• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.7 (Oktober 2020) Tema/Edisi : Filsafat Hukum, Politik Hukum dan Etika Profesi (Bulan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.7 (Oktober 2020) Tema/Edisi : Filsafat Hukum, Politik Hukum dan Etika Profesi (Bulan"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis Volume 1 Nomor 7 (Oktober 2020)

Tema Filsafat Hukum, Politik Hukum dan Etika Profesi (Bulan Kesepuluh)

Pemimpin Umum : Ivan Drago, S.H.

Editorial : Fazal Akmal Musyarri, S.H., M.H.

Desain : Jacky Leonardo

Kontributor : Adityadarma Bagus P.S.P.

Fazal Akmal Musyarri Moh. Rif’an

Distribusi : Andriani Larasati, S.H.

Okta Zeruya Samdra Pandapotan, S.H.

Redaksi Jurnal Hukum Lex Generalis Klinik Hukum Rewang Rencang

Jl. Borobudur Agung No.26 Malang, Kode Pos 65142 Telp: 087777844417

Email: jhlg@rewangrencang.com Website: Https://jhlg.rewangrencang.com/

Isi Jurnal Hukum Lex Generalis dapat Dikutip dengan Menyertakan Sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)

(3)

DAFTAR ISI

Adityadarma Bagus P.S.P. dkk.

Pandangan Filsafat Hukum Terkait dengan Etika Profesi ... 1

Fazal Akmal Musyarri

Anotasi atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter ... 20

Moh. Rif’an

Law as General Rule or Law as Conglomeration of Legal Decision ... 27

(4)

KATA PENGANTAR DIREKTUR UTAMA REWANG RENCANG

Puji Syukur kami panjatkan pada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat restunya salah satu karya kami yaitu Jurnal Hukum Lex Generalis (JHLG) telah mendapatkan ISSN (International Standard Serial Number). Semoga ini dapat menjadi pemantik sengat bagi para reviewer dan penulis untuk terus memberikan karya terbaiknya.

JHLG kali ini membahas mengenai Filsafat Hukum, Politik Hukum dan Etika Profesi yang bertepatan dengan perayaan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober yang cukup kontemplatif hawanya. Dalam jurnal kali ini akan dibahas lebih lanjut oleh penulis-penulis dengan ide terbaik yang tentunya telah direview terlebih dahulu oleh mitra bestari Jurnal Hukum Lex Generalis. Semoga apa yang disajikan relevan, dan dapat memberi masukan positif bagi para pembaca.

Malang, 31 Oktober 2020

Ivan Drago, S.H.

CEO Rewang Rencang

(5)

KATA PENGANTAR EDITORIAL

Selamat bahagia para pembaca, rekan sivitas akademika, praktisi dan masyarakat umum pemerhati hukum. Selamat datang di Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Jurnal ini kami buat sebagai bentuk dedikasi kami terhadap dunia keilmuan hukum untuk menampung karya-karya tentang Hukum.

Adapun lima tujuan utama Jurnal Hukum Lex Generalis sebagai berikut:

1. Sebagai wadah penampung karya yang berhubungan dengan ilmu hukum;

2. Sebagai sarana memperluas wawasan pemerhati hukum;

3. Sebagai glosarium, ensiklopedia atau kamus umum ilmu hukum;

4. Sebagai garda rujukan umum untuk keperluan sitasi ilmiah;

5. Sebagai referensi ringan terkhusus bagi sivitas akademika yang berbahagia.

Kami sangat senang jika anda sekalian dapat memanfaatkan wawasan dan ilmu yang termuat dalam Jurnal ini. Sebagai penutup, Editorial berterimakasih banyak kepada para pihak yang telah mensukseskan Jurnal Hukum Lex Generalis yang terbit pada bulan Oktober 2020 bertema “Filsafat Hukum, Politik Hukum dan Etika Profesi” dan akan terbit setiap bulan dengan tema atau topik berbeda, semoga dapat berlanjut hingga kesempatan berikutnya.

Malang, 31 Oktober 2020

Fazal Akmal Musyarri, S.H., M.H.

Dewan Editorial RR : JHLG

(6)

Undangan untuk Berkontribusi

Dewan Editorial Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis mengundang para akademisi hukum, praktisi hukum, pemerhati hukum dan masyarakat umum untuk menyumbang karya-karyanya baik berupa makalah, opini hukum, esai, dan segala bentuk karya tulis ilmiah untuk dimuat dalam edisi-edisi JHLG dengan

tema berbeda setiap bulannya. Untuk informasi lebih lanjut silahkan akses:

Https://jhlg.rewangrencang.com/

(7)

PANDANGAN FILSAFAT HUKUM TERKAIT DENGAN ETIKA PROFESI Adityadarma Bagus P.S.P, Dona Sri Sunardi Wijayanti, Irene Fransisca

Liemanto, Qonrezti Shebilla Kalia dan Andika Cahyo Bintoro

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Korespondensi Penulis : adityadarmabpsp@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

P.S.P., Adityadarma Bagus, dkk.. Pandangan Filsafat Hukum Terkait dengan Etika Profesi.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.7 (Oktober 2020).

ABSTRAK

Beberapa contoh kasus penelantaran klien oleh advokat nakal atau advokat hitam menjadi refleksi bahwasannya pengaturan mengenai kode etik untuk profesi advokat di Indonesia belum berjalan dengan sebagaimana mestinya. Hal ini menjadi urgensi perdana bahwasannya etika profesi merupakan hal yang berperan penting dalam penegakan kedisiplinan, kehormatan serta keluhuran dari suatu profesi secara umum, baik perkumpulan maupun individu yang berprofesi sebagai advokat. Kemudian, kode etik sebagai bentuk dari etika profesi tersebut tidak hanya berhenti di tataran pemikiran maupun teori, melainkan juga harus diterapkan secara praktek di lapangan. Etika profesi menurut kajian komprehensif filsafat hukum sangat diperlukan untuk menegakkan marwah profesi advokat baik dari hulu hingga ke hilir, terutama ketika membahas mengenai moralitas. Dalam tulisan ini, penulis mengambil contoh kasus Joko Sriwidodo sebagai gambaran.

Kata Kunci: Etika Profesi, Filsafat Hukum, Kode Etik Advokat, Moralitas

(8)

A. PENDAHULUAN

Filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis.

Hukum dikaji dalam pendekatan hakikat hukum, seluk-beluk hukum dan tujuan hukum. Filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum.

Apeldoorn (1985) mengajukan tiga pertanyaan berkaitan dengan filsafat hukum, yaitu:

1. apakah pengertian hukum yang berlaku umum?

2. apakah dasar kekuatan mengikat dari hokum? dan 3. apakah yang dimaksud dengan hukum kodrat?

Lili Rasyidi (1990) menyebutkan beberapa masalah-masalah filsafat hukum, antara lain meliputi:

1. hubungan hukum dan kekuasaan;

2. hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya;

3. apa sebab negara berhak menghukum seseorang;

4. penyebab orang menaati hukum;

5. masalah pertanggungjawaban;

6. masalah hak milik;

7. masalah kontrak; dan

8. masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

Filsafat hukum sering diidentikkan dengan yurispredence yang diajarkan di fakultas-fakultas hukum di Amerika Serikat. Istilah Jurisprudence (Bahasa Inggris) atau Jurisprudenz (Bahasa Jerman) dipopulerkan oleh penganut aliran positivisme hukum. Kata Jurisprudence harus dibedakan dengan kata yurispudensi sebagaimana dikenal dalam sistem hukum Indonesia dan/atau Eropa Kontinental. Istilah yurisprudensi menunjuk pada putusan hakim yang diikuti dan dianut oleh hakim-hakim lain.

Huijbers (1988) menyatakan di Inggris, Jurisprudence berarti ajaran atau ilmu hukum. Bagi penganut positivisme yuridis, kata yurisprudensi diartikan sebagai suatu kepandaian dan kecakapan yang berada dalam batas ilmu hukum.

Dengan pandangan Huijbers tersebut, pengertian filsafat hukum adalah pemikiran mendalam dan penuh kecerdasan tentang hukum yang dilakukan secara sistematis, logis, kritis, radikal, kontemplatif dan rasional.1

1 H.M. Efran Helmi Juni, Filsafat Hukum, Penerbit CV Pustaka Setia, Bandung, 2012, Hlm.77-78.

(9)

Adapun ruang lingkup materi yang akan dibahas dalam tulisan ini terkait pandangan Filsafat Hukum terkait dengan Etika Profesi antara lain meliputi:

1. Definisi Etika dan Definisi Etika Profesi;

2. Definisi Filsafat dan Filsafat Hukum;

3. Macam-macam Etika Profesi; dan

4. Pembahasan Bakal Tesis dasi sisi Pelanggaran Kode Etik Profesi.

Hal ini menjadi penting untuk dibahas karena menurut Mochtar Kusumaatmadja, materi Filsafat Hukum berperan untuk menempatkan hukum dalam tempat dan perspektif yang tepat sebagai bagian dari usaha manusia menjadikan dunia ini suatu tempat yang lebih pantas untuk didiaminya.

B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Etika

Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (Bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat.2 Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai “the discipline which can act as the performance index or reference for our control system”. Etika sendiri merupakan refleksi dari apa yang disebut sebagai “self control”.

Sedangkan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah:

a. Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral;

b. Kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak;

c. Nilai mengenai yang benar dan salah yang dianut masyarakat.

Nilai-nilai etika harus diletakkan sebagai landasan atau dasar pertimbangan dalam setiap tingkah laku manusia termasuk kegiatan di bidang keilmuan. 2

“Nilai" dimaksudkan kondisi atau kualitas suatu benda atau suatu kegiatan yang membuat eksistensinya, pemilikannya, atau upaya mengejarnya menjadi sesuatu yang diinginkan oleh individuindividu masyarakat. Nilai tidak selalu bersifat subjektif, karena ia tetap mengacu pada konteks sosial yang membentuk individu dan yang pada gilirannya dipengaruhi olehnya. Aspek nilai inilah yang menjadikan etika sebagai suatu teori mengenai hubungan antar pribadi dan membedakannya dari nilai-nilai intelektual atau estetis semata-mata.

2 Suhrawadi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2012, Hlm.29.

(10)

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional, diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita.

Menurut para ahli, makna etika tidak lain adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani Ethos yang menurut Drs. O.P. Simorangkir adalah etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berperilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. Sedangkan menurut Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat, etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal. Sedangkan menurut Drs. H.

Burhanudin Salam, etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.

Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia.

Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Hal itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu dan seharusnya kita lakukan dan yang perlu kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita. Sehingga dengan demikian, etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.

(11)

Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama, yaitu:

a. Etika Deskriptif, yaitu etika yang meneropong secara kritis dan rasional sikap dan perilaku manusia dan apa yang dikejar manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberi fakta sebagai dasar mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang diambil.

b. Etika Normatif, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.

Etika secara umum dapat dibagi menjadi :

a. Etika Umum, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori etika dan prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik buruknya suatu tindakan. Etika umum dianalogkan sebagai ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.

b. Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud: Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud:

Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis, cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tindakan dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.

Etika Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian:

a. Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.

b. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.

(12)

Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia dan ideologi-ideologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup. Dengan sedemikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial ini terbagi atau terpecah menjadi banyak bagian atau bidang. Pembahasan bidang yang paling aktual saat ini antara lain:

a. Sikap terhadap sesama;

b. Etika keluarga;

c. Etika profesi;

d. Etika politik;

e. Etika lingkungan; dan f. Etika ideologi.

Dari sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa Etika Profesi merupakan bidang etika khusus atau terapan yang merupakan produk dari etika sosial.

Sistem Penilaian Etika:

a. Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, adalah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila.

b. Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi sifat baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak atau budi pekerti.

Budi tumbuhnya dalam jiwa, bila telah dilahirkan dalam bentuk perbuatan namanya pekerti. Jadi suatu budi pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari dalam jiwa; dari semasih berupa angan-angan, cita-cita, niat hati, sampai ia lahir keluar berupa perbuatan nyata.

c. Drs. Burhanuddin Salam menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan di nilai pada tiga tingkat, meliputi:

1) Tingkat pertama, semasih belum lahir menjadi perbuatan, jadi masih berupa rencana dalam hati atau disebut niat.

2) Tingkat kedua, setelah lahir menjadi perbuatan nyata, yaitu pekerti.

3) Tingkat ketiga, akibat atau hasil perbuatan tersebut, yaitu berbentuk baik atau buruk.

(13)

Dari sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa Etika Profesi merupakan bidang etika khusus atau terapan yang merupakan produk dari etika sosial. Kata hati atau niat biasa juga disebut karsa atau kehendak, kemauan, will. Dan isi dari karsa inilah yang akan direalisasikan oleh perbuatan. Dalam hal merealisasikan ini ada empat variabel yang terjadi, yaitu:

a. Tujuan baik, tetapi cara untuk mencapainya yang tidak baik.

b. Tujuannya yang tidak baik, cara mencapainya kelihatan baik.

c. Tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak baik.

d. Tujuannya baik, dan cara mencapainya juga terlihat baik.

a. Etika Profesi

Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai “the discipline which can act as the performance index or reference for our control system”.

Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya.

Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat dibutuhkan akan difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan, demikian etika ialah refleksi dari apa yang disebut dengan

“self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat (sesama profesi sendiri).

Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan kehlian (Wignjosoebroto, 1999).

(14)

Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai- nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elit profesional ini.

Adapun prinsip-prinsip etika profesi adalah meliputi:

1) Tanggung Jawab

a) Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.

b) Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat umumnya.

2) Keadilan

Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya.

3) Otonomi

Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan diberi kebebasan dalam menjalankan profesinya.

b. Etika dan Kode Etik Profesi Hukum

Kata profesi dan professional sesungguhnya memiliki beberapa arti. Profesi dalam percakapan sehari-hari dapat diartikan sebagai pekerjaan tetap untuk memperoleh nafkah, baik legal maupun tidak. Dalam artian lebih teknis, profesi diartikan sebagai setiap kegiatan tertentu untuk memperoleh nafkah yang dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi, dengan imbalan bayaran yang tinggi.3 Menurut Parsons, pengertian profesi adalah “professional bukanlah kapitalis, pekerja (buruh), administrator pemerintah, birokrat, maupun petani pemilik tanah. Batas lingkup profesi sebagai institute tidak jelas dan tegas.

3 Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, Hlm.88.

(15)

Dalam kenyataannya, terdapat kelompok-kelompok marginal yang status keprofesionalannya “ekuivokal”. Namun demikian, kriteria inti untuk mengkualifikasikan suatu okupasi sebagai suatu profesi mensyaratkan terdapatnya pendidikan teknik yang formal. Selain itu juga dilengkapi dengan cara pengujian yang terinstitusikan dan kompetensi orang-orang hasil didikannya.

Kriteria yang kedua adalah penguasaan tradisi kultural dalam menggunakan keahlian tertentu serta keterampilan dalam penggunaan tradisi tertentu. Dalam lingkungan suatu profesi, berlaku suatu sistem nilai yang berfungsi sebagai standar normatif yang harus menjadi kerangka orientasi dalam pengembangan profesi yang bersangkutan. Kriteria ketiga adalah, untuk menjamin bahwa kompetensi dari suatu kompleks okupasi (sistem sosial pekerjaan) akan digunakan dengan cara-cara yang secara sosial bertanggung jawab, maka haruslah memiliki sejumlah sarana institusional, berupa organisasi profesi, etika, kode etik profesi dan prosedur penegakannya, serta cara rekrutasi pengemban profesi.

Sedangkan menurut Dietrich Rueschemeyer, profesi adalah pekerjaan pelayanan yang menerapkan seperangkat pengetahuan sistematika (ilmu) pada masalah-masalah yang sangat relevan bagi nilai-nilai utama dari masyarakat.

Masyarakat awam tidak mampu menilai karya professional. Oleh karena itu, dibutuhkan pengendalian diri secara individual bagi para pengemban profesi untuk tetap berpegang kuat pada nilai-nilai dan norma-norma yang menjiwai tugas para pengemban profesi. Nilai-nilai dan norma-norma ini kemudian diinstitusionalisasikan dalam struktur dan kultur dari profesi yang bersangkutan, sehingga pengendalian secara individual itu diperkuat oleh pengawasan formal dan informal oleh komunitas sejawat. Sebagai imbalannya, masyarakat memberikan privilese dan melindungi otonomi profesi terhadap pengawasan dan campur tangan golongan awam.

Berdasarkan kedua uraian tersebut dapat kita tarik rumusan pengertian profesi. Bahwasannya profesi adalah pekerjaan tetap berupa pelayanan (Service Occupation). Pelaksanaannya dijalankan dengan menerapkan pengetahuan ilmiah dalam bidang tertentu, dihayati sebagai suatu panggilan hidup, serta terikat pada etika umum dan etika khusus (etika profesi) yang bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia.

(16)

Dari pengertian ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu fungsi kemasyarakatan tertentu. Ada lima sistem okupasi yang dapat dikualifikasi sebagai profesi dalam pengertian ini, yakni keimanan (ulama), kedokteran, hukum, jurnalistik dan pendidikan. Kelimanya berkaitan langsung dengan martabat manusiawi dalam keutuhannya, berupa relasi dengan yang transenden kepastian hukum yang berkeadilan, informasi yang relevan dan solidaritas yang dinamis kreatif. Berkaitan dengan profesi hukum sendiri berkaitan dengan masalah mewujudkan dan memelihara ketertiban yang berkeadilan di dalam kehidupan bermasyarakat. Penghormatan terhadap martabat manusia merupakan titik tolak atau landasan bertumpunya atau tujuan akhir dari hukum.

Untuk mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, hukum merupakan sarana yang mewujud dalam berbagai kaidah perilaku kemasyarakatan yang disebut kaidah hukum. Keseluruhan kaidah hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tersusun dalam suatu sistem yang disebut tata hukum. Ada dan berfungsinya tata hukum dengan kaidah-kaidah hukumnya serta penegakannya merupakan produk dari perjuangan manusia dalam upaya mengatasi masalah- masalah kehidupan. Dalam dinamika kesejahteraan manusia, hukum dan tata hukumnya tercatat sebagai salah satu faktor yang sangat penting dalam proses pengadaban dan penghalusan dari budi manusia.

Salah satu fungsi kemasyarakatan agar kehidupan manusia tetap bermartabat adalah dengan menyelenggarakan dan menegakkan ketertiban yang berkeadilan dalam kehidupan bersama sebagai suatu kebutuhan dasar manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari pada tingkat peradaban yang telah majemuk, fungsi kemasyarakatan penyelenggaraan dan penegakan ketertiban yang berkeadilan ini diwujudkan dalam profesi hakim. H.F.M Crombag dalam makalahnya yang berjudul “Notities Over De Juridische Opleiding (1972)” mengklasifikasikan peran kemasyarakatan profesi hukum itu ke dalam empat bidang karya hukum, yakni penyelesaian konflik secara formal (peradilan), pencegahan konflik (Legal Advice), penyelesaian konflik secara informal, dan penerapan hukum di luar konflik. Jabatan-jabatan seperti hakim, advokat dan notaris termasuk profesi hukum masa kini yang mewujudkan bidang karya hukum secara khas

(17)

1) Hakim

Untuk menyelesaikan konflik kepentingan yang sering terjadi dalam masyarakat dengan baik dan secara teratur demi terpeliharanya ketertiban yang berkedamaian didalam masyarakat, diperlukan adanya suatu institusi (kelembagaan) khusus yang mampu menyelesaikan masalah secara tidak memihak (imparsial) dengan berlandaskan patokan-patokan yang berlaku secara objektif. Dalam negara modern, penyelesaian konflik ini dilakukan melalui proses formal yang panjang yang dimulai dengan perang tanding dan “Goodsoordeel”

(Ordeal) melalui penyelesaian oleh pimpinan masyarakat lokal, dengan berdasarkan pada kepastian yang berkeadilan.

Dari sini, terbentuklah institusi peradilan lengkap dengan aturan-aturan yang prosedural dan jabatan-jabatan yang berkaitan, yaitu hakim, advokat dan jaksa.

Disini, tugas hakim adalah sebagai pemberi keputusan dalam setiap perkara (konflik) yang dihadapkan kepadanya. Menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum, nilai hukum daripada perilaku serta kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.

Untuk dapat menyelesaikan konflik secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, para hakim harus selalu mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk pemerintah sekalipun dalam mengambil keputusan. Para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya. Seperti yang dikatakan Mochtar Kusumaatdja, hakim memiliki kekuasaan yang besar terhadap para pihak berkenaan dengan masalah atau konflik-konflik yang dihadapkan kepadanya.

2) Advokat

Pada dasarnya, terdapat dua tugas pokok advokat, yakni memberikan nasihat hukum untuk menjauhkan klien dari konflik dan mengajukan atau membela kepentingan klien di pengadilan. Peran utama seorang advokat pada saat berpekara di pengadilan adalah mengajukan berbagai fakta dan pertimbangan yang relevan dari sudut pihak kliennya sehingga memungkinkan bagi hakim untuk menetapkan keputusan yang adil. Profesi advokat pada dasarnya dapat berperan pada semua bidang karya hukum. Sehingga pada dasarnya, etika profesi hakim juga berlaku bagi para advokat.

(18)

Uraian diatas merupakan gambaran profesi dan profesi hukum dalam bentuk ideal. Dalam kenyataan konkret, hampir tidak ada sesuatu yang dapat adil dan ideal seutuhnya. Karenanya, seringkali kita menemukan penyimpangan- penyimpangan atau pengkhususan-pengkhususan. Namun jika kita menemukan kasus penyimpangan yang cukup jauh serta mencakup banyak aspek dan meluas sekali, maka mungkin kita dapat berpekara tentang krisis atau perubahan fundamental dengan segala akibat kemasyarakatannya.

2. Definisi Filsafat dan Filsafat Hukum a. Definisi Filsafat Hukum

Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena upaya pemikiran dan penyelidikan secara mendalam secara krisis sampai ke akar persoalan. Menurut Plato, Filsafat adalah ilmu yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang sebenarnya. Sedangkan menurut Notonegoro, Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yg mutlak, yang tetap tidak berubah, yang disebut hakekat. Sedangkan menurut Hasbullah Bakry, Filsafat ialah ilmu yang meneliti secara mendalam mengenai ketuhanan, manusia dan alam semesta untuk menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana alam dapat dicapai sejauh pikiran manusia dan bagaimana perilaku manusia yang seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.

Filsafat Hukum ingin mendalami “hakekat” dari hukum. Berarti filsafat hukum ingin memahami hukum sebagai penampilan atau manifestasi dari sesuatu yang melandasinya, dan hukum adalah sebagai suatu bagian dari “kenyataan”.

Filsafat hukum sangat menentukan pembentukan produk hukum. Setidaknya, kita sadar bahwa hukum dibentuk karena pertimbangan keadilan disamping sebagai kepastian hukum dan kemanfaatan.4 Karena objek filsafat hukum adalah hukum itu sendiri, maka masalah atau pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum berkaitan dengan hukum juga seperti hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dengan hukum positif, sebab orang menaati hukum, tujuan hukum sampai pada masalah kontemporer seperti masalah hak asasi manusia, keadilan, hingga termasuk juga etika profesi hukum.

4 Zulkarnaen, Dinamika Sejarah Hukum dari Filosofi Hingga Profesi Hukum, CV Pustaka Setia, Bandung, 2018, Hlm.14.

(19)

Pada hakekatnya, filsafat dan filsafat hukum berada dalam suatu keutuhan.

Adapun sifat yang melekat pada keduanya adalah5:

a. Bersifat universal, artinya berpikir tentang hal-hal serta proses-proses yang bersifat umum;

b. Bersifat spekulatif, persoalan yang dihadapi melampaui batas-batas pengetahuan ilmiah, yaitu dengan membuat tekanan yang cerdik tentang hal-hal yang ada di luar pengetahuan sekarang;

c. Bersangkutan dengan nilai, persoalan kefilsafatan bertalian dengan keputusan tentang penilaian moral, estetika, agama dan sosial;

d. Bersifat kritis, filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep dan arti yang diterima oleh ilmuwan tanpa pemeriksaan secara kritis;

e. Bersifat implikatif, jika suatu persoalan filsafat sudah terjawab, jawaban tersebut memunculkan persoalan baru yang saling berhubungan; dan f. Berpikir secara radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya.

Manfaat dari mempelajari dan memahami filsafat hukum antara lain ialah6: a. Manfaat ideal: manfaat ini dapat ditemukan oleh orang yang mempelajari

filsafat hukum, terutama terhadap pemahamannya tentang eksistensi manusia dan kemanusiaannya dalam dinamika kehidupan;

b. Manfaat praktis: dengan mengkaji filsafat hukum dapat membuat setiap manusia mampu menggali, mengolah dan memanfaatkan setiap potensi atau sumber daya yang ada, baik yang ada dalam diri maupun yang terdapat di luat dirinya, melalui gerak menuju tingkat yang lebih baik;

c. Manfaat rill: yakni manfaat yang mengantarkan menusia pada sebuah pengertian dan bijaksana pada kebijaksanaan hidup untuk menerima kenyataan yang ada pada masa ini terlepas dari masa lalu dan yang akan datang, dari pengalaman dan ide pada harapan yang menuntun manusia untuk menyadari ketidaksadarannya dan menerima keberadaannya.

Untuk dapat melihat lebih jelas mengenai sifat dan manfaat filsafat hukum, dapat dilihat dalam tabel berikut7:

Sifat dan Manfaat dari Filsafat Hukum

Menyeluruh Diharapkan tidak bersifat arogan atau apriori dalam pembentukan hukum, penemuan hukum dan dalam pengambilan keputusan

Mendasar Diajak memahami hukum dalam arti hukum positif semata Spekulasi Berpikir inovatif tentang hukum

Reflektif Krisis Membimbing untuk menganalisis masalah hukum secara rasional dan mempertanyakan jawaban secara terus-menerus Disiplin Mampu menegaskan permasalahan yang ada

Berupaya untuk Sempurna

Menyimak keraguan dalam diri kita

5 Zulkarnaen, Dinamika Sejarah Hukum dari Filosofi Hingga Profesi Hukum, CV Pustaka Setia, Bandung, 2018, Hlm.15

6 Zulkarnaen, Ibid., Hlm.21.

7 Zulkarnaen, Ibid., Hlm.22.

(20)

3. Hubungan Filsafat Hukum dengan Moral

Pemikiran mengenai hubungan hukum dan moral bermuara pada dua alur yang bertolak belakang, yaitu pemikiran yang mengakui adanya hubungan hukum dan moral dan pemikiran yang mengingkari hubungan di antara kedua kaidah itu.

Pemikiran yang mengakui adanya hubungan hukum dan moral diwakili oleh mahzab hukum kodrat, sedangkan pemikiran yang mengingkari hubungan itu adalah postivisme. Dalam konteks adanya hubungan antara hukum dengan moral, terdapat tiga pola hubungan hukum dan moral yaitu hukum merupakan bagian dari sistem ajaran moral agama atau idiologi, hukum merupakan derivasi dari prinsip-prinsip moral umum, dan persinggungan antara hukum dengan moral.

Adanya hubungan antara hukum dan moral melahirkan relasi fungsional yang resiprokal antara kedua entitas tersebut dalam pembentukan hukum dan penegakan hukum. Fungsi moralitas terhadap hukum meliputi sumber etik (nilai) pembentukan hukum positif, sumber kaidah bagi hukum positif, instrumen evaluatif bagi substansi kaedah hukum, dan sumber rujukan justifikasi bagi penyelesaian kasus-kasus hukum yang tidak jelas aturan hukumnya. Fungsi hukum terhadap moral terdiri dari fungsi mentransformasikan kaidah-kaidah moral yang bersifat individual menjadi kaidah hukum yang bersifat sosial dengan dukungan sanksi tertentu, memperkokoh nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan kaidah- kaidah moral, membentuk moralitas baru dalam masyarakat, dan sarana untuk menegakkan nilai-nilai, prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah moral dalam tatanan kehidupan sosial. Dalam wacana tidak adanya hubungan antara hukum dan moral, terdapat beberapa perbedaan di antara keduanya, meliputi perbedaan tujuan, perbedaan substansi aturan, perbedaan asal usul kaidah, perbedaan instrumen penegakan, perbedaan daya kerja dan perbedaan ruang lingkup pengaturan.

Etika adalah ilmu pengetahuan, karena etika yang merupakan nilai-nilai dari moralitas kemanusiaan. Sehingga dalam pendalaman mencari nilai-nilai tersebut maka etika merupakan filsafat ilmu. Etika selain dari pada bagian dari ilmu pengetahuan atau bagian dari filsafat ilmu, juga merupakan panduan dari nilai- nilai terhadap tata cara individu, masyarakat maupun bernegara. Setiap kehidupan itu perlu suatu etika agar nilai-nilai moralitas dapat terjaga di dalam kehidupan itu sendiri. Selain itu, etika dalam pandangan agama Islam merupakan akhlak.

(21)

Akhlak yang harus dijaga oleh setiap individu agar hubungan baik antar individu maupun hubungan dengan Penciptanya terjalin dalam suatu keharmonisan.

Hubungan etika dengan ilmu adalah merupakan pembatasan agar pemikiran manusia yang haus akan kebenaran dapat terjaga dan tidak sampai keluar dari norma-norma yang seharusnya tetap dipertahankan. Karena itulah, akal yang dibebaskan akan mengarah kepada kesesatan.

4. Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia

Dalam beberapa rentan waktu sejak tahun 2014 hingga 2018, sudah terdapat sederet kasus pelanggaran kode etik advokat yang merugikan klien mereka sehingga para advokat ini diberikan sanksi mulai dari peringatan hingga pemberhentian atau dikeluarkan dari organisasi PERADI. Dapat kita ambil salah satu contoh pada tahun 2014 muncul di media online Tribun News, seorang advokat yang bernama Joko Sriwidodo, advokat tersangka kasus suap yakni mantan hakim Setyabudi Tedjocahyono, yang diberi sanksi diberhentikan secara tetap dari profesi advokat. Pemberhentian Joko Sriwidodo diputuskan dalam sidang kode etik advokat yang digelar oleh Dewan Kehormatan Daerah PERADI DKI Jakarta, Jumat (21/3/2014).8

Joko Sriwidodo dinyatakan melanggar sumpah advokat seperti diatur dalam Pasal 4 ayat (2) jo Pasal 6 huruf a dan f Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Pasal 4 huruf b, c, d, e Kode Etik Advokat Indonesia.

Berikut isi dari pasal yang dilanggar:

 Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat:

Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang mana lafalnya adalah sebagai berikut:

 “Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji:

 Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;

 Bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga;

8 Tribun News, PERADI Berhentikan Joko Sriwidodo sebagai Pengacara, diakses dari http://www.tribunnews.com/nasional/2014/03/22/peradi-berhentikan-joko-sriwidodo-sebagai- pengacara.

(22)

 Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;

 Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara klien yang sedang atau akan saya tangani;

 Bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;

 Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.

 Pasal 6 huruf a dan f Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat:

a. Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;

b. Melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

 Pasal 4 huruf b, c, d, e Kode Etik Advokat Indonesia:

a. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya.

b. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.

c. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien.

d. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.

Majelis Dewan Kehormatan PERADI DKI Jakarta dipimpin oleh Alex R.

Wangge sebagai Ketua Majelis. Majelis kemudian menghukum teradu diberhentikan tetap dari profesi advokat untuk tidak menjalankan profesi advokat baik di dalam atau di luar pengadilan. Selain itu, Majelis juga menghukum Joko Sriwidodo untuk membayar denda sebesar Rp.3.500.000,00.

(23)

Menurut Ketua Majelis Alex R Wange, Joko Sriwidodo dianggap tidak menjalankan tugasnya sebagai advokat secara baik atau melanggar kode etik sebagai advokat saat mendampingi kliennnya, terdakwa Setyabudi dalam kasus suap terkait kasus korupsi Bansos Bandung. Joko Sriwidodo dinyatakan telah menelantarkan Setyabudi, seperti tidak membuatkan nota pembelaan (pledoi), tidak hadir saat Setyabudi diperiksa, dan jarang hadir dalam persidangan. Padahal, Joko sudah menerima honorarium yang cukup tinggi.

Menurut Ketua Majelis Alex R. Wange, semua pekerjaan dikerjakan oleh anak buah Joko Sriwidodo. Joko banyak memberi janji kepada Setyabudi, seperti janji akan dihukum ringan dan memindahkan tempat sidang yang bukan wewenangnya. Janji seperti itu dilarang Kode Etik Advokat Indonesia. Mengenai pemindahan tempat sidang, Joko Sriwidodo menjanjikan kliennya akan dipindahkan dari Pengadilan Negeri Bandung menjadi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. PN Bandung adalah bekas kantor Setyabudi saat menjabat Wakil Ketua Pengadilan sekaligus lokasi tertangkap tangan atau serah-terima suap oleh Setyabudi dan tersangka Asep Triana, orang suruhan tersangka Toto Hutagalung.

Atas keputusan ini, para pihak diberi kesempatan mengajukan banding selama 21 hari sejak diterimanya putusan ke Dewan Kehormatan Pusat PERADI.

Alex didampingi Sirjon Pinem, Marsaulina Manurung, Fathurin Zen, Nengah Dharma selaku anggota majelis. Kuasa hukum Joko Sriwidodo yakni Bangun Patriyanto mengatakan akan mempelajari dulu semua isi keputusan itu. Soalnya, pihaknya belum mengetahui secara lengkap pertimbangan keputusan pemberhentiannya itu. Sedangkan istri Setyabudi yakni Lulu mengaku puas dengan keputusan pemecatan itu. Sebab, dirinya merasa dipermainkan oleh Joko Sriwidodo saat menangani kasus suaminya.

Contoh kasus diatas merupakan salah satu pelanggaran kode etik penelantaran klien yang perlu dijadikan pembelajaran kepada setiap advokat maupun calon advokat supaya tidak sampai terjadi hal-hal yang dapat merigukan klien dan dapat memperburuk citra seorang advokat yang merupakan Officium Nobile atau profesi yang terhormat. Hal inilah yang menurut filsafat hukum dikaji sebagai urgensi dari etika profesi terutama untuk profesi hukum. Karena pada hakikatnya, kode etik membuat advokat tidak akan merugikan kliennya.

(24)

C. PENUTUP

Filsafat hukum adalah pemikiran mendalam dan penuh kecerdasan tentang hukum yang dilakukan secara sistematis, logis, kritis, radikal, kontemplatif dan rasional. Hal inilah yang juga perlu diterapkan dalam etika profesi yang merupakan upaya untuk menjaga marwah suatu profesi agar tetap baik di mata masyarakat khususnya dalam menjalankan tugasnya. Termasuk juga dalam hal ini berlaku untuk etika profesi hukum misalnya profesi advokat. Dalam menjalankan kegiatan profesinya, advokat memiliki Kode Etik Advokat Indonesia yang merupakan pengejawantahan dari etika profesi hukum. Dalam konteks filsafat hukum, kode etik profesi memegang peranan penting untuk menjaga kualitas profesi advokat dari hulu hingga ke hilir. Kasus Joko Sriwidodo yang

“dibebastugaskan” dari profesi advokat merupakan refleksi sekaligus apresiasi. Di satu sisi, menjadi refleksi bersama karena ternyata kode etik advokat tidak mampu mencegah terjadinya penyimpangan dalam profesi advokat seperti penelantaran klien. Sedangkan di sisi lain, perlu diapresiasi Majelis Dewan Kehormatan PERADI yang telah menjaga keluhuran profesi advokat dengan memberi sanksi tegas kepada Joko Sriwidodo yang telah mencoreng nama baik profesi advokat sebagai Officium Nobile atau profesi yang terhormat.

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Juni, H.M. Efran Helmi. 2012. Filsafat Hukum. (Bandung: Penerbit CV Pustaka Setia).

Kode Etik Advokat Indonesia.

Lubis, Suhrawadi K.. 2012. Etika Profesi Hukum. (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika).

Rasjidi, Lili. 2007. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti).

Tribun News. PERADI Berhentikan Joko Sriwidodo sebagai Pengacara. diakses dari http://www.tribunnews.com/nasional/2014/03/22/peradi-berhentikan- joko-sriwidodo-sebagai-pengacara.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 49. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288.

Zulkarnaen. 2018. Dinamika Sejarah Hukum dari Filosofi Hingga Profesi Hukum.

(Bandung: CV Pustaka Setia).

(26)

ANOTASI ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 87 TAHUN 2017 TENTANG PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER

Fazal Akmal Musyarri

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : fazalakmalmusyarri.bu@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Musyarri, Fazal Akmal. Anotasi atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.7

(Oktober 2020).

ABSTRAK

Wacana mengenai pengaturan matang Pendidikan Karakter mengemuka beberapa beberapa waktu terakhir. Hal ini karena pendidikan akademik belum walaupun mempengaruhi intelegensia akan tetapi belum tentu membangun karakter seorang manusia. Di titik inilah diperlukan adanya Pendidikan Karakter yang bukan hanya menyokong kebutuhan akademik akan tetapi juga sifat dan karakter Sehingga pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mulai mengembangkan sistem Pendidikan Karakter yang diejawantahkan melalui sistem pendidikan nasional dan diterapkan di sekolah-sekolah nusantara. Secara normatif, pengaturan tentang Pendidikan Karakter tertuang di dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai implementasi dari Pendidikan Karakter dan efektivitasnya disesuaikan dengan pemikiran esensial Ki Hadar Dewantara.

Kata Kunci: Hukum Pendidikan, Pendidikan Karakter, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter

(27)

A. PENDAHULUAN

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Implementasi pendidikan merupakan konsekuensi yuridis dari diamanatkannya pendidikan sebagai salah satu hak konstitusional warga negara, yang termaktub dalam Pasal 31 UUD NRI 1945 yang berbunyi : “Setiap Warga Negara berhak mendapat pendidikan”.

Pendidikan Formal yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, telah diupayakan untuk dimasifkan melalui program Wajib Belajar.1 (Supardi, 2012 : 112) Namun perlu kajian komprehensif apakah sistem pendidikan formal tersebut telah mengimplementasikan Pendidikan Karakter yang akhir-akhir ini diwacanakan oleh pemerintah. Payung hukum terbaru mengenai Pendidikan Karakter dapat ditemukan dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Peraturan Presiden ini diluncurkan untuk menguatkan harmonisasi pendidikan karakter dari antar elemen, baik satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat.2 (Atik Maisaro dkk, 2018 : 305) Namun dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden ini, pendidikan karakter hanya diterapkan dalam lingkup pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Padahal, pendidikan tinggi termasuk salah satu aspek dalam Pendidikan Formal serta Pendidikan Karakter Indonesia yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Oleh karena itu, poin ini menjadi poin yang dikritisi sebagai anotasi dalam Peraturan Presiden tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Adapun rumusan masalah dalam tulisan ini adalah “Bagaimana anotasi hukum dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter?”. Selain menganalisis secara yuridis, juga akan direlevansikan dengan filsafat hukum.

1 Supardi, Arah Pendidikan di Indonesia dalam Tataran Kebijakan dan Implementasi, Jurnal Formatif, Vol.2, No.2 (2012), Hlm.112.

2 Atik Maisaro, dkk., Manajemen Program Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar, Jurnal Administrasi dan Manajemen Pendidikan, Vol.1, No.3 (September 2018), Hlm.305.

(28)

B. PEMBAHASAN

Pendidikan Karakter merupakan istilah simplifikasi dari Pendidikan Budi Pekerti yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara.3 (Ahmad Yusuf, 2014 : 39-40) Pendidikan Karakter adalah upaya mengasah kecerdasan budi pekerti yang baik dan kokoh, sehingga diharapkan dapat mewujudkan kepribadian dan karakter.

Apabila berhasil, seseorang senantiasa dapat mengendalikan nafsu dan tabiat atau watak asli manusia yang berkonotasi buruk4 (Ki Hajar Dewantara, 1977 : 24) Dalam alam pikirannya, Pendidikan merupakan sesuatu yang harus bersifat absolut, sesuai dengan Filsafat Aliran Idealisme. Dalam konteks Aliran Idealisme ini, Pendidikan harus menyatakan suatu nilai bersifat mutlak; benar salah dan baik buruk secara fundamental, memiliki sifat yang tidak berubah dari generasi ke generasi.5 (Ki Supriyoko, 2013 : B3)

Maka seharusnya, program Pendidikan Karakter tidak mengenal batasan jenjang pendidikan, karena sifatnya yang universal dan mutlak, mengacu pada benar dan salah serta baik dan buruk suatu nilai. Hal inilah yang perlu dikritisi dari Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Pendidikan Karakter memang harus ditanamkan sedini mungkin, bahkan terdapat urgensi untuk mengaplikasikan Pendidikan Karakter ke jenjang Pendidikan Anak Usia Dini.6 (Slamet Suyanto, 2012 : 6)

Namun yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana cara memantapkan edukasi dalam Pendidikan Karakter tersebut hingga seseorang beranjak dewasa.

Hal tersebut tidak mudah dilakukan, diperlukan waktu yang panjang melalui pembiasaan-pembiasaan. Sehingga terlihat urgensi dari pembentukan Pendidikan Karakter di usia dewasa sebenarnya bukan hanya untuk mempertahankan Pendidikan Karakter, namun sebagai sarana untuk mengubah kultural seseorang yang telah mengakar sejak dini.7 (Endang Mulyatiningsih, 2011 : 13-17)

3 Ahmad Yusuf, Studi Komparasi Konsep Pendidikan Karakter Imam Al Ghazali dengan Ki Hajar Dewantara, Skripsi, UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014, Hlm.39-40.

4 Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama : Pendidikan, Penerbit Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Yogyakarta, 1977, Hlm.24.

5 Ki Supriyoko, Mendalami Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara, Penerbit Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Jakarta, 2013, Hlm.B3.

6 Slamet Suyanto, Pendidikan Karakter untuk Anak Usia Dini, Jurnal Pendidikan Anak, Vol.1, Ed.1 (Juni 2012), Hlm.6.

7 Endang Mulyatiningsih, Analisis Model-Model Pendidikan Karakter untuk Usia Anak- Anak, Remaja dan Dewasa,Skripsi,UniversitasNegeriYogyakarta,Yogyakarta,2011,Hlm.13-17.

(29)

Maka, problematika normatif tersebut perlu dibenahi dengan dilakukannya revisi khususnya terhadap Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2017 tentang Peningkatan Pendidikan Karakter, dengan cara memperluas ruang lingkup keberlakuan Pendidikan Karakter yang tidak hanya diaplikasikan dalam jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah, namun juga pendidikan tinggi sebagai jenjang tertinggi pendidikan formal dalam Sistem Pendidikan Nasional. Revisi ini menjadi penting karena setiap kebijakan yang akan diterapkan harus dilegitimasi dengan peraturan perundang-undangan.8 (Marhaendra Wija Atmaja, 2013 : 13)

Sebagai konsep implementasi dari Pendidikan Karakter untuk jenjang pendidikan tinggi, perlu adanya reformulasi kurikulum Muatan Lokal yang dewasa ini justru direduksi dalam kurikulum, khususnya di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Padahal, Kurikulum Muatan Lokal dapat menjadi sarana penyesuaian karakter dengan lingkungan sosial dan budaya di suatu daerah tertentu.9 (Syafruddin Nurdin, 2012 : 71) Sehingga selain dapat memperkuat pendidikan karakter, Kurikulum Muatan Lokal juga berfungsi sebagai penyesuaian seseorang dengan kebudayaan setempat. Seperti kata pepatah

“Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”.10 (Unang Yunasaf, 2011 : 1) Diharapkan dengan implementasi Pendidikan Karakter di jenjang pendidikan tinggi, dapat mencetak pribadi dengan kecerdasan budi pekerti yang baik dan kokoh, seperti ekspektasi filosofi Pendidikan Karakter ala Ki Hajar Dewantara.

Adapun korelasi dengan filsafat hukum, pengaturan Pendidikan Karakter setidaknya harus memenuhi tiga aspek menurut Gustav Radbruch. Aspek itu ialah aspek keadilan, tujuan keadilan atau finalitas dan kepastian hukum atau legalitas.

Harus dikulik dengan lebih komprehensif apakah peraturan presiden itu telah memecahkan jawaban dari permasalahan hukum dari sisi normatif dan empiris.11

8 Marhaendra Wija Atmaja, Pemahaman Dasar Hukum dan Kebijakan Publik, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2013, Hlm.13.

9 Syafruddin Nurdin dan M. Basyiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Penerbit Ciputat Press, Jakarta, 2002, Hlm.59. dalam Nurdin Mansur, Urgensi Kurikulum Muatan Lokal dalam Pendidikan, Jurnal Ilmiah Didaktika, Vol.XIII, No.1 (Agustus 2012), Hlm.71.

10 Unang Yunasaf dan Rudi Saprudin Darwis, Wawasan Sosial Kemasyarakatan dan Pendekatan Sosial, Penerbit Universitas Padjajaran, Bandung, 2011, Hlm.1.

11 Indien Winarwati dan Mufarrijul Ichwan, Buku Ajar Filsafat Hukum, Penerbit Scopindo Media Pustaka, Surabaya, 2019, Hlm.3.

(30)

C. PENUTUP

Pendidikan Karakter ala Ki Hajar Dewantara ideal diterapkan di Indonesia, apabila didukung dengan konstruksi norma secara menyeluruh di berbagai jenjang pendidikan. Wacana pemerintah yang dilegalisasi melalui Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter ialah kebijakan yang tepat. Namun juga terdapat beberapa anotasi secara normatif di dalamnya.

Rumusan Pendidikan Karakter dalam Pasal 1 angka 2 Perpres Penguatan Pendidikan Karakter ini perlu diperluas tidak hanya di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah, namun juga pendidikan tinggi sebagai salah satu jenjang pendidikan formal dalam Sistem Pendidikan Nasional. Sarana efektif yang dapat digunakan adalah dengan menerapkan Kurikulum Muatan Lokal yang akhir-akhir ini sempat redup karena kebijakan pergantian kurikulum secara periodik. Luarannya tidak hanya memantapkan Pendidikan Karakter, namun juga dapat menjadi platform penyesuaian konteks sosial budaya. Hal ini menjadi penting karena dalam koridor filsafat hukum, suatu peraturan harus memenuhi tiga aspek penting agar dapat memecahkan masalah hukum yaitu meliputi keadilan, finalitas keadilan dan legalitas.

(31)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Atmaja, Marhaendra Wija. 2013. Pemahaman Dasar Hukum dan Kebijakan Publik. (Denpasar: Penerbit Fakultas Hukum Universitas Udayana).

Dewantara, Ki Hajar. 1977. Bagian Pertama : Pendidikan. (Yogyakarta: Penerbit Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa).

Eliza, Pocut, dkk.. 2017. Laporan Akhir Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai Sistem Pendidikan Nasional. (Jakarta: Penerbit Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia).

Mulyatiningsih, Endang. 2011. Analisis Model-Model Pendidikan Karakter untuk Usia Anak-Anak, Remaja dan Dewasa. (Yogyakarta: Penerbit Universitas Negeri Yogyakarta Staff Site).

Nurdin, Syafruddin dan M. Basyiruddin Usman. 2002. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. (Jakarta: Penerbit Ciputat Press).

Samho, Bartolomeus dan Oscar Yasunari. Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Tantangan-Tantangan Implementasinya di Indonesia Dewasa Ini. (Bandung: Penerbit Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan).

Supriyoko, Ki. 2013. Mendalami Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara.

(Jakarta: Penerbit Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)).

Yunasaf, Unang dan Rudi Saprudin Darwis. 2011. Wawasan Sosial Kemasyarakatan dan Pendekatan Sosial. (Bandung: Penerbit Universitas Padjajaran).

Winarwati, Indien dan Mufarrijul Ichwan. 2019. Buku Ajar Filsafat Hukum.

(Surabaya: Penerbit Scopindo Media Pustaka).

Karya Ilmiah

Kurniawan, Riza Yonisa. 2016. Identifikasi Permasalahan Pendidikan di Indonesia untuk Meningkatkan Mutu dan Profesionalisme Guru. Makalah.

(Jakarta: Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII).

Mardayanti, Arlen. 2016. Membandingkan Ajaran Pendidikan Ki Hajar Dewantara, Pendidikan di Finlandia, dan Pendidikan di Indonesia Sekarang. Paper Akademik. (Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa).

Yusuf, Ahmad. 2014. Studi Komparasi Konsep Pendidikan Karakter Imam Al Ghazali dengan Ki Hajar Dewantara. Skripsi. (Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel).

Publikasi

Maisaro, Atik, dkk.. Manajemen Program Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar, Jurnal Administrasi dan Manajemen Pendidikan. Vol.1.

No.3 (September 2018).

Mansur, Nurdin. Urgensi Kurikulum Muatan Lokal dalam Pendidikan. Jurnal Ilmiah Didaktika. Vol.XIII. No.1 (Agustus 2012).

Munirah. Sistem Pendidikan di Indonesia : Antara Keinginan dan Realita. Jurnal Auladuna. Vol.2. No.2 (Desember 2015).

(32)

Muthoifin dan Mutohharun Jinan. Pendidikan Karakter Ki Hadjar Dewantara:

Studi Kritis Pemikiran Karakter dan Budi Pekerti dalam Tinjauan Islam.

Jurnal Studi Islam. Vol. 16. No. 2 (Desember 2015).

Perdana, Dedi Ilham. Kurikulum dan Pendidikan di Indonesia : Proses Mencari Arah Pendidikan yang Ideal di Indonesia atau Hegemoni Kepentingan Penguasa Semata?. Jurnal Pemikiran Sosiologi. Vol.2. No.1 (Mei 2013).

Supardi. Arah Pendidikan di Indonesia dalam Tataran Kebijakan dan Implementasi. Jurnal Formatif: Jurnal Ilmiah Pendidikan MIPA. Vol.2. No.2 (2012).

Suyanto, Slamet. Pendidikan Karakter untuk Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak. Vol.1. Ed.1 (Juni 2012).

Sumber Hukum

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 158. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5336.

Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 195.

(33)

LAW AS GENERAL RULE OR LAW AS CONGLOMERATION OF LEGAL DECISION

Moh. Rif’an, Muhammad Akbar Nursasmita, Fazal Akmal Musyarri, Danang Wahyu Setyo Adi dan Elsa Assari

Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : 12rauna@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Rif’an, Moh.. Law as General Rule or Law as Conglomeration of Legal Decision. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.7 (Oktober 2020).

ABSTRAK

Di dunia, terdapat dua sistem hukum yang banyak digunakan oleh negara-negara yaitu Civil Law atau Eropa Kontinental dan Common Law atau Anglo Saxon. Dua sistem hukum tersebut memiliki karakteristik masing-masing yang menghasilkan keunggulan dan kelemahan. Secara sederhana, Civil Law menuntut adanya kepastian hukum dengan digunakannya peraturan perundang-undangan sebagai rujukan utama. Sedangkan Common Law menuntut kebaruan hukum yang sesuai dengan kondisi masyarakat dengan menyandarkan pertimbangan putusan hakim kepada putusan terdahulu. Hal ini tentu saja menimbulkan pertentangan secara filsafati dan memaksa alam pikir untuk memilih mana sistem yang paling ideal untuk digunakan. Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menganalisis dilematika antara dua sistem hukum tersebut secara komprehensif.

Kata Kunci: Civil Law/Eropa Kontinental, Common Law/Anglo Saxon, Keadilan, Sistem Hukum

(34)

A. PENDAHULUAN

Menurut Lawrence M. Friedman, sistem1 hukum ada di mana saja. Tidak sehari pun tanpa berhubungan dengan hukum dalam arti yang luas hukum mempengaruhi atau mengubah perilaku orang. Hukum adalah sesuatu yang sangat besar, meskipun kadang-kadang tidak terlihat. Hukum memiliki tujuan apakah berhasil atau tidak untuk menjadikan hidup ini lebih mudah, lebih aman, lebih bahagia, atau lebih baik. Ketika norma menuntut atau melarang sesuatu, biasanya larangan itu ditujukan demi kepentingan orang lain. Hukum memberikan cara- cara yang mudah untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Hukum dan proses hukum sangat penting dalam masyarakat kita. Hukum adalah sebuah konsep, abstraksi, konstruksi sosial, bukan objek konkret di dunia sekeliling kita. Dalam percapakapan sehari-hari, kata “hukum” dikaitkan dengan perundang-undangan, yaitu aturan dan peraturan. Menurut Donald Black, hukum adalah kontrol sosial pemerintahan. Yang dimaksud dengan kontrol sosial adalah aturan dan proses sosial yang mendorong perilaku baik atau mencegah perilaku buruk. Ada dua cara untuk melihat hukum, yaitu memandang hukum terbentuk oleh peraturan perundang-undangan pemerintah yang resmi dan menggunakan pendekatan yang lebih luas dan memandang seluruh aspek kontrol sosial.

Kata hukum seringkali hanya merujuk kepada aturan-aturan dan peraturan- peraturan; padahal terdapat struktur, institusi, dan proses yang menghidupkan aturan dan peraturan tersebut. Domain yang diperluas inilah disebut “sistem hukum”. Sistem hukum mengandung lebih dari sekadar aturan, peraturan, perintah, dan larangan. Dalam sistem hukum ada aturan tentang aturan. Terdapat aturan prosedur dan aturan yang membedakan aturan dari bukan aturan. H.L.A.

Hart menyebut aturan tentang aturan ini sebagai “aturan sekunder”. Ia menyebut aturan tentang perilaku nyata sebagai “aturan primer”. Menurut H.L.A. Hart, hukum adalah kumpulan aturan primer dan aturan sekunder.2

1 Sistem mempunyai dua pengertian yang penting. Pertama, pengertian sistem sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu di sini menunjuk kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian. Kedua, sistem sebagai suatu rencana, metode, atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu. dalam William A. Shrode and Dan Voich, Organization and Management, Basic Systems Concepts, Penerbit Florida State University Press, Tllahassee, 1974.

dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 1986, Hlm.88.

2 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction, Penerbit W. W. Norton &

Company, New York, London, 1998, Hlm.15-18.

(35)

Dalam tulisan berjudul “Law as General Rule or Law as Conglongmeration of Legal Decision” ini akan membahas dua rumusan masalah: 1) Bagaimana karakteristik Civil Law System dan Common Law System?; dan 2) Bagaimana Kritik atas Law as General Rule or Conglomeration of Legal Decision?

B. PEMBAHASAN

1. Karakteristik Civil Law System dan Common Law System a. Karakteristik Civil Law System

Adapun karakteristik Civil Law System sebagai berikut:

1) Sistem Kodifikasi

Mengapa pada sistem Civil Law atau Eropa Kontinental menganut paham kodifikasi? Bahkan merupakan karakter pertamanya. Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah antara lain karena demi kepentingan politik Imperium Romawi, disamping kepentingan-kepentingan lainnya diluar itu. Diketahui bahwa wilayah kekuasaan Imperium Romawi melintasi Eropa Barat dan Timur, sehingga kodifikasi diperlukan untuk menciptakan keseragaman hukum dalam dan di tengah-tengah keberagaman hukum di wilayah Imperium Romawi. Perancis misalnya, sebelum meletusnya revolusi ditemukan perbedaan hukum yang berlaku antara wilayah selatan dan daerah wilayah utara. Hukum yang berlaku di daerah selatan disebut “Pays de droit ecrit” sedangkan di daerah utara disebut “Pays de coutumes”. Pays de droit ecrit adalah daerah wilayah selatan Perancis yang berlaku hukum tertulis yang bersumber dari Hukum Romawi Kekaisaran Romawi Barat pada Abad V. Sedangkan Pays de coutumes adalah daerah utara Perancis yang berlaku hukum kebiasaan lokal yang beragam dan berbeda satu sama lainnya (Paul Scholten, 1974: 170). Hukum kebiasaan yang pada mula-mulanya hanya dicatat bagian-bagian yang diperlukan saja oleh warga masyarakat yang berkepentingan, sejak tahun 1453 diberi kekuatan secara resmi dan menjadi peraturan Raja.3

3 Nurul Qamar, Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law System, Penerbit Refleksi, Makassar, 2010, Hlm.41.

(36)

Namun ternyata pada kenyataannya tidak mendapat respon yang positif dari warga masyarakat. Barulah jika hukum kebiasaan (coutumes) tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi, peraturan kebiasaan yang telah mempunyai kekuatan resmi Raja akan diacu (Paul Scholten, 1974:

170). Kedaan itu menimbulkan pemikiran agar kebiasaan-kebiasaan yang telah ditetapkan sebagai peraturan Raja supaya ditetapkan menjadi hukum yang berlaku secara umum, sehingga perlu dipikirkan kesatuan hukum yang berkepastian. Pemikiran itu, solusinya adalah diperlukannya suatu kodifikasi hukum. Revolusi Perancis yang meletus pada 14 Juli 1789 dengan semboyan “Liberté, égalité, fraternité” telah meluluh lantahkan struktur institusi-institusi lama di Kerajaan Perancis, khususnya Parlemen yang langsung dibubarkan. Pada keadaan itu, kekuasaan politik dan pemerintahan secara tersentralisasi dipegang oleh orang-orang yang sebelumnya kurang dikenal di Perancis, oleh karena mereka bukan berasal dari golongan aristokrat yang ditumbangkan.

Gagasan kodifikasi hukum dilancarkan oleh karena salah satu dari semboyan revolusi, yaitu “égalité”. Dewan Konstituante Perancis hasil Revolusi memutuskan meninjau dan mereformasi beberapa ketentuan hukum dan memerintahkan legislator untuk membuat suatu kitab undang-undang yang bersifat umum, sederhana, jelas, dan memadai bagi konstitusi. Usaha melakukan kodifikasi berlanjut saat Perancis dibawah kekuasaan Dewan Pemerintahan Tahun 1795-1799. Cambaceeree mempresentasikan draf yang terdiri dari 1104 Pasal di hadapan Dewan 500 Perancis. Tapi terjadi ketegangan politik yang menghalangi jalannya presentasi itu. Perkembangan lebih baik terjadi pada masa Pemerintahan Konsulat Tahun 1799-1804. Napoléon Banaparte sebagai Konsulat I Perancis mempunyai kekuasaan yang luas dan ambisi untuk dapat disebut sebagai pembuat hukum. Napoléon Bonaparte, dengan berdasarkan suatu Arrest 13 Agustus 1800, ia mengangkat Komisi 4 untuk membuat suatu draf yang harus selesai sebelum November tahun itu.4

4 Nurul Qamar, Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law System, Penerbit Refleksi, Makassar, 2010, Hlm.41-42.

Referensi

Dokumen terkait

Mendeskripsikan dan menganalisis besarnya kontribusi kedisiplinan belajar dan kreativitas secara bersama-sama terhadap hasil belajar mata pelajaran Perakitan Komputer

Sehingga harus diutamakan bagaimana memilih peralatan sampling yang tepat untuk mendapatkan sampel tanah atau sampel lain akan berpengaruh pada ketepatan hasil analisa....

Performance assessment bertujuan untuk mengetahui seberapa baik subyek belajar telah mampu mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan sasaran

Public list of mills potentially connected to Innospec Inc palm oil & palm kernel oil derivatives supply chain Reporting Period: January 2020– December 2020.. The 872

berjudul “Sikap Pelanggar Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat Khalwat Pasca Hukuman Cambuk) Dalam penelitiannya ia mengungkapkan bahwa Sikap pelanggar Qanun

Dalam analisis sistem yang berjalan akan dibahas mengenai prosedur, flowmap, dokumen, diagram, konteks, data flow diagram, diagram PERANCANGAN SISTEM INFORMASI COMPLAINT

Berdasarkan analisis statistika pemberian urea yang dicampur asam humat dengan berbagai takaran tidak menunjukkan ada interaksi, dan pemberian urea yang dicampur asam

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Praktik Kerja Industri Pengolahan Pangan (PKIPP) yang merupakan