GAMBARAN KECEMASAN PADA MAHASISWA YANG MENGALAMI READMISI
OLEH
NADYA ZEFANYA SAKUL
80 2008 042
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
GAMBARAN KECEMASAN PADA MAHASISWA YANG MENGALAMI READMISI
Nadya Zefanya Sakul
Sutriyono
Rudangta Anti Sembiring
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
Abstrak
Readmisi seringkali menjadi faktor yang menyebabkan kecemasan pada mahasiswa yang sudah habis masa studinya. Dalam kondisi cemas tersebut akan mendorong seseorang untuk berusaha keluar dari kondisi yang tidak menyenangkan tersebut. Sikap seseorang ketika dihadapkan dalam kondisi tersebut dapat menjadi motivasi untuk melanjutkan studinya atau sebaliknya justru sebaliknya menjadi tekanan untuk melanjutkan studinya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif agar dapat menggambarkan kecemasan dari mahasiswa yang mengalami readmisi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa mahasiswa yang mengalami readmisi menggunakan beberapa cara defense mechanism untuk berusaha keluar dari kecemasannya. Tekanan dari orangtua menjadi faktor yang dominan penyebab kecemasan pada mahasiswa readmisi. Namun demikian readmisi dapat juga menjadi motivasi seseorang untuk segera menyelesaikan studinya.
Abstract
Readmisi is factor that causes anxiety in students who have finished their study. In a state of anxiety
will certainly encourage someone to try to get out of the unpleasant conditions. A person’s attitude
when faced with a set of conditions can be motivated to continue their studies or otherwise be preasure
to continue their studies. This study used qualitative methods in order to describe the picture of anxiety
of students who experienced readmisi. The result showed that students who experience readmisi defense
mechanism uses several ways to try to get out of anxiety. Pressure from parents becomes the dominant
factor causing anxiety in students readmisi. However readmisi can also be a motivation for someone to
soon
PENDAHULUAN
Sebagai syarat meraih gelar sarjana atau syarat lulus dari perguruan tinggi adalah membuat karya ilmiah, tugas akhir atau yang sering disebut dengan skripsi. Hal ini pasti dialami oleh hampir seluruh mahasiswa diperguruan tinggi manapun termasuk juga di Universitas Kristen Satya Wacana. Di Universitas Kristen Satya Wacana. Ujian karya tulis ilmiah (tugas akhir, skripsi, tesis, disertasi) adalah proses penilaian kemampuan mahasiswa, yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi (PPKA UKSW: 2009). Sebagai syarat untuk mengakhiri program studi atau meraih gelar sarjana, mahasiswa harus menyelesaikan skripsi dalam jangka waktu yang sudah ditentukan. Di UKSW sendiri waktu yang diberikan untuk menyelesaikan studi adalah 7 tahun, jika lebih dari 7 tahun mahasiswa akan dikenai readmisi. Readmisi adalah proses penerimaan kembali mahasiswa UKSW yang sudah keluar atau dianggap keluar karena lalai registrasi selama 3 (tiga) semester berturut-turut atau habis masa studi (Pasal 19 PPKA UKSW: 2009). Hal tersebut yang sering kali menjadi ketakutan bagi mahasiswa, yaitu jika tidak dapat mencapai target atau waktu yang sudah ditentukan untuk menyelesaikan tugasnya.
Pada penelitian yang sebelumnya yang dilakukan oleh Tansel (2013) menyatakan bahwa tingkat stres yang dialami mahasiswa tingkat wreda dalam pengerjaan tugas akhir ini lebih tinggi dari pada mahasiswa yang mengalami readmisi. Namun kondisi readmisi menjadi tekanan tersendiri bagi mahasiswa, satu sisi mereka masih dihadapkan dengan tanggung jawab menyelesaikan skripsinya, tetapi masa studi yang sudah cukup lama pun membuat mereka terkadang terlalu lelah dan ingin segera keluar dari kondisi tersebut (Nadya, wawancara
pribadi, 9 April 2015). Seperti yang diungkapkan oleh Freud ketika menemukan dirinya (ego)
Dalam kondisi cemas akan menuntut seseorang untuk berusaha keluar dari kondisi tidak menyenangkan tersebut. Berbagai cara akan coba dilakukan untuk dapat mengatasi kecemasannya. Lazarus dalam Siswanto (2007) melihat bahwa defens mechanism sebagai salah satu jenis koping, dan membaginya menjadi 2 jenis. Jenis yang pertama adalah tindakan langsung yang merupakan usaha tingkah laku yang dijalankan oleh individu untuk mengatasi kesakitan atau luka, ancaman atau tantangan dengan cara mengubah hubungan yang bermasalah dengan lingkungan. Jenis yang kedua adalah peredaan atau peringanan (palliation), jenis ini mengacu pada mengurangi atau menghilangkan atau menoleransi tekanan-tekanan fisik, motorik atau gambaran afeksi dari tekanan emosi yang dibangkitkan oleh lingkungan yang bermasalah. Atkinson (1991), mengungkapkan ada dua cara utama menanggulangi kecemasan yang pertama adalah menitikberatkan masalah; individu menilai situasi yang menimbulkan kecemasan dan kemudian melakukan sesuatu untuk mengubah atau menghindarinya. Cara yang kedua adalah menitikberatkan emosi; individu berusaha mereduksi perasaan cemas melalui berbagai macam cara dan tidak secara langsung menghadapi masalah yang menimbulkan kecemasan itu.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dianggap mampu untuk memahami fenomena yang ada dalam penelitian ini secara mendalam. Pengambilan data menggunakan wawancara dan observasi. Teknik pencatatan dalam wawancara ini menggunakan teknik rekam (recording) menggunakan alat perekam suara. Setelah itu, dilakukan pengetikan transkrip wawancara dengan mendengarkan hasil rekaman dan menuliskan kata per kata. Setelah itu proses pemberian kode pada transkrip wawancara agar memudahkan dalam proses analisis data. Peneliti kemudian mengelompokkan data sesuai dengan tema yang digunakan dalam penelitian. Kemudian peneliti mencoba untuk membandingkan antara partisipan pertama dan partisipan kedua. Dari kedua partisipan peneliti melihat persamaan dan juga kekhasan dari masing-masing partisipan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 5 Juni 2014 kepada partisipan 1 dan pada partisipan 2 dilakukan pada tanggal 9 April 2015.
Peneliti membandingkan dan meneliti kembali derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari data hasil wawancara dan observasi dengan melakukan member check partisipan pertama dan partisipan kedua. Selain itu juga digunakan triangulasi sumber data dengan menggunakan informan yang merupakan orang-orang terdekat para partisipan (Moleong, 2010).
Partisipan
karena keinginan orangtuanya saja. Setelah memutuskan untuk keluar pada tahun 2006 partisipan dua masuk di UKSW.
HASIL PENELITIAN
Pada hasil penelitian ini akan dipaparkan hasil analisis yang ditemukan dari kedua partisipan dengan merujuk kembali pada tujuan awal penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan bagaimana gambaran kecemasan yang dialami oleh mahasiswa yang mengalami readmisi.
Penyebab mengalami readmisi
Kedua partisipan menyadari bahwa kondisi mereka yang sudah terlalu lama dalam studi mengharuskan mereka untuk mengalami readmisi. Namun alasan yang membuat mereka akhirnya harus mengalami readmisi ini berbeda. P1 menyatakan bahwa dirinya mengalami kejenuhan dan merasa tidak senang dengan skripsinya bahkan untuk kembali membangkitkan semangatnya P1 merasa kesulitan. Untuk berkonsultasi dengan dosen pembimbing pun P1 kesulitan karena merasa sudah tidak dibimbing oleh pembimbingnya. Ada rasa kecewa yang dirasakan P1 terhadap pembimbingnya karena apa yang diharapkannya didapat dari dosen pembimbing tidak seperti apa yang P1 bayangkan sebelumnya. Sampai pada akhirnya P1 mengalami stagnasi dalam pengerjaan skripsinya. Hal ini tergambar dari kutipan wawancara berikut :
“akunya sendiri juga sudah bosen, kadang skripsi doang mau kerja kayaknya mikir skripsi, nggak kerja kayaknya gimana.”
“yang bikin bosen itu, satu, iya itu, e..tersendat-sendat e..dari dari apa, dari dosen pembimbing; sama bosen sama akhirnya aku nggak bisa ngumpulin semangat kayak kemarin, karena ngumpulin semangat itu susah”
“Bab 3’nya yang kesendat sampe sekarang. Karna itu tadi, aku bingung, ternyata, aku pengen
tau ya mungkin pikirnya aku bisa apa gimana, cuman aku merasa tersesat, bingung, aku mau ngambil ini kok kayaknya pertimbangannya ini, tapi akhirnya aku nggak bisa mutusin”
Berbeda dengan P2 yang menyatakan bahwa keputusan untuk readmisi ini sudah dipersiapkannya dan hal ini sudah jadi pilihannya. Meski demikian P2 memilih untuk readmisi karena merasa tidak suka dengan sistem pendidikan yang diterapkan di universitas. Selain itu P2 ini memiliki prinsip bahwa ilmu tidak dapat dibatasi oleh waktu. P2 merasa waktu yang diberikan universitasnya untuk menyelesaikan studi ini tidak cukup untuk dirinya, karena P2 masih ingin belajar lebih. Meski demikian P2 sempat menyalahkan sistem yang mengharuskannya mengambil mata kuliah yang menurutnya tidak ada hubungannya dengan musik. Hal ini dianggap P2 sebagai salah satu penyebab yang membuat dirinya semakin lama lagi dalam studinya. Hal ini didukung dengan kutipan wawancara berikut :
“Bahkan, aku, kenapa bisa readmisi ya, jujur aku nggak cocok sama sistem pendidikan di sini. Bukan masalah trimester atau dwimester, aku cuek aja. Cuman orang belajar kok dibatesin gitu lo, aneh kan.”
“aku agak trauma sih, ada MKU, kemudian mata kuliah-mata kuliah yang nggak ada hubungannya sama sekali sama musik. Heranku disitu.”
“harus ambil lagi, sksnya kurang lagi, iya kan. Ya jangan salahin aku kalo kuliahku lama ya.”
Reaksi emosi terhadap skripsi
karena rasa takutnya tersebut membuat P1 kurang percaya diri dalam menyelesaikan skripsinya. Kepribadian P2 yang perfeksionis menuntut P2 untuk mempersiapkan recitalnya dengan hasil yang sempurna. Hal tersebut yang kemudian memunculkan perasaan grogi dan juga takut jika nanti ada kesalahan dalam proses pengerjaannya. Persamaan yang muncul dari P1 dan P2 adalah masalah perfeksionisme yang besar. Perfeksionisme yang besar akan memunculkan kekhawatiran, takut gagal, takut ditertawakan, takut orang lain marah dan seterusnya, padahal tidak benar atau belum tentu (Julia Maria van Tiel & Johan Flores van Tiel, 2015).
Reaksi emosi akibat readmisi
Sebenarnya setelah readmisi kedua partisipan merasa biasa saja, justru merasa lega karena tidak lagi seperti diburu oleh waktu, dibanding ketika sebelum readmisi. Terdapat hal yang nampak pada P1 tetapi tidak nampak pada P2 yaitu ada rasa minder yang dirasakan oleh P1 terhadap teman-temannya yang sudah lebih dulu lulus. Selain itu P1 juga merasa kecewa terhadap dirinya sendiri karena belum lulus. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan berikut : “Kalo adek angkatan aku nggak minder, temen angkatan aku minder. Cuman nggak minder-minder banget sih.”
”Tau nggak, M ujian, aku harus dateng kan, temen, temen baik. Itu tu rasanya gimana gitu, liat temen,
terus mereka bilang, “ L, masuk lho”. “Nggak, aku nggak akan masuk. Aku di luar aja, aku menunggu, aku doain dari luar”. Karena gimana ya, seneng; seneng waktu temen berhasil, tapi kok aku, rada
kecewa ketika, ngelihat diri sendiri, “aku kokbelum ya”.”
Tekanan yang dialami saat readmisi
“kalo tekanan iya pasti, satu kalo udah readmisi kalo boleh ya udah cepet selesai. Orangtua juga udah nuntut to.”
“Jadi buat kekuatiran kerja aku nggak. Cuman mungkin ya, karena tuntutan orangtua terus selesai kerjaan eh..selesai kuliah itu terus kerja cari pengalaman, itu sih yang tekanan tadi”
“tuntutannya sebenernya, karena kakakku juga belum selesai.”
“mungkin tetep tekanan dari orang tua no.1”
Hal tersebut juga di akui P1 sebagai penyebab skripsinya hingga saat ini belum selesai. Orang tua P1 juga menginginkan P1 pulang ke daerah asalnya setelah selesai nanti padahal P1 tidak menginginkan hal tersebut dan ini juga yang menjadi kecemasan bagi P1 mencari alasan untuk tidak pulang ke daerah asalnya setelah selesai nanti. Berikut kutipan wawancaranya :
“sebetulnya kayaknya mungkin ya kalo dilihat alasan belum selesai itu memang salah satu kendala di di di di..skripsi, tapi ketidak ingin pulangan, nggak ingin balik dulu
“yang penting selesaiin ini aja dulu. Kecemasan kedua ketika aku lulus itu adalah cari alasan bagaimana aku belum langsung pulang.”
Sedangkan P2 mengatakan bahwa orangtuanya sama sekali tidak mengejar-ngejar P2 untuk segera lulus. Seperti pada kutipan berikut :
“e..iya sih, nanya kabar gimana, gimana prosesnya, tapi kalo ngejar-ngejar, nggak.”
“sama sekali, ya paling ditanyain gimana proposalnya dah sampe mana, kapan PKL, dimana, udah,
sebatas itu. “Kamu kok lama banget sih kuliahnya, ngapain aja?”, nggak.”
segala konsekuensi yang memang harus diambil. Selain itu dengan adanya readmisi yang dialami, P2 harus berusaha meyakinkan kedua orang tuanya bahwa P2 mampu melewati konsekuensi tersebut.
Hal di atas menunjukkan bahwa sebenarnya ada rasa cemas yang dirasakan oleh P2. Karena ketika seseorang mengalami kecemasan itu akan mendorongnya untuk membentuk sebuah sikap yang berguna untuk melindungi ego seseorang dari rasa sakit akibat kecemasan tersebut (Freud, 1933/1964 dalam Jess Feist, dkk, 2008 - 32)
Dinamika timbulnya kecemasan akibat readmisi
Sebagai suatu sinyal, kecemasan menyadarkan atau memperingatkan akan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang untuk segera mengambil tindakan
defensive terhadap tekanan yang mengancamnya tersebut. Sinyal kecemasan ini akan
menstimulasi seseorang untuk bergerak entah menjauh atau bertahan terhadap bahaya yang mengancam. Tindakan inilah yang juga berusaha dilakukan oleh kedua partisipan ketika mengalami kecemasan. Hal ini ditunjukkan pada kutipan wawancara di bawah ini :
“bukannya aku nggak mikir, aku tu mikir, bukan aku diem kayak gini tu aku nggak mikir, jangan pernah pikir aku tu sampai-sampai nggak tertekan, aku tertekan, aku sebenernya berusaha em...menahan emosiku supaya nggak kemana-mana.”
“Em..entah itu jadi motivasi atau jadi ketinggalan aku, cuman tapi aku hadepin itu, udah jalan, ketawa,
makan bareng.”
juga berusaha menghadapi rasa tertekannya dengan tetap tertawa dengan teman-temannya padahal sebenarnya ada perasaan minder dalam dirinya.
Sedangkan pada P2, terdapat beberapa defense mechanism yang muncul. Bentuk pertama adalah pembentukan reaksi (reaction formation), salah satu cara dengan mengekspresikan dorongan yang mengancam itu dalam bentuk tingkah laku yang bertentangan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut :
“Bahkan, aku, kenapa bisa readmisi ya, jujur aku nggak cocok sama sistem pendidikan di sini. Bukan masalah trimester atau dwimester, aku cuek aja. Cuman orang belajar kok dibatesin gitu lo, aneh kan. Jadi, banyak orang nggak ngerti soalnya, yang ngerti paling cuma temen-temen deket aja.
“ Kalo aku cepet lulus tapi caranya aku lulus ga bener ..yaah, soalnya, pertama aku kan nggak suka sistem, nggak suka sistem di sini, tapi aku juga punya prinsip gitu lo. Aku juga punya prinsip, ambil jalan tengah, gimana caranya supaya, aku lulus, tapi pake caraku. Aku nggak ikut sistem sini, gitu.”
”misalnya, ada teori kan, teori gitu kalo aku bener-bener ndak ngerti, bakalan nggak kuliah, bukan masalah nilaiku kuliah dibawah standart nggak, nilaiku bagus, cuman dibawah 75% 50% itu aku nggak ngerti, materinya apa yang diajarin. Dosennya juga susah ditemuin kan, jadi kalo aku mau tanya-tanya privat gitu, nggak ada waktu. Ya udah aku pulang. Yang bikin lama itu.”
Pada kutipan di atas menggambarkan keinginan P2 untuk lulus tetapi tindakan yang dilakukannya justru bertentangan. P2 yang seharusnya mengikuti dengan baik aturan yang ada supaya segera lulus tetapi malah memilih cara sendiri tidak mengikuti sistem di universitasnya. Selain itu juga P2 menunjukkan reaksi apati yang merupakan pola orang putus asa, karena menerima begitu saja dan tidak ada usaha apa-apa untuk melawan ataupun melarikan diri dari situasi yang berusaha menekannya, ini ditunjukkan pada kutipan berikut :
nggak, nggak tau. Nggak tau dan nggak mau tahu. (tertawa terbahak) sebenernya juga salah kan. Cuman kalo aku disuruh berhenti, suruh keluar, ya udah aku keluar. Gampang.
jenis ini tidak merubah posisi masalah, yang berubah adalah diri individu, yaitu dengan merubah reaksi emosinya. Hal ini ditunjukan dalam kutipan wawancara berikut :
“he’e, jadi akhirnya aku tutup..tutup..e..media sosialku tak tutup sek, aku nyanyi-nyanyi kek atau..pokoknya biasa aku pelampiasan liat anak-anak kucing, kucing-kucingku, mereka penghilang stress, itu..”
Sedangkan pada P2 terlihat dari kutipan dibawah ini :
“kalo lagi nggak mood. Kalo aku, istirahat dulu, ngrokok, ngopi di bawah habis itu latihan lagi. Udah.”
“Jadi habis kuliah, habis stress gitu nyanyi-nyanyi di depan, ya goblok2an, ya biar moodnya naik lagi tapi tetep ada hubungannya sama musik gitu.”
Defense mechanism diatas yang berusaha dilakukan oleh kedua partisipan ini tanpa
disadari sebenarnya bersifat membohongi diri sendiri terhadap realita yang ada, baik realita yang ada di luar (fakta/kebenaran) maupun realita yang ada di dalam (dorongan atau impuls atau nafsu). Dari semuanya itu dapat disimpulkan bahwa kedua partisipan lebih banyak melakukan denial dan hal tersebut cenderung menjauh dari sumber permasalahan yang dialaminya dan justru tidak menyelesaikan sumber dari kecemasan itu sendiri.
Keberadaan di lingkungan sosial
Tekanan akibat readmisi ini tidak menjadikan P1 ataupun P2 kemudian menarik diri dari lingkungan sosialnya. P1 tetap berteman baik dengan teman-temannya dan terkadang juga meluangkan waktu untuk bisa sekedar becanda melepas penat yang dialaminya. Meskipun memang P1 adalah tipe pribadi yang lebih sering menyelesaikan masalahnya sendiri dan tidak suka terlalu banyak bertanya atau bercerita kepada orang lain. Tetap P1 mengakui bahwa kebersamaan dengan teman-temannya menjadi motivasi tersendiri baginya untuk bisa segera lulus. Hal ini ditunjukkan pada kutipan di bawah ini:
Sedangkan P2 karena saat ini sudah tidak memiliki teman sebaya lagi di kampusnya. Dia sering kali ke luar kota hanya untuk sekedar ingin bertemu dan juga berbagi cerita dengan teman sebayanya. Karena di lingkungannya saat ini P2 lebih banyak bergaul dengan adik angkatannya yang sering kali tidak dapat memahami apa yang dialaminya saat ini. Seperti yang nampak pada kutipan berikut :
“iya, jadi temen-temenku 2010, 2011, 2012. Ya aku tetep ngerasa ada yang beda dari mereka. Jadi hampir seminggu sekali kalo nggak, 2 minggu sekali gitu, aku pasti pengen ketemu sama orang yang
sebaya. Jadi aku main kemana, ke Semarang, ke Solo atau ke rumahnya siapa yang sudah nggak di
sini. Ya cuma buat curhat, masalah-masalah yang aku bisa ke mereka, aku bisanya ngomong, ni kan
kita sebaya ni, kalo aku ngomong sama angkatan 2012 mereka nggak akan ngerti”
Meski demikian ada hal yang berbeda yang terjadi pada kehidupan P2. P2 merasa bahwa readmisi justru memberikan dampak positif bagi kehidupannya, berikut adalah kutipan wawancaranya :
“misalnya, readmisi ni. Kalo aku nggak readmisi aku nggak bakalan dapet banyak tawaran, soalnya setelah readmsi kemarin aku sibuk ngerjain rekaman-rekaman kayak gini, kemudian banyak tawaran dateng, gini gini, akhirnya di Jakarta udah mulai banyak orang pesen ke aku. Terus gitu gitu ya jadi karena aku readmisi kan.”
Hal ini pun dibenarkan oleh NN (informan triangulasi P2) saat wawancara triangulasi bahwa setelah mengalami readmisi ini P2 menjadi pribadi yang lebih produktif dalam berkarya di bidang musik.
PEMBAHASAN
tugas akhir atau skripsinya yang adalah kewajiban yang seharusnya diselesaikannya. Hingga akhirnya karena hal tersebut P1 mengalami stagnasi dalam proses menyelesaikan studinya yang mengakibatkan P1 harus mengalami readmisi. Kondisi yang dialami P1 tidak berbeda jauh dengan yang terjadi pada P2. P2 pun ingin segera lulus namun dihadapkan pada sistem pendidikan di universitas yang bertentangan dengan prinsipnya. Sistem pendidikan di universitasnya memiliki batasan waktu bagi mahasiswanya dalam menyelesaikan studi dan terdapat mata kuliah yang dirasa P2 tidak memiliki unsur atau hubungan dengan musik, tetapi wajib diambil. Hal tersebut yang kemudian dianggap P2 sebagai penyebab dirinya semakin lama lagi menjalani studinya. Selain itu kembali adanya tuntutan orangtua juga yang menginginkan P2 segera menjadi sarjana. Meski dalam wawancara mengatakan bahwa orangtuanya selalu membebaskan dalam studi tidak mematok waktu berapa lama P2 harus menyelesaikan studinya. Namun hasil triangulasi menyatakan, orangtua P2 lebih sering mengeluhkan dan menyampaikan ketakutan mereka terkait studi P2 ini pada NN (informan orang terdekat P2) dan juga adik P2 yang juga berkuliah di universitas yang sama. Dalam penelitian ini tuntutan dari orang tua menjadi faktor penyebab lain munculnya kecemasan yang dialami oleh P1 dan P2. Seperti pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Subekti (2005) yang menyatakan bahwa partisipan penelitian mengalami kecemasan dalam pengerjaan skripsi disebabkan oleh adanya faktor internal dan faktor eksternal. Pada faktor eksternal kecemasan terjadi disebabkan karena kerja sama dengan dosen pembimbing yang kurang baik, ketersediaan teori yang terbatas, kritikan dan masukan yang negatif, teman atau adik angkatan yang sudah lulus duluan, orang tua yang terlalu menuntut, pengaruh informasi negatif dan dana yang kurang memadai.
gejala tertentu yang ditemukan selama kecemasan cenderung bervariasi pada setiap orang (Kaplan, 1997). Gejala ini ditunjukkan oleh kedua partisipan ketika dihadapkan pada tugas akhir mereka. Kedua partisipan merupakan pribadi yang memiliki perfeksionisme yang besar ditunjukan dengan adanya kekhawatiran, takut gagal dalam menyelesaikan skripsinya. Hal tersebut yang kemudian membuat P1 dan P2 seringkali menolak tugas/takut mengerjakan tugasnya karena takut gagal padahal belum tentu. Akibatnya munculah prokartinasi yang menyebabkan P1 dan P2 mengalami readmisi.
Dari setiap tekanan yang didapat oleh P1 dan P2 kemudian mendorong mereka melakukan defense mechanism. Seperti yang diungkapkan Freud (1926/1959) (Jess Feist,dkk, 2008) bahwa kecemasan merupakan suatu sinyal yang menyadarkan ego seseorang untuk mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam. Terdapat beberapa defense
mechanism yang berusaha dibentuk oleh kedua partisipan. P1 melakukan denial yaitu
untuk dapat lulus yang tidak mengikuti sistem pendidikan di universitasnya, yaitu P2 tetap mengikuti perkuliahan, namun ketika terdapat materi yang tidak dia mengerti P2 akan memilih untuk pulang. P2 tidak kemudian mencari dosen pengampu untuk bertanya secara privat karena merasa dosennya sulit untuk ditemui. Pengalaman tersebut dijadikan sebagai alasan bagi P2 mengapa studinya lama. Dalam pembentukan reaksi ini pun menunjukkan bahwa orang lain di lingkungan P2 melihat P2 sebagai seorang yang tersantai padahal sebenarnya dalam diri P2 sendiri ada rasa cemas yang berusaha untuk dikendalikan.
Bentuk lain yang nampak pada P2 yang tidak nampak pada P1 adalah reaksi apati. Reaksi apati merupakan pola orang putus asa karena menerima begitu saja dan tidak ada usaha apa-apa untuk melawan ataupun melarikan diri dari situasi yang berusaha menekannya (Lazarus, 1976). P2 tidak mengetahui bahkan tidak ingin tahu batasan waktu yang dimilikinya untuk menyelesaikan studinya setelah readmisi ini. Dan akan menerima saja jika memang nanti diminta untuk keluar atau berhenti dari universitas.
Kedua partisipan ini dalam menghadapi setiap tekanan cenderung berfokus pada emosi yang disebabkan oleh tekanan tersebut. Hal ini oleh Lazarus (1976) disebut sebagai koping
Symptom Directed Modes (diarahkan pada gejala). Penuturan Atkinson (1991) selaras dengan
menyanyi sesuka hati atau beristirahat dulu kemudian merokok dan minum kopi untuk bisa kembali membangun moodnya.
Meski ada dalam keadaan cemas keduanya tidak kemudian menarik diri dari lingkungan sosialnya. P1 justru lebih sering bermain dengan teman-temannya untuk mendapatkan motivasi dari temannya. Begitupun P2 meski kebanyakan teman-temannya di kampus adalah adik-adik angkatan tekadang juga bergaul bahkan bercerita dengan dosen supaya paling tidak dirinya tidak merasa sendirian. Readmisi ini justru memiliki dampak yang positif bagi P2 karena setelah mengalami readmisi justru P2 menjadi pribadi yang lebih produktif dibidang musik. Hal ini pun sudah dibenarkan juga oleh pernyataan NN (informan triangulasi) bahwa banyak hal yang sudah dihasilkan oleh P2 di bidang musik pasca mengalami readmisi ini.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini ditemukan bahwa mahasiswa yang sudah readmisi mengalami kecemasan yang ditunjukkan dengan gejala kecemasan yaitu rasa takut mereka ketika dihadapkan dengan skripsinya dan rasa takut itu lebih kepada rasa takut bila melakukan kesalahan dalam proses pengerjaan tugas akhirnya. Rasa takut yang berkepanjangan ini membuat partisipan mengalami stagnasi hingga akhirnya harus mengalami readmisi.
kecemasan. Namun keadaan cemas tidak menjadikan partisipan menarik diri dari lingkungan sosialnya, bahkan pada partisipan kedua kondisinya saat ini yang mengalami readmisi memiliki dampak yang positif bagi dirinya. Setelah readmisi partisipan kedua menjadi pribadi yang lebih produktif.
Dari penelitian ini yang dapat disampaikan oleh peneliti ialah kecemasan dapat dialami oleh semua orang, bahkan sebenarnya hal tersebut adalah hal yang normal. Yang membedakan adalah bagaimana seseorang mampu mengelola tekanan atau kecemasan itu sendiri. Kecemasan dapat menjadi fungsi adaptif ataupun justru berdampak maladaptif pada kehidupan seseorang tergantung dari kepribadian seseorang tersebut. Faktor-faktor lain seperti faktor lingkungan pun juga dapat mendapat faktor yang menyebabkan munculnya kecemasan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R. L., & Atkinson, R. C. (1991). Pengantar psikologi jilid 2 (edisi kedelapan). Jakarta: Erlangga.
Feist, J., & Feist, G. J. (2006). Theory of Personality. New York: McGraw Hill.
Herdiansyah, H. (2012). Metode penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Kaplan, H. I. (1997). Sinopsis psikiatri: Ilmu pengetahuan perilaku psikiatri klinis. Jakarta: Binarupa Aksara.
Moleong, L. J. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Lembaga Penelitian Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi. Peraturan penyelenggaraan kegiatan akademik dalam sistem kredit semester Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga. (2009). Salatiga: UKSW.
Siswanto. 2007. Kesehatan Mental, Konsep, Cakupan dan Perkembangannya. Yogyakarta:CV. Andi Offset.
Subekti, P. 2005. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Kecemasan Dalam Mengerjakan Skripsi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Tansel, D.C. 2013. Perbedaan Tingkat Stres Menyusun Skripsi Pada Mahasiswa Universitas
Kristen Satya Wacana Tingkat Wreda dan Yang Telah Readmisi. Skripsi (tidak
diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Tiel, J.M.V & Tiel, J.F.V. (2015). Perfeksionisme & Faalangst: Anakku cerdas istimewa (Anak