• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. keberlangsungan program atau kebijakan. Tak terkecuali PKH, mengingat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V. keberlangsungan program atau kebijakan. Tak terkecuali PKH, mengingat"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

89 BAB V

KESIMPULAN

Proses monitoring dan evaluasi menjadi sangat krusial kaitannya dengan keberlangsungan program atau kebijakan. Tak terkecuali PKH, mengingat terdapat berbagai permasalahan baik dari awal dimulai perencanaan, hingga sampai kepada implementasi. Pada berbagai kasus ditemukan banyak kekurangan jika monev dilakukan oleh pelaksana kebijakan itu sendiri, maka dari itu sebaiknya monev juga dilakukan oleh pihak-pihak diluar pelaksana program, dalam kasus penelitian ini yaitu Pemda Klaten. Monev pada umumnya hanya berupa rapat koordinasi antar instansi. secara periodik ada rakor setiap tiga bulan melibatkan SKPD terkait dan bertujuan agar sosialisasi PKH diteruskan sampai tingkat bawah (kepala sekolah, guru, bidan desa, kader posyandu dan segenap penyedia layanan pendidikan dan kesehatan). Namun meski ada rakor rutin sifatnya masih sangat normatif dan tidak mendalam sehingga tidak menyentuh esensi dasar dari permasalahan, misalnya ketika banyak sekali masyarakat protes karena tidak tercatat sebagai warga penerima bantuan tim UPPKH kab klaten membentuk Unit Pengaduan Masyarakat ( UPM ), namun tim ini nyatanya hanya bersifat formalitas meredam konflik, bukan bertujuan memperbaiki data penerima PKH. Selain itu kelemahan kontrol di tingkat kecamatan menunjukkan kurangnya keterlibatan unsur-unsur di luar pelaksanaan PKH, kontrol sosial berupa pengawasan dari warga sekitar yang bukan sebagai peserta PKH dan dari tokoh masyarakat setempat yang berpengaruh. Fakta menunjukkan kurangnya keterlibatan langsung dari pihak RT dan RW atau kelurahan setempat, terutama dalam pengawasan koordinasi pelaksanan PKH di wilayahnya. Selama ini,

(2)

mekanisme kontrol yang dilakukan di tingkat kecamatan hanya sebatas mengandalkan pendamping PKH belaka

Sebenarnya, tujuan dari mekanisme kontrol tersebut adalah jelas yang secara faktual adalah untuk memastikan adanya sistem pengawasan memadai terhadap bentuk-bentuk penyimpangan seperti pemanfaatan nama ganda, salah sasaran peserta yaitu peserta ternyata bukan tergolong sangat miskin, tidak memenuhi saat kriteria atau ketentuan PKH namun didaftar sebagai peserta dan sebagainya. Kemudian ada penyalahgunaan wewenang oknum fasilitator maupun pendamping dengan memanfaatkan posisinya untuk kesempatan dan kepentingan politis tertentu, baik dalam penyaluran dan pemanfaatan bantuan tunai. Selanjutnya yang terpenting adalah masalah komitmen oleh semua pihak yaitu peserta maupun pelaksana PKH

Monitor dan evaluasi kerja pendamping yang notabene sebagai ujung tombak PKH dilakukan setiap bulan, berbentuk laporan kegiatan, hambatan – hambatan yang ditemui dan penyelesainnya. Sedangkan provinsi juga secara periodik melakukan monitoring dengan wawancara kepada peserta PKH tentang pertemuan rutin dan sebagainya, namun sekali lagi tidak menjangkau secara mendalam. Misalnya tidak ada monitoring tentang materi yang disampaikan oleh pendamping, soal kemungkinan-kemungkinan apakah ada muatan politis yang menguntungkan pendamping. Misalnya ajakan untuk memilih calon kepala desa tertentu, dan kepentingan lainnya.

Pihak pelaksana PKH sudah melakukan identifikasi masalah, hanya persoalannya belum ada penilaian keberhasilan program PKH dari pihak yang terkait, terutama dari pihak Dinas Pendidikan dan Kesehatan. Sedangkan

(3)

indikator manfaat dan dampaknya juga secara jelas masih membutuhkan perhatian apakah cenderung bermanfaat bagi peserta PKH dan berdampak besar bagi pengurangan tingkat kemiskinan warga setempat. Tujuan pelaksanaan PKH apakah sudah tercapai, jika dilihat dari segi penyaluran dana langsung ke peserta yang difasilitasi oleh Kantor Pos sebagian besar sudah berjalan baik.

Pendamping memiliki beban yang cukup besar. Masalah terbesar justru datang dari birokrasi sendiri yang tidak suportif terhadap PKH karena minimnya informasi tentang PKH, birokrasi yang seharusnya memberikan segala informasi yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan PKH justru bersikap sebaliknya. Tak jarang pendamping PKH membuang banyak waktu berurusan dengan birokrasi. Dimana seharusnya birokrasi mendukung penuh kegiatan PKH. Instansi pendidikan yang paling parah, banyak kepala sekolah tidak memahami apa itu PKH sedangkan pendamping PKH harus setiap saat berkunjung ke sekolah guna proses validasi komitmen berupa kehadiran siswa ke sekolah. Sedangkan instansi kesehatan berupa posyandu dan tempat pelayanan kegiatan lain cenderung lebih sedikit menemui hambatan, hal ini karena sifatnya lebih personal dan face to face antara pendamping dan bidan desa, serta tidak melibatkan SKPD birokrasi yang rumit.

Desain program keluarga harapan dengan cara memangkas habis tingkatan birokrasi nyatanya memang efektif guna meminimalisir kebocoran anggaran, dan dengan alasan efektivitas pula pendamping direkrut langsung oleh provinsi, meski demikian pendamping melaporkan kegiatannya kepada pemda kabupaten \ kota. Jalan yang dipilih pemerintah pusat dengan mengeliminir RT \ Rw, Lurah dan kepala desa sampai ke camat dalam penentuan peserta dan proses distribusi dana

(4)

nyatanya memang berhasil. Data PPLS meski kaku namun lebih objektif dan dari segi pencairan dana penelitian menunjukkan model bantuan semacam ini mampu menihilkan kebocoran anggaran karena bantuan dicairkan lewat kantor POS, namun studi ini sekaligus membuktikan bahwa program kebijakan publik dengan model memangkas habis tingkatan birokrasi memberikan efek buruk pada implementasi kebijakan publik, pasalnya birokrasi yang dilangkahi kemudian menjadi semacam lawan terhadap proses kebijakan itu sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa camat klaten utara, kepala sekolah di hamper semua SD awalnya menolak untuk bekerja sama dan dimintai data hingga berlangsung cukup lama.

Hambatan proses monitoring dan evaluasi terpengaruh besar oleh waktu yang tidak fleksibel, dan tidak melibatkan LSM atau organisasi masyarakat atau kalangan akademisi untuk memperoleh hasil penilaian dan evaluasi yang komprehensif. Mekanisme informal untuk monitoring dan evaluasi program ini juga tidak kentara terlihat, kontrol masyarakat dan media dari program PKH terlihat minim, terlihat dari minimnya referensi dari media massa tentang program PKH, hal ini mengindikasikan bahwa program PKH tidak tersiar dengan baik, berbeda dengan program-program bantuan instan semacam subsidi BBM dan lain sebagainya. Seyogyanya monitoring dan evaluasi tidak hanya dilakukan dari aktor formal sehingga dapat benar-benar menjadi koreksi program untuk memperbaiki program dalam periode selanjutnya. Banyak sekali factor yang menghambat proses monitoring dan evaluasi, misalnya persiapan program yang sangat mendadak, kesiapan SDM untuk monitoring yang minim serta fasilitas yang kurang memadai membuat proses monitoring dan evaluasi hanya terjadi di

(5)

permukaan. Umumnya birokrasi hanya melihat proses pemantauan dan keberhasilan program dari sisi yang sangat materil, asumsi birokrasi yang penulis wawancarai menunjukkan asumsi bahwa jika uang tersalurkan dengan tepat maka semua beres dan tidak ada penyelewengan, dan masalah soal data penerima yang tidak valid dianggap merupakan kesalahan BPS dan bukan menjadi tanggung jawab pemda atau PKH. Meskipun pernyataan tersebut benar, tapi juga berarti ironis, spirit akan pemberdayaan masyarakat nyatanya tidak menjangkiti birokrasi secara mendalam.

Kegiatan Pengembangan Keluarga adalah proses belajar peserta PKH yang berupa pemberian dan pembahasan informasi praktis di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga yang disampaikan melalui pertemuan kelompok bulanan. FDS bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan praktis mengenai kesehatan, pendidikan, ekonomi dan kesejahteraan keluarga. Menjaga dan memperkuat perubahan perilaku positif terkait dengan pendidikan, kesehatan, ekonomi dan kesejahteraan keluarga. Meningkatkan ketrampilan orang tua dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan kesejahteraan keluarga. Meningkatkan kemampuan peserta untuk mengenali potensi diri dan lingkungannya, agar dapat digunakan dalam peningkatan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Pelaku FDS terdiri dari peserta PKH, Pendamping, pihak lain (stakeholder) dan dilaksanakan pada pertemuan rutin bulanan kelompok

Status Pendamping PKH yang hanya kontrak memang berimplikasi positif bagi penilaian kinerja, ketika kinerja pendamping dianggap tidak maksimal pemda bisa mengakhiri hubungan kontrak, namun ternyata status kepegawaian

(6)

kontrak juga mengundang masalah di kecamatan klaten utara, dua pendamping PKH kecamatan klaten utara diterima menjadi CPNS daerah lain, secara peraturan maka mereka boleh meninggalkan kewajiban mereka sebagai pendamping PKH, namun hal ini menyebabkan peserta PKH kecamatan klaten utara sempat terkatung-katung sebelum akhirnya secara sementara diampu oleh pendamping dari kecamatan terdekat.

Selain kesimpulan yang telah penulis sampaikan diatas, ada beberapa catatan yang bisa diberikan penulis untuk Program PKH kecamatan klaten Utara yaitu:

1. Perlu ada sosialisasi intensif dari Dinas Kesehatan atau Dinas Pendidikan kepada para pegawai di lingkungan instansinya untuk memperlancar pelaksanaan PKH.

2. Ada baiknya UPPKH Pusat memberikan guideline materi FDS yang perlu disampaikan oleh pendamping ketika melakukan pertemuan kelompok.

3. Pemda perlu memberikan fasilitas yang memadai jika mengharapkan program pemberdayaan dapat berkembang. Dukungan dari Pemda bisa berupa bantuan dalam permodalan atau pelatihan produksi dan pemasarannya.

4. Pada tahun 2015 ini agar pendamping PKH lebih jeli dalam menggali potensi usaha dalam perintisan pemberdayaan KSM, sehingga mengubah perilaku KSM yang awalnya hanya menerima bantuan menjadi bisa mandiri dengan mulai usaha di kelompok masing-masing. Bagi yang sudah mulai jalan usaha bersamanya bisa mengirimkan data ke operator untuk ditindaklanjuti oleh UPPKH Kab.Klaten dalam hal pengajuan bantuan modal.

(7)

5. Koordinasi yang lebih baik antar seluruh Tim Koordinasi Teknis UPPKH Kab.Klaten sehingga semua informasi PKH dapat diterima oleh semua pihak terkait tanpa ada yang terputus di tengah jalan.

Referensi

Dokumen terkait

Dilihat dari aspek penyediaan RTH untuk tingkat RW dan tingkat RT berdasarkan hasil survei didapatkan, selain RW dan RT yang ditempati RTH tingkat kelurahan di Kelurahan

Berdasarkan dari analisis data terhadap data-data hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar responden memilki kebiasaan merokok yaitu sebanyak 23 responden

Berdasarkan tahapan SDLC yang dilakukan dengan penekanan pengembangan SIMPONI UAJY pada fitur-fitur yang belum ada pada SIMPONI UAJY versi terdahulu dan

Didasarkan pada berbagai pertimbangan, di antaranya yaitu kemampuan para pelanggan untuk membeli (daya beli), kemauan pelanggan untuk membeli, posisi suatu produk dalam gaya

ALUR PROSES MERENCANAKAN & MELAKSANAKAN PERBAIKAN PENYEBAB DOMINAN RENCANA PERBAIKAN 5 W 2 H INTERMEDIATE TARGET PROSES PERBAIKAN (UJI COBA) MONITORING MAINTAIN HASIL

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah pembagian penerimaan pajak rokok dibagi 50% (lima puluh persen) berdasarkan

Untuk  semua  kawan  yang  belum  disebutkan  dan  mungkin  terlalu  banyak  untuk  di  sebutkan  lagi.  Saya  ucapkan  terima  kasih  sebesar  besarnya 

Menentukan besarnya t sig yang diperoleh dari hasil regresi yang ditunjukkan pada Tabel 4.13 Hasil uji t menunjukan nilai t sig pada variabel persepsi kemudahan