridis Pelaksanaan Wakaf Tunai di BMT Mitra Muamalah Ngabul Jepara Tahun 2018”. Skripsi. Jepara: Fakultas Syariah dan Hukum UNISNU Jepara.

Creswell, John W. 2018. Kajian Kualitatif &

Desain Riset: Memilih Diantara Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahan. Jakarta: Penerbit Beras, 2014.

Dhewayani, Jaharuddin Radiana. Potensi &

Konsep Wakaf. Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2020.

Djunaidi, Achmad. 2007. Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf.

Efendi, Jonaedi. 2016. Metode Kajian Hukum Normatif dan Empiris. Jakarta: Kencana.

Fahham, Achmad Muchaddam. 2015. "

Pengelolaan Wakaf Tunai di Lembaga Pengelola Wakaf dan Pertanahan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta”. Jurnal Aspirasi. ttp.: P3DI DPR RI: 27.

Fatmala, Diah Ayu. 2019. “Efektifitas Proporsi Penyaluran Wakaf Uang Terhadap Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Studi Kasus KSPPS BMT Assyafi’iyyah Kota Gajah”. Skripsi. Lampung: Institut Agama Islam Negeri Metro.

(21)

Hasan, Sudirman. 2011. Wakaf Uang Perspektif Fikih, Hukum Positif, dan Manajemen. Malang: UIN Maliki Press.

Hasanah, Uswatun. 2012. “Peranan Badan Wakaf Indonesia Dalam Pengembangan Wakaf Uang di Indonesia Menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf”. Jurnal Hukum dan Pembangunan. vol. 42. No. 1. Depok:

JPH UI: 160.

Janwari, Yadi. 2015. Lembaga Keuangan Syariah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf. 2012. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Wakaf. Jakarta: Kemenag RI.

Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf. 2006. Fiqh Wakaf. Jakarta: Kemenag RI.

Kementerian Agama RI. 2019. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Keputusan Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia Nomor 41/BWI/P-BWI/2018, Penetapan Pengurus Perwakilan Badan Wakaf Indonesia Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah Masa Jabatan Tahun 2018-2021.

Khairi, Miftahul. 2015. Ensiklopedia Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4

Madzhab. Yogyakarta: Maktabah Al- Hanif.

Khosyi’ah, Syiah. 2010. Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya di Indonesia.

Bandung: Pustaka Setia.

Lubis, Suhrawardi K. Hukum Wakaf Tunai.

Medan: PT Citra Aditya Bakti, 2016.

Ma’ruf Amin dkk. 2011. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975.

Jakarta: Erlangga.

Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Kajian Hukum.

Jakarta Timur: Prenadamedia Group.

Masdar. 2017. “Penerapan Hukum Wakaf Uang di Indonesia Perspektif Legal System Theory”. Jurnal Kajian Hukum Islam. vol. XI. no. 1. Purwakarta: IAIN Purwakarta: 84-85.

Moleong, Lexy J. 1993. Metodologi Kajian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Muktar, Bustari. 2016. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Kencana.

Munthe, Iqbal Harfi. 2018. “Analisis Strategi Pengelolaan Wakaf Uang Pada Global Wakaf Cabang Medan”. Skripsi. Medan:

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.

Novitasari, Dias. 2018. “Pengaruh Wakaf Uang Tunai Produktif Terhadap Kesejahteraan Mauquf ‘Alaih BWUT MUI DIY Dengan Menggunakan Pendekatan Model Cibest”. Skripsi. Yogyakarta:

Universitas Negeri Yogyakarta.

(22)

Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang.

Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 2 Tahun 2010, Tata Cara Pendaftaran Nazhir Wakaf Uang.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Pelaksanaan Wakaf.

Purwanto, Didik. 2013. “Analisis Terhadap System Wakaf Tunai Dalam Perspektif Hukum Islam”. Skripsi. Jepara: Fakultas Syariah dan Hukum UNISNU Jepara.

Putri, Rafika Edyan. 2019. “Pengetahuan Masyarakat Terhadap Wakaf Uang Studi Masyarakat Kelurahan Sumur Dewa Kecamatan Selebar Kota Bengkulu”.

Skripsi. Bengkulu: Institut Agama Islam Negeri Bengkulu.

Rohmah, Tsalisatur. 2017. “Model Pengelolaan Wakaf Uang Pada Lembaga Wakaf (L- Kaf) Sidogiri Pasuruan”. Skripsi.

Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Rozalinda. 2016. Manajemen Wakaf Produktif.

Jakarta: Rajawali Press.

Saebani, Beni Ahmad. 2011. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia.

Semiawan, Conny R. 2010. Metode Kajian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta: Grasindo.

Soekanto, Soerjono. 2014. Pengantar Kajian Hukum. Jakarta: UI Press.

Soemitra, Andri. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana.

Sulistiani, Siska Lis. 2017. Pembaruan Hukum Wakaf di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.

Sunggono, Bambang. 2005. Metodologi Kajian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2011. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Nuansa Aulia.

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004, Wakaf.

Usman, Rachmadi. 2009. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Wawancara Bapak Bin H. M. Burhan selaku Divisi Pembinaan Nażir pada tanggal 22 Juni tahun 2021 jam 11:00.

Wawancara Ibu Siti Zuliyati selaku Sekretaris BWI Jepara pada tanggal 22 Juni tahun 2021 jam 09:35.

Zein, Satria Efendi M. 2004. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer.

Jakarta: Kencana.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, untuk memudahkan wa>kif dalam berwakaf uang pasal 7 Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2009 mengatur bahwa setoran wakaf uang dapat dilakukan

Jalur terpendek yang diperoleh untuk jalur distribusi kentang menggunakan perhitungan aljabar min-plus adalah sepanjang 166 km, diawali di Jalan Raya Pangalengan

Fungsi kemandirian pada lansia mengandung pengertian yaitu kemampuan yang dimiliki oleh lansia untuk tidak tergantung pada orang lain dalam melakukan aktivitasnya, semuanya

Adversity yang berbeda-beda tersebut dapat dilihat berdasarkan wawancara dan observasi dengan salah seorang pebisnis muda yang memiliki level yang tinggi pada

Pada pengukuran dengan menggunakan multimeter (gambar 4.2), terlihat pada beberapa rentang suhu, serat optik tidak mengalami penurunan nilai tegangan sehingga dapat

5) Guru mengarahkan siswa kelompok kelompok A untuk mencari pasangan di kelompok B dengan media kartu jodoh. Setelah masing-masing siswa menemukan jodohnya, siswa kemudian

2) Sesuai dengan perencanaan awal semua posisi wrang dalam keadaan level,tetapi jika tidak level nantinya saat akan pemasangan bracket akan terjadi masalah.Yakni bracket akan

Capaian kinerja pada triwulan 1 tahun 2019, BPBAP Takalar telah mampu merealisasikan 5 Indikator dengan rata-rata capaian sangat baik dari target triwulan yang