• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERIMAAN ASAS TUNGGAL PANCASILA OLEH NAHDLATUL ULAMA: Latar Belakang dan Proses 1983-1985.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERIMAAN ASAS TUNGGAL PANCASILA OLEH NAHDLATUL ULAMA: Latar Belakang dan Proses 1983-1985."

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

PENERIMAAN ASAS TUNGGAL PANCASILA OLEH NAHDLATUL ULAMA : LATAR BELAKANG DAN PROSES 1983-1985

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Sebagian Dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Pada Jurusan Pendidikan Sejarah

Disusun Oleh:

Grigis Tinular Harso NIM. 0705875

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

PENERIMAAN ASAS TUNGGAL PANCASILA OLEH NAHDLATUL ULAMA : LATAR BELAKANG DAN PROSES 1983-1985

Oleh

Grigis Tinular Harso

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial

©Grigis Tinular Harso 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

PENERIMAAN ASAS TUNGGAL PANCASILA OLEH NAHDLATUL ULAMA: LATAR BELAKANG DAN PROSES 1983-1985

Oleh:

Grigis Tinular Harso 0705875

Disetujui dan Disahkan Oleh :

Pembimbing I

Dr. Agus Mulyana, M.Hum NIP. 19660808 199103 1 002

Pembimbing II

Wawan Darmawan, S.Pd, M.Hum NIP. 19710101 199903 1 003

Mengetahui

Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah

(4)

ABSTRAK

(5)

ABSTRACT

Based on the research results can be explained that the government policy of Pancasila as the sole foundation for all political parties and civil society organizations is driven by two background is ideological and political. This policy is included in the provisions of Decree No.. II/1983 (article 3 of chapter IV). Dated February 19, 1985, the government issued Law No.3/1985, stipulates that political parties and Golkar should accept Pancasila as their sole foundation. On June 17, 1985, the government issued Law no. 8/1985 on organizations, to set that all social organizations or mass must include the Pancasila as their sole foundation. Reactions were rejected and accept the government's policy has come from various Muslim individuals and social organizations, one of which NU. The issue of application of Pancasila as the sole foundation and Golkar political party like a snow ball rolling. By the time that happens the feud between Cipete group (camp politicians) vs Situbondo (ulama faction), they intend to organize the National Conference (National Conference). Group Situbondo have a better chance to make all the demands of the government of NU members. This was confirmed by the government that gives full support to the camp Situbondo to hold a national conference. NU decided to accept the Pancasila based on three considerations, namely the First, NU adopted the view that Islam is a religion fitriah, Second, the concept of God reflects the unity of Pancasila assessed according to the Islamic faith. Third, from the angle that NU history in their own way helped fight for independence as a religious obligation. NU Ulama National Conference 1983 in Situbondo decided to establish the Pancasila as the foundation of the organization, explanation in the Articles of Association as well as the declaration of the relationship Pancasila and Islam. In Congress NU's 27 th 1984 in Situbondo decided NU accept Pancasila. As the implementation of the principle of acceptance only in the life of the nation NU turned the principles of Islam to Pancasila, therefore, the government's attitude later changed, assume NU opponents no longer.

(6)

DAFTAR ISI

1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat Penelitian ... 13

1.5 Metode Penelitian dan Teknik Penelitian ... 13

1.5.1 Metode Penelitian... 13

1.5.2 Teknik Penelitian ... 17

1.6 Sistematika Penulisan ... 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 20

2.1 Asas Tunggal Pancasila... 21

2.2 Kebijakan Politik Pemerintah Orde Baru ... 25

2.3 Nahdlatul Ulama pada Masa Orde Baru ... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

3.1 Metode Penelitian dan Teknik Penelitian ... 46

3.2 Persiapan Penelitian ... 49

3.2.1 Pemilihan dan Pengajuan Tema Penelitian ... 49

(7)

BAB IV PENERIMAAN ASAS TUNGGAL PANCASILA OLEH

NAHDLATUL ULAMA ... 72

4.1Latar Belakang Pemerintah Orde Baru Menerapkankan Kebijakan Asas Tunggal Pancasila ... 73

4.1.1 Latar Belakang Ideologis ... 73

4.1.2 Latar Belakang Politis ... 80

4.2 Implementasi Pancasila Sebagai Asas Tunggal dan Reaksi dari Individu dan Organisasi Massa Terhadap Kebijakan Asas Tunggal Pancasila... 86

4.2.1 Implementasi Pancasila Sebagai Asas Tunggal ... 86

4.2.2 Reaksi Individu dan Organisasi Massa Terhadap Kebijkan Asas Tunggal Pancasila ... 91

4.3Dinamika Internal di Organisasi Nahdlatul Ulama Terhadap Kebijakan Asas Tunggal Pancasila ... 99

4.3.1 Munculnya Dua Kubu: Kubu Cipete dan Kubu Situbondo .... 99

4.3.2 Konflik antara Kubu Cipete dan Kubu Situbondo Tentang Penerimaan Asas Tunggal Pancasila ... 110

4.4 Latar Belakang Nahdlatul Ulama Menerima Pancasila Sebagai Asas Organisasi ... 120

4.4.1 Konsep Fitrah ... 120

4.4.2 Konsep Ketuhanan ... 126

4.4.3 Pemahaman Sejarah ... 132

4.5 Proses Penerimaan Asas Tunggal Pancasila Oleh Nahdlatul Ulama ... 138

4.5.1 Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama Situbondo 1983 ... 138

4.5.2 Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27 Situbondo1984 ... 146

4.6Dampak Penerimaan Asas Tunggal Pancasila Tehadap Organisasi Nahdlatul Ulama ... 156

4.6.1 Perubahan Dalam Anggaran Dasar Organisasi ... 156

4.6.2 Perbaikan Hubungan Dengan Pemerintah Orde Baru ... 159

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 167

5.1Kesimpulan ... 167

5.2Rekomendasi ... 172

DAFTAR PUSTAKA ... 173 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara-bangsa (nation-state) merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari oleh bangsa manapun, termasuk bangsa Indonesia. Selain karena tuntutan global, negara-bangsa merupakan konsep negara modern yang menjanjikan penyelesaian bagi setiap bangsa dalam menghadapi kenyataan pluralisme. Hubungan antara agama dan ideologi negara pada dasarnya telah menjadi perhatian para pemikir dari zaman kezaman. Apalagi jika dikaitkan dengan masalah pembangunan, yang pada dirinya mengandung urgensi tersendiri pula. Namun banyak terjadi kesulitan dalam menyatukan hubungan antara agama dan ideologi negara. Kesulitan itu bermula pada proses penumbuhan ideologi negara berjalan secara labil. Menurut KH. Abdurrahman Wahid (2000:6) menyatakan kesulitan-kesulitan tersebut bahwa:

Pertentangan antara ideologi sekular dan teokratis senantiasa berjalan secara larut, yang biasanya tidak selesai dengan hanya tercapainya secara kompromi formal saja. Kasus penetapan Pancasila sebagai ideologi Pancasila salahsatu contohnya.

(9)

yang berbeda, bahkan beberapa saling bertentangan mengenai hubungan yang tepat antara agama dan negara. Pengalaman umat Islam di berbagai belahan dunia, terutama semenjak berakhirnya Perang Dunia II menunjukkan adanya hubungan yang canggung antara Islam dan negara. Kecangungan ini kemudian berimplikasi pada lahirnya berbagai jenis eksperimentasi untuk menjuktaposisikan antara konsep dan kultur politik masyarakat muslim dan secara ipso facto eksperimen-eksperimen itu dalam banyak hal sangat beragam. Tingkat penetrasi Islam ke dalam negara juga berbeda-beda (Wahid dan Ghazali, 2010:459).

(10)

Pada sidang BPUPKI yang kedua (10 - 14 Juni 1945) membahas isi konstitusi negara, meskipun telah ada kesepakatan Panitia Kecil tetapi tetap saja ada anggota BPUPKI satu sama lain saling berdebat dengan sengit tentang implikasi Piagam Jakarta terhadap hubungan antara agama dan negara. Perdebatan itu akhirnya diputuskan kembali dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang akan dilaksanakan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagaimana telah direncanakan sebelumnnya PPKI akan bersidang untuk memutuskan semua kelengkapan negara, selain itu pada sidang ini rumusan redaksional Mukadimah mengalami perubahan. Perubahan itu disampaikan Moh. Hatta kepada kedua tokoh Islam yaitu K.H Wahid Hasyim dan Ki Bagus Kusumo. Pada saat itu Moh. Hatta menyampaikan informasi dari salah seorang serdadu Jepang jika Piagam Jakarta tetap dimasukkan ke dalam dasar negara, maka rakyat Kristen di Indonesia Timur menolak untuk bergabung dengan Indonesia. Mereka mengakui bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam (Siddiq, 1999: 130). Sumber sejarah lainnya menambahkan bahwa Kasman Singodimedjo membantu pertemuan tersebut (Suryanegara, 1995: 231).

Sebagai gantinya Wahid Hasyim mengusulkan agar Piagam Jakarta diganti dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang semula hanya “Kepercayaan

kepada Tuhan”, konsensi tersebut berupaya mendekatkan sila pertama Pancasila

(11)

dalam menyikapi keputusan besar dan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak, tokoh-tokoh Islam tersebut tidak gegabah dan akhirnya lebih memilih bersikap moderat daripada bersikeras mempertahankan pendapatnya. Sehingga Piagam Jakarta dan syarat bahwa kepala negara harus seorang muslim tidak jadi dicantumkan. Dengan kata lain, kelapangan golongan Islam (meski pada awalnya sulit) untuk menerima pencoretan “tujuh kata” itu memberi jalan kepada bangsa ini untuk memiliki konstitusi yang lebih ideal dan tahan banting (Latif, 2011: 37).

(12)

Setelah perdebatan antara aspirasi dari gerakan-gerakan sekularitas dan gerakan-gerakan keagamaan non-Islam berbenturan dengan aspirasi dari golongan Islam tentang ideologi negara pada saat awal kemerdekaan dan masa pemerintahan Presiden Soekarno terselesaikan, namun perbenturan masih berlanjut dalam upaya pengamanan Pancasila itu sendiri di lingkungan masing-masing pihak. Ketika Orde Baru berada dalam puncak kejayaan kekuasaannya muncul kebutuhan mendasar untuk mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara dan satu satunya asas bagi organisasi keagamaan dan kemasyarakatan.

Untuk mendorong keseragaman ideologis, pada tahun 1978 pemerintah mulai satu program indoktrinasi wajib mengenai ideologi negara Pancasila bagi semua warga negara (Ricklefs, 2008: 637). Sama halnya dengan pendapat dari Ricklefs, Harsutejo (2010: 234) berpendapat bahwa “rezim Orba mewajibkan setiap anak sekolah, pegawai dan buruh swasta, mengikuti apa yang disebut sebagai penataran P-4 alias indoktrinasi. Program itu diberi nama Eka Prasetya Pancakarsa atau yang lebih dikenal dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang disahkan menjadi Tap No. II MPR/1978. Program ini diterapkan agar bisa memandu negara dan warganya serta mampu melindungi dari ancaman sayap kiri dan sayap kanan dengan pemahaman ideologi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

(13)

bahwa dasar ideologi mereka satu-satunya adalah Pancasila, maka setiap organisasi masyarakat harus bersiap-siap merubah asas organisasinya menjadi Pancasila” (Zaini, 2007:4). Pandangan tersebut kemudian mendapatkan legitimasi pada tahun 1983 melalui keputusan SU-MPR (Muhtadi, 2004: 137). Hal ini mengundang perdebatan di tubuh internal setiap organisasi-organisasi kemasyarakatan, terutama organisasi-organisasi masyarakat yang berasaskan agama Islam. KH. Achmad Siddiq (Siddiq, 1999: 124) menyatakan alasan perdebatan tersebut yaitu:

Pertama, ada kecurigaan atau kekhawatiran bahwa negara Republik Indonesia akan menjadi negara agama tertentu yang merugikan pemeluk agama lain. Kedua, ada kecurigaan atau kekhawatiran bahwa Pancasila akan dijadikan semacam agama nasional, mengantikan (mendangkalkan jiwa) agama-agama. Kecurigaan-kecurigaan tersebut telah melahirkan polarisasi-polarisasi pertentangan yang tajam antar berbagai komponen bangsa.

Berdasarkan Tap MPR Nomor II/1983 tentang Garis Besar Haluan Negara maka seluruh organisasi kemasyarakatan dan politik harus menggunakan Pancasila sebagai sebagai satu-satunya asas organisasinya. Sitompul (2010:1) menjelaskan mengenai bagaimana penetapan Pancasila sebagai asas seluruh organisasi sosial dan politik, sebagaimana yang dikemukakannya bahwa:

Sejak 1983 Pancasila ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi sosial dan politik. Ini merupakan keputusan politis yang paling gemilang bagi bangsa dan negara Indonesia sejak kemerdekaan. Sebelumnya, menjelang Indonesia merdeka, Pancasila diterima menjadi dasar negara setelah perdebatan sengit, terutama antara golongan nasionalis dan islam, dan tetap menjadi diskusi yang hangat setelah Indonesia merdeka. Dengan ketetapan itu maka seluruh organisasi sosial dan politik harus menyesuaikan diri.

(14)

mengikuti kehendak politik Orde Baru dan menolaknya untuk menegakkan “Negara Islam”. Ini sebuah dilema besar bagi bangsa Indonesia yang dalam

kenyataannya terdiri dari ribuan pulau, ratusan etnis, bahasa dan beberapa agama, sementara mayoritas penduduknya beragama Islam di mana gagasan mendirikan negara Islam masih belum pupus dari cita-cita gerakan sebagian penduduknya.

Tentu saja di setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah pasti mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat, tidak terkecuali organisasi masyarakat terutama yang berasaskan agama Islam dengan mayoritas penduduk negara Indonesia beragama Islam. Di antara organisasi yang kontra dengan keputusan pemerintahan ini dan dengan jelas menolak secara radikal adalah organisasi masyarakat yang dipimpin oleh Abdullah Sungkar yaitu Darul Islam. Solahudin (2011: 145) menjelaskan alasan mengapa Darul Islam (DI) menolak Pancasila sebagai asas tunggal, sebagaimana yang dikemukakanya bahwa :

Sungkar juga menuding kebijakan pemerintah yang menetapkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah perbuatan syirik alias Menyekutukan Allah, Karena Pancasila telah dijadikan tandingan atas Al-Quran dan Hadis, Yang dipercayai oleh sungkar sebagai sumber dari segala sumber hukum bagi setiap Muslim.

(15)

keputusan apakah mereka menerima atau menolak Pancasila sebagai asas organisasi mereka.

Meskipun mendapat berbagai reaksi di atas, pemerintah tetap merealisasikan rencananya untuk menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua partai politik. Namun demikian pemerintah tetap merasa posisi Pancasila belum cukup aman sebagai falsafah negara (Abdillah, 1999: 48). Pada tanggal 19 Februari 1985, pemerintah, dengan persetujuan DPR, mengeluarkan Undang-Undang No.3/1985, menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Empat bulan kemudian, pada tunggal 17 juni 1985, pemerintah lagi-lagi atas persetujuan DPR, mengeluarkan Undang-undang No. 8/1985 tentang ormas, menetapakan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal mereka (Ismail, 1999: 206). Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 3/1985, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal seluruh partai politik dan organisasi massa menjadi syarat mutlak, dan tidak perlu diperdebatkan. Hal ini berarti, bahwa penolakan Pancasila sebagai asas tunggal oleh partai politik dan ormas mana pun akan mengakibatkan dibekukannya organisasi tersebut oleh pemerintah (Ismail, 1999: 207).

Namun kebingungan ini tidak berlangsung lama setelah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang dasarnya adalah organisasi Islam terbesar di

Indonesia melakukan Musyarawarah Nasional (MUNAS) pada tanggal 18-21 Desember 1983 di Situbondo. Tujuan munas ini adalah untuk menyamakan

(16)

Ulama NU untuk menerima Pancasila sebagai asas organisasi yang baru. NU adalah organisasi kemasyarakatan dan keagamaan pertama yang menuntaskan penerimaaannya atas ideologi Pancasila. NU bukan hanya pertama menerima, tetapi juga yang paling mudah menerima Pancasila.

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah organisasi sosial-keagamaan yang didirikan oleh para ulama pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H. Anggaran dasarnya disahkan dengan keputusan Gubernur Hindia Belanda pada tanggal 6 Februari 1930 No. 23 (Stoddard, 1966: 323). Semenjak berdirinya, NU sering disebut sebagai golongan Islam tradisional untuk membedakan dengan kelompok Islam lainnya yang biasa disebut golongan modernis. Gerakan ini dengan anggotanya kebanyakan golongan santri telah berhasil memberdayakan masyarakat dalam bidang ibadah kepada Allah (Ahmad, 2002: 167). Aktifitas sosial-keagamaan yang dikembangkan oleh NU dijalankan melalui media pendidikan pesantren sebagai basis kekuatan. NU sebagai suatu organisasi para ulama muslim, sejak permulaan muncul gerakan kemerdekaan bangsa telah memberikan sumbangan besar baik dalam bentuk pikiran maupun dalam bentuk tenaga bagi tercapainya cita-cita bangsa yang terwujud dalam proklamasi kemerdekaan negara Indonesia sampai pada saat pengisian kemerdekaan dengan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.

Keputusan paradigmatik penerimaan NU atas Pancasila dan keberadaan negara-bangsa dikenal dengan “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”. Deklarasi ini merupakan simpul dan titik akhir dari pembahasan

(17)

negara, tentang wawasan kebangsaan dan posisi Islam dalam negara-bangsa. Keputusan ini sebetulnya mengakhiri perdebatan paradigmatik tentang hubungan agama dan negara di Indonesia, sekaligus memperkuat basis teologis penerimaan NU atas kenyataan negara-bangsa (nation-state) yang pluralistik dan demokratik. NU mendukung kenyataan ini sebagai ijtihad politik yang tepat. Sebagai implementasi penerimaan NU atas Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Anggaran Dasar NU pun sejak 1984 berubah sesuai dengan paradigma tersebut. Asas NU berubah dari Islam menjadi Pancasila. Dalam rumusan ini dibedakan antara “asas” dan “aqidah”. Islam di

tempatkan sebagai aqidah, bukan asas, sedangkan asas di isi dengan Pancasila. Sebuah pertanyaan justru muncul mengapa NU dapat menerima Pancasila sebagai asas organisasinya, yang diketahui NU adalah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia memiliki kekuatan riil untuk menolak terhadap keinginan pemerintah terhadap asas variatif dari organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan, tetapi justru malah menerima kebijakan tersebut, seharusnya NU tetap konsisten dalam memperjuangkan Islam sebagai asas organisasi. Sebab kebanyakan organisasi keagamaan pada saat itu menggunakan Islam sebagai asas organisasinya (Feillard, 1999: 166). Apakah ini strategi politik NU agar menjaga hubungan baik dengan pemerintahan Presiden Soeharto. Permasalahan tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut.

(18)

menerima Pancasila itu. Disini keunggulan NU, kendati sering dijuluki tradisional organisasi ini bukanlah suatu organisasi keagamaan yang kaku dalam menghadapi perkembangan, justru di dalam sifatnya yang tradisional, NU membuktikan bahwa dirinya memiliki banyak rujukan untuk menghadapi berbagai perkembangan dan tantangan.

Dari beberapa pemaparan diatas peneliti menggangap penting untuk mengadakan penelitian tentang perkembangan NU dengan asas tunggal Pancasila. Dengan demikian peneliti ingin membuat sebuah penelitian yang berjudul “Penerimaan Asas Tunggal Pancasila oleh Nahdlatul Ulama: Latar Belakang

dan Proses 1983-1985”.

1.2Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah tersebut dirinci dalam pertanyaan-pertanyaan berikut ini, yaitu:

1. Apa yang melatarbelakangi pemerintahan Orde Baru menerapkan kebijakan asas tunggal Pancasila?

2. Bagaimana implementasi Pancasila sebagai asas tunggal dan reaksi dari individu dan organisasi massa terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila? 3. Bagaimana dinamika internal di organisasi Nahdlatul Ulama terhadap

kebijakan asas tunggal Pancasila?

(19)

5. Bagaimana proses penerimaan kebijakan asas tunggal Pancasila dalam organisasi Nahdlatul Ulama?

6. Bagaimana dampak penerimaan kebijakan asas tunggal Pancasila terhadap perkembangan organisasi Nahdlatul Ulama?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan skripsi ini dimaksud untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah dikemukakan di dalam rumusan masalah yaitu:

1. Menjelaskan latar belakang pemerintahan Orde Baru menerapkan kebijakan asas tunggal Pancasila.

2. Mendeskripsikan implementasi Pancasila sebagai asas tunggal dan reaksi dari individu dan organisasi massa terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila. 3. Mendeskripsikan dinamika internal di organisasi Nahdlatul Ulama terhadap

kebijakan asas tunggal Pancasila.

4. Menjelaskan latar belakang Nahdlatul Ulama menerima Pancasila sebagai asas organisasi.

5. Mendeskripsikan proses penerimaan asas tunggal Pancasila dalam organisasi Nahdlatul Ulama.

(20)

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan oleh penulis dari hasil penelitian ini adalah: 1. Memperkaya penulisan sejarah mengenai sejarah Indonesia terutama

mengenai sejarah organisasi yang ada di Republik Indonesia khususnya tentang Nahdlatul Ulama.

2. Memperkaya penulisan sejarah politik di Indonesia, khususnya bagi jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung.

3. Dapat dijadikan acuan untuk penelitian dalam lingkup yang luas dan mendalam.

1.5Metode Penelitian dan Teknik Penelitian 1.5.1 Metode Penelitian

Untuk mendapatkan jawaban atas suatu hal yang kita ingin ketahui maka kita harus melakukan suatu penelitian, begitu juga dengan penulisan skripsi ini. Untuk mendapatkan sumber-sumber dan bahan yang diperlukan untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis melakukan sebuah penelitian. Penelitian itu sendiri adalah suatu usaha yang dilakukan untuk dapat menemukan jawaban atas masalah-masalah yang sedang dihadapi.

(21)

Sedangkan metode itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu cara untuk berbuat sesuatu, suatu prosedur untuk mengerjakan sesuatu, keteraturan dalam berbuat, berencana, atau suatu susunan dengan sistem yang teratur.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode historis atau metode sejarah. Metode historis merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau dan menuliskan hasilnya berdasarkan fakta yang telah diperoleh yang disebut historiografi (Gottschalk, 2008: 32).

Seperti yang telah dijelaskan oleh Ismaun dalam sebuah buku yang berjudul “Sejarah Sebagai Ilmu”, metode sejarah biasanya dibagi atas empat kelompok kegiatan yakni:

(22)

Pencarian sumber ini peneliti lakukan dengan mencari sumber-sumber buku, Browsing internet, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang relevan dengan penelitian yang dikaji. Dalam hal ini peneliti mencoba mengunjungi berbagai perpustakaan seperti Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia, Perpustakaan Provinsi Jawa Barat, Perpustakaan Batu Api Jatinangor dan Perpustakaan PWNU Jabar. Pencarian buku-buku pun peneliti lakukan di toko-toko buku seperti Toko BBC Palasari Bandung, Toko buku di Jalan Dewi Sartika, Toko Gramedia, Toko Rumah Buku dan beberapa pameran buku yang diadakan di Bandung. Pencarian sumber-sumber ini peneliti fokuskan pada sumber-sumber yang berhubungan dengan Nahdlatul Ulama dan segala sesuatu yang berhubungan dengan konten kajian.

Kedua yaitu kritik dan analisis sumber, setelah kegiatan pencarian dan penemuan sumber-sumber berhasil dilakukan, tahap kedua yang dilakukan oleh peneliti adalah melakukan penilaian dan mengkritik isi sumber-sumber yang telah ditemukan tersebut baik dari buku, artikel, browsing internet, sumber tertulis, arsip dan hasil dari penelitian serta sumber lainnya yang relevan. Setelah peneliti menemukan dan mengumpulkan sumber-sumber tersebut tidak begitu langsung menerima apa saja yang tercantum atau tertulis dalam sumber-sumber tersebut. Sehingga menurut Helius Sjamsuddin (2007:131), peneliti harus memilah dan memilih secara kritis, terutama terhadap sumber-sumber pertama, agar terjaring fakta yang menjadi pilihan peneliti, yang langkah ini dinamakan kritik sumber.

(23)

yang digunakan. Kemudian kritik internal yaitu pengujian kebenaran yang dilakukan terhadap isi dari sumber sejarah tersebut. Pada langkah ini peneliti memilih informasi atau pun data yang diperoleh guna mendapatkan hasil penelitian yang baik, relevan dan valid.

Ketiga, Interpretasi atau penafsiran, sebagai usaha memahami dan mencari hubungan antara fakta sejarah sehingga menjadi kesatuan yang utuh dan rasional. Penafsiran tidak dapat dipisahkan dari analisis. Menurut Gottschalk (Ismaun, 2005:56), penafsiran sejarah itu memiliki tiga aspek penting, yaitu: pertama, analisis-kritis yaitu menganalisis stuktur intern dan pola-pola hubungan antar fakta-fakta. Kedua, historis-substantif yaitu menyajikan suatu uraian prosesual dengan dukungan fakta-fakta yang cukup sebagai ilustrasi suatu perkembangan, sedangkan ketiga adalah sosial-budaya yaitu memperhatikan manifestasi insani dalam interaksi dan interelasi sosial-budaya. Di dalam penelitian ini, tahap interpretasi dilakukan oleh peneliti dengan membuat penafsiran-penafsiran terhadap sumber-sumber atau fakta-fakta dan menganalisisnya secara objektif, fakta-fakta sejarah tersebut dikupas secara ilmiah dan kritis sehingga mendapatkan analisis-analisis yang dapat dipertanggungjawabkan.

(24)

tulisan. Tahap historiografi yang penulis lakukan adalah dalam bentuk tulisan setelah melewati tahap pengumpulan kritik dan penafsiran sumber-sumber sejarah.

1.5.2.Teknik Penelitian

Dalam sebuah penelitian, selain membutuhkan meotode penelitian juga membutuhkan suatu teknik penelitian. Dalam penelitian ini penulis mengunakan beberapa teknik penelitian, diantaranya:

1. Studi kepustakaan yaitu mempelajari data-data atau catatan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dan mempelajari buku-buku atau literatur untuk memperoleh informasi teoritis yang berkenaan dengan masalah penelitian. 2. Studi dokumentasi yakni penelitian yang dilakukan terhadap informasi yang di

dokumentasikan dalam rekaman, baik gambar, suara, tulisan, atau lain-lain bentuk rekaman biasanya dikenal dengan penelitian analisa dokumen.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika dari hasil penelitian ini akan disusun ke dalam lima bab yang terdiri dari:

(25)

penelitian yang dilakukan, serta mengenai metode penulisan dan sistematika dalam penyusunan skripsi.

Bab II Tinjauan Pustaka, dalam bab ini penulis menjelaskan topik-topik permasalahan yang terdapat dalam penelitian, dengan mengacu kepada suatu tinjauan pustaka. Dengan demikian penulis mengharapkan tinjauan pustaka ini dapat menjadi bahan acuan untuk membantu menerangkan temuan-temuan penelitian.

Bab III Metode Penelitian, dalam bab ini penulis menguraikan mengenai metode penelitian yang digunakan dalam penelitian. Lebih lanjut lagi, dalam bab ini penulis menguraikan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh penulis dalam menyelesaikan penelitian yang berisi langkah-langkah dimulai dari persiapan sampai dengan langkah terakhir dalam penyelesaian penelitian ini.

(26)

Mendeskripsikan implementasi Pancasila sebagai asas tunggal dan reaksi dari individu dan organisasi massa terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila. Ketiga, mendeskripsikan dinamika internal di organisasi Nahdlatul Ulama terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila. Keempat, menjelaskan latar belakang Nahdlatul Ulama menerima Pancasila sebagai asas organisasi. Kelima, mendeskripsikan proses penerimaan asas tunggal Pancasila dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Pada sub bab keenam, menjelaskan dampak penerimaan asas tunggal Pancasila terhadap organisasi Nahdlatul Ulama.

(27)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini peneliti memaparkan metode yang digunakan dalam penelitian skripsi yang berjudul “Penerimaan Asas Tunggal Pancasila oleh Nahdlatul Ulama : Latar belakang dan Proses 1983-1985”. Semua prosedur serta tahapan-tahapan penelitian, mulai dari persiapan hingga penelitian berakhir diuraikan secara rinci dalam bab ini. Hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam memberikan arahan dalam pemecahan masalah yang dikaji.

3.1 Metode dan Teknik Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode historis atau metode sejarah. Tugas peneliti dalam metode ini adalah mengadakan rekonstruksi mengenai masa lampau. Dalam kaitannya dengan ilmu sejarah, metode sejarah adalah “bagaimana mengetahui sejarah”, sedangkan metodologi

adalah “mengetahui bagaimana mengetahui sejarah” (Sjamsuddin, 2007:14).

Sementara itu menurut Ismaun dalam bukunya Sejarah Sebagai Ilmu (2005:28) menjelaskan:

(28)

Metode ini bertujuan untuk memastikan dan memaparkan kembali fakta masa lampau berdasarkan bukti dan data yang diperoleh sebagai peninggalan masa lampau dengan kata lain metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Senada dengan itu, Gottschalk (2008: 39) mengemukakan “...metode sejarah adalah suatu proses

mengujidan menganalisis secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa

lampau. Termasuk di dalamnya metode dalam menggali sumber, memberikan

penilaian, mengartikan, dan menafsirkan fakta-fakta masa lampau untuk kemudian dianalisis dan ditarik sebuah kesimpulan dari peristiwa tersebut. Penggunaan metode tersebut karena berkaitan dengan tahun yang menjadi batasan waktu penelitian, dimana tahun tersebut merupakan tahun yang telah berlalu dan menjadi bagian sejarah.

Secara khusus penulisan skripsi ini berada pada jenis penelitian sejarah politik. Penulis mencoba menafsirkan dan menganalisis keputusan politik yang dilakukan oleh suatu organisasi sosial dengan pendekatan sejarah, yang memperlihatkan reaksi suatu organisasi sosial terhadap kebijakan politik yang diterapkan pemerintah pada masa Orde Baru. Penulis lebih memfokuskan pada kajian sejarah politik institusional karena objek yang akan dikaji oleh penulis adalah sebuah organisasi sosial yang mempunyai perangkat (lembaga, struktur, dan institusi) yaitu Nahdlatul Ulama.

(29)

yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakan dan studi dokumentasi. Studi kepustakaan yaitu mempelajari data-data atau catatan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dan mempelajari buku-buku atau literatur untuk memperoleh informasi teoritis yang berkenaan dengan masalah penelitian. Dengan mempelajari data-data atau catatan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dan mempelajari buku-buku atau literatur tersebut peneliti berharap memperoleh informasi teoritis yang berkenaan dengan masalah peneliti. Di sisi lain peneliti melakukan studi dokumentasi, studi dokumentasi adalah penelitian yang dilakukan terhadap informasi yang di dokumentasikan dalam rekaman, baik gambar, suara, tulisan, atau lain-lain bentuk rekaman biasanya dikenal dengan penelitian analisa dokumen

Setelah itu, untuk mengembangkan penelitian ini, peneliti merujuk pada tahap-tahap penelitian yang dikemukakan oleh Sjamsuddin (2007: 25), yaitu:

1. Memilih satu topik yang sesuai.

2. Mengusut semua evidensi yang relevan dengan topik.

3. Membuat catatan tentang evidensi atau bukti yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang dilakukan. 4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang sudah dikumpulkan

(kritik sumber), baik secara ekstern maupun intern.

5. Menyusun semua hasil penelitian dalam suatu pola yang benar dan berarti.

6. Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan mengkomunikasikannya kepada pembaca sehingga dapat dimengerti (historiografi).

(30)

3.2 Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian adalah tahapan yang dilakukan peneliti sebelum melakukan penelitian. Terdapat beberapa hal yang dilakukan oleh peneliti. Adapun beberapa langkah yang ditempuh oleh peneliti pada tahap ini adalah sebagai berikut.

3.2.1 Pemilihan dan Pengajuan Tema Penelitian

Sebelum melakukan penelitian yang berkenaan dengan permasalahan yang dikaji, peneliti terlebih dahulu menentukan tema dan judul penelitian yang sesuai dengan ketertarikan dan kemampuan peneliti. Pada awalnya ketertarikan ini dialami ketika membaca buku dua buku tentang Nahdlatul Ulama. Pertama ialah buku yang berjudul NU & Pancasila yang ditulis oleh Einar Martahan Sitompul.

Kedua ialah buku yang berjudul Antara Tradisi dan Konflik : Kepolitikan

Nahdlatul Ulama karya Kang Young Soon.

(31)

yang jauh lebih beraneka warna dan dinamis dari pada stigma yang sejauh ini melekat yaitu, oportunisme politik, dan inkonsistensisme politik.

Setelah peneliti mendapatkan tema dan menentukan judul maka peneliti mengajukannya kepada Tim Pertimbangan Penelitian Skripsi (TPPS) jurusan Pendidikan Sejarah dengan judul awal “Peranan Pemikiran K.H. Achmad Siddiq Terhadap Penerimaan Asas Tunggal Pancasila Di Lingkungan NU 1983-1985”. Setelah mendapatkan persetujuan dari Tim Pertimbangan Penelitian Skripsi (TPPS), maka peneliti mulai melakukan penyusunan rancangan penelitian dalam bentuk proposal.

3.2.2 Penyusunan Rancangan Penelitian

Dalam tahapan ini peneliti melakukan pencarian sumber-sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji. Peneliti membaca berbagai sumber literatur yang relevan mengenai permasalahan yang dikaji. Setelah mendapatkan sumber, rancangan penelitian ini dijabarkan dalam bentuk proposal oleh peneliti. Setelah proposal selesai, peneliti mengajukannya kembali ke Tim Pertimbangan Penelitian Skripsi. Setelah dikoreksi oleh TPPS kemudian peneliti melakukan revisi terhadap rancangan proposal penelitian untuk mengikuti kegiatan seminar proposal skripsi.

(32)

Jurusan Pendidikan Sejarah. Dalam seminar proposal tersebut, peneliti mempresentasikan rancangan penelitian di depan dosen-dosen, TPPS, dan calon pembimbing skripisi untuk dikaji dan didiskusikan apakah rancangan tersebut dapat dilanjutkan atau tidak.

Di dalam seminar tersebut peneliti mendapatkan beberapa masukan dari dosen-dosen yang menghadiri seminar. Peneliti mendapatkan berbagai saran dan masukan terkait masalah judul, latar belakang penelitian, rumusan pertanyaan penelitian, serta tinjauan kepustakaan. Selain itu, peneliti juga mendapatkan masukan dari calon dosen pembimbing mengenai latar belakang yang terlalu melebar dan harus lebih difokuskan lagi.

Sistematika penelitian proposal yang digunakan oleh peneliti adalah merujuk pada tradisi penulisan proposal yang sering dilakukan di Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Indonesia yaitu (a) Judul proposal penelitian, (b) Latar belakang masalah, (c) Rumusan masalah, (d) Tujuan penelitian, (e) Manfaat penelitian, (f) Metode penelitian, (g) Kajian pustaka, (h) Sistematika Penulisan, (i) Daftar pustaka.

3.2.3 Mengurus Perizinan

(33)

oleh Pembantu Dekan Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan. Surat itu ditujukan kepada:

a. Kepala Kantor Arsip Nasional Republik Indonesia.

b. Kepala Kantor Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. c. Kepala PerpustakaanKantor Pengurus BesarNahdlatul Ulama.

d. Kepala Perpustakaan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama.

3.2.4 Proses Bimbingan

Proses bimbingan merupakan tahapan yang penting dalam penyusunan laporan penelitian ini. Dengan melakukan bimbingan, peneliti melakukan diskusi-diskusi perihal penelitian yang sedang dilakukan, mendapatkan masukan-masukan dari Pembimbing I dan Pembimbing II yang membantu dalam proses penyusunan skripsi. Dalam penyusunan skripsi ini peneliti dibimbing oleh Dr. Agus Mulyana, M.Hum selaku pembimbing I dan Wawan Darmawan, S.Pd., M.Hum selaku pembimbing II. Setiap hasil penelitian yang peneliti dapatkan dilaporkan kepada pembimbing untuk dikonsultasikan agar peneliti lebih memahami dan mendapat petunjuk untuk menghadapi segala kendala yang ditemukan dalam penyusunan skripsi ini.

(34)

sarankan berkenaan dengan penelitian skripsi ini. Di dalam proses bimbingan tersebut peneliti mendapatkan beberapa masukan dari dosen-dosen pembimbing.

Perubahan tersebut adalah judul awal yaitu “Peranan Pemikiran K.H. Achmad

Siddiq Terhadap Penerimaan Asas Tunggal Pancasila Di Lingkungan NU

1983-1985” dirubah menjadi “Penerimaan Asas Tunggal Pancasila oleh Nahdlatul Ulama : Latar belakang dan Proses 1983-1985”.

Kegiatan bimbingan ini sangat diperlukan untuk dapat menemukan langkah yang paling tepat dalam proses penyusunan skripsi. Kegiatan bimbingan dilakukan dengan cara diskusi dan bertanya mengenai permasalahan yang sedang dikaji serta untuk mendapatkan petunjuk atau arahan mengenai penelitian skripsi maupun dalam melaksanakan proses penelitian. Setiap hasil penelitian dan penelitian diajukan pada pertemuan dengan masing-masing pembimbing dan tercatat dalam lembar bimbingan. Intensitas bimbingan sangat mempengaruhi kualitas skripsi ini, hal itu peneliti rasakan manakala tidak melakukan bimbingan dalam waktu yang cukup lama.

3.3 Pelaksanaan Penelitian

3.3.1 Heuristik (Pengumpulan Sumber)

(35)

data-data atau materi sejarah, atau evidensi sejarah yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji oleh peneliti. Berkaitan dengan penelitian ini, proses heuristik yang dilakukan peneliti sudah dimulai kurang lebih sejak bulan Juni 2011.

Dalam pencarian sumber-sumber ini, peneliti mendatangi berbagai toko dan sentra buku di Bandung yang dapat memberikan sumber tertulis yang berkaitan dengan masa Orde Baru dan NU seperti toko buku Palasari, sentra buku di Jalan Dewi Sartika, toko buku Gramedia, dan toko buku Rumah Buku. Selain mencari ke toko dan sentra buku di Bandung, peneliti juga mencari buku sumber yang memasarkan secara online dan juga memesan langsung kepada penerbit melalui internet, diantaranya Toko Buku Kita, Toko Belbuk. Kemudian selain mencari diberbagai Toko Buku tersebut, dan toko buku online.

Peneliti pun mengunjungi berbagai perpustakaan yakni Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Perpustakaan Batu Api Jatinangor, Perpustakan Daerah Provinsi Jawa Barat, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, dan Perpustakaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Sumber tertulis yang telah didapat kemudian dibaca, dipahami dan dikaji untuk melihat kesesuaiannya dengan permasalahan penelitian. Peneliti mencatat hal-hal penting yang didapat dari tiap sumber, seperti daftar pustaka dan kutipan-kutipan yang diperlukan. Secara ringkas, dari berbagai tempat-tempat tersebut yang memiliki kontribusi diantaranya :

(36)

bahan penelitian, yaitu mengenai metodologi sejarah. Dalam heuristik ini Peneliti mendapatkan gambaran tentang cara penyelidikan atas suatu masalah dengan mengaplikasikanya jalan pemecahannya dari perspektif historis.

b. Di Perpustakaan PBNU di Jakarta, peneliti memperoleh dokumen-dokumen internal NU yang diterbitkan sekitar tahun 1980-an. Dokumen tersebut diantaranya: dokumen teks berupa makalah tentang hubungan Islam dan Pancasila serta norma-norma Pancasila Menurut pandangan Islam, dan memperoleh beberapa buku tentang sejarah NU dan buku tentang sepak terjang NU dalam perpolitikan Indonesia. Dari semua dokumen diatas memberikan kontribusi pada peneliti mengenai perdebatan dan proses keputusan penerimaan ketika NU merespons kebijakan asas tunggal Pancasila yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru.

c. Perpustakaan Batu Api di Jatinanggor, peneliti memperoleh buku yang menjelaskan hubungan NU ketika berhadap-hadapan dengan negara, menanggapi perubahan sosial dan politik baik yang dirasakan dalam internalnya maupun dari eksternal. Serta buku mengenai percaturan politik di Indonesia yang didalamnya memuat hubungan antara demokrasi, Islam, dan ideologi toleransi.

(37)

e. Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Barat di Bandung, Peneliti memperoleh buku tentang dampak yang terjadi Setelah NU menerima Asas Tunggal Pancasila.

f. Toko Buku BBC Palasari di Bandung, peneliti memperoleh bukuyang berkaitan dengan permasalahan penelitian, yaitu mengenai dinamika NU dalam perubahan sosial dan politik Indonesia yang dikaitkan dengan ideologi yang dipegangnya, Konflik-konfilk yang terjadi di dalam NU serta tentang kepolitikan NU. Serta tentang hubungan Islam dan tata negara.

g. Toko Rumah Buku, peneliti mendapatkan buku yang terkait dengan penelitian skripsi ini yaitu buku yang memaparkan tentang Sejarah pada masa Orde Baru, yang sangat berkontribusi dalam penelitian.

h. Selain toko-toko buku dan perpustakaan, peneliti juga mencari sumber-sumber buku yang akan dipakai sebagai bahan penelitian skripsi ini seperti ke sentra buku Jalan Dewi Sartika, di tempat ini peneliti menemukan buku yang berkaitan dalam penelitian yaitu buku yang memberi gambaran peta kekuatan politik di Indonesia pada masa Orde Baru.

(38)

indonesia Era 1970-an dan 1980-an, serta respons umat islam terhadap kebijakan yang berhunbungan dengan Pancasila

Sumber tertulis yang telah didapat kemudian dibaca, dipahami dan dikaji untuk melihat kesesuaiannya dengan permasalahan penelitian. Peneliti mencatat hal-hal penting yang didapat dari tiap sumber, seperti daftar pustaka dan kutipan-kutipan yang diperlukan.

3.3.2 Kritik Sumber

(39)

3.3.2.1 Kritik Eksternal

Kritik eksternal merupakan cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah (Sjamsuddin, 2007: 132). Kritik eksternal dilakukan guna menilai kelayakan sumber tersebut sebelum mengkaji isi sumbernya. Kritik ini dilakukan untuk meminimalisir subjektivitas dari buku sumber sehingga peneliti dapat menyaring semua informasi dan mengelompokkannya ke dalam kelompok benar, tidak benar atau meragukan.

Kritik eksternal bertugas menjawab tiga pertanyaan pokok yang menyangkut jejak/sumber yang telah ditemukan (Widja, 1998:24) yaitu :

1. Adakah jejak sejarah itu adalah jejak yang otentik, bukan palsu?

2. Kalau jejak itu bukan aslinya atau turunannya, adakah terjadi perubahan atau penyimpangan dari wujud tersebut?

3. Kalau memang telah terjadi perubahn seberapa jauhkah terjadi perubahan atas penyimpangan itu?

Kritik eksternal terhadap sumber-sumber tertulis peneliti lakukan dengan cara melihat siapa penelitinya, bagaimana dengan hasil karyanya yang lain, dan lain sebagainya. Hal tersebut dilakukan sebagai salah langkah pertama menegakkan otensitas (Sjamsuddin,2007: 135). Selain itu juga dengan melihat penerbitnya, tahun terbit dan tempat buku tersebut diterbitkan.

(40)

1404/18-21 Desember 1983 M. Laporan ini di dalamnya berisitentang alasan penyelengaraan Munas, landasan organisatoris, tujuan Munas, materi pembahasan munas, peserta Munas, waktu, tempat, dan penyelengaraan Munas, dan hasil-hasil keputuasan Munas. Laporan penyelenggaraan musyawarah nasional alim ulama Nahdlatul Ulama pada tahun 1983 yang diterbitkan oleh PBNU adalah sumber sejarah tertulis yang otentik karena diterbitkan langsung oleh PBNU pada tahundan bulan yang sama dengan diadakanya munas alim ulama Nahdlatul Ulama tersebut.

Kritik selanjutnya yang peneliti lakukan adalah kritik terhadap sebuah buku yang diperoleh dari Perpustkaan PBNU yaitu berupa buku yang berjudul

Nahdlatul Ulama Kembali ke Khittah yang berisi laporan penyelengaraan

Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27 tahun 1984 bertempat di Pondok Pesantren

Salafiyah Syafi’iyah Sukerejo asuhan K.H. As’ad Syamsul Arifin. Muktamar

(41)

Kritik selanjutnya yang peneliti lakukan adalah kritik terhadap sebuah makalah yang diperoleh dari Perpustkaan PBNU yang berjudul Hubungan Agama dan Pancasila Yang ditulis oleh K.H. Achmad Siddiq. Makalah ini ditulis untuk sebuah pertemuan ilmiah dengan tema “peranan agama dalam memantapkan

ideologi negara” yang diselengarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan

Agama Departemen Agama RI di Jakarta pada tanggal 14-15 Maret 1985. Makalah ini adalah sumber sejarah yang otentik karena ditulis langsung oleh K.H. Achmad Siddiq sendiri serta makalah ini diterbitkan oleh Lakpesdam NU pada tahun dan bulan yang sama dengan diadakanya pertemuan ilmiah tersebut.

3.3.2.2 Kritik Internal

(42)

didapatkan persamaan dan perbedaan tersebut peneliti menilai hal-hal yang dapat dipercaya dan tidak.

Buku pertama yang diseleksi dalam tahapan kritik internal adalah buku

Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

Indonesia (1998) karya Bahtiar Effendi. Buku yang mengupas panjang lebar

persoalan hubungan Islam dan negara ditinjau dari tiga masa, yaitu masa periode kemerdekaan yang menuntut ke arah kesatuan Islam dan negara, periode pasca-revolusi sebagai upaya perjuangan Islam sebagai dasar ideologi negara, dan periode Orde Baru sebagai periode penjinakan idealisme dan aktivisme politik Islam. Dalam buku ini penjelajahan penelitiannya lebih banyak mengarah terhadap pola strategi perjuangan politik Islam dan arus baru formulasi teologis politik Islam. Sehingga generalisasi hubungan Islam dan negara dalam kajian buku ini lebih nampak dari pada kajian pemikiran tokohnya sendiri.

Selain yang tersebut di atas, terdapat kajian lain yang lebih spesifik lagi mengenai hubungan Islam dan negara, yaitu buku yang dikarang oleh Abdul Aziz Thaba dengan judul Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru (1996). Buku ini lebih khusus menjelaskan pergulatan politik Islam dengan negara di masa Orde Baru. Terdapat tiga asumsi dasar hubungan antara Islam dan negara di masa Orde Baru. Pertama, adalah hubungan yang bersifat antagonistik (1966-1981), kedua, hubungan yang bersifat resiprokal-kritis (1982-1985), dan ketiga adalah hubungan yang bersifat akomodatif (1986-1990-an).

(43)

yang lebih spesifik. Namun, apa yang dihasilkan juga tidak bisa lepas dari generalisasi politik Islam dari pada kajian pemikiran tokohnya.

Buku selanjutnya yang diseleksi adalah Antara Tradisi dan Konflik:

Kepolitikan Nahdlatul Ulama karya Kang Young Soon (2007). Buku ini

merupakan penerbitan dari disertasi doktoral mahasiswa Korea Selatan di lingkungan Universitas Indonesia. Buku yang terdiri dari tujuh bab pembahasan dan salah satunya pembahasan di dalamnya terdapat pembahasan tentang konflik-konflik internal yang terjadi di tubuh NU. Konflik internal itu meliputi konflik-konflik antara kubu politisi NU dengan Kubu non-politisi yang diwakili oleh para kiai-kiai sepuh, konflik antara Gus Dur dengan K.H. As’ad Syamsul Arifin, konflik antara kelompok Gus Dur dengan Kelompok Abu Hasan, dan konflik antara kelompok PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dengan kelompok non-PKB.

Apa yang ditulis oleh Kang, sedikit banyak sama dengan apa yang ditulis oleh Laode Ida dengan bukunya berjudul Anatomi Konflik NU, Elit Islam, dan

Negara (1996). Walaupun latar belakang dari buku ini adalah sama dengan buku

sebelumnya yaitu membahas konfilk-konflik yang terjadi di NU. Namun buku ini lebih banyak menyoroti ketengangan dan konflik yang terjadi di NU, baik sebagai akibat dari pergolakan kepentingan tokoh-tokoh NU sendiri pada tingkat internal maupun tingkat eksternal yaitu konflik akibat interaksinya dengan para elite Islam di luar NU, serta para aktor Politik yang berperan kuat pada tingkat negara.

(44)

buku-buku seputar NU. Lembaga ini mengkonsentrasikan pada eksplorasi pemikiran dan penerbitan karya ilmiah para tokoh, akademisi, Indonesianis maupun Orientialis baik dari lingkungan NU maupun di luar lingkungan NU yang mengangkat NU sebagai subjeknya. Tak bisa dipungkiri memang lembaga ini merupakan sayap gerakan kultural NU, karena orang-orang yang menjalankannya ialah warga nahdliyin, meskipun demikian lembaga ini tidak masuk dalam struktural NU.

Kritik selanjutnya yang peneliti lakukan adalah dengan melihat aspek filosofis penamaan LKIS.Pemakaian huruf “i” dengan huruf kecil bukanlah suatu kesalahan melainkan suatu kesengajaan, untuk menunjukkan bahwa Islam yang dimaksud bukanlah Islam yang berwajah ideologis dan doktriner melainkan gagasan Islam yang universal.

Langkah selanjutnya yang peneliti lakukan adalah dengan mengkritisi buku yang diterbitkan oleh LKiS yang berjudul NU Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa,

Pencarian Wacana Baru. Hak cipta penerbitan pertama adalah pada tahun 1994,

buku ini merupakan terjamahan dari karya ilmiah Bruinessen (1994) dengan judul asli Traditionalist Muslim in A Modernizing World: The Nahdlatul Ulama and Indonesia’s New Order Politics, Factional Conflict and The Search for A New

Discourse.

(45)

Pandangan Hidup Ulama (1986-1990). Dilihat dari kiprah akademik dan riset-risetnya, Bruinessen dapat dikatakan praktisi sosiologi dan bukan seorang sejarawan.

Kritik selanjutnya dilakukan terhadap buku NU vis-à-vis Negara

Pencarian Isi, Bentuk dan Makna yang ditulis oleh Andree Feillard. Buku yang

diterjemahkan dari judul aslinya yakni Islam et Armee Dans L’indonesie

Contemporaine Les Pionniers de la Tradition yang merupakan disertasi Feillard

untuk bidang Sejarah dan Kebudayaan di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris pada tahun 1993. Keterlibatannya di Indonesia, diawali ketika menjadi seorang jurnalis (wartawan) untuk Agence France Presse di Jakarta, 1981. Lalu menjadi koresponden Asia Week 1985-1989. Dilihat dari penelitiannya, Feillard adalah seorang sejarawan, meskipun karirnya dimulai sebagai wartawan, kemudian mengajar di Institut National des Langues et

Civilisations Orientates (INALCO) Paris.

Kritik selanjutnya dilakukan terhadap buku NU & Pancasila, yang ditulis oleh Einar Martahan Sitompul. Buku ini sudah pernah diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan Jakarta pada tahun 1989, dengan judul NU dan Pancasila; Sejarah

dan peranan NU dalam Perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam Rangka

Penerimaan Pancasila Sebagai Satu-Satunya Asas, buku ini diterbitkan kembali

(46)

South East Asia Graduate School of Theology (SEAGST) Jakarta pada tahun 1988.

Dilihat dari latar belakang penelitinya, Einar adalah seorang pendeta dan peneliti yang aktif mengamati gerakan sosial keagamaan di berbagai negara di dunia, khususnya kajian tentang Islamologi. Salah satunya adalah disertasinya di

Universitas Hamburg yang berjudul “Iqbal dan Negara Islam” pada tahun 1998.

Dilihat dari kiprah akademik dan riset-risetnya, Einar dapat dikatakan pendeta dan peneliti aktif tentang Islamologi bukan seorang sejarawan.

Hasil dari kritik eksternal dan internal terhadap sumber tertulis adalah sesuatu yang menurut peneliti valid keadaannya. Hal ini kemudian akan dipergunakan dalam proses selanjutnya.

3.3.3 Interpretasi

(47)

menggabungkan atau merekonstruksi fakta tersebut menjadi sebuah satu kesatuan

yang dibantu dengan “historical thingking”, hal tersebut dilakukan dengan

memikirkan kembali masa lalu seolah-olah peneliti mengalami dan menjadi pelaku pada peristiwa yang terjadi pada masa lalu, sehingga peneliti dapat memperoleh gambaran tentang permasalahan yang dikaji.

Tahap interpretasi juga dapat diartikan sebagai pemberian makna terhadap data atau fakta yang sebelumnya sudah dikumpulkan. Sjamsuddin (2007: 158) menjelaskan bahwa disadari atau tidak, para sejarawan berpegang pada satu atau kombinasi beberapa filsafat sejarah yang menjadi dasar penafsirannya. Filsafat sejarah yang mendasari hal tersebut dibagi menjadi dua yaitu determinisme dan kemauan bebas (free will).

(48)

Di antara berbagai bentuk filsafat deterministik, Peneliti memilih menggunakan penafsiran sintetis (Sjamsuddin, 2007: 170) menjelaskan bahwa penafsiran sintetis mencoba menggabungkan semua faktor dan tenaga yang menjadi penggerak sejarah. Dalam penafsiran ini, peneliti memandang bahwa tidak ada faktor tunggal yang cukup untuk menjelaskan semua peristiwa sejarah. Semua faktor akan saling berkaitan dan manusia tetap menjadi pemeran utama dalam sejarah tersebut.

Peneliti menafsirkan berbagai fakta yang berasal dari sumber tertulis. Penafsiran terhadap sumber tertulis dilakukan dengan pemikiran secara mendalam terhadap berbagai pendapat dari peneliti yang melakukan penelitian sebelumnya mengenai penerimaan asas tunggal Pancasila oleh NU, dengan demikian peneliti mendapatkan jawaban dari setiap perbedaan yang diungkapkan oleh para peneliti sebelumnya.

(49)

Ketiga sumber utama tersebut melahirkan deklarasi hubungan Islam dan Pancasila yang dipakai NU sebagai dasar penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi. Sehingga NU menjadi ormas Islam pertama yang menerima Pancasila sebagai asas organisasinya serta secara tidak langsung konsep pemikiran dari NU membuat ormas islam lainnya yaitu Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

3.4 Penulisan Laporan Penelitian (Historiografi)

Historiografi merupakan tahapan akhir yang dilakukan dalam prosedur penelitian ini. Tahapan ini merupakan langkah penyusunan hal-hal yang telah peneliti dapatkan dalam bentuk penelitian skripsi. Historiografi berarti pelukisan sejarah, gambaran sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada waktu yang telah lalu yang disebut sejarah (Ismaun, 2005: 28). Pada tahapan ini kita tiba pada saat menuliskan dan menjalinkan hasil interpertasi fakta-fakta menjadi suatu kisah sejarah yang selaras, dalam menuliskan kisah ini hendaknya kita mempergunakan bahasa yang baik dan benar, lugas dan efektif (Lubis, 2011:100).

(50)

melakukan penelitian. Selain itu, dituangkan pula berbagai informasi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Fakta yang didapat oleh peneliti tidak hanya ketika melakukan penelitian saja, namun peneliti juga mendapatkannya ketika penelitian laporan ini sedang disusun. Fakta baru ini memberikan informasi dan kontribusi yang penting sehingga penelitian laporan ini menjadi lebih baik lagi. Fakta baru juga dicari oleh peneliti ketika merasa ada yang kurang dalam penelitian ini.

Skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika yang berlaku dalam Jurusan Pendidikan Sejarah dengan menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD). Penelitian skripsi ini mengacu pada buku pedoman karya ilmiah yang dikeluarkan oleh Universitas Pendidikan Indonesia. Penelitian ini ditujukan sebagai salah satu tugas akhir akademis yang harus ditempuh oleh mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah untuk menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana.

Hasil penelitian akan disusun ke dalam lima bab, yang terdiri dari Pendahuluan, Kajian Pustaka, Metodologi Penelitian, Pembahasan, dan Kesimpulan. Pembagian penyusunan kedalam lima bab ini bertujuan untuk memudahkan pemahamam terhadap karya tulis ini.

(51)

Bab II Kajian Pustaka. Dalam bab ini dipaparkan mengenai sumber-sumber buku dan sumber-sumber lain yang digunakan oleh peneliti sebagai sumber-sumber rujukan yang dianggap relevan dalam proses penelitian terhadap penerimaan asas tunggal Pancasila oleh Nahdlatul Ulama tahun 1983-1985.

Bab III Metodologi Penelitian. Bab ini akan menjelaskan mengenai serangkaian kegiatan serta cara-cara yang ditempuh dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan sumber yang relevan dengan masalah yang sedang dikaji oleh peneliti. Diantaranya heuristik, yaitu proses pengumpulan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian skripsi ini. Kritik yaitu melakukan penilaian secara intern dan ekstern terhadap data yang telah diperoleh dalam langkah sebelumnya, untuk mendapatkan berbagai informasi yang akurat berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, interpretasi yaitu penafsiran terhadap fakta yang telah ditemukan karena pemahaman dan pemikiran yang dilakukan terhadap permasalahan yang diteliti, serta historiografi yaitu tahapan terakhir dalam sebuah penelitian sejarah yang merupakan suatu kegiatan penelitian dan proses penyusunan hasil penelitian.

(52)

dari individu dan organisasi massa terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila. Ketiga, mendeskripsikan dinamika internal di organisasi Nahdlatul Ulama terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila. Keempat, menjelaskan latar belakang Nahdlatul Ulama menerima Pancasila sebagai asas organisasi. Kelima, mendeskripsikan proses penerimaan asas tunggal Pancasila dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Pada sub bab keenam, menjelaskan dampak penerimaan asas tunggal Pancasila terhadap organisasi Nahdlatul Ulama.

(53)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab ini berisi interpretasi penulis terhadap judul skripsi “Penerimaan Asas Tunggal Pancasila oleh Nahdlatul Ulama : Latar Belakang dan Proses 1983-1985” yang menjadi bahan penelitiannya disertai dengan analisis penulis dalam membuat sebuah kesimpulan atas jawaban-jawaban rumusan masalah yang ada. Selain itu, dalam bab ini juga terdapat saran atau rekomendasi dari penulis yang diajukan kepada berbagai pihak yang berkepentingan dalam penelitian ini.

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan ini merujuk pada jawaban permasalahan penelitian yang telah dibahas sebelumnya. Terdapat enam hal yang dapat disimpulkan berdasarkan permasalahan telah dibahas, yaitu:

Pertama, mulai tahun 1982 pemerintah membicarakan pentingnya

(54)

melindungi Pancasila agaknya karena munculnya gerakan separatis dan fundamentalis di negara ini. Sedangkan latar belakang politis yaitu Faktor

pertama adalah pemerintah tampaknya belajar dari pengalaman kampanye pemilu

sebelumnya di mana terjadi pertarungan fisik (yang sering berakibatkan fatal), khususnya antara pendukung Golkar dan PPP. Faktor kedua adalah kerana secara ideologis Pancasila akan menempati posisi yang lebih kuat dalam kehidupan sosial dan nasional bangsa Indonesia.

Kedua, gagasan pemerintah tentang penyatuan asas bagi seluruh partai

(55)

keagamaan. MAWI (Majelis Agung Wali Geraja Indonesia) dan DGI (Dewan Geraja Indonesia), misalnya, menolak undang-undang tersebut. Kelompok agama Budha dan Hindu dengan mudah menerima asas tunggal Pancasila karena kebetulan tidak memiliki power untuk berbicara lebih lantang tentang keinginan pemerintah tersebut. Sejumlah ormas Islam keberatan terhadap gagasan pemerintah tersebut.

Ketiga, Wafatnya K.H Bisri Syansuri segera menimbulkan disintregrasi

dikalangan pucuk pimpinan NU, yang kemudian dikenal dengan konflik antara kubu Cipete dan kubu Situbondo. Kelompok Situbondo terdiri dari tokoh

non-politisi (Kubu Ulama) ditokohi oleh K.H Ali Ma’sum serta K.H As’ad Syamsul

(56)

dapat dipastikan akan menerima, tetapi hal ini kemungkinan besar akan menyebabkan protes dan perlawanan dari faksi NU yang lain. Kiai As'ad dan sekutu-sekutunya tampaknya memiliki kesempatan yang lebih baik untuk membuat seluruh organisasi ini menuruti tuntutan pemerintah. Karena itu, pemerintah memberikan dukungan penuhnya kepada Musyawarah Nasional Alim Ulama, yang diselenggarakan di pesantren Kiai As'ad di Situbondo pada Desember tahun itu juga.

Keempat, Khusus bagi NU sebagai organisasi keagamaan (jamiyah

dinniyyah) penerimaan asas Pancasila bukan sekedar persoalan politis-organisatoris, melainkan persoalan keagamaan yang diselesaikan secara keagamaan juga melalui argumen-argumen keagamaan yang diketengahkan dalam Muktamar Situbondo. Kemudian Muktamar Situbondo yang mengukuhkan keputusan Munas 1983 memutuskan menerima Pancasila berdasarkan tiga pertimbangan yaitu Pertama, NU menganut pendirian bahwa Islam adalah agama fitriah (sifat asal atau murni); sepanjang suatu nilai tidak bertentangan dengan keyakinan Islam, ia dapat diarahkan dan dikembangkan agar selaras dengan tujuan-tujuan di dalam Islam. Kedua, konsep ketuhanan Pancasila dinilai mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam. Ketiga, dari sudut sejarah bahwa ulama-ulama dengan cara mereka sendiri dan NU sebagai organisasi keagamaan yang berakar kuat di dalam masyarakat, telah turut berjuang merebut kemerdekaan sebagai kewajiban keagamaan.

Kelima, Munas Alim Ulama ini bertempat di PP Salafiyah Syafi’yah

(57)

Syamsul Arifin) yang diselengarakan tanggal 13-16 Rabi’al-Awwal 1404/18-21 Desember 1983 M. Selain membahas keagamaan (masa’il diniyah) yang menjadi agenda rutin, Munas 1983 terasa istimewa karena di Munas ini akan ditentukan masa depan NU vis a vis negara.Di antara beberapa keputusan Munas NU, ada salah satu masalah yang paling penting yaitu, pemantapan Pancasila sebagai asas organisasi, penjabarannya dalam Anggaran Dasar serta deklarasi hubungan Pancasila dan Islam. Sukses Munas 1983 di Situbondo meratakan jalan menuju suksesnya Muktamar NU 1984.Muktamar NU di Situbondo adalah muktamar NU yang ke-27 tahun 1984 bertempat di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah

Sukerejo asuhan K.H. As’ad Syamsul Arifin. Muktamar diselenggarakan mulai 8 Desember hingga 12 Desember 1984. Tujuan Muktamar NU ke-27 yaitu salah satunya adalah menghasilkan atau mensahkan hasil Munas Alim Ulama NU di Situbondo yaitu tentang penerimaan asas tunggal Pancasila.

Keenam, sebagai implementasi penerimaan NU atas Pancasila sebagai

(58)

berubah, menganggap NU tidak oposan lagi. Perubahan sikap pemerintah ini tentu saja disambut gembira oleh massa NU yang berada di daerah. Pengusaha NU mulai mendapatkan tender lagi, dan secara ekonomi mendapat kemajuan yang sangat bisa dirasakan. PBNU yang baru itu betul-betul membawa perubahan iklim kebijakan pemerintah yang nuansanya sangat dirasakan oleh aktivis NU di daerah.

5.2 Rekomendasi

1. SK-KD di Materi Pelajaran Sejarah SMA

Hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis direkomendasikan untuk Materi pelajaran sejarah semester 1 kelas XII IPS. Hasil penelitian ini dimasukan kedalam materi pokok menguatnya peran negara pada masa Orde Baru dan dampaknya terhadap kehidupan sosial politik masyarakat. Dengan kompentesi dasar menganalisis Perkembangan Pemerintah Orde Baru serta dengan standar kompentensi menganalisis perjuangan sejak Orde Baru sampai dengan Masa Reformasi.

2. Peneliti Selanjutnya

(59)

Daftar Pustaka

Sumber Buku :

Abdillah, M. (1999). Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual

Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993).

Yogyakarta: Tiara Wacana.

Abdullah, M. (2006). Soeharto dan Orde Baru. dalam Gusmian, I. Soeharto

Sehat. Yogyakarta: Galangpress

Abdurahman, D. (2007). Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Ahmad, K.B. (2002). Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia.

Yogyakarta: Galang Press.

Ali, F. dan Effendy, B. (1986). Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi

Pemikiran Islam Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.

Ali, F. (1984). Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik. Jakarta: Pustaka Antara. Ali, A.S. (2008). Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati. Jakarta:

LP3ES.

Ali, A.S. (2009). Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia.

Anam, C. (1999). Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama. Surabaya: Bima Satu.

Aziz, M.I. (1997). Beberapa Pernyataan di Sekitar NU dan Pancasila, dalam Zainal Arifin Thaha (Eds). Membangun Budaya Masyarakat:

Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU. Yogyakarta: Titian

Ilahi Press.

Barton, G. (2008). Gus Dur: The Authorized Biography Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: Lkis.

Baso, A. (2006). NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme

(60)

Bourchier, D. (2007). Pancasila Versi Orde Baru dan Asal Muasal Negara

Organis (Integralistik). Yogyakarta: Aditya Media Bekerja Sama dengan

PSP UGM.

Bruinessen, M.V. (1994). NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa: Pencarian Wacana

Baru. Yogyakarta: Lkis.

Bruinessen, M.V.(1994). Konjungtur Sosial; Politik di Jagat NU Pasca Khittah:

Pergulatan NU Dekade 1990-an. dalam Dharwis, E.K.H. Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: Lkis.

Darmodiharjo, D. et al. (1981). Santiaji Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional. Djunaedi, M. (1990). Nahdlatul Ulama: Sejarah dan Politik. dalam Kontroversi

Pemikiran Islam Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Dy, A.A.A. et al. (2006). Islam Ahlussunah Waljamaah di Indonesia: Sejarah,

Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama. Jakarta: Pustaka Ma’arif

NU.

Effendy, B. (2011). Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek

Politik Islam (Edisi Digital). Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi.

Eksan, M. (2000). Kiai Kelana: Biografi Kiai Muchith Muzadi. Yogyakarta: Lkis. Fadeli, S dan Subhan, M. (2010). Antologi NU Buku 1: Sejarah, Istilah, Amaliah

dan Uswah (third ed.). Surabaya: Khalista.

Fealy, G. (2003). Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: Lkis.

Feillard, A. (1994). NU dan Negara: Fleksibelitas, Legitimasi, dan Pembaruan. dalam Dharwis, E.K.H. Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: Lkis.

Feillard, A. (1999). NU Vis-A-Vis Negara : Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna. Yogyakarta : Lkis.

Gaffar, A. (1995). Metamorfosis NU dan Politisi Islam Indonesia. Yogyakarta: Lkis.

Gottschalk, L. (2008). Mengerti Sejarah; Penerjemah Nugroho Notosusanto. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Satu hal yang perlu di pertimbangkan pada saat penerapan multi faktor otentikasi di sebuah organisasi adalah bahwa sistem ini masih memiliki beberapa kelemahan yang

jantung dalam memompa darah keseluruh tubuh mempengaruhi peningkatan oksigen tubuh serta kemampuan paru untuk mengelola oksigen dengan baik didalam tubuh. Jogging

Hal ini juga yang menjadikan penulis ingin membahas masalah tingkat pelunasan kredit mobil menggunakan metode estimasi dengan algoritma Linear Regression untuk menentukan

Pamerdi Giri Wiloso, M.Si, Phd, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Satya Wacana Salatiga, sekaligus dosen pembimbing utama, yang dengan penuh apresiasi dan

Selain dilakukan proses coating pada logam stainless steel yang digunakan sebagai elektroda, dapat pula dilakukan penambahan media pada larutan elektrolit agar

ALS DAVIT OMPONG mencoba membuka pintu dapur tetapi pintu dalam keadaan terkunci dan saat itu Terdakwa II RAKES ROSAN ALS RAKES BIN HARPEN SUAR mencari alat untuk

Analisis ini digunakan dengan tujuan mengetahui hubungan antara kualitas udara fisik (pencahayaan, suhu, kelembaban, dan laju ventilasi), kualitas udara biologi

Hasil dari perhitungan menggunakan kalkulator PCE dapat dilihat pada tabel III, yang menunjukkan bahwa responden yang memiliki pola hidup tidak sehat juga memiliki