• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna 3 Kitab Aqidah Ibnu Taimiyah: Wasithiyyah, Hamawiyah, Tadmuriyah (Asy- Syaikh Ibnu Baaz)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makna 3 Kitab Aqidah Ibnu Taimiyah: Wasithiyyah, Hamawiyah, Tadmuriyah (Asy- Syaikh Ibnu Baaz)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Makna 3 Kitab Aqidah Ibnu

Taimiyah:

Wasithiyyah,

Hamawiyah, Tadmuriyah

(Asy-Syaikh Ibnu Baaz)

Sebuah pertanyaan diajukan kepada Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah, “Wahai samahatus syaikh betapa seringnya kami mendengar tentang (kitab) Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, tetapi kami tidak tahu apa maknanya. Apakah yang dimaksud dengannya adalah aqidah yang benar atau apakah yang dimaksud dengannya? Mohon arahannya untuk pertanyaan kami ini dan kami merupakan sekumpulan para penuntut ilmu.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz menjawab, “‘Aqidah Al-Wasithiyyah merupakan kitab yang ditulis oleh Abul ‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah Al-Harrani yang dijuluki sebagai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan juga dijuluki sebagai Taqiyuddin. Beliau dilahirkan pada tahun 661 H dan wafat pada tahun 728 H. Beliau bagian dari para Imam mujtahid dan dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah, dan beliau bagian dari para Imam Ahlussunnah wal Jama’ah semoga Allah merahmati mereka semuanya.

Beliau memiliki karya tulis yang banyak, di antaranya ialah Minhajus Sunnah sebagai bantahan atas Mu’tazilah dan Syi’ah Rafidhah, juga kitab Iqthida’ Ash-Shirothol Mustaqim fii Mukhalafati Ashabil Jahim, juga kitab beliau ‘Aqidah Al-Wasithiyah.

Dinamakan dengan Al-Wasithiyah karena kitab ini ditulis untuk penduduk Wasith di negeri Iraq. Beliau menulisnya untuk mereka sehingga disebut Al-Wasitiyah. Beliau menulisnya kepada sekelompok orang yang bertanya kepada beliau dari penduduk daerah Wasith sehingga disebut Al-Wasithiyah.

Beliau juga memiliki tulisan lain dalam bidang ‘Aqidah yang diberi judul Al-Hamawiyah, beliau menulisnya untuk penduduk negeri Hamah di Syam.

Dan beliau juga punya kitab lain yang ketiga tentang Sifat Allah yang diberi judul At-Tadmuriyyah, beliau menulisnya untuk penduduk Tadmur di Syam.

(2)

Inilah sebab penamaan Wasithiyyah, dikarenakan ia merupakan kitab aqidah yang beliau tulis kepada penduduk wasith. Sedangkan Hamawiyah adalah aqidah yang beliau tulis kepada penduduk Hamah, dan Tadmuriyah kitab aqidah yang beliau tulis kepada penduduk Tadmur.

Ini merupakan tiga kitab yang agung pada kitab Ahlussunnah wal Jama’ah dan bermanfaat, kami wasiatkan agar membacanya dan mengambil faedah darinya. Sumber: Syabakah Al-Ajury

Download suara: disini

ADMIN WARISAN SALAF

7 Alasan Mengapa Syirik Menjadi

Dosa Besar yang Paling Besar

(Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Para pembaca rahimakumullah, menyekutukan Allah dalam peribadatan merupakan dosa besar yang paling besar, di dalam Islam ia diistilahkan dengan perbuatan syirik. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan syirik sebagai dosa yang tidak ada tandingannya, dimana pelakunya akan dikeluarkan dari bingkaian Islam dan akan menetap di dalam neraka selama-lamanya.

Di dalam Al-Qur’an berulang kali Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang hamba-Nya dari perbuatan ini. Bahkan larangan pertama di dalam Al-Qur’an ialah larangan dari perbuatan syirik. Allah berfirman di dalam surat Al-Baqarah (2:22),

َنﻮﻤَﻠﻌَﺗ ﻢُﺘْﻧاو اداَﺪْﻧا ﻪﻟ اﻮُﻠﻌﺠَﺗ ََﻓ “Maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan dalam

(3)

keadaan kalian mengetahui.”

Barangkali ada yang bertanya-tanya, mengapa syirik digolongkan menjadi dosa besar yang paling besar? Pertanyaan penting ini telah dijawab dengan detil oleh Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala dalam kitabnya At-Tauhid, pada halaman 10 beliau menyebutkan bahwasanya syirik adalah dosa yang paling besar. Kemudian beliau menyebutkan tujuh (7) alasannya,

Dikarenakan perbuatan syirik hakekatnya adalah menyerupakan makhluk 1.

dengan Sang Kholiq (Pencipta) dalam hal kekhususan peribadahan. Siapa saja yang menyekutukan Allah dengan suatu makhluq maka hakekatnya dia telah menyamakan antara keduanya. Tentu saja ini kezhaliman yang paling besar, Allah berfiman, “Sesungguhnya syirik adalah kezhaliman yang paling besar.” (QS Luqman:13), makna dzalim adalah meletakkan sesuatu tidak pada posisinya. Ketika seorang hamba beribadah kepada selain Allah berarti ia telah meletakkan peribadahan tidak pada tempatnya yang tepat.

Dosa syirik tidak akan mendapat ampunan Allah. Allah Ta’ala berfirman, 2.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” ( An-Nisa:48)

Allah mengharamkan Al-Jannah (surga) bagi pelaku kesyirikan, dan dia 3.

akan kekal berada di dalam neraka Jahannam. Allah Ta’ala berfirman, “ Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” ( Al-Maidah:72) Syirik menghapus segala amal kebaikan, Allah berfirman, “seandainya 4.

mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” ( Al-An’am:88), dalam ayat lain Allah berfirman, “dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar:65)

Pelaku kesyirikan halal darah dan hartanya (tentu saja bagi pemerintah 5.

kaum muslimin dan bukan kepada setiap individu muslim). Allah Ta’ala berfirman, “Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu

(4)

jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian.” ( At-Taubah:5), dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan LA ILAHA ILLALLAH, apabila mereka telah mengucapkannya maka darah dan harta mereka telah terlindungi dariku kecuali dengan haknya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Syirik merupakan dosa besar yang paling besar sebagaimana dikhabarkan 6.

oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Maukah aku beritakan kepada kalian dosa besar yang paling besar?” para shahabat menjawab, tentu wahai Rasulullah. Beliau mengatakan, “yaitu penyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” ( Al-Bukhari dan Muslim)

Syirik merupakan bentuk kekurangan dan aib yang telah Allah bersihkan 7.

diri-Nya darinya. Ketika seseorang berani memberikan sekutu bagi Allah padahal sekutu telah Allah tiadakan untuk dirinya, maka ini merupakan puncak perbuatan lancang dan durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Diringkas dari kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala (hal.10)

ADMIN WARISAN SALAF

Hukum Seputar Puasa Syawwal

(Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Hukum Seputar Puasa Enam Hari Syawwal Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala

Dari Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

(5)

ﺮﻫﺪﻟا مﺎﻴﺼﻛ نﺎﻛ لاﻮﺷ ﻦﻣ ﺖﺴﺑ ﻪﻌﺒﺗأ ﻢﺛ نﺎﻀﻣر مﺎﺻ ﻦﻣ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan (puasa) enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa selama setahun penuh.” (HR. Muslim)

Asy-Syaikh Menjelaskan, “Ini merupakan jenis lain dari jenis-jenis puasa sunnah, yaitu puasa enam hari di bulan syawwal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

Sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian

mengikutinya dengan puasa enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa selama setahun penuh.” Pada hadits ini terdapat keutamaan berpuasa enam hari dari bulan Syawwal, yaitu enam hari di bulan syawwal bagi orang yang telah berpuasa pada bulan ramadhan, ia menggabungkan antara dua kebaikan, yaitu (kebaikan) puasa ramadhan dan (kebaikan) puasa enam hari di bulan syawwal.

Maka dia seperti seorang yang berpuasa ad-dahr yakni satu tahun. Yang dimaksud dengan ad-dahr di sini ialah satu tahun. Dikarenakan satu kebaikan dilipatkan gandakan menjadi sepuluh kebaikan. Maka satu bulan ramadhan sama dengan sepuluh bulan, dan enam hari syawwal sama dengan dua bulan. Sehingga keseluruhannya dua belas bulan atau satu tahun. Maka orang yang berpuasa ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan syawwal akan mendapatkan pahala orang yang berpuasa satu tahun penuh. Ini merupakan keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan ucapan beliau “enam hari dari bulan syawwal” menunjukkan bolehnya berpuasa secara berurutan atau terputus-putus dalam satu bulan tersebut (syawwal). Boleh juga dilakukan di awal bulan, pertengahan bulan, atau di akhir bulan, ini berdasarkan sabda beliau “enam hari dari bulan syawwal”.

Sebagaimana pula hadits ini menunjukkan, bahwasanya bagi orang yang tidak berpuasa ramadhan maka tidak disyariatkan baginya berpuasa enam hari di bulan syawwal. Dikarenakan beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari dari bulan syawwal.” Sehingga orang yang tidak berpuasa ramadhan disebabkan udzur (alasan syar’i) maka tidak perlu puasa enam hari syawwal, bahkan ia harus bersegera berpuasa (membayar hutang puasa) ramadhan.

(6)

Demikian juga orang yang berbuka beberapa hari di bulan ramadhan karena udzur syar’i, maka tidak disyari’atkan baginya puasa enam hari syawwal hingga ia mengqadha’ sejumlah hari yang ia berbuka padanya di bulan ramadhan, setelah itu ia berpuasa enam hari syawwal jika masih tersisa, hal ini berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Lalu ia mengikutinya dengan (puasa) enam hari dari bulan syawwal” di sini beliau menyandingkan puasa enam hari syawwal dengan puasa bulan ramadhan sebelumnya. Jika ia memiliki hutang puasa ramadhan satu bulan penuh atau beberapa hari saja maka hendaknya ia mulai dengan yang wajib (yaitu mengqadha ramadhan), karena (mendahulukan) yang wajib lebih utama daripada yang sunnah.

Dan hukum puasa enam hari di bulan syawwal menurut jumhul ahlul ilmi, mereka menyatakan puasa enam hari di bulan syawwal adalah mustahab (sunnah), kecuali Imam Malik rahimahullah. Sesungguhnya beliau tidak berpandangan sunnahnya puasa enam hari syawwal, beliau menyatakan, khawatir manusia menganggapnya bagian dari ramadhan.’ Beliau ingin menutup celah agar orang-orang tidak menganggapnya termasuk dari puasa ramadhan.

Akan tetapi bagaimana pun, dalil lebih didahulukan ketimbang ro’yu (pendapat manusia). Sedangkan dalil menunjukkan sunnah. Dan ucapan Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentu saja lebih didahulukan di atas ucapan siapa pun.

Perkara ini tidak disepakati oleh Al-Imam Malik Rahimahullah (yakni sunnahnya puasa enam hari syawwal), dan Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah memberikan udzur bahwasanya dimungkinkan Al-Imam Malik belum sampai kepada beliau hadits ini, belum sampai kepada beliau hadits ini… na’am.

Diterjemahkan dari Syabakah Ajurry Download PDF Bahasa Arabnya di sini

(7)

Perbaiki Makananmu Pasti Doamu

Dikabulkan! (Syaikh Muhammad

Hadi)

Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali Hafizhahullahu Ta’ala ditanya, “Semoga Allah berbuat baik kepada anda dan memberkahi anda. Pertanyaanku adalah, apa saja sebab-sebab terkabulnya do’a? Dan apa yang dilakukan oleh seorang muslim apabila cobaan yang menimpanya bertambah berat?

Beliau menjawab, “Adapun sebab-sebab terkabulnya do’a ada banyak. Akan tetapi di antara yang paling penting adalah memperbaiki makanan. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

“ةﻮﻋﱠﺪﻟا بﺎﺠﻣ ﻦﺗ ﻚﻤﻌْﻄﻣ ﺐﻃا”

“Perbaikilah makananmu pasti engkau menjadi orang yang dikabulkan do’anya.” Dan beliau menyebutkan (kisah) seseorang yang mengadakan perjalanan yang panjang, kusut dan berdebu, lalu ia mengangkat tangannya ke arah langit sembari menyeru, “wahai Rabbku, wahai Rabbku” Sementara makanannya haram, minumannya haram, dibesarkan dari yang haram, bagaimana mungkin do’any dikabulkan!”

Beliau menyebutkan di dalam hadits ini beberapa sebab terkabulnya do’a. Walaupun demikian, do’a orang itu ditolak karena adanya penghalang:

Beliau menyebutkan safar (perjalanan), dan safar termasuk sebab 1.

terkabulnya do’a, seorang musafir do’anya akan dikabulkan.

Demikian juga kondisi kusut dan berdebu, karena kondisi ini merupakan 2.

cirinya orang yang merendah diri kepada Allah Jalla wa ‘ala, bukan cirinya orang yang angkuh.

Lalu dia mengangkat kedua tangannya ke arah langit, dia mengangkat 3.

tangannya, sementara Allah Maha Hayyiyun dan Maha Sittir, Allah malu kepada hamba-Nya apabila hamba itu mengangkat kedua tangannya lalu

(8)

Allah mengembalikannya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan). Orang tersebut mengangkat kedua tangannya dan mengangkat kedua tangan merupakan sebab terkabulnya do’a.

Kemudian dia meminta dengan merengek kepada Allah “Wahai Rabbku 4.

wahai Rabbku” ini merupakan sebab keempat terkabulnya do’a. Dia menampakkan kebutuhannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Walaupun demikian, do’anya tetap tidak dikabulkan, padahal ada sebab-sebab (terkabulnya do’a) yang telah disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, mengapa? Karena makanannya haram, pakaiannya haram, ia dibesarkan dari sesuatu yang haram. Bagaimana mungkin do’anya akan dikabulkan?! Maka atas dasar ini, hadits ini menunjukkan bahwasanya memperbaiki makanan dan pakaian merupakan sebab dikabulkannya do’a, dan makanan dan pakaian yang jelek termasuk perkara yang menghalangi terkabulnya do’a –semoga Allah memelihara kami dan kalian dari perkara tersebut-.

Sebab-sebab terkabulnya do’a amat banyak, hanyasaja perkara ini merupakan di antara yang paling tampak. Barangkali anakku sang penanya bisa merujuk kepada kitab-kitab yang membahas tentang ini.

Diterjemahkan dari: http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=43395 Rekaman Suara bisa didownload di sini:

http://ar.miraath.net/fatwah/11195 =============

Adab Berdo’a Lainnya bisa dibaca dilink berikut:

Pentingnya Merengek di Dalam Berdo’a

(9)

Petikan Faedah dari Syarah

Qowa’idul Arba’ Syaikh Shalih

Al-Fauzan, Bag-3

Kaedah Ke 3 Bagian 1 ﺪﺒﻌﻳ ﻦﻣ ﻢﻬﻨﻣ ﻢﻬﺗادﺎﺒﻋ ﻓ ﻦﻴﻗﺮﻔﺘﻣ ٍسﺎﻧا ﻠﻋ ﺮﻬﻇ ‐ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻟا ﻠﺻ‐ ﺒﻨﻟا ّنأ :ﺔﺜﻟﺎﺜﻟا ةﺪﻋﺎﻘﻟاو ﺲﻤﺸﻟا ﺪﺒﻌﻳ ﻦﻣ ﻢﻬﻨﻣو ،رﺎﺠﺷﻷاو رﺎﺠﺣﻷا ﺪﺒﻌﻳ ﻦﻣ ﻢﻬﻨﻣو ،ﻦﻴﺤﻟﺎﺼﻟاو ءﺎﻴﺒﻧﻷا ﺪﺒﻌﻳ ﻦﻣ ﻢﻬﻨﻣو ،ﺔﺋﻼﻤﻟا ﻢﻬﻨﻴﺑ قِﺮﻔﻳ ﻢﻟو ‐ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻟا ﻠﺻ‐ ﻪﻟا لﻮﺳر ﻢﻬﻠﺗﺎﻗو .ﺮﻤﻘﻟاو. 193:ةﺮﻘﺒﻟا] {ﻪﻟ ﻦﻳِّﺪﻟا َنﻮﻳو ٌﺔَﻨْﺘﻓ َنﻮَﺗ  ﱠﺘﺣ ﻢﻫﻮُﻠﺗﺎَﻗو} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ ﻪﻟﻮﻗ ﻞﻴﻟﺪﻟاو] . و ِﺲﻤﱠﺸﻠﻟ اوُﺪﺠﺴَﺗ  ﺮﻤَﻘْﻟاو ﺲﻤﱠﺸﻟاو رﺎﻬﱠﻨﻟاو ﻞﻴﱠﻠﻟا ﻪﺗﺎﻳآ ﻦﻣو} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ ﻪﻟﻮﻗ ﺮﻤﻘﻟاو ﺲﻤﺸﻟا ﻞﻴﻟد 37:ﺖﻠﺼﻓ] {ِﺮﻤَﻘْﻠﻟ] . 80:ناﺮﻤﻋ لآ] {ﺎﺑﺎﺑرا ﻦﻴِﻴِﺒﱠﻨﻟاو َﺔﺋَﻤْﻟا اوُﺬﺨﱠﺘَﺗ ْنا ﻢﻛﺮﻣﺎﻳ و} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ ﻪﻟﻮﻗ ﺔﺋﻼﻤﻟا ﻞﻴﻟدو] . ﻦﻴﻬَﻟا ﻣاو ﻧوُﺬﺨﱠﺗا ِسﺎﱠﻨﻠﻟ ﺖْﻠُﻗ ﺖﻧاا ﻢﻳﺮﻣ ﻦﺑا ﺴﻴﻋ ﺎﻳ ﻪﻟا لﺎَﻗ ْذاو} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ ﻪﻟﻮﻗ ءﺎﻴﺒﻧﻷا ﻞﻴﻟدو ﺴْﻔَﻧ ﻓ ﺎﻣ ﻢَﻠﻌَﺗ ﻪَﺘﻤﻠﻋ ْﺪَﻘَﻓ ﻪُﺘْﻠُﻗ ﺖﻨﻛ ْنا ﻖﺤِﺑ ﻟ ﺲﻴَﻟ ﺎﻣ لﻮُﻗا ْنا ﻟ ُنﻮﻳ ﺎﻣ َﻚَﻧﺎﺤﺒﺳ لﺎَﻗ ﻪﻟا ِنود ﻦﻣ 116:ةﺪﺋﺎﻤﻟا] {ِبﻮﻴُﻐْﻟا مﱠﻋ ﺖْﻧا َﻚﱠﻧا َﻚﺴْﻔَﻧ ﻓ ﺎﻣ ﻢَﻠﻋا و] . َنﻮﺟﺮﻳو بﺮْﻗا ﻢﻬﻳا َﺔَﻠﻴﺳﻮْﻟا ﻢِﻬِﺑر َﻟا َنﻮُﻐَﺘﺒﻳ َنﻮﻋْﺪﻳ ﻦﻳِﺬﱠﻟا َﻚﺌَﻟوا} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ ﻪﻟﻮﻗ ﻦﻴﺤﻟﺎﺼﻟا ﻞﻴﻟدو 57:ءاﺮﺳﻹا] {ﻪﺑاَﺬﻋ َنﻮُﻓﺎَﺨﻳو ﻪَﺘﻤﺣر] . . [20-19:ﻢﺠﻨﻟا] {ىﺮْﺧا َﺔَﺜﻟﺎﱠﺜﻟا َةﺎَﻨﻣو ،ىﺰﻌْﻟاو تﱠﻟا ﻢُﺘﻳاﺮَﻓا} :ﻟﺎﻌﺗ ﻪﻟﻮﻗ رﺎﺠﺷﻷاو رﺎﺠﺣﻷا ﻞﻴﻟدو ﻦﻴﻨﺣ ﻟإ ‐ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻟا ﻠﺻ‐ ﺒﻨﻟا ﻊﻣ ﺎﻨﺟﺮﺧ“ :لﺎﻗ ‐ﻪﻨﻋ ﻪﻟا ﺿر‐ ﺜﻴﻠﻟا ٍﺪﻗاو ﺑأ ﺚﻳﺪﺣو ،طاﻮﻧأ تاذ :ﺎﻬﻟ لﺎﻘﻳ ﻢﻬﺘﺤﻠﺳأ ﺎﻬﺑ نﻮﻃﻮﻨﻳو ﺎﻫﺪﻨﻋ نﻮﻔﻌﻳ ةرﺪﺳ ﻦﻴﻛﺮﺸﻤﻠﻟو ،ﺮﻔﺑ ٍﺪﻬﻋ ءﺎﺛﺪﺣ ﻦﺤﻧو 1) ﺚﻳﺪﺤﻟا ” … طاﻮﻧأ تاذ ﻢﻬﻟ ﺎﻤﻛ طاﻮﻧأ تاذ ﺎﻨﻟ ﻞﻌﺟا ﻪﻟا لﻮﺳر ﺎﻳ :ﺎﻨﻠﻘﻓ ةرﺪﺴﺑ ﺎﻧرﺮﻤﻓ) . FAEDAH:

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diutus kepada manusia yang menyetukukan Allah. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat, matahari dan bulan, berhala, bebatuan, dan pohon, dan ada juga yang menyembah orang shalih. Ini sebagai dalil yang menunjukkan

(10)

jeleknya perbuatan syirik, dimana pelakunya berpecah belah dalam hal ibadah. Berbeda dengan ahli tauhid yang memiliki sesembahan yang satu, {39 :ﻒﺳﻮﻳ] {ﺎﻫﻮﻤُﺘﻴﻤﺳ ءﺎﻤﺳا ﻻا ﻪﻧود ﻦﻣ َنوُﺪﺒﻌَﺗ ﺎﻣ ،رﺎﻬَﻘْﻟا ُﺪﺣاﻮْﻟا ﻪﻟا ما ﺮﻴَﺧ َنﻮُﻗِﺮَﻔَﺘﻣ بﺎﺑراء] “Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf:39)

Perpecahan yang dilakukan oleh ahlu syirik disebabkan mereka berjalan di atas hawa nafsu dan arahannya orang-orang sesat.

Perumpamaan orang-orang yang berbidah kepada Allah semata dan kaum musyrikin, seperti seorang budak yang dimiliki oleh satu orang dan budak yang dimiliki oleh beberapa orang secara bersamaan. Tentu saja yang dimiliki satu orang lebih merasa tentram dan lebih mengerti apa yang harus dia lakukan. Sedangkan yang dimiliki oleh beberapa orang akan kebingungan, dimana masing-masing pemilik memiliki keinginan dan tuntutan yang berbeda. Allah berfirman, “Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” ( Az-Zumar:29)

Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang memerangi semua manusia yang berbidah kepada selain Allah, dari watsaniyyun (penyembah berhala), Yahudi dan Nashara (penyembah Nabi), majusi (penyembah api), penyembah malaikat, dan penyembah para wali, ini sebagai bantahan terhadap orang-orang yang mengatakan, “Penyembah berhala (batu, pohon, Dan benda mati) tidak sama dengan yang menyembah orang shalih dan malaikat.”

Dengan anggapan ini mereka menginginkan bahwa orang-orang yang menyembah kuburan (orang shalih atau wali) hukumnya berbeda dengan para penyembah berhala. Tidak boleh dikafirkan, dan perbuatan tersebut tidak tergolong kesyirikan, sehingga tidak boleh diperangi.

Jawabnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak membeda-bedakan di antara mereka. Bahkan beliau menganggap mereka semua ahli syirik. Beliau menghalalkan darah dan harta mereka. Orang Nashara yang menyembah

(11)

Al-Masih (Nabi) diperangi, Yahudi yang menyembah Uzair (Nabi atau orang shalih) diperangi

Bersambung, insya Allah…

Petikan Faedah dari Syarah

Qowa’idul Arba’ Syaikh Shalih

Al-Fauzan, Bag-2

PETIKAN FAEDAH DARI SYARAH AL-QOWA’IDUL ARBA’ Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

(Kaedah Ke 2) ‐ ﻪﻟﻮﻗ ﺔﺑﺮُﻘﻟا ﻞﻴﻟﺪﻓ ،ﺔﻋﺎﻔﺸﻟاو ﺔﺑﺮُﻘﻟا ﺐﻠﻄﻟ ﻻإ ﻢﻬﻴﻟإ ﺎﻨﻬﺟﻮﺗو ﻢﻫﺎﻧﻮﻋد ﺎﻣ :نﻮﻟﻮﻘﻳ ﻢﻬّﻧأ :ﺔﻴﻧﺎﺜﻟا ةﺪﻋﺎﻘﻟا ﺎﻣ ﻓ ﻢﻬَﻨﻴﺑ ﻢﺤﻳ ﻪﻟا ﱠنا َﻔْﻟُز ﻪﻟا َﻟا ﺎَﻧﻮﺑِﺮَﻘﻴﻟ ا ﻢﻫُﺪﺒﻌَﻧ ﺎﻣ ءﺎﻴﻟوا ﻪﻧود ﻦﻣ اوُﺬَﺨﱠﺗا ﻦﻳِﺬﱠﻟاو} :‐ﻟﺎﻌﺗ 3:ﺮﻣﺰﻟا] {رﺎﱠﻔﻛ بِذﺎﻛ ﻮﻫ ﻦﻣ يِﺪﻬﻳ  ﻪﻟا ﱠنا َنﻮُﻔﻠَﺘْﺨﻳ ﻪﻴﻓ ﻢﻫ] . ﺎَﻧوﺎﻌَﻔُﺷ ءﻮﻫ َنﻮُﻟﻮُﻘﻳو ﻢﻬﻌَﻔْﻨﻳ و ﻢﻫﺮﻀﻳ  ﺎﻣ ﻪﻟا ِنود ﻦﻣ َنوُﺪﺒﻌﻳو} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ ﻪﻟﻮﻗ ﺔﻋﺎﻔﺸﻟا ﻞﻴﻟدو :ﺔﺘﺒﺜﻣ ﺔﻋﺎﻔﺷو ﺔﻴﻔﻨﻣ ﺔﻋﺎﻔﺷ :نﺎﺘﻋﺎﻔﺷ ﺔﻋﺎﻔﺸﻟاو ، [18:ﺲﻧﻮﻳ] {ﻪﻟا َﺪْﻨﻋ ﺎﻬﻳا ﺎﻳ} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ ﻪﻟﻮﻗ :ﻞﻴﻟﺪﻟاو ،ﻪﻟا ﻻإ ﻪﻴﻠﻋ رﺪﻘﻳ ﻻ ﺎﻤﻴﻓ ﻪﻟا ﺮﻴﻏ ﻦﻣ ﺐﻠﻄٌﺗ ﺖﻧﺎﻛ ﺎﻣ ﺔﻴﻔﻨﻤﻟا ﺔﻋﺎﻔﺸﻟﺎﻓ ﻢﻫ َنوﺮﻓﺎْﻟاو ٌﺔﻋﺎَﻔَﺷ و ٌﺔﱠﻠُﺧ و ﻪﻴﻓ ﻊﻴﺑ  مﻮﻳ ﺗﺎﻳ ْنا ﻞﺒَﻗ ﻦﻣ ﻢﻛﺎَﻨْﻗَزر ﺎﻤﻣ اﻮُﻘﻔﻧا اﻮُﻨﻣآ ﻦﻳِﺬﱠﻟا . [254:ةﺮﻘﺒﻟا] {َنﻮﻤﻟﺎﱠﻈﻟا ﻪﻟﻮﻗ ﻪﻟا ﺿر ﻦﻣ :ﻪﻟ عﻮﻔﺸﻤﻟاو ،ﺔﻋﺎﻔﺸﻟﺎﺑ مﺮﻣ ﻊﻓﺎّﺸﻟاو ،ﻪﻟا ﻦﻣ ﺐﻠﻄُﺗ ﺘﻟا :ﻫ ﺔﺘﺒﺜﻤﻟا ﺔﻋﺎﻔﺸﻟاو 255:ةﺮﻘﺒﻟا] {ﻪﻧْذﺎِﺑ ا هَﺪْﻨﻋ ﻊَﻔْﺸﻳ يِﺬﱠﻟا اَذ ﻦﻣ} :‐ﻟﺎﻌﺗ‐ لﺎﻗ ﺎﻤﻛ نذﻹا ﺪﻌﺑ ﻪﻠﻤﻋو] . Kaedah Kedua: Mereka berkata: “Kami tidak berdo’a kepada mereka (orang-orang shalih yang telah meninggal) dan mengharap kepada mereka kecuali agar

(12)

kami bisa dekat dengan Allah dan agar mereka bisa memberikan syafa’at kepada kami.” Dalil (bahwa tujuan mereka) untuk mendekatkan diri ialah firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami

tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar:3)

Dan dalil (bahwa tujuan mereka) untuk (meminta) syafa’at ialah firman Allah

Ta’ala, “Mereka menyembah tuhan-tuhan dari selain Allah yang tidak dapat

memberikan musibah dan mendatangkan manfaat kepada mereka. Dan mereka berkata, mereka ini adalah para pemberi syafa’at kami di sini Allah.” ( Yunus:18) Syafa’at terbagi menjadi dua: Syafa’at Manfiyyah yaitu syafa’at yang diminta dari selain Allah dalam hal yang tidak dimampui kecuali Allah. Dalilnya ialah firman

Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah)

sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at. dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah:256)

Dan syafa’at mutsbatah yaitu syafa’at yang diminta dari Allah. Pemberi syafa’at dimuliakan dengan syafa’at tersebut, dan yang diberi syafa’at adalah orang yang diridhai Allah baik ucapan dan perbuatannya setelah mendapat izin (dari Allah). Sebagaimana firman Allah Ta’aa, “Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah

tanpa izin-Nya” (QS. Al-Baqarah:255)

Faedah:

Sesungguhnya kaum musyrikin yang telah dijamin kekal di dalam neraka oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah menyekutukan Allah dalam tauhid uluhiyyah bukan tauhid rububiyyah. Mereka tidak pernah menyatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bisa menciptakan dan memberi rejeki bersama Allah. Mereka juga tidak pernah meyakini bahwa tuhan-tuhan mereka dapat memberi manfaat atau menolak musibah dan mengatur alam semesta bersama Allah.

Kaum musyrikin menyembah tuhan-tuhan mereka dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Agar tuhan-tuhan tersebut yang

(13)

merupakan orang shalih dapat memberikan syafa’at bagi mereka. Hal ini sebagaimana yang Allah nyatakan, “Mereka menyembah tuhan-tuhan dari selain Allah yang tidak dapat memberikan musibah dan mendatangkan manfaat kepada mereka. Dan mereka berkata, mereka ini adalah para pemberi syafa’at kami di sini Allah.” ( Yunus:18) Dan maksud pemberi syafa’at di sini ialah, penengah yang akan menyampaikan kebutuhan mereka kepada Allah.

Kaum musyrikin ketika memberikan sesajian berupa sembelihan, atau ketika bernazar bukan dikarenakan mereka meyakini bahwa tuhan-tuhan tersebut dapat menciptakan dan mengatur alam semesta, tapi karena semata-mata tuhan tersebut yang menyampaikan kebutuhan mereka kepada Allah dan memberi syafa’at bagi mereka.

Oleh karena itu ketika anda mencoba berdiskusi dengan Kuburiyyun, mereka pasti akan menjawab dengan jawaban yang persis seperti di atas, “Aku tahu bahwa orang shalih ini tidak dapat memberi manfaat dan mudharat. Akan tetapi dia adalah orang shalih, dan aku hanya ingin agar ia memberikan syafa’at bagiku.”

Syafa’at ada yang benar dan ada yang bathil. Syafa’at yang benar ialah yang terpenuhi dua syarat:

Pertama: Harus seijin Allah.

Kedua: Yang diberi syafa’at adalah orang-orang yang bertauhid, maksudnya orang bertauhid yang berbuat maksiat .

Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi maka syafa’at tersebut adalah batil.

Allah berfirman,

{ﻪﻧْذﺎِﺑ ﻻا هَﺪْﻨﻋ ﻊَﻔْﺸﻳ يِﺬﱠﻟا اَذ ﻦﻣ} “Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya” (QS. Al-Baqarah:255)

{ﻀَﺗرا ﻦﻤﻟ ا َنﻮﻌَﻔْﺸﻳ و} “Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (QS. Al-Anbiyah:28)

(14)

Orang-orang kafir dan musyrikin tidak bermanfaat bagi mereka syafa’atnya para pemberi syafa’at. Allah berfirman, “Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya.” ( Ghafir: 18)

Mereka hanya mendengar tentang syafa’at tanpa memahami maknanya. Dengan santainya mereka meminta syafa’at dari orang-orang yang telah meninggal tanpa seijin Allah. Parahnya, sebagian orang yang mereka mintai syafa’at adalah musyrik (pelaku kesyirikan, bukan orang shalih). Syafa’at ada dua:

Pertama: Syafa’at Manfiyyah (Syafa’at yang ditiadakan), yaitu syafa’at tanpa seijin Allah atau ditujukan kepada orang musyrik. Tidak ada orang yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah kecuali yang diberi izin. Sebagai makhluk termulia sekaligus penutup para Nabi yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika hendak memberi syafa’at kepada manusia di padang mahsyar pada hari kiamat, beliau terlebih dahulu bersujud di hadapan Allah sembari berdo’a dan memuji-Nya. Beliau tidak henti-hentinya bersujud hingga dikatakan kepada beliau, “Angkat kepalamu, bicaralah engkau akan didengar, berilah syafa’at engkau akan diizinkan memberi syafa’at.”

Kedua: Syafa’at Mutsbatah (Syafa’at yang ditetapkan), yaitu syafa’at setelah izin dari Allah dan diperuntukkan bagi ahli tauhid.

Petikan Faedah dari Syarah

Qowa’idul Arba’ Syaikh Shalih

Al-Fauzan, Bag-1

PETIKAN FAEDAH DARI SYARAH AL-QOWA’IDUL ARBA’

(15)

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala

‐ ﻪﻟا ّنﺄﺑ نوﺮﻘﻣ ‐ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻟا ﻠﺻ‐ ﻪﻟا لﻮﺳر ﻢﻬﻠﺗﺎﻗ ﻦﻳﺬﻟا رﺎّﻔﻟا ّنأ ﻢﻠﻌﺗ نأ :ﻟوﻷا ةﺪﻋﺎﻘﻟا ﻦﻣ ﻢُﻗُزﺮﻳ ﻦﻣ ﻞُﻗ} :ﻟﺎﻌﺗ ﻪﻟﻮﻗ :ﻞﻴﻟﺪﻟاو ،مﻼﺳﻹا ﻓ ﻢﻬْﻠﺧْﺪﻳ ﻢﻟ ﻚﻟذ ّنأو ،ﺮِﺑﺪﻤﻟا ﻖﻟﺎﺨﻟا ﻮﻫ ‐لﺎﻌﺗ ﻦﻣو ﺤْﻟا ﻦﻣ ﺖِﻴﻤْﻟا جِﺮْﺨﻳو ِﺖِﻴﻤْﻟا ﻦﻣ ﺤْﻟا جِﺮْﺨﻳ ﻦﻣو رﺎﺼﺑاو ﻊﻤﺴﻟا ُﻚﻠﻤﻳ ﻦﻣا ِضراو ءﺎﻤﺴﻟا 31:ﺲﻧﻮﻳ] {َنﻮُﻘﱠﺘَﺗ ََﻓا ﻞُﻘَﻓ ﻪﻟا َنﻮُﻟﻮُﻘﻴﺴَﻓ ﺮﻣا ﺮِﺑَﺪﻳ] Kaedah Pertama: Hendaknya engkau mengetahui, bahwasanya orang-orang kafir yang diperangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam

mereka mengakui bahwasanya Allah adalah Pencipta dan Pengatur (alam

semesta). Dan bahwasanya hal tersebut tidak dapat memasukkan mereka ke dalam Islam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus:31)

FAEDAH:

Bahwasanya mengakui tauhid Rububiyah semata tidak lantas memasukkan seseorang ke dalam Islam. Karena dahulu orang-orang yang diperangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengakui tauhid Rububiyyah. Tapi nyatanya tidak memasukkan mereka ke dalam Islam, dan tidak membuat darah mereka haram ditumpahkan.

Hal tersebut menunjukkan bahwasanya tauhid dan syirik tidak hanya pada Rububiyah saja. Bahkan tidak ada yang menyekutukan Allah dalam perkara Rububiyyah kecuali segelintir manusia. Seluruh umat mengakui tauhid Rububiyah. Tauhid Rububiyyah yang dimaksud di sini ialah, “Mengakui bahwa Allah adalah Pencipta, Pemberi rejeki, Menghidupkan dan Mematikan, dan Mengatur seluruh makhluk.” Hampir tidak didapati seorang pun yang meyakini adanya Pencipta, Pemberi Rejeki, dan Pengatur seluruh Makhluk bersama Allah. Bahkan kaum musyrikin yang diperangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sekalipun mengakui hal ini.

(16)

bukanlah tauhid rububiyyah.

Hanya meyakini tauhid rububiyyah tidak akan bermanfaat bagi pelakunya. Karena kaum musyrikin dahulu juga mengakuinya, tapi tidak dapat mengeluarkan mereka dari kekufuran dan memasukkan ke dalam Islam. Kesalahan besar ketika memaknakan tauhid hanya dalam hal rububiyah. Sebagaimana dilakukan oleh ulama’ ahli kalam di dalam kitab-kitab mereka. barangsiapa yang meyakini hal ini, maka ia akan senantiasa berada di atas keyakinannya Abu Jahal dan Abu Lahab.

Barangsiapa mengatakan, “Bahwasanya kesyirikan ialah ketika seseorang meyakini ada Pencipta dan Pemberi rejeki lain bersama Allah.” Maka ia sama dengan Abu Jahal dan Abu Lahab.

Diringkas Oleh: Admin Warisan Salaf Insya Allah akan bersambung kepada Qo’idah Kedua.

HAKEKAT ILMU SYAR’I DAN

PEMAHAMAN MANUSIA YANG

KELIRU TENTANGNYA (SYAIKH

ALI NASHIR AL-FAQIHI)

Bismillahirrahmanirrahim.

Sekelumit tentang Asy-Syaikh Ali Al-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala:

Beliau adalah Asy-Syaikh Ali bin Muhammad bin Nashir Al-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala. Dilahirkan di Desa Al-Minjaroh, salah satu Desa di Kota Jazan (Saudi bagian selatan) pada tahun 1354 Hijriyah. Di Desa tersebut beliau tumbuh dan menyelesaikan pendidikan hingga jenjang Tsanawiyah (di Indonesia, SMA). Dan melanjutkan hingga berhasil mendapatkan gelar Doktoral di Universitas Al-Malik

(17)

Abdul ‘Aziz pada jurusan Syari’ah bagian Aqidah. Beliau belajar kepada beberapa ulama’ kibar, seperti Syaikh Abdullah Al-Qor’awi (penulis kitab Al-Jadid Syarah Kitab Tauhid), dan Syaikh Hafizh Al-Hakami (penulis kitab Ma’arijul Qabul).

======

Di dalam Syarah Ushul Sittah, ketika menjelaskan tentang Ilmu Syar’i dan pemahaman manusia yang salah tentangnya, beliau mengatakan,

Ilmu Syar’i adalah:

Ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits Nabi

Dan yang teriwayatkan dari shahabat dengan riwayat yang shahih. Dan Ijma’ (kesepakatan ulama’)

Dan Qiyas yang bersumber dari ushul di atas (yaitu bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi).

Ini disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala, beliau menyatakan, “Inilah yang disebut ilmu.”

AL-Fiqhu fid Dien

Al-Fiqhu fid Diin (pemahaman ad-Diin). Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam

menyatakan, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah pasti akan dipahamkan tentang urusan agamanya.”

Dan Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang Syafa’at (Siapakah orang yang paling beruntung dengan syafa’atmu wahai Rasul? Tanya Abu Hurairah), maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Ahmad,

” ِﺚﻳِﺪﺤْﻟا َﻠﻋ َﻚﺻﺮﺣ ﻦﻣ ﺖﻳار ﺎﻤﻟ ،َﻚْﻨﻣ لوا ٌﺪﺣا ِﺚﻳِﺪﺤْﻟا اَﺬﻫ ﻦﻋ ﻨَﻟﺎﺴﻳ ا ،َةﺮﻳﺮﻫ ﺎﺑا ﺎﻳ ﺖْﻨَﻨَﻇ ْﺪَﻘَﻟ “Sungguh wahai Abu Hurairah, aku telah menduga bahwasanya tidak ada yang

bertanya tentang hadits ini seorang pun sebelum engkau, karena aku melihat

betapa semangatnya dirimu terhadap hadits.”

Hadits yang dimaksud dalam riwayat di atas adalah ilmu, karena hadits bila disebutkan secara mutlak maka maknanya adalah ilmu, yaitu ilmu Al-Qur’an dan ilmu sunnah.

(18)

Jenis ilmu inilah yang pantas untuk dinamakan dengan ilmu. Adapun ilmu dunia yang mana manusia mengambil manfaat darinya dalam hidupnya juga dinamakan ilmu, tapi selalu disebutkan dengan keterangan (yakni bukan ilmu mutlak), seperti ilmu kedokteran, ilmu tehnik, dan semua jenis ilmu ini selalu dikaitkan dengan sifatnya. Sedangkan ilmu mutlak (yakni tanpa penyandaran) adalah kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwasanya manusia pada masa-masa belakangan ini telah berpaling dari makna ini, dimana mereka memaknakan ilmu dan al-fiqhu sebagai ucapan manusia. Dan mereka sudah tidak lagi merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan mengadakan beragam kebid’ahan yang bukan bagian dari agama. Anehnya yang seperti ini justru mereka anggap sebagai ilmu. Parahnya lagi, sebagian mereka, yakni dedengkot ahli khurafat sampai mengatakan kepada Ahlussunnah yang selalu berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, “Kalian mengambil ilmu kalian dari orang-orang yang sudah meninggal, sedangkan kami mengambilnya langsung dari yang masih hidup.” (maksud mereka) mengambil ilmu dari orang-orang yang sudah meninggal adalah, dari ulama’ fulan, dari ulama’ fulan, dari ulama fulan, sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan mereka mengaku mengambil ilmu langsung dari Al-Lauhul Mahfuzh. Tentu saja makna ini adalah mereka meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ilmu Syar’i dan hakekat ilmu yang diambil faedahnya adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan yang diriwayatkan dari Shahabat Radhiallahu ‘anhum.

=====

Demikian Faedah Ringkas yang kami sarikan dari Penjelasan Al-Ushul As-Sittah, pertemuan ke empat, oleh Asy-Syaikh Ali bin Nashir AL-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala.

(19)

HUKUM

SEPUTAR

NAZAR

(Bersama Syaikh Ubaid Al-Jabiri)

Berikut kami ringkaskan hukum seputar nazar yang dijelaskan oleh Syaikh Ubaid Al-Jabiri Hafizhahullahu Ta’ala dalam Syarah Tsalatsatul Ushul:

Pembahasan tentang Nazar meliputi 3 hal: Defenisinya 1. Hukumnya 2. Syarat-syaratnya 3. Defenisinya adalah:

Secara bahasa: al-ilzam (mengharuskan/mewajibkan)

Secara istilah: Seorang mukallaf mengilzamkan dirinya melakukan ibadah yang pada dasarnya tidak wajib baginya.

HUKUM NAZAR:

Hukum nazar terbagi dua:

Nazar Syar’i (Nazar yang ditujukan hanya untuk Allah Subhanahu wa 1.

Ta’ala)

Nazar Syirik (Nazar yang ditujukan kepada selain Allah Subhanahu wa 2.

Ta’ala)

Nazar Syar’i terbagi menjadi dua: Munajaz (mutlak)

1.

Mu’allaq 2.

Nazar Munnajaz atau mutlak adalah nazar yang tidak terikat dengan sesuatu apapun, contohnya: “Wajib bagiku untuk umrah pada tahun ini.” Atau “Wajib

(20)

bagiku mensedekahkan seribu dinar”.

Nazar Mu’allaq adalah nazar yang dikaitkan dengan syarat tertentu. Contohnya seseorang mengatakan, “Jika Allah menyembuhkan penyakitku maka aku akan berpuasa ini dan itu” atau “Jika Allah mengembalikan barangku yang hilang maka aku akan bersedekah demikian.” Atau “Jika aku berhasil dalam ujian ini maka aku akan mengadakan pesta.”

FAEDAH:

Sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwasanya hukum bernazar adalah haram. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya Nazar tidak datang dengan kebaikan. Dan ia (nazar) tidaklah dikeluarkan melainkan dari orang yang bakhil.”

Mereka (yakni ahlul ilmi) menyatakan, ini adalah celaan (dzam). Dan celaan dalam perbuatan merupakan bentuk larangan far’iyah. Sedangkan hukum asal pelarangan (ﻬﻧ) adalah haram.”

Tapi yang benar, bahwasanya nazar tidak haram, akan tetapi lebih utama ditinggalkan. Barangsiapa yang terlanjur bernazar maka harus dilaksanakan dengan ketentuan syarat-syarat yang akan disebutkan.

SYARAT-SYARAT NAZAR

Syarat-syarat Nazar secara global:

Taklif (yakni mukallaf mencakup sudah baligh dan berakal) 1.

Nazar keta’atan 2.

Yang diNazarkan adalah miliknya. 3.

Yang Dinazarkan Memungkinkan untuk Diterapkan (khusus nazar 4.

mu’allaq).

Mampu melaksanakan. 5.

(21)

Bila seseorang tidak melaksanakan nazar keta’atan, maka dia harus membayar kaffaroh. Dan kaffarohnya seperti kaffarotul yamin (kaffaroh sumpah). Yaitu:

Memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian. Membebaskan budak mukmin

Kalau tidak mampu maka berpuasa 3 hari.

Adapun nazar maksiat, maka pendapat yang shahih menurut kami (yakni Syaikh Ubaid) bila seseorang tidak melaksanakan Nazar maksiat tidak membayar kaffaroh.

TAMBAHAN FAEDAH: Firman Allah Ta’ala:

اﺮﻴﻄَﺘﺴﻣ هﺮَﺷ َنﺎﻛ ﺎﻣﻮﻳ َنﻮُﻓﺎَﺨﻳو ِرْﺬﱠﻨﻟﺎِﺑ َنﻮُﻓﻮﻳ “Mereka menunaikan Nazar dan (mereka) takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insaan:7)

Ayat ini menunjukkan bahwasanya nazar tidak haram. Bentuk pendalilannya adalah, konteks ayat ini sebagai pujian bagi orang-orang yang baik. Ayat sebelumnya adalah:

6) اﺮﻴِﺠْﻔَﺗ ﺎﻬَﻧوﺮِﺠَﻔﻳ ﻪﻟا دﺎﺒﻋ ﺎﻬِﺑ بﺮْﺸﻳ ﺎًﻨﻴﻋ (5) ارﻮُﻓﺎﻛ ﺎﻬﺟاﺰﻣ َنﺎﻛ ٍسﺎﻛ ﻦﻣ َنﻮﺑﺮْﺸﻳ راﺮﺑا ﱠنا) “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur (5) (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.”

Ayat ini dalam konteks pujian atau celaan? Dalam konteks pujian. Berarti ayat ini sebagai dalil bahwasanya nazar tidak haram, dan menunaikan nazar keta’atan merupakan sifatnya orang-orang yang berbuat kebaikan (al-abror).

(22)

kebaikan.

Disarikan dari Durus Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Ubaid AL-Jabiri

Hafizhahullahu Ta’ala.

Admin Warisan Salaf

Adab di Masjid 2: Masuk

Menggunakan Kaki Kanan

Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya ketika masuk masjid ialah mendahulukan kaki kanan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu,

ىﺮﺴﻴْﻟا َﻚﻠﺟِﺮِﺑ اَﺪﺒَﺗ ْنا ﺖﺟﺮَﺧ اَذاو َﻨﻤﻴْﻟا َﻚﻠﺟِﺮِﺑ اَﺪﺒَﺗ ْنا َﺪِﺠﺴﻤْﻟا ﺖْﻠَﺧد اَذا ﺔﱠﻨﺴﻟا ﻦﻣ . “Termasuk sunnah (Nabi[1]), apabila kamu masuk masjid agar mendahulukan kaki kananmu, dan apabila keluar agar mendahulukan kaki kirimu.” [2]

‘Aisyah Radhiallahu ‘anha berkata, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam suka mendahulukan bagian yang kanan[3] ketika bersuci, menyisir rambut, dan memakai sandal.”[4]

Hadits ini menunjukkan bahwasanya perbuatan-perbuatan yang mengandung kehormatan atau memiliki kemuliaan sebaiknya dimulai dengan (bagian yang) sebelah kanan, seperti memakai pakaian, celana, sepatu, masuk masjid, bersiwak, bercelak, dan yang lainnya.[5]

Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan kaki kiri ketika keluar.

(23)

================

[1] Diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah bahwa ucapan Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, “Termasuk sunnah” adalah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. (Fathul Baari, 2/146)

[2]HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi,dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani,lihat Ash-Shahihah, no.2478, Lihat pula Al-Irwa’ hal.132, dalam Ats-Tsamar hal.601 beliau berkata: ‘Maka hadits ini adalah hadits hasan, Insya Allah Ta’ala.’.”

[3]Yaitu melakukan sesuatu dengan tangan kanan, kaki kanan, dan tubuh bagian kanan. (Syarah Nawawi)

[4]HR. Al-Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah [5]Syarhu An-Nawawi ’ala Muslim (3/160)

Referensi

Dokumen terkait