• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan informasi sesuai dengan kondisi lingkungan informasi saat ini dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kemampuan informasi sesuai dengan kondisi lingkungan informasi saat ini dan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Literasi informasi diajarkan pada mahasiswa dengan tujuan menyiapkan kemampuan informasi sesuai dengan kondisi lingkungan informasi saat ini dan masa yang akan datang (Behen, 2006). Literasi informasi berfokus pada kondisi informasi sosial terkini, ditujukan untuk kebutuhan pendidikan dalam persiapan menuju profesional. Literasi informasi semakin penting dibanding sebelumnya karena munculnya era multimedia (Leung, 2010). Mahasiswa mungkin literate teknologi karena terbiasa menggunakan teknologi informasi, tetapi belum tentu literate informasi. Mahasiswa berpikir sudah literate informasi karena literate teknologi dan sadar informasi, tetapi belum tentu informasi yang diperoleh kredibel, reliable dan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan akademik (Behen, 2006).

Literasi informasi menjadi jawaban dari permasalahan informasi mahasiswa karena mencakup komponen inti kemampuan informasi, yakni mengidentifikasi, menemukan, evaluasi dan penggunaan informasi. Mahasiswa untuk menemukan informasi yang sesuai, memerlukan kemampuan memetakan informasi, mengetahui bentuk informasi dan sumber informasi sebagai awal penentuan sumber informasi dan teknik yang diperlukan. Mahasiswa juga memerlukan kemampuan evaluasi informasi dan bagaimana penggunaannya sesuai dengan kaidah yang berlaku. Hal tersebut berhubungan dengan kebutuhan

(2)

informasi yang berkualitas untuk karya ilmiah mahasiswa, sedangkan secara umum masih banyak mahasiswa yang belum mampu. Internet dijadikan jalan pertama. Mahasiswa cenderung mempercayai konten informasi yang dapat diakses melalui internet merupakan informasi terpercaya, dan tidak perlu mensitasi informasi dan ide yang tergambar dalam internet (Ercegovac, 2008).

Permasalahan kemampuan informasi mahasiswa dan perubahan lingkungan informasi memunculkan gap yang cukup besar, sehingga pihak pendidik merespon dan memunculkan gerakan sejak tahun 1900an di berbagai Negara. Pergerakan dari seluruh elemen pendidikan sebagai bentuk respon permasalahan informasi, menunjukkan kekhawatiran ataupun upaya pencegahan krisis kemampuan adaptasi mahasiswa dengan lingkungan informasi saat ini teratasi dengan menggunakan literasi informasi. Berbagai pertemuan diselenggarakan oleh organisasi dan kelompok yang khusus membahas kompetensi literasi informasi, baik dari pustakawan, staf pengajar, maupun pemerhati informasi dan pendidikan untuk menentukan standart kompetensi yang sebaiknya dicapai mahasiswa. Hasil dari pertemuan tersebut disesuaikan dengan budaya peserta pertemuan, tuntutan terkini serta gap kebutuhan, dan diterapkan di berbagai perguruan tinggi sebagai pedoman yang mengarahkan capaian dan peningkatan kemampuan informasi mahasiswa, seperti standart ACRL yang dikeluarkan oleh ALA di Amerika, dan empowering eight di Asia.

Peningkatan kemampuan literasi informasi mahasiswa saat ini semakin ditekankan oleh pustakawan. Peningkatan dilakukan dengan berbagai metode, baik yang berkelanjutan seperti pelatihan maupun yang bersifat sekali pertemuan

(3)

seperti seminar. Peningkatan oleh pustakawan merupakan sebuah tanggapan karena kebutuhan tersebut belum sepenuhnya dipahami oleh pihak pengajar. Prakteknya masih banyak pengajar yang belum memahami literasi informasi secara mendetail atau masih dalam tahap konsep umum (Benjes-Small, Ackermann, & Tapp, 2006). Kurangnya pemahaman dari pihak pengajar ataupun administrator memunculkan hambatan utama bagi pustakawan dalam peningkatan kemampuan literasi mahasiswa (Schofield, 2012). Anggapan di kalangan pendidikan tinggi yang ada saat ini adalah mahasiswa mampu menyesuaikan dengan lingkungan informasi secara mandiri, sementara beberapa hasil investigasi terdahulu menyatakan mahasiswa membutuhkan pendampingan informasi (Benjes-Small, Ackermann, & Tapp, 2006). Mahasiswa yang belum memahami dengan baik dan mengalami kebingungan informasi seringkali berakibat fatal, yakni melakukan tindakan kecurangan akademis.

Peningkatan kemampuan literasi informasi mahasiswa mendorong pustakawan menemukan peranan baru. Pergeseran peran pustakawan diperlukan dari yang reaktif menuju ke proaktif, dengan berbagai kombinasi strategi untuk menumbuhkan kesadaran akan krisis academic integrity di pendidikan tinggi dan kompetensi yang diperlukan (Kloda & Nicholson, 2005). Perkembangan teknologi akan membuat mahasiswa semakin canggih, sehingga hal tersebut berdampak pada pustakawan (Reichel & Rader, 1991). Pustakawan dalam peran barunya sebagai pengelola informasi dituntut untuk lebih memahami database, atau hal lainnya yang berkaitan dengan sumber informasi dan melakukan kontrol akses ke informasi yang berkualitas. Pustakawan pada saatnya akan tiba pada tugas

(4)

barunya, yakni memetakan bagian yang membingungkan dari media informasi, mengajarkan kriteria dalam menyeleksi aplikasi media, mengawali dan memperkenalkan kepada mahasiswa tentang komponen siklus produksi dan distribusi informasi.

Pustakawan dalam perannya bukan hanya sebagai “penjaga buku”, tetapi dituntut mengelola informasi dan mengajari patronnya. Tuntutan yang belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pustakawan. Hal ini terjadi karena pengajaran literasi informasi yang dilakukan oleh pustakawan sampai saat ini belum sepenuhnya dapat diterima oleh pihak fakultas, mengingat pustakawan bukanlah staf pengajar. Pelatihan dengan nama literasi informasi juga berpotensi membuat pihak pengajar tidak nyaman, karena istilah literasi informasi identik dengan domain perpustakaan (Franklin, 2013). Padahal apabila dilihat dari tujuannya, merupakan tanggungjawab dari seluruh pihak dalam sebuah perguruan tinggi. Hal tersebut menempatkan pustakawan dalam posisi yang canggung (Benjes-Small, Ackermann, & Tapp, 2006). Posisi pustakawan sebenarnya strategis dan unik. Pustakawan dalam perannya menjadi penghubung antara informasi, sumber informasi dan penggunaan strategi pencarian dengan komponen pendidikan tinggi (Kloda & Nicholson, 2005).

Pustakawan dalam peranannya menjadi media yang memfasilitasi pelatihan, karena kedalaman ilmu pada bidang-bidang khusus mahasiswa yang berbeda antara satu prodi dengan prodi lainnya. Hal tersebut menjadi alasan, bahwa penilaian aplikasi mahasiswa dari hasil pelatihan akan sesuai apabila dilakukan oleh pihak fakultas (Franklin, 2013). Pelatihan yang dilakukan oleh

(5)

pustakawan dianggap sebagai langkah awal untuk mengenalkan literasi informasi kepada mahasiswa. Pelatihan dalam beberapa kasus dilakukan diawal mahasiswa masuk, dengan tujuan pengenalan lebih dini. Pelatihan diperdalam dengan praktek dalam perkuliahan, dengan pengajar sebagai evaluator dan pendorong peningkatan kompetensi. Dengan demikian pustakawan berperan sebagai inisiator literasi informasi.

Pentingnya pengenalan literasi informasi mendorong pustakawan semakin aktif mengadakan pelatihan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh hasil usaha pelatihan literasi informasi yang diupayakan pustakawan menunjukkan perbedaan pada tingkat kemampuan mahasiswa. Mahasiswa yang ikut pelatihan secara signifikan menunjukkan perbedaan kemampuan dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak mengikuti pelatihan literasi informasi (Iman, 2013). Mahasiswa yang mengikuti pelatihan literasi informasi lebih aktif menemukan dan menggunakan sumber informasi yang relevan dengan kebutuhannya (Eskola dalam Iman, 2013). Mahasiswa yang mengikuti pelatihan literasi informasi memiliki tingkat literate yang lebih baik (Samosir, 2014). Mahasiswa yang ikut serta pelatihan lebih mampu meng-eksplore keberlimpahan informasi. Pelatihan literasi informasi juga membantu mahasiswa dalam menyusun tugas ilmiah atau tugas akhir (Nurtiar, 2012).

Pelatihan literasi dilakukan pustakawan dengan berbagai konsep, baik mandiri maupun kolaborasi. Kolaborasi dengan fakultas dilakukan dengan pendekatan penggabungan pelatihan dalam kurikulum tertentu (Barnard, Nash, & O'Brien, 2005). Kolaborasi tersebut dilaksanakan menggunakan pendekatan

(6)

pembelajaran seperti pembelajaran secara umum, yakni menuntut perubahan paradigma berdasarkan bahan pembelajaran, penelitian mahasiswa, proses pembelajaran dengan basis masalah. Penggunaan metode pengajaran secara umum bertujuan agar pelatihan literasi yang masih baru dapat diterima dengan baik oleh mahasiswa tanpa mengurangi arti pentingnya literasi informasi.

Pelatihan literasi informasi yang dilaksanakan oleh pustakawan memunculkan kebijakan baru di berbagai negara, sesuai dengan karateristik lembaga induk dan perpustakaan yang berkaitan. Ide pembelajaran seumur hidup dan pentingnya literasi informasi menciptakan terobosan kebijakan dan program dalam universitas di Australia (Barnard, Nash, & O'Brien, 2005). Kebijakan tersebut antara lain dilaksanakannya penelitian yang berkaitan dengan upaya peningkatan kemampuan literasi informasi mahasiswa. Hasil dari penelitian dijadikan landasan kebijakan baru ditahap selanjutnya. Hasilnya menunjukkan pentingnya kolaborasi antara fakultas dan pustakawan dalam pelaksanaan pelatihan literasi informasi. Hasil ini didukung dengan isu rendahnya kemampuan dan munculnya kebingungan mahasiswa dalam akses informasi, kurangnya rasa percaya diri yang berdampak pada kemampuan dan perilaku informasi mahasiswa. Improvisasi kemampuan literasi informasi mahasiswa diperlukan, sehingga dilakukan perpaduan kurikulum dan pendekatan yang diterapkan di seluruh elemen universitas (Barnard, Nash, & O'Brien, 2005).

Kebijakan tentang kegiatan literasi informasi juga terjadi di Amerika Serikat. Di New York, berbagai program peningkatan kompetensi literasi informasi dilakukan oleh pustakawan. Program tersebut sebagai dampak dari

(7)

peningkatan akses informasi dengan menggunakan teknologi baru yang mengarahkan paradigma informasi. Hal tersebut memberikan tekanan dan membingungkan pustakawan, bahwa computer age juga mempersulit pustakawan. Tekanan yang ada mendorong penerapan kebijakan peran baru pustakawan, menentukan hubungan kerjasama dengan bagian administrasi yang bersimpatik dengan usaha tersebut (Adler, 2003). Sama halnya di Alabama, kesadaran banjir informasi yang memerlukan kesiapan penggunanya, mendorong perpustakaan mengambil misi pengajaran literasi informasi. Hal tersebut ditekankan, khususnya dengan rendahnya kesadaran instruktur terhadap kebijakan nasional tentang penerapan literasi informasi (Everett, 2010).

Potret yang sama juga terjadi di Asia, seperti halnya di Taiwan. Teknologi informasi dan pembelajaran berbasis web berdampak pada kebijakan layanan perpustakaan. Pustakawan berperan bukan hanya sebagai master teknologi informasi, tetapi juga berperan sebagai pendidik atau fasilitator untuk mengajari dan membantu peningkatan kemampuan teknologi informasi. Hal tersebut memberikan tekanan bagi pustakawan untuk berperan aktif pada peran instruksional, pedagogi dan teknik pada pembelajaran berbasis web, meskipun peran tersebut tidak selalu diterima oleh fakultas atau administrator universitas (Sun, Chen, Tseng, & Tsai, 2011). Khusus gambaran kebijakan pelatihan literasi informasi di Indonesia, beberapa perpustakaan telah melaksanakan pelatihan bagi mahasiswa. Perpustakaan yang telah melaksanakan pelatihan literasi informasi antara lain Universitas Indonesia sejak tahun 2007, Pelita Harapan sejak tahun

(8)

2011, Unika Atmajaya Jakarta sejak tahun 2007 dengan program IT4U (Information Technology for You).

Gambaran pelatihan literasi informasi pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat minim. Pelatihan literasi informasi awalnya dilakukan bagi pustakawan, dipersiapkan untuk memberikan pelatihan atau information literacy

training of trainers (TOT). Hal ini dilakukan salah satunya oleh perpustakaan

UPH dan Sekolah Pelita harapan (SPH) pada bulan Februari dan Juli tahun 2010, difasilitatori oleh Unika Atmajaya Jakarta dan UPH (UPH Media Relation, 2010). Selanjutnya, pustakawan melanjutkan pelatihan ke mahasiswa.

Khusus di Yogyakarta sebagai kota pelajar, hasil dari pra penelitian ditemukan masih banyak perpustakaan perguruan tinggi yang belum melakukan pelatihan literasi informasi secara terintegrasi. Sebagian besar pelatihan masih dieksekusi berdasarkan inisiatif sebagian kecil pustakawan seperti di UMY, atau oleh perpustakaan fakultas, bukan perpustakaan universitas secara terintegrasi dengan seluruh fakultas. Sedangkan sebagian lagi, pustakawan belum melaksanakan pelatihan. Pelatihan bagi pengguna yang diadakan di perpustakaan masih menggunakan metode pendidikan konvensional yakni pendidikan pengguna untuk memperkenalkan perpustakaan secara fisik, koleksi dan penelusuran dengan menggunakan katalog yang telah tersedia, atau sering disebut dengan orientasi pengguna perpustakaan.

Pelatihan literasi informasi di Yogyakarta sebenarnya telah dirintis sejak tahun 2007. Pelatihan diawali dengan pengenalan literasi informasi bagi pustakawan yang dilaksanakan di Universitas Kristen Duta Wacana. Pelatihan

(9)

dilanjutkan pada tahun 2008, dihadiri oleh 21 peserta dari 13 perguruan tinggi, yakni UAJY, UGM, UNNES, UK, Maranatha, UKSW, UII, UMY, AKAKOM, UIN, UPN, ISTA, ISI dan UKDW dengan fasilitator dari Unika Atmajaya Jakarta dan UKDW (Proboyekti, 2008). Dalam perjalanannya masih banyak perpustakaan yang belum mengeksekusi secara total sampai ke tingkat universitas, baik bagi mahasiswa maupun bagi staf pengajar. Perpustakaan universitas yang telah menjalankan kebijakan pelatihan literasi informasi di Yogyakarta adalah perpustakaan Universitas Atma Jaya.

Pelatihan literasi informasi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta awalnya tidak diberikan kepada mahasiswa, hanya sebatas pendidikan pengguna dengan orientasi pengenalan fasilitas perpustakaan. Perkembangan sudut pandang manajemen perpustakaan akan pentingnya kompetensi informasi lebih dari sekedar mengetahui fasilitas dan menggunakan fasilitas, mendorong dilakukan peningkatan kompetensi kearah penggunaan informasi. Pelaksanaan pelatihan awalnya dilakukan dengan kolaborasi dari pihak pengembang jurnal internasional. Pihak pengembang diundang untuk memperkenalkan sumber informasi yang tersedia, cara mengakses serta pengoperasian database bagi mahasiswa dan pengajar. Pelatihan semakin dikembangkan karena tingkat kemampuan literasi informasi mahasiswa yang tidak sama, dan pemaknaan perpustakaan pada tingkat kemampuan literasi informasi mahasiswa berbeda satu sama lain. Seperti yang disampaikan oleh SA:

(10)

“tetapi mindset di perpustakaan hanya menggunakan fasilitas-fasilitas itu ada pada mereka, ketika mereka diberi informasi ayo ke perpustakaan, ada jurnal ada…mereka tidak tahu cara mengaksesnya bagaimana...bahwa tidak bisa seperti ini terus, mereka harus menguasai informasi caranya seperti apa…tidak semua mahasiswa pinter, sehingga diperlukan pelatihan” (wawancara SA, 02 September 2010).

Kegiatan pelatihan di perpustakaan UAJY diberikan setelah mahasiswa mendapatkan library tour, yakni kegiatan pengenalan perpustakaan atau sering disebut dengan kegiatan pendidikan pemakai. Kegiatan literasi informasi di perpustakaan bersifat tidak wajib, tetapi dengan melihat kebutuhan kompetensi mahasiswa yang mendesak, beberapa fakultas mewajibkan mahasiswa yang menempuh mata kuliah metodologi untuk ikut serta disetiap sesinya. Meskipun demikian, mahasiswa di luar fakultas yang telah mewajibkan kegiatan pelatihan literasi informasi juga diberi kesempatan untuk mengajukan jadwal tersendiri.

Akhirnya, permasalahan yang ditujukan dalam penelitian ini, dalam lingkungan pendidikan tinggi dalam negeri masih terbatas pelaksanaan pendampingan mahasiswa terkait peningkatan kompetensi literasi informasi oleh perpustakaan, khususnya pelatihan literasi informasi. Isu penting dalam penelitian ini terkait dengan keterlibatan dan upaya pustakawan dalam meningkatkan kompetensi literasi informasi secara aktif melalui pelatihan literasi informasi. Perpustakaan merespon perubahan lingkungan informasi dengan pelatihan literasi informasi yang telah berjalan dalam perpustakaan.

(11)

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, masalah yang dijadikan kajian dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah upaya Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta dalam menanggapi permasalahan dan tantangan perubahan lingkungan informasi dengan menggunakan pelatihan literasi informasi yang meliputi:

1.2.1. Bagaimanakah pelatihan literasi informasi yang dilaksanakan oleh pustakawan di Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta?

1.2.2. Apa sajakah yang mendukung ataupun menghambat proses pelatihan LI di Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengeksplorasi penerapan pelatihan literasi informasi dalam peningkatan kemampuan literasi informasi di Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta dilihat dari segi:

1.3.1. Pelatihan literasi informasi oleh pihak perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta

1.3.2. Hal-hal yang mendukung maupun menghambat berjalannya proses pelatihan literasi informasi di perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta

(12)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menghasilkan penemuan yang terbaik sehingga dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan layanan perpustakaan dalam menjawab perkembangan lingkungan informasi. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:

1.4.1. Bagi pendidikan ilmu informasi dan perpustakaan, diharapkan hasil penelitian ini memberikan dorongan pengembangan kurikulum. Pustakawan di masa mendatang dipersiapkan bukan hanya mampu menangkap fenomena di lingkungan informasi, tetapi juga dipersiapkan untuk menjawab dan mampu memberikan tutorial terkait literasi informasi, dengan berbagai atribut yang melekat dalam informasi baik dari segi pengetahuan maupun teknis.

1.4.2. Bagi perpustakaan perguruan tinggi, hasil yang diperoleh diharapkan bukan hanya menjadi gambaran ataupun role model pelatihan literasi informasi, tetapi juga menjadi sudut pandang lain dalam mencari peran aktif perpustakaan untuk mendukung tri darma perguruan tinggi.

1.4.3. Bagi manajemen perguruan tinggi, memberikan gambaran lain untuk pembentukan kebijakan terkait peran pustakawan ataupun perpustakaan, serta tantangan mahasiswa dari segi akademis dan persiapan profesionalisme mahasiswa dalam perubahan lingkungan informasi.

1.4.4. Bagi staf pengajar, memberikan kesempatan lebih luas dalam kolaborasi mendampingi dan mempersiapkan kompetensi mahasiswa menghadapi lingkungan informasi dan tuntutan pendidikan

Referensi

Dokumen terkait

Sistem informasi akuntansi penerimaan kas adalah suatu kesatuan yang didalamnya melibatkan bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain yang membentuk suatu sistem

2) Calon Pesefta Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kepemimpinan tidak sedang mempeftanggungjawabkan penyelesaian administrasi maupun kegiatan yang berkaitan dengan

Sodium nitrat merupakan bahan kimia intermediet (bahan antara) yang selanjutnya dapat diolah dalam pembuatan pupuk yang mengandung senyawa nitrogen, pembuatan kaca,

Dari hasil survey lapangan dan analisis laboratorium diketahui di sepanjang pantai selatan Kabupaten Ende empat daerah atau sektor yang dianggap paling memungkinkan

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya proses klientisasi, yaitu: (a) Faktor ekonomi; petani mempunyai modal yang terbatas sehingga mereka sering melakukan pinjaman ke

Untuk menangkap ikan pelagis kecil seperti ikan layang, ikan kembung, atau pelagic besar seperti ikan cakalang dan ikan tuna, apabila menggunakan rumpon atau lampu dalam

Permulaan hamil yang mengidap hipertensi perlu mengonsumsi cukup sasaran kaya dengan potasium, kalsium, dan magnesium seperti kacang-kacangan, ikan laut, avokad, tumbuhan bayam,

Pada bagian buku ini dipaparkan berbagai permasalahan yang terjadi selama pelaksanaan Jamkesmas diantaranya definisi dasar dari “masyarakat miskin” yang masih menjadi