INFO ARTHA, Volume 4 No. 01 (2020), 62–82
MEKANISME PENGAWASAN HIGH VALUE GOODS (HVG) ATAS TINDAK LANJUT PENERBITAN NOTA HASIL INTELIJEN PADA BARANG PENUMPANG OLEH KANTOR
PELAYANAN UTAMA BEA DAN CUKAI TIPE C SOEKARNO-HATTA
Satria Adhitama
Politeknik Keuangan Negara STAN [email protected]
A R T I C L E I N F O First Received:
[16 April 2020]
Revised:
[20 May 2020]
Accepted:
[04 June 2020]
Keywords:
high value goods, intelligence receipts, DJBC, Soekarno- Hatta
A B S T R A C T
Basically goods brought from abroad are imported goods whose customs obligations must be completed including goods of high value or known as High Value Goods. The Directorate General of Customs and Excise has an important role in monitoring the traffic of goods from abroad that enter Indonesia. This study aims to explore the High Value Goods (HVG) Monitoring Mechanism for Follow-Up Issuance of Intelligence Notes on Passenger Goods by Soekarno-Hatta Type C Customs and Excise Service Office. This study uses constructivist paradigms, qualitative approaches with descriptive traits and case study strategies. Informants in this study were several employees at Soekarno-Hatta Type C Customs and Excise Service Office. Basically the HVG supervision mechanism for the follow-up to the issuance of intelligence receipts on passenger goods by Soekarno-Hatta Type C Customs and Excise Service Office has been well implemented, but there are still some obstacles or problems in HVG supervision, namely there is no official definition/special rules from DGCE on HVG, results inequality determination of officers in the field in carrying out prosecution, incessant splitting mode to trick officers on the ground, tag baggage claim that can be printed manually by passengers, filling out CDs cannot be done online.
Pada dasarnya barang-barang yang dibawa dari luar negeri adalah barang impor yang harus diselesaikan kewajiban pabeannya termasuk barang yang bernilai tinggi atau dikenal dengan High Value Goods. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki peran penting dalam pengawasan lalu lintas barang dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi Mekanisme Pengawasan High Value Goods (HVG) atas Tindak Lanjut Penerbitan Nota Hasil Intelijen pada Barang Penumpang oleh Kantor Pelayanan Utama Bea Dan Cukai Tipe C Soekarno-Hatta. Penelitian ini menggunakan paradigm konstruktivis, pendekatan kualitatif dengan sifat deskriptif dan strategi studi kasus. Informan dalam penelitian ini adalah beberapa pegawai pada KPUBC Tipe C Soekarno-Hatta. Mekanisme pengawasan HVG atas tindak lanjut penerbitan NHI pada barang penumpang oleh KPUBC Tipe C Soekarno-Hatta telah dilaksanakan dengan baik, namun masih terdapat beberapa kendala atau permasalahan dalam pengawasan HVG yaitu belum ada definisi resmi/aturan khusus dari DJBC atas HVG, ketidaksamaan hasil penetapan petugas di lapangan dalam melakukan penindakan, gencarnya modus splitting untuk mengelabui petugas di lapangan, baggage claim tag yang dapat dicetak manual oleh penumpang, dan pengisian CD belum dapat dilakukan secara online.
INFO ARTHA, Volume 4 No. 01 (2020), 62–82
1. PENDAHULUAN
Saat ini hubungan internasional sudah menjadi kegiatan yang pasti terjadi di semua negara. Kemajuan teknologi saat ini memudahkan setiap orang untuk melakukan hubungan bisnis dengan cepat tanpa menguras banyak tenaga. Hubungan internasional mencakup hubungan antarnegara, hubungan antar beberapa negara, maupun hubungan antara negara dan organisasi internasional. Hubungan antarnegara tentu diperlukan setiap negara agar dapat bekerja sama dalam berbagai hal seperti ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain. Dalam hal kerja sama ekonomi, suatu negara akan melakukan kegiatan ekspor-impor untuk mendapatkan devisa sekaligus memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu setiap negara harus terbuka terhadap datangnya barang dari luar negeri.
Selain perpindahan barang, berkat kemajuan teknologi saat ini, setiap orang dengan mudahnya pergi dari suatu negara ke negara lain. Hal ini dapat dibuktikan dengan jumpah penumpang di Bandara Internasional Soekarno Hatta mengalami kecenderungan meningkat di tahun 2016 sebanyak 58 juta jiwa, 2017 sebanyak 63 juta jiwa, 2018 sebanyak 65 juta jiwa, dan mengalami penurunan di tahun 2019 yaitu 54 juta jiwa. Tak dapat dipungkiri perpindahan orang tersebut turut serta membawa barang-barang.
Dengan kata lain, setiap orang melakukan kegiatan ekspor-impor barang-barang yang memungkinkan dibawa sebagai barang bawaan penumpang. Tentunya suatu negara punya peraturan tersendiri terhadap orang atau barang yang masuk ke dalam daerahnya.
Peraturan ini dibuat atas dasar pertimbangan untuk pengawasan negara terhadap ancaman langsung dari orang ataupun barang bawaannya yang berpotensi mengancam kedaulatan suatu negara. Tidak dapat dipungkiri juga regulasi ini dibuat untuk meningkatkan penerimaan negara melalui pengenaan pungutan atas barang yang masuk ke suatu negara hingga untuk mengamankan atau melindungi kelangsungan industri dalam negeri.
Begitu juga dengan Indonesia yang tidak bisa terlepas dari hubungan internasional. Saat ini Indonesia sedang gencar mempromosikan sektor pariwisata dalam rangka meningkatkan devisa negara. Pemerintah berharap semakin banyak wisatawan mancanegara yang datang berkunjung ke Indonesia. Pada akhir 2019 jumlah wisatawan mancanegara berjumlah 1.377.067 kunjungan, pada akhir 2018 berjumlah 1.405.554 kunjungan. Di akhir 2017 berjumlah 1.147.031 kunjungan dan di akhir 2016 berjumlah 1.113.328 kunjungan dan di akhir tahun 2105 berjumlah 986.339 kunjungan. Tentunya diperlukan suatu peraturan yang dijadikan sebagai pedoman pengawasan bagi orang maupun barang yang datang berkunjung ke Indonesia.
Pemerintah harus melakukan pengawasan dalam
rangka mengamankan potensi penerimaan negara.
Potensi penerimaan negara ini dapat bersumber dari bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) dari barang-barang yang dibawa oleh wisatawan asing yang datang ke Indonesia.
Pada dasarnya barang-barang yang dibawa dari luar negeri adalah barang impor yang harus diselesaikan kewajiban pabeannya termasuk barang yang bernilai tinggi atau dikenal dengan High Value Goods (HVG). HVG merupakan barang yang biasanya dengan sengaja disembunyikan saat impor untuk menghindari kewajiban pabeannya yang bernilai besar dan hal ini berpotensi merugikan penerimaan negara.
Selain hilangnya potensi penerimaan negara, HVG yang disembunyikan agar terbebas dari kewajiban pabean akan merugikan industri penjual barang bernilai tinggi yang ada di dalam negeri. Barang bernilai tinggi ini dapat berupa komoditi tertentu seperti perhiasan, batu mulia, jam tangan mewah, tas tangan mewah, barang elektronik, dan barang mewah lainnya. Berbagai modus dilakukan demi menghindari bea masuk yang tinggi menurut Kepala Kantor Bea Cukai Soekarno-Hatta pada tahun 2017 pada Kompas.com. Menurut okezone.com modus yang dipakai adalah memasukkan barang dagangan jastip ke dalam barang bawaan penumpang.
Komoditi yang sering disembunyikan dalam koper atau tas penyedia jastip adalah tas dan sepatu branded.
Sehingga perlunya pengawasan yang mumpuni atas impor barang bernilai tinggi ini agar tidak terjadi penyelundupan yang dapat menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara.
Dalam melaksanakan pengawasan barang HVG, diperlukan suatu instansi yang dapat diandalkan dalam menjaga arus lalu lintas barang yang masuk ke Indonesia. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) merupakan salah satu institusi di bawah Kementerian Keuangan yang memiliki peran penting dalam pengawasan lalu lintas barang dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Dalam menjalankan peran tersebut DJBC dikembangkan sedemikian rupa sehingga memiliki dua fungsi yaitu fungsi pelayanan dan fungsi pengawasan terhadap arus barang keluar masuk Indonesia. Fungsi ini dikembangkan menjadi empat tugas utama DJBC yaitu revenue collector, community protector, trade facilitator, dan industrial assistance.
Dalam rangka mempercepat pembangunan bangsa, DJBC dituntut untuk berperan di bidang penerimaan perpajakan yaitu sebagai pengumpul pendapatan negara melalui bea masuk, bea keluar, dan cukai. DJBC juga dititipkan tugas oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengumpulkan pendapatan negara melalui PDRI. Berdasarkan Laporan Kinerja DJBC tahun 2018, DJBC berhasil menyumbang penerimaan negara sebesar Rp205,4 Triliun atau sebesar 105,8%
dari target APBN sebesar Rp194,1 Triliun. Disamping penerimaan dari bea masuk, bea keluar dan cukai, DJBC juga melakukan pungutan negara atas Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) sebesar Rp245,1 Triliun, sehingga total penerimaan negara yang dikelola oleh DJBC tahun 2018 sebesar Rp450,5 Triliun. Penerimaan tersebut memberikan sumbangsih sekitar 25% dari total pendapatan negara pada APBN tahun 2018 sebesar Rp1.894,72 Triliun. Bahkan bila dilihat dari penerimaan perpajakan yang Rp1.618,09 Triliun DJBC berkontribusi mencapai 27,5%. Oleh karena itu, DJBC juga dituntut melaksanakan tugas pengawasan kepada masyarakat terhadap lalu lintas barang yang keluar masuk daerah pabean. Oleh karena itu, DJBC diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan atas barang-barang ekspor maupun impor tanpa menganggu proses kelancaran bisnisnya.
Pengawasan dilakukan atas jalur masuk dan keluarnya barang baik melalui darat, laut, maupun udara. Percobaan penyelundupan HVG biasanya dilakukan melalui jalur udara sebagai barang penumpang karena barang tersebut bernilai sangat tinggi dalam jumlah dan bentuk yang tidak terlalu besar. Penyelundupan adalah kegiatan mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan atau sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang- Undang Kepabeanan. Sebagai revenue collector sekaligus community protector, DJBC harus meningkatkan pengawasan atas barang-barang bernilai tinggi yang dapat mengancam perekonomian dan industri dalam negeri sekaligus meningkatkan potensi penerimaan negara.
Kewenangan dalam melakukan pengawasan tersebut dijalankan oleh seluruh instansi vertikal DJBC termasuk Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe C Soekarno-Hatta (KPUBC Tipe C Soekarno-Hatta) yang memiliki tugas dan fungsi melayani dan mengawasi lalu lintas barang pada Bandara Internasional Soekarno- Hatta (BISH). Tercatatat pada berita yang dipublikasi oleh bandarasoekarnohatta.com yang terbit 8 Januari 2018 “Jumlah penumpang internasional di tahun 2017 jumlahnya meningkat 12% menjadi 14.718.973 penumpang internasional yang dilayani di Bandara Soekarno-Hatta”. Sebagai bandara yang tersibuk di Indonesia, Bandara Internasional Soekarno-Hatta merupakan salah satu gerbang utama penyelundupan HVG yang terjadi di Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam alinea.id bahwa tahun 2109 422 kasus penyelundupan barang mewah dengan modus jasa titipan (jastip) yang masuk via Bandara Soekarno-Hatta.
Mengingat hal tersebut, DJBC khususnya KPUBC Tipe C Soekarno-Hatta memiliki tugas besar untuk mengamankan kepentingan bangsa Indonesia atas
barang-barang yang keluar atau masuk daerah pabean.
Percobaan penyelundupan HVG dapat dilakukan dengan berbagai cara oleh penumpang seperti body strapping, body concealment, splitting diselipkan ke barang bawaan maupun pakaian, dibawa/ digenggam di tangan dan berbagai macam cara lainnya. Akhir-akhir ini modus baru penyelundupan ialah splitting yaitu memisahkan barang dengan kotaknya sehingga dianggap sebagai barang bekas ataupun barang pribadi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai pada Kumparan.com tahun 2019 bahwa banyak modus modus yang digunakan untuk penyelundupan barang mewah salah satunya adalah dengan modus splitting. Tercatat pada berita yang dipublikasikan oleh kumparan.com yang terbit tanggal 14 September 2018 “Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengonfirmasi kebenaran sosialita Nina Kaginda yang melakukan modus pemisahan tas dan kotak (splitting) melalui Bandara Soekarno Hatta. Petugas menemukan empat barang dalam kemasan pembungkus (koli).
Namun setelah pemeriksaan lebih lanjut, didapatkan 15 komoditas tas mewah dan aksesoris, terdiri dari empat buah bermerek Hermes, empat buah tas Chanel, empat buah tas Louis Vuitton, dua buah tas Dior, sebuah tas Bvlgari, serta jam tangan, anting, hingga cincin.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan suatu rekomendasi unit intelijen berbentuk produk intelijen. Unit intelijen adalah unit yang bertugas untuk mengumpulkan dan menganalisis suatu informasi.
Menurut Perdirjen Nomor-53/BC/2010 unit intelijen adalah unit pengawasan di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan mempunyai fungsi intelijen dalam pengelolaan informasi berupa pengumpulan, penilaian, analisis, distribusi, dan evaluasi data atau informasi berdasarkan database dan/atau informasi lainnya yang menunjukkan indikator risiko pelanggaran kepabeanan dan cukai. Pengumpulan informasi dapat dilakukan dengan cara mengamati data penumpang yang sudah didapat sebelum penumpang sampai di bandara. Data penumpang dapat diamati melalui aplikasi yang dipakai oleh unit intelijen dan tindak lanjutnya ialah memberi atensi atas target kepada unit penindakan untuk dilakukan penindakan. Atensi ini berupa produk intelijen yaitu Nota Hasil Intelijen (NHI). NHI inilah yang akan membantu unit penindakan dalam melakukan penindakan di lapangan nantinya. Tentunya NHI ini dibuat setelah adanya informasi yang dikumpulkan dan dianalisis dengan parameter tertentu terlebih dahulu, sehingga NHI ini bisa dipertanggungjawabkan keakuratannya. Beberapa aplikasi yang digunakan untuk mengambil informasi penumpang ialah Passenger Analysis Unit (PAU), Passenger Name Record for Government (PNR GOV), Passenger Risk Management (PRM). Melalui Nota Hasil Intelijen ini
INFO ARTHA, Volume 4 No. 01 (2020), 62–82
pengawasan atas barang terutama barang bernilai tinggi atau HVG dapat dimaksimalkan pendapatan atas kewajiban pabeannya. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi proses pengawasan High Value Goods (HVG) dengan situs penelitian pada Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe C Soekarno-Hatta.
2. KERANGKA PEMIKIRAN A. Pengawasan
Pengawasan dapat didefinisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Ini berkenaan dengan cara-cara membuat kegiatan-kegiatan sesuai yang direncanakan.
Pengertian ini menunjukan adanya hubungan yang sangat erat antara perencanaan dan pengawasan.
Definisi pengawasan yang dikemukakan oleh Robert J.
Mocklerberikut ini telah memperjelas unsur-unsur esensial proses pengawasan: Pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merangcang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semuasumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaiantujuan-tujuan perusahaan.
Tahap-tahap dalam Proses Pengawasan yaitu tahap penetapan standar, tahap penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan, tahap pengukuran pelaksanaan kegiatan, dan tahap pembandingan pelaksanaan dengan standard an analisis penyimpangan. Karakteristik-karakteristik pengawasan yang efektif Untuk menjadi efektif, sistem pengawasan harus memenuhi beberapa kriteria. Kriteria-kriteria utama adalah bahwa sistem seharusnya mengawasi kegiatan-kegiatan yang benar, tepat waktu, dengan biaya yang efektif, tepat akurat, dan dapat diterima oleh yang bersangkutan. Semakin dipenuhinya kriteria- kriteria tersebut semakin efektif sistem pengawasan.
B. Ketentuan Umum Barang Bawaan Penumpang Peneliti menjabarkan peraturan tentang ketentuan umum barang bawaan penumpang berdasarkan PMK Nomor 203/PMK.04/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut.
1. Ruang Lingkup Barang Impor yang Dibawa oleh Penumpang
Barang impor bawaan penumpang terdiri atas:
a. barang pribadi penumpang yang dipergunakan/dipakai untuk keperluan pribadi termasuk sisa perbekalan (personal use);
dan/atau
b. barang impor yang dibawa oleh penumpang selain barang pribadi (non-personal use).
Pejabat Bea dan Cukai berwenang menetapkan kategori barang impor bawaan penumpang berdasarkan manajemen risiko.
2. Pemberitahuan Pabean
Barang impor yang dibawa oleh penumpang wajib diberitahukan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean. Pemberitahuan pabean dapat dilakukan secara lisan atau disampaikan secara tertulis. Pemberitahuan secara lisan dilakukan pada tempat tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Pemberitahuan secara tertulis disampaikan dengan menggunakan:
a. Customs Declaration; atau
b. Pemberitahuan Impor Barang Khusus.
Customs Declaration dan Pemberitahuan Impor Barang Khusus diisi secara lengkap dan benar. Customs Declaration atau Pemberitahuan Impor Barang Khusus dapat disampaikan paling lambat pada saat kedatangan Penumpang. Pengeluaran barang impor dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Pejabat Bea dan Cukai.
Customs Declaration digunakan sebagai pemberitahuan pabean atas impor.
3. Pembebasan Bea Masuk dan Cukai
Terhadap barang impor yang diperoleh dari luar Daerah Pabean diberikan pembebasan bea masuk dan/
atau cukai sampai batas nilai pabean dan/ atau jumlah tertentu. Terhadap barang pribadi yang diperoleh dari luar Daerah Pabean dengan nilai pabean paling banyak FOB USD500.00 (lima ratus United States Dollar) per orang untuk setiap kedatangan, diberikan pembebasan bea masuk. Dalam hal nilai pabean barang pribadi penumpang yang diperoleh dari luar Daerah melebihi batas nilai pabean, atas kelebihan tersebut dipungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Selain diberikan pembebasan bea masuk, terhadap barang pribadi penumpang yang merupakan barang kena cukai, diberikan pembebasan cukai untuk setiap orang dewasa dengan jumlah paling banyak:
a. 200 (dua ratus) batang sigaret, 25 (dua puluh lima) batang cerutu, atau 100 (seratus) gram tembakau iris/ produk hasil tembakau lainnya; dan/ atau b. 1 (satu) liter minuman mengandung etil alkohol.
Dalam hal produk hasil tembakau lainnya terdiri atas lebih dari 1 (satu) jenis produk hasil tembakau, pembebasan bea masuk dan/atau cukai diberikan setara dengan perbandingan jumlah per jenis produk
hasil tembakau lainnya tersebut. Dalam hal nilai pabean barang pribadi Penumpang yang diperoleh dari luar Daerah Pabean yang merupakan barang kena cukai melebihi jumlah, atas kelebihan jumlah tersebut langsung dimusnahkan oleh Pejabat Bea dan Cukai dengan atau tanpa disaksikan penumpang yang bersangkutan.
4. Pemeriksaan dan Pengeluaran
Berdasarkan pemberitahuan pabean, penumpang mengeluarkan barang impor dalam 2 (dua) jalur, yakni:
a. Jalur Merah, dalam hal penumpang membawa barang impor berupa:
1) barang dengan nilai pabean melebihi batas yang dapat diberikan pembebasan bea masuk dan/
atau melebihi jumlah barang kena cukai yang dapat diberikan pembebasan bea masuk dan/
atau cukai;
2) hewan, ikan, dan/ atau tumbuhan, termasuk produk yang berasal dari hewan, ikan, dan/ atau tumbuhan;
3) narkotika, psikotropika, prekursor, obat-obatan, senjata api, senjata angin, senjata tajam, amunisi, bahan peledak, atau benda/ publikasi pornografi; dan/ atau
4) uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain dengan nilai paling sedikit Rp l00.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara dengan itu.
b. Jalur Hijau, dalam hal Penumpang tidak membawa barang impor sebagaimana dimaksud dalam barang yang masuk pada pengeluaran melalui jalur merah seperti diatas.
Setelah menerima pemberitahuan pabean Pejabat Bea dan Cukai:
1) memberikan persetujuan pengeluaran barang, dalam hal barang impor termasuk dalam kategori pengeluaran barang melalui Jalur Hijau;
2) melakukan pemeriksaan fisik, dalam hal barang impor termasuk dalam kategori pengeluaran barang melalui Jalur Merah; atau Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan fisik atas barang impor yang dibawa oleh Penumpang yang dikeluarkan melalui Jalur Hijau berdasarkan manajemen risiko.
Dalam hal dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya:
1) kelebihan jumlah barang kena cukai dari jumlah yang ditentukan, terhadap kelebihan jumlah tersebut langsung dimusnahkan oleh Pejabat Bea dan Cukai dengan atau tanpa disaksikan oleh Penumpang.
2) barang yang terkena ketentuan larangan atau pembatasan impor, Pejabat Bea dan Cukai melakukan penindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai larangan dan pembatasan;
3) uang tunai dan/ atau instrumen pembayaran lain dengan nilai paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara dengan itu, diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pembawaan uang tunai dan/
atau instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar Daerah Pabean Indonesia;
4) barang impor yang diperoleh dari luar Daerah Pabean dengan nilai pabean tidak melebihi batas nilai pabean yang dapat diberikan pembebasan bea masuk diberikan pembebasan bea masuk;
5) barang impor yang diperoleh dari luar Daerah Pabean dengan nilai pabean melebihi batas nilai pabean yang dapat diberikan pembebasan bea masuk, atas kelebihan tersebut dipungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor berdasarkan keseluruhan nilai pabean dikurangi dengan nilai pabean yang mendapatkan pembebasan bea masuk.
Dalam hal dari hasil pemeriksaan tidak ditemukan adanya barang sebagaimana dimaksud pada barang- barang di atas, Pejabat Bea dan Cukai memberikan persetujuan pengeluaran barang tersebut.
Pejabat Bea dan Cukai melakukan pencatatan terhadap hasil pemeriksaan fisik. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik Pejabat Bea dan Cukai menetapkan tarif dan nilai pabean serta menghitung bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Penumpang wajib membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor berdasarkan penetapan Pejabat Bea dan Cukai. Atas pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor, Pejabat Bea dan Cukai:
1) memberikan bukti pembayaran kepada Penumpang; dan
2) membukukan data barang impor bawaan Penumpang yang dikenakan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor ke dalam buku catatan pabean.
Pejabat Bea dan Cukai memberikan persetujuan pengeluaran atas barang impor dengan nilai pabean melebihi batas nilai pabean yang diberikan pembebasan bea masuk setelah Penumpang melunasi bea masuk dan pajak dalam rangka impor.
5. Penetapan Tarif Bea masuk
Pejabat Bea dan Cukai menetapkan tarif bea masuk atas:
INFO ARTHA, Volume 4 No. 01 (2020), 62–82
a. barang impor yang nilainya melebihi batas nilai pabean yang diberikan pembebasan bea masuk;
dan/ atau
b. barang yang dikategorikan sebagai barang impor selain barang pribadi.
Terhadap barang impor bawaan penumpang yang memiliki nilai pabean melebihi FOB USD 500.00 (lima ratus United States Dollar), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. tarif bea masuk ditetapkan sebesar 10 % (sepuluh persen); dan
b. nilai pabean ditetapkan berdasarkan keseluruhan nilai pabean barang impor bawaan Penumpang dikurangi dengan FOB USD500,00 (lima ratus United States Dollar).
Terhadap barang impor selain barang pribadi berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. tarif bea masuk atas barang yang bersangkutan ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembebanan tarif bea masuk umum; dan
b. nilai pabean ditetapkan berdasarkan keseluruhan nilai pabean barang impor.
C. Gambaran Umum Penerbitan Nota Hasil Intelijen Kegiatan Intelijen yang akan menghasilkan produk intelijen yang salah satunya adalah Nota Hasil Intelijen (NHI) dilakukan berawal dari pengumpulan data dan informasi, penilaian dan analisis informasi, dan dilanjutkan dengan pendistribusian data atau informasi.
1. Pengumpulan Data dan Informasi
Pengumpulan data atau informasi bersumber dari:
1) internal DJBC berupa data atau informasi yang diperoleh melalui kegiatan surveillance, monitoring, atau penerimaan informasi dari unit internal lainnya; dan/atau
2) eksternal DJBC berupa data atau informasi yang diperoleh dari laporan masyarakat atau institusi atau sumber eksternal lainnya.
Hasil pengumpulan data atau informasi diatas dilakukan penyeleksian data atau informasi dengan penelitian terhadap lingkup informasi yang berkenaan dengan kepabeanan dan/atau cukai dalam rangka menentukan kelayakan data atau informasi untuk dilakukan klasifikasi. Hasil pengumpulan data atau informasi dituangkan dalam Lembar Informasi (LI).
2. Penilaian dan Analisis Informasi
Penilaian dilakukan dengan pengklasifikasian data atau informasi berdasarkan LI dalam rangka
menentukan kelayakan data atau informasi untuk dilakukan analisis. Pengklasifikasian informasi dilakukan berdasarkan kriteria tertentu berupa kehandalan sumber dan validitas informasi yang diperoleh. Hasil penilaian data atau informasi dituangkan dalam Lembar Klasifikasi Informasi (LKI)..
Analisis data atau informasi dilakukan dengan mencocokkan, membandingkan, menguji dan meneliti data atau informasi berkaitan dengan indikasi pelanggaran kepabeanan dan/ atau cukai. Hasil analisis data atau informasi dituangkan dalam Lembar Kerja Analisis Intelijen (LKAI).
3. Pendistribusian Data dan Informasi
Lembar Kerja Analisis Intelijen (LKAI) ditindaklanjuti dengan penerbitan produk intelijen berupa Nota Hasil Intelijen (NHI) yang memuat informasi mengenai indikasi kuat adanya pelanggaran kepabeanan dan/ atau cukai yang bersifat spesifik dan mendesak dari Unit Intelijen, untuk segera dilakukan penindakan oleh Unit Penindakan Kantor Pelayanan.
Produk intelijen ini bersifat terbatas pada Unit Pengawasan atau pihak terkait.
D. Gambaran Umum Tata Laksana Penindakan 1) Kegiatan Penindakan
Kegiatan penindakan dilaksanakan oleh Unit Penindakan untuk mengamankan hak-hak negara dan menjamin pemenuhan kewajiban pabean dan/atau cukai dengan upaya fisik yang bersifat administratif sesuai ketentuan yang berlaku. Kegiatan penindakan meliputi kegiatan:
a. penelitian pra-penindakan;
b. penentuan skema penindakan;
c. patroli dan operasi penindakan;
d. penentuan hasil penindakan.
2) Penelitian Pra-Penindakan
Penindakan dilaksanakan berdasarkan informasi tentang indikasi pelanggaran yang diperoleh dari unit intelijen. Informasi yang diperoleh dari Unit Intelijen berupa Nota Hasil Intelijen (NHI), Nota Informasi Penindakan (NIP), atau informasi lainnya. Penindakan dapat dilakukan karena kondisi yang bersifat mendesak, dalam hal:
a. terdapat informasi dari sumber lain terkait dengan penindakan yang perlu segera dilakukan;
b. bertangkap tangan, termasuk oleh masyarakat; atau c. merupakan hasil pengembangan penindakan oleh Unit Penindakan terkait dengan penindakan yang sedang dilakukan.
Informasi dari sumber lain dituangkan dalam Lembar Informasi (LI-1). Penelitian pra-penindakan
dilaksanakan dengan analisis terhadap informasi untuk dapat ditentukan kelayakan operasional penindakan.
Atas informasi berupa Nota Hasil Intelijen (NHI) atau Nota Informasi Penindakan (NIP) dilakukan analisis untuk menentukan kelayakan operasional, meliputi:
1) substansi pelanggaran yang meliputi jenis, tempat, waktu dan
2) pelaku pelanggaran; kewenangan penindakan;
3) ketersediaan personil dan sarana penindakan.
Informasi lainnya digunakan sebagai pertimbangan dalam pelaksanaan kegiatan patroli.
Dalam hal hasil analisis:
1) memenuhi kelayakan operasional, ditindaklanjuti dengan operasi penindakan; atau
2) tidak memenuhi kelayakan operasional, diberitahukan kepada Unit Intelijen untuk pengolahan informasi lebih lanjut melalui Nota Pengembalian Informasi (NPI).
Hasil analisis dituangkan dalam Lembar Analisis Pra- penindakan (LAP).
3) Penentuan Skema Penindakan
Dalam rangka operasi penindakan, dilaksanakan penentuan skema penindakan dengan mempertimbangkan:
a. kriteria pokok berupa tempat pelanggaran;
b. kriteria tambahan berupa ketersediaan personil, sarana operasi, waktu dan/atau kompleksitas penindakan.
Operasi Penindakan dilakukan oleh Kantor Pelayanan dalam hal:
a. tempat pelanggaran berada pada wilayah kerja Kantor Pelayanan dan
b. kesiapan personil dan sarana operasi.
Operasi penindakan dapat dilakukan oleh Kantor Wilayah dalam hal:
a. tempat pelanggaran berada pada lebih dari satu wilayah kerja Kantor Pelayanan namun masih dalam satu wilayah kerja Kantor Wilayah; dan
b. kesiapan personil, sarana operasi, waktu dan/atau kompleksitas penindakan.
Operasi penindakan dapat dilakukan oleh kantor Pusat dalam hal:
a. tempat pelanggaran berada pada lebih dari satu wilayah kerja Kantor Pelayanan atau Kantor Wilayah; dan
b. kesiapan personil, sarana operasi, waktu dan/ atau kompleksitas penindakan.
Operasi penindakan dilaksanakan dengan skema:
a. penindakan mandiri;
b. penindakan dengan perbantuan;
c. penindakan yang dilimpahkan; atau
d. penindakan yang dilimpahkan dengan perbantuan.
Penindakan mandiri dilaksanakan oleh Unit Penindakan Kantor DJBC yang menerima informasi tanpa bantuan Unit Penindakan Kantor DJBC lain.
Penindakan dengan perbantuan dilaksanakan oleh Unit Penindakan Kantor DJBC yang menerima informasi dengan bantuan Unit Penindakan Kantor DJBC lain.
Penindakan yang dilimpahkan dilakukan dengan melimpahkan penindakan ke Unit Penindakan Kantor DJBC lain secara vertikal/ horizontal. Penindakan yang dilimpahkan dengan perbantuan dilakukan dengan melimpahkan penindakan ke Unit Penindakan kantor DJBC lain secara vertikal/ horizontal disertai bantuan.
Penindakan dilaksanakan dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan berdasarkan surat perintah.
Penindakan mandiri dilaksanakan oleh Kantor DJBC setempat dengan dibuatkan Surat Bukti Penindakan (SBP) dan berita acara terkait atas pelaksanaan penindakan.
Penindakan dengan perbantuan dilaksanakan oleh Unit Penindakan Kantor DJBC dengan bantuan Unit Penindakan Kantor DJBC lain berdasarkan permintaan tertulis sebelum penindakan, yang disampaikan secara hierarkis disertai alasan dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan. Penindakan dilaksanakan oleh Unit Penindakan kantor DJBC yang mengikutsertakan Unit Penindakan Kantor DJBC lain dan dibuatkan Surat Bukti Penindakan (SBP) serta berita acara terkait atas pelaksanaan penindakan.
Dalam keadaan mendesak yang tidak memungkinkan permintaan bantuan disampaikan sebelum penindakan pemberitahuan disampaikan segera setelah penindakan dilakukan.
Penindakan yang dilimpahkan dilaksanakan berdasarkan Memo Pelimpahan Penindakan (MPP) yang berisi intruksi pelimpahan dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan:
a. dari Unit Penindakan Kantor Pusat ke Unit Penindakan Kantor DJBC; atau
b. dari Unit Penindakan Kantor Wilayah ke Unit Penindakan Kantor Pelayanan.
Penindakan dilaksanakan oleh Kantor DJBC yang menerima pelimpahan dengan membuat Surat Bukti Penindakan (SBP) dan berita acara terkait penindakan.
Penindakan yang dilimpahkan dengan perbantuan dilaksanakan Berdasarkan Memo Pelimpahan Penindakan (MPP) yang berisi instruksi pelimpahan dengan bantuan dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan:
a. dari Unit Penindakan Kantor Pusat ke Unit Penindakan Kantor DJBC; atau
INFO ARTHA, Volume 4 No. 01 (2020), 62–82
b. dari Unit Penindakan Kantor Wilayah ke Unit Penindakan Kantor Pelayanan.
Penindakan dilaksanakan oleh Kantor DJBC yang menerima pelimpahan dengan membuat Surat Bukti Penindakan (SBP) dan berita acara terkait penindakan.
3. METODE PENELITIAN A. Paradigma Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis karena lebih mewakili cara pandang peneliti untuk menjelaskan kerangka sosial yang terbentuk dalam pola pikir individu maupun kelompok yang berdasar pada akal sehat tentang bagaimana subyek penelitian memberi makna pada suatu peristiwa dalam hidupnya (Poerwandari dalam Adhitama, 2011).
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Creswell (2014) merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Alasan utama peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini karena dalam penelitian ini ingin melihat secara mendalam penerapan sistem pengendalian manajemen yang ada sehingga dapat memperoleh gambaran yang lengkap dari permasalahan yang dirumuskan dengan memfokuskan pada proses dan pencarian makna dibalik fenomena yang muncul dalam penelitian, dengan harapan agar informasi yang dikaji lebih bersifat komprehensif, mendalam, alamiah dan apa adanya
C. Sifat Penelitian
Sifat Penelitian ini yaitu bersifat deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang berusaha menggambarkan atau menjelaskan secermat mungkin mengenai suatu fenomena dari data yang ada.
Menurut Moleong (2007) penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Menurut Rakhmat dalam Adhitama (2011) penelitian deskriptif adalah penelitian yang hanya memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi (Moleong, 2007).
Pemilihan metode ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa dalam pembahasan penelitian ini memberikan pembahasan atas proses pengawasan High Value Goods (HVG). Sifat penelitian deskriptif yang memberikan gambaran verbal dianggap sesuai dengan tujuan penelitian ini.
D. Strategi Penelitian
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Penelitian studi kasus adalah suatu penelitian yang berusaha menemukan makna, menyelidiki proses dan memperoleh pengertian dan pemahaman yang mendalam dari individu, kelompok atau situasi (Emzir, 2014). Tujuan dari studi kasus adalah untuk memperdalam pemahaman tentang realitas peristiwa pada konteks tertentu.
Sederhananya, studi kasus mempertanyakan bagaimana dan mengapa pada suatu situasi tertentu, suatu peristiwa terjadi atau apa yang sedang terjadi (Adhitama, 2011). Pemilihan strategi studi kasus didasarkan pada ketertarikan atau kepedulian peneliti untuk melakukan tinjauan atas pengawasan HVG atas tindak lanjut penerbitan nota hasil intelijen pada barang penumpang.
E. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan dua metode, yaitu studi kepustakaan dan penelitian lapangan berupa penelitian dokumen, observasi, dan wawancara.
F. Proses Analisis Data
Setelah semua data terkumpul maka tahap selanjutnya adalah analisis data. Dengan melakukan analisis data, hasil penelitian lapangan sudah dapat dibaca dan berguna dalam menjelaskan masalah penelitian. Analisis data kualitatif menurut Bognan dan Biklen sebagaimana dikutip oleh Moleong (2007), adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah- milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Teknik analisis data kualitatif dilakukan secara bersamaan dengan proses pengumpulan data dan proses interpretasi data.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hermeneutic empiris. Menurt Sumaryono (1993) dalam Adhitama (2011) proses hermeneutic dilakukan dengan cara membandingkan antara data yang diperoleh dengan kerangka pemikiran atau acuan konsep, kemudian digambarkan ulang dengan data empiris. Menurut Sumaryono dalam Bungin (2014) pemahaman hermeneutic melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan, yaitu linguistik, tindakan dan
pengalaman. Dalam penelitian ini hermeneutic empiris berarti bentuk interpretasi atas pengalaman yang dialami peneliti selama penelitian berlangsung, dimana peneliti membandingkan hasil wawancara dengan konsep pengawasan HVG.
Proses analisis data penelitian kualitatif dimulai dari mengumpulkan data, mereduksi data, mennyajikan data, dan menyimpulkan.
G. Alasan Pemilihan Informan
Dalam penelitian kualitatif, hal yang menjadi bahan pertimbangan utama dalam pengumpulan data adalah pemilihan informan. Berdasarkan teknik pemeriksaan keabsahan data, peneliti menetapkan beberapa pegawai pada Seksi Penindakan sebagai informan dalam penelitian ini. Penetapan pegawai- pegawai tersebut sebagai informan dalam penelitian ini berdasarkan kriteria memahami serta berkecimpung langsung dengan pengawasan HVG.
4. HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa informan, peneliti mencoba mengungkapkan hasil penelitian mengenai skema pengawasan HVG pada barang penumpang oleh KPUBC Tipe C Soekarno-Hatta A. Skema Pengawasan Barang Penumpang pada
Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe C Soekarno-Hatta
DJBC sebagai ujung tombak lalu lintas barang yang keluar masuk Indonesia harus bisa melakukan pengawasan secara ketat, efektif, dan selektif.
Mengingat waktu yang dimiliki DJBC saat melakukan pengawasan sangat terbatas, maka perlu dilakukan pengawasan berdasarkan manajemen risiko.
Pengawasan terhadap barang penumpang yang dilakukan oleh KPUBC Tipe C Soekarno-Hatta dibagi dalam dua tahap berdasarkan waktu. Pertama pengawasan dilakukan sebelum kedatangan sarana pengangkut (pre-arrival), dan yang kedua dilakukan setelah kedatangan sarana pengangkut (post-arrival).
1. Pengawasan Sebelum Kedatangan Penumpang Pada tahap ini, Bidang Penindakan dan Penyidikan (P2) Seksi Intelijen yang disebut sebagai unit SENTINELS (Soekarno-Hatta Intelligence Targetting Analysis and Surveillance) akan melakukan pencegahan dengan mengandalkan informasi dari sistem aplikasi Passenger Analyzing Unit (PAU), Passenger Name Record for Government (PNR-GOV), dan Passenger Risk Management (PRM). Selama ini kegiatan pengawasan sebelum kedatangan penumpang, Seksi Intelijen selalu mengandalkan informasi dari PAU dan PNR-GOV, namun saat ini terdapat aplikasi tambahan pengolah
informasi yang dapat dipakai oleh analis intelijen dalam melakukan targeting yaitu PRM. Aplikasi PRM ini merupakan sistem aplikasi terbaru untuk memberikan informasi kepada Seksi Intelijen atas data penumpang.
Aplikasi ini juga merupakan gabungan sistem dari PAU dan PNR-GOV. Walaupun PRM ini merupakan gabungan dari aplikasi pendahulunya, beberapa petugas analis intelijen masih memakai aplikasi yang lama karena beberapa analis intelijen masih terbiasa menggunakan aplikasi lama. Sistem aplikasi PRM ini jauh lebih kompleks dibanding aplikasi pendahulunya.
Aplikasi ini sangat memudahkan analis intelijen untuk mendapatkan data sebanyak-banyaknya atas penumpang. Pada aplikasi PRM ini, dapat dilakukan 72 elemen pencarian atas data penumpang. Lalu aplikasi ini juga dapat menampilkan rekomendasi pencarian yang berisi data penumpang yang biasanya dicari oleh seorang analis intelijen yang mengakses aplikasi tersebut.
Data dari aplikasi-aplikasi yang telah disebutkan inilah yang akan berperan menjadi variabel untuk menentukan nilai scoring seorang penumpang.
Variabel-variabel yang menentukan nilai scoring seorang penumpang digolongkan menjadi beberapa kategori yaitu:
a. Nationality (Kewarganegaraan)
Karakter dan keunikan penumpang pesawat yang berhubungan dengan kewarganegaraan / kebangsaan penumpang tersebut.
b. Inbound (Bandara)
Bandara awal yang dilalui sebelum penumpang dan/ atau pesawat tiba di bandara di tujuan akhir.
c. Travel Document (Dokumen Perjalanan)
Dokumen perjalanan yang digunakan sebagai bukti keabsahan dan alat identifikasi penumpang.
d. Reservation (Reservasi)
Rencana perjalanan penumpang dan mekanisme reservasi yang digunakan.
e. Origin (Asal)
Lokasi asal keberangkatan penumpang dan identifikasi negara asal. Penumpang yang berasal dari negara pemasok memiliki resiko yang sangat tinggi.
Apabila unit intelijen telah melakukan analisis intelijen dan informasi tersebut akurat (A1), maka pihak intelijen akan menerbitkan Nota Hasil Intelijen (NHI) untuk selanjutnya dilakukan penindakan. Informasi intelijen ini disebut informasi spesifik, Pihak intelijen dalam keadaan tertentu tidak wajib menerbitkan NHI, namun akan memberikan atensi pada penumpang dan barang penumpang tersebut. Keadaan tertentu disini
INFO ARTHA, Volume 4 No. 01 (2020), 62–82
seperti informasi yang akan diberikan oleh unit intelijen belum diyakini kebenarannya. Atensi ini diberikan karena adanya kecurigaan-kecurigaan petugas terhadap penumpang dan barang yang dibawanya.
Informasi ini dinamakan informasi general.
Pendistribusian produk intelijen NHI dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Secara elektronik melalui hubungan langsung antar komputer atau melalui sistem Pertukaran Data Elektronik (PDE); atau
b. Secara manual, dalam hal distribusi elektronik tidak dapat dilakukan.
NHI dan atensi dapat disampaikan lebih awal melalui faksimili, radiogram, telepon, atau surat elektronik melalui penyampaian. Karena kemajuan teknologi saat ini, informasi tersebut dapat disampaikan secara cepat melalui grup aplikasi yang dapat mengirimkan pesan secara cepat misalnya whatsapp.
2. Pengawasan Setelah Kedatangan Penumpang Pada pengawasan setelah kedatangan sarana pengangkut, pengawasan akan berfokus pada dua objek yaitu penumpang itu sendiri dan barang penumpang yang dibawa bersama penumpang tersebut. Barang penumpang juga dibagi menjadi dua, yaitu barang yang berada dalam bagasi dan barang yang dibawa oleh penumpang tersebut (handcarry).
Setelah sampai di daerah pabean, barang bagasi akan langsung dipindai menggunakan mesin x-ray yang berada di belakang terminal kedatangan internasional, biasanya disebut x-ray belakang. Barang bagasi ini nantinya akan diambil di conveyor belt oleh penumpang sembari dilakukan pengawasan/
pengamatan oleh petugas.
Setelah pesawat yang membawa penumpang dan barang tiba, informasi dari unit intelijen masih sangat berguna. Informasi ini memudahkan petugas untuk melakukan profiling by visual. Profiling by visual dilaksanakan oleh unit penindakan. Pada saat dilaksanakan operasi oleh unit penindakan maka daerah kedatangan penumpang harus bersih dari instansi selain Bea dan Cukai. Pada waktu pelaksanaan profiling by visual, unit penindakan membentuk tim yang ditempatkan pada posisi strategis untuk melakukan pengawasan penumpang yang baru tiba.
Tim tersebut terbagi atas Behavior Detection Officer (BDO) I, BDO II, Risk Assesment Officer (RAO), petugas x-ray, dan pemeriksa fisik.
a. BDO
BDO adalah petugas yang melakukan pengawasan dengan menggunakan metode Screening Passengers by Observation (SPOT) terhadap penumpang dari mulai
turun pesawat hingga memasuki customs area. BDO I adalah petugas yang bertugas mengawasi penumpang dari awal kedatangan sampai pemeriksaan imigrasi.
BDO II adalah petugas yang mengawasi penumpang setelah pemeriksaan imigrasi, pada saat mengambil barang bagasi, sampai pada penjaluran.
b. RAO
RAO adalah petugas yang melakukan penilaian dengan melihat pemberitahuan pabean dan profil penumpang untuk kemudian dilakukan penjaluran.
c. Petugas x-ray
Petugas x-ray adalah petugas yang melakukan analisis pemindaian dengan menggunakan mesin x-ray, kemudian apabila ada kecurigaan akan memberi tanda.
d. Pemeriksa fisik
Pemeriksa fisik adalah petugas yang melakukan pemeriksaan fisik terhadap penumpang yang melalui jalur merah dan/atau hijau apabila ada kecurigaan.
Pelaksanaan pengamatan yang dilakukan oleh BDO dapat dilakukan dengan penyamaran maupun menggunakan seragam. Dalam hal dilakukan pengamatan terbuka maka petugas menggunakan seragam dan atribut-atributnya. Pada pengamatan tertutup, petugas tidak menggunakan seragam dan atribut-atributnya tetapi dapat melakukan penyamaran-penyamaran menjadi instansi lain misalnya porter, office boy, penjemput, cleaning service, petugas maskapai, instansi lainnya maupun berpura-pura menjadi penumpang lain yang baru turun dari pesawat yang sama. Dilakukannya pengamatan terbuka dengan seragam dimaksudkan agar target fokus untuk menyembunyikan sesuatu dari petugas yang memakai seragam sehingga tidak menyadari ada petugas dengan pengamatan tertutup yang sedang mengawasi.
Tentunya terdapat indikator yang digunakan oleh BDO saat melakukan pengamatan untuk menentukan risiko penumpang. Indikator yang digunakan untuk menentukan risiko penumpang dapat dinilai dari hal berikut:
a. Orang
Pada orang hal yang perlu diperhatikan adalah appearance, performance dan grouping. Appearance adalah indikator tingkat risiko penumpang berdasarkan penampilannya atau pakaiannya. Penampilan yang menjadi atensi adalah penampilan tidak sesuai dengan kondisi misalnya menggunakan sepatu hak tinggi padahal kelihatan sedang hamil, atau menggunakan pakaian yang tidak terlihat proporsional dengan bentuk tubuhnya. Performance adalah indikator tingkat risiko yang berdasarkan pada perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh penumpang. Perilaku atau behavior
terbagi atas tingkah laku verbal dan nonverbal. Tingkah laku verbal dapat dideteksi pada saat penumpang menyerahkan CD baik pada pemeriksaan pertama maupun pada saat dilakukan wawancara atau komunikasi dengan penumpang. Indikator yang menjadi atensi adalah penumpang berusaha menghindar, jawaban yang bertentangan, atau berusaha mengalihkan pembicaraan. Tingkah laku nonverbal adalah gerakan-gerakan fisik seseorang sejak pengambilan bagasi sampai kegiatan seterusnya yang memperlihatkan keanehan. Indikator yang mejadi atensi adalah berusaha menghindari berpapasan dengan petugas, sikap yang kaku, berusaha membetulkan pakaian berkali-kali, berkeringat seperti orang sakit, terlihat panik, mengamati sekitar seperti arah CCTV dan perhatian petugas, dan menunjukkan tindakan terburu-buru. Sedangkan grouping adalah indikator risiko berdasarkan pada kedatangan penumpang bersama penumpang lain. Indikator yang diatensi adalah apakah penumpang datang sendiri, berdua, bersama keluarga, atau berkelompok.
Penumpang yang datang sendirian lebih high risk dibandingkan yang datang bersama keluarga atau kelompok.
1) Barang (luggage)
Hal yang perlu diperhatikan adalah tas atau koper yang digunakan untuk menyimpan barang bawaaan penumpang. Barang terdiri dari barang bawaan kabin dan barang bagasi. Indikator yang menjadi atensi adalah perbandingan banyaknya luggage dibandingkan dengan lamanya waktu berkunjung, bentuk dan penampilan luggage apakah normal atau mencurigakan, terdapat bekas jahitan atau perbaikan, atau bau yang tidak normal.
2) Sarana Pengangkut
Penumpang yang menjadi atensi adalah penumpang yang berasal dari bandara yang tergolong high risk dan maskapai penerbangan yang sering digunakan penyelundup. Indikator ini dapat dilihat pada pengumuman kedatangan di layar informasi atau pada conveyor belt pada saat pengambilan bagasi
Indikator-indikator tersebut akan membantu petugas untuk menemukan upaya penyelundupan ataupun pelanggaran yang akan dilakukan penumpang terutama penumpang yang belum diatensi oleh unit intelijen. Profiling jenis ini perlu dilakukan karena adanya data yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan aplikasi pengolahan data intelijen.
Contohnya adalah untuk mengamati ketidaknormalan jumlah dan bentuk luggage, keanehan pada penampilan/ appearance dan tingkah laku/
performance.
Mekanisme komunikasi antartim yang melakukan profiling by visual ini dapat menggunakan handy talky,
tentunya petugas BDO yang melakukan pengamatan tertutup tidak menggunakan alat ini. Dapat juga menggunakan grup whatsapp yang mana mudah sekali untuk mengirimkan informasi beserta fotonya menggunakan grup whatsapp ini. Mengingat waktu yang terbatas, seringkali penumpang yang telah diatensi oleh petugas BDO langsung diantar ke petugas RAO. Petugas BDO memberi isyarat yang tidak diketahui oleh penumpang kepada petugas RAO bahwa penumpang tersebut dicurigai melakukan pelanggaran.
B. Mekanisme Pengawasan High Value Goods atas Tindak Lanjut Penerbitan Nota Hasil Intelijen atas Barang Penumpang pada Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe C Soekarno-Hatta
Berbicara tentang pengawasan atas komoditi HVG maka targetting yang dilakukan sebelum kedatangan sangat diperlukan. Secara umum teknik targetting ini terdiri atas: indentifikasi risiko sarana pengangkut;
identifikasi risiko penumpang; dan identifikasi risiko kemasan barang. Targetting yang dilakukan ini akan mengeluarkan output berupa informasi intelijen yaitu Nota Hasil Intelijen (NHI). NHI akan menjadi pedoman petugas pada saat melaksanakan penindakan. Dalam melakukan penindakan atas barang penumpang, unit penindakan hanya memiliki waktu yang sangat sedikit dalam melakukan penindakan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya penumpang yang turun dan harus keluar agar tidak terjadi keramaian di dalam kawasan terminal kedatangan.
Petugas harus waspada terhadap modus-modus penyelundupan HVG, karena modus-modus ini bisa saja tidak terdeteksi oleh mesin x-ray yang berada diterminal. Berdasarkan hasil wawancara modus- modus penyelundupan HVG tersebut, khususnya yang terjadi di terminal penumpang, antara lain:
1. Body Concealment
Yaitu modus penyelundupan HVG dengan cara menyembunyikan HVG di bagian-bagian tubuh yang sulit dideteksi. Modus ini juga tidak bisa diungkap melalui mesin x-ray.
2. False Compartement
Merupakan modus penyelundupan dengan cara menyembunyikan HVG pada dinding palsu koper/tas. Modus ini bisa terdeteksi oleh mesin x- ray. Perlu kejelian dari petugas untuk menemukan HVG pada dinding palsu tersebut.
3. In Packaging
Sebuah modus penyelundupan HVG dengan menaruh HVG pada kemasan-kemasan yang dirasa dapat mengelabuhi petugas. Biasanya diletakkan pada kemasan susu, dan kemasan lainnya.
INFO ARTHA, Volume 4 No. 01 (2020), 62–82 4. Body Wrapping/Body Straping
Sebuah modus penyelundupan HVG dengan cara melekatkan pada bagian tubuh. Modus ini tidak bisa dideteksi oleh mesin x-ray. Perlu analisa intelijen petugas yang handal serta selalu mengamati apabila ada gerak-gerik yang mencurigakan.
5. Digenggam, dipakai, ataupun dikantungi
Modus yang biasanya dilakukan terhadap HVG yang memiliki bentuk yang kecil seperti perhiasan atapun jam tangan. Perhiasan seperti mutiara ataupun berlian dengan gampang dapat disembunyikan di sela-sela kantung baju ataupun celana karena karakteristik barangnya yang kecil. Walaupun barangnya kecil namun nilainya sangat tinggi maka modus ini sering dipakai dan penumpang biasanya memberi pengakuan bahwa barang tersebut sengaja digenggam atau dikantungi karena ditakutkan rusak ataupun tercecer jika dimasukkan ke dalam koper.
6. Splitting
Sebuah modus yang sangat terkenal baru-baru ini dilakukan dengan cara membawa HVG melalui barang bawaan penumpang dan memberi pengakuan bahwa barang itu adalah barang milik pribadi. Sementara itu dilakukan pengimporan atau pengiriman kotak/box melalui Perusahaan Jasa Titipan (PJT).
Modus-modus yang telah dijelaskan di atas hanyalah sebagian dari berbagai macam jenis modus yang terjadi hingga saat ini. Maka dalam melakukan targeting, analis intelijen harus selalu up to date mengikuti tren atas komoditi HVG, misalnya di zaman sekarang ini HVG biasanya dibawa oleh orang yang membuka jasa titipan atas barang-barang branded yang bernilai tinggi yang berasal dari luar daerah pabean.
Informasi-informasi ini dapat digali melalui media sosial dan penyedia informasi lainnya. Analis intelijen harus dapat memahami dan menghafal suatu komoditi berasal dan modus pembawaannya. Sehingga saat dilakukan identifikasi atas kedatangan sarana pengangkut, analis intelijen bisa fokus pada komoditi- komoditi tersebut tanpa mengesampingkan pengawasan atas komoditi lainnya.
Sebelum penumpang mengeluarkan barang bawaannya, penumpang mengisi Customs Declaration (CD) di customs desk, Petugas RAO memeriksa CD yang telah diisi oleh penumpang di customs desk dan menentukan penjaluran bagi penumpang tersebut.
Apabila penumpang membawa barang komoditi yang tergolong HVG maka seharusnya penumpang akan men-declare bahwa ia masuk ke jalur merah sebab membawa barang melebihi pembebasan bea masuk yakni USD500 (lima ratus United States Dollar) per orang untuk setiap kedatangan.
Jika barang penumpang masuk jalur merah, maka akan dilakukan x-ray terhadap bagasi kabin/barang yang dibawa penumpang (handcarry). Apabila penumpang dikategorikan jalur hijau maka bagasi kabin penumpang tidak perlu dilakukan x-ray dan penumpang dapat meninggalkan terminal. Terhadap bagasi kabin yang telah dipindai menggunakan x-ray di jalur merah, akan diperiksa fisik secara langsung apabila saat melalui mesin x-ray terdapat tanda bahwa barang tersebut perlu diperiksa fisik. Apabila dalam pemeriksaan fisik terbukti bahwa penumpang membawa HVG yang tidak di declare pada saat pengisian CD maka atas HVG tersebut akan dilakukan penindakan.
Hasil dari penindakan yang telah dilakukan dapat berupa:
1. SBP (Surat Bukti Penindakan)
Jika barang bawaan penumpang tergolong barang larangan dan pembatasan (lartas) dan tidak disertai izin dari kementerian/lembaga terkait maka akan diterbitkan SBP. Contoh apabila terdapat barang bernilai tinggi seperti handphone yang melebihi batas kuota pengimporan yang ditentukan dan tidak memiliki izin lartas maka akan diterbitkan SBP. Dalam rekap pencatatannya, HVG yang tercatat memiliki aturan lartas maka digolongkan sebagai lartas dan tidak dianggap sebagai HVG lagi. Contohnya jika dilakukan penindakan atas lebih dari dua buah handphone maka barang tersebut dicatat sebagai barang lartas, bukan temuan HVG lagi. SBP juga dapat diterbitkan jika terbukti bahwa penumpang dengan sengaja memberitahukan nilai barang bawaan penumpang dengan salah ataupun memakai modus penyelundupan barang untuk menghindari Bea Masuk (BM) dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI). SBP ini ditandatangani oleh petugas dan pemilik barang.
Tabel
Data SBP HVG Januari-April 2019 KOMODITI LOKASI WARGA
NEGARA JUMLAH KASUS Jam Tangan Cargo Indonesia 5
China 1
Jumlah 6
Tas, Sepatu Terminal 3 Indonesia 2 Indonesia 1
Jumlah 3
Perhiasan Terminal 2 Indonesia 1 Terminal 3 China 1 Cargo Indonesia 1
Jumlah 3
TOTAL 12
Sumber: Diolah berdasarkan data Bidang P2 KPUBC Tipe C Soekarno-Hatta
2. ST (Surat Titipan)
ST yang merupakan bukti yang akan diberikan kepada penumpang untuk mengurus barangnya yang dilakukan penegahan. ST diterbitkan ketika kedapatan penumpang membawa HVG namun saat pemeriksaan petugas dinilai penumpang tidak dengan sengaja menyelundupkan atas barang bawaannya tersebut ataupun apabila membawa HVG yang tergolong lartas namun penumpang memiliki izin dari kementerian/lembaga terkait. Penumpang akan mengurus pembayaran BM dan PDRI atas HVG yang dibawa tersebut di kantor. Dapat pula penumpang menitipkan barang bawaan tersebut di bandara dan membawa kembali ke negara asal saat penumpang kembali ke negara asal dalam hal penumpang menolak untuk membayar pungutan atas BM dan PDRI.
Tabel
Data ST HVG Januari-April 2019 KOMODITI LOKASI BULAN
KEJADIAN JUMLAH KASUS Handphone,
Gadget, Part, dan Accecories
Terminal 2 Januari 1
Februari 7
Maret 4
April 2
Terminal 3 Januari 2 Februari 2
Maret 2
Jumlah 20
Jam Tangan Terminal 2 Januari 3 Februari 7
Maret 7
April 4
Terminal 3 Januari 2 Februari 13
Maret 11
April 6
Jumlah 53
Tas dan
Sepatu Terminal 2 Januari 4 Februari 3
Maret 9
April 5
Terminal 3 Januari 9 Februari 7
Maret 14
April 6
Jumlah 57
Perhiasan Terminal 2 Januari 20 Februari 15
Maret 30
April 13
Terminal 3 Januari 3 Februari 1
Maret 2
April 1
Jumlah 85
TOTAL 215
Sumber: Diolah berdasarkan data Bidang P2 KPUBC Tipe C Soekarno-Hatta
Setiap kantor memiliki perlakuan/treatment berbeda dalam menindaklanjuti barang yang dilakukan penindakan ini. Biasanya penindakan atas HVG cukup dilunasi kewajiban pabean dan perpajakannya di terminal, namun KPUBC Tipe C Soekarno-Hatta memiliki kebijakan berbeda di mana HVG diselesaikan di kantor dengan menggunakan dokumen ST tersebut.
Setelah seluruh tahapan penindakan selesai maka akan dibuat Laporan Tugas Penindakan (LTP) dan dilakukan Analisis Hasil Penindakan. Dalam hal Analisis Hasil Penindakan terdapat dugaan pelanggaran maka akan dibuat Laporan Pelanggaran (LP) dan disampaikan kepada unit penyidikan yang dilampiri LTP, berkas penindakan dan Barang Hasil Penindakan (BHP).
Atas laporan yang diterima unit penyidikan tersebut akan dilakukan penelitian. Apabila unit penyidikan menentukan bahwa perkara tersebut merupakan pelanggaran administrasi maka
INFO ARTHA, Volume 4 No. 01 (2020), 62–82
penumpang membayar BM dan PDRI untuk mengeluarkan barangnya. Atas BHP yang termasuk pelanggaran administrasi maka barang tersebut akan dikembalikan ke pemiliknya setelah kewajiban administrasinya terpenuhi. Apabila perkara tersebut merupakan pelanggaran pidana maka akan diselesaikan sesuai pasal 102 UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Perkara tersebut dinilai merupakan pelanggaran pidana apabila penumpang tersebut menyembunyikan barang impor secara melawan hukum atau dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor dalam pemberitahuan secara salah. Terhadap BHP tersebut akan disita sebagai barang bukti dalam hal merupakan pelanggaran pidana.
C. Permasalahan dalam Pengawasan HVG
Pelaksanaan pengawasan dilakukan terhadap HVG oleh KPUBC Tipe C Soekarno-Hatta secara umum berjalan dengan baik, namun berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan yang dilakukan penulis kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab ternyata masih ditemukan permasalahan- permasalahan yang dapat menghambat pelaksanaan kegiatan pengawasan HVG pada KPUBC Tipe C Soekarno-Hatta. Permasalahan tersebut antara lain:
1. Belum Ada Definisi Resmi/Aturan Khusus dari DJBC atas High Value Goods
Berdasarkan wawancara peneliti dengan pegawai di Bidang Penindakan dan Penyidikan KPU BC Tipe C Soekarno-Hatta tidak terdapat definisi resmi yang mengartikan apa itu HVG, sehingga belum ada aturan khusus terhadap HVG selain menjadi barang yang melewati nilai pembebasan. Hal ini disebabkan oleh HVG bukan merupakan barang yang berbahaya seperti Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Narkotika (NPP).
Pada praktiknya dalam menggolongkan suatu barang termasuk HVG atau bukan sekarang masih memakai professional judgement dari petugas di lapangan. Maka perlunya suatu ketetapan atas barang untuk digolongkan sebagai HVG mungkin bisa dari komoditinya, bisa pula dari range harganya, ataupun dari nilai atas barang tersebut. Walaupun dengan adanya definisi resmi/aturan khusus yang atas HVG ini, tidak berdampak pada kenaikan bea masuk dan PDRI nantinya. Tetapi definisi resmi ini dapat membantu petugas dalam menetapkan barang tersebut termasuk HVG atau bukan. Belum adanya aturan khusus yang mengatur pengawasan atas HVG juga berpengaruh pada fokus petugas dalam melakukan pengawasan dan pencatatan. Jika sudah terdapat aturan khusus yang mendefinisikan dan mengatur atas HVG maka HVG ini nantinya akan menjadi salah satu objek pengawasan yang juga mempunyai target pencapaian tersendiri.
Pencatatan tersendiri atas HVG dalam penindakan juga belum menjadi fokus sebelumnya. Pencatatan atas Surat Tagihan khusus HVG dilakukan baru dimulai dari tahun 2019 ini. Pencatatan ini tentunya diperlukan untuk memantau trend pembawaan HVG di Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang menjadi wilayah pengawasan dari KPU BC Tipe C Soekarno-Hatta.
Pencatatan masih dilakukan atas barang yang ditindak sebagai HVG di lapangan. Maka apabila belum ada definisi resmi yang mengatur atas HVG ini, terdapat penindakan di lapangan yang tidak menkategorikan suatu barang bernilai tinggi sebagai HVG sehingga mempengaruhi kesalahan pencatatan. Oleh sebab itu peneliti berpendapat bahwa perlu adanya ketetapan yang mengatur atas HVG, dapat berupa surat ketetapan dari kepala kantor yang isinya mengatur definisi dan batasan nilai yang mencakup range untuk digolongkan sebagai HVG. Sehingga dalam praktiknya nanti, HVG ini cukup menjadi fokus pengawasan dan tidak kalah pentingnya dari NPP, terorisme, ataupun tindak pidana pencucian uang (money laundering).
2. Ketidaksamaan Hasil Penetapan Petugas di Lapangan dalam Melakukan Penindakan
Berdasarkan keterangan yang peneliti dapat dari salah satu pegawai di Bidang Penindakan dan Penyidikan KPU BC Tipe C Soekarno-Hatta, bahwa dalam menetapkan hasil dari penindakan yang dapat berupa Surat Bukti Penindakan (SBP) dalam hal ada keinginan untuk menyelundupkan HVG ke dalam daerah pabean ataupun berupa Surat Titipan (ST) dalam hal penumpang membawa HVG namun tidak bermaksud untuk menyelundupkan ke dalam daerah pabean terkadang masih sering terjadi perbedaan persepsi antarpetugas. Berdasarkan informasi yang penulis dapat terkadang kasus tersebut seharusnya tidak mesti dibuatkan SBP-nya namun sering kali setiap HVG langsung diterbitkan SBP-nya.
Hal ini dapat terjadi karena perbedaan persepsi antarpetugas dalam mengartikan kasus tersebut merupakan penyelundupan atau bukan. Dalam pasal 102 huruf e Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dijelaskan bahwa penyelundupan merupakan setiap orang yang menyembunyikan barang impor secara melawan hukum. Yang dimaksud dengan menyembunyikan barang impor secara melawan hukum yaitu menyimpan barang di tempat yang tidak wajar dan/atau dengan sengaja menutupi keberadaan barang tersebut. Dan yang dimaksud dengan tempat yang tidak wajar antara lain di dalam dinding kontainer, di dalam dinding koper, di dalam tubuh, di dalam dinding kapal pada ruang mesin kapal, atau tempat-tempat lain.
Pengertian Tindak Pidana Penyelundupan (Platt, 2007) dalam bahasa Inggris “smuggle” dan dalam bahasa Belanda “smokkel” yang artinya mengimpor, mengekspor, mengantarpulaukan barang dengan tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak memenuhi formalitas pabean (douneformaliteiten) yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Pengertian ini sendiri sejalan dengan apa yang telah dijelaskan oleh Undang-Undang Kepabeanan pada pasal 102.
Dalam Law Dictionary (Martin.A, 2006) penyelundupan dapat diartikan sebagai berikut:
pelanggaran atas impor atau ekspor barang-barang yang dilarang, atau pelanggaran atas pelanggaran atas impor atau ekspor barang-barang yang tidak dilarang, tanpa membayar bea yang dikenakan atas Undang- undang Pajak atau Bea dan Cukai. Dari pengertian penyelundupan di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa hakikat dari penyelundupan adalah untuk menghindari BM atau BK, demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari seharusnya.
Menurut WCO (“WCO Hanbook for Commercial Fraud Investigators,” 1997) yang dimaksud dengan penyelundupan adalah mengimpor atau mengekspor di luar tempat kedudukan Bea dan Cukai atau mengimpor/mengekspor di tempat kedudukan Bea dan Cukai tetapi dengan cara menyembunyikan barang dalam alas atau dinding-dinding palsu (concealment) atau di badan penumpang.
Dari beberapa pengertian tentang tindak penyelundupan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelundupan merupakan suatu kegiatan ekspor atau impor barang secara melawan hukum seperti tidak memenuhi kewajiban pabean, tidak membayar BM, BK, Cukai, dan PDRI. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat didukung dengan menggunakan modus yang beragam.
Terhadap perbuatan tersebut harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku.
Ketidaksamaan penetapan tentunya harus dihindari untuk memperlihatkan profesionalitas DJBC yang tercermin oleh petugas saat melakukan penindakan. Jika penumpang yang membawa HVG tersebut dengan cara yang sama namun saat dilakukan penindakan diberikan perlakuan yang berbeda misalkan kali pertama membawa diberikan keputusan berupa SBP dan kali kedua membawa diberikan ST di mana kali pertama membawa dianggap sebagai penyelundupan namun kali kedua tidak. Ini akan menimbulkan penurunan reputasi dari DJBC sebagai garda terdepan pengawasan barang-barang yang masuk ke dalam daerah pabean.
SBP dan ST ini juga bisa berujung berbeda maka jika salah penetapan dimungkinkan juga ada potensi kesalahan penetapan pelanggaran ataupun hilangnya penerimaan atas hak negara, atas penindakan yang diterbitkan SBP-nya maka nantinya dapat dilakukan penyidikan. Penyidikan ini dapat menghasilkan beberapa keputusan yaitu bukan merupakan pelanggaran, merupakan pelanggaran administrasi, merupakan pelanggaran pidana, pelanggaran undang- undang lainnya. Atas barang yang dibuatkan ST maka nantinya hanya akan dibayarkan tagihan berdasarkan ST tersebut. Maka jika penindakan yang seharusnya diterbitkan SBP tetapi pada praktiknya dibuatkan ST, dapat terjadi kesalahan penetapan pelanggaran di sini.
Karena SBP ini tidak hanya berujung pada pembayaran atas kewajiban pabean saja. Begitu juga sebaliknya apabila penindakan yang seharusnya diterbitkan ST tetapi pada praktiknya dibuatkan SBP, hal ini menunda penerimaan negara atas kewajiban pabean barang tersebut yang seharusnya dapat langsung dibayar. Oleh sebab itu peneliti berpendapat bahwa dapat diadakan ketetapan bahwa modus apa dengan kriteria apa yang bisa dikategorikan sebagai tindak penyelundupan ataupun yang tidak sengaja membawa. Dapat dibuat sebuah ketetapan/aturan hukum sebagai petunjuk yang petugas di lapangan pakai nantinya. Misalkan di dalam ketetapan/aturan hukum tersebut ketika penumpang sekali ditanya lalu penumpang tidak mengatakan hal yang sejujurnya itu belum dianggap sebuah penyelundupan. Dan apabila penumpang membawa di kantong ataupun di pakaian yang masih dalam tempat yang wajar apakah dianggap penyelundupan atau tidak. Sehingga ada kesamaan penetapan antar petugas di lapangan dengan mengacu pada ketetapan ini.
3. Gencarnya Modus Splitting untuk Mengelabui Petugas di lapangan
Sebuah modus yang sangat terkenal baru-baru ini dilakukan dengan cara membawa HVG melalui barang bawaan penumpang dan memberi pengakuan bahwa barang itu adalah barang milik pribadi. Sementara itu dilakukan pengimporan atau pengiriman kotak/box melalui Perusahaan Jasa Titipan (PJT). Maraknya modus ini karena jika penumpang masuk ke dalam daerah pabean menggunakan atau membawa barang yang tidak dimasukkan atau tidak dibawa bersama kotaknya maka biasanya akan dianggap sebagai barang pribadi atau barang yang sengaja dibawa dari dalam daerah pabean untuk dipakai di luar daerah pabean.
Namun mengingat hal ini sering terjadi, maka petugas dapat mengungkap bahwa ini merupakan salah satu modus dari penumpang untuk menghindari pungutan negara atas HVG yang mereka bawa. Petugas yang mengawasi barang bawaan penumpang dan petugas yang mengawasi barang kiriman harus saling bertukar