• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1

Profil Puskemas

Lokasi puskesmas yang menjadi bahan penelitian berada di Kabupaten Bogor dan tersebar di kecamatan yang berbeda-beda, yaitu Kecamatan Pamijahan, Leuwiliang, Ciomas, Sukaraja, Bojong gede, Tenjolaya, Rumpin, Gunung Sindur, Cileungsi, Cigombong, Tajur halang, Kemang, Citereup, Caringin, Cariu, Cigudeg, Tanjungsari, Jasinga, Cibinong, dan Cisarua.

Berdasarkan fungsinya, puskesmas terdiri dari dua jenis yaitu puskesmas perawatan (inap) dan puskesmas non perawatan (non inap). Perbedaan antara puskesmas perawatan dan puskesmas non perawatan adalah ketersediaan tempat dan fasilitas untuk menerima pasien yang membutuhkan rawat inap. Puskesmas rawat inap adalah puskesmas dengan fasilitas tempat perawatan dan ruang tambahan untuk menolong penderita gawat darurat baik berupa tindakan operatif terbatas maupun perawatan sementara. Fungsinya sebagai “Pusat Rujukan Antara” yang melayani penderita gawat darurat sebelum dapat dirujuk ke rumah sakit. Kriteria yang harus dipenuhi puskesmas rawat inap adalah sebagai berikut:

1. Puskesmas harus terletak kira-kira 20 km dari rumah sakit.

2. Mudah dicapai dengan kendaraan bermotor dari puskesmas sekitarnya.

3. Dipimpin oleh seorang dokter disertai tenaga kesehatan yang memadai.

4. Jumlah kunjungan minimal 100 orang per hari.

5. Penduduk wilayah puskesmas dan penduduk 3 puskesmas sekitarnya minimal 20,000 per

puskesmas.

6. Pemerintah daerah bersedia menyediakan anggaran rutin yang mencukupi.

Berdasarkan hasil survei, hanya sebesar 30.43 % puskesmas yang termasuk jenis puskesmas perawatan dan 69.57 % puskesmas yang merupakan puskesmas non perawatan (Gambar 2). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian puskesmas dalam wilayah penelitian tergolong kedalam puskesmas non perawatan (non inap). Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar puskesmas merupakan puskesmas non perawatan (non inap). Hal ini dipengaruhi oleh adanya kriteria yang harus dipenuhi oleh puskesmas tersebut. Puskesmas tersebut dibagi menjadi Unit Pelayanan Terpadu (UPT) dan Unit Pelayanan Fungsional (UPF). Profil puskesmas yang diperoleh dapat lihat pada (Tabel 6 dan Lampiran 5).

Gambar 2. Persentase puskesmas berdasarkan jenis

30.43%

69.57%

Perawatan Non Perawatan n = 23

(2)

25

Tabel 6. Profil puskesmas

N

o Nama Puskesmas

Jenis

Puskesmas No Nama Puskesmas

Jenis Puskesmas 1 Ciasmara Jl. KH. Abd. Hamid Pamijahan Non Perawatan 13 Tajur Halang Jl. Cendrawasih No. 11 Non Perawatan 2 Leuwiliang Jl. M. Nor No. 3 Leuwiliang Non Perawatan 14 Jampang Jl. Ds. Tagal Non Perawatan 3 Puraseda Jl. M. Noh Nur Leuwiliang Non Perawatan 15 Leuwinutug Jl. Jolok Situ Citereup

Non Perawatan

4

Ciomas Jl. Raya Kretek No. 1

Ciomas

Non

Perawatan 16

Cinagara Jl. Cinagara Simpang III

No. 42

Non Perawatan

5

Cilebut Jl. Raya Cilebut Timur

Sukaraja

Non

Perawatan 17

Cariu

Jl. Brigjen Dharsono No. 13 Non Perawatan 6 Bojong Gede Jl. Kp. Bambu Kuning Non Perawatan 18 Tanjung Sari

Jl. H. Abd Halim No. 60 Perawatan

7 Tenjolaya Jl. R. Abd Fatah Tenjolaya Non Perawatan 19 Jasinga

Jl. Letnan Sayuti Perawatan

8 Rumpin

Jl. Praja Samlawi Perawatan 20

Cimandala

Jl. Raya Jakarta-Bogor Perawatan

9 Cigudeg

Jl. Raya Jasinga-Bogor Perawatan 21

Cibinong Jl. Raya Bogor Km. 47.5

Non Perawatan

10 Gunung Sindur

Jl. Pemuda No. 37 Perawatan 22

Cibulan Jl. Raya Puncak Km. 81

Non Perawatan

11 Cileungsi

Jl. Camat Enjan No. 1

Non Perawatan 23 Curug Koleang Non Perawatan 12 Cigombong Jl. Raya Cigombong No 650 Perawatan

5.2

Sumberdaya Manusia (SDM) di Puskesmas

Sumberdaya manusia di puskesmas merupakan salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi kapasitas dan kesiapan puskesmas dalam menangani KLB keracunan pangan. Sistem ketenagaan yang ada di puskesmas dilaksanakan sesuai dengan program yang dikembangkan serta kemampuan dana, kuantitas tenaga didasarkan pada kebutuhan prioritas layanan kesehatan dan pendayagunaan tenaga kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan layanan kesehatan dan profesionalisme pekerjaan. Sesuai PP RI No. 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan yang seharusnya ada adalah tenaga medis, kesehatan masyarakat (penyuluh kesehatan, sanitarian), tenaga gizi, tenaga keperawatan, farmasi, dan teknisi medis (analis dan perawat gigi).

(3)

26

Jumlah SDM atau tenaga kerja di setiap puskesmas berbeda-beda. Hasil yang diperoleh pada survei ini menunjukkan bahwa sebagian besar puskesmas memiliki SDM sebanyak 20-30 orang. Hal ini dapat dilihat (Gambar 3) dari nilai persentasenya yang lebih besar yaitu 44 %, sedangkan jumlah SDM antara 10-20 orang sebesar 30 % dan jumlah SDM antara 30-40 orang hanya 26 %. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah SDM di puskesmas terbatas.

Gambar 3. Persentase sebaran SDM puskesmas

Menurut Juster di dalam Depkes (1999), pendidikan merupakan faktor yang penting dalam seorang pekerja. Melalui pendidikan akan menghasilkan perubahan keseluruhan cara hidup seseorang. Selain itu, Pearlin dan Kohn di dalam Depkes (1999), menyatakan bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi mempunyai keinginan untuk mengembangkan dirinya sedangkan mereka yang berasal dari tingkat pendidikan rendah cenderung untuk mempertahankan kondisi yang telah ada. Oleh karena itu, dibutuhkan pendidikan untuk SDM yang akan bekerja di puskesmas karena mereka memiliki kualitas atau kemampuan yang dianggap perlu bagi peran tertentu.

Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, pada urutan pertama sebagian besar SDM yang bekerja di puskesmas adalah lulusan diploma, kemudian sarjana (S1), SLTA (setara), bahkan masih ada petugas puskesmas yang hanya memiliki pendidikan di bawah SLTA (setara). Namun, biasanya petugas puskesmas yang memiliki pendidikan di bawah SLTA (setara) bertugas di bagian tata usaha, atau pembantu umum. Akan tetapi, ada juga petugas puskesmas yang memiliki pendidikan master (S2). Petugas puskesmas lulusan master (S2) tersebut merupakan salah satu petugas di Puskesmas Cilebut yang menjabat sebagai kepala puskesmas. Puskesmas Cariu memiliki petugas lulusan diploma terbanyak yaitu 24 orang, sedangkan Puskesmas Cinagara hanya memiliki petugas lulusan diploma sebanyak 5 orang. Puskesmas Gunung Sindur memiliki lulusan sarjana (S1) terbanyak yaitu 8 orang dan Puskesmas Ciasmara dan Cinagara memiliki petugas lulusan sarjana (S1) hanya 1 orang. Dari data tidak terlihat adanya petugas puskesmas lulusan doktor (S3). Namun, terlihat bahwa hampir di setiap puskesmas memiliki petugas lulusan diploma yang lebih banyak dibandingkan lulusan lain. Hal ini dapat disebabkan oleh kebutuhan puskesmas sebagai pusat pelayanan masyarakat dalam bidang kesehatan yang banyak membutuhkan bidan atau perawat dan mereka berkompetensi di bidang tersebut. Lebih lengkapnya, sebaran tingkat pendidikan SDM di puskesmas dapat dilihat pada Gambar 4.

30%

44%

26%

10-20 orang 20-30 orang 30-40 orang

n = 23

(4)

27

Gambar 4. Jumlah SDM puskesmas berdasarkan tingkat pendidikan terakhir

Gambar 4. di atas memberikan informasi dimana petugas puskesmas dengan jenjang pendidikan yang tinggi (S1 dan S2) masih tergolong sedikit disetiap puskesmasnya. Hal ini menjadi perhatian khusus dimana KLB keracunan pangan membutuhkan tenaga ahli yang mampu menangani dan menganalisa KLB keracunan pangan di wilayah kerja masing-masing puskesmas. Hasil penenilitan ini menunjukkan bahwa KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor masih membutuhkan tenaga-tenaga ahli dengan kemampuan pendidikan yang memadai untuk menangani dan mengantisipasi KLB keracunan pangan.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 UP F C ias m ar a UP T L eu wili an g UP F Pu ras ed a UP T C io m as UP F C il eb u t UP T B o jo n g Ged e UP T T en jo lay a UP T R u m p in UP T C ig u d eg UP T P u sk es m as UP T C ileu n g si UP T C ig o m b o n g UP T T aju r Hala n g UP T J am p an g UP F L eu wi lin u tu g UP T C in ag ar a UP T C ar iu UP T T an ju n g sar i U P T J asin g a UP T C im an d ala UP F C ib in o n g U P F Cib u la n U P F Cu ru g

Master/ s2 Sarjana/ s1 atau D4 Diploma 1/2/3

(5)

28

5.3

Isi Kuesioner Keterangan Mengenai Pengambilan Contoh Makanan

KLB Keracunan Pangan

5.3.1

Pengetahuan Responden tentang Definisi KLB Keracunan

Pangan

Semua petugas puskesmas yang menjadi objek wawancara memberikan jawaban yang hampir sama secara keseluruhan tentang definisi KLB keracunan pangan. Akan tetapi, definisi KLB keracunan pangan menurut petugas puskesmas sangat beragam, dan bahkan definisi KLB keracunan pangan yang mereka ketahui masih belum detail dan terlalu luas cakupannya. Definisi singkat menurut masing-masing petugas puskesmas dapat dilihat pada Tabel 13.

Petugas puskesmas harus mengetahui definisi KLB keracunan pangan sebelum mereka bertugas langsung menangani KLB keracunan pangan agar mereka paham dengan KLB keracunan pangan. KLB sering disalah artikan karena kejadian ini hampir sama dengan wabah. Akan tetapi tentu terlihat jelas apa perbedaan antara KLB dengan wabah. Menurut UU RI tahun 1984, wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Sedangkan KLB keracunan pangan menurut WHO (2007) diacu dalam BPOM (2009) adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala yang sama atau hampir bersamaan setelah mengkonsumsi bahan makanan yang secara analisis epidemiologi terbukti sebagai sumber keracunan. Kesimpulan dari pengertian KLB dan wabah di atas adalah jumlah korban atau penderitanya.

Hasil uraian singkat petugas puskesmas menunjukkan bahwa KLB keracunan

pangan disebabkan oleh makanan yang tercemar atau terkontaminasi. Akan tetapi, setiap puskesmas memberikan definisi KLB keracunan pangan yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari jawaban mereka seperti yang dipaparkan pada Lampiran 6.

Pengertian KLB keracunan pangan yang dijelaskan oleh petugas puskesmas belum

seluruhnya sama dengan pengertian KLB keracunan pangan yang dijelaskan dalam peraturan kepala Badan POM tahun 2009. Beberapa puskesmas hanya menyebutkan definisi adalah suatu kejadian yang membahayakan, disebabkan oleh keracunan makanan, dan menyebabkan banyak korban. Contohnya, Puskesmas Cariu menyebutkan definisi KLB keracunan pangan mengenai gejala KLB keracunan pangan saja, dan Puskesmas Jasinga menyebutkan definisi KLB keracunan pangan adalah seseorang yang terpapar zat toksin. Definisi KLB keracunan pangan yang disebutkan oleh kedua puskesmas tersebut masih sangat kurang lengkap dari definisi KLB keracunan pangan sesungguhnya. Hasil di atas menunjukkan hanya dua puskesmas yang mengetahui definisi KLB keracunan pangan secara lengkap seperti yang disebutkan dalam peraturan kepala Badan POM tahun 2009.

5.3.2

Penanganan KLB Keracunan Pangan

Wilayah kerja puskesmas ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk di satu kecamatan, kepadatan, dan mobilitasnya. Pada satu wilayah kecamatan dapat didirikan dua-tiga puskesmas. Pada umumnya, satu puskesmas mempunyai penduduk binaan antara

(6)

29

30.000-50.000 jiwa. Berdasarkan hasil penelitian, 96 % puskesmas pernah menangani KLB keracunan pangan dan hanya 4 % puskesmas yang tidak pernah menangani KLB keracunan pangan di wilayah kerjanya (Tabel 7). Puskesmas yang tidak pernah menangani KLB keracunan pangan di wilayah kerjanya adalah Puskesmas Jasinga. Pada saat terjadi KLB keracunan pangan di Kecamatan Jasinga, bukan Puskesmas Jasinga yang menangani KLB keracunan pangan, tetapi ditangani oleh Puskesmas Curug yang berada di Desa Curug, Kecamatan Jasinga, karena lokasi kejadian berada di wilayah Desa Curug. Hasil ini menunjukkan bahwa puskesmas menangani KLB keracunan pangan di wilayah kerjanya.

Tabel 7. Hasil puskesmas yang menangani KLB keracunan pangan di wilayah kerjanya Pernah menangani KLB keracunan pangan Jumlah Puskesmas (n=23) Presentase (%) Ya 22 96 Tidak 1 4

5.3.3

Tim Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Keracunan Pangan

Tim penyelidikan KLB keracunan pangan adalah suatu tim yang dibentuk pada tingkat kabupaten atau kota, provinsi, ataupun pusat untuk menyelidiki kasus-kasus terkait KLB keracunan pangan. Tim penyelidikan tingkat kabupaten atau kota terdiri dari: dinas kesehatan kabupaten atau kota, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) atau rumah sakit rujukan, laboratorium kesehatan daerah (labkesda) kabupaten atau kota dan pihak terkait lainnya. Dari data yang diperoleh, 83 % puskesmas memiliki tim penyelidik dan penanggulangan KLB keracunan pangan dan 17 % puskesmas yang tidak memiliki Tim penyelidik dan penanggulangan KLB keracunan pangan (Tabel 8). Puskesmas tersebut adalah Puskesmas Puraseda, Puskesmas Cigudeg, Puskesmas Gunung Sindur, dan Puskesmas Curug. Hasil ini menunjukkan bahwa puskesmas di Kabupaten Bogor memiliki kesiapan dalam menangani KLB keracunan pangan jika dilihat dari adanya Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB keracunan pangan (Lampiran 7).

Tabel 8. Hasil puskesmas yang memiliki Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB keracunan pangan

Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB keracunan pangan

Jumlah Puskesmas

(n=23) Persentase (%)

Ada 19 83

Tidak Ada 4 17

5.3.4

Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan

Pengambilan contoh makanan merupakan bagian pertama dan sangat menentukan dalam penelusuran deteksi penyebab keracunan, beberapa hal perlu diperhatikan agar contoh makanan yang diambil mendekati representatif karena umumnya contoh yang dikirim ke laboratorium merupakan contoh akhir yang siap untuk diuji, untuk mendapatkan contoh yang

(7)

30

2002). Oleh karena itu, pengambilan contoh makanan harus dilakukan dengan baik dan benar agar contoh tidak rusak.

Pengambilan contoh makanan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan makanan dilakukan oleh Unit Pelayanan Kesehatan di tingkat propinsi atau kabupaten atau kota segera setelah mendapat laporan dari orang yang mengetahui adanya keracunan makanan. Salah satu Unit Pelayanan Kesehatan yang dimaksud adalah puskesmas. Berdasarkan hasil yang diperoleh, 87 % puskesmas yang melakukan pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan dan 13 % puskesmas yang tidak melakukan pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan (Tabel 9). Puskesmas Puraseda, Puskesmas Jasinga, dan Puskesmas Cibinong tidak melakukan pengambilan contoh makanan saat terjadi KLB keracunan pangan di wilayah kerjanya. Hasil ini menunjukkan bahwa puskesmas di Kabupaten Bogor menjalankan salah satu tugas mereka yaitu mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan untuk mengetahui penyebab terjadinya kasus tersebut.

Tabel 9. Hasil puskesmas yang melakukan pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan

Melakukan pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan

Jumlah Puskesmas (n=23) Persentase (%) Ya 20 87 Tidak 3 13

5.3.5

Petugas Pengambil Contoh Makanan

Petugas khusus pengambil contoh makanan KLB keracunan pangan sangat diperlukan saat terjadi KLB keracunan pangan. Keberadaan petugas khusus ini akan berpengaruh terhadap penanganan yang dilakukan saat mengambil contoh makanan tersebut. Sebaiknya petugas yang mengambil contoh makanan benar-benar mengerti dan paham bagaimana cara menangani contoh makanan dengan baik dan benar, dan mengetahui tata cara atau prosedur tetap pengambilan contoh makanan agar tidak rusak dan memberikan hasil uji laboratorium sesuai dengan harapan yang diinginkan.

Sebagian besar (87 %) puskesmas memiliki petugas khusus yang bertugas sebagai pengambil contoh makanan KLB keracunan pangan, dan hanya 13 % puskesmas yang tidak memiliki petugas khusus pengambil contoh makanan KLB keracunan pangan (Tabel 10). Puskesmas yang tidak memiliki petugas khusus pengambil contoh makanan adalah Puskesmas Puraseda dan Puskesmas Cigombong. Petugas khusus yang dimaksud adalah petugas puskesmas yang diberi tanggung jawab khusus untuk mengambil contoh makanan saat terjadi KLB keracunan pangan. Jika puskesmas tidak memiliki petugas khusus, saat terjadi KLB keracunan pangan tidak ada petugas yang bertanggung jawab khusus mengambil contoh makanan tersebut, tetapi tugas itu menjadi tanggung jawab bersama. Apabila petugas dari bagian surveilan atau tata usaha yang sedang berada di puskesmas, maka mereka yang akan mengambil contoh makanan tersebut. Hasil ini menunjukkan bahwa keterbatasan tenaga kerja di puskesmas dapat mengakibatkan pembagian tugas yang cukup banyak kepada pekerja yang bersangkutan. Oleh karena itu, sangat dianjurkan kepada puskesmas agar memiliki petugas khusus pengambil contoh makanan KLB keracunan pangan.

(8)

31

Tabel 10. Hasil puskesmas yang memiliki petugas khusus

Memiliki petugas khusus Jumlah Puskesmas

(n=23)

Persentase (%)

Ya 20 87

Tidak 3 13

Ada enam bidang atau bagian kerja yang ditugaskan puskesmas dalam mengambil

contoh makanan KLB keracunan pangan, yaitu Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) dan Surveilan, Penyehatan Lingkungan, Promosi Kesehatan, Gizi, Laboratorium, Sistem Informasi dan Kesehatan. Petugas khusus dari bidang P2P dan Surveilan 60.87 %, bidang Penyehatan Lingkungan 56.52 %, bidang Promosi Kesehatan 4.35 %, bidang Gizi 4.35 %, bidang Laboratorium 4.35 %, bidang Sistem Informasi Kesehatan 4.35 %. Petugas khusus di puskesmas terdiri dari satu atau lebih dari bidang yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian, Puskesmas Leuwiliang, Puskesmas Bojong Gede, Puskesmas Rumpin, Puskesmas Tanjungsari, Puskesmas Jasinga dan Puskesmas Cimandala memiliki petugas khusus yang terdiri dari dua bidang kerja, yaitu bidang P2P dan Surveilan, dan bidang Penyehatan Lingkungan. Data di atas menunjukkan bahwa bidang atau bagian kerja yang banyak ditugaskan sebagai petugas khusus pengambil contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan adalah P2P dan Surveilan, dan Penyehatan Lingkungan (Tabel 11).

Tabel 11. Bidang atau bagian kerja petugas khusus

Bidang/ Bagian Kerja Jumlah Puskesmas

(n=23) Persentase (%) P2P & Surveilan 14 60.87 Penyehatan Lingkungan 13 56.52 Promosi Kesehatan 1 4.35 Gizi 1 4.35 Laboratorium 1 4.35

Sist. Informasi Kesehatan 1 4.35

5.3.6

Pelatihan tentang Pengambilan Contoh Makanan

Pelatihan khusus bagi SDM puskesmas tentang pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan bertujuan untuk meningkatkan keterampilan atau keahlian petugas puskesmas dalam menangani contoh makanan yang akan diuji di laboratorium. Manfaat dari pelatihan ini adalah agar contoh makanan yang diambil mendapat penanganan serius, masih dalam kondisi layak uji dan tidak rusak supaya mendapatkan hasil uji laboratorium yang diinginkan sesuai dengan potensi bahaya yang terdapat pada contoh makanan tersebut.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 22 % puskesmas pernah memberikan pelatihan khusus kepada SDM tentang pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan dan 78 % puskesmas yang tidak pernah memberikan pelatihan khusus tersebut (Tabel 12). Puskesmas yang pernah memberikan pelatihan khusus kepada SDM tentang pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan adalah Puskesmas Ciomas, Puskesmas Tenjolaya, Puskesmas Tajur Halang, Puskesmas Cariu, dan Puskesmas Cibinong. Hasil di atas menunjukkan bahwa pelatihan SDM puskesmas di Kabupaten Bogor masih

(9)

32

sangat sedikit sehingga membutuhkan pelatihan tentang pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan untuk meningkatkan keahlian mereka dalam hal tersebut.

Tabel 12. Pelatihan khusus bagi SDM puskesmas tentang pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan

Pelatihan khusus SDM Jumlah Puskesmas

(n=23) Persentase (%)

Ada 5 22

Tidak ada 18 78

Puskesmas Ciomas memberikan pelatihan khusus pada SDM yang berkaitan dengan pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan pada tahun 2009 dengan tema pelatihan Sanitasi atau Hiegine makanan, pelatihan pada Puskesmas Tenjolaya pada tahun 1995 dengan tema Pengawasan kualitas air bersih dan tahun 1997 dengan tema Pengendalian Lingkungan, Puskesmas Tajur Halang memberikan pelatihan pada tahun 2008 tentang Surveilan Keracunan Makanan, Puskesmas Cariu memberikan pelatihan pada tahun 1996 tentang HACCP dan tahun 2008 tentang Sanitasi Makanan, dan Puskesmas Cibinong memberikan pelatihan kepada SDM pada tahun 2006 tentang Keracunan Makanan (Tabel 13).

Tabel 13. Nama pelatihan khusus bagi SDM

Nama Puskesmas Nama Pelatihan Tahun

UPT Ciomas Sanitasi atau Higiene Makanan 2009

UPT Tenjolaya 1. Pengawasan kualitas air bersih

2. Pengendalian Lingkungan

1. 1995

2. 1997

UPT Tajur halang Surveilan Keracunan Makanan 2008

UPT Cariu 1. HACCP

2. Sanitasi makanan

1. 1996

2. 2008

UPF Cibinong Keracunan Makanan 2006

5.3.7

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang harus dimiliki oleh puskesmas untuk mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan disebutkan dalam prosedur tetap pengambilan contoh makanan yang dibuat oleh BPOM tahun 2009. Alat dan bahan tersebut antara lain: sendok, pisau, kantung plastik atau stomacher, label, es batu, es kering, adsorbent (seperti silika gel), boks pendingin, dan boks untuk es kering. Sendok digunakan untuk mengambil contoh padat, atau jika perlu potong dengan pisau steril. Kantung plastik digunakan sebagai wadah. Label digunakan untuk menerangkan semua keterangan mengenai contoh makanan KLB keracunan pangan seperti nama contoh, jumlah contoh yang diambil, lokasi pengambilan contoh, waktu pengamanan contoh, dan lain-lain. Es batu berfungsi untuk menjaga suhu contoh di dalam boks pendingin agar tidak rusak. Sedangkan es kering digunakan hanya untuk contoh beku.

Berdasarkan persentase penggunaan, sendok digunakan oleh 95.65 % puskesmas, pisau 26.08 % puskesmas, kantung plastik 82.60 % puskesmas, label 91.30 % puskesmas, es batu 65.22 % puskesmas, es kering 8.70 % puskesmas, boks pendingin 87.00 % puskesmas, dan boks untuk es kering 21.74 % puskesmas (Gambar 5). Tidak ada puskesmas yang

(10)

33

menggunakan adsorben (seperti silika gel) saat menangani contoh makanan KLB keracunan pangan karena sangat jarang dalam penggunaannya. Hasil di atas menunjukkan bahwa alat dan bahan yang banyak digunakan untuk mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan di puskesmas adalah sendok, kantung plastik, label, es batu, dan boks pendingin.

Gambar 5. Persentase puskesmas yang menggunakan alat dan bahan dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan

Kelengkapan alat dan bahan yang dimiliki puskesmas tidak mencapai 100 %, Puskesmas Leuwiliang dan Puskesmas Cigombong memiliki persentase kelengkapan alat dan bahannya lebih besar dari 70 %, yaitu masing-masing 78 % dan 89 % (Tabel 14). Sedangkan puskesmas yang memiliki persentase kelengkapan alat dan bahan lebih kecil dari 30 % adalah Puskesmas Puraseda dan Puskesmas Leuwinutug, yang masing-masing sebesar 22 %. Hasil ini menunjukkan bahwa alat dan bahan yang digunakan oleh puskesmas untuk mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor masih terbatas.

Tabel 14. Persentase kelengkapan alat dan bahan yang digunakan oleh puskesmas

Puskesmas Kelengkapan (%) Puskesmas Kelengkapan (%)

UPF Ciasmara 56 UPT Tajur halang 33

UPT Leuwiliang 78 UPT Jampang 56

UPF Puraseda 22 UPT Leuwinutug 22

UPT Ciomas 56 UPT Cinagara 67

UPF Cilebut 44 UPT Cariu 67

UPT Bojong gede 56 UPT Tanjungsari 56

UPT Tenjolaya 67 UPT Jasinga 56

UPT Rumpin 44 UPT Cimandala 44

UPT Cigudeg 56 UPF Cibinong 56

UPT Gunung Sindur 44 UPF Cibulan 33

UPT Cileungsi 56 UPF Curug 56

UPT Cigombong 89 0 20 40 60 80 100 sendok pisau kantung plastik label es batu es kering adsorbent (silika gel) boks pendingin boks untuk es kering

(11)

34

5.3.8

Jumlah Contoh Makanan yang Diambil

Salah satu ketentuan umum yang dijelaskan dalam prosedur tetap tentang pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan (BPOM, 2009) adalah contoh makanan diambil sebanyak ± 500 g secara aseptis dengan peralatan steril dan dimasukkan ke dalam wadah steril, lalu ditutup dan diberi label. Jika contoh kurang dari 500 g, maka semua contoh yang tersisa diambil. Puskesmas yang mengambil contoh makanan sebanyak 100 g adalah 30.43 %, 200 g sebesar 47.83 %, 500 g sebesar 4.35 %, dan lainnya 13.04 % (Tabel 15). Hanya satu puskesmas yang mengambil contoh makanan sebanyak ± 500 g yang sesuai dengan ketentuan umum dalam prosedur tetap pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan yaitu Puskesmas Ciasmara. Puskesmas yang mengambil contoh makanan sebanyak lainnya (13.04 %) adalah Puskesmas Ciomas yang mengambil contoh makanan sebanyak-banyaknya tanpa ada standar yang terukur, selanjutnya Puskesmas Cilebut yang mengambil contoh makanan kurang dari 100 g, dan Puskesmas Tajur Halang yang tidak memiliki standar dalam mengambil contoh makanan.

Tabel 15. Jumlah contoh makanan yang diambil Jumlah contoh makanan yang

diambil (g) Jumlah Puskesmas (n=23) Persentase (%) 100 7 30.43 200 11 47.83 500 1 4.35 Lainnya 3 13.04

5.3.9

Identifikasi Jenis Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan

Berdasarkan prosedur tetap tentang tata cara pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan yang diatur oleh BPOM tahun 2009, langkah awal yang dilakukan dalam pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan adalah melakukan identifikasi jenis contoh makanan yang terkait dengan keracunan pangan berdasarkan kategorinya, apakah termasuk makanan segar, makanan jasa boga, masakan rumah tangga, makanan jajanan, makanan Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP), makanan Industri Non IRTP, atau lainnya. Identifikasi contoh makanan ini perlu dilakukan untuk memisahkan dan membedakan setiap jenis makanan yang akan diambil saat kejadian berlangsung. Selain itu juga untuk memudahkan pendugaan terhadap setiap jenis contoh makanan yang ada. Dari semua puskesmas target, 82.61 % puskesmas yang melakukan identifikasi jenis contoh makanan tersebut dan 17.39 % puskesmas yang tidak melakukan identifikasi jenis contoh makanan (Tabel 16). Puskesmas yang tidak melakukan identifikasi jenis contoh makanan tersebut adalah Puskesmas Puraseda, Puskesmas Ciomas, Puskesmas Leuwinutug, dan Puskesmas Jasinga.

Salah satu faktor yang menyebabkan adanya puskesmas yang tidak melakukan identifikasi jenis makanan adalah ketidaktahuan petugas puskesmas mengenai tata cara pengambilan contoh makanan yang baik dan benar. Petugas puskesmas tidak melakukan prosedur seperti yang telah diatur oleh BPOM tahun 2009 tersebut. Selain itu, informasi

(12)

35

mengenai prosedur tetap yang telah dikeluarkan oleh BPOM tersebut belum sampai ke sebagian besar puskesmas yang ada di Kabupaten Bogor.

Tabel 16. Identifikasi jenis contoh makanan penyebab keracunan pangan Mengidentifikasi jenis contoh

makanan

Jumlah Puskesmas

(n=23) Persentase (%)

Ya 19 82.61

Tidak 4 17.39

5.3.10

SOP tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan

Tabel 17. menunjukkan bahwa sebanyak 52 % puskesmas (12 puskesmas) memiliki SOP dan 48 % puskesmas (11 puskesmas) yang tidak memiliki SOP mengenai tata cara pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan. Pembuatan SOP yang akan diterapkan oleh puskesmas mengacu pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, Badan POM RI, atau pihak lainnya. Salah satu acuan yang dapat digunakan oleh puskesmas adalah Prosedur Tetap (Protap) Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Makanan yang dikeluarkan oleh BPOM tahun 2009.

Sumber atau referensi lain yang digunakan puskesmas berasal dari Dinas Kesehatan, seperti yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/ Menkes/ Per/ IX/ 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas air, Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 715/ Menkes/ SK/ V/ 2003 tentang Persyaratan Higiene & Sanitasi Jasaboga, UU No. 36/209 tentang Kesehatan, dan Departemen Kesehatan tentang Kewaspadaan Dini/ Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Tabel 17. Jumlah puskesmas yang memiliki SOP cara pengambilan contoh makanan

Memiliki SOP Jumlah Puskesmas

(n=23)

Persentase (%)

Ada 12 52

Tidak ada 11 48

5.3.11

Pengiriman Contoh Makanan ke Laboratorium Rujukan

Langkah terakhir pada prosedur tetap pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan adalah mengirim contoh makanan ke laboratorium rujukan untuk diuji. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa 78 % puskesmas mengirim contoh makanan yang diambil ke laboratorium rujukan terdekat dan 22 % puskesmas yang tidak mengirim contoh makanan ke laboratorium rujukan (Tabel 18). Alasan mereka tidak melakukan pengiriman contoh makanan ke laboratorium rujukan adalah contoh makanan tersebut sudah dikirim langsung oleh pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor.

Tabel 18. Mengirim contoh makanan ke laboratorium untuk diuji Mengirim contoh makanan ke

laboratorium

Jumlah Puskesmas

(n=23) Persentase (%)

Ya 18 78

(13)

36

Pada Lampiran 3 telah disebutkan bahwa laboratorium rujukan yang dapat digunakan adalah Laboratorium pengujian Balai Besar/ Balai Pengawas Obat dan Makanan, Balai Laboratorium Kesehatan, Laboratorium Kesehatan Daerah, dan laboratorium lainnya yang terakreditasi. Pada Tabel 19 terlihat bahwa ada 2 laboratorium rujukan yang digunakan puskesmas untuk menguji contoh makanan KLB keracunan pangan, yaitu Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) dan Laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTKL). Berdasarkan hasil data survei, 73.91 % puskesmas mengirim contoh makanan yang diambil ke laboratorium kesehatan daerah Kabupaten Bogor, 4.35 % puskesmas (satu puskesmas) yang mengirim contoh makanan KLB keracunan pangan ke laboratorium BBTKL, puskesmas tersebut adalah Puskesmas Cilebut. Sebanyak 21.74 % puskesmas tidak mengirim langsung contoh makanan KLB keracunan pangan ke laboratorium rujukan, tetapi ada puskesmas yang contoh makanannya dibawa dan dikirim oleh pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. Puskesmas yang tidak mengirim contoh makanan tersebut adalah Puskesmas Puraseda, Puskesmas Cileungsi, Puskesmas Tajur Halang, Puskesmas Jasinga, dan Puskesmas Cibinong.

Tabel 19. Data laboratorium rujukan yang digunakan

Laboratorium Jumlah Puskesmas

(n=23) Persentase (%)

Kesehatan Daerah 17 73.91

BBTKL 1 4.35

Tidak mengirim sampel 5 21.74

5.3.12

Durasi Waktu yang Dibutuhkan untuk Pengiriman Contoh

Makanan

Contoh makanan KLB keracunan pangan yang telah disiapkan akan dikirim ke

laboratorium rujukan. Proses tersebut membutuhkan waktu perjalanan dari puskesmas ke laboratorium. Setiap puskesmas membutuhkan waktu yang berbeda-beda saat mengirim contoh makanan ke laboratorium (Tabel 20). Lamanya waktu pengiriman contoh makanan akan berpengaruh terhadap contoh makanan, apalagi jika uji yang diinginkan adalah uji mikrobiologi. Contoh makanan yang lama disimpan akan mengalami perubahan, contohnya jumlah bakteri akan tumbuh dan berkembang dalam jangka waktu tertentu. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap hasil pengujian laboratorium. Semakin lama waktu pengiriman contoh makanan ke laboratorium maka kondisi contoh makanan akan semakin berbeda dari keadaan awal.

Tabel 20. Data waktu yang dibutuhkan puskesmas untuk mengirimkan contoh makanan ke laboratorium

Waktu (jam) Jumlah Puskesmas

(n=23) Persentase (%) < 3 2 8.70 3 7 30.43 6 5 21.74 12 1 4.35 24 3 13.04

(14)

37

5.3.13

Ketersediaan Lemari Pendingin Contoh Makanan

Salah satu fasilitas yang sebaiknya dimiliki oleh puskesmas adalah lemari pendingin khusus yang digunakan untuk menyimpan contoh makanan sebelum dikirim ke laboratorium rujukan agar contoh makanan terjaga dan tidak terkontaminasi dengan bahan lain. Hal ini menjadi penting karena telah disebutkan dalam prosedur tetap pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan (Lampiran 3), contoh makanan yang telah diambil atau diamankan disimpan dalam lemari pendingin (4 ºC atau < -18 ºC) khusus makanan beku. Tetapi jika memungkinkan, misalnya jika lokasi keracunan makanan berdekatan dengan laboratorium, kirim contoh langsung ke laboratorium.

Puskesmas yang memliki lemari pendingin khusus untuk menyimpan contoh makanan hanya sebanyak 35 %, dan sisanya sebanyak 65 % puskesmas tidak memiliki lemari pendingin khusus untuk menyimpan contoh makanan (Tabel 21). Lemari pendingin yang biasa digunakan puskesmas adalah lemari pendingin yang digunakan untuk menyimpan vaksin.

Tabel 21. Lemari pendingin khusus untuk menyimpan contoh makanan

Lemari pendingin khusus Jumlah Puskesmas

(n=23)

Persentase (%)

Ada 8 35

Tidak ada 15 65

5.3.14

Prosedur Pengambilan Contoh Makanan

Prosedur pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan telah dijelaskan secara lengkap pada Lampiran 3. Secara singkat langkah-langkah penting yang dilakukan dalam mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi jenis contoh makanan berdasarkan kategori makanan.

2. Mengelompokkan contoh makanan berdasarkan wujudnya (padat atau cair).

3. Mengambil contoh makanan sebanyak ± 500 g secara aseptis dengan peralatan steril,

dimasukkan ke dalam wadah steril, lalu ditutup dan diberi label. Jika contoh kurang dari 500 g, maka semua contoh yang tersisa diambil.

4. Memberi label setiap contoh segera setelah dikemas (terdiri dari nomor, nama, jumlah,

lokasi pengamanan, waktu pengamanan, dan lokasi penyimpanan contoh).

5. Masukkan semua contoh makanan ke dalam boks pendingin berisi es batu, kecuali contoh

makanan industri non IRTP yang diambil dengan kemasannya.

6. Membawa semua contoh makanan ke puskesmas terdekat, simpan ke dalam lemari

pendingin (4ºC atau < -18ºC) khusus makanan beku.

7. Memiilih contoh makanan berdasarkan penentuan makanan yang dicurigai sebagai

penyebab keracunan pangan.

8. Mengirim contoh makanan ke laboratorium rujukan.

Prosedur pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan yang dilakukan oleh setiap puskesmas berbeda-beda. Hasil di atas menunjukkan bahwa tidak ada puskesmas yang melakukan pengambilan contoh makanan secara detail seperti prosedur tetap yang dibuat oleh BPOM tahun 2009. Prosedur lengkap yang dilakukan oleh puskesmas (Lampiran 8).

(15)

38

Prosedur umum yang banyak dilakukan oleh puskesmas adalah mengambil contoh makanan dengan sendok, lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diberi label, simpan di dalam coldpack, dan dikirim ke laboratorium (dinas kesehatan).

5.4

Pengaruh Jenis Puskesmas Terhadap Kesiapan Puskesmas dalam

Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan

Puskesmas merupakan unit pelayanan kesehatan yang letaknya berada paling dekat di tengah-tengah masyarakat dan mudah dijangkau dibandingkan dengan unit pelayanan kesehatan lainnya (rumah sakit swasta maupun negeri). Berdasarkan fungsinya, puskesmas terdiri dari dua jenis

yaitu puskesmas perawatan (inap) dan puskesmas non perawatan (non inap). Perbedaan antara

puskesmas perawatan dan puskesmas non perawatan adalah ketersediaan tempat dan fasilitas untuk menerima pasien yang membutuhkan rawat inap.

Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa jenis puskesmas berdasarkan fungsinya yaitu perawatan (inap) dan non perawatan (non inap) memberi pengaruh terhadap kesiapan puskesmas dalam menangani KLB keracunan pangan, khususnya dalam pengambilan contoh makanan. Hasil yang diperoleh dibagi menjadi tiga kategori puskesmas, yaitu siap, cukup siap, dan belum siap. Berdasarkan data yang diperoleh (Tabel 22 dan Gambar 6), sebanyak 9 (39.13 %) puskesmas non perawatan (non inap) yang termasuk kategori siap, 6 (26.09 %) puskesmas yang termasuk kategori cukup siap, dan 1 (4.35 %) puskesmas yang termasuk kategori belum siap dalam menangani KLB keracunan pangan. Sebanyak 3 (13.04 %) puskesmas perawatan (inap) yang termasuk kategori siap, 3 (13.04 %) puskesmas yang termasuk kategori cukup siap, dan 1 (4.35 %) puskesmas yang termasuk kategori belum siap. Data di atas menunjukkan bahwa puskesmas non perawatan (non inap) memiliki kesiapan yang lebih tinggi terhadap pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan dibandingkan puskesmas perawatan (inap).

Tabel 22. Hasil kesiapan puskesmas berdasarkan jenis puskesmas

Nama Puskesmas Jenis Puskesmas Kesiapan (%)

UPF Ciasmara Non Perawatan 80

UPT Leuwiliang Non Perawatan 80

UPF Puraseda Non Perawatan 20

UPT Ciomas Non Perawatan 80

UPF Cilebut Non Perawatan 80

UPT Bojong gede Non Perawatan 80

UPT Tenjolaya Non Perawatan 100

UPF Cibinong Non Perawatan 70

UPF Cibulan Non Perawatan 80

UPF Curug Non Perawatan 60

UPT Cileungsi Non Perawatan 70

UPT Tajur halang Non Perawatan 70

UPT Jampang Non Perawatan 80

UPT Leuwinutug Non Perawatan 70

UPT Cinagara Non Perawatan 60

UPT Cariu Non Perawatan 100

UPT Tanjungsari Perawatan 70

UPT Jasinga Perawatan 30

UPT Cimandala Perawatan 80

UPT Cigombong Perawatan 70

UPT Rumpin Perawatan 90

UPT Cigudeg Perawatan 70

(16)

39

Keterangan:

Siap = 80 – 100 %

Cukup Siap = 50 – 79 %

Belum Siap = < 50 %

Gambar 6. Pengaruh jenis puskesmas terhadap kesiapan puskesmas dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan

5.5

Pengaruh Jumlah SDM Terhadap Kesiapan Puskesmas dalam

Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan

Pola ketenagaan kerja di puskesmas secara umum terdiri dari 1 orang dokter umum, 1 orang perawat gigi, 1 orang dokter gigi, 8 orang perawat kesehatan, 5 orang bidan, 1 orang tenaga gizi, 1 orang juru imunisasi, 2 orang pengemudi atau pekarya, 1 orang tenaga administrasi. 1 orang sanitarian, 2 orang pekarya kesehatan, dan 2 orang asisten apoteker. Jumlah tenaga kerja tersebut adalah 26 orang. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa puskesmas yang memiliki SDM atau tenaga kerja sebanyak 20-30 orang memiliki tingkat kesiapan yang lebih tinggi (21.74 %) dibandingkan dengan puskesmas dengan jumlah SDM sebanyak 10-20 orang atau 30-40 orang (Tabel 23 dan Gambar 7). Jadi, jumlah SDM atau tenaga kerja yang efektif di puskesmas adalah sebanyak 20-30 orang dengan tingkat kesiapan dalam menangani KLB keracunan pangan lebih tinggi. Hasil di atas menunjukkan bahwa jumlah SDM yang sedikit (10-20 orang) ataupun jumlah SDM yang banyak (30-40 orang) tidak berpengaruh terhadap kesiapan puskesmas dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan. Data lengkap isi kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 9.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Non Perawatan Perawatan

J um la h P usk esm a s Jenis Puskesmas

(17)

40

Tabel 23. Hasil kesiapan puskesmas berdasarkan jumlah SDM

Nama Puskesmas Jumlah SDM (orang) Kesiapan (%)

UPF Ciasmara 10-20 80 UPF Puraseda 10-20 20 UPT Ciomas 10-20 80 UPT Tenjolaya 10-20 100 UPT Jampang 10-20 80 UPT Cinagara 10-20 60 UPT Cigombong 10-20 70 UPF Cibinong 20-30 70 UPF Cibulan 20-30 80 UPF Curug 20-30 60 UPT Cileungsi 20-30 70

UPT Tajur halang 20-30 70

UPT Rumpin 20-30 90

UPT Leuwinutug 20-30 70

UPT Gunung Sindur 20-30 80

UPT Leuwiliang 20-30 80 UPF Cilebut 20-30 80 UPT Cariu 30-40 100 UPT Tanjungsari 30-40 70 UPT Jasinga 30-40 30 UPT Cimandala 30-40 80 UPT Cigudeg 30-40 70

UPT Bojong gede 30-40 80

Keterangan:

Siap = 80 – 100 %

Cukup Siap = 50 – 79 %

Belum Siap = < 50 %

Gambar 7. Pengaruh jumlah SDM puskesmas terhadap kesiapan puskesmas dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan

0 1 2 3 4 5 6

10-20 orang 20-30 orang 30-40 orang

J um la h P us k esm a s Jumlah SDM

Gambar

Tabel 8. Hasil puskesmas yang memiliki Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB  keracunan pangan
Tabel 9. Hasil puskesmas yang melakukan pengambilan contoh makanan KLB keracunan  pangan
Tabel 11. Bidang atau bagian kerja petugas khusus  Bidang/ Bagian Kerja  Jumlah Puskesmas
Tabel 13. Nama pelatihan khusus bagi SDM
+7

Referensi

Dokumen terkait

DBL INDONESIA (Studi tentang Implementasi Integrated Marketing Communications dalam Komunikasi Pemasaran PT. DBL Indonesia 2014) ini disusun sebagai bentuk

Berdasarkan hasil dan penilaian dari Program Latihan dan Tes Jarak Jauh (LTJJ), yang telah kami selenggarakan pada bulan Desember 2013 hingga Maret 2014, telah

Karena dalam penyampain nlai sosial selalu di dampingi dengan visual komedi, (c) Persepsi mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam terhadap nilai budaya yang

Satuan peta yang mempunyai karakteristik lahan yang tidak dapat diperbaiki berarti pada satuan peta tersebut tidak akan terjadi perobahan terhadap kelas kesesuaian lahannya

Setelah dilakukan analisis maka diperoleh koefisien gini sebesar 0,54 dari hasil perhitungan ini menunjukan bahwa kondisi distribusi pendapatan keluarga peternak

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan air tanah di Kota Batu khususnya pada sektor pariwisata dan pertanian akan terus meningkat dari tahun ke

Untuk mengimplementasikan esensi pembelajaran kimia dalam kurikulum 2013 ini, maka dalam pelaksanaanya pada materi Struktur Atom akan digunakan model pembelajaran make a

Abstrak-Skala prioritas pembangunan berkelanjutan dalam hal pengelolaan wilayah laut dan pulau di indonesia khususnya di daerah sulawesi utara teridentifikasi masalah