Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
Analisis Datangnya Musim Kemarau 2015
Eddy Hermawan
1,a, Nurzaman Adikusumah
1, dan Shailla Rustiana
21) Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jln. Dr. Djundjunan No. 133, Bandung 40173.
2) Geofisika dan Meteorologi (GFM), Institut Pertanian Bogor, Bogor. a E-mail: eddy_lapan@yahoo.com
Abstrak – Makalah ini utamanya membahas kondisi iklim, khususnya curah hujan saat ini dan prediksinya dalam beberapa bulan mendatang berbasis kepada data iklim global, khususnya data indeks IOD (Indian Ocean Dipole) dan SST (Sea Surface Temperature) Niño 3.4. Hal ini penting dilakukan mengingat beberapa kawasan Indonesia, khususnya di kawasan Barat Indonesia, masih saja menerima curah hujan dengan intensitas di atas normal. Secara normal, bulan April mestinya sudah dimulai musim transisi dari musim hujan ke musim kemarau. Dengan asumsi bahwa kedua fenomena di atas masih tergolong dalam batasan normal (neutral), maka tahun 2015 ini dan juga menjelang awal tahun 2016 kondisi curah hujan di kawasan barat Indonesia diduga masih tergolong normal. Gambaran normal curah hujan tersebut terlihat jelas menggunakan data CRU (Climatic Research Unit) selama tahun pengamatan. Karena kondisinya normal, maka diduga jika musim hujan (MH), khususnya untuk Pulau Jawa dimulai bulan Desember, Januari dan Februari (DJF). Musim transisi pertama (perubahan dari musim hujan ke musim kemarau (MK)), terjadi sekitar bulan Maret, April dan Mei (MAM). Musim kemarau sendiri terjadi di sekitar bulan Juni, Juli dan Agustus (JJA). Sementara musim transisi kedua (perubahan dari musim kemarau ke musim hujan) terjadi sekitar bulan September, Oktober dan November (SON). Dengan demikian, jelas terlihat bahwa Monsunlah yang hingga kini masih mendominasi mengontrol dinamika curah hujan di Indonesia, khususnya Pulau Jawa.
Kata kunci: Kemarau, interaksi, IOD, SST Niño 3.4, Monsun.
Abstract – This paper mainly discusses the climatic conditions, especially today’s rainfall and the upcoming months predictions, based on the global climate data, especially the IOD index (Indian Ocean Dipole) and the SST (Sea Surface Temperature) Niño 3.4 data. This is considered important because some areas of Indonesia, particularly in the western region of Indonesia, still receives above normal rainfall intensity. Normally, in April a season of transition from the rainy season to dry season should have been started. Assuming the both of the above conditions is still considered within normal limits (neutral), thus in the year 2015 and at the beginning of 2016 the rainfall at the western region of Indonesia is suspected to be relatively normal. The normal rainfall condition is shown by the CRU (Climatic Research Unit) data during the observation year. Based on the predicted normal condition, the rainy season (MH), especially for Java, is expected will begin in December, January and February (DJF). The first transition season (transition from rainy season to dry season (MK)), will occur around March, April and May (MAM). The dry season will occur in June, July and August (JJA). While the second transition season (transition from dry season to rainy season) expectedly occurs around September, October and November (SON). It can be concluded that Monsoon is still dominated the control of rainfall behaviour in Indonesia, especially Java.
Keywords: Dry season, interaction, IOD, SST Niño 3.4, Monsoon.
I. PENDAHULUAN
Ada satu pokok permasalahan serius yang sedang dihadapi Pemerintah (dalam hal ini Dewan Ketahanan Pangan Nasional, DKPN) saat ini, yakni menghadapi
dampak perubahan iklim global (global climatic change),
khususnya masalah datangnya musim kemarau/basah panjang yang semakin sulit untuk diprediksi dengan baik dan benar, tepat waktu dan tepat sasaran.
Permasalahan ini muncul, karena model prediksi iklim, khususnya model prediksi anomali curah hujan yang ada saat ini, umumnya belum mempertimbangkan adanya interkoneksi/telekoneksi/interaksi yang terjadi diantara berbagai fenomena iklim global. Hanya ada beberapa saja yang sudah mulai mengaplikasikannya, seperti yang dilakukan oleh Harijono [1]. Model prediksi yang
berkembang saat ini, umumnya masih bersifat single
column, individual, lokal, dan beresolusi “kasar”, padahal
terjadi interkoneksi yang kadangkala saling menguatkan, namun kadangpula saling melemahkan.
Pengalaman yang dialami saat terjadinya kemarau panjang (lebih dari enam bulan) di tahun 1997, kemudian diikuti dengan musim basah panjang (juga lebih dari enam bulan) satu tahun sesudahnya, adalah akibat
bersatunya dua fenomena alam, yakni El-Niño dan Dipole
Mode dalam kurun waktu yang hampir bersamaan
(dikenal dengan istilah/sebutan simultan). Kejadian
tersebut memberi pelajaran kepada dialami untuk memahami lebih mendalam mekanisme bersatunya dua
fenomena di atas dengan baik dan benar. Kalau hanya
El-Niño atau La-Niña saja yang datang, maka dampak yang dihasilkannya tidaklah akan separah jika tidak diikuti
dengan hadirnya Dipole Mode Positif atau Dipole Mode
Negatif.
Makalah ini merupakan kelanjutan dari makalah sebelumnya yang berjudul “Kondisi Iklim Indonesia Saat
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
Ini dan Prediksinya dalam Beberapa Bulan Mendatang Berbasis Hasil Analisis Data Iklim Global” yang dipresentasikan saat Seminar dan Workshop Nasional Fisika 2010 di ITB, Bandung dengan tingkat kebaharuan (novelties) pada interkoneksi/telekoneksi/interaksi yang terjadi antara ENSO dengan IOD sebelum akhirnya diprediksi bakal terjadinya kemarau/hujan tahun 2015.
Istilah ENSO barangkali sudah begitu familiar
dikalangan ilmuan meteorologist yang tidak lain
merupakan gabungan dari dua fenomena alam, yakni
El-Niño (EN) and Southern Oscillation (SO) [2,3]. El-Niño
didefinisikan sebagai indikasi atau tanda-tanda naiknya
suhu permukaan laut (SPL) atau SST (Sea Surface
Temperature) di sepanjang ekuator Samudera Pasifik Tengah dan Timur melebihi tinggi rata-rata normalnya,
dan berosilasi diantara 2-7 tahun. Namun, El-Niño
kadangkala diindikasikan dengan beda tekanan atmosfer permukaan antara Tahiti yang berada di Kepulauan Hawaii dan Darwin di Utara Australia, dan dikenal
sebagai Osilasi Selatan (Southern Oscillation, SO).
Kedua fenomena di atas dominasinya terletak di Belahan Bumi Selatan (BBS).
Jika El-Niño ditandai dengan naiknya SST, maka
Osilasi Selatan sebaliknya, ditandai dengan menurunnya
nilai SOI (Soutern Oscillation Index). Disini terlihat
adanya perbedaan fase antara fenomena El-Niño dan SO;
fase positif untuk El-Niño dan negatif untuk SO.
Sementara La-Niña yang tidak lain kebalikan dari
El-Niño diindikasikan dengan menurunnya nilai SST di sepanjang pantai Samudera Tengah dan Timur hingga
melebihi batasan normalnya, yakni dibawah 1.5o. Jika
El-Niño terkait erat dengan datangnya musim kemarau
panjang di Indonesia, maka La-Niña justru terkait erat
dengan datangnya musim basah panjang [4,5].
Karena pembahasan ENSO umumnya terkait erat dengan bergesernya pusat-pusat konveksi di Indonesia yang pada akhirnya menimbulkan adanya satu kawasan kelebihan dan kekurangan curah hujan, maka
pembahasan berikutnya digunakanlah istilah El-Niño dan
La-Niña saja. Selain itu dikenal pula El-Niño ”mini” untuk kawasan Samudera Hindia, dikenal dengan istilah
Dipole Mode yang ditemukan oleh Saji dkk [6]. Jika
Dipole Mode Positif terkait erat dengan musim
kering/kemarau panjang, maka Dipole Mode Negatif,
justru sebaliknya [7].
Pengalaman lain terkait dengan masalah interkoneksi terjadi di akhir Januari hingga awal Februari 2007, saat Jakarta dan kawasan sedialamirnya dilanda banjir besar yang menyebabkan kelumpuhan total. Hanya dalam hitungan beberapa jam saja (4-5 jam dalam satu hari), tercatat lebih dari 150 mm curah hujan tercatat hampir di 12 stasiun penakar curah hujan yang tersebar di Jakarta. Suatu nilai yang cukup fantastis, mengingat nilai tersebut hampir sama untuk tiga dasaran. Hasil riset yang dilakukan oleh Gernowo [8] menunjukkan bahwa pada saat itu, dua fenomena atmosfer bergabung menjadi satu,
yakni fenomena MJO (Madden-Julian Oscillation)
bergabung menjadi satu dengan fenomena Seruak Dingin (Cold Sourge), membentuk semacam pusaran (vortex) melanda Jakarta dan kawasan sedialamirnya.
Dua pengalaman di atas memberi pelajaran betapa pentingnya pemahaman yang lebih mendalam tentang masing-masing karakteristik atmosfer yang ada di Indonesia, mengingat masing-masing tidaklah berdiri sendiri, adakalanya saling menguatkan, namun kadang pula saling melemahkan. Hal yang mengkhawatirkan, manakala fenomena tersebut melanda kawasan sentra produksi tanaman pangan, seperti kawasan Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa, dimana Kabupaten Sukamandi merupakan salah satu pusat lumbung padi nasional di Provinsi Jawa Barat, selain Kabupaten Solok yang ada di Sumatera Barat.
Pokok permasalahan yang dihadapi kawasan sentra pangan, umumnya sama, yakni kelebihan air di saat
musim penghujan panjang, dan kekurangan air di saat
musim kemarau panjang, terutama sistem sawah tadah hujan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk meredam dampak bersatunya dua fenomena atmosfer di atas. Selain menggunakan sistem irigasi yang baik dengan teknologi tinggi, juga perlu memahami interkoneksi yang terjadi bila keduanya bersatu.
II. METODE PENELITIAN
Ada tiga data utama yang kami gunakan dalam penelitian ini, yakni data Dipole Mode Indeks yang kami
dapat dari http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/
-d1/iod, data SST Niño3.4 yang kami dapat dari http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/sstoi.indices,
dan data ESPI (ENSO Precipitation Index) yang didapat
dari http://precip.gsfc.nasa.gov/ESPItable.html. Seluruh
data di atas diset dari bulan Januari 1979 hingga Desember 2008. Sementara untuk data pendukung,
digunakan data GPCP (Global Precipitation Climatology
Project) periode Oktober 1996, 1997, dan 1998.
Gambar 1. Power Spectral Density (PSD) untuk El-Nino, SOI, DMI, Monsun, dan PDO Periode Januari 1990-Juli 2008.
X 105
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
Sementara metode analisis yang kami pakai utamanya adalah teknik spektral, yakni menggunakan analisis PSD (Power Spectral Density) untuk mengetahui osilasi dominan dari masing-masing indeks fenomena iklim dan cuaca global. Salah satu hasil analisis data di atas, dapat dilihat pada Gambar 1.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Langkah pertama yang kami tunjukkan adalah
menganalisis time series daripada data Dipole Mode
Index (DMI), SST Niño3.4, ESPI (ENSO Precipitation Index) periode Januari 1979 hingga Desember 2008 seperti nampak pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. Time series Dipole Mode Index, SST Niño3.4, dan ESPI periode Januari 1979 - Desember 2008.
Dari Gambar 2 di atas terlihat jelas adanya kesamaan pola yang dihasilkan oleh data ESPI (ditunjukkan dengan warna hitam) dan SST Niño3.4 (ditunjukkan dengan warna hijau), sementara data DMI (ditunjukkan dengan warna merah) menunjukkan pola yang sedikit agak berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kesamaan pola antara data ESPI dan SST Niño3.4, sehingga dialami boleh menggunakan salah satu diantara keduanya. Untuk diperoleh hasil analisis yang lebih tajam (akurat), maka dilakukanlah analisis osilasi dominan daripada ketiga parameter di atas menggunakan teknik spektral, yakni
FFT (Fast Fourier Transform) dan juga wavelet seperti
Nampak pada Gambar 3.
Disini terlihat jelas bahwa SST Niño3.4 memiliki nilai PSD paling besar, sementara dua parameter lainnya (DMI dan ESPI) memiliki nilai yang hampir relatif sama. Yang perlu dicatat disini adalah nilai osilasi dominan daripada ketiga parameter di atas, yakni 45 bulanan (~3.8 tahun), 60 bulanan (~5 tahun), dan 36 bulanan (~3 tahun), masing-masing untuk data SST Niño3.4, ESPI, dan DMI.
Gambar 3. Power Spectral Density (PSD) untuk Dipole Mode Index, SST Nino 3.4 dan ESPI Januari 1979-Desember.
Dengan asumsi data SST Niño3.4 dapat diwakili oleh data ESPI, maka sesuai dengan landasan teori sebelumnya yang menyatakan bahwa akan terjadi kering yang relatif sangat panjang melebihi kondisi normal (lebih dari 6 bulan), maka yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah bila kedua parameter tadi (ESPI dan DMI) digandakan. Hasilnya, dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.
Gambar 4. Sama dengan Gambar 3, tetapi hasil silang (digandakan atau dikalikan) antara data Dipole Mode Index dengan data ENSO Precipitation Index.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
Gambar 5. Power Spectral Density (PSD) data hasil silang antara Dipole Mode Index dengan ENSO Precipitation Index menggunakan Wavelet.
Satu hal yang menarik disini adalah adanya osilasi “baru” yang dikenal sebagai osilasi 180 bulanan atau osilasi 15 tahunan (Gambar 4). Juga terlihat jelas di Gambar 5, adanya kenaikan variasi rata-rata yang sangat signifikan di “sedialamir” bulan Oktober 1997. Dialami tahu, pada saat itu, hampir seluruh kawasan Indonesia dilanda musim kering yang berkepanjangan seperti nampak pada Gambar 6, 7 dan 8 berikut ini. Disini terlihat dengan jelas, adanya perbedaan yang sangat signifikan intensitas curah hujan di atas Indonesia sebelum, selama dan setelah kejadian ektrim kering di bulan Oktober 1997.
Gambar 6. GPCP Monthly Mean Precipitation Rate (mm/day) untuk bulan Oktober 1996.
Gambar 7. Sama dengan Gambar 6, tetapi untuk bulan Oktober 1997.
Gambar 8. Sama dengan Gambar 6, tetapi untuk bulan Oktober 1998.
Atas dasar itulah, maka berikut ditunjukkan kondisi terkini IOD dn SST Nino 3.4 yang diperoleh dari
POAMA (Predictive Ocean Atmosphere Model for
Australia) seperti nampak pada Gambar 9 di bawah.
Gambar 9. Estimasi data IOD dan SST Niño 3.4 mulai Desember 2014 hingga Januari 2016.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
Dari Gambar 9 terlihat jelas bahwa memang telah terjadi kenaikan data SST Niño 3.4 sejak April 2015. Namun dalam waktu yang hampir bersamaan data IOD relatif stabil di nilai ±0,4. Ini mengindikasikan bahwa belum terjadi pergeseran yang signifikan dari kumpulan awan-awan penghasil hujan menuju ke Lautan Pasifik. Dengan kata lain, yang paling dominan menguasai dinamika atmosfer Indonesia saat ini adalah perilaku data IOD.
Jika sifat musim kemarau tahun 2015 dikategorikan normal, maka sebaran curah hujan yang terjadi di Indonesia, khususnya P. Jawa berbasis hasil analisis data
Climatic Research Unit (CRU) selama 112 tahun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 10, 11dan 12.
Gambar 10. Distribusi curah hujan di atas P. Jawa selama 112 tahun pengamatan periode Januari hingga April.
Gambar 11. Sama dengan Gambar 10, tetapi periode Mei hingga Agustus.
Dari Gambar 10, 11 dan 12 terlihat jelas jika hingga April curah hujan dengan intensitas sedang (sedialamir 300 mm/bulan) masih turun di beberapa kawasan P. Jawa, khususnya Jawa Tengah. Namun, terhitung sejak Mei nanti curah hujan mulai berkurang, dimulai dari kawasan Jawa Timur, terus merambat ke arah barat, mencapai puncaknya pada bulan Agustus, sebelum akhirnya meluruh (pudar) menjelang bulan November 2015.
Gambar 12. Sama dengan Gambar 10, tetapi periode September hingga Desember.
Walaupun demikian, curah hujan masih saja terjadi di beberapa kawasan barat Indonesia, termasuk Yogyakarta dan kawasan sekitarnya. Ini menunjukkan bahwa ada mekanisme lain yang mengganggu osilasi Monsun yang terjadi di Indonesia. Satu diantaranya adalah fenomena
MJO (Madden Julian Oscillation) sebagaimana
digambarkan oleh Madden dan Julian [9]. Hal ini diperkuat oleh Waliser dkk [10] dan D.J. Raymond [11].
IV. KESIMPULAN
Walaupun El-Niño dan Dipole Mode bukanlah
merupakan osilasi dominan dalam sistem dinamika atmosfer Indonesia yang memang tergolong unik dan kompleks, namun kehadiran keduanya, apalagi jika keduanya bergabung menjadi satu dalam waktu yang bersamaan (simultan), maka akan menimbulkan dampak
yang sangat serius (severe). Dengan asumsi bahwa
keduanya fenomena atmosfer di atas masih tergolong
dalam batasan netral, maka tahun 2015 ini dan juga
menjelang awal tahun 2016 kondisi curah hujan di kawasan barat Indonesia diduga masih tergolong normal. Gambaran normal curah hujan tersebut terlihat jelas menggunakan data CRU selama 112 tahun pengamatan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pimpinan PSTA LAPAN Bandung atas kepercayaan yang diberikan penulis menyusun makalah ini. Tulisan Ini merupakan bagian dari kegiatan riset in-House PSTA T.A. 2015.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Harijono, S.W.B., Analisis Dinamika Atmosfer di Bagian
Utara Ekuator Sumatera Pada Saat Peristiwa El-Niño dan Dipole Mode Positif Terjadi Bersamaan, Jurnal Sains Dirgantara (JSD), vol. 5, no. 2, 2008, hal. 130 – 148. [2] E.G. Rasmusson, E.G., and T.H. Carpenter, Variations in
Tropical Sea Surface Temperature and Surface Wind Fields Associated with the Southern Oscillation/El Niño, Mon. Wea. Rev., vol. 110, pp. 354-384.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
[3] M.S., Halpert and C. F. Ropelewski, Surface Temperature Patterns Associated with the Southern Oscillation, J. Climate, 1992, pp. 577-593.
[4] E. Hermawan, Pengembangan Model Interaksi antara Fenomena Monsun, Dipole Mode dan ENSO dalam Mengkaji Perilaku Curah Hujan di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, FMIPA UNY, Yogyakarta, 2010, hal: F63-F86, ISBN: 978-979-99314-4-3.
[5] E. Hermawan, E., J. Visa, Noersomadi, W. Setyawati, dan D. Gusnita, Pengembangan Model Interkoneksi Berbagai Fenomena Global Sebagai Indikasi Awal (Precursor) Datangnya Kejadian Iklim Ekstrem (Khususnya Curah Hujan) di Kawasan Sentra Produksi Tanaman Pangan, Seminar Nasional Fisika, 2011, P2F LIPI, 12-13 Juli 2011.
[6] N.H., Saji, N.H., B.N. Goswami, P.N. Vinaychandran, and T. Yamagata, A Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean, Nature, 1999, vol. 401, pp. 360-363.
[7] E. Hermawan, dan K. Komalaningsih, Karakteristik Indian Ocean Dipole di Samudera Hindia Hubungannya dengan Perilaku Curah Hujan di Kawasan Sumatera Barat Berbasis Analisis Mother Wavelet, Jurnal Sains Dirgantara (JSD), 2007, vol. 5, no. 2, pp. 109-129. [8] R. Gernowo, Dinamika Atmosfer Pada Curah Hujan
Ekstrem dan Penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca Sistem Statis di Daerah DKI Jakarta, Disertasi Doktor, ITB Bandung, 2009, hal. 82-83.
[9] R.A. Madden dan P.A. Julian, Detection of a 40-50 Day Oscillation in the Zonal Wind in the Tropical Pacific, J. of the Atmos. Sci, vol. 28, pp. 702-708.
[10] D. E. Waliser, K. M. Lau, W. Stern, and C. Jones, 2003: Potential Predictability of the Madden–Julian Oscillation. Bull. Amer. Meteor. Soc., 2003, pp. 84, 33–50.
[11] David J. Raymond, A New Model of the Madden–Julian Oscillation. J. Atmos. Sci., 2001, vol. 58, pp. 2807–2819.