• Tidak ada hasil yang ditemukan

P I M P I N A N R E D A K S I Gurum Ahmad Pauzi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "P I M P I N A N R E D A K S I Gurum Ahmad Pauzi"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

Journal of Energy, Material, and Instrumentation Technology (JEMIT)

Sistem Identifikasi Tingkat Kematangan Buah Nanas Secara Non-Destruktif

Berbasis Computer Vision

Gambar 5. hal. 6

Hal. 1 –10

J. Energy Mater. Instrum. Technol. Vol. 2 No. 1, Tahun 2021

(2)

P E N A N G G U N G J A W A B

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Lampung

P I M P I N A N R E D A K S I Gurum Ahmad Pauzi

D E W A N R E D A K S I Agus Riyanto

Arif Surtono Amir Supriyanto Sri Wahyu Suciyati Junaidi

Leni Rumiyanti Ediman Ginting Suka Syafriadi

Pulung Karo-karo Suprihatin

Donni Kis Apriyanto Iqbal Firdaus Humairoh Ratu Ayu

M I T R A B E S T A R I Warsito (UNILA)

Posman Manurung (UNILA) Simon Sembiring (UNILA) Dwi Asmi (UNILA)

Yanti Yulianti (UNILA)

A L A M A T R E D A K S I

Jurusan Fisika, Universitas Lampung

Jl. Sumantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung Telp. 0721-701609 Ext. 719 Fax. 0721-704625 Email: [email protected]

http://jemit.fmipa.unila.ac.id/

Jurnal ini diterbitkan oleh Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung bekerja sama dengan Himpunan Fisika Indonesia Cabang Lampung, sebagai sarana untuk mempublikasikan hasil penelitian, artikel review dari peneliti- peneliti di bidang fisika energi, material dan teknologi instrumentasi. Jurnal ini terbit empat kali setahun (Februari, Mei, Agustus, dan November). Volume pertama terbit pada tahun 2020 dengan nama Journal of Energy, Material, and Instrumentation Technology (JEMIT) dengan ISSN 2747-2043.

(3)

DAFTAR ISI

Halaman Sistem Identifikasi Tingkat Kematangan Buah Nanas Secara

Non-Destruktif Berbasis Computer Vision

Nevalen Aginda Prasetyo, Arif Surtono, Junaidi, dan Gurum Ahmad Pauzi

1 –10

Pengaruh Variasi Polivinilpirolidon (PVP) Terhadap Pembentukan Serat Nano Titanium Dioksida (TiO2) Menggunakan Metode Electrospinning

Enang Widwiyantoro, Simon Sembiring, Syafriadi, Suprihatin

11 – 16

Pengaruh Variasi Kadar CaCO3 terhadap Pertumbuhan Fase Superkonduktor BPSCCO–2212 Menggunakan Metode Pen- campuran Basah

Rianggi Wahyuni Pratiwi, Suprihatin, Simon Sembiring, dan Roniyus Marjunus

17 – 22

Penggunaan Metode Taguchi untuk Menentukan Kondisi Parameter Optimum Pada Pembuatan CaO dari Batu Kapur (CaC)

Lilik Widia, Roniyus Marjunus, dan Sudibyo

23 – 29

(4)

Sistem Identifikasi Tingkat Kematangan Buah Nanas Secara Non-Destruktif Berbasis Computer Vision

Nevalen Aginda Prasetyoa, Arif Surtonob, Junaidic, dan Gurum Ahmad Pauzid Jurusan Fisika, Universitas Lampung, Bandar Lampung, Indonesia, 35141

Email : (a)[email protected], (b)[email protected], (b) [email protected] , (d) [email protected]

Article Information Abstract

Article history:

Received December 20th, 2020

Received in revised form December 22th, 2020 Accepted February 28th, 2021

Keywords:

Artificial neural networks, Computer vision,

Pineapple

A computer vision-based non-destructive pineapple maturity level identification system has been realized. This research was conducted to create a system capable of identifying six indexes of pineapple maturity level. An artificial neural network is used as a classifier for the level of maturity pineapples. Artificial neural network input is a statistical parameter consisting of mean, standard deviation, variance, kurtosis, and skewness of RGB and HSV color models pineapple images. Statistical parameters of the color model with a Pearson correlation value greater than 0.5 were used to characterize pineapple images. A total of 360 pineapple images were used in the training process with a percentage of 75% of training data and 25% of validation data. An image segmentation process is applied to separate the pineapple image from the image background.

The result of this research is a pineapple maturity level identification system consisting of software and hardware which is able to identify six indexes of pineapple maturity level with average accuracy value of 98,4%.

Informasi Artikel Abstrak

Proses artikel:

Diterima 20 Desember 2020 Diterima dan direvisi dari 22 Desember 2020 Accepted 28 Februari 2021

Kata kunci:

Computer vision, Jaringan saraf tiruan, Nanas

Telah direalisasikan sebuah sistem identifikasi tingkat kematangan buah nanas secara non-destruktif berbasis computer vision. Penelitian ini dilakukan untuk membuat sistem yang mampu mengidentifikasi kematangan buah nanas menjadi enam indeks tingkat kematangan. Jaringan saraf tiruan digunakan sebagai pengklasifikasi tingkat kematangan buah nanas. Masukan jaringan saraf tiruan berupa parameter statistik warna, yaitu mean, standar deviasi, varian, kurtosis, dan skewness dari model warna RGB dan HSV citra buah nanas. Hanya parameter statistik model warna dengan nilai korelasi Pearson lebih besar dari 0,5 yang digunakan sebagai ciri citra buah nanas. Sejumlah 360 citra buah nanas digunakan pada proses pelatihan dengan persentase pembagian 75% data latih dan 25% data validasi. Proses segmentasi citra diterapkan untuk memisahkan antara bagian buah nanas dengan latar belakang citra. Penelitian ini menghasilkan sebuah sistem pemutuan buah nanas yang terdiri dari perangkat lunak dan perangkat keras yang mampu mengidentifikasi enam indeks tingkat kematangan buah nanas dengan akurasi rerata sebesar 98,4%.

---

* Corresponding author.

E-mail addres: (a) [email protected]; (b)[email protected]

JOURNAL OF ENERGY, MATERIAL, AND INSTRUMENTATION TECHNOLOGY

Journal Webpage https://jemit.fmipa.unila.ac.id/

(5)

1. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara penghasil nanas terbesar ketiga di Asia Tenggara setelah Filipina dan Thailand dengan kontribusi pasar sebesar 23% (Kementerian Pertanian RI, 2016). Hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah penghasil nanas karena didukung oleh iklim tropis yang sesuai. Produksi nanas Indonesia pada tahun 2018 menempati posisi ke-4 produksi tanaman buah-buahan dengan total produksi mencapai 1.795.986 ton.

Provinsi dengan hasil produksi nanas terbesar adalah provinsi Lampung dengan total produksi mencapai 622.881 ton, diikuti oleh Jawa Tengah (202.823 ton), Jawa Barat (180.802 ton), Sumatera Utara (145.618 ton), Jawa Timur (139.234 ton), dan provinsi-provinsi lainnya menghasilkan 514.148 ton nanas (Badan Pusat Statistika RI, 2019).

Hasil produksi nanas yang melimpah dapat dikembangkan menjadi berbagai produk industri baik pangan maupun non-pangan. Nanas yang digunakan untuk keperluan industri mempunyai kriteria-kriteria tertentu. Hal ini agar produk nanas yang dihasilkan berkualitas baik. Salah satu kriteria nanas yang digunakan sebagai bahan industri adalah berdasarkan tingkat kematangan (Fharadila & Candra, 2019). Tingkat kematangan nanas dapat dikelompokkan menjadi beberapa indeks berdasarkan perubahan pada warna kulitnya (Shamsudin et al., 2009).

Sistem identifikasi indeks kematangan buah nanas telah dikembangkan sebelumnya seperti metode ekstraksi komponen warna merah dan hijau pada citra pada model warna RGB dengan metode klasifikasi jaringan saraf tiruan (Asnor et al., 2013), ekstraksi komponen warna merah dan hijau pada model warna RGB, dan saturasi pada model warna HSI dengan klasifikasi menggunakan logika Fuzzy (Bakar et al., 2013), dan ekstraksi komponen warna merah, hijau, biru pada model warna RGB dengan metode klasifikasi menggunakan jaringan saraf tiruan (Fharadila &

Candra, 2019). Untuk dapat diterapkan di bidang industri, sistem yang dihasilkan harus mampu mengidentifikasi buah nanas ke dalam enam indeks. Sistem yang dikembangkan oleh Fharadilah dan Chandra (2019) hanya mampu mengidentifikasi kematangan buah nanas ke dalam tiga tingkat indeks kematangan, yaitu mentah, matang, dan sangat matang dengan akurasi mencapai 100%. Sedangkan sistem yang dikembangkan oleh Bakar et al. (2013) hanya mampu mengidentifikasi buah nanas ke dalam dua indeks kematangan, yaitu matang dan mentah dengan akurasi mencapai 100%. Sementara itu, sistem yang dikembangkan oleh Asnor et al. (2013) telah mampu mengidentifikasi kematangan buah nanas ke dalam indeks yang lebih banyak, yaitu empat indeks kematangan, namun dengan akurasi yang belum baik, yaitu sebesar 75%. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut perlu dirancang suatu sistem yang mampu mengidentifikasi enam indeks tingkat kematangan buah nanas secara otomatis dengan akurasi lebih besar dari 90%.

Seiring perkembangan teknologi proses identifikasi indeks kematangan nanas dapat dilakukan secara otomatis menggunakan perangkat elektronik. Identifikasi indeks kematangan buah nanas secara otomatis dapat meningkatkan akurasi dan presisi pada tingkat kematangan nanas yang dihasilkan (Bakar et al., 2013). Salah satu teknik yang sering digunakan untuk mengidentifikasi kematangan buah secara otomatis adalah computer vision.

Computer vision merupakan suatu proses yang dilakukan komputer untuk mencoba meniru cara kerja sistem visual manusia (Umam & Negara, 2016). Computer vision mengintegrasikan proses untuk persepsi visual, seperti akuisisi citra, pengolahan citra, dan pengenalan pola.

Pada penelitian ini dikembangan sistem identifikasi tingkat kematangan buah nanas untuk mengidentifikasi enam indeks kematangan buah nanas berbasis computer vision. Sistem dirancang menggunakan jaringan saraf tiruan dengan input berupa ciri statistik warna yang terdiri dari mean, standar deviasi, varian, skewness, dan kurtosis yang diekstrak dari model warna RGB dan HSV buah nanas.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu, perancangan hardware, perancangan sistem pre- processing citra, dan perancangan jaringan saraf tiruan.

2.1 Perancangan Hardware

Pada tahap ini dilakukan perancangan hardware pemutuan buah nanas. Secara umum, rancangan hardware yang dibuat ditunjukkan dalam diagram blok pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram blok sistem hardware pemutuan buah nanas

Diagram blok sistem pemutuan buah nanas terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian blok diagram input, blok diagram proses, dan blok diagram output. Pada blok diagram input terdiri dari buah nanas varietas MD2 sebagai sampel yang diukur tingkat kematangannya, dan webcam untuk mengakuisisi citra sampel buah nanas. Citra buah nanas yang diakuisisi berjumlah 360 citra dengan enam indeks kematangan seperti yang tampak pada Gambar 2.

(6)

Gambar 2. Sampel data citra buah nanas vaietas MD2

Pengakuisisian citra buah nanas dilakukan pada latar ruang dan kondisi pencahayaan yang konstan. Sebaran data citra buah nanas menurut indeks kematangan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Sebaran dataset citra buah nanas per-indeks kematangan

Indeks Kematangan Jumlah Citra

0 60

1 60

2 60

3 60

4 60

5 60

Selanjutnya, pada blok diagram proses citra buah nanas yang telah diakuisisi diolah didalam personal computer (PC) untuk dianalisa tingkat kematangannya. Output dari sistem pemutuan ini berupa angka indeks tingkat kematangan buah nanas.

2.2 Perancangan Sistem Pre-Processing Citra

Pada tahap ini dilakukan perancangan sistem untuk mensegmentasi, mengekstraksi ciri, dan menyeleksi ciri citra buah nanas. Segmentasi citra buah nanas merupakan proses yang dilakukan dengan tujuan untuk menyederhanakan bentuk dan merubah citra buah nanas ke dalam bentuk yang lebih mudah diolah dan dianalisa.

Pada citra buah nanas hasil akuisisi, background citra buah nanas mengandung noise atau informasi yang tidak diperlukan sehingga apabila dipertahankan akan mengaburkan data citra sesungguhnya yang diinginkan.

Segmentasi dilakukan untuk menghilangkan background citra buah nanas dan membuat semua citra yang memasuki tahap ekstraksi ciri memiliki ukuran yang sama. Diagram alir proses segementasi citra buah nanas ditunjukkan pada Gambar 3.

Konversi citra menjadi grayscale

Tresholding dengan metode Otsu

Seleksi kontur bagian buah

Cropping bagian buah

Masking area buah dengan ellipse mask

Resize bagian buah ke ukuran 300 x 150 pixel

Operasi morfologi closing Citra buah nanas

Mulai

Selesai Citra hasil segmentasi

(7)

Gambar 3. Diagram alir proses segmentasi citra

Setelah proses segmentasi kemudian dilakukan proses ekstraksi ciri. Proses ekstraksi ciri bertujuan untuk memperoleh variabel ciri yang dapat mendeskripsikan tingkat kematangan buah nanas. Variabel ciri yang dipakai pada penelitian ini berupa variabel statistik, yaitu mean (µ), standar deviasi ( ), varian ( 2), kurtosis (k), dan skewness (γ) yang diektraksi dari masing-masing channel pada model warna RGB dan HSV (Kokoska & Zwillinger, 2000).

Dari hasil ekstraksi ciri belum diketahui variabel apa saja yang berkorelasi kuat dengan tingkat kematangan buah nanas. Maka dari itu, korelasi Pearson dipakai sebagai dasar untuk menyeleksi variabel ciri citra buah nanas.

Nilai korelasi Perason (r) dinyatakan dengan Persamaan 1.

( ) ( )

 

XY- X Y r = n

2 2

X Y

2 2

X - Y -

n n

Pada Persamaan 1 variabel X mewakili variabel ciri citra dan variabel Y mewakili variabel indeks kematangan buah nanas (Garvetter dkk., 2018). Dari hasil perhitungan korelasi Pearson diperoleh nilai korelasi (r) dengan rentang 0 – 1. Menurut Riduwan (2003) dua buah variabel memiliki korelasi kuat jika nilainya lebih besar dari 0,5.

Pada penelitian ini untuk menyederhanakan arsitekur jaringan saraf tiruan yang dirancang hanya variabel ciri dengan nilai korelasi Pearson lebih besar dari 0,5 yang digunakan sebagai input jaringan saraf tiruan.

2.3 Perancangan Jaringan Saraf Tiruan

Perancangan jaringan saraf tiruan terdiri dari dua proses, yaitu pelatihan jaringan saraf tiruan dan analisis kinerja jaringan saraf tiruan. Diagram alir proses pelatihan jaringan saraf tiruan (JST) ditunjukkan pada Gambar 4. Proses pelatihan JST dilakukan dengan memuat data yang telah diperoleh dari proses seleksi ciri. Data tersebut kemudian dinormalisasi dan dibagi menjadi data latih dan data validasi dengan rasio 75% : 25%. Penetapan rasio pembagian data latih dan validasi menggunakan referensi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Asnor et al. (2013) dan Bakar et al. (2013). Selanjutnya mendefinisikan parameter pelatihan jaringan saraf tiruan, seperti jumlah neuron pada hidden layer, learning rate, dan jumlah epochs. Jumlah neuron hidden layer yang digunakan pada penelitian ini adalah 6, 11, 16, dan 22. Nilai learning rate yang digunakan yaitu, 0,05, 0,01, 0,005, dan 0,001.

Jumlah epochs maksimum yang diterapkan adalah 500, namun pelatihan akan dihentikan secara otomatis jika dalam 20 epochs selanjutnya pada proses pelatihan tidak terjadi peningkatan nilai akurasi data validasi. Setelah parameter jaringan saraf tiruan didefinisikan kemudian dimulailah proses pelatihan. Data latih digunakan untuk melatih jaringan saraf tiruan dan data validasi digunakan untuk menguji jaringan saraf tiruan.

(1)

(8)

Mulai

Data hasil ekstraksi fitur

Data latih Data validasi

75% 25%

Mendefinisikan Parameter JST

• Jumlah neuron hidden layer

• Learning rate

• Fungsi aktivasi

• Epochs maksimum

Pelatihan JST

Pengujian JST

Simpan JST

Selesai

Gambar 4. Diagram alir pelatihan jaringan saraf tiruan

Analisis kinerja jaringan saraf tiruan dilakukan dengan membentuk confusion matrix indeks tingkat kematangan buah nanas hasil predikisi dengan indeks tingkat kematangan buah nanas sebenarnya. Melalui confusion matrix dapat dihitung nilai akurasi, sensitivitas, presisi, spesifisitas, dan nilai prediksi negatif yang menggambar kinerja jaringan saraf tiruan. Nilai akurasi, sensitivitas, presisi, spesifisitas, dan nilai prediksi negatif dihitung dengan Persamaan 2 - 6 (Mazen & Nashat, 2019).

TP+TN

Akurasi = x100%

TP+FP+TN+FN Sensitivitas = TP x100%

TP+FN Presisi = FP x100%

FP+TP

Spesifisitas = TN x100%

TN+FP

Prediksi Negatif = TN x100%

TN+FN

Pada Persamaan 2 - 6 True Positive (TP) merupakan jumlah prediksi yang benar dan jumlah nilai asli yang benar untuk setiap kelas yang diuji, True Negative (TN) merupakan jumlah prediksi yang bernilai salah dan jumlah nilai asli yang salah untuk setiap kelas yang diuji, False Positive (FP) merupakan Jumlah prediksi yang bernilai benar dan jumlah nilai asli yang salah untuk setiap kelas yang diuji, False Negative (FN) merupakan Jumlah prediksi yang bernilai salah dan jumlah nilai asli yang benar untuk setiap kelas yang diuji.

3. Hasil Dan Pembahasan 3.1 Realisasi Hardware

(2) (3) (4) (5) (6)

(9)

Hasil realisasi hardware pemutuan buah nanas pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Realisasi sistem identifikasi kematangan buah nanas

Sistem dilengkapi dengan kotak pemutuan untuk mengkondisikan pencahayaan pada saat proses akuisisi citra buah nanas. Kotak pemutuan dibuat dari bahan multiplex dengan dimensi 40 cm x 40 cm x 50 cm. Bagian dalam dinding kotak dilapisi dengan karpet dengam warna seragam untuk mempermudah pada proses segementasi citra . Pada bagian atas dinding kotak pemutuan diberi 8 buah lampu led sebagai sumber penerangan. Lampu led yang digunakan sebagai sistem penerangan di-supply oleh catudaya dengan tegangan 12 Volt dan arus listrik sebesar 5 Ampere. Sistem penerangan yang dibuat mampu menghasilkan pencahayaan dengan instensitas cahaya makmsimal 350 lux. Webcam yang digunakan untuk mengakuisisi citra adalah webcam Logitech seri 310 dengan resolusi pengambilan gambar 1280 x 720 pixel. Webcam diletakkan dibagian lubang atas kotak pemutuan pada ketinggian 50 cm dari bidang tempat peletakkan sampel buah nanas.

3.2 Sistem Pre-Processing Citra

Hasil perancangan sistem segmentasi citra buah nanas yang dikembangkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 (a) Citra input, (b) Citra grayscale, (c) Citra biner hasil tresholding dengan metode Otsu, (d) Citra biner hasil operasi morfologi closing, (e) Citra buah nanas hasil cropping dan resizing, (f) Citra biner mask elips, (g) Citra output hasil segmentasi Proses segmentasi citra dimulai dengan menyederhanakan bentuk citra dengan cara mengubah citra input hasil proses akuisisi citra ke dalam bentuk citra grayscale. Pada citra grayscale kemudian dilakukan proses tresholding dengan metode Otsu. Pixel dengan nilai intensitas lebih besar dari nilai treshold akan diganti nilainya menjadi 0 (hitam), dan pixel dengan nilai intensitas lebih kecil dari nilai treshold akan diubah nilainya menjadi 1 (putih). Citra hasil tresholding telah memisahkan antara area pixel buah dan area pixel background citra dengan cukup jelas. Namun pada area buah buah masih terdapat area-area kecil pixel berwarna hitam yang akan mengganggu proses cropping area buah nanas, oleh karena itu dilakukan proses morfologi closing untuk mengurangi area-area kecil pixel berwarna hitam pada area pixel buah nanas. Setelah dilakukan operasi morfologi closing didapatkan area pixel buah nanas yang lebih jelas, yang kemudian pada area tersebut dilakukan operasi cropping dan resizing citra ke ukuran 300 pixel x 150 pixel.. Hasil operasi cropping masih menyisakan sedikit area background buah nanas. Untuk menghilangkan background yang tersisa dilakukan proses masking dengan citra mask berbentuk elips dengan ukuran 300 pixel x 150 pixel. Melalui Gambar 8 dapat diketahui bahwa algoritma segmentasi yang dirancang telah berhasil memisahkan bagian citra buah nanas dari background-nya dengan baik.

Data citra yang telah melalui proses segementasi kemudian memasuki tahap ekstraksi ciri. Informasi yang diekstraksi dari citra ,yaitu label indeks kematangan dan ciri statistik yang terdiri dari 30 variabel yaitu mean, varian, standar deviasi, kurtosis, dan skewness dari channel warna R, G, B, H, S, dan V. Variabel ciri tersebut

(10)

kemudian dihitung nilai korelasinya menggunakan metode korelasi Pearson. Hasil perhitungan nilai korelasi Pearson antara indeks kematangan buah nanas dengan masing-masing variabel statistik ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil korelasi Pearson

Variabel Ciri Channel Warna

R G B H S V

Mean (µ) 0,719 0,703 0,289 0,799 0,748 0,741

Standar Deviasi ( ) 0,403 0,177 0,414 0,493 0,549 0,053

Varian ( 2) 0,382 0,172 0,405 0,525 0,533 0,052

Skewness (γ) 0,708 0,704 0,018 0,469 0,680 0,753

Kurtosis (k) 0,670 0,563 0,078 0,493 0,660 0,653

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa variabel ciri yang memiliki nilai korelasi Pearson tertinggi adalah mean Hue dengan nilai korelasi 0,799 dan variabel ciri dengan nilai korelasi terendah adalah skewness Blue dengan nilai korelasi 0,078. Dari hasil korelasi Pearson dipilih variabel ciri dengan nilai korelasi Pearson lebih besar dari 0,5.

Adapun variabel ciri dengan nilai korelasi Pearson lebih besar dari 0,5 ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil seleksi ciri

Variabel Ciri Channel Warna

R G B H S V

Mean (µ) 0,719 0,703 - 0,799 0,748 0,741

Standar Deviasi ( ) - - - - 0,549 -

Varian ( 2) - - - 0,525 0,533 -

Skewness (γ) 0,708 0,704 - - 0,680 0,753

Kurtosis (k) 0,670 0,563 - - 0,660 0,653

Melalui Tabel 3, diketahui bahwa terdapat enam belas variabel yang lolos proses seleksi ciri, yaitu mean Red, skewness Red, kurtosis Red, mean Green, skewness Green, kurtosis Green, mean Hue, varian Hue, mean Saturation, varian Saturation, standar deviasi Saturation, skewness Saturation, kurtosis saturation, mean Value, skewness Value, dan kurtosis Value. Enam belas variabel tersebut kemudian digunakan sebagai input pada proses pelatihan jaringan saraf tiruan.

3.3 Perancangan Jaringan Saraf Tiruan

Hasil pelatihan jaringan saraf tiruan pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 4. Terdapat tiga buah kolom nilai akurasi, yaitu akurasi pelatihan yang merupakan nilai akurasi terhadap data pelatihan, akurasi validasi yang merupakan akurasi terhadap data uji, dan akurasi keseluruhan yang merupakan hasil rerata akurasi pelatihan dan akurasi validasi. Pada data latih nilai akurasi tertinggi adalah 96,3%, diperoleh dari jaringan saraf tiruan dengan arsitektur berjumlah 22 neuron hidden layer dan nilai learning rate 0,005. Kemudian pada data validasi akurasi tertinggi adalah 93,3%, diperoleh dari jaringan saraf tiruan dengan arsitektur berjumlah 22 neuron hidden layer dan nilai learning rate 0,050. Dari perhitungan akurasi rerata nilai akurasi tertinggi adalah 95,3%, diperoleh dari jaringan saraf tiruan dengan arsitektur berjumlah 22 neuron hidden layer dan nilai learning rate 0,050. Dari keseluruhan model jaringan saraf tiruan yang dihasilkan pada penelitian ini dipilih satu jaringan saraf tiruan untuk digunakan pada sistem pemutuan, yaitu jaringan saraf tiruan dengan nilai akurasi keseluruhan tertinggi.

Tabel 4. Akurasi hasil pelatihan jaringan saraf tiruan Neuron

Hidden Layer Learning

Rate Epochs Akurasi

Pelatihan (%) Akurasi

Validasi (%) Akurasi Keseluruhan (%)

6 0,050 119 87,8 86,7 87,5

6 0,010 71 87,8 88,9 88,1

6 0,005 135 89,6 90,0 89,7

6 0,001 100 90,7 90,0 90,5

11 0,050 87 90,7 88,9 90,3

11 0,001 67 90,0 88,9 89,7

11 0,005 86 93,0 91,1 92,5

11 0,001 100 94,1 91,1 93,4

16 0,050 53 88,5 88,9 88,6

16 0,010 83 94,1 88,9 92,8

16 0,005 89 93,7 91,1 93,1

16 0,001 102 93,1 92,2 92,9

22 0,050 106 95,9 93,3 95,3

(11)

22 0,010 77 95,9 90,0 94,4

22 0,005 74 96,3 91,1 95,0

22 0,001 60 93,7 91,1 93,1

Untuk menganalisis kinerja model jaringan saraf tiruan dibentuk sebuah confusion matrix. Adapun confusion matrix dari jaringan saraf tiruan dengan neuron hidden layer berjumlah 22 dan learning rate bernilai 0,050 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Confusion matrix model jaringan saraf tiruan dengan 22 neuron hidden layer dan learning rate 0.05 Indeks

Sebenarnya

Indeks Hasil Identifikasi

0 1 2 3 4 5

0 60 0 0 0 0 0

1 0 60 0 0 0 0

2 0 4 55 1 0 0

3 0 0 2 53 0 5

4 0 0 0 4 56 0

5 0 0 0 1 0 59

Confusion matrix menampilkan sebaran data indeks kematangan sebeneranya dengan indeks kematangan hasil identifikasi jaringan saraf tiruan. Melaui Tabel 5 diketahui bahwa model jaringan saraf tiruan yang dibangun berhasil mengidentifikasi indeks kematangan buah nanas dengan baik dimana jumlah angka kesalahan yang dihasilkan rendah. Pada citra buah nanas berindeks 0 dan 1, 100% data citra buah nanas diidentifikasi dengan benar. Pada citra buah nanas berindeks 2, 91,7% diidentifikasi dengan benar dan 8,3% data diidentifikasi dengan salah. Kemudian pada citra buah nanas berindeks 3, 88,3% data diidentifikasi dengan benar dan 11,7% data diidentifikasi dengan salah. Selanjutnya, pada citra buah nanas berindeks 4, 93,3% data diidentifikasi dengan benar dan 6,7% data diidentikasi dengan salah. Sedangkan pada citra buah nanas berindeks 5, 98,3% data diidentifikasi dengan benar dan 1,7% data diidentikasi dengan salah.

Untuk mengetahui secara lebih rinci kinerja jaringan saraf tiruan dilakukan perhitungan binary confusion matrix seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6. Melalui Tabel 6 diketahui nilai akurasi terbesar adalah 100%, yaitu pada indeks 0 dan nilai akurasi iterkecil adalah 96,4%, yaitu pada indeks 3. Nilai spesifisitas terbesar adalah 100%, yaitu pada indeks 0 dan indeks 4. Kemudian nilai spesifisitas terkecil adalah 98,0%, yaitu pada indeks 3. Nilai sensitivitas terbesar adalah 100%, yaitu pada indeks 0 dan indeks 1. Kemudian nilai sensitivitas terkecil adalah 88,3%, yaitu pada indeks 3. Nilai presisi indeks terbesar adalah 100%, yaitu pada indeks 1 dan indeks 4. Kemudian nilai presisi terkecil adalah 89,8%, yaitu pada indeks 3. Nilai prediksi negatif terbesar adalah 100%, yaitu pada indeks 0 dan indeks 1. Kemudian nilai prediksi negatif terkecil adalah 97,7%, yaitu pada indeks 3.

Tabel 6. Binary confusion matrix jaringan saraf tiruan Indeks

Sebenarnya

Indeks Hasil Identifikasi

Indeks 0 Bukan Indeks 0

Indeks 0 TP = 60 FN = 0 Sensitivitas = 100,0%

Bukan Indeks 0 FP = 0 TN = 300 Spesifisitas = 100,0%

Presisi = 100,0% Prediksi Negatif = 100,0% Akurasi = 100,0%

Indeks 1 Bukan Indeks 1

Indeks 1 TP = 60 FN = 0 Sensitivitas = 100,0%

Bukan Indeks 1 FP = 4 TN = 296 Spesifisitas = 98,7%

Presisi = 93,8% Prediksi Negatif = 100,0% Akurasi = 98,9%

Indeks 2 Bukan Indeks 2

Indeks 2 TP = 55 FN = 5 Sensitivitas = 91,7%

Bukan Indeks 2 FP = 2 TN = 298 Spesifisitas = 99,3%

Presisi = 96,5% Prediksi Negatif = 98,3% Akurasi = 98,1%

Indeks 3 Bukan Indeks 3

Indeks 3 TP = 53 FN = 7 Sensitivitas = 88,3%

Bukan Indeks 3 FP = 6 TN = 294 Spesifisitas = 98,0%

Presisi = 89,8% Prediksi Negatif =97,7% Akurasi = 96,4%

Indeks 4 Bukan Indeks 4

Indeks 4 TP = 56 FN = 4 Sensitivitas = 93,3%

Bukan Indeks 4 FP = 0 TN = 300 Spesifisitas = 100,0%

Presisi = 100% Prediksi Negatif = 98,7% Akurasi 98,9%

Indeks 5 Bukan Indeks 5

Indeks 5 TP = 59 FN = 1 Sensitivitas = 98,3%

Bukan Indeks 5 FP = 5 TN = 295 Spesifisitas = 98,3%

Presisi = 92,2% Prediksi Negatif = 99,7% Akurasi = 98,3%

Untuk menyederhanakan nilai binary confusion matrix dihitung nilai rerata parameter jaringan saraf tiruan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa seluruh nilai rerata parameter model jaringan saraf tiruan bernilai lebih besar dari 95,0%. Menurut Mia et al. (2019), sebuah model kecerdasan buatan dikatakan memiliki tingkat pengenalan yang baik apabila nilai rerata parameter kinerja model tersebut lebih besar

(12)

dari 95,0%. Dari percobaan kami, kami membuktikan bahwa jaringan saraf tiruan yang kami bangun telah mampu bekerja dengan baik untuk mengenali enam indeks tingkat kematangan buah nanas.

Tabel 7. Nilai rerata parameter jaringan saraf tiruan dalam mengenali indeks kematangan nanas

Parameter Nilai

Akurasi 98,4 %

Presisi 95,3%

Sensitivitas 95,3%

Spesifisitas 99,1%

Prediksi Negatif 99,1%

Pada penelitian ini untuk mempermudah penggunaan sistem pemutuan buah nanas yang telah dibangun, sistem pre-processing citra dan jaringan saraf tiruan disatukan dalam sebuah graphical user interface (GUI) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. GUI sistem pemutuan indeks kematangan buah nanas 4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, telah berhasil direalisasikan sistem identifikasi tingkat kematangan buah nanas berbasis computer vision yang mampu mengidentifikasi enam indeks tingkat kematangan buah nanas dengan baik. Sistem menggunakan jaringan saraf tiruan sebagai algoritma untuk identifikasi indeks tingkat kematangan buah nanas. Variabel ciri statistik warna yang diekstraksi dan diseleksi dari citra buah nanas digunakan sebagi input. Jaringan saraf tiruan yang dihasilkan mampu mengidentifikasi indeks tingkat kematangan citra buah nanas dengan akurasi rerata sebesar 98,4%.

5. Daftar Pustaka

Asnor, J. I., Rosnah, S., Wan, Z. W. H., & Badrul, H. A. B. (2013). Pineapple maturity recognition using rgb extraction.

International Journal of Electrical and Computer Engineering, 7(6), 597–600.

Badan Pusat Statistika RI. (2019). Statistik Tanaman Buah-buahan dan Sayuran Tahunan Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistika RI.

Bakar, B. A. H. A., Ishak, A. J., Shamsuddin, R., & Hassan, W. Z. W. (2013). Ripeness Level Classification for Pineapple. Journal of Theoretical and Applied Information Technology, 57(3), 587–593.

Fharadila, B., & Candra, F. (2019). Identifikasi kematangan buah nanas menggunakan metode jaringan saraf tiruan.

Jom FKTEKNIK, 6(1), 1–7.

Gravetter, F. J., Wallnue, L. B., & Forzano, L. B. (2018). Essentials of Statistics for the Behavioural Sciences. Boston:

Cenggae Learning.

Kementerian Pertanian RI. (2016). Outlook Nanas Komoditas Pertanian Sub Sektor Hortikultura. Jakarta: Kementerian Pertanian RI.

(13)

Kokoska, S., & Zwillinger, D. (2000). Standard Probability and Statistics Tables and Formulae. New York: Chapman

& Hall/CRC.

Mazen, F. M. A., & Nashat, A. A. (2019). Ripeness classification of bananas using an artificial neural network. Arabian Journal for Science and Engineering, 44(8), 6901–6910. https://doi.org/10.1007/s13369-018-03695-5 Mia, M. R., Mia, M. J., Majumder, A., Supriya, S., & Habib, M. T. (2019). Computer vision based local fruit recognition.

International Journal of Engineering and Advanced Technology, 9(1), 2810–2820.

https://doi.org/10.35940/ijeat.A9789.109119

Riduwan. (2003). Dasar Dasar Statistika. Bandung: Alfa Beta.

Shamsudin, R., Daud, W. R. W., Takriff, M. S., & Hassan, O. (2009). Chemical compositions and thermal properties of the josapine variety of pineapple fruit (ananas comosus l.) in different storage systems. 34(2011), 1558–1572.

https://doi.org/10.1111/j.1745-4530.2009.00510.x

Umam, K., & Negara, B. S. (2016). Deteksi obyek manusia pada basis data video menggunakan metode background subtraction dan operasi morfologi. Jurnal CoreIT (Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Komputer Dan Teknologi Informasi), 2(2), 31. https://doi.org/10.24014/coreit.v2i2.2391

(14)

Pengaruh Variasi Polivinilpirolidon (PVP) Terhadap Pembentukan Serat Nano Titanium Dioksida (TiO2)

Menggunakan Metode Electrospinning

Vega Rahmawati Ara, Posman Manurungb, Junaidic dan Pulung Karo-Karo Jurusan Fisika, Universitas Lampung, Bandar Lampung, Indonesia, 35141

Article Information Abstract

Article history:

Received January 28th, 2021

Received in revised form February 5th, 2021 Accepted February 28th, 2021

Keywords:

Electrospinning, Nanofibers, PVP, TiO2, Viscosity

Research on the formation of TiO2 nanofiber has been carried out with PVP variations of 1.1; 1,2; 1.3; 1.4 and 1.5 grams using electrospinning. This study aims to determine the effect of PVP variation on the viscosity and morphology of TiO2 nanofibers and to determine the crystal structure of the fibers. Synthesis of TiO2 was carried out using the sol-gel method. TTIP is used as a precursor, ethanol as a solvent, acetic acid as a catalyst and PVP as a fiber-forming polymer. The results of the viscosity measurement show that the amount of PVP used in the sample is directly proportional to the level of solution viscosity. Based on the results of SEM characterization, it showed relatively uniform nanofiber morphology with fiber diameter ranging from 94 nm - 735 µm. The results of TEM characterization showed that the size of TiO2 nanofiber particles ranged from 7-15 nm. The results of XRD analysis showed that the crystal structures formed at a calcination temperature of 450 oC were the anatase and rutile phases.

Informasi Artikel Abstrak

Proses artikel:

Diterima 28 Januari 2021 Diterima dan direvisi dari 5 Februari 2021

Accepted 28 Februari 2021

Kata kunci:

Electrospinning, PVP, Serat nano, TiO2, Viskositas.

Telah dilakukan pembentukan serat nano TiO2 dengan variasi PVP sebesar 1,1;

1,2; 1,3; 1,4 dan 1,5 gram menggunakan electrospinning. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi PVP terhadap viskositas dan morfologi serat nano TiO2 serta struktur kristal pada serat nano TiO2. Sintesis TiO2 dilakukan menggunakan metodel sol-gel. TTIP digunakan sebagai prekursor, etanol sebagai pelarut, asam asetat sebagai katalis dan PVP sebagai polimer pembentuk serat.

Hasil pengukuran viskositas menunjukkan bahwa jumlah PVP yang digunakan pada sampel berbanding lurus dengan tingkat kekentalan larutan. Berdasarkan hasil karakterisasi SEM memperlihatkan morfologi serat nano yang relatif seragam dengan ukuran diameter serat berkisar antara 94 nm – 735 µm. Hasil karakterisasi TEM menunjukkan ukuran partikel serat nano TiO2 berkisar 7-15 nm. Hasil analisis XRD menunjukkan struktur kristal yang terbentuk pada suhu kalsinasi 450 oC yaitu fasa anatase dan rutil.

1. Pendahuluan

Beberapa abad terakhir, ketertarikan dunia penelitian terhadap material nano sangat meningkat pesat.

Material nano menjadi titik temu dalam bidang nanosains dan nanoteknologi. Bidang ini mampu menghasilkan suatu potensi untuk merevolusi dalam pembuatan material dan produk-produk lainnya. Material nano didefinisikan sebagai suatu bahan yang paling sedikit satu dimensinya lebih kecil dari 100 nm. Bila dibandingkan dengan material berukuran makro, tentu saja material nano dapat menghasilkan material baru yang memiliki sifat dan karakteristik yang lebih maju. Berdasarkan penelitian terdahulu, sifat-sifat yang dihasilkan material nano diantaranya sensitivitas terhadap suhu cukup tinggi, luas permukaan besar serta ketahanan regangan yang tinggi (Yang & Tighe, 2013). Sehingga, hal tersebut tentu dapat membuka ilmu pengetahuan yang lebih luas bagi para peneliti.

Diantara berbagai jenis material nano yang ada, serat nano menjadi salah satu yang paling banyak menarik minat dunia riset untuk terus dikembangkan. Serat didefinisikan sebagai suatu material yang berbentuk halus (benda dengan ukuran yang sangat kecil) dan memiliki perbandingan panjang dan diameter yang sangat besar.

Potensi besar yang dihasilkan oleh serat nano dapat dilihat dari sifat dan karakteristiknya seperti porositasnya yang dapat disesuaikan, luas permukaan yang besar, permeabilitas tinggi, serta resistansi yang rendah terhadap

---

* Corresponding author.

E-mail addres: (a)[email protected]; (b)[email protected]; (c)[email protected]

INSTRUMENTATION TECHNOLOGY

Journal Webpage https://jemit.fmipa.unila.ac.id/

(15)

perpindahan massa (Tang dkk., 2016). Selain itu, serat nano berpotensi besar untuk diapikasikan dalam berbagai bidang lebih luas seperti bidang industri, elektronik, kesehatan dan lain sebagainya.

Dalam beberapa tahun terakhir, serat nano TiO2 menjadi fokus utama dalam berbagai penelitian karena TiO2

bersifat tidak beracun sehingga sangat aman untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. TiO2 telah banyak dipelajari karena sifat umumnya yang menarik dalam berbagai aplikasi seperti sensor, sel surya, katalisis serta fotokatalisis (Haider dkk., 2019). Metode yang dapat dilakukan untuk sintesis TiO2 yaitu kopresipitasi (Parida &

Naik, 2009), sonokimia serta hidrotermal (Camposeco dkk., 2014). Namun, diantara beberapa metode tersebut hanya ada satu metode yang paling mudah dan mampu menghasilkan TiO2 dengan luas permukaan yang tinggi yaitu metode sol-gel (Nateq & Richardo, 2019). Selain karena mudah, keunggulan metode sol-gel lainnya adalah ramah lingkungan, proses sintesisnya sederhana serta biaya yang dibutuhkan relatif sedikit.

Saat ini, teknik electrospinning paling banyak digunaakn untuk produksi serat nano karena tekniknya sederhana dan efektif dalam pembuatan serat berbahan dasar polimer. Electrospinning merupakan teknik yang serbaguna serta mampu menghasilkan serat nano dengan diameter mulai dari 50 hingga 500 nm (Chronakis, 2005).

Meskipun electrospinning termasuk teknik yang sederhana, ada beberapa parameter penting yang perlu diperhatikan karena sangat mempengaruhi kualitas dari serat nano yang dihasilkan. Beberapa parameter tersebut diantaranya jarak antara pompa semprot dengan kolektor, diameter jarum, tegangan tinggi, laju aliran, kelembaban serta temperatur lingkungan (Krisnandika., 2017). Namun, parameter yang berpengaruh besar adalah konsentrasi larutan polimer. Apabila kekentalan larutan sangat rendah akan terbentuk kumpulan tetesan larutan pada serat sedangkan bila kekentalan sangat tinggi akan menghasilkan serat dengan diameter yang besar. Sehingga, diperlukan konsentrasi larutan yang sesuai untuk menghasilkan serat nano yang halus.

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh variasi polimer dan viskositas larutan terhadap pembentukan serat nano TiO2 menggunakan metode electrospinning.

Pengukuran viskositas menggunakan Viscometer Ostwald dengan nilai pembanding dari metanol. Karakterisasi yang dilakukan yaitu Scanning Electron Miscroscopy (SEM) untuk mengetahui morfologi serat nano TiO2. Selanjutnya, untuk meyakinkan bahwa pada serat nano terdapat TiO2 maka dilakukan analisis X-Ray Diffraction (XRD).

Kemudian, dilakukan karakterisasi Transmission Electron Microscopy (TEM) untuk mengetahui ukuran partikel dari serat nano TiO2.

2. Metode Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain Titanium Tetraisopropoksida (TTIP) (Mw = 284,22 g/mol, 97% Sigma-Aldrich) yang berperan sebagai prekursor, etanol (Mw = 46.07 g/mol, 99.5%, Sigma-Aldrich) sebagai pelarut, asam asetat (Mw = 60,05 g/mol, 100% Merck) sebagai dan polivinilpirolidon (PVP, K90, RRC).

Sintesis TiO2 dilakukan dengan metode sol-gel. Pengukuran kekentalan larutan serat nano TiO2 dengan Viscometer Ostwald dan pengukuran massa jenis dengan piknometer menggunakan nilai pembanding dari metanol.

Pembentukan serat nano TiO2 menggunakan alat electrospinning, selanjutnya hasil serat nano TiO2 yang dikalsinasi pada suhu 450 oC selama 3 jam dikarakterisasi menggunakan TEM dan XRD. Sedangkan, serat nano yang tidak dikalsinasi langsung dikarakterisasi menggunakan SEM.

2.1 Preparasi Sampel

Larutan polimer disiapkan melalui pencampuran serbuk PVP dengan variasi sebanyak 1,1; 1,2; 1,3; 1,4 dan 1,5 gram ke dalam etanol 8 mL, diaduk dengan magnetic stirrer selama 1 jam pada suhu ruang. Selama proses pengadukan sampel ditutup dengan plastik wrap agar terhindar dari zat-zat lain yang tidak diperlukan. Selanjutnya, sintesis TiO2 dengan metode sol-gel disiapkan melalui pencampuran TTIP 2,5 mL, etanol 3 mL dan asam asetat 3 mL dengan pengadukan selama 5 menit pada suhu ruang. Larutan serat nano TiO2 disiapkan dari larutan polimer yang dimasukkan ke dalam larutan TiO2 dan diaduk selama 1 jam. Kemudian dilakukan pengukuran kekentalan larutan (viskositas) serat nano TiO2 menggunakan Viscometer Ostwald dan piknometer dengan nilai metanol sebagai pembanding.

Proses pengukuran viskositas dilakukan denga memasukkan larutan serat nano TiO2 ke dalam viscometer hingga mencapai setengah tabung bola yang besar. Lalu, pada tabung bola yang kecil disedot menggunakan bulp hingga larutan naik melebihi garis paling atas. Saat bulp dilepas, dihitung waktu larutan turun mulai dari garis pertama hingga melewati garis kedua. Untuk mengetahui massa jenis larutan maka ditimbang massa piknometer kosong dan massa piknometer + larutan serat nano. Kemudian, perhitungan viskositas sampel diperoleh dengan Persamaan 2.1.

η = ηo t.ρ

too (2.1)

Dengan 𝜂 merupakan tingkat kekentalan sampel, 𝜂𝑜 merupakan kekentalan metanol, 𝑡 merupakan waktu aliran sampel, 𝜌 merupakan massa jenis sampel, 𝑡𝑜 merupakan waktu aliran metanol, 𝜌𝑜 merupakan massa jenis metanol.

2.2 Pembuatan Serat Nano TiO2

Pembentukan serat nano TiO2 menggunakan alat electrospinning dengan tegangan tinggi yang digunakan sebesar 20 kV dan arus listrik searah (DC). Jarak pompa semprot ke kolektor yaitu 13 cm dan laju alir larutan sebesar 1,5 mL/jam. Proses electrospinning disiapkan dengan melapisi kolektor dengan alumunium foil dan ditempelkan substrat berupa kaca preparat. Selanjutnya, larutan serat nano TiO2 dimasukkan ke dalam pompa semprot, lalu diletakkan ke dalam rangkaian electrospinning dan dihubungkan dengan kabel positif dari tegangan tinggi. Saat power supply dinyalakan maka tetesan setengah bola pada ujung pompa semprot akan meregang dan

(16)

berbentuk seperti kerucut (Taylor cone), selanjutnya ditarik menuju ke kolektor. Selama proses ini berlangsung, pelarut menguap dan serat nano akan terbentuk pada substrat.

2.3 Karakterisasi

Karakterisasi yang dilakukan pada penelitian ini antara lain Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk mengetahui morfologi serat nano TiO2, X-Ray Diffraction (XRD) untuk meyakinkan bahwa pada serat nano terdapat TiO2 sekaligus untuk mengetahui struktur kristal yang terbentuk pada serat dan Transmission Electron Microscopy (TEM) untuk mengetahui ukuran partikel dari serat nano.

3. Hasil Dan Pembahasan 3.1 Hasil Pengukuran Viskositas

Pengukuran viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan larutan dari kelima variasi sampel.

Viskositas larutan dapat dipengaruhi oleh berat molekul dan jumlah polimer yang digunakan. Hasil pengukuran viskositas yang diperoleh pada penelitian ini seperti ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Tabel 1. Hasil pengukuran kekentalan larutan serat nano TiO2.

Sampel PVP (g)

Massa metanol

(g/cm3)

Massa sampel (g/cm3)

Waktu alir metanol

(s)

Waktu alir sampel

(s)

Kekentalan metanol

(cP)

Kekentalan sampel

(cP)

A 1,1 0,7918 0,9217 20,14 2954,66 0,59 100,75

B 1,2 0,7918 0,9255 20,14 4821,57 0,59 165,09

C 1,3 0,7918 0,9289 20,14 6568,69 0,59 225,71

D 1,4 0,7918 0,9372 20,14 10991,42 0,59 381,12

E 1,5 0,7918 0,9343 20,14 13808,31 0,59 477,31

Hasil pengukuran viskositas berbanding lurus dengan konsentrasi polimer yang digunakan dalam larutan.

Tingkat kekentalan paling tinggi terjadi pada sampel E dikarenakan larutan polimer pada sampel E menggunakan PVP paling banyak, sehingga dihasilkan gel yang cukup kental. Jumlah polimer yang digunakan pada larutan pemintalan sangat berpengaruh terhadap kekentalan larutan.

3.2 Hasil Karakterisasi SEM

Karakterisasi SEM bertujuan untuk mengetahui morfologi yang dihasilkan dari serat nano TiO2. Sampel yang dikarakterisasi yaitu sampel B, C dan D. Analisis SEM dilakukan menggunakan perangkat lunak ImageJ dengan pengambilan 50 data diameter dari sebaran serat yang diplot. Pada umumnya, ukuran diameter serat nano dipengaruhi oleh parameter electrospinning serta konsentrasi larutan yang digunakan. Hasil analisis SEM disajikan pada Gambar 1.

D

C B

(17)

Gambar 1. Morfologi serat nano TiO2 (b) sampel B (c) sampel C dan (d) sampel D.

Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa serat nano telah berhasil terbentuk melalui proses electrospinning.

Berdasarkan Gambar 1, serat nano TiO2 telah tersebar secara merata dan ukuran serat yang dihasilkan cukup seragam. Namun, pada sampel C serat diplot pada bagian yang tidak tebal. Sehingga, menyebabkan serat yang teramati tidak tersebar secara merata. Dari hasil pengukuran diameter yang teramati dari sampe B, C dan D berada pada kisaran 94 nm hingga 735 µm. Rata-rata ukuran diameter yang diperoleh pada sampel B sebesar 312 ± 2,34 nm, sampel C sebesar 328 ± 3,08 nm dan sampel D sebesar 340 ± 2,49 nm. Peningkatan jumlah PVP dalam larutan pemintalan menyebabkan ukuran diameter serat yang dihasilkan menjadi lebih besar.

3.3 Hasil Karakterisasi XRD

Karakterisasi XRD dilakukan untuk mengidentifikasi struktur kristal serat nano TiO2. Analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode pencocokan data (search and match) bertujuan untuk mengamati kehadiran fasa kristal. Sampel yang dianalisis dengan XRD yaitu sampel B dikarenakan dari hasil analisis SEM sampel B memiliki rata-rata diameter terkecil. Hasil analisis kualitatif disajikan dalam bentuk difraktogram seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Difraktogram sampel B (Legenda: a = anatase, r = rutil) λ = 1,540598 Å.

Puncak-puncak kristal yang terbentuk dari serat nano TiO2 adalah fasa anatase dan rutil. Dari kedua fasa tersebut, yang muncul lebih dominan adalah fasa rutil. Dua puncak tertinggi yang teridentifikasi yaitu fasa anatase (COD 96-900-9087) pada sudut difraksi 25,34o dan fasa rutil (COD 96-900-1682) pada sudut difraksi 27,4o. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang meyatakan bahwa fasa anatase terbentuk pada sudut difraksi 25,3o (Manurung dkk., 2020) dan fasa rutil pada sudut difraksi 27,4o (Someswararao dkk., 2021).

Setelah dilakukan anailisis kualitatif, selanjutnya dilakukan analisis kuantitatif menggunakan metode Rietveld untuk mengetahui masing-masing persentase berat fasa. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan persentase berat fasa anatase sebesar 61,46 % dan fasa rutil 38,54 %. Data yang diperoleh dari metode Rietveld selanjutnya digunakan untuk menentukan ukuran partikel dengan mencari nilai FWHM (Full Width Half Maximum) dari puncak tertinggi pada sudut 2𝜃 (°). Hasil perhitungan partikel seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil perhitungan ukuran partikel.

Fasa K λ (nm) FWHM

(°) FWHM

(rad) 2θ (°) D (nm) Anatase

Rutil 0,94

0,94 0,15406

0,15406 0,2676

0,1840 0,0046

0,0032 25,34

27,48 31,78 46,42 3.4 Hasil Karakterisasi TEM

Karakterisasi TEM bertujuan untuk mengetahui ukuran partikel dari serat nano TiO2. Sampel yang dikarakterisasi yaitu sampel B. Analisis TEM dilakukan menggunakan perangkat lunak ImageJ. Hasil karakterisasi sampel dapat diamati pada Gambar 3.

(18)

Gambar 3. Hasil analisis TEM sampel B.

Berdasarkan hasil analisis TEM diperoleh ukuran partikel dari serat nano TiO2 berada pada kisaran 20 nm.

Dari Gambar 3 dapat diamati bahwa terdapat nanograins pada serat nano TiO2. Kemunculan nanograins bisa disebabkan oleh adanya peningkatan suhu pada proses kalsinasi. Berbagai ukuran nanograins diperoleh dengan mengubah durasi perlakuan panas. Ukuran nanograins sangat mempengaruhi kinerja dari serat nano yang dihasilkan. Serat nano yang terdiri dari nanograins yang lebih kecil menunjukkan sifat yang lebih unggul dibandingkan dengan serat nano yang lebih besar (Katoch dkk., 2015).

4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi PVP dalam larutan serat nano TiO2 sangat berpengaruh terhadap viskositas dan morfologi serat. Hasil analisis SEM menunjukkan ukuran diameter berada pada kisaran 94 nm hingga 735 µm. Untuk meyakinkan bahwa pada serat nano terdapat TiO2 selanjutnya dikonfirmasi oleh hasil XRD yang menunjukkan bahwa struktur kristal yang terbentuk pada serat nano yaitu fasa anatase dan rutil. Kemudian, dari hasil analisis TEM diketahui ukuran partikel berkisar 20 nm dan telah muncul nanograins pada serat nano TiO2.

5. Daftar Pustaka

Camposeco, R., Castillo, S., Centeno, I. M., Navarrete, J., & Gómez, R. (2014). Effect of The Ti/Na Molar Ratio on The Acidity and The Structure of TiO2 Nanostructures: Nanotubes, Nanofibers and Nanowires. Materials Characterization, 90, 113-120.

Chronakis, I. S. (2005). Novel nanocomposites and nanoceramics based on polymer nanofbers using electrospinning process—a review. Journal of Materials Processing Technology, 167(2-3), 283–293.

Haider, A. J., Jameel, Z. N., Al-Hussaini, I. H. M. (2019). Review on: Titanium Dioxide Applications. Energy Procedia, 157, 17-29.

Katoch, A., Choi, S. W., Kim, J. H., Lee, J. H., Lee, J. S., & Kim, S. S. (2015). Importance of The Nanograin Size on the H2S-Sensing Properties of ZnO–CuO Composite Nanofibers. Sensors and Actuators B: Chemical, 214, 111- 116.

Krisnandika, V. E. (2017). Produksi Nanofiber dan Aplikasinya dalam Pengolahan Air. Bandung: Bandung Institute of Technology.

Manurung, P., Situmeang, R., Sinuhaji, P., & Sembiring, S. (2020). Effect of Sulfur Doped Nanotitania for Degradation of Remazol Yellow and Phenol. Asian Journal of Chemistry, 32(12), 3019-3023.

Nateq, M. H., & Riccardo, C. (2019). Sol-Gel Synthesis of TiO2 Nanocrystalline Particles with Enhanced Surface Area Through The Reverse Micelle Approach. Advances in Materials Science and Engineering, 2019, 1-14.

Parida, K. M., & Naik, B. (2009). Synthesis of Mesoporous TiO2 Spheres by Template Free Homogeneous Coprecipitation Method and Their Photocatalytic Activity under Visible Light Illumination. Journal of Colloid and Interface Science, 333, 269–276.

Someswararao, M. V., Dubey, R. S., & Subbarao, P. S. V. (2021). Electrospun Composite Nanofibers Prepared by Varying Concentrations of TiO2/ZnO Solutions for Photocatalytic Applications. Journal of Photochemistry and Photobiology, 6, 1-7.

(19)

Tang, Z. S., Bolong, N., Saad, I., Ramli, R., & Lim, F. T. Y. (2016). Effect of Polyvinylpyrrolidone and Fabrication Parameters on Electrospun Titanium Oxide Nanofibers Diameter. Jurnal Teknologi, 78(12), 19-24.

Yang, G., Zifeng, Y., & Tiancun, X. (2012). Low-Temperature Solvothermal Synthesis of Visible-Light-Responsive S- Doped TiO2 Nanocrystal. Journal of Applied Surface Science, 258(8), 4016-4022.

Gambar

Gambar 5. hal. 6
Gambar 1. Diagram blok sistem hardware pemutuan buah nanas
Gambar 2. Sampel data citra buah nanas vaietas MD2
Gambar 4. Diagram alir pelatihan jaringan saraf tiruan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menyebutkan contoh kerusakan sumber daya hutan dan laut di Indonesia dan negara-negara ASEAN. Disajikan kasus kerusakan hutan di Indonesia, peserta didik dapat menganalisis 3

C.. 2) Bagaimana pengaruh petani dan pemuda terhadap kemenangan Dollah Mando dan faktor penyebab kekalahan Fatmawati Asis pada Pilkada Kabupaten Sidrap tahun

Bagian ini bermanfaat untuk mengaktifkan beberapa fungsi yang diperlukan dari paket tertentu, namun paket tersebut tidak bisa dipanggil secara keseluruhan karena

sebagian besar berada pada kelompok yang mempunyai pengasilan sedang yaitu 25 orang (78,1%). Hasil perhitungan statistik menggunakan uji Chi square di peroleh p- value

Sistem informasi yang memanfaatkan teknologi komputer juga diterapkan dalam proses akuntansi, yang disebut dengan Sistem Informasi Akuntansi (SIA) berbasis teknologi

Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 732/KPT/I/2018 tentang Izin Penyatuan dan Perubahan Bentuk Beberapa Perguruan Tinggi

No Prosedur Kegiatan Pelaksanaan Pengendalian Proses Produksi Keterangan Terlak -sana Tidak Juml- ah 1.. Melakukan Perbandinga n Produk Membandin gkan produk dengan

Sesuai dengan hasil observasi peneliti di lokasi penelitian, maka peneliti melihat bah- wa unsur pimpinan SKPD dalam hal ini Kepala Badan Perencanaan Pembangunan