• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI PEMBATALAN PERDA TERHADAP KETEPATAN PROPORSI TEORI PENEGAKAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IMPLIKASI PEMBATALAN PERDA TERHADAP KETEPATAN PROPORSI TEORI PENEGAKAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLIKASI PEMBATALAN PERDA TERHADAP KETEPATAN PROPORSI

TEORI PENEGAKAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

Fat khurohman

Fakult as Hukum Universit as Widyagama Malang E-mail: kusumo_uwg@yahoo.co. id

Abst r act

Af t er t he abr ogat i on of a l ocal r egul at ion made by t he cent r al gover nment , t he l ocal gover nment may make a legal ef f or t cal l ed an ‘ obj ect ion” mechani sm. In t he on hand, t he obj ect ion made by t he l ocal gover nment shows t hat a l aw enf or cement may be wel l made. On t he ot her hand, an uncl ear concept of l aw enf or cement ar i ses. It i s due t o t he f act t hat t he subst ance of t he 2004 Law no. 4 ar t i cle 10 on t he Just i ce Power mer el y r egul at es 4 (f our ) mat et r s namel y: Gener al Just i ce, Rel i gi on Just i ce, Mi l i t ar y Just i ce and St at e Admini st r at ive Jut si ce. Ther ef or e, any disput e on any deci sion on l ocal r egul at i on abr ogr at i on act ual l y i s not incl uded i n t he f our t h cat egor y i n t he concer ned j ust i ce envi r onment . Ef f or t s t hat may be made i s t o add aut hor i t ies t o t he Supr eme Cour t by ar r anging j ust i ce i nst it ut ion t hat handl e any local r egul at ion di sput e, opt imi zi ng execut ive r evi ews and appl yi ng j udi ci al r eviews. Fr om st r eaml ini ng impr oper t heor ies of t he sol ut ion on t he di sput e of Local Regul at ion abbr ogat ion t hr ough t he Supr eme Cour t , t o f i nd out a way out i s a necessi t y in or der t o avoi d any legal uncer t ai nt y.

Key wor ds: Local r egul at i on, l ocal r egul at i on abbr ogat i on, obj ect ion mechani sm

Abst rak

Pasca pembat alan Perat uran Daerah oleh Pemerint ah Pusat , daerah dapat mengaj ukan upaya hukum yang disebut dengan mekanisme “ keberat an” . Disat u sisi, keberat an Pemerint ah menunj ukan bahwa penegakan hukum bisa dij alankan dengan baik, namun di sisi lain t ernyat a dihadapkan oleh belum j elasnya konsep penegakan hukum. Hal ini t erj adi karena berdasarkan subt ansi Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 t ent ang Kekuasaan Kehakiman hanya mengat ur 4 (empat ) hal yakni; Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Milit er dan Peradilan Tat a Usaha Negara. Dengan demikian bahwa sengket a at as Keput usan pembat alan Perda sebenarnya t idak t ermasuk dalam kat egori keempat di lingkungan peradilan dimaksud. Upaya yang bisa dilakukan adalah menambah kewenangan MA dengan menat a kelembagaan peradilan yang menangani sengket a perda, opt imalisasi eksekut if review dan penerapan j udicial preview. Berangkat dari pelurusan t eori yang kurang t epat at as penyelesaian sengket a pembat alan Perda melalui Mahkamah Agung adalah suat u menj adi suat u keniscayaan unt uk dicarikan j alan keluar agar t idak menimbulkan ket idakpast ian hukum.

Kat a kunci : Perat uran Daerah, pembat alan perda, mekanisme keberat an

Pendahuluan

Dalam penanganan set iap perkara at au persoalan hukum bisa dipast ikan mengede-pankan prinsip adanya kepast ian hukum. Ut uk mewuj udkan kepast ian hukum t ersebut , dasar pij akannya selalu mengarah pada ket ent uan hu- kum f ormal melalui proses peradilan. Tuj uan ut ama dalam proses peradilan adalah adanya keadilan sebagai t uj uan akhir yang hendak di-

Art ikel ini merupakan art ikel hasil penel it ian dengan Skim Penel it i an Fundament al DIKTI, Kemdikbud 2011

capai dengan lebih menit ik berat kan pada kekuat an hukum mat eriil j ika dibandingkan de-ngan f ormil. Di sinilah kebebasan hakim dalam menimbang rasa keadilan yang hendak diput us-nya menj adi amat t erasa, sedangkan, ket ent u-an hukum f ormal t idak j aru-ang diabaiku-an karena memang disadari bet ul bahwa kepast ian hukum bukanlah segalanya. Kepast ian hukum hanyalah suat u j alan menuj u t ercipt anya keadilan1.

1

(2)

nurut B. Arief Sidhart a, hakim pada wakt u mempert imbang-kan put usan yang akan diam-bilnya, selain mempert imbangkan kenyat aan kemasyarakat an, j uga harus mengacu cit a kum yang berint i pada keadilan, kepast ian hu-kum dan predikbilit as demi mewuj udkan ket er-t iban berkeadilan.2

Pada persoalan pembat alan Perda oleh Pemerint ah Pusat ada ruang bagi dunia per-adilan (yudikat if ) diberi kekuasaan unt uk me-nyelesaikan. Namun dalam penelit ian yang di-lakukan oleh Fat khurohman pada 2009 t ernyat a model penyelesaian melalui peradilan ini diang-gap t idaklah t epat3. Hal ini disebabkan oleh sist em peradilan Indonesia belum mengat ur pe-nyelesaian sengket a Perda khususnya dalam lingkup kewenangannya. Inilah yang menurut penelit i t erj adi kesalahan proporsi t eori pene-gakan hukum dalam sist em peradilan di In-donesia. Selanj ut nya dalam sist em peradilan di Indonesia memang secara f akt ual belum me-ngenal sebuah peradilan yang khusus menanga-ni sengket a perat uran daerah. Kej adiannya adalah sebuah upaya unt uk menghindari keko-songan hukum, sehingga penyelesaiannya lebih bersif at t ent at if . Mengingat persoalan pemba-t alan perda pemba-t elah menj adi “ bencana nasional perundang-undangan” maka perlu segera dise-lesaikan secara cepat agar t idak menimbulkan ket idakpast ian hukum.

Menurut ket erangan Kepmendagri t er-ba-ru, bahwa sepanj ang Tahun 2009-2012 Kemen-dagri t elah mengevaluasi sekit ar 13. 000 perda dimana sebanyak 824 perda t elah diklasif ikasi dan dinyat akan salah karena t idak sesuai

hukum. Keadil an adal ah j iwa hukum. Sebagai konse-kwensi l ogis, hukum yang t idak adil t i dak perl u dipat u-hi, cr it er ia keadil an yang t er pent ing adal ah hukum kodrat . Dal am Al . Andang L. Binaw an, 2005, “ Merunut Logika Legisl asi ” , Jent er a Jur nal Hukum, Edisi 10-Tahun III Okt ober 2005

2 B. Arief Sidhart a, 2000, Waj ah hukum di er a Ref or masi :

kumpul an Kar ya Il mi ah Menyambut 70 Tahun Pr of . Dr . Sat j i pt o Rahar dj o, Bandung: Cit r a Adi t ya Bakt i , hl m. 197-208

3 Fat khurohman, 2009, “ Pengaruh Ot onomi daerah

Terhadap Hubungan Pemda di bidang Regul asi Unt uk menangani Per da Ber masal ah (St udi di Kabupat en Mal ang)” , Junal Hukum Yust i si a, FH UNS Surakart a, Tahun XXI. Januari-Apr il 2010 hl m. 49-61

ngan at uran di at asnya,4 bert ent angan dengan kepent ingan umum, at au mengganggu ket ent ra-man dan ket ert iban5. Selain it u j uga mengham-bat upaya upaya upaya memperbaiki perekono-mian daerah6.

Berdasarkan penelit ian t erdahulu dit emu-kan bahwa ada upaya hukum bagi daerah ket ika Perda dibat alkan oleh Pemerint ah Pusat , yakni melalui keberat an melalui Mahkamah Agung. Namun set elah dit elit i lebih lanj ut t ernyat a mekanisme ini menyalahi kelaziman penegakan hukum. Hal ini dikarenakan set elah penelit i mencermat i subt ansi Pasal 10 UU Nomor 4 Ta-hun 2004, t enyat a dalam sist em peradilan di Indonesia hanya mengenal adanya Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Milit er, dan Peradilan Tat a Usaha Negara, maka sengket a at as Keput usan Pembat alan Perat uran Daerah, sebenarnya t idak t ermasuk dalam kat egori ke-empat lingkungan peradilan dimaksud. At as da-sar perist iwa ini maka t erj adi kerancuan t eori penegakan hukum khususnya masalah kompe-t ensi penyelesaian sengkekompe-t a yang seharusnya t idak melalui Mahkamah Agung. Persoalan pe-nyelesaian sengket a ant ara pemerint ah pusat dengan Pemerint ah Daerah t elah menyalahi gr and t eor y yang t erbent uk selama ini t ent ang bagaimana seharusnya menyelesaikan sengket a ant ara Pemerint ah Pusat dengan Pemerint ah Daerah melalui proporsi t eori penegakan hukum yang benar. Tanpa langkah ini maka ke depan j elas akan menyebabkan kesalahan f undamen-t al dalam penerapan hukum f ormal (hukum acara), bahkan menj adi keniscayaan unt uk di-selesaikan karena Perda mempunyai

4

Perda per da yang di bat al kan ol eh Pusat j uga di sebabkan ol eh Pembuat an Per da it u sendiri. Banyak dar i Per -da t ersebut di buat dengan semangat ot onomi -daerah yang t inggi dan berl ebihan sehingga menci pt akan aro-gansi kekuasaan Daerah yang menj ur us kepada kedau-l at an daer ah dan sebagai aki bat nya perda-perda t erse-but di buat t anpa memperhat ikan l agi berbagai per at u-ran perundang-undangan yang ada di pusat . Lihat dal am Saf ri Nugraha, “ Probl emat ika Dal am Penguj ian dan Pembat al an Per da Ol eh Pemeri nt ah Pusat” , Jur nal Hu-kum Bi sni s, Vol 23-No. 1-Tahun 2004. hl m. 29

5 Paj ak Ret r ibusi, Perat uran daerah Ber masal ah Tak

Berl aku, Kompas, Jumat , 24 Agust us 2012

6

(3)

kan dalam sist em hukum di Negara Republik In-donesia.7 Selanj ut nya dikat akan sebagai bukt i bahwa perda bagian dari sist em hukum di In-donesia, bisa dilihat dalam berbagai produk hukum mulai dari Tap MPR No III Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 t ent ang Pembent ukan Perat uran Perundang-undangan.8 Langkah-langkah unt uk mencari j alan keluar t erhadap persoalan t ersebut di at as adalah pe-nulis gambarkan pada bagan di bawah ini.

Permasalahan

Agar mendapat sebuah sist emat ika ber-pikir yang runt ut , maka penulis akan melaku-kan penelit ian ini dengan menyandarmelaku-kan 2 (dua) masalah. Per t ama, mengapa diperlukan ket epat an proporsi t eori penegakan hukum pada pembat alan Perda dalam sist em peradi-lan di Indonesia. Kedua, t eori apa yang t epat unt uk meluruskan penerapan t eori penegakan hukum pada pada pembat alan Perda dalam sist em peradilan di Indonesia.

Met ode Penelitian

Jenis penelit ian ini adalah yuridis empi-ris (empir i c l egal r esear ch). Lokasi yang diam-bil pada penelit ian ini adalah Pemerint ah Kot a Kabupat en Malang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kot a Malang, dan Depart emen Dalam Negeri. Dat a yang diperlukan dalam penelit ian ini adalah dat a primer dan dat a sekunder.

Pengumpulan dat a penelit ian akan dila-kukan dengan menggabungkan ant ara st udi do-kumen, observasi dan dept h i nt er view. Dengan menggabungkan t iga cara dalam pengumpulan dat a diharapkan akan memperoleh ket erang-an-ket erangan obyekt if realist is dari sumber dat a yang dit uj u. Obyekt ivit as dan kemurnian dat a akan sangat mempengaruhi validit as t e-muan dan pada akhirnya akan mempengaruhi kualit as hasil penelit ian. Mengingat sasaran da-t a bersif ada-t yuridis, maka analisis dada-t a dilakukan

7 Mar ia Fari da Indr art i S, 2010, “ Kedudukan Per at uran

Daer ah dal am sist em Hukum di Negara Republ ik Indo-nesi a” , Jur nal Legi sl asi Daer ah, DPRD` Provinsi Jat im, Edisi II Tahun 2010. hl m. 1

8

Ibi d hl m. 2

dengan analisis kualit at if dan hasilnya dipapar-kan dalam bent uk deskript if .

Pembahasan

Perlunya Ket epat an Proporsi Teori Penegakan Hukum pada Pembat alan Perda dalam Sist em Peradilan di Indonesia

Agar proporsi t eori penegakan hukum pada masalah ini menj adi t epat maka diperlu-kan sebuah rekonst ruksi t eori. Secara harf iah rekonst ruksi t eori adalah pengembalian sepert i semula, sedangkan menurut kamus Besar Baha-sa Indonesia (KBBI), t eori adalah: a). Pendapat yg didasarkan pada penelit ian dan penemuan, didukung oleh dat a dan argument asi; b). Pe-nyelidikan eksperiment al yg mampu menghasil-kan f akt a berdasarmenghasil-kan ilmu past i, logika, met o-dologi, argument asi; c). Asas dan hukum umum yang menj adi dasar suat u kesenian at au ilmu penget ahuan; d). Pendapat , cara, dan at uran unt uk melakukan sesuat u. Disi lain j uga diart i-kan sebagai sebuah sist em konsep abst rak yang mengindikasikan adanya hubungan diant ara konsep-konsep t ersebut yang membant u kit a memahami sebuah f enomena, sehingga bisa di-kat akan bahwa suat u t eori adalah suat u kerang-ka kerj a konsept ual unt uk mengat ur penget a-huan dan menyediakan suat u cet ak biru unt uk melakukan beberapa t indakan selanj ut nya.

Adapun dilihat dari sisi t at a hukum Indo-nesia t eori ilmu hukum bert uj uan unt uk men-j elaskan kemen-j adian-kemen-j adian dalam bidang hu-kum dan mencoba unt uk memberikan penilai-an. Menurut Radburch t ugas dari t eori hukum adalah membikin j elas nilainilai oleh post ulat -post ulat hukum sampai kepada dasar-dasar f ilsaf at yang paling dalam. Teori hukum meru-pakan kelanj ut an dari usaha unt uk mempela-j ari hukum posit if . Teori hukum menggunakan hukum posit if sebagai bahan kaj ian dengan t elaah f ilosof is sebagai salah sat u sarana ban-t uan unban-t uk menj elaskan ban-t enban-t ang hukum.9 Ada t iga kegunaan. Per t ama, menj elaskan, t eori hukum dilaksanakan dengan cara menaf sirkan sesuat u art i/ pengert ian, sesuat u syarat at au

9 ht t p: / / t ubiwit yu. t ypepad. com/ bl og/ 2010/ 02/ t

(4)

unsur sahnya suat u perist iwa hukum, dan hi-rarkhi kekuat an perat uran hukum). Kedua, menilai, t eori hukum digunakan unt uk menilai suat u perist iwa hukum. Ket i ga, memprediksi, t eori hukum digunakan unt uk membuat perki-raan t ent ang sesuat u yang akan t erj adi. Tuj u-an t eori hukum menurut Hu-ans Kelsen adalah sebagai berikut . Per t ama, t uj uan t eori hukum

adalah unt uk mengurangi kekacauan dan ke-maj emukan menj adi kesat uan. Kedua, t eori hukum merupakan ilmu penget ahuan menge-nai hukum yang berlaku, bukan mengenai hu-kum yang seharusnya. Ket i ga, hukum merupa-kan ilmu penget ahuan normat if , bukan ilmu alam. Keempat , t eori hukum sebagai t eori t ent ang norma-norma, t idak ada hubungannya dengan

Bagan 1: Desain Pencarian Ket epat an Proporsi Teori

Pembat alan Perda

Sist em peradilan Indonesia

Tidak mengenal Pembat alan Perda

Menyalahi t eori penegakan hukum

Alt ernat ive Penyelesaian

Menambah kewenangan baru Mahkamah Agung

Menj adi sengket a int ernal

Sist em peradilan Indonesia

Lit igasi Non Lit igasi

Mahkamah Agung

Judicial Preview

Eksekut if Review Penambahan

(5)

daya kerj a norma-norma hukum. Kel i ma, t eori hukum adalah f ormal, suat u t eori t ent ang cara menat a, mengubah isi dengan cara yang khu-sus. Keenam, hubungan ant ara t eori hukum dan sist em yang khas dari hukum posit if adalah hu-bungan apa yang mungkin dengan hukum yang ada.10

Dari beberapa pengert ian di at as maka melalui pendekat an hukum rekont ruksi t eori ini adalah bert uj uan unt uk mengembalikan t eo-ri penegakan hukum kepada kit ah yang sebe-narnya t erut ama kepada penyelesaian secara ideal persoalan kasus pembat alan perda oleh pemerint ah Pusat . Sebelum direkonst ruksi se-cara t eorit is pembat alan Perda oleh Pemerin-t ah PusaPemerin-t yang kemudian menimbulkan upaya keberat an melalui Mahkamah Agung oleh pene-lit i dalam penepene-lit ian sebelumnya digambarkan sebagai berikut :

10

W. Fr iedman, 1993. Teor i & Fi l saf at Hukum: Tel aah Kr i -t i s A-t as Teor i -Teor i Hukum (Susunan I), Judul Asl i : Le-gal Theor y, Penerj emah: Mohamad Ari f in, Cet akan Ke-dua, Jakart a: PTGraf indo Per sada, hl m. 170

Gambaran t ersebut t it ik krusial t eori ada pada peranan Mahkamah Agung unt uk menye-lesaikan persoalan ” keberat an” pemerint ah daerah ket ika perda dibat alkan oleh pemerin-t ah pusapemerin-t . Menurupemerin-t subpemerin-t ansi Pasal 10 UU No 4. Tahun 2004, t enyat a dalam sist em peradilan di Indonesia hanya mengenal adanya peradilan umum, Peradilan Agama, Peradilan Milit er, dan Peradilan Tat a Usaha Negara, maka seng-ket a at as keput usan pembat alan Perat uran Daerah, sebenarnya t idak t ermasuk dalam kompent ensi keempat lingkungan peradilan dimaksud.

Dikaj i sisi t eori kompet ensi sangat t erli-hat bahwa keberat an t erhadap pembat alan Perda oleh Pemerint ah Pusat yang dit angani Mahkamah Agung t idak pada t empat nya. Di-sinilah t empat t it ik pert emuan kesalahan pro-porsi t eori penegakan hukum. Sedangkan me-nurut Friedman beberapa unsur yang mempe-ngaruhi penegakan hukum adalah; st rukt ur, subst ansi dan kult ur.11

Dari 2 (dua) t eori t ersebut , maka peris-t iwa peris-t idak peris-t epaperis-t nya proporsi penegakan hukum pada masalah di at as adalah lebih banyak di-pengaruhi oleh f akt or st rukt urnya. St rukt ur hu-kum menyangkut aparat penegak huhu-kum kemu-dian mat eri hukum meliput i perangkat perun-dang-undangan, dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (l i vi ng l aw) yang dianut da-lam suat u masyarakat . Tent ang st rukt ur hukum Friedman menj elaskan

“ To begi n wi t h, t he legal syst em has t he st r uct ur e of a l egal syst em consi st of el ement s of t he ki nd, t he number and si -ze of cour t ; t hei r j ur i sdi ct i on. . . st r uc-t ur e. Al so means how uc-t he l egi sl auc-t ive i s or gani zed… what pr ocedur es he pol i ce depar t emen f ol l ow, and go on. St r uct ur e i n a way ki nd of cr oss sect i on of t he legal syst em. . . a ki nd of st i l l phot ogr aph, wi t h f r ee t he act i on“12

St rukt ur dari sist em hukum t erdiri unsur berikut ini, j umlah dan ukuran pengadilan, yu-risdiksinya (t ermasuk j enis kasus yang mereka periksa), dan t at a cara naik banding dari

11 Ibi d, hl m. 67

12 Lawrence M. Friedman, 1984 Amer i can Law, (New York:

(6)

adilan ke pengadilan lainnya. St rukt ur j uga ber-art i bagaimana badan legislat if dit at a, apa yang boleh dan t idak boleh dilakukan oleh Presiden, prosedur apa yang diikut i oleh Kepolisian dan sebagainya. Jadi st rukt ur hukum (Legal st r uc-t ur e) t erdiri dari lembaga hukum yang ada.

At as dasar it ulah maka f okus masalah ini ada pada f akt or kelembagaan khususnya ke-t idakke-t epake-t an MA menangani persoalan ini, ka-rena f akt or kelembagaan menempat i posisi pent ing maka keberadaannya sangat mempe-ngaruhi unsur-unsur penegakan yang lain. Ini di-karenakan sif at dari unsur-unsur yang mem-pengaruhi penegakan hukum adalah saling t er-kait ant ara sat u dengan yang lain. Sif at pene-gakan hukum yang sepert i ini, menj adikan hu-kum harus bisa bekerj a secara simult an de-ngan unsur-unsur lainnya. Rusaknya sat u unsur berakibat t idak berf ungsinya unsur-unsur yang lain.

Proses penegakan hukum dalam persoal-an pembat alpersoal-an perda berada pada ket ika ma-salah ini masuk pada ranah kekuasaan yudika-t if , khusus berada pada Mahkamah Agung. Hal ini dilat ar belakangi oleh Kewenangan Presi-den t ersebut diberikan oleh Pasal 145 UU No. 32 t ahun 2004 yang menegaskan bahwa Perda Disampaikan kepada pemerint ah paling lama 7 (t uj uh) hari set elah dit et apkan. Perda yang bert ent angan dengan kepent ingan umum dan/ at au perat uran perundang-undangan yang le-bih t inggi dapat dibat alkan oleh pemerint ah.13 Jika Pemerint ah Daerah t idak menyepakat i pembat alan Perda yang dilakukan oleh Peme-rint ah, maka PemePeme-rint ah Daerah dapat meng-aj ukan keberat an kepada Mahkamah Agung sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 145 Ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004. Selanj ut -nya, pada ket ent uan Pasal 145 Ayat (6), apa-bila keberat an t ersebut dikabulkan sebagian at au seluruhnya, maka put usan Mahkamah Agung menyat akan Perat uran Presiden yang membat alkan Perda bersangkut an menj adi ba-t al dan ba-t idak mempunyai kekuaba-t an hukum.14

13

Sel anj ut nya l ihat dal am Ni ’ mat ul Huda 2008. “ Probl e-mat ika Yuri di s Di Seput ar Pembat al an Per da” , Jur nal Konst i t usi , Vol . 5, Nomor1, Juni 2008, hl m. 50

14

Ibi d

Ket idakt epat annya ialah t erlet ak pada melakukan permohonan keberat an yang t elah dilakukan oleh pemerint ah daerah melalui me-kanisme pengaj uan keberat an kepada Mahka-mah Agung dalam hal upaya mempert ahankan Perda yang dianggapnya bert ent angan dengan kepent ingan umum dan/ at au perat uran perun-dang-undangan yang lebih t inggi. Padahal di sini j elas bahwa t erdapat ket idaksepahaman dalam menaf sirkan Perda ant ara pemerint ah pusat dengan pemerint ah daerah, yang art inya sengket a ini merupakan konf lik int ernal ekse-kut if yang seharusnya mekanisme penyelesai-annya t anpa melibat kan lembaga yudikat if (Mahkamah Agung), melainkan mekanisme pe-nambahan kewenangan kepada MA, mekanis-me Execut ive Review dan Judi ci al Pr evi ew yang lebih t epat unt uk menyelesaikannya.

Adanya kewenangan pemerint ah unt uk menguj i Perat uran Daerah hendaknya t idak akan menj adi j alan unt uk mewuj udkan suriorit as kekuasaan pemerint ah pusat at as pe-merint ah daerah dan hukum-hukum lokal yang diagregasi ke dalam Perat uran Daerah.15 Menu-rut Laica Marzuki, walaupun demikian perda t et ap t idak boleh meregulasi hak ikhwal yang menyimpang dari prinsip NKRI.16 Di sisi lain pe-nulis mengakui, apabila secara murni mengacu pada ket ent uan normat if hukum pada Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 Tent ang Pemerint ahan Daerah, bukanlah menj adi suat u permasalah-an, dikarenakan Pemerint ah Daerah merupakan bagian dari Pemerint ah Pusat at au berada di bawah Pemerint ah Pusat . Menurut Ni’ mat ul Hu-da Hu-dalam perspekt if negara kesat uan at au (uni t ar y st at e/eenhei dst aat) adalah logis unt uk mengembangkan pengert ian bahwa pemerin-t ahan apemerin-t asan berwenang melakukan konpemerin-t rol pemerin-t

15

Pemerint ahan Daer ah berhak menet apkan per at uran daer ah dan perat uran perat uran l ain unt uk mel aksana-kan ot onomi dan t ugas pembant uan. Per da adal ah at uran daer ah dal am art i mat er iil (Per da i n mat er i i l e zi n). Per da mengikat (l egal l y bi ndi ng) warga dan penduduk daer ah ot onom. Regul asi Perda merupakan bagi -an dari kegi at -an l egisl asi l okal dal am r -angka penyel eng-garaan pemerint ah daer ah, yang berkait an dengan ot o-nomi daerah dan t ugas pembant uan. Sel anj ut nya l ihat dal am Laica Marzuki, 2009. “ Pr insip-Pr insip Pemben-t ukan PeraPemben-t uran Daerah” , Jur nal Konst i t usi MKRI, Vol . 6 Nomor 4, November 2009, hl m. 2

16

(7)

hadap unit pemerint ahan bawahannya. Art i-nya, pemerint ah pusat dalam kont eks Negara kesat uan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 t ent u dapat dikat akan mempunyai kewe-nangan unt uk mengont rol unit -unit pemerint ah-an daerah provinsi at aupun peme-rint ahah-an daerah kabupat en dan kot a,17 sehingga Peme-rint ah Pusat j uga mempunyai kewenangan un-t uk menguj i dan membaun-t alkan peraun-t uran yang dibent uk oleh Pemerint ah Daerah. Penguj ian t erhadap suat u Perda yang dilakukan oleh Pe-merint ah Pusat adalah dalam rangka pengawas-an dpengawas-an pembinapengawas-an t erhadap Pemerint ahpengawas-an Dae-rah. Menurut Ni’ mat ul Huda Eksist ensi Perda akan diawasi secara represif oleh pemerint ah (eksekut i ve r evi ew) dan oleh Mahkamah Agung melalui j udi ci al r eview.18

Jika Pemerint ah Daerah bersama-sama DPRD menet apkan suat u Perda, maka Pemeri-nt ah Daerah waj ib menyerahkan Perda t er-sebut kepada Pemerint ah Pusat unt uk di eva-luasi. Dan j ika hasil evaluasi Pemerint ah mdapat kan bukt i bahwa Perda t ersebut bert en-t angan dengan kepenen-t ingan umum dan/ aen-t au bert ent angan dengan perat uran perundang-undangan yang lebih t inggi, maka Pemerint ah membat alkan Perda t ersebut dan unt uk se-lanj ut nya diserahkan kembali ke Pemerint ah Daerah bersangkut an agar bersama-sama DPRD mencabut Perda dimaksud.

Menurut Maria Farida, penguj ian t erha-dap Perda t idak dilakukan oleh Mahkamah A-gung. Menurut pakar ilmu perundang-undangan t ersebut , hal it u t erkait ket ent uan Pasal 145 ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 di mana kewe-nangan pembat alan (berart i t ermasuk j uga pe-nguj iannya) Perda hanya ada pada Presiden apabila Perda t ersebut bert ent angan dengan kepent ingan umum dan/ at au perat uran perun-dang-undangan yang lebih t inggi. Dengan de-mikian, wewenang MA t erkait pembat alan Per-da berPer-dasarkan Pasal 145 ayat (6) UU Nomor 32 Tahun 2004 t erbat as hanya menerima keberat -an t erhadap daerah y-ang t idak t erima pemba-t alan Perda oleh Pemerinpemba-t ah, dan pemba-t idak

17 Ni’ mat ul Huda. op. ci t hl m. 58 18

Ibi d hl m. 53

nang menguj i, apalagi membat alkannya. “ Jadi dia (MA) t idak membat alkan. Tet api kalau Per-da bert ent angan dengan yang lebih t inggi, ma-ka asasnya ia t idak bisa diberlakuma-kan, (ma-karena) t idak punya kekuat an hukum (lagi)” .19

Pada akhirnya, kompleksit as pembat alan t erhadap produk hukum daerah yang berben-t uk Peraberben-t uran Daerah (Perda) dan Peraberben-t uran Kepala Daerah maupun bent uk yang lainnya merupakan keniscayaan dalam mewuj udkan pe-ran dan f ungsi hukum dalam menopang proses pembangunan menuj u masyarakat yang adil dan sej aht era.20

Teori untuk Meluruskan Penerapan Teori Penegakan Hukum pada Pembat alan Perda

Beberapa j alan yang bisa dit empuh un-t uk mengaun-t asi masalah ini adalah dengan me-nambah kewenangan Mahkamah Agung, mela-kukan eksekut if review dan j udicial preview. Akar masalah dari penelit ian ini adalah me-t oda keberame-t an yang dilakukan pemda keme-t ika perdanya dibat alkan oleh pemerint ah pusat di Mahkamah Agung t ernyat a t idak dikenal da-lam sist em peradilan Indonesia. Sehingga posisi MA dalam masalah menj adi t idak t epat secara t eo-rit is.21 Penambahan wewenang22 dalam kont eks

19 Baj ongga Apriant o, 2006, Pr obl emat i ka Hukum Hak Uj i Mat er i i l dan For mi l Per at ur an Daer ah, Jakar t a: Ghal i a Indonesi a, hl m. 34

20 Jazim Hami di, Par adigma Bar u Pembent ukan dan

Ana-l isi s Perat uran Daerah (St udi At as Perda PeAna-l ayanan Pub-l ik dan Per da Ket erbukaan Inf or masi PubPub-l ik), ” Jur nal hukum No. 3 Vol . 18 Jul i 2011, hl m. 336 - 363

21 Wal aupun demikian perl u diakui bahwa l angkah ini

hanya semat a agar sampai t erj adi kekosongan hukum (Recht Vakum). Mengingat persoal an penyel esaianya t idak bisa di t unda-t unda l agi maka berdasarkan i us cur i a novi t maka l angkah MA ini sering di sebut dengan t erobosan hukum at as dasar di skr esi / f r ei es emmer sen. Langkah ini sej al an dengan pikiran Laica Marzuki yang menyat akan bahw a Per da yang menyi mpangi dar i hukum dapat set iap saat di baw akan ke MA dan pada ket ikanya Per da yang menyimpang dari hukum it u dapat dinyat akan t i dak mengikat secar a hukum ol eh MA. Lihat dal am Laica Marzuki, “ Hakekat Desent r al isasi dal am Sist em Ket at anegar aan RI” , Jur nal Konst i t usi, Vol . 4 No. 1 Maret 2007, hl m. 14.

22 Wewenang dal ah kekuasaan yang diber ikan at au ber

(8)

-penguat an kelembagaan bisa dibenarkan, apa-lagi ada pada sit uasi-sit uasi mendesak. Dengan ikht iar ini maka pilihannya hanya ada pada penambahan kelembagaan negara yang berupa peradilan konst it usi (Perda). Dalam sist em ke-t ake-t anegaraan Indonesia reske-t rukke-t urisasi organi-sasi lembaga negara adalah sesuat u yang diper-bolehkan oleh perat uran perundang-undangan. Langkah ini bisa j uga dengan mengurangi lem-baga negara besert a kekuasaan dan kewenang-annya. Dalam hal menambah lembaga negara maka harus didasarkan kebut uhan-kebut uhan konkrit .

Alasan mendesak adanya penambahan lembaga baru oleh MA ini adalah karena perda bermasalah sudah menj adi kenyat aan nasional yang perlu segera dicarikan j alan keluar khu-susnya dalam t at a laksana penyelesaian menu-rut sist em peradilan yang benar. Lembaga ne-gara berupa sist em peradilan konst it usi (baca: Perda) ini akan menj adi t empat yang akan me-nyelesaikan sengket a pembat alan perda oleh pemerint ah pusat . Dengan lahirnya lembaga ba-ru ini maka daerah akan lebih t erlindungi seca-ra hukum dari sikap represif pemerint ah pusat proses legalisasi berlakunya Perda.

Penambahan kewenangan MA unt uk mem-bent uk peradilan konst it usi (Perda) sangat be-sar unt uk bisa direalisasikan karena menurut cat at an sej arah munculnya peradilan di Indone-sia mulai dari t erbent uknya Peradilan Tat a Usha Negara t ahun 1986 Mahkamah Konst it usi t a-hun 2003 bisa t erwuj ud. Dengan demikian pe-nambahan kewenangan secara empiris memang dibenarkan oleh undang-undang. Hal ini j uga dit ekankan lebih lanj ut oleh Philipus Hadj on bahwa nant inya penggunaan wewenang peme-rint ahan harus berlandaskan pada hukum yang berlaku.23

Opt imalisasi Eksekutif Review

bl ik Indonesi a” , Jur nal Konst i t usi, Vol . 7 No. 3 Juni 2010, hl m. 14

23 Sel anj ut nya l ihat dal am Sl amet Suhart ono, “ Norma

Sa-mar (Vage Nor men) sebagai Dasar Hukum Pengambil an Keput usan Tat a Usaha Negara” , Jur nal Yust i si a FH Uni versit as Sebel as Maret Sur akart a, Edisi Nomor 79, Januar i-Apr il 2010, hl m. 94

Berbeda dengan j udicial review24, “ exe-cut i ve r evi ew” merupakan ist ilah yang diguna-kan oleh pakar-pakar hukum unt uk menyebut kewenangan pej abat at au badan administ rat if negara unt uk melakukan penguj ian t erhadap perat uran perundang-undangan. Ini berart i bah-wa penguj ian un-dang-undang t idak hanya oleh lembaga peradilan saj a melainkan j uga lemba-ga eksekut if . 25 Di dalam lit erat ur, t erdapat 3 (t iga) kat egori penguj ian perat uran perundang-undangan (dan perbuat an administ rasi negara). Per t ama, penguj ian oleh badan peradilan (j udi -ci al r evi ew); kedua, penguj ian oleh badan yang sif at nya polit ik (pol it i cal r eview); ket i ga, peng-uj ian oleh pej abat at au badan administ rasi ne-gara (execut ive r eview). Execut ive r eview ada-lah penguj ian Perat uran Daerah oleh Pemerin-t ah yang lahir dari kewenangan pemerinPemerin-t ah da-lam rangka pengawasan dan pembinaan Peme-rint ah Pusat t erhadap penyelenggaraan ot ono-mi Pemerint ahan Daerah. Eksekut if review me-rupakan bagian dari sist em pengawasan dalam penyelenggaraan Pemerint ahan daerah, khusus-nya pengawasan t erhadap produk legislasi dae-rah. Pengawasan produk legislasi daerah (Per-da) dilakukan agar mat eri muat an sebuah t uran Daerah t idak bert ent angan dengan Pera-t uran perundang-undangan yang lebih Pera-t inggi dan t idak bert ent a-ngan dengan kepent ingan umum.

Pengawasan t erhadap produk legislasi daerah t ersebut dalam beberapa Perat uran per-undang-undangan, ant ara lain: UU No. 32 Tahun 2004 t ent ang Pemerint ah daerah se-bagaimana diubah t erkahir dengan UU No 12 Tahun 2009

24

Sebagian pakar membedakan mengenai penggunaan ist il ah ‘ r evi ew’ yai t u ant ara j udi ci al r evi ew, t oet si ng-r echt dan dengan const i t ut i onal ng-r evi ew. Ist il ah t oet -si ngr echt yang art i harf iahnya adal ah hak uj i di gunakan unt uk penguj i an per undang-undangan secar a umum. Sehingga ist il ah t oet si ngr echt dapat digunakan dal am proses uj i perundang-undangan ol eh l embaga l egisl at i f (l egi sl at i ve r evi ew), eksekut if (execut i ve r evi ew) mau-pun l embaga yudikat i f (j udi ci al r evi ew). Sel anj ut nya l ihat dal am Pusat St udi Konst it usi Andal as, “ Perkem-bangan Penguj i an Perundang-undangan di Mahkamah Konst i t usi” , Jur nal Konst i t usi, Vol . 7 No. 6 Desember 2010, hl m. 149

25

(9)

t ent ang Perubahan kedua at as UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004 t ent ang Perimba-ngan KeuaPerimba-ngan Ant ara Pemerint ah pusat dan Pemerint ah daerah, UU No. 28 Tahun 2009 t ent ang Paj ak dan Ret ribusi Daerah, UU No. 12 Tahun 2011 t ent ang Pembent ukan Perat uran

Perundang-undangan. Selain undang-undang

yang disebut kan di at as, pengawasan t erhadap daerah j uga t ermuat di dalam Surat Edaran Mendagri Nomor 188. 34/ 1464/ SJ t ert anggal 30 April 2009 perihal t indak Lanj ut Pembat alan Perda. Di samping it u j uga ada pada Surat Edaran Mendagri No. 188. 34/ 393/ SJ t ert anggal 18 Pebruari 2008 perihal Penga-wasan Perda.

Pada dasarnya pengawasan yang dilaku-kan t ersebut t erbadi menj adi dua yait u pre-vent if dan represif . Pengawasan prepre-vent if di-lakukan pada saat produk legislasi masih ber-bent uk Rancangan Perat uran daerah, sedang-kan pengawasan represif dilakusedang-kan pada saat produk legislasi t elah dit et apkan sebagai Per-at uran daerah. Khusus di dalam pengawasan represif , proses pengawasan dapat beruj ung pada pembat alan Perat uran daerah yang di-t e-t apkan oleh Perae-t uran Presiden (pasal 145 ayae-t (3) UU No 32 Tahun 2004. Ke depan unt uk menghindari t erj adinya pembat alan perda oleh pemerint ah pusat maka kiranya perlu diopt i-malkan peranan pengawasan secara prevent if . Pengawasan prevent if dilakukan melalui eva-luasi oleh Mendagri t erhadap Ranperda Provinsi dan Oleh gubernur t erhadap Ranperda daerah Kabupat en/ Kot a meliput i; paj ak daerah, ret ri-busi daerah, anggaran dan pendapat an belanj a daerah, dan rencana umum t at a ruang.

Esensi t indakan prevent if dalam persoa-lan ini sebenarnya hanya dit uj ukan agar pro-duk legislasi daerah t et ap dalam kerangka sis-t em hukum nasional. Kalau semangasis-t preven-t if ipreven-t as preven-t erus preven-t erj aga maka preven-t idak akan ada perda bermasalah, apalagi sampai dibat alkan oleh pe-merint ah pusat . Opt imalisasi pengawasan pre-vent if ini j uga harus lebih menyent uh kalangan masyarakat . Hal ini gayung bersambut dengan semangat UU No. 12 t ahun 2011 t ent ang Pem-bent ukan Perat uran Perundang-undangan di mana peran masyarakat j uga diberi porsi yang sangat nyat a dalam pembuat an perat uran

dae-rah. Tidak mudah bagi bagi Pemerint ah unt uk dapat menerima kenyat aan bahwa sebenarnya UU No 12 Tahun 2011 hanya menganut sist em Judi ci al Review di dalam penguj ian Perat uran Perundang-undangan. Akan banyak alasan-ala-san yang akan diaj ukan unt uk mengingkari hal t ersebut sehingga pembat alan perda t et ap da-pat dilakukan oleh peme-rint ah pusat sehingga pusat t et ap memiliki kont rol t erhadap daerah. Walau bagaimanapun pengawasan adalah (t e-t ap) merupakan kegiae-t an yang dapae-t dikae-t ego-rikan sebagai campur t angan suat u ot orit as ke-pada ot orit as lainnya.26 Perubahan UU No 32 Tahun 2004 j uga harus segera dilakukan agar pengawasan prevent if daerah t idak hanya pada Ranperda t ent ang Paj ak, Ret ribusi, APBD, dan RTRW, t et api j uga unt uk semua Rancangan Perat uran Daerah dengan mat eri yang lain.

Judicial Preview

Secara yuridis konst it usional memang In-donesia t idak mengenal met ode j udicial pre-view. Negara lain yang mengenal adalah Mah-kamah Konst it usi Polandia dan Counsei l Cons-t i Cons-t uCons-t i onnel Prancis. MK Polandia memang unik, menganut Model Aust ria at au t he Kel senian Mo-del, yang punya kewenangan j udi ci al pr evi ew sekaligus j udi ci al r evi ew. Judi ci al pr eview ber-art i penguj ian konst it usionalnya bersif at a priori (ex ant e r evi ew) at au prevent if , yakni menguj i RUU yang sudah disahkan parlemen t et api belum diundangkan, kebalikan dari j udi -ci al r eview yang menguj i konst it usionalit as UU yang sudah berlaku. Sement ara, Counseil Cons-t iCons-t uCons-t ionnel Prancis selain diCons-t enCons-t ukan oleh UUD 1958 Prancis, memiliki kewenangan j udi ci al pr eview, dan bukan j udicial review, punya f ungsi yang bersif at konsult at if at au a pur el y consul t at i ve f unct i on. Counsei l Const i t ut i on-nel , berdasarkan Ar t i cles 16 UUD Prancis, bisa dimint ai pendapat (advi sor y opi nion) oleh pre-siden (kepala negara) t erkait hal-hal darurat .

Sudah lama mengakar dalam t ubuh De-wan Konst it usi Perancis mengenai pandangan bahwa undang-undang adalah bersif at suci dan t idak dapat diganggu gugat . Dewan ini

26

(10)

gap “ keramat ” , apalagi dipercayai bahwa un-dang-undang adalah perwuj udan dari keingin-an dkeingin-an pendapat masyarakat ; sehingga hkeingin-anya t erhadap rancangan undang-undang (RUU) saj a boleh dilakukan penguj ian; t idak unt uk un-undang-undangan disyahkan maka waj ib dipre-view dulu oleh inst ansi t ert ent u unt uk dicer-mat i lebih mendalam maksud dan t uj uannya. Sehingga subt ansi dari perat uran perundang-undangan yang t idak mencerminkan kepast ian, keadilan dan kemanf aat an j elas harus dirubah sampai t erpenuhinya hal t ersebut .27 Dengan ca-ra sepert i ini maka peca-rat uca-ran perundang-un-dangan yang mau disyahkan sudah bebas dari cacat norma dan dipast ikan dalam pelaksanaan-nya t idak menimbulkan masalah baik secara vert ikal maupun horisont al. Demikian j uga dengan ranperda kalau memakai inst rument ini j elas akan t erbebas dari ancaman pembat alan apalagi harus beracara di Mahkamah Agung.28

Dilihat dari posisinya maka Judi ci al Pr e-vi ew ini j uga merupakan bagian dari pengawas-an ypengawas-ang bersif at prevent if . Hal ini disebabkpengawas-an posisinya yang masih berada pada pra penge-sahan perat uran perundang-undangan. Kit a sa-ngat mendambakan langkah ini karena secara t egral Dar i Per at ur an Perundang-Undangan dal am Nega-ra Hukum RI ” , Jur nal Legi sl asi Daer ah Edi si I Januari - Apr il 2010, hl m. 12

t eorit is dan empiris upaya ini sangat mendekat i kebenaran khususnya set elah negara-negara lain sudah banyak menerapkannya. Di samping it u j uga unt uk menghindari t erj adinya hukum ad homi nem, yakni hukum yang ant ara lain t er-j adi ket ika dalam proses legislasi ada kelompok (baca: masyarakat ) yang disingkirkan at au t idak diikut sert akan dengan alasan yang t idak rasio-nal.29 Dengan demikian perat uran hukum it u (j uga) harus mampu meyakinkan masyarakat dari pada hanya sekadar memerint ah masyara-kat , ia harus mampu mempengaruhi kecenderu-ngan-kecenderungan kehendak masyarakat30.

(11)

memperhat ikan prinsip-prinsip keabsahan, prin-sip keabsahan ini akan t erkait dengan dua hal pent ing yait u kewenangan dan prosedur keber-lakuan hukum.34 Selain it u j uga harus menerap-kan asas kecermat an dan asas kehat i-hat ian se-hingga lebih menj amin sisi konst it usionalit as dan keasahihannya sebagai salah sat u produk hukum.35 Peningkat an peran perat uran daerah sebagai landasan pembangunan akan memberi j aminan bahwa agenda pembangunan berj alan dengan cara yang t erat ur.36 Dengan demikian Perda nant inya dapat mendukung secara siner-gis program-program pemerint ah di daerah.37

Penut up Simpulan

Beberapa simpulan yang dapat dipet ik dari pembahasan di at as adalah sebagai beri-kut . Per t ama, met oda keberat an oleh peme-rint ah daerah kepada Mahkamah Agung t erbuk-t i secara erbuk-t eorierbuk-t is erbuk-t idak dikenal dalam siserbuk-t em peradilan di Indonesia. Unt uk it u hal ini perlu diluruskan dengan menempat kan t eori penega-kan hukum khususnya pada unsur st rukt ur ke-lembagaannya, agar kewenangan yang dilaku-kannya menj adi benar dan proporsional. Kedua, perluasan t eori baru unt uk mengisi/ menyele-saikan problema regulasi ini adalah dengan memperkuat st rukt ur kelembagaan dengan me-nambahkan kewenangan Mahkamah Agung, se-dangkan pada t at aran t eknis diperlukan opt i-malisasi eksekut if r eview khususnya pada t in-dakan prevent if dan perlunya mencoba inst ru-men j udi ci al pr eview.

Saran

Ada dua saran yang dapat diberikan bkait an dengan pemecahan permasalahan t er-sebut di at as. Per t ama, perlu membenahi

34 Jiml y Asshiddi qi e, Op. ci t . hl m. 12

35 Romi , “ Kaj i an Terhadap Pr insip Keadil an Dal am

Pemungut an Paj ak di Indonesi a” Jur nal Medi a Hukum, Vol . 16 No. 2 Desember 2009, hl m. 243

36 Usman FH, “ Urgensi Program Legisl asi daerah Dal am

Pembent ukan Perat uran Perundang-undangan daerah dan Prospek Pengat urannya” , Jur nal Legi sl asi Daer ah Edisi III, Sept ember-Desember 2010, hl m. 59

3737 M. Sapt a Murt i, “ Harmonisasi Per at ur an daerah Dengan

Perat uran Perundang-Undangan Lainnya” , Jur nal Legi s-l asi Daer ah Edisi II, Mei-Agust us 2010, hl m. 23

st rukt ur kelembagaan dengan cara meninj au kembali UU No. 32 t ahun 2004 dan perat uran perundang-undang t erkait agar bias kewena-ngan segera t erat asi dekewena-ngan baik. Kedua, dari t iga t awaran yang ada ini kiranya opt imalisasi eksekut if review merupakan priorit as ut ama khususnya t erlibat nya peran masyarakat un-t uk ikut sert a mengawasi dalam pembuat an dan penerapan perdanya.

Daft ar Pust aka

Asshiddiqie, Jimly. “ Perat uran Daerah Sebagai Bagian Int egral Dari Perat uran Perun-dang-Undangan dalam Negara Hukum RI” . Jur nal Legi sl asi Daer ah. Edisi I Januari- April 2010. Jawa Timur: DPRD Provinsi; Aziz, Machmud. “ Penguj ian Perat uran

Perun-dang-undangan dalam sist em Perat uran Perundang-undangan Indonesia” . Jur nal Konst i t usi. Vol. 7 No. 5. Okt ober 2010. Jakart a: Mahkamah Konst it usi Republik Indonesia;

Binawan, Al Andang L. “ Merunut Logika Legis-lasi” . Jur nal Jent er a, Vol. 10. No. 3. Ok-t ober 2005. JakarOk-t a: PusaOk-t SOk-t udi Hukum Dan Kebij akan Indonesia;

Eddyono, Lut hf i Widagdo. Penyelesaian Seng-ket a Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konst it usi Republik Indone-sia” . Jur nal Konst i t usi. Vol. 7 No. 3. Juni 2010. Jakart a: Mahkamah Konst it usi Republik Indonesia;

Farida, Maria dalam Baj ongga Apriant o. 2006. Pr obl emat i ka Hukum Hak Uj i Mat er ii l dan For mi l Per at ur an Daer ah. Jakart a: Ghalia Indonesia;

Fat khurohman. “Pengaruh Ot onomi Daerah Ter-hadap Hubungan Pemda di bidang Regu-lasi Unt uk menangani Perda Bermasalah (St udi di Kabupat en Malang)” . Jur nal Hukum Yust i si a, Tahun XXI. Januari-April 2010. Surakart a: Fakult as Hu-kum UNS; FH, Usman. “ Urgensi Program Legislasi daerah

Dalam Pembent ukan Perat uran Perun-dang-undangan Daerah dan Prospek Pe-ngat urannya”. Jur nal Legisl asi Daer ah. Edisi III. Sept ember-Desember 2010. Jawa Timur: DPRD Provinsi;

(12)

Penerj emah: Mohamad Arif in. Cet akan Kedua. Jakart a: PTGraf indo Persada;

Hamidi, Jazim.“ Paradigma Baru Pembent ukan dan Analisis Perat uran Daerah1 (St udi At as Perda Pelayanan Publik dan Perda Ket erbukaan Inf ormasi Publik)” . Jur nal Hukum. Vol. 18. No. 3. JULI 2011. Sema-rang: Fakult as Hukum UNISSULA;

Huda, Ni’ mat ul. “ Problemat ika Yuridis Di Se-put ar Pembat alan Perda”. Jur nal Kons-t i Kons-t usi. Vol. 5 No. 1. Juni 2008. Jakart a: Mahkamah Konst it usi Republik Indonesia;

Indrart i, Maria Farida. “ Kedudukan Perat uran Daerah dalam sist em Hukum di Negara Republik Indonesia”. Jur nal Legi sl asi Daer ah. Edisi II Tahun 2010. Jawa Timur: DPRD` Provinsi;

Koeswahyono, Imam. ” Part isipasi Masyarakat dalam Proses Pembuat an Kebij akan Ne-gara Suat u Telaah Plurarisme Hukum” . Jur nal Ar ena Hukum. Nomor 3 Tahun 2 Januari 2009. Malang: Fakult as Hukum Universit as Brawij aya;

M, Arf an Faiz. ” Reposisi Lembaga Pendidikan Hukum dalam Proses Legislasi di Indo-nesia” . Jur nal Konst i t usi MKRI. Vol. 6 No. 2. Juli 2009. Jakart a: Mahkamah Kons-t iKons-t usi Republik Indonesia;

Marzuki, Laica. “ Hakekat Desent ralisasi dalam Sist em Ket at anegaraan RI”. Jur nal Kons-t i Kons-t usi. Vol. 4 No. 1. Maret 2007. Jakart a: Mahkamah Konst it usi Republik Indonesia; ---. “ Prinsip-Prinsip Pembent ukan Pera-t uran Daerah” . Jur nal Konst it usi. Vol. 6 No. 4. November 2009. Jakart a: Mahka-mah Konst it usi Republik Indonesia;

Muj ahidin, A M. “ Pemulihan Hukum Yang Ber-keadilan di Era Ref ormasi Menuj u Kese-j aht eraan Masyarakat ” . Jur nal Var i a Pe-r adi l an. No. 301 Desember 2010. Jakar-t a: Mahkamah Agung Republik Indonesia;

Murt i, M Sapt a. “ Harmonisasi Perat uran Dae-rah Dengan Perat uran

Perundang-Unda-ngan Lainnya”. Jur nal Legisl asi Daer ah. Edisi II. Mei-Agust us 2010. Jawa Timur: DPRD Provinsi;

Nugraha, Saf ri. “ Problemat ika dalam Penguj i-an di-an Pembat ali-an Perda Oleh Pemerin-t ah PusaPemerin-t” , Jur nal Hukum Bi sni s. Vol. 23. No. 1. Tahun 2004. Jakart a: Yayasan Pembangunan Hukum Bisni;

Pekuwali, Umbu Lily. “ Eksist ensi Perda dalam Mewuj udkan Kesej aht eraan Masyarakat ” . Jur nal Yust isi a. No. 79. Januari-April 2010. Surakart a: Fakult as Hukum UNS;

Purwant o. “ Konsep Pengembangan Pengat uran Sist em Pengawasan Pelaksanaan Jabat an Not aris Di Indonesia” . Jur nal Ri sal ah Hukum. Vol. 5 No. 2. Desember 2009. Samarinda: Fakult as Hukum Universit as Mulawarman;

Pusat St udi Konst it usi Andalas, “ Perkembangan Penguj ian Perundang-undangan di Mahka-mah Konst it usi” . Jur nal Konst it usi. Vol. 7 No. 6. Desember 2010. Jakar-t a: Mahkamah Konst it usi Republik Indo-nesia; Romi. “ Kaj ian Terhadap Prinsip Keadilan dalam Pemungut an Paj ak di Indonesia”. Jur nal Medi a Hukum. Vol. 16 No. 2. Desember 2009. Yogyakart a: Fakult as Hukum Uni-versit as Muhamadiyah Yogyakart a;

Sanusi, H M Arsyad. “ Keadilan Subt ant if dan Problemat ika Penegakannya” . Jur nal Va-r i a PeVa-r adi l an. No. 288 November 2009. Jakart a: Mahkamah Agung Republik In-donesia;

Sidhart a, B Arief . 2000. Waj ah Hukum di Er a Ref or masi : Kumpul an Kar ya Il mi ah Me-nyambut 70 Tahun Pr of . Dr . Sat j i pt o Ra-har dj o. Bandung: Cit ra Adit ya Bakt i;

Referensi

Dokumen terkait

Mohon ma’af bila terdapat kesalahan nama, alamat

Universitas Negeri

dosen pembimbing Muhammad Herlangga, Doranda, Siaturi, Lira Sutira, dan Therecia Simanjuntak yang selalu berbagi informasi, tempat bertukar pikiran, Kepada sahabat

Dalam konteks pembangunan ekonomi Jawa Barat yang memiliki struktur ekonomi berbasis Industri Pengolahan, sektor pertanian pun merupakan sektor yang sangat penting karena

[r]

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Pada bulan Januari 2016, jumlah pengaduan Network Incident sebanyak 304 dan mengalami peningkatan pada bulan Februari hingga 339,8% dengan jumlah pengaduan mencapai

Events adalah termasuk notasi utama dalam BPMN yang merepresentasikan sesuatu yang terjadi selama berjalannya proses yang dapat mempengaruhi alur proses. Events