• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

11 A. Tinjauan Pustaka

Pada bab ini, peneliti akan menjelaskan kerangka pemikiran tesis ini dengan menggunakan teori-teori yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya khususnya fokus pada kajian mengenai proses interaksi yang terjadi antara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal yang akan dilihat dari aspek komunikasi sebagai sebuah proses. Proses komunikasi ini terjadi pada saat mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal saling berinteraksi. Peneliti akan melihat bagaimana pesan-pesan yang muncul untuk mewujudkan sebuah tujuan yang terbentuk yaitu terjadinya kesepahaman dalam berkomunikasi dan terciptanya komunikasi yang baik dan lancar diantara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal.

Seperti yang telah dikemukanan sebelumnya, dalam mendiskripsikan dan menganalisis proses interaksi yang terjadi, peneliti menggunakan pendekatan pada bangunan model “conversation” dari Littlejohn dan Foss yang dikemukakan dalam bukunya Theories of Human Communication (2011) yang melihat bahwasannya dalam sebuah interaksi terdapat unsur-unsur yang saling berkaitan yaitu: (1) Uncertainty

management (manajemen ketidakpastian), (2) Adaptation (adaptasi), (3) Meaning in interaction (pemaknaan sebuah interaksi), (4) Culture (budaya).

Berikut ini adalah penjelasan mengenai komunikasi dan komunikasi antarbudaya serta pendekatan model “conversation” pada komunikasi antarbudaya juga peranan individu dalam sebuah interaksi.

B. Komunikasi

Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Hampir setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang lainnya dan kebutuhan akan terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi, Porter & Samovar dalam (Mulyana dan Rahmat, 2009: 12).

(2)

1. Definisi Komunikasi

Istilah komunikasi sudah sangat akrab ditelinga, namun ternyata membuat definisi komunikasi tidak semudah seperti yang diperkirakan. Hal ini disebabkan komunikasi berasal dari kata kerja to communicate (berkomunikasi) sudah sangat mapan sebagai kosakata yang sangat umum dan karenanya tidak mudah ditangkap maknanya untuk keperluan ilmiah. Stephen W. Littlejohn (1999) mengatakan :

“Communication is difficult to difine. The word is abstract and, like most term, posses numerous meaning” bahwa komunikasi sulit untuk didefinisikan. Kata

“komunikasi” bersifat abstrak, seperti kebanyakan istilah, memiliki banyak arti. Dikutip dari Littlejohn (2002: 6), para ahli melakukan berbagai upaya untuk mendefinisikan komunikasi, namun membangun suatu definisi tunggal mengenai komunikasi terbukti tidak mungkin dilakukan dan mungkin juga tidak bermanfaat. Frank Dance (1970) melakukan langkah besar dalam upaya memperjelas konsep komunikasi dengan menguraikan sejumlah elemen yang digunakan untuk membedakan komunikasi. Dance menemukan tiga elemen dasar yang disebut “diferensiasi konseptual kritis” (critical conceptual differentiation) yang membentuk dimensi dasar teori komunikasi yang terdiri atas:

a. Level observasi (level of observation)

Pada dimensi ini definisi komunikasi dilihat dari seberapa luas cakupannya. Menurut Dance beberapa definisi mengenai komunikasi bersifat sangat luas (inclusive) sementara definisi lainnya bersifat terbatas. Misal definisi komunikasi yang menyatakan komunikasi adalah the process that links discotinous parts of

the living world to one another (komunikasi adalah proses yang menghubungkan

antara berbagai makhluk di dunia) dinilai sebagai definisi terlalu umum atau luas. Sebaliknya definisi yang menyatakan, communication as the means of sending

military messages, orders etc, as by telephone, telegraph, radio and couries

(komunikasi adalah alat untuk mnegirim pesan militer, perintah dan sebagainya melalui telephon, telegraf, radio dan kurir) sebagai terlalu sempit.

b. Kesengajaan (intentionality)

Dimensi ini melihat bahwa sebagaian definisi komunikasi yang dikemukakan para ahli hanya memasukkan faktor pengirim dan penerima pesan yang memiliki kesengajaan atau maksud tertentu, sementara definisi lain tidak memasukkan batasan ini.

(3)

c. Penilaian Normatif (normatif judgement)

Dimensi ini melihat sebagian definisi komunikasi memasukkan pernyataan keberhasilan atau keakuratan (accuracy), sedangkan definisi lainnya tidak memiliki penilaian implisit semacam itu.

Definisi atau batasan mengenai komunikasi adalah hal yang sangat penting, karena dari definisi yang akan kita gunakan dalam penelitian bukanlah hal sepele. Definisi yang berbeda akan memberikan fungsi yang berbeda pula dan harus dievaluasi atas seberapa besar definisi tersebut membatu dalam mencapai tujuan penelitian. Dengan demikian definisi adalah alat yang harus digunakan secara fleksibel.

Pada tahun 1976 Dance dan Larson menemukan ada lebih dari 126 definisi komunikasi yang diajukan dalam literature. Untuk menggambarkan beragam definisi yang diusulkan, berikut adalah beberapa definisi komunikasi dari para ahli yang dikutip dari Miller (2005: 4):

- W. Weaver (1949)

“Communication is all the procedures by which one mind can affect another” (Komunikasi adalah semua prosedur dimana satu pikiran dapat mempengaruhi orang lain)

- Miller (1951)

“Communication means that information is passed from one palce to another” (Komunikasi berarti bahwa informasi diteruskan dari satu tempat ke tempat lain) - Hovland, Janis dan Kelley (1953)

“Communication is the process by which an individual (the communicator)

transmits symbols (act), under specific circumstances (scene), by an individual or individuals (agent), using selected media (agency), for defined end

(purposes)” (Komunikasi adalah proses dimana seorang individu

(communicator) mengirimkan simbol (act), dalam keadaan tertentu (scene), oleh seorang individu atau lebih (agent), menggunakan media yang dipilih (agency), untuk tujuan yang ditetapkan (purposes)).

Jika kita lihat dari beberapa definisi komunikasi diatas, para ahli mempunyai pendapat yang berbeda beda dalam mendefinisikan komunikasi, namun dari diskusi selama bertahun-tahun telah muncul konsep penting yang secara luas sesuai dengan

(4)

definisi komunikasi yaitu komunikasi sebagai suatu proses, simbol, dan transaksional. (Miller,2005: 5).

Dalam kaitannya dengan komunikasi antarbudaya, ketika akan mempersatukan budaya dan komunikasi secara ringkas dan mudah dimengerti, maka seperti yang diungkapkan Griffin (2005) pengertian komunikasi yaitu : “communication is the management of messages with the objective of creating

meaning” (Komunikasi adalah pengelolaan pesan dengan tujuan untuk menciptakan

makna). Jika kita lihat definisi ini agak bersifat luas, namun tepat jika kita akan menentukan apa yang terjadi dalam setiap tahap komunikasi, yaitu berusaha mengetahui untuk apakah suatu proses komunikasi akan berhasil atau gagal baik dalam konteks komunikasi antar pribadi maupun komunikasi dalam suatu kelompok. Dengan kata lain, jika komunikasi dianggap sebagai tujuan, baik membujuk, menginformasikan, atau menghibur maka kita berkomunikasi dengan niat, dan kita dapat mencapai tujuan kita hanya dengan berinteraksi dengan seseorang (Samovar dkk, 2012:9).

2. Proses Komunikasi

Komunikasi adalah suatu proses, yang berarti bahwa itu adalah berkelanjutan dan dinamis. Sulit untuk mengatakan ketika komunikasi dimulai dan berhenti, karena apa yang terjadi sebelum kita berbicara dengan seseorang dapat mempengaruhi interaksi kita, dan apa yang terjadi pada pertemuan tertentu dapat mempengaruhi masa depan. Bahwa komunikasi adalah suatu proses berarti selalu bergerak, bergerak maju dan berubah terus-menerus (Wood,2011: 13).

Pada awal konseptualisasi komunikasi, proses komunikasi yang berkembang adalah proses komunikasi linier, dimana komunikasi bergerak dari sumber ke penerima. Salah satu model komunikasi secara linier dikemukakan oleh Harold Lasswell (1949) Model proses komunikasi dari Harold Lasswell (1948) ini merupakan model yang diturunkan dari definisi komunikasi, yakni : “Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut, Who Says What In Which Chanel To Whom With What Effect?” Atau Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana? Berdasarkan definisi Lasswell ini dapat diturunkan lima unsur dalam proses komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu: Komunikator, pesan, media, komunikan dan efek.

(5)

Pada tahun 1949 Shannon dan Weaver dalam buku The Mathematical Theory

of Communication menyempurnakan model linier dari Lasswell. Model ini

mengalami perkembangan yaitu dengan menambahkan unsur noise (gangguan) pada modelnya. Menurut Shanoon dan Weaver gangguan ini selalu ada dalam saluran bersama pesan tersebut yang diterima oleh penerima. Model ini adalah salah satu model yang mempunyai pengaruh paling kuat atas model dan teori komunikasi lainnya (Mulyana, 2007: 148).

Model-model komunikasi linier menggambarkan bahwa komunikasi mengalir hanya satu arah, dari pengirim ke penerima dan menunjukkan bahwa seseorang hanya mengirim atau menerima pesan secara pasif. Ketika para ahli komunikasi menyadari bahwa pendengar merespon pengirim, akhirnya mereka menambahkan umpan balik (feedback) pada model komunikasi. Feedback merupakan respon terhadap pesan. Mungkin verbal atau nonverbal, dan mungkin disengaja atau tidak disengaja (Wood, 2011: 16-17)

Wilbur Schramm (1955) menunjukkan bahwa komunikator membuat dan menafsirkan pesan kedalam bidang pengalaman pribadi (personal field of

experience). Schramm juga menambahkan bahwa semakin tumpang tindih bidang

pengalaman (field of experience) komunikator dalam bidang pengalaman komunikan, akan semakin efektif pesan yang dikomunikasikan. Dengan menambahkan bidang pengalaman dan umpan balik dimungkinkan untuk mengembangkan model yang menggambarkan komunikasi sebagai proses interaktif dimana kedua pengirim dan penerima berpartisipasi aktif (Wood, 2011: 17).

Meskipun model interaktif merupakan peningkatan dari model linier, akan tetapi masih belum menangkap dinamika komunikasi manusia. Model interaktif menggambarkan komunikasi sebagi proses yang berurutan, namun orang dapat berkomunikasi secara bersamaan bukan bergiliran. Model interaktif juga menunjuk satu orang sebagai pengirim dan orang lain sebagai penerima. Pada kenyataanya, komunikator mengirim dan menerima pesan. Menurut Wood, kelemahan lain dari model interaktif adalah tidak menggambarkan komunikasi sebagai perubahan dari waktu ke waktu sebagai akibat dari apa yang terjadi diantara manusia. Artinya bahwa apa yang dibicarakan dan bagaimana manusia saling berinteraksi akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sebuah model komunikasi harus

(6)

mencakup fitur waktu dan harus menggambarkan komunikasi terjadi secara bervariasi, tidak konstan. Wood mengajukan sebuah model transaksional seperti pada gambar 2.3. Model ini menunjukkan bahwa kebisingan (noise) dapat mendistorsi komunikasi, dimana kebisingan dapat menyebabkan perubahan makna atau arti dari suatu informasi/pesan baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Selain itu, model ini menekankan bahwa komunikasi adalah proses yang terus berubah, dimana orang berkomunikasi bervariasi dari waktu ke waktu (Wood, 2011: 18)

Secara garis besar model dari Wood menekankan bahwa komunikasi terjadi dalam sistem yang dapat mempengaruhi apa dan bagaimana orang berkomunikasi dan apa arti yang mereka buat. Pengirim dan penerima pesan didefinisikan sebagai komunikator yang mempunyai partisipasi yang sama, dan sering bersamaan dalam proses komunikasi. Singkatnya, model komunikasi sebagai proses transaksional yang paling akurat adalah di mana orang berinteraksi dengan dan melalui simbol-simbol dari waktu ke waktu untuk membuat makna.

Terkait dengan penelitian yang akan dilakukan, peneliti akan menerapkan model komunikasi transaksional dari DeVito dimana masing-masing konsep yang diidentifikasi dan dibahas pada model ini dapat dianggap sebagai model komunikasi interpersonal secara universal (DeVito, 2013: 10).

(7)

Gambar 2.1. Model Proses Komunikasi Interpersonal

Sumber : DeVito, Joseph A. 2013. The Interpersonal Communication Book. 13th edition. New York: Hunter College of the City University of New York. hlm. 11

Model yang dikemukakan DeVito dirancang untuk mencerminkan sifat melingkar komunikasi interpersonal dimana kedua orang mengirim pesan secara bersamaan bukan di urutan linear di mana komunikasi bergerak dari orang 1 ke 2 dan orang 1 ke orang 2 dan seterusnya. Didalamnya terdapat unsur-unsur komunikasi yaitu: (1) sumber-penerima, (2) encoding-decoding, (3) pesan, (4) saluran, (5) noice, (6) konteks, dan meskipun tidak ditunjukkan dalam diagram tetapi pertimbangan utama dalam semua komunikasi interpersonal yaitu (7) etika. 3. Level Komunikasi

Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan, ide atau informasi yang bertujuan untuk membawa pemahaman yang sama antara penyampai dan penerima pesan. Pembagian paling umum dalam mengklasifikasikan teori komunikasi adalah dengan menggunakan level mulai dari komunikasi mulai dari: 1). Komunikasi interpersonal, terkait dengan komunikasi antara orang, biasanya secara tatap muka dalam situasi yang pribadi; 2). Komunikasi kelompok, terkait dengan interaksi manusia dalam kelompok kecil. Dalam komunikasi kelompok ini sebenarnya juga melibatkan hubungan interpersonal, dan kebanyakan teori interpersonal berlaku juga

(8)

pada teori kelompok; 3). Komunikasi organisasi, terjadi pada jaringan kerja sama yang besar yang meliputi seluruh aspek baik komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok; 4). Komunikasi massa, yaitu berhubungan dengan komunikasi publik, biasanya melalui perantara (mediasi). Dalam proses komunikasi massa banyak aspek komunikasi yang masuk didalamnya baik komunikasi interpersonal, kelompok dan organisasi dalam proses komunikasi massa (Morissan, 2013: 14-15).

Dalam proses komunikasi pada level apapun, akan melibatkan unsur-unsur komunikasi. Pada umumnya studi komunikasi pada masa lalu lebih menekankan pada bagaimana membujuk (persuasi) sebagai bentuk efek yang diinginkan. Namun pada perkembangannya, komunikasi tidak hanya terbatas pada upaya membujuk tetapi juga upaya memaksa. Menurut Joseph Dominick (2002) dalam bukunya The

Dynamic of Mass Communication setiap peristiwa komunikasi akan melibatkan

delapan elemen komunikasi yang meliputi: sumber, enkoding, pesan, saluran, dekoding, penerima, umpan balik, dan gangguan (Morissan, 2014: 16-17).

Dalam penelitian ini, secara garis besar akan membahas proses komunikasi yang terjadi pada level komunikasi interpersonal yang melibatkan kedelapan unsur-unsur dalam proses komunikasi untuk menganalisa bagaimana proses interaksi antar individu yang terjadi antara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal yang sedang melakukan studi di Universitas Sebelas Maret.

C. Komunikasi Antarbudaya

Jika kita berbicara tentang komunikasi antarbudaya, tentunya sangat erat kaitannya dengan komunikasi lintas budaya. Seperti yang dikemukanan William B. Gudykunst dalam encyclopedia communication theory (2009) mengidentifikasi baik komunikasi antarbudaya maupun komunikasi lintas budaya merupakan bagian dari komunikasi antar kelompok. Ketika peneliti ingin membandingkan komunikasi orang dari budaya yang berbeda dan menjelaskan bagaimana komunikasi bervariasi dari satu budaya ke yang lain, maka studi komunikasi lintas budaya terjadi. Komunikasi lintas budaya dibedakan menjadi dua yaitu komunikasi intrabudaya, yang terjadi antara orang-orang dari berbagai budaya, sedangkan komunikasi antarbudaya mengacu pada pertukarandalam pengaturan interpersonal antara individu dan budaya yang berbeda.

(9)

Komunikasi antarbudaya sendiri pada umumnya didefinisikan menurut dua konsep pokok, yaitu budaya dan komunikasi. Dalam disiplin ilmu komunikasi, komunikasi antarbudaya bisa dibedalan secara konseptual dari komunikasi antarpribadi berdasarkan kadar perbedaan yang relative tinggi yang berkenaan dengan sistem makna, pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan dunia para komunikator yang mengakar secara kultur dan subkultur ( Berger dkk, 2011: 651-652).

Pembicaraan tentang komunikasi antarbudaya tak dapat dielakkan dari pengertian kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara budaya dan komunikasi sangat kompleks, dimana budaya dan komunikasi saling terkait dan timbal balik. Artinya, budaya mempengaruhi komunikasi, dan sebaliknya. Bahkan juga mempunyai asumsi bahwa komunikasi membantu menciptakan realitas budaya masyarakat (Martin & Nakayama,2010: 95). Menurut William B. Hart II pada tahun 1996 menyatakan bahwa studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan pada komunikasi. Sedangkan menurut Liliweri (2009: 8-9) komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara dua orang/lebih yang berbeda latar belakang kebudayaan. Selain itu ada beberapa pengertian komunikasi antarbudaya yang dikutip oleh Alo Liliweri, antara lain definisi dari Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Potter Intercultural

Communication, A Reader (1976: 25), mengatakan komunikasi antarbudaya adalah

komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial. Charley H. Dood (Dood, 1991: 5), mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok, dengan tekanan pada latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta. Dari pengertian-pengertian komunikasi antarbudaya tersebut membenarkan sebuah hipotesis proses komunikasi antarbudaya, bahwa semakin besar derajat perbedaan budaya, maka semakin besar pula kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif.

Pada hakekatnya proses komunikasi antarbudaya sama dengan proses komunikasi lain, yakni suatu proses interaktif dan traksaksional serta dinamis. Itu artinya baik komunikasi interaktif maupun transaksional mengalami proses yang

(10)

bersifat dinamis, karena proses tersebut berlangsung dalam kontek sosial yang hidup, berkembang bahkan berubah-ubah berdasarkan waktu, situasi dan kondisi tertentu. Karena komunikasi yang dilakukan merupakan komunikasi antarbudaya, maka kebudayaan merupakan dinamisator atau “penghidup” bagi proses komunikasi tersebut (Liliweri, 2009: 25).

Supaya komunikasi dalam interaksi antarbudaya berlangsung dengan baik, pelaku komunikasi harus bergantung pada bahasa yang sama, yang biasanya berarti bahwa satu atau lebih individu tidak akan menggunakan bahasa ibu mereka. Orang yang menggunakan bahasa lain akan sering memiliki aksen atau menyalah gunakan kata atau frase yang dapat berpengaruh pada baik buruknya pemahaman penerima pesan (Samovar, 2012: 10).

Istilah komunikasi antarbudaya sering digunakan untuk mengacu pada semua aspek studi budaya dan komunikasi. Lustig dan Koester (2003: 44) mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai:”…a symbolic process ini which people from different

cultures create shared meanings” (proses simbolik di mana orang-orang dari budaya

yang berbeda menciptakan makna bersama). Dalam menghadapi budaya dan bahasa yang berbeda siswa asing harus mampu untuk mengelola ketidaktahuan atau ketidakpastian pada orang lain yang terdiri atas bagaimana seseorang itu mendapatkan informasi tentang orang lain, dan bagaimana ketidakpastian dan kecemasan untuk berhubungan antara orang lain, serta pengurangan ketidakpastian yang berhubungan dengan kebudayaan dalam hal ini baik teman dan lingkungan baru (Littlejohn dan Foss, 2011: 179).

Dalam mempelajari komunikasi antarbudaya antar negara tentunya kita harus memahami karakteristik dan keanekaragaman budaya masing-masing negara. Orang-orang dari budaya yang berbeda berbagi konsep dasar, tetapi memandang konsep tersebut dari sudut dan perspektif yang berbeda, yang menyebabkan mereka berperilaku dalam suatu cara yang mungkin dianggap irasional atau bahkan bertentangan langsung dengan apa yang dianggap sebagai hal yang tabu. Namun perilaku orang-orang dengan budaya yang berbeda bukankah suatu hal yang tidak bisa diprediksi. Ada kecenderungan urutan, dan tradisi yang jelas. Richard D. Lewis (1996) mengklasifikasikan budaya dunia kedalam tiga kategori besar, yaitu:

(11)

mengorganisasikan dan melakukan suatu kegiatan satu-demi satu. Jerman, Swiss, Belanda, Amerika termasuk dalam kelompok ini.

2. Multi-aktif, adalah orang-orang yang suka berbicara dan lincah, yang melakukan banyak hal sekaligus, merencanakan prioritas mereka tidak sesuai dengan jadwal, tapi sesuai dengan gerak hati yang relatif atau tingkat kepentingan perjanjian. Italia, Amerika, Latin, Arab, India termasuk dalam kelompok ini.

3. Reaktif, adalah budaya yang memprioritaskan sopan santun dan rasa hormat, mendengarkan lawan bicara dengan tenang dan memberi reaksi terhadap usulan pihak lain dengan hati-hati. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain Jepang Cina, Finlandia, Kepulauan Pasifik (Fiji, Tonga dsb), dan negara-negara di Asia Tenggara seperti Taiwan, Korea, Singapura Vietnam, Kamboja, Laos, Malaysia, Indonesia.

Secara garis besar tujuan utama komunikasi antarbudaya antara lain agar para peserta komunikasi dapat bersama-sama menggambarkan, menguraikan dan memprediksikan pesan-pesan yang berkaitan dengan perubahan/perbedaan kebudayaan pada tingkat dan arah tertentu pada suatu waktu atau rangkaian waktu dari beberapa kelompok kebudayaan (Liliweri, 2011:83).

Seperti sudah dikemukakan diatas, bahwa untuk menganalisa proses komunikasi budaya, khususnya proses interaksi yang terjadi pada mahasiswa asing dengan mahasisiwa lokal di Universitas Sebelas Maret, peneliti menggunakan model “conversation” dari Littlejohn dan Foss (2011). Sebelum masuk kedalam penjelasan model “conversation” tersebut terlebih dahulu akan dijelaskan bagaimana peran masing-masing individu dalam sebuah interaksi. Dalam hal ini individu tersebut bisa mahasiswa asing atau mahasiswa lokal.

D. Peran Individu pada Model “Conversation”

Littlejohn dan Foss (2011) mengemukakan bahwa dalam sebuah percakapan, individu dapat berperan sebagai komunikator maupun komunikan. Hal ini disebabkan masing-masing individu dapat saling berganti peran baik sebagai komunikator maupun komunikan pada saat terjadi percakapan.

Hal itu sesuai dengan Tubbs (2008 :10) yang mendefinisikan komunikasi manusia dalam bukunya, Human Communication : Principles and Contexts, sebagai

(12)

proses menciptakan makna yang melibatkan dua orang atau lebih, yang masing masing mempunyai peran yaitu sebagai Komunikator 1 (pengirim / penerima) dan Komunikator 2 (penerima / pengirim). Kedua belah pihak secara simultan dipengaruhi oleh satu sama lain dalam transaksi pesan. Namun demikian, dalam kenyataannya, keduanya merupakan sumber komunikasi, dan masing-masing berasal dan menerima pesan secara bersamaan. Karena peran masing individu yang setiap saat dapat berubah maka penulis mengistilahkan komunikator dan komunikan sebagai “komunikator 1” dan “komunikator 2”. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai komunikator 1 dan komunikator 2 yang dikutip dari Tubbs (2008 :10-18).

1. Komunikator 1 : Pengirim / Penerima

Komunikator 1 adalah orang yang mencoba untuk mengirim pesan kepada orang lain (komunikator 2) dengan tujuan untuk menciptakan makna yang mirip dengan yang dimaksud oleh pengirim pesan dengan menggunakan berbagai saluran. Disini komunikator 1 dan komunikator 2 secara bersamaan mengirim dan menerima pesan sepanjang waktu.

Pesan. Pesan bisa verbal maupun non verbal, yang mungkin dikirim secara sengaja maupun tidak sengaja. Sehingga ada empat jenis pesan yang mungkin terjadi: 1). intentional verbal (verbal dilakukan secara sengaja), 2). un intentional verbal (verbal tidak disengaja), 3). intentional nonverbal (non verbal dilakukan secara sengaja), 4). unintentional nonverbal ( non verbal tidak disengaja). Menurut Tubbs pesan ini terjadi berisi dua rangsangan atau lebih dan pesan berlangsung secara tumpang tindih (overlap). Pesan verbal adalah jenis komunikasi yang menggunakan satu perkataan atau lebih. Sebagian besar rangsangan komunikasi sadar masuk dalam kategori pesan verbal disengaja; upaya sadar menyebabkan orang untuk berkomunikasi dengan orang lain melalui cara berbicara . Di sisi lain, pesan verbal disengaja adalah hal-hal yang orang katakan tanpa sengaja. Pesan nonverbal adalah semua pesan yang dikirim tanpa kata-kata atau lebih dari kata-kata yang digunakan, yaitu mencakup semua aspek nonverbal dari perilaku manusia: ekspresi wajah, postur, nada suara, gerakan tangan, cara berpakaian, dan sebagainya. Pesan nonverbal tidak dapat dijelaskan dengan mudah seperti pesan verbal, mungkin karena kategori sangat luas. Ketika komunikator 2 (penerima/pengirim) menerima pesan, ada empat proses yang akan terlibat: perhatian, pendengaran, pemahaman, dan mengingat.

(13)

Saluran. Jika orang berbicara melalui telepon, maka yang mentransmisikan rangsangan komunikatif adalah gelombang udara melalui telephon, akan tetapi saluran komunikasi akan berbeda pada saat terjadi komunikasi tatap muka yaitu malalui organ sensorik. Walaupun semua panca indera dapat menerima rangsangan namun orang secara umum hampir menggunakan tiga hal : pendengaran, penglihatan, dan sentuhan. Misalnya, seseorang mendengarkan keadaan argumen dari orang lain, atau seseorang bertukar pandangan dengan teman atau meletakkan tangan di bahu seseorang.

2. Komunikator 2 : Penerima/Pengirim

Secara umum, penekanan pada istilah komunikator adalah sebagai pengirim pesan, namun dalam sebuah percakapan komunikator juga berperan sebagai penerima pesan. Pada kebanyakan komunikasi , persepsi visual akan menjadi aspek penting dari penerimaan pesan, namun sebenarnya ada aspek penting lain dari penerimaan pesan yaitu listening (mendengarkan). Seperti juga dikemukakan DeVito (2013: 83) bahwa dalam komunikasi interpersonal mendengarkan adalah salah satu yang paling penting. Ketika Komunikator 2 (penerima/pengirim) mendengarkan, juga ada empat proses yang terjadi, yaitu : perhatian, pendengaran, pemahaman, dan mengingat. Setelah menerima pesan, komunikator 2 kemudian memberi umpan balik (feedback) kepada komunikator 1, dimana feedback secara umum didefinisikan sebgai the return to you of behavior you have generated. Dapat diartikan bahawa pesan yang telah dibuat akan kembali kepada pada yang telah membuat pesan. Dalam komunikasi tatap muka (percakapan) terjadi saling ketergantungan dan umpan balik diantara komunikator 1 dan komunikator 2. Sebagai contoh, masukan budaya komunikator 2 mungkin cukup berbeda dengan komunikator 1.

Dalam penelitian ini pada saat terjadi interaksi, mahasiswa asing dapat berperan sebagai komunikator 1 maupun komunikator 2, dan peran tersebut berganti secara terus menerus selama interaksi berlangsung.

E. Model “Conversation” dalam Komunikasi Antarbudaya

Model adalah representasi suatu fenomena, baik nyata ataupun abstrak, dengan menonjolkan unsur-unsur terpenting dari fenomena tersebut. Model digunakan untuk

(14)

menjelaskan fenomena komunikasi dan mempermudah dalam menjelaskannya. Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr. mengatakan, model membantu merumuskan teori dan menyarankan hubungan. Model dapat berfungsi sebagai basis bagi suatu teori yang lebih kompleks (Mulyana, 2005: 121-122). Penjelasan lain tentang model juga dikemukakan oleh B. Aubrey Fisher (1986: 93-94) mengatakan, model adalah analogi mengabstraksikan dan memilih bagian dari keseluruhan, unsur, sifat atau komponen yang penting dari fenomena yang dijadikan model. Dengan kata lain model adalah teori

Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan kajian proses interaksi yang terjadi pada mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal dengan menggunakan konsep model “conversation” dari Littlejohn yang berangkat dari pemikiran bahwa setiap kali seseorang masuk kedalam suatu situasi yang baru atau bertemu orang-orang baru, maka seseorang tersebut sangat mungkin untuk berinteraksi dengan orang tersebut. Seseorang yang berinteraksi dengan orang baru akan mengalami mengalami tahap-tahap yang diperlukan dalam mencapai suatu komunikasi yang baik dan efektif (Littlejohn dan Foss, 2011: 179).

Pada penelitian ini peneliti akan berada pada ranah konteks komunikasi interpersonal dimana peneliti akan menganalisa proses interaksi yang terjadi antar individu yaitu antara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal. Seperti yang dinyatakan oleh DeVito (2013: 5) bahwa “Interpersonal communication is the verbal

and nonverbal interaction between two (or sometimes more than two) interdependent people” (Komunikasi interpersonal adalah interaksi verbal dan nonverbal antara dua

atau kadang-kadang lebih dari dua orang yang saling tergantung). Komunikasi interpersonal adalah bagian utama dari eksistensi manusia yang setiap orang berpendidikan perlu memahami. Dari apa yang dikemukakan DeVito, dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal merupakan faktor kunci bagi mahasiswa pada sebuah lembaga pendidikan untuk memperoleh keterampilan untuk berkomunikasi dan memiliki kemampuan bekerja sama dalam kegiatan di lingkungan tempat mereka belajar. Selain itu komunikasi interpersonal antara mahasiswa dari berbagai negara dan budaya yang berbeda dapat membuka peluang bagi mereka untuk berbagi pengetahuan informasi dan pengalaman. Pada saat yang sama, membantu mereka untuk memecahkan masalah akademik mereka sehari-hari malalui kerjasama dan meningkatkan komunikasi mereka.

(15)

Littlejohn menyatakan “…..people use socially negotiated rules to “read” social

situations and actions and to know how to respond to others in concersation”(….orang

menggunakan aturan negosiasi sosial untuk membaca situasi sosial dan tindakan serta untuk mengetahui bagaimana respon orang lain dalam sebuah percakapan). Itu artinya jika orang berada dalam situasi conversation, maka akan melihat pola komunikasi yang terbentuk dalam proses komunikasi tersebut. Littlejohn memandang percakapan mencakup semua jenis interaksi, termasuk pembicaraan sosial, perdebatan-perdebatan dan argumen, upaya pemecahan masalah, dan jenis lain dari wacana dimana komunikator menggunakan bahasa dan komunikasi non verbal. Jika kita lihat dari apa yang dikemukanan Littlejohn, “conversation” benar-benar menjadi jantung komunikasi, dan untuk itulah menonjol dalam teori komunikasi (Liitejohn dan Foss, 2011: 179). Secara lebih lanjut akan dijelaskan pada bab ini.

Peneliti melihat model yang dibangun oleh Littlejohn dalam bukunya Theories

of Human Communication (2011) pada pembahasan “conversation” sangat tepat untuk

menggambarkan bagaimana proses interaksi yang terjadi pada siswa asing disuatu negara, khususnya dalam penelitian ini akan dilakukan di Indonesia, tepatnya Universitas Sebelas Maret. Seperti yang telah dikemukakan pada latar belakang penelitian, Littlejohn dan Foss (2011) berpendapat ada empat komponen unsur-unsur yang saling berkaitan dalam model “conversation”, yaitu : (1) Uncertainty management (manajemen ketidakpastian); (2) Adaptation (adaptasi); (3) Meaning in interaction (pemaknaan sebuah interaksi); (4) Culture (budaya). Komponen unsur-unsur inilah yang kemudian akan dijadikan sebagai pijakan dalam melakukan penelitian komunikasi antarbudaya ini.

Untuk menguraikan unsur-unsur dalam model “conversation” tersebut maka penulis akan menggunakan teori-teori yang mempunyai pengaruh dan hubungan dengan komunikasi antarbudaya yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya pada bab ini.

1. Pengelolaan Ketidakpastian

Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain. Gudykunst dan Kim (1984) dalam Liliweri (2009: 19) menunjukkan bahwa orang-orang yang kita kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan

(16)

yang tepat atas relasi antar pribadi. Gudykunts mengasumsikan bahwa setidaknya satu orang dalam sebuah komunikasi antar kelompok adalah orang asing yang melalui serangkaian krisis awal yang dihadapi, yaitu mengalami kecemasan, ketidakpastian, merasa tidak aman, dan mereka tidak yakin bagaimana harus bersikap (Griffin, 2006: 427).

Teori-teori tentang bagaimana mengelola ketidakpastian berawal dari teori yang dikembangkan oleh Charles Berger, William Gudykunts dan rekan-rekannya. Teori ini berkaitan dengan cara kita mengumpulkan informasi tentang orang lain, mengapa kita melakukannya, dan apa hasil yang kita peroleh ketika kita melakukan sesuatu. Dengan kata lain, fokusnya adalah pada cara-cara individu memantau lingkungan sosial mereka dan menginginkan informasi yang lebih banyak tentang diri sendiri maupun orang lain melalui interaksi (Littlejohn dan Foss, 2011: 180-181).

Secara garis besar dapat dikatakan komunikasi yang efektif merupakan tujuan dari pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian yang dihadapi seseorang pada saat berkomunikasi dengan orang yang baru dikenal. Gudykunts (1995) dalam Yoshitake (2002: 178) melihat komunikasi sebagai “proses” dari pertukaran pesan dan penciptaan makna, bukan “hasil”. Artinya,pesan tidak dapat hanya dikirim saja. Hal ini dapat diasumsikan bahwa komunikasi yang efektif terjadi bila orang menafsirkan makna yang melekat pada pesan relatif sama dengan yang dimaksud oleh pengirim pesan. Teori yang akan dijadikan rujukan peneliti dalam menganalisa manajemen ketidakpastian adalah “teori manajemen kecemasan-ketidakpastian” disingkat AUM (Anxiety

Uncertainty Management) yang merupakan teori dari Gudykunts.

Teori Pengelolaan Kecemasan/ketidakpastian. Teori ini adalah karya dari Gudykunts (1988) yang dikembangkan dari teori pengurangan ketidakpastian karya Charles Berger yaitu melihat bagaimana ketidakpastian dan kecemasan itu terjadi dalam situasi budaya yang berbeda. Gudykunts menemukan bahwa setiap orang yang menjadi anggota suatu kebudayaan tertentu akan berupaya mengurangi ketidakpastian pada tahap awal hubungan mereka, namun mereka melakukannya dengan cara yang berbeda-beda berdasarkan latar belakang budayanya. Perberbeda-bedaan ini dapat dijelaskan dengan cara melihat apakah seseorang berasal atau merupakan anggota dari “budaya konteks tinggi” atau “budaya konteks rendah” (Littlejohn dan Foss, 2011: 182).

(17)

Baik secara langsung maupun tidak langsung, semua teori dibidang komunikasi antarbudaya, termasuk teori yang akan dibahas pada topik ini, membahas tentang efektifitas dalam berkomunikasi dengan para individu yang berbeda budayanya. Teori Gudykunts tentang pengelolaan kecemasan/ketidakpastian (Anxiety/Uncertainty

Management, AUM) ditujukan secara langsung dan spesifik untuk menjelaskan

“efektifitas komunikasi” yang didefinisikan menurut korespondensi antara makna yang dimaksud dari pengirim dan interpretasi penerimanya didalam perjumpaan antarbudaya. Dari awal diciptakannya teori ini hingga versi terkini teori dari Gudykunts ini berpendirian bahwa kemampuan untuk mengelola kedua pengalaman psikologis yaitu ketidakpastian dan kecemasan sangat hakiki untuk meningkatkan efektifitas komunikasi antarbudaya (Berger dkk, 2014: 656).

Gudykunts menemukan bahwa setiap orang yang menjadi anggota suatu kebudayaan tertentu akan berupaya mengurangi ketidakpastian pada tahap awal hubungan mereka, namun mereka melakukannya dengan cara berbeda-beda berdasarkan atas latar belakang budayanya masing-masing.

Littlejohn dan Foss (2011: 182-183) mengemukakan, bahwa secara garis besar hal-hal yang menjadi dasar dalam teori pengelolaan kecemasan/ketidakpastian dapat dilihat pada penjelasan berikut ini:

1. Proses pengurangan ketidakpastian antara orang-orang yang berasal dari kebudayaan berbeda dipengaruhi oleh konteks budaya seseorang itu berasal.

2. Proses pengurangan ketidakpastian juga dipengaruhi oleh sejumlah variable tambahan seperti identitas diri, pengalaman persahabatan dan juga pengetahuan bahasa orang asing itu

3. Setiap orang memiliki tingkatan atau level yang berbeda dalam menangani ketidakpastian dan kecemasan yang dirasakannya

Asumsi satu, Perbedaan ini dapat dilihat dengan cara apakah seseorang itu

berasal atau merupakan anggota dari “budaya konteks tinggi” (high-context cultures) yang melihat pada situasi keseluruhan untuk menginterpretasikan peristiwa atau “budaya konteks rendah” (low-context cultures) yang melihat pada isi pesan verbal yang terungkap dengan jelas (Littlejohn dan Foss, 2011: 182). Asumsi kedua, ketika seseorang mengidentifikasikan dirinya secara kuat dengan budayanya dan ia berfikir orang lain berasal dari kelompok budaya yang berbeda maka orang pertama tadi akan

(18)

merasakan kecemasan dan juga ketidakpastian yang cukup besar, begitu pula sebaliknya. Pengalaman dan persahabatan dengan orang-orang yang berasal dari budaya berbeda dapat meningkatkan kepercayaan dseseorang ketika ia bertemu dengan orang asing yang tidak dikenalnya. Sedangkan dengan mengetahui bahasa orang asing lain akan menolong seseorang meningkatkan kepercayaan dan toleransi, sehingga jika seseorang lebih percaya dan tidak terlalu cemas untuk bertemu dengan kelompok yang berbeda maka kemungkinan akan lebih baik dalam mendapatkan informasi sehingga mengurangi ketidakpastian. Asumsi ketiga, setiap individu memiliki ambang batas yang berbeda dalam menangani ketidakpastian dan kecemasan yang dirasakannya. Jika level ketidakpastian malampaui batas atas yang dimiliki seseorang, maka kepercayaannya akan berkurang, dan jika level kecemasan terlalu tinggi maka seseorang bahkan akan menghindari komunikasi sama sekali. Dalam hal ini terdapat pula batas bawah, dan jika ketidakpastian dan kecemasan seseorang lebih rendah dari batas bawah ini maka motivasi seseorang untuk berkomunikasi juga akan hilang. Dengan demikian level atau tingkat ketidakpastian dan kecemasan yang ideal bagi suatu situasi komunikasi antarbudaya terletak diantara ambang batas atas dan ambang batas bawah, dimana akan memotivasi seseorang untuk berkomunikasi, sehingga ia akan menggunakan strategi pengurangan ketidakpastian.

Efektifitas komunikasi antarbudaya nampaknya sangat tergantung pada ketidakpastian dan kecemasan. Semakin sedikit seseorang tahu dan semakin cemas, maka semakin sedikit pula keefektifan seseorang yang berada dalam situasi antarbudaya (Littlejohn dan Foss, 2011: 183). Skema dari Anxiety/Uncertainty Management (AUM) dapat dilihat pada gambar 2.5.berikut ini (Griffin, 2006: 248):

(19)

Gambar 2.2. Skema Anxiety/Uncertainty Management (AUM)

SUPERFICIAL CAUSES BASIC CAUSES MODERATING PROCESS OUTCOME

Sumber : Griffin E.M. 2006.. A First Look At Communication Theory. 6th edition. New York: McGraw-Hill hlm. 428

Pada gambar dari kiri “superficial causes/ penyebab permukaan”, merupakan faktor-faktor yang biasanya menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan pada pertemuan antarbudaya. Superficial causes adalah faktor permukaan yang mempunyai kontribusi terhadap masalah mendasar dari kecemasan dan ketidak pastian dalam pertemuan antarbudaya. Dalam AUM ada 39 dari 47 aksioma yang menyajikan hubungan sebab akibat dengan ketakutan dan kebingungan yang biasanya terjadi ketika adanya pertemuan dua budaya berbeda. Namun untuk penyelidikan dalam penelitian ini penulis hanya akan menggunakan 10 aksioma yang akan membantu dalam pamahaman pada pertemuan awal seseorang dengan suatu budaya yang berbeda. 10 Aksioma tersebut disajian oleh Grifin dalam bukunya A First Look At Communication Theory

Motivation to Interact

Need for predictability Need for group inclusion Need to sustain self-concept

Reactions to Strangers

Empathy

Tolerance for ambiguity Rigid intergroup attitudes

Social Categorization of Strangers

Positive expectations Peceived personal similarities Understanding group differences

Situation Processes

Ingroup power Cooperate task

Presence of ingroup members

Connection with Strangers

Attraction to strangers Interdependence with strangers Quality and quantity of contact

Ethical Interactions

Maintaning dignity Moral inclusiveness Respect for strangers

Self Concept Social indentities Personal identities Collective self-esteem Uncertainty Management Communication Effectiveness Mindfulness Anxiety Management

(20)

(2006: 442-446) yang secara garis besar aksioma tersebut terbagi menjadi tujuh bagian yang menyebabkan terjadinya kecemasan dan ketidakpastian yaitu :

1. Konsep diri

Aksioma 3 : Peningkatan harga diri kita saat berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan dan peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi perilaku mereka secara akurat

2. Motivasi untuk berinteraksi

Aksioma 9 : Peningkatan kepercayaan kita pada kemampuan kita untuk memprediksi perilaku orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita. Penurunan kecemasan kita akan menghasilkan peningkatan kepercayaan diri kita dalam memprediksi orang asing.

3. Reaksi terhadap orang lain

Aksioma 10 : Peningkatan kemampuan kita untuk memproses informasi secara kompleks tentang orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan dan peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi perilaku mereka secara akurat.

Aksioma 13 : Peningkatan toleransi untuk ambiguitas akan menghasilkan penurunan kecemasan kita.

4. Pengkatagorian sosial pada orang asing

Aksioma 17 : Peningkatan kesamaan personal yang kita rasakan antara dirikita sendiri dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan dan peningkatan kemampuan kita untuk secara akurat memprediksi perilaku mereka.

Aksioma 20 : Peningkatan pemahaman bahwa kita berbagi identitas dengan orang asing dalam suatu kelompok akan menghasilkan penurunan kecemasan dan meningkatan kemampuan kita untuk memprediksi perilaku mereka secara akurat.

5. Proses situasional

Aksioma 26 : Peningkatan pada kekuatan kita untuk melihat bahwa kita memiliki kelebihan dari orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan dan penurunan akurasi prediksi kita pada perilaku mereka.

(21)

6. Hubungan dengan orang asing

Aksioma 27 : Peningkatan daya tarik pada orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan dan peningkatan kepercayaan diri kita dalam memprediksi perilaku mereka.

Aksioma 31 : Peningkatan jaringan/networks kita dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan dan peningkatan kemampuan kita untuk secara akurat memprediksi perilaku mereka.

7. Interaksi etika

Aksioma 34 : Peningkatan inklusivitas moral kita terhadap orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita.

Sepuluh aksioma diatas adalah faktor-faktor yang menurut Gudykunts mempengaruhi kecemasan dan ketidakpastian. Gudykunts juga menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan perpanjangan dari prinsip-prinsip komunikasi interpersonal.

2. Adaptasi

Pada bagian ini peneliti akan melakukan penyelidikan fokus pada adaptasi perilaku dari individu terhadap individu lain dalam sebuah interaksi. Peneliti menggunakan pendekatan pada teori akomodasi (accommodation theory) dari Howard Giles yang digunakan untuk menjelaskan tentang alasan bagaimana dan mengapa seseorang melakukan penyesuaian pada saat seseorang melakukan komunikasi dengan orang lain.

Teori Akomodasi Komunikasi. Salah satu pemikiran teoritik yang menjadi landasan berfikir dalam penelitian ini adalah teori yang dikembangkan oleh Howard Giles yang merupakan salah satu teori perilaku yang paling berpengaruh dalam ilmu komunikasi. Teori akomodasi (accommodation theory) adalah teori yang menjelaskan bagaimana dan mengapa kita menyesuaikan perilaku komunikasi kita dengan perilaku komunikasi orang lain (Littlejohn dan Foss, 2011: 183). Inti dari teori ini adalah adaptasi, dimana orang menyesuaikan komunikasi mereka dengan orang lain, baik di dalam hubungan interpersonal, dalam kelompok kecil, maupun lintas budaya. Teori akomodasi komunikasi ini sebelumnya dikenal sebagai teori akomodasi wicara (speech

Accommodation Theory), tetapi kemudian dikonseptualisasikan secara lebih luas

(22)

premis bahwa ketika pembicara berinteraksi, mereka menyesuaikan pembicaraan, pola vocal, dan/atau tidak tanduk mereka untuk mengakomodasi orang lain (West&Turner, 2008: 212)

Untuk mendapatkan pengertian mengenai karakteristik utama dari Teori akomodasi komunikasi, kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan kata akomodasi. Dalam konteks ini, akomodasi (accommodation) didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Meskipun akomodasi kadang-kadang dilakukan secara sadar, namun biasanya dilakukan secara tidak sadar (West & Turner, 2008: 212).

Beberapa asumsi yang menjadi dasar teori akomodasi komunikasi yang dikemukakan oleh West & Turner (2008: 219) adalah sebagai berikut :

1. Persamaan dan perbedaan berbicara dan perilaku terdapat didalam semua percakapan.

2. Cara dimana kita mempersepsikan tuturan dan perilaku orang lain akan menentukan bagaimana kita mengevaluasi sebuah percakapan.

3. Bahasa dan perilaku memberikan informasi mengenai status sosial dan keanggotaan kelompok.

4. Akomodasi bervariasi dalam hal tingkat kesesuaian, dan norma mengarahkan proses akomodasi.

Berikut ini penjelasan lebih lanjut tentang keempat asumsi dari teori akomodasi komunikasi diatas. Asumsi pertama, asumsi ini timbul karena prinsip teori akomodasi komunikasi banyak berpijak pada keyakinan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara para komunikator dalam sebuah percakapan. Asumsi kedua, yaitu terletak pada persepsi, yaitu proses memperhatikan dan menginterpretasikan pesan, maupun evaluasi yaitu, proses menilai percakapan. Akomodasi komunikasi adalah teori yang mementingkan bagaimana orang mempersepsikan dan mengevaluasi apa yang terjadi didalam sebuah percakapan. Asumsi ketiga, adalah berkaitan dengan dampak yang dimiliki bahasa terhadap orang lain, dimana secara khusus bahasa memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan status dan keanggotaan kelompok diantara para komunikator dalam suatu percakapan. Asumsi keempat, berfokus pada norma dan isu mengenai kepantasan sosial. Dalam konteks ini norma memiliki pengertian harapan mengenai

(23)

perilaku yang dirasa seseorang harus atau tidak harus terjadi didalam percakapan (West & Turner, 2008: 220-221)

Secara garis besar, teori ini mempertimbangkan motivasi dan konsekuensi yang mendasari dari apa yang terjadi ketika dua pembicara menyesuaikan gaya komunikasi mereka. Selama komunikasi berlangsung, orang akan berusaha untuk mengakomodasi atau menyesuaikan gaya berbicara mereka dengan orang lain. Ini terutama dilakukan dalam dua cara : divergensi (divergence) dan konvergensi (convergence). Giles, Nikolas Coupland dan Justine Coupland (1991) mendefinisikan konvergensi sebagai “strategi dimana individu beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain”. Sedangkan divergensi adalah strategi yang digunakan untuk menonjolkan perbedaan verbal dan non verbal diantara komunikator. Kelompok-kelompok dengan kabanggan budaya yang kuat sering kali menggunakan divergensi untuk menekan identitas kelompok. Konvergensi terjadi ketika terdapat kebutuhan besar akan persetujuan sosial, sering kali dari individu-individu yang memiliki kekuasan (West & Turner, 2008: 218-227)

3. Pemaknaan Dalam Sebuah Interaksi

Makna merupakan hakekat komunikasi. Seseorang yang terlibat dalam sebuah interaksi, maka ia dan lawan bicaranya akan terus menerus memberikan makna pada berbagai pesan/informasi yang mereka sampaikan maupun yang diterimanya. Secara garis besar pada bagian ini peneliti akan memberikan perhatian pada bagaimana makna tercipta dalam sebuah interaksi. Dalam topik ini akan digunakan pendekatan dari teori interaksi simbolis (symbolic interactionism) dari George Herbert Mead yang akan menjelaskan tentang apa yang menyebabkan orang bersama-sama dan mengapa orang mau untuk berbagi makna, serta bagaimana komunikator dan komunikan bekerja sama dalam cara yang terstruktur untuk mengatur pembicaraan mereka.

Teori Interaksi Simbolis. Teori interaksi simbolis (symbolic interactionism) lahir pada awal abad ke sembilan belas yang merupakan suatu gerakan pemikiran ilmu sosiologi yang dibangun oleh seorang warga Amerika, George Herbert Mead. Teori dari Mead ini kemudian diteruskan oleh Herbert Blumer , seorang murid Mead. Karya Mead kemudian menjadi inti dari aliran pemikiran yang dinamakan Chicago School (Paloma, 2000: 255).

Blumer (1969: 2) mengemukakan, interaksi simbolik berdasar pada tiga premis sederhana. Premis pertama, perilaku manusia selalu mengarah pada makna yang

(24)

mereka miliki atau manusia (human being) bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna mereka. Sesuatu (thing) yang dimaksudkan adalah obyek fisik seperti pohon atau kursi, makhluk hidup sebagai teman berinteraksi, dan obyek yang sifatnya abstrak seperti keadilan, kebenaran, identitas, kepercayaan, dan lain sebagainya.

Premis kedua, adalah makna yang ada datangnya dari suatu proses interaksi

sosial. Makna dalam interaksi simbolik tidak menyatakan sebagai hal yang melekat pada suatu obyek, bukan juga sebagai sebuah proses psikologi, melainkan makna dilihat sebagai hasil dan kreasi yang dibentuk di dalam dan melalui aktifitas orang-orang yang ada dalam suatu proses interaksi. Jadi makna tidak pernah absolut karena makna dicapai berdasarkan suatu proses negosiasi dalam suatu interaksi. Sedangkan premis ketiga, mengatakan bahwa makna itu sendiri dikelola dan dimodifikasi melalui proses interpretasi yang digunakan dalam menghadapi obyek sosial untuk bertindak dalam suatu interaksi.

Proses interaksi sendiri mempunyai dua tahapan, pertama melihat makna dari obyek yang ada atau manusia mengindikasikan sesuatu pada dirinya sendiri kearah mana dia akan bertindak. Kedua, melihat makna dari satu kesatuan yang melekat dari obyek tersebut. Artinya, saat proses komunikasi dalam diri sendiri, interpretasi menjadi suatu cara dalam menghadapi makna yang ada. Dalam hal ini, manusia memilih, melihat, mengembangkan, mengelompokkan, dan mentransformasikan makna dalam situasi dimana dia berada dan arah dari tindakannya. Permainan makna menjadi bagian dalam suatu tindakan melalui proses interaksi dalam diri sendiri. Interaksi simbolik adalh produk sosial yang dibentuk oleh dan melalui aktivitas manusia yang saling berinteraksi (Blumer, 1969: 3).

Seperti yang disebutkan sebelumnya, Blumer (169: 10) mengkategorikan obyek menjadi tiga yaitu, obyek fisik, obyek sosial, dan obyek abstrak. Makna tersebut belum tentu mempunyai kesamaan bagi setiap individu karena makna terhadap suatu obyek bagi individu tergantung dari dengan siapa mereka berinteraksi sehingga obyek dilihat sebagi hasil kreasi sosial.

Mead memperkenalkan konsep society (masyarakat), self (diri), dan mind (fikiran). Ketiga konsep tersebut memiliki aspek-aspek yang berbeda namun berasal dari proses umum yang sama yang disebut social act (tindakan sosial), yaitu suatu unit tingkah laku lengkap yang tidak dapat dianalisis kedalam subbagian tertentu. Dalam

(25)

bentuk yang paling sederhana, sebuah social act mencakup tiga bagian hubungan. Pertama, adanya isyarat awal dari gerak atau isyarat tubuh (gesture) dari individu. Kedua, adanya respon terhadap gesture. Ketiga, adalah hasil yang merupakan makna bagi act. Makna tidak semata-mata hanya berada pada salah satu dari ketiga hal tersebut tetapi berada dalam suatu hubungan segitiga yang terdiri dari tiga hal tersebut. Berkaitan dengan pemaknaan dalam sebuah interaksi, maka interaksi simbolis memfokuskan perhatiannya pada cara-cara yang digunakan manusia untuk membentuk makna dan struktur masyarakat melalui percakapan. (Littlejohn dan Foss,2011: 190-191)

Konsep pertama Mead adalah society. Society merupakan sebuah kelompok kehidupan yang berdasarkan perilaku kerja sama antar anggota kelompoknya. Kerja sama manusia mengharuskan kita memahami niat orang lain, yang juga mencari tahu apa yang akan kita dan orang lain lakukan dimasa depan. Jadi, kerja sama itu sendiri terdiri dari bagaimana kita membaca tindakan orang lain dan niat meresponnya dengan cara yang tepat. Makna juga bagian penting yang merupakan hasil dari interaksi melalui symbol yang digunakan. Kita menggunakan makna untuk menginterpretasikan apa yang terjadi di sekitar kita. Yang jelas kita tidak akan bisa berkomunikasi tanpa berbagi makna dan symbol yang kita gunakan (Littlejohn dan Foss, 2002: 148)

Konsep kedua adalah self. Menurut Mead (1934: 279), self memiliki dua sisi yang masing-masing memiliki tugas penting, yaitu “self” yang mewakili saya sebagai subyek (I) dan saya sebagai Obyek (me). Hal-hal yang benar-benar kita lakukan, seperti kata-kata pada waktu kita berbicara, ekspresi kita, emosi kita, inilah yang disebut dengan “I”. “I” adalah respon dari diri sendiri terhadap sikap orang lain. Disisi lain “me” adalah himpunan yang terorganisir dari sikap orang lain yang diasumsikan oleh diri sendiri. Selain itu, sikap orang lain yang terbentuk diatur oleh “me”, yang selanjutnya bereaksi sebagai “I” (Mead, 1934: 175).

Gagasan tentang konsep diri juga dikemukakan oleh Williarm D. Brooks (1974) dalam Rakhmat (2013: 98) ynag mendefinisikan konsepdiri sebagai “those physical,

social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others”. Dapat disimpulkan bahwa konsep diri

adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini dapat bersifat psikologi, sosial, maupun fisis.

(26)

Konsep yang terakhir dari Mead adalah mind. Mind bukanlan sesuatu, tetapi merupakan proses. Mind adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain (Liittlejohn dan Foss, 2002: 148)

Barbara Ballis dalam Littlejohn dan Foss (2011: 190) merangkum ada enam gagasan yang mendasari teori Interaksi simbolis dari George Herbert Mead, yaitu :

1. Manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang dihadapinya sesuai dengan pengertian subyektinya.

2. Kehidupan sosial merupakan proses interaksi, kehidupan sosial bukanlah struktur atau bersifat struktural dan karena itu akan terus berubah.

3. Manusia memahami pengalamannya melalui makna dari simbol yang digunakan dilingkungan terdekatnya (primary group), dan bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan sosial.

4. Dunia terdiri dari berbagai obyek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan secara sosial.

5. Manusia mendasarkan tindakannya atas interpretasi mereka, dengan mempertimbangkan dan mendefinisikan obyek-obyek dan tindakan yang relevan pada situasi saat itu.

6. Diri seseorang adalah obyek signifikan dan sebagaimana obyek sosial lainnya diri didefinisikan melalui interaksi social dengan orang lain.

4. Budaya

Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa dalam bukunya The Silent Language (1959) “budaya adalah komunikasi” dan “komunikasi adalah budaya”. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, namun pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu (Mulyana, 2005: 6)

Komunikasi antarbudaya merupakan bagian dari komunikasi interpersonal yang tidak akan lepas dari sebuah percakapan dan hal itu tidak dapat dihindari dalam

(27)

kehiduan manusia. Percakapan membentuk identitas individu dan kolektif. Dalam komunikasi antarbudaya, komunikasi dilakukan baik secara verbal maupuan nonverbal. Pada komunikasi secara verbal maka akan orang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Dalam penelitian ini peneliti memberikan batasan penelitian hanya pada komunikasi verbal. Ada beberapa teori yang menunjukkan tentang bagaimana penggunaan bahasa dalam percakapan menciptakan kelompok sosial yang memegang sebuah visi yang sama dan bertujuan untuk membentuk komunikasi yang mampu memberdayakan semua kelompok (Littlejohn dan Foss, 2011: 216). Disini peneliti menggunakan pendekatan teori language-centered perspective on culture yang menjelaskan pentingnya bahasa dalam percakapan pada pembentukan identitas budaya.

Teori Perspektif Bahasa dalam Budaya. Teori perspektif bahasa dan budaya (language-centered perspective on culture) yang dikemukakan oleh Fern Johnson menjadikan studi mengenai linguistik budaya (cultural linguistic) memberikan peran dan pengaruhnya pada isu-isu mengenai keragaman budaya pada masyarakat multi budaya seperti yang terjadi di Amerika Serikat (Littlejohn dan Foss, 2011: 216).

Johnson mengemukakan enam asumsi atau aksioma mengenai perspektif bahasa dalam budaya adalah sebagai berikut :

1. Semua komunikasi terjadi dalam kerangka budaya.

2. Semua individu secara diam-diam menggunakan pengetahuan budaya yang mereka miliki untuk berkomunikasi.

3. Dalam masyarakat multukultural, ada ideologi bahasa yang dominan yang membuat kelompok-kelompok lain tergusur.

4. Anggota kelompok budaya yang terpinggirkan memiliki pengetahuan mengenai budaya asli mereka selain mengetahui budaya dominan.

5. Pengetahuan budaya dapat dipertahankan dan ditularkan kepada orang lain namun akan selalu berubah.

6. Ketika budaya hidup berdampingan, maka masing-masing budaya akan saling mempengaruhi (Littlejohn dan Foss, 2011: 216)

Fokus pada percakapan, Johnson menyatakan perlunya merasakan perbedaan pada setiap percakapan, melalui suatu pemahaman dari berbagi faktor budaya yang dibawa masing-masing peserta percakapan. Secara garis besar teori ini dirancang untuk mempromosikan suatu pengertian terhadap bahasa tertentu dan berbagai variable

(28)

budaya dari kelompok budaya tertentu sekaligus mendorong pengertian mengenai bagaimana suatu wacana percakapan pada kelompok masyarakat dapat muncul, berkembang, dan kemudian terjadi interaksi dengan dengan ideologi bahasa yang dominan dalam suatu .

Teori ini memiliki fokus perhatian pada budaya khususnya bahasa pada berbagai kelompok masyarakat yang hidup berdampingan khususnya di AS. Johnson dalam penelitiannya di Amerika Serikat (AS) terhadap empat wacana budaya di AS tentang gender, masyarakat keturuan Afrika, Spanyol, dan Asia, melihat bahwa masing-masing wacana memberikan implikasi yang berbeda-beda dalam kegiatan komunikasi dan kebijakan sosial di AS. Dengan melihat dari empat institusi utama yaitu pelayanan kesehatan, tata hukum, pendidikan, dan lingkungan kerja, hasil penelitian menunjukkan bahwa dominasi dan hemegoni bahasa Inggris sangat berpengaruh di negara itu. Johnson mengemukakan berbagai kesulitan yang harus dihadapi kelompok-kelompok minoritas di AS karena adanya dominasi bahasa Inggris ini.Melalui teori ini Johnson berupaya mempromosikan perlunya pengertian yang lebih besar terhadap faktor-faktor yang dapat memberikan sumbangan bagi keragaman budaya (multiculturalism) dan mempromosikan kebijakan bahasa (Littlejohn dan Foss , 2011: 216-217).

F. Tinjauan Penelitian Terdahulu 1. Penelitian Terdahulu

Berikut beberapa penelitian terdahulu yang dapat menjembatani research

gap dari penelitian yang akan dilakukan terkait dengan topik dan masalah seputar

komunikasi antarbudaya yang terjadi pada mahasiswa asing.

a. Impact of Study Abroad on Students’ Intercultural Communication Skill Penelitian ini dilakukan di Amerika Serikat oleh Williams melalui

Journal of Studies in International Education pada tahun 2005 yaitu melakukan

penelitian tentang dampak studi di luar negeri pada kompetensi komunikasi antar siswa di Universitas Kristen Texas. Williams ingin menawarkan bukti konkret dari nilai-nilai dan hasil studi di luar negeri dengan mengukur kemampuan adaptasi dan sensitivitas yang menurut dia, merupakan dasar dari kompetensi komunikasi antarbudaya. Menggunakan kelompok yang tinggal di

(29)

kampus sebagai kontrol, Williams menemukan bahwa kelompok studi di luar negeri memiliki peningkatan kesadaran budaya, pemahaman yang lebih untuk budaya lain, dan peningkatan yang lebih besar secara keseluruhan dalam keterampilan komunikasi antarbudaya setelah mereka kembali bila dibandingkan dengan siswa yang tidak belajar di luar negeri.

b. Intercultural Friendship Development Between Finnish and International

Students

Penelitian yang lebih baru dilakukan pada tahun 2011 oleh Fei Peng dalam thesis di University of Jyväskylä Finlandia, yang didasarkan pada studi dalam membangun hubungan, pengembangan persahabatan dan pengembangan persahabatan antarbudaya, dengan maksud untuk memahami proses terbentuknya persahabatan antarbudaya dan faktor-faktor yang terlibat dalam pembentukan persahabatan antara siswa Finlandia dan siswa internasional. Secara umum, persahabatan antarbudaya tampaknya berkembang dengan cara yang mirip dengan persahabatan intracultural, namun persahabatan antarbudaya berkembang dari tahap yang lebih rendah (kenalan) menuju ke tahap persahabatan yang lebih tinggi (teman dekat) dan siswa tampaknya menerapkan kriteria yang sama dalam memilih teman untuk kedua konteks. Namun, tampaknya ada juga perbedaan motivasi dan pengembangan antara kedua jenis persahabatan. Dalam konteks persahabatan antar budaya, perbedaan budaya dapat menarik orang untuk menjalin persahabatan antarbudaya. Pengembangan antarbudaya persahabatan bisa lebih cepat dari persahabatan intracultural dalam konteks Finlandia. Dengan menggunakan teori identitas relasional menunjukkan bahwa persahabatan antar budaya terbentuk bersamaan dengan adanya norma, nilai-nilai dan peran dalam suatu hubungan, sedangkan jika dilihat dari teori negoisasi budaya, perilaku lebih fokus kepada pemahaman budaya pada umumnya, dan dapat menangkap dengan baik fitur unik dalam pengembangan persahabatan antar antarbudaya daripada teori identitas relasional.

2. Research Gap

Jika kita lihat, kedua hasil penelitian diatas mempunyai persamaan topik, yaitu komunikasi antarbudaya pada siswa asing, namun keduanya melakukan kajian dari sudut pandang yang berbeda. Penelitian Fei Peng dilakukan untuk memahami proses

(30)

terbentuknya persahabatan antarbudaya, sedangkan penelitian yang dilakukan William lebih cenderung pada adanya pembuktian tentang pengaruh studi diluar negeri pada kompetensi komunikasi antarbudaya siswa, khususnya yang belajar di Universitas Kristen Texas.

Penelitian ini juga membahas komunikasi antarbudaya, namun mempunyai perbedaan fokus kajian, yaitu fokus pada bagaimana proses interaksi yang terjadi antara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal dilihat dari aspek komunikasi sebagai sebuah proses pada konteks komunikasi interpersonal.

Penelitian ini dilakukan dengan latar belakang bahwasannya dalam sebuah interaksi antar individu, tidak akan lepas dari sebuah percakapan. Untuk kebanyakan orang, percakapan merupakan sesuatu yang informal dan merupakan interaksi sehari-hari. Akan tetapi dalam teori komunikasi istilah ini memiliki arti khusus. Littlejohn mendefinisikan pengertian “conversation” adalah : “A conversation is an

interaction sequence with a defined beginning and end, turn taking, and some sort of purpose or a set of goals” (suatu urutan interaksi dengan awal dan akhir yang

jelas, saling bergantian dan memiliki semacam arah atau seperangkat tujuan).

Keunggulan penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa dari hasil penelitian ini maka akan dapat dilihat bagaimana pesan-pesan yang muncul untuk mewujudkan sebuah tujuan yang terbentuk yaitu terjadinya kesepahaman dalam berkomunikasi dan terciptanya komunikasi yang baik dan lancar diantara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal.

G. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini berawal dari permasalahan komunikasi yang terjadi pada mahasiswa asing yang sedang melakukan studi di suatu negara dengan mahasiswa lokal dinegara tersebut. Dari penelitian terdahulu yang ditemukan peneliti, menunjukkan bahwa dalam proses interaksi yang terjadi antara mahasiswa asing dan mahasiswa lokal (tuan rumah) ternyata terdapat beberapa permasalahan yang terjadi sehingga menghambat terciptanya sebuah komunikasi yang baik diantara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal.

Dari permasalahan tersebut, peneliti ingin mendeskripsikan dan menganalisa lebih dalam tentang permasalahan yang terjadi pada proses interaksi tersebut.

(31)

Analisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan pada model “conversation” yang dikemukakan oleh Littlehjohn dan Foss (2011), yang akan memberikan gambaran secara mendalam bagaimana proses interaksi yang terjadi antara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal khususnya yang terjadi pada mahasiswa asing yang sedang melakukan studi di Universitas Sebelas Maret.

Dari hasil diskripsi dan analisis proses interaksi tersebut, maka diharapkan akan ditemukan sebuah solusi dari permasalahan komunikasi tersebut sehingga tercipta sebuah kesepahaman dan komunikasi yang baik diantara mahasiswa asing dan mahasiswa lokal di Universitas Sebelas Maret.

Berikut adalah skema kerangka pemikiran yang dibangun dalam penelitian ini :

Gambar 2.3. Skema Kerangka Pemikiran

Model Conversation :

 Pengelolaan ketidakpastian

 Adaptasi

 Pemaknaan Interaksi

Budaya Interaksi antara mahasiswa asing

dengan mahasiswa lokal

Permasalahan komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asing disebabkan :

1. Adanya keragu-raguan dari mahasiswa asing untuk terlibat dalam sebuah interaksi

2. Mengalami masalah dalam melakukan penyesuaian

3. Kurangnya pemahaman antarbudaya 4. Lemahnya kompetensi bahasa

5. Dikucilkan oleh mahasiswa tuan rumah 6. Diskriminasi rasial

 Terjadi kesepahaman dalam berkomunikasi antara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal

 Terciptanya komunikasi yang baik dan lancar antara

mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal

Gambar

Gambar 2.1. Model Proses Komunikasi Interpersonal
Gambar 2.2. Skema Anxiety/Uncertainty Management (AUM)
Gambar 2.3. Skema Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

1) Fungsi komunikasi. Media pembelajaran digunakan untuk memudahkan komunikasi antara penyampaian pesan dan penerima pesan. Dengan menggunakan media pembelajaran,

Strategi komunikasi yang digunakan oleh komunitas dapat efektif apabila komunikasi yang dilakukan oleh komunitas Hong sebagai komunikator yang menggunakan strategi

bagi Administrator, Pengawas dan pejabat pelaksana yang merupakan eselon V yang belum memiliki ijazah sesuai kualifikasi persyaratan Penyetaraan Jabatan dan telah

Analisis QoS layanan SMS operator “X” dilakukan dengan menghitung waktu tunda serta persentase sms gagal dari percobaan yang dilakukan.. Data yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan

Pada penelitian ini digunakan jamur tanduk untuk mencari kandungan senyawa kimia yang terlarut dalam pelarut isopropanol.. BAHAN

Dalam rapat bulanan setiap angota dalam 1 devisi wajib untuk berkumpul dan membawa semua perkembangan dari keadaan ataupun program- program yang dijalankan selama

Sehubungan dengan hal tersebut maka diperlukan serangkaian workshop item review yang diselenggarakan secara nasional dan berkesinambungan untuk mengumpulkan dan mereview