BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
Dalam bab ini membahas tentang berbagai teori yang berkaitan dengan
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH), Inkontinensia Urin dan Kegel Exercise.
1. Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) a. Definisi
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH) yaitu :
1) Istilah Hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi adalah hyperplasia kelenjar periuretra yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi kapsul bedah (Anonim, FK UI 1995).
2) Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) adalah pembesaran progresif dari
kelenjar prostat (Secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilyn, 2000).
3) Hipertropi prostat merupakan suatu penyakit yang sering ditemukan pada pria yang berusia lebih tua dari 50 tahun. Dimana istilah hipertropi prostat kurang tepat karena yang terjadi sebenarnya hyperplasia kelenjar periuretral (Mansjoer dkk, 2007).
4) Hipertropi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroade-nomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut mulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa (Shylvia dkk, 2006). b. Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi
Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar Bledder neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata- rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis
terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah,
lobus posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah. Selama
perkembangan-nya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi satu disebut lobus medius.
Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari kapsul anatomis yaitu jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:
a) Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya.
b) Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagaiadenomatus zone.
c) Di sekitar uretra disebut periuretral gland.
Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra.
Menurut Mc Neal, prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen anterior dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selaput epitel torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid (Anderson, 1999).
2. Fisiologi
Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada orang dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba. Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik.
Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan, keluar cairan seperti susu. Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu padat dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan.
c. Etiologi
Penyebab Benigna Prostat Hiperplasi( BPH ) sampai saat ini belum diketahui, namun terdapat factor resiko umur dan hormone androgen (Anonim, FK UI,1995). Benign prostat hyprplasia adalah pembesaran jaringan kelenjar prostat yang bersifat jinak, walaupun tidak diketahui secara pasti penyebabnya sebab tidak bersifat universal terjadi pada usi alanjut. Namun demikian diperkirakan bahwa peningkatan jumlah sel prostat sebgai hasil dari adanya perubahan endokrin yang berhubungan dengan proses penuaan, terjadi akumulasi dihydroxytestosteron (hormon endrogen utama dalam kelenjar prostat), stimulasi estrogen, dan aktivitas hormon pertumbuhan lokal lainnya dianggap berperan dalam terjadinya
benigna prostatik hyperplasia (Parakrama chandrasanom.
Ringka-san Patologi Anatomi, Edisi 2. 2006). d. Patofisiologi
Pembesara prostat menyebabkan penyempitan lumenuretra prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomic
buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sekula, dan divertikal buli-buli.Perubahan struktur pada
buli-buli tersebut, oleh pasien disarankan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatium (Purnomo, 2011).
Pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urunarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian destrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat destrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat destrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula, bila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut destrusor akan menjadi lelah akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (Mansjoer, 2000).
e. Manifetasi Klinis
1) Gejala pembesaran prostat jinak dikenal sebagai Lower Urinary
Tract Symptoms (LUTS),yang dibedakan menjadi :
a) Gejala Iritatif,sering miksi (frekuensi), terbangun pada malam hari untuk miksi (nukturia), perasaan ingin miksi yang sangatmendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria). b) Gejala Obstrukstif adalah pancaran melemah, rasa tidak puas
setelah miksi, apabila akan miksi harus menunggu lama, harus mengedan, kencing terputus-putus, dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinen karena overflow (Anonim,FK UI,1995).
2) Peningkatan frekuensi berkemih, noktusia, dorongan untuk berkemih ‘anyang-anyangen’ abdomen tegang volume urine menurun harus mengejan saat berkemih, aliran urin tidak lancar, dribbling ( urin terus menerus setelah berkemih, retensi urin akut,
kekambuhan infeksial kemih). Ozotemia (akumulasi sampah nitrogen), gagal ginjal dan retensi urin kronis, volume residu semakin besar. Gejala generalisasi termasuk kelelahan, anoreksia, mual muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik (Price,2001). f. Penatalaksanaan
Tujuan penanganan medik yaitu memperbaiki aliran urin dari kandung kemih, mengurangi/menghilangkan gejala-gejala dan mencegah atau menangani komplikasi akibat Benigna prostatic
Hyperplasia (BPH). Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat
adalah:
1. Memperbaiki keluhan miksi 2. Meningkatkan kualitas hidup 3. Menguilangi obstruksi intravesika 4. Mengembalikan fungsi ginjal
5. Mengurangi volume residu urin setelah miksi 6. Mencegah progresifitas penyakit
Tujuan terapi ini dapat dicapai dengan cara medikmentosa, pembedahan dan tindakan invasif minimal endourologi serta watcfull waiting.
1) Terapi Medikmentosa
Tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH (Baradero dkk, 2007) adalah :
a) Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelakasasi untuk mengurangi tekanan pada uretra.
b) Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker (penghambat alfa adrenergic)
c) Mengurangi volume prostat dengan menentukan kadar hormone tertosterone/dehidrotestetoteron (DHT)
Menurut Purnomo (2011) diantaranya : penghambat adrenergik alfa, penghambat enzim 5 alfa reduktase, dan fitofarmaka.
a. Penghambat adrenergicalfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,
terzosin, afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a(Tamsulosin).
Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis alfa 1 adrenergik karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat dan kapsul prostat sehingga terjadi relaksasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah pasien mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing dan sumbatan dihidung.
b. Penghambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1 x 5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar kan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini menunjukan perbaikan sedikit atau 28% dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
c. Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw
palmetto, serenoa, repeus dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1-2 bulan dapat memperkecil volume prostat. 2) Terapi Bedah
Dengan indikasi dilakukan pembedahan :
1. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut (100 ml).
2. Klien dengan residual urin yaitu urin masih tersisa dikandung kemih setelah klien buang air kecil >100 ml.
3. Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan system perkemihan seperti retensi urin atau oliguria.
4. Terapi medikamentosa tidak berhasil. 5. Flowcytometri menunjukan pola obstruktif. Pembedahan dilakukan dengan:
1. Pembedahan Terbuka
Prostatektomi terbuka dilakukan melalui pendekatan suprapubik transvesika atau trensperineal dan retropubik intravesikal (Smeltzer dan Bare 2002).
a. Prostatectomy suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi dibuat dari luar kedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangkat dari atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak disbandingkan dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi setelah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
b. Prostatectomy perinial
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Tekhnik ini lebih praktis dan sangat berguna untuk biopsy terbuka. Pada periode paska
operasi luka bedag mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekatdengan rectum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia urin, impotensi dan cedera rectal.
c. Prostatectomy retropubik
Adalah tindakan yang dapat dilakukann, dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Tekhnik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
2. Reseksi Prostat Transurethra
Reseksi transurethral prostat (TUR atau TURP) adalah prosedur pembedahan melalui endoskopi. Prosedur ini dilakukan dengan memasukkan instrument bedah dan optical secara langsung urethra ke dalam prostat, kemudian secara langsung kelenjar prostat dapat dilihat. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil melalui loop pemotong listrik. Prosedur ini tidak memerlukan insisi dan digunakan untuk kelenjar dengan ukuran yang beragam. Ideal bagi pasien yang mempunyai kelenjar kecil akan sangat dipertimbangkan jika mempunyai resiko bedah buruk. Pendekatan ini dipersingkat lama hari rawat (Smeltzer & Bare, 2002)
3. Insisi ProstratTransuretra
Insisi prostat transuretra (TUIP) adalah prosedur dengan memasukan instrument melalui uretra. Insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi kontriksi uretra. TUIP diindikasikan pada kelenjar prostat yang berukuran ≤ 30 gram (Raharjo, 1999).
g. Indikasi Pembedahan
Indikasi Prostatectomy adalah sebagai berikut :
1) Bagian atas saluran kemih mengaami dilatasi (hydrouretra, Hydrneprosis) dan adanya gangguan fungsi ginjal.
2) Nyeri yang hebat.
3) Total urinarti obstruction.
4) Pengobatan yang diberikan kurang berespon.
5) Adanya batu kandung kemih, sebagai bukti adanya obstruksi yang lama sehubungan dengan benign prostatic hyperplasia.
6) Obstruksi yang lama dengan adanya hydroureter dan hydroneprhosis yang menggangu fungsi ginjal.
7) Hematuria yang lama dan hebat.
8) Menurunnya kualitas hidup sebagai akibat benign protatic hyperplasia.
9) Adanya infeksi saluran kemih yang berulang – ulang. 10) Retensi urinari yang kronik.
h. Komplikasi
Menurut Arifiyanto (2008) komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah:
1. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.
2. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.
3. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu.
4. Hematuria. 5. Disfungsi seksual.
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi (meskipun prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal yang tidak dapat dihindari). Pada kebanyakan kasus, aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam
6 sampai 8 Minggu, karena saat ini fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi, maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin (Brunner & Suddarth, 2001). Komplikasi yang berkaitan dengan prostatektomi yaitu:
1. Hemoragi dan syok.
2. Pembentukan bekuan / trobosis. 3. Obstruksi kateter
4. Disfungsi seksual (Smeltzer & Bare, 2001) 2. Inkontinensia Urin
a. Definisi
Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga menimbulkan masalah higienis dan sosial. Inkontinensia urin merupakan masalah yang sering dijumpai pada orang usia lanjut dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial, seperti dekubitus, jatuh, depresi, dan isolasi dari lingkungan sosial. Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten.Inkontinensia urin yang bersifat akut dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasari diatasi seperti infeksi saluran kemih, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, obat– obatan dan masalah psikologik. Inkontinensia urin yang persisten biasanya dapat pula dikurangi dengan berbagai modalitas terapi (Martin dan Frey, 2005).
b. Anatomi Saluran Kemih 1. Kandung Kemih
Kandung kemih terdiri dari dua bagian yaitu fundus dan leher kandung kemih yang juga disebut uretra posterior. Mukosa kandung kemih dilapisi oleh epitel trabsisional yang mengandung ujung-ujung saraf sensoris. Dibawahnya terdapat lapisan submukosa yang sebagian tersusun dari jaringan ikat dan jaringan elastin. Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor, membentuk lapisan di luar submukosa terdiri dari tiga lapisan otot longtudional di lapisan luar dan dalam serta otot sirkuler dibagian tengahnya. Otot detrusor
meluas ke uretra membentuk dinding uretra. Pada lapisan ini ototnya banyak mengandung jaringan elastin (Junizaf, 2002).
2. Uretra
Uretra merupakan tabung muskularis yang kompleks yang memanjang dari batas bawah dasar kandung kemih. Panjang uretra berkisar antara 3-4 cm untuk perempuan dan laki-laki lebih panjang, dengan dinding yang terdiri dari beberapa lapisan.Pada lapisan paling luar adalah otot lurik sirkuler, spinkter lurik, atau rhabdosphincter. Otot lurik ini melingkari selapis otot polos sirkuler yang juga melingkari otot-otot polos longitudional. Diantara otot polos dan mukosa terdapat submukosa yang sangat kaya suplai vaskuler (Syukur, 2010).
3. Fisiologi Perkemihan
Saluran kemih bawah terdiri dari kandung kemih dan uretra yang merupakan satu kesatuan fungsional yaitu penyimpanan dan pengeluaran selama siklus berkemih. Pada saat fase penyimpanan, uretra bertindak sebagai penutup dan kandung kemih sebagai penampung pada saat pengeluaran, uretra bertindak sebagai dan kandung kemih sebagai pompa. Untuk menjaga inkontinensia urin, tekanan penutupan uretra harus melebihi tekanan di dalam kandung kemih baik istirahat maupun kondisi stress. Faktor yang terpenting dalam mekanisme ini adalah control detrusor, struktur anatomi yang utuh, dan posisi bladder neck yang normal(Yuliana, 2011).
c. Etiologi Inkontinensia Urin
Secara umum penyebab inkontinensia urin adalah kelainan urologis, neurologis, atau fungisonal. Kelainan urologis pada inkontinensia urin dapat disebabkan karena adanya batu, tumor, atau radang. Kelainan neurologis seperti kerusakan pada pusat miksi di pons, antara pons dan sacral medulla spinalis, serta radiks S2-S4 akan menimbulkan gangguan dari fungsi kandung kemih dan hilangnya stabilitas kandung kemih, seperti pada pasien stroke, Parkinson, pasien dengan trauma medulla
spinalis, maupun pasien paska operasi. Kelainan fungsional disebabkan oleh karana hambatan mobilitas pada pasien (Hendradan Moeloek, 2002; Japardi, 2002; Setiati dan Pramanta, 2007).
d. Klasifikasi Inkontinensia Urin
Menurut Resnick N M dan Yalla S V (1998); Tannenbaum C, Perrin L, Debeau C, Kuchel G A (2001) ; Steers W D, Zom B H, (1997); Berek J S, (1996), Inkontinensia urin terbagi menjadi 2, yaitu :
Transient Incontinence and True Inkontinence.
1. Transient Incontinence
Inkontinensia transien sering terjadi pada usia lanjut. Jenis inkontinensia mencakup sepertiga kejadian inkontinensia pada masyarakat dan lebih dari setengah pasien inkontinensia yang menjalani rawat inap (Hersog dan Fults, 1990). Penyebab sering disingkat menjadi DIAPPERS. Diadaptasi dari After Du Beau,Resnick,N.M; Evaluation of the causes and severity of geriatric incontinence. Urol Clin Nort Am 1991;18(2):243-256 didapatkan bahwa DIAPPERS merupakan kepanjangan dari
Delirium/confusional state,Infection-urinary (symptomatic),
Atrophic urethritis/vaginitis, Pharmaceutical, Psychological, Excessive urine output (cardiac,DM), Restriced mobility, dan Stool impaction.
a) Delirium
Pada kondisi berkurangnya kesadaran baik karena pengaruh obat, operasi ataupun penyakit bersifat akut, kejadian inkontinensia akan dapat dihilangkan dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium. Pasien lebih memerlukan manajemen medis dalam mengatasinya dibandingkan dengan manajemen kandung kemih (Resnick, 1988).
b) Infeksi Tractus Urinarius (Infection-Urinary)
Infeksi traktus urinarius yang simptomatik seperti cystitis dan urethritis dapat menyebabkan iritasi kandung kemih sehingga
timbul frekuensi disuria dan urgensi yang mengakibatkan seorang usia lanjut tidak mampu mencapai toilet untuk berkemih. Bakteriuria tanpa disertai piuria (infeksi asimtomatik) yang banyak terjadi pada usia lanjut, tidak selalu mengindikasikan adanya infeksi dan bias saja bukan etiologi inkontinensia, tetapi banyak dokter yang akan menterapi ini dengan antibiotika walaupun hal tersebut tidak didukung oleh bukti penelitian (Boscia et al. 1986: Resnick, 1988).
c) Atrophic Vaginitis (Atrophic Uretritis)
Jaringan yang teriritasi, tipis dan mudah rusak dapat menyebabkan timbulnya gejala rasa terbakar di uretra, disuria, infeksi traktus urinarius berulang, dispareunia, urgensi, stress atau urge incontinence. Gejalanya sangat responsif terhadap terapi estrogen dosis rendah, yang diberikan baik oral (0,3 – 0,6 mg conjugated estrogen/hari) atau topikal. Gejala akan berkurang dalam beberapa hari hingga 6 minggu, walaupun respon biokimia intraseluler memakan waktu lebih panjang (Semmens ,et al. 1985).
d) Obat-obatan (Pharmaceutical)
Obat-obatan sering dihubungkan dengan inkontinensia pada usia lanjut. Obat-obatan seperti diuretik akan meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih sehingga bila seseorang tidak dapat menemukan toilet pada waktunya akan timbul
urgeincontinence. Agen antikolinergik dan sedatif dapat
menyebabkan timbulnya atonia sehingga timbul retensi urin kronis dan overflow incontinence. Sedatif, seperti benzodiazepin juga dapat berakumulasi dan menyebabkan
confusion dan inkontinensia sekunder, terutama pada
usila.Alkohol, mempunyai efek serupa dengan benzodiazepines, mengganggu mobilitas dan menimbulkan diuresis. Calcium-channel blockers untuk hipertensi dapat
menyebabkan berkurangnya tonus sfingter uretra eksternal dan gangguan kontraktilitas otot polos kandung kemih sehingga menstimulasi timbulnya stress incontinence. Obat ini juga dapat menyebabkan edema perifer, yang menimbulkan nokturia. Agen alpha-adrenergik yang sering ditemukan di obat influenza, akan meningkatkan tahanan outlet dan menyebabkan kesulitan berkemih; sebaliknya obat-obatan ini sering bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus stress
incontinence. Alpha blockers, yang sering dipergunakan untuk
terapi hipertensi dapat menurunkan kemampuan penutupan uretra dan menyebabkan stress incontinence.
e) Psikologis (Psychological)
Proses psikologis yang menyebabkan timbulnya inkontinensia belum pernah diteliti, tetapi hal ini jarang terjadi pada orang usila dibandingkan dengan yang muda. Depresi dan kecemasan dapat menyebabkan pasien mengalami “kebocoran” urin. Mekanisme ini biasanya merupakan kombinasi dari bladder
overactivity dan relaksasi sfingter uretra yang tidak tepat.
Intervensi awal ditujukan pada gangguan psikologinya. Setelah gangguan tersebut diatasi tetapi masih terdapat inkontinensia maka harus dilakukan evaluasi lebih lanjut.
f) Output Urin yang Berlebihan (Excessive urine output)
Output urin yang berlebihan bisa disebabkan oleh karena intake cairan yang banyak, minuman berkafein, dan masalah endokrin.Dibetes Melitus melalui efek diuresis osmotiknya dapat menyebabkan suatu kondisi overactive bladder. Diabetes insipidus juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan produksi urin hingga 10 liter per hari pada kandung kemih sehingga menimbulkan overflow incontinence. Kondisi hipertiroid dapat menginduksi kandung kemih menjadi
Disamping itu, kondisi hipotiroidism dapat menyebabkan kandung kemih hipotoni dan menimbulkan overflow
incontinence.
g) Mobilitas yang terbatas (Restricted mobility)
Umumnya hal ini yang sering menimbulkan inkontinensia pada usia lanjut. Keterbatasan mobilitas ini dapat disebabkan karena kondisi nyeri arthritis, deformitas panggul,
deconditioning fisik, stenosis spinal, gagal jantung,
penglihatan yang buruk, hipotensi postural atau post prandial,
claudication, perasaan takut jatuh, stroke, masalah kaki atau
ketidakseimbangan karena obat-obatan. Pemeriksaan yang cermat sering mendapatkan bahwa hal ini sebenarnya merupakan penyebab yang dapat dikoreksi. Jika tidak dapat dilakukan koreksi, maka pola miksi di samping atau di tempat tidur dapat mengatasi masalah ini.
h) Impaksi feses (Stool impaction)
Diimplikasikan sebagai penyebab inkontinensia urin hampir lebih dari 10 % pasien yang dirujuk ke klinik inkontinensia (Resnick, 1988). Impaksi feses akan mengubah posisi kandumg kemih dan menekan syaraf yang mensuplai uretra serta kandung kemih, sehingga akan dapat menimbulkan kondisi retensi urine dan overflow incontinence.
2. True incontinence/Established Incontinence
True Incontinence merupakan inkontinensia urin yang bersifat
menetap dan dapat diklasifikasikan berdasarkan gejalanya menjadi :
a)Inkontinensia urin Tipe Urgensi
Tipe ini ditandai dengan pengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal. Biasanya dalam jumlah yang banyak, karena ketidakmampuan menunda berkemih setelah ssensasi penuhnya kandung kemih, terdapat gangguan pengaturan
rangsang dan otot-otot detrusor kandung kemih. Istilah lain dari inkontinensia tipe ini adalah over aktivitas detrusor. Gejala klinis timbul adalah keinginan berkemih yang mendadak dan terburu-buru.
b)Inkontinensia Tipe Stres
Keluarnya urin diluar pengturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit, akibat peningkatan tekanan intra abdominal seperti saat bersin, tertawa, atau beerolahraga, jarang terdapat pada pria dan biasanya tidak mengeluhkan adanya nokturia.
c) Inkontinensia Tipe Luapan
Tipe ini ditandai dengan keluarnya urin dalam jumlah sedikit, sering berkemih dan nokturia.Tipe ini banyak dijumpai pada pria. Penyebab umum dari inkontinensia urin tipe ini antara lain sumbatan akibat kelenjar prostat yang membesar dan penyempitan jalan keluar urin.
d)Inkontinensia Tipe Fungsional
Kebocoran urin secara dini akibat ketidakmampuan subjek mencapai toiler pada waktunya karena gangguan fisik, kognitif atau hambatan situasi dan lingkungan. Misalnya pada orang dengan kursi roda, menderita Alzheimer, atau arthritis membutuhkan cukup banyak waktu untuk mencapai toilet. Namun inkontinensia tipe ini sebenarnya memiliki saluran kemih yang normal.
e) Inkontinensia Tipe Campuran
Tipe-tipe inkontinensia dapat terjadi bersamaan. Apabila terjadi secara bersamaan maka kondisi ini sering disebut inkontinensia urin kompleks/campuran (Hendra dan Moeloek, 2002; Merkel, 2002 ; moore, 2003;Resnick and Yalla, 1998; Shimp and Peggs, 2000).
e. Diagnosis Inkontinensia Urin
Menurut Setiati dan Pramantara (2007), diagnosis inkontinensia urin bertujuan untuk :
1. Menentukan kemungkinan inkontinensia urin tersebut reversible. 2. Menentukan kondisi yang memerlukan uji dagnostik khusus. 3. Menentukan jenis penanganan operatif, obat dan perilaku.
Tahapan diagnostik inkontinensia urin meliputi (Martin dan Frey, 2005) :
1. Anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang seksama. Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis antara lain pola berkemih (voiding), frekuensi dan volume urin, riwayat medis. 2. Pemeriksaan fisik meliputi perkembangan psikomotor, inspeksi
daerah genital dan punggung.
3. Pemeriksaan penunjang baik laboratorium maupun pencitraan, urinanalisis, dan pemeriksaan kimia darah.
f. Pengaruh Inkontinensia Urin
Menurut innerkofler et al, (2008), inkontinensia urin memiliki efek negative terhaadap gaya hidup pasien dan aspek emosional, social, fisik, dan spiritual. Penderita inkontinensia urin juga mengalami kecemasan yang meningkat ketika menghadapi masalah apakah mereka akan mencapai toilet tepat waktu. Hal ini yang membuat pasien menjauhkan diri dari senagian aktivitas social, seperti berkunjung, olah raga, berbelanja, atau bekerja. Selanjutnya ditemukan pula bahwa ketidakmampuan mengendalikan urin menimbulkan suatu keputusasaan, perasaan rendah diri, kurang percaya diri dan menjadi penyendiri dengan segala masalahnya seperti perasaan malu dan kehilangan semangat hidup.
3. Kegel Exercise
a. Definisi Kegel Exercise
Kegel Exercise diperkenalkan oleh Dr. Arnold Kegel, seorang
Gynocologist,1945. Latihan ini merupakan rangkaian gerakan yang berfungsi untuk mengkontraksi otot PC (pubokoksigeus) berkali-kali dengan tujuan meningkatkan dan kontraksi otot. Sedangkan untuk pria ternyata untuk pria dikembangkan sejak 1978 oleh zilberber. Namun prinsip utamanya tetap latihan penguatan otot panggul termasuk penis serta menambah kemampuan sex (Suryo, 2010). Kegel Exercise diartikan sebagai penguatan otot Pubococsigeus secara sadar dengan melakukan gerakan kontraksi berulang-ulang untuk menurunkan incointinence (Memorial Hospital, 2009).
Kegel Exercise melibatkan kontraksi dan relaksasi secara sadar otot
dasar pelvic, menguatkan otot-otot dasar pelvic yang menyokong urethra, kandung kemih, uterus dan rectum (Wallace & Frahm, 2009). Fungsi otot dasar pelvic antara lain : sebagai (1)fungsi suportif, (2) fungsi sfingter, (3) fungsi seksual.
b. Tujuan Kegel Exercise
Pasien pasca prostatectomy mengalami kelemahan sebagian besar organ pelvic di urethra khususnya sekitar urethtra sfingter eksterna. Latihan otot dasar pelvic atau Kegel’s exercise yang dilakukan dengan benar dapat menguatkan otot tersebut, meningkatkan resistensi urethtra, dan disertai dengan penggunaan otot secara sadar oleh pasien untuk mencegah dribbling pasca prostatectomy (Baum, 2003). Membantu mereka yang mengalami kesulitan mengendalikan buang air kecil (urinary incontinence) pada periode akhir kehamilan dan setelah melahirkan ataupun masalah incontinensia selain ibu hamil dan melahirkan (Chopra, 2006). Selain itu juga untuk mengatasi urgo incontinence / inkontinensia urgensi (keinginan berkemih yang sangat kuat sehingga tidak dapat mencapai toilet tepat pada waktunya).
c. Indikasi Kegel Execise Indikasi kegel exercise :
1. Klien yang dilakukan pemasangan kateter cukup lama. 2. Klien yang akan di lakukan pelepasan dower kateter. 3. Klien yang mengalami inkontensia retentio urinea 4. Klien post operasi.
Kekuatan otot dasar pelvic dapat melemah,hal ini dapat disebabkan oleh beberapa operasi yang dijalankan pasien khususnya operasi prostat dengan besar kelenjar >100 gr. Selain itu akibat ketegangan berkelanjutan ketika seseorang melakukan defekasi karena konstipasi, batuk kronik pada perokok, bronchitis kronik atau asma (RAP-Osan, 2009).
d. Teknik
Ketepatan latihan Kegel Exercise adalah menggunakan latihan otot yang tepat. Pasien dapat melatih otot dasar pelvic yang tepat yaitu dengan mempraktekkan teknik dasar latihan Kegel Exercise seperti menghentikan laju urin ketika miksi berlangsung. Teknik ini menggunakan peran serta terapis, yaitu terapis memasukan salah satu ujung jari kedalam anus pasien. Pasien dianjurkan untuk menekan rectum dalam-dalam sehingga rectum terasa tertarik kedalam atau pasien membayangkan dirinya sedang menahan buang air besar. Ujung jari terapis akan terasa terikat oleh
sfingter ani, hal ini menandakan psien berhasil mendapatkan latihan dasar
penguatan otot dasar pelvic dianjurkan otot paha, otot abdomen dan otot gluteus tidak ikut berkontraksi (Memorial Hospital, 2009).
Hoeman (2002) menjelaskan dalam melakukan latihan Kegel Exercise dapat dilakukan dengan berbagai macam cara,diantaranya pasien dapat membayangkan dirinya ketika ingin melakukan buang gas tetapi malu untuk melakukannya. Pasien dianjurkan untuk menahannya sejenak, sehingga tidak sadar pasien sudah menggunakan otot dasar pelvic.
e. Procedure Kegel Exercise
Teknik penyempurnaan dalam Kegel Exercise adalah (1) pastikan otot yang digunakan pasien sudah benar, (2) kosongkan kandung kemih atau
latihan ini dilakukan setelah pasien melakukan urinisasi, (3) posisikan tubuh duduk/berdiri, (4) lakukan latihan Kegel Exercise, (5) dalam melakukan latihan usahakan pasien melakukan latihan interval setiap 5 detik, dengan 4 sampai 5 latihan, (6) tahan untuk setiap latihan 10 detik, (7) lakukan istirahat sejenak selam 10 detik antara latihan 1 dan 2 dan begitu selanjutnya. Khusus pada pasien operasi prostatectomy dianjurkan melakukan Kegel Exercise dengan kontraksi minimal 100-200 otot dasar pelvic (Memorial Hospital, 2009).
Standart operasional procedure (SOP) senam Kegel Exercise : 1. Melakukan cuci tangan
2. Mengucapkan salam
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada klien
4. Menciptakan lingkungan yang nyaman dengan menutup ruangan atau tirai ruangan
5. Mengatur posisi pasien yang nyaman (posisi duduk atau berbaring) 6. Memakai sarung tangan
7. Anjurkan pasien mengontraksikan otot panggul dengan cara yang sama ketika menahan kencing atau buang angin (pasien harus dapat merasakan otot panggul) meremasakan uretra dan anus.
8. Bila otot perut atau pantat juga mengeras maka pasien tidak berlatih dengan benar.
9. Bila pasien sudah menemukan cara yang tepat untuk mengontraksikan dalam hitungan (1-10) atau selama 10 detik, kemudian istirahat selam 10 detik.
10. Lakukan latihan berulang-ulang sampai 10-15 kali persesi latihan. 11. Latihan ini dilakukan 2-3 kali sehari.
12. Anjurkan pasien untuk minum (200-250 cc)
13. Tanyakan pada klien apakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam 14. Lepaskan sarung tangan dan merapikan semua peralatan.
Terminasi :
1. Setelah waktu latihan senam kegel sudah cukup, pasien diberi tahu untuk mengakhiri latihan.
2. Pasien dipersilahkan untuk istirahat.
3. Latihan senam kegel tidak perlu lama,tetapi harus rutin. f. Posisi Kegel Exercise
Berbagai posisi latihan otot dasar pelvic bagi pria antara lain : 1. Saat posisi berdiri
Berdiri dengan ke dua kak, kemudian cobalah untuk melakukan kontraksi pada otot dasar pelvic seperti saat anda mencoba menahan buang angin. Jika dilihat didepan cermin pangkal penis dan skrotum akan naik keatas mendekat kea rah abdomen. Tahan kontraksi ini sesuai kemampuan tanpa menahan nafas dan tanpa mengencangkan otot-otot buttock.
a. Lakukan kontraksi tersbut sebanyak 3 kali dengan lama waktu menahan selam 10 detik.
b. Lakukan latihan ini dipagi hari 2. Saat posisi duduk
Duduklah dikursi dengan posisi kedua lutut terpisah. Kemudian cobalah untuk melakukan kontraksi pada otot dasar pelvic seperti saat anda menahan buang angin. Tahan kontraksi ini sesuai dengan kemampuan tanpa menahan nafas dan tanpa mengencangkan otot buttocks
a. Lakukan kontraksi tersebut sebanyak 3 kali dengan lama waktu menahan selam 10 detik.
b. Lakukan latihan ini dipagi dan sore hari 3. Saat posisi berbaring
Posisikan tubuh tidur terlentang dengan kedua lutut ditekuk tanpa saling berdekatan. Kemudian cobalah untuk melakukan kontraksi pada otot dasar pelvic seperti saat anda menahan buang angin. Tahan kontraksi ini sesuai dengan kemampuan tanpa menahan nafas dan tanpa mengencangkan otot buttocks
a. Lakukan kontraksi tersbut sebanyak 3 kali dengan lama waktu menahan selam 10 detik.
b. Lakukan latihan ini dipagi dan sore hari
4. Saat berjalan
Otot dasar pelvic dilatih dengan menarik secara lembut otot dasar pelvic saat berjalan.
5. Setelah berkemih
Pasien melakukan kegel exercise dengan cara menarik sekuat-kuatnya otot dasar pelvic setelah berkemih. Latihan ini akan membantu menguatkan otot dasar pelvic (Dorey, 2008).
B. Kerangka Teori
Berdasarkan penjelasan beberapa konsep teori diatas disimpulkan pada skema kerangka teori dibawah ini.
Skema 1. Kerangka Teori BPH,Lebih dari 50 % laki-laki
yang berusia 50 tahun keatas
Komplikasi : - Perdarahan - Retensi urine - Inkontinensia urine - Disfungsi seksual - Terjadi infeksi Latihan Kegel exercise
Sumber : Price, 2006. Purnomo, 2011. Suharianto, 2008. Marilyn,E.D 2000. Anonim, FK UI 1995. Smeltser, 2001. Price,2001. Anderson, 2009. Purnomo, 2011. Mansjoer, 2000. Suprohaita,ikaw, setia wulan w, Kapita selekta Kedokteran, edisi 3 jilid 2, 2007.
Komplikasi BPH : - Obstruksi leher kandung kemih - Retensi kronik - Kerusakan ginjal - Batu ginjal - Hematuria - Disfungsi seksual Terapi medikamentosa : - Penghambat adrenergic alfa
- Penghambat enzim alfa reduktase
- Fitofarmaka/fitoterapi Terapi bedah :
Pembedahan terbuka/trans vesica prostatectomy
- Prostatectomy suprapubik - Prostatectomy perineal - Prostatectomy retropubik Reseksi Prostat Transuretra: - TURP/TUR
C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep akan menjelaskan tentang variabel-variabel yang dapat diukur. Dalam penelitian ini variabel independennya adalah kegel
exercise dan variabel dependennnya adalah inkontinensia urin.
Skema 2. Kerangka Konsep Penelitian
: Diteliti
: Tidak diteliti
D. Hipotesa Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Ada pengaruh kegel exercise terhadap pencegahan inkontinensia urin pada pasien trans vesica prostatectomy (TVP).
2. Tidak ada pengaruh kegel exercise terhadap pencegahan inkontinensia urin pada pasien trans vesica prostatectomy (TVP).
Kegel exercise - Perdarahan
- Retensi urine - Disfungsi seksual - Terjadi infeksi Inkontinensia urine Pasien trans vesica prostatectomy