• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manakah yang lebih Utama antara Menuntut Ilmu dan Qiyamul Lail? (Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Manakah yang lebih Utama antara Menuntut Ilmu dan Qiyamul Lail? (Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Manakah yang lebih Utama antara

Menuntut Ilmu dan Qiyamul Lail?

(Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah ditanya, “Manakah yang lebih utama antara qiyamul lail dan menuntut ilmu?”

Maka beliau menjawab, “Menuntut ilmu lebih afdhal daripada qiyamu lail, dikarenakan qiyamul lail sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Imam Ahmad, ‘tidak ada sesuatupun yang menyamainya bagi orang yang niatnya baik, yaitu dia meniatkan dengan ilmu tersebut untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain.’

Apabila seseorang begadang di awal malam untuk tholabul ilmi dengan mengharapkan wajah Allah baik ia mempelajarinya atau mengajarkannya kepada manusia, maka hal itu lebih utama ketimbang qiyamul lail, dan jika memang memungkinkan menggabungkan antara kedua amalan tersebut tentu saja lebih utama. Akan tetapi jika berbenturan dua perkara tersebut maka menuntut ilmu agama lebih afdhal dan utama. Oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam

memerintahkan Abu Hurairah agar shalat witir sebelum tidur[i]. Para ulama

menjelaskan (maksud perintah tersebut), ‘dan sebabnya ialah bahwasanya Abu Hurairah dahulu mempelajari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di awal malam dan beliau tidur di akhir malam, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

Sallam membimbing beliau agar shalat witir sebelum tidur.

Diterjemahkan dari: Al-Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (14/113) Admin Warisan Salaf

———————————————

[i] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (Kitab At-Tahajjud/Bab Shalat Dhuha fil

▸ Baca selengkapnya: alasan manakah yang lebih kuat dalam mendorong ekspansi jepang?

(2)

7 Alasan Mengapa Syirik Menjadi

Dosa Besar yang Paling Besar

(Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Para pembaca rahimakumullah, menyekutukan Allah dalam peribadatan merupakan dosa besar yang paling besar, di dalam Islam ia diistilahkan dengan perbuatan syirik. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan syirik sebagai dosa yang tidak ada tandingannya, dimana pelakunya akan dikeluarkan dari bingkaian Islam dan akan menetap di dalam neraka selama-lamanya.

Di dalam Al-Qur’an berulang kali Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang hamba-Nya dari perbuatan ini. Bahkan larangan pertama di dalam Al-Qur’an ialah larangan dari perbuatan syirik. Allah berfirman di dalam surat Al-Baqarah (2:22),

َنﻮﻤَﻠﻌَﺗ ﻢُﺘْﻧاو اداَﺪْﻧا ﻪﻟ اﻮُﻠﻌﺠَﺗ ََﻓ

“Maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan dalam keadaan kalian mengetahui.”

Barangkali ada yang bertanya-tanya, mengapa syirik digolongkan menjadi dosa besar yang paling besar? Pertanyaan penting ini telah dijawab dengan detil oleh Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala dalam kitabnya At-Tauhid, pada halaman 10 beliau menyebutkan bahwasanya syirik adalah dosa yang paling besar. Kemudian beliau menyebutkan tujuh (7) alasannya,

Dikarenakan perbuatan syirik hakekatnya adalah menyerupakan makhluk 1.

dengan Sang Kholiq (Pencipta) dalam hal kekhususan peribadahan. Siapa saja yang menyekutukan Allah dengan suatu makhluq maka hakekatnya dia telah menyamakan antara keduanya. Tentu saja ini kezhaliman yang paling besar, Allah berfiman, “Sesungguhnya syirik adalah kezhaliman

yang paling besar.” (QS Luqman:13), makna dzalim adalah meletakkan

sesuatu tidak pada posisinya. Ketika seorang hamba beribadah kepada selain Allah berarti ia telah meletakkan peribadahan tidak pada

(3)

tempatnya yang tepat.

Dosa syirik tidak akan mendapat ampunan Allah. Allah Ta’ala berfirman, 2.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” ( An-Nisa:48)

Allah mengharamkan Al-Jannah (surga) bagi pelaku kesyirikan, dan dia 3.

akan kekal berada di dalam neraka Jahannam. Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (

Al-Maidah:72)

Syirik menghapus segala amal kebaikan, Allah berfirman, “seandainya 4.

mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” ( Al-An’am:88), dalam ayat lain Allah

berfirman, “dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada

(nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar:65)

Pelaku kesyirikan halal darah dan hartanya (tentu saja bagi pemerintah 5.

kaum muslimin dan bukan kepada setiap individu muslim). Allah Ta’ala berfirman, “Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu

jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian.” ( At-Taubah:5), dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga

mereka mengucapkan LA ILAHA ILLALLAH, apabila mereka telah mengucapkannya maka darah dan harta mereka telah terlindungi dariku kecuali dengan haknya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Syirik merupakan dosa besar yang paling besar sebagaimana dikhabarkan 6.

oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Maukah aku beritakan

kepada kalian dosa besar yang paling besar?” para shahabat menjawab,

tentu wahai Rasulullah. Beliau mengatakan, “yaitu penyekutukan Allah

dan durhaka kepada kedua orang tua.” ( Al-Bukhari dan Muslim)

Syirik merupakan bentuk kekurangan dan aib yang telah Allah bersihkan 7.

diri-Nya darinya. Ketika seseorang berani memberikan sekutu bagi Allah padahal sekutu telah Allah tiadakan untuk dirinya, maka ini merupakan puncak perbuatan lancang dan durhaka kepada Allah Subhanahu wa

(4)

Diringkas dari kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala (hal.10)

ADMIN WARISAN SALAF

Hukum Seputar Puasa Syawwal

(Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Hukum Seputar Puasa Enam Hari Syawwal Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala

Dari Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa Sallam bersabda,

ﺮﻫﺪﻟا مﺎﻴﺼﻛ نﺎﻛ لاﻮﺷ ﻦﻣ ﺖﺴﺑ ﻪﻌﺒﺗأ ﻢﺛ نﺎﻀﻣر مﺎﺻ ﻦﻣ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan (puasa) enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa selama setahun penuh.” (HR. Muslim)

Asy-Syaikh Menjelaskan, “Ini merupakan jenis lain dari jenis-jenis puasa sunnah, yaitu puasa enam hari di bulan syawwal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

Sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa selama setahun penuh.” Pada hadits ini terdapat keutamaan berpuasa enam hari dari bulan Syawwal, yaitu enam hari di bulan syawwal bagi orang yang telah berpuasa pada bulan ramadhan, ia menggabungkan antara dua kebaikan, yaitu (kebaikan) puasa ramadhan dan (kebaikan) puasa enam hari di bulan syawwal.

Maka dia seperti seorang yang berpuasa ad-dahr yakni satu tahun. Yang dimaksud dengan ad-dahr di sini ialah satu tahun. Dikarenakan satu kebaikan

(5)

dilipatkan gandakan menjadi sepuluh kebaikan. Maka satu bulan ramadhan sama dengan sepuluh bulan, dan enam hari syawwal sama dengan dua bulan. Sehingga keseluruhannya dua belas bulan atau satu tahun. Maka orang yang berpuasa ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan syawwal akan mendapatkan pahala orang yang berpuasa satu tahun penuh. Ini merupakan keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan ucapan beliau “enam hari dari bulan syawwal” menunjukkan bolehnya berpuasa secara berurutan atau terputus-putus dalam satu bulan tersebut (syawwal). Boleh juga dilakukan di awal bulan, pertengahan bulan, atau di akhir bulan, ini berdasarkan sabda beliau “enam hari dari bulan syawwal”.

Sebagaimana pula hadits ini menunjukkan, bahwasanya bagi orang yang tidak berpuasa ramadhan maka tidak disyariatkan baginya berpuasa enam hari di bulan syawwal. Dikarenakan beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari dari bulan syawwal.” Sehingga orang yang tidak berpuasa ramadhan disebabkan udzur (alasan syar’i) maka tidak perlu puasa enam hari syawwal, bahkan ia harus bersegera berpuasa (membayar hutang puasa) ramadhan.

Demikian juga orang yang berbuka beberapa hari di bulan ramadhan karena udzur syar’i, maka tidak disyari’atkan baginya puasa enam hari syawwal hingga ia mengqadha’ sejumlah hari yang ia berbuka padanya di bulan ramadhan, setelah itu ia berpuasa enam hari syawwal jika masih tersisa, hal ini berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Lalu ia mengikutinya dengan (puasa) enam hari dari bulan syawwal” di sini beliau menyandingkan puasa enam hari syawwal dengan puasa bulan ramadhan sebelumnya. Jika ia memiliki hutang puasa ramadhan satu bulan penuh atau beberapa hari saja maka hendaknya ia mulai dengan yang wajib (yaitu mengqadha ramadhan), karena (mendahulukan) yang wajib lebih utama daripada yang sunnah.

Dan hukum puasa enam hari di bulan syawwal menurut jumhul ahlul ilmi, mereka menyatakan puasa enam hari di bulan syawwal adalah mustahab (sunnah), kecuali Imam Malik rahimahullah. Sesungguhnya beliau tidak berpandangan sunnahnya puasa enam hari syawwal, beliau menyatakan, khawatir manusia menganggapnya bagian dari ramadhan.’ Beliau ingin menutup celah agar orang-orang tidak menganggapnya termasuk dari puasa ramadhan.

(6)

Akan tetapi bagaimana pun, dalil lebih didahulukan ketimbang ro’yu (pendapat manusia). Sedangkan dalil menunjukkan sunnah. Dan ucapan Ar-Rasul

Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentu saja lebih didahulukan di atas ucapan siapa

pun.

Perkara ini tidak disepakati oleh Al-Imam Malik Rahimahullah (yakni sunnahnya puasa enam hari syawwal), dan Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah memberikan udzur bahwasanya dimungkinkan Al-Imam Malik belum sampai kepada beliau hadits ini, belum sampai kepada beliau hadits ini… na’am.

Diterjemahkan dari Syabakah Ajurry Download PDF Bahasa Arabnya di sini

Perbaiki Makananmu Pasti Doamu

Dikabulkan! (Syaikh Muhammad

Hadi)

Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali Hafizhahullahu Ta’ala ditanya, “Semoga Allah berbuat baik kepada anda dan memberkahi anda. Pertanyaanku adalah, apa saja sebab-sebab terkabulnya do’a? Dan apa yang dilakukan oleh seorang muslim apabila cobaan yang menimpanya bertambah berat?

Beliau menjawab, “Adapun sebab-sebab terkabulnya do’a ada banyak. Akan tetapi di antara yang paling penting adalah memperbaiki makanan. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

“ةﻮﻋﱠﺪﻟا بﺎﺠﻣ ﻦﺗ ﻚﻤﻌْﻄﻣ ﺐﻃا”

“Perbaikilah makananmu pasti engkau menjadi orang yang dikabulkan do’anya.”

(7)

Dan beliau menyebutkan (kisah) seseorang yang mengadakan perjalanan yang

panjang, kusut dan berdebu, lalu ia mengangkat tangannya ke arah langit sembari menyeru, “wahai Rabbku, wahai Rabbku” Sementara makanannya haram, minumannya haram, dibesarkan dari yang haram, bagaimana mungkin do’any dikabulkan!”

Beliau menyebutkan di dalam hadits ini beberapa sebab terkabulnya do’a. Walaupun demikian, do’a orang itu ditolak karena adanya penghalang:

Beliau menyebutkan safar (perjalanan), dan safar termasuk sebab 1.

terkabulnya do’a, seorang musafir do’anya akan dikabulkan.

Demikian juga kondisi kusut dan berdebu, karena kondisi ini merupakan 2.

cirinya orang yang merendah diri kepada Allah Jalla wa ‘ala, bukan cirinya orang yang angkuh.

Lalu dia mengangkat kedua tangannya ke arah langit, dia mengangkat 3.

tangannya, sementara Allah Maha Hayyiyun dan Maha Sittir, Allah malu kepada hamba-Nya apabila hamba itu mengangkat kedua tangannya lalu Allah mengembalikannya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan). Orang tersebut mengangkat kedua tangannya dan mengangkat kedua tangan merupakan sebab terkabulnya do’a.

Kemudian dia meminta dengan merengek kepada Allah “Wahai Rabbku 4.

wahai Rabbku” ini merupakan sebab keempat terkabulnya do’a. Dia menampakkan kebutuhannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Walaupun demikian, do’anya tetap tidak dikabulkan, padahal ada sebab-sebab (terkabulnya do’a) yang telah disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, mengapa? Karena makanannya haram, pakaiannya haram, ia dibesarkan dari sesuatu yang haram. Bagaimana mungkin do’anya akan dikabulkan?! Maka atas dasar ini, hadits ini menunjukkan bahwasanya memperbaiki makanan dan pakaian merupakan sebab dikabulkannya do’a, dan makanan dan pakaian yang jelek termasuk perkara yang menghalangi terkabulnya do’a –semoga Allah

memelihara kami dan kalian dari perkara tersebut-.

Sebab-sebab terkabulnya do’a amat banyak, hanyasaja perkara ini merupakan di antara yang paling tampak. Barangkali anakku sang penanya bisa merujuk kepada kitab-kitab yang membahas tentang ini.

(8)

Diterjemahkan dari: http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=43395

Rekaman Suara bisa didownload di sini:

http://ar.miraath.net/fatwah/11195

=============

Adab Berdo’a Lainnya bisa dibaca dilink berikut:

Pentingnya Merengek di Dalam Berdo’a

Agar Do’a Anda Dikabulkan

HAKEKAT ILMU SYAR’I DAN

PEMAHAMAN MANUSIA YANG

KELIRU TENTANGNYA (SYAIKH

ALI NASHIR AL-FAQIHI)

Bismillahirrahmanirrahim.

Sekelumit tentang Asy-Syaikh Ali Al-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala:

Beliau adalah Asy-Syaikh Ali bin Muhammad bin Nashir Al-Faqihi Hafizhahullahu

Ta’ala. Dilahirkan di Desa Al-Minjaroh, salah satu Desa di Kota Jazan (Saudi

bagian selatan) pada tahun 1354 Hijriyah. Di Desa tersebut beliau tumbuh dan menyelesaikan pendidikan hingga jenjang Tsanawiyah (di Indonesia, SMA). Dan melanjutkan hingga berhasil mendapatkan gelar Doktoral di Universitas Al-Malik Abdul ‘Aziz pada jurusan Syari’ah bagian Aqidah. Beliau belajar kepada beberapa ulama’ kibar, seperti Syaikh Abdullah Al-Qor’awi (penulis kitab Al-Jadid Syarah Kitab Tauhid), dan Syaikh Hafizh Al-Hakami (penulis kitab Ma’arijul Qabul).

(9)

Di dalam Syarah Ushul Sittah, ketika menjelaskan tentang Ilmu Syar’i dan pemahaman manusia yang salah tentangnya, beliau mengatakan,

Ilmu Syar’i adalah:

Ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits Nabi

Dan yang teriwayatkan dari shahabat dengan riwayat yang shahih. Dan Ijma’ (kesepakatan ulama’)

Dan Qiyas yang bersumber dari ushul di atas (yaitu bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi).

Ini disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala, beliau menyatakan, “Inilah yang disebut ilmu.”

AL-Fiqhu fid Dien

Al-Fiqhu fid Diin (pemahaman ad-Diin). Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyatakan, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah pasti akan

dipahamkan tentang urusan agamanya.”

Dan Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

Sallam tentang Syafa’at (Siapakah orang yang paling beruntung dengan

syafa’atmu wahai Rasul? Tanya Abu Hurairah), maka Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa Sallam menjawab sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Ahmad,

” ِﺚﻳِﺪﺤْﻟا َﻠﻋ َﻚﺻﺮﺣ ﻦﻣ ﺖﻳار ﺎﻤﻟ ،َﻚْﻨﻣ لوا ٌﺪﺣا ِﺚﻳِﺪﺤْﻟا اَﺬﻫ ﻦﻋ ﻨَﻟﺎﺴﻳ ا ،َةﺮﻳﺮﻫ ﺎﺑا ﺎﻳ ﺖْﻨَﻨَﻇ ْﺪَﻘَﻟ “Sungguh wahai Abu Hurairah, aku telah menduga bahwasanya tidak ada yang

bertanya tentang hadits ini seorang pun sebelum engkau, karena aku melihat betapa semangatnya dirimu terhadap hadits.”

Hadits yang dimaksud dalam riwayat di atas adalah ilmu, karena hadits bila disebutkan secara mutlak maka maknanya adalah ilmu, yaitu ilmu Al-Qur’an dan ilmu sunnah.

Jenis ilmu inilah yang pantas untuk dinamakan dengan ilmu. Adapun ilmu dunia yang mana manusia mengambil manfaat darinya dalam hidupnya juga dinamakan ilmu, tapi selalu disebutkan dengan keterangan (yakni bukan ilmu mutlak), seperti ilmu kedokteran, ilmu tehnik, dan semua jenis ilmu ini selalu dikaitkan dengan sifatnya. Sedangkan ilmu mutlak (yakni tanpa penyandaran) adalah

(10)

kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwasanya manusia pada masa-masa belakangan ini telah berpaling dari makna ini, dimana mereka memaknakan ilmu dan al-fiqhu sebagai ucapan manusia. Dan mereka sudah tidak lagi merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan mengadakan beragam kebid’ahan yang bukan bagian dari agama. Anehnya yang seperti ini justru mereka anggap sebagai ilmu. Parahnya lagi, sebagian mereka, yakni dedengkot ahli khurafat sampai mengatakan kepada Ahlussunnah yang selalu berpegang

dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, “Kalian mengambil ilmu kalian dari

orang-orang yang sudah meninggal, sedangkan kami mengambilnya langsung dari yang masih hidup.” (maksud mereka) mengambil ilmu dari orang-orang yang sudah meninggal adalah, dari ulama’ fulan, dari ulama’ fulan, dari ulama fulan, sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan mereka mengaku mengambil ilmu langsung dari Al-Lauhul Mahfuzh. Tentu saja makna ini adalah mereka meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ilmu Syar’i dan hakekat ilmu yang diambil faedahnya adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan yang diriwayatkan dari Shahabat Radhiallahu ‘anhum.

=====

Demikian Faedah Ringkas yang kami sarikan dari Penjelasan Al-Ushul As-Sittah, pertemuan ke empat, oleh Asy-Syaikh Ali bin Nashir AL-Faqihi

Hafizhahullahu Ta’ala.

Admin Warisan Salaf

(11)

(Bersama Syaikh Ubaid Al-Jabiri)

Berikut kami ringkaskan hukum seputar nazar yang dijelaskan oleh Syaikh Ubaid Al-Jabiri Hafizhahullahu Ta’ala dalam Syarah Tsalatsatul Ushul:

Pembahasan tentang Nazar meliputi 3 hal: Defenisinya 1. Hukumnya 2. Syarat-syaratnya 3. Defenisinya adalah:

Secara bahasa: al-ilzam (mengharuskan/mewajibkan)

Secara istilah: Seorang mukallaf mengilzamkan dirinya melakukan ibadah yang pada dasarnya tidak wajib baginya.

HUKUM NAZAR:

Hukum nazar terbagi dua:

Nazar Syar’i (Nazar yang ditujukan hanya untuk Allah Subhanahu wa 1.

Ta’ala)

Nazar Syirik (Nazar yang ditujukan kepada selain Allah Subhanahu wa 2.

Ta’ala)

Nazar Syar’i terbagi menjadi dua: Munajaz (mutlak)

1.

Mu’allaq 2.

Nazar Munnajaz atau mutlak adalah nazar yang tidak terikat dengan sesuatu apapun, contohnya: “Wajib bagiku untuk umrah pada tahun ini.” Atau “Wajib bagiku mensedekahkan seribu dinar”.

(12)

Nazar Mu’allaq adalah nazar yang dikaitkan dengan syarat tertentu. Contohnya seseorang mengatakan, “Jika Allah menyembuhkan penyakitku maka aku akan berpuasa ini dan itu” atau “Jika Allah mengembalikan barangku yang hilang maka aku akan bersedekah demikian.” Atau “Jika aku berhasil dalam ujian ini maka aku akan mengadakan pesta.”

FAEDAH:

Sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwasanya hukum bernazar adalah haram. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya

Nazar tidak datang dengan kebaikan. Dan ia (nazar) tidaklah dikeluarkan melainkan dari orang yang bakhil.”

Mereka (yakni ahlul ilmi) menyatakan, ini adalah celaan (dzam). Dan celaan dalam perbuatan merupakan bentuk larangan far’iyah. Sedangkan hukum asal

pelarangan (ﻬﻧ) adalah haram.”

Tapi yang benar, bahwasanya nazar tidak haram, akan tetapi lebih utama ditinggalkan. Barangsiapa yang terlanjur bernazar maka harus dilaksanakan dengan ketentuan syarat-syarat yang akan disebutkan.

SYARAT-SYARAT NAZAR

Syarat-syarat Nazar secara global:

Taklif (yakni mukallaf mencakup sudah baligh dan berakal) 1.

Nazar keta’atan 2.

Yang diNazarkan adalah miliknya. 3.

Yang Dinazarkan Memungkinkan untuk Diterapkan (khusus nazar 4.

mu’allaq).

Mampu melaksanakan. 5.

Permasalahan Penting:

(13)

membayar kaffaroh. Dan kaffarohnya seperti kaffarotul yamin (kaffaroh sumpah). Yaitu:

Memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian. Membebaskan budak mukmin

Kalau tidak mampu maka berpuasa 3 hari.

Adapun nazar maksiat, maka pendapat yang shahih menurut kami (yakni Syaikh Ubaid) bila seseorang tidak melaksanakan Nazar maksiat tidak membayar kaffaroh.

TAMBAHAN FAEDAH: Firman Allah Ta’ala:

اﺮﻴﻄَﺘﺴﻣ هﺮَﺷ َنﺎﻛ ﺎﻣﻮﻳ َنﻮُﻓﺎَﺨﻳو ِرْﺬﱠﻨﻟﺎِﺑ َنﻮُﻓﻮﻳ

“Mereka menunaikan Nazar dan (mereka) takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insaan:7)

Ayat ini menunjukkan bahwasanya nazar tidak haram. Bentuk pendalilannya adalah, konteks ayat ini sebagai pujian bagi orang-orang yang baik. Ayat sebelumnya adalah:

6) اﺮﻴِﺠْﻔَﺗ ﺎﻬَﻧوﺮِﺠَﻔﻳ ﻪﻟا دﺎﺒﻋ ﺎﻬِﺑ بﺮْﺸﻳ ﺎًﻨﻴﻋ (5) ارﻮُﻓﺎﻛ ﺎﻬﺟاﺰﻣ َنﺎﻛ ٍسﺎﻛ ﻦﻣ َنﻮﺑﺮْﺸﻳ راﺮﺑا ﱠنا)

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur (5) (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.”

Ayat ini dalam konteks pujian atau celaan? Dalam konteks pujian. Berarti ayat ini sebagai dalil bahwasanya nazar tidak haram, dan menunaikan nazar keta’atan merupakan sifatnya orang-orang yang berbuat kebaikan (al-abror).

Semoga Allah menjadikan kami dan kalian termasuk orang-orang yang melakukan kebaikan.

(14)

Disarikan dari Durus Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Ubaid AL-Jabiri Hafizhahullahu Ta’ala.

Admin Warisan Salaf

Adab di Masjid 2: Masuk

Menggunakan Kaki Kanan

Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya ketika masuk masjid ialah mendahulukan kaki kanan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu,

ىﺮﺴﻴْﻟا َﻚﻠﺟِﺮِﺑ اَﺪﺒَﺗ ْنا ﺖﺟﺮَﺧ اَذاو َﻨﻤﻴْﻟا َﻚﻠﺟِﺮِﺑ اَﺪﺒَﺗ ْنا َﺪِﺠﺴﻤْﻟا ﺖْﻠَﺧد اَذا ﺔﱠﻨﺴﻟا ﻦﻣ .

“Termasuk sunnah (Nabi[1]), apabila kamu masuk masjid agar mendahulukan kaki kananmu, dan apabila keluar agar mendahulukan kaki kirimu.” [2]

‘Aisyah Radhiallahu ‘anha berkata, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam suka mendahulukan bagian yang kanan[3] ketika bersuci, menyisir rambut, dan memakai sandal.”[4]

Hadits ini menunjukkan bahwasanya perbuatan-perbuatan yang mengandung kehormatan atau memiliki kemuliaan sebaiknya dimulai dengan (bagian yang) sebelah kanan, seperti memakai pakaian, celana, sepatu, masuk masjid, bersiwak, bercelak, dan yang lainnya.[5]

Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan kaki kiri ketika keluar.

(15)

[1] Diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah bahwa ucapan Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, “Termasuk sunnah” adalah sunnah Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. (Fathul Baari, 2/146)

[2]HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi,dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani,lihat Ash-Shahihah, no.2478, Lihat pula Al-Irwa’ hal.132, dalam Ats-Tsamar hal.601 beliau berkata: ‘Maka hadits ini adalah hadits hasan, Insya Allah Ta’ala.’.”

[3]Yaitu melakukan sesuatu dengan tangan kanan, kaki kanan, dan tubuh bagian kanan. (Syarah Nawawi)

[4]HR. Al-Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah [5]Syarhu An-Nawawi ’ala Muslim (3/160)

ADMIN WARISAN SALAF

Adab Di Masjid 1: Membaca Do’a

Masuk Masjid

Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillah.. Kita tahu bahwa setiap muslim pasti dalam kesehariannya selalu berinteraksi dengan Masjid. Setidaknya 5 Kali dalam sehari ia melangkahkan kakinya menuju masjid. Tentu kita tahu bahwa masjid adalah Rumah Allah; tempat yang paling afdhal di muka bumi. Tempat kaum mukminin beribadah kepada Allah.

Kalau saja, seseorang tidak boleh berbuat sembarangan saat berkunjung ke rumah orang lain, walaupun itu rumah kerabatnya sendiri. Maka barang tentu Rumah Allah lebih berhak untuk dijaga hak-haknya. Tapi sangat disesalkan ketika masih banyak kaum muslimin yang belum paham hak-hak yang harus dia lakukan

(16)

ketika berada di masjid, sehingga tak jarang berbagai pelanggaran mereka lakukan.

Mengingat pentingnya permasalahan ini, maka kami berupaya berturut serta mencurahkan usaha yang kami miliki dengan menjelaskan adab-adab ketika seorang muslim berada di masjid. Semoga usaha kami ini diberi balasan kebaikan yang berlipat di sisi Al-Maula Azza wa Jalla.

Pembahasan ini akan terus berlanjut, setiap pembahasan kami cukupkan satu Bab Permasalahan.

=============

Membaca Do’a Masuk Masjid

Membaca do’a sebelum masuk masjid adalah Sunnah. Adapun lafazh do’any ialah sebagai berikut:

َﻚﺘﻤﺣر باﻮﺑا ﻟ ﺢَﺘْﻓا ﻢﻬﱠﻠﻟا

Allahummaftahli Abwaba Rohmatika

“Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.” [1]

Boleh juga membaca do’a yang lebih panjang seperti berikut,

ِنﺎَﻄﻴﱠﺸﻟا ﻦﻣ ،ﻢﻳِﺪَﻘْﻟا ﻪﻧﺎَﻄْﻠﺳو ،ﻢﻳِﺮْﻟا ﻪِﻬﺟﻮِﺑو ،ﻢﻴﻈﻌْﻟا ﻪﻟﺎِﺑ ُذﻮﻋا

باﻮﺑا ﻟ ﺢَﺘْﻓا ﻢﻬﱠﻠﻟا ،ٍﺪﻤﺤﻣ َﻠﻋ ﻢّﻠﺳو ﻞﺻ ﻢﻬﱠﻠﻟا ﻪﻟا ﻢﺴِﺑ ،ﻢﻴِﺟﺮﻟا

َﻚﺘﻤﺣر

ِنﺎَﻄﻴﱠﺸﻟا ﻦﻣ ﻢﻳِﺪَﻘْﻟا ﻪﻧﺎَﻄْﻠﺳو ﻢﻳِﺮْﻟا ﻪِﻬﺟﻮِﺑو ﻢﻴﻈﻌْﻟا ﻪﻟﺎِﺑ ُذﻮﻋا

(17)

باﻮﺑا ﻟ ﺢَﺘْﻓا ﻢﻬﱠﻠﻟا ،ٍﺪﻤﺤﻣَﻠﻋﻢّﻠﺳوﻞﺻﻢﻬﱠﻠﻟا،ﻪﻟاﻢﺴِﺑ ،ﻢﻴِﺟﺮﻟا

َﻚﺘﻤﺣر

“A’Udzu billahil ‘adzim wa biwajhihil karim wa sulthonihil qadim minasy syaithanir rajim. Bismillah. Allahumma shalli wa sallim ‘ala Muhammad. Allahummaf ftahlii abwaba rahmatika

(Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dan (berlindung) dengan wajah-Nya Yang Mulia, dan kekuasaan-wajah-Nya yang kekal dari (gangguan) syaithan yang terlaknat. Dengan menyebut Nama Allah. Ya Allah, shalawat dan salam curahkanlah kepada Muhammad. Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu).” [2]

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, “Tempat ke delapan dari tempat-tempat (yang disyari’atkan) bershalawat kepada Nabi e adalah ketika akan masuk masjid dan ketika akan keluar darinya.” [3]

=============

[1]Dari Shahabat Abu Humaid dan Abu Usaid Al-Anshari –Semoga Allah meridhai

keduanya-, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam bersabda, ”Apabila

salah seorang kalian hendak masuk masjid maka bacalah, ”Allahummaftahli Abwaba Rohmatika (Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.” (HR. Muslim no. 713)

[2] Dalil-dalil untuk gabungan do’a di atas adalah:

Dalil Isti’adzah:Abdullah bin Amr bin ‘Ash menuturkan, bahwasanya Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila masuk masjid mengucapkan: “A’Udzu

billahil ‘adzim wa biwajhihil karim wa sulthonihil qadim minasy syaithanir rajim. Bismillah. Allahumma shalli wa sallim ‘ala Muhammad. Allahummaf ftahlii abwaba rahmatika (Aku berlindung kepada Allah Yang

Maha Agung, dan (berlindung) dengan wajah-Nya Yang Mulia, dan kekuasaan-Nya yang kekal dari (gangguan) syaithan yang terlaknat.” Beliau r bersabda: “Apabila seseorang membacanya, syaithan berkata, ‘dia telah dijaga dariku sepanjang hari ini.” (HR. Abu Daud no.466, dishahihkan oleh Asy-Syaikh

Al-Albani dalam Al-Misykah no.749, Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud no.466, dan Ats-Tsamarul Mustathob hal.603)

(18)

Dalil Shalawat dan Salam, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, Nabi e jika masuk masjid mengucapkan, “Bismillah, Allahumma shalli ‘ala Muhammad,” dan apabila keluar mengucapkan, “Bismillah, allahumma shalli ‘ala Muhammad (Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam atas Muhammad).” Makna serupa juga diriwayatkan dari Fathimah, Abu Hurairah, Abu Humaid dan Abu Usaid Al-Anshari. (Lihat Ats-Tsamarul Mustathob hal 604-609)

[3] Dinukil dari ‘Aunul Ma’bud(2/93)

===================== Admin Warisan Salaf

Menelisik Berbagai Tradisi di

Bulan Muharram

Bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram dalam Islam, bulan ini berada pada urutan pertama penanggalan hijriyah sejak diresmikan oleh Khalifah Umar bin KhattabRadhiallahu ‘anhu.

Pada mulanya, terjadi silang pendapat di antara para shahabat dalam menentukan awal masuk kalender Islam, dengan bulan apa dimulai? Sebagian mereka mengusulkan dimulai dengan bulan Rabi’ul Awwal, sebagian lagi mengusulkan dengan bulan Ramadhan. Namun, Khalifah Umar dan sejumlah shahabat lainnya lebih memilih bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender Islam, dengan alasan bahwa di bulan inilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi

wa Sallam membulatkan tekadnya untuk berhijrah ke negeri Madinah. Oleh

karena itu, penanggalan Umar ini disebut penanggalan hijriyyah. (Al-Bidayah wa An-Nihayah)

Bulan Muharram Menurut Islam

Muharram termasuk salah satu dari empat bulan suci dalam Islam yang tersebut dalam Al-Qur’an,

(19)

مﺮﺣ ٌﺔﻌﺑرا ﺎﻬْﻨﻣ ضرﻻاو ِتاوﺎﻤﺴﻟا ﻖَﻠَﺧ مﻮﻳ ﻪﻟا ِبﺎَﺘﻛ ﻓ اﺮﻬَﺷ ﺮَﺸﻋﺎَﻨْﺛا ﻪﻟاَﺪْﻨﻋِرﻮﻬﱡﺸﻟاَةﱠﺪﻋ ﱠنا

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS. At-Taubah: 36)

Keempat bulan itu adalah: Muharram, Rajab, Dzulqo’dah, dan Dzulhijjah, sebagaimana yang dideklarasikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada saat haji perpisahan.

Disebut bulan haram karena ia mengandung kemuliaan lebih (dari bulan-bulan lainnya) dan karena pada bulan-bulan ini diharamkan untuk berperang. (Tafsir As-Sa’di, hal.192)

Cukuplah menunjukkan kemuliaan bulan Muharram ini ketika Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjulukinya sebagai bulan Allah, beliau bersabda, “… yaitu bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim, no.1982)

Kata para ulama’, segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah itu memiliki kemuliaan lebih dari yang tidak disandarkan kepada-Nya, seperti baitullah (rumah Allah), rasulullah (utusan Allah), dll.

Dalam Islam, bulan Muharram memiliki nilai historis (sejarah) yang luar biasa; pada bulan ini, tepatnya pada tanggal sepuluh, Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya serta menenggelamkan mereka di laut merah.

Di bulan ini juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bertekad kuat untuk berhijrah ke negeri Madinah, setelah mendengar bahwa penduduknya siap berjanji setia membela dakwah beliau. Walaupun tekad kuat beliau ini baru bisa terealisasi pada bulan Shafar.

Selain itu, di bulan ini terdapat ibadah puasa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagai puasa terbaik setelah Ramadhan, beliau bersabda:

مﺮﺤﻤْﻟا ﻪﻟا ﺮﻬَﺷ َنﺎﻀﻣر َﺪﻌﺑ مﺎﻴﺼﻟا ﻞﻀْﻓا

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah berpuasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim, no.1982 dari shahabat Abu

(20)

Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Beliau ` juga bersabda ketika ditanya tentang keutamaannya: “Menghapuskan

dosa-dosa tahun yang lalu.” (HR. Muslim, no.1977 dari shahabat Abu Qotadah

Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu)

Berkaitan dengan puasa Asyuro, untuk lebih lengkapnya bisa dibaca kembali pada edisi sebelumnya.

Bulan Muharram Menurut Masyarakat Jawa

Bagi masyarakat Jawa, bulan Muharram atau yang lebih dikenal dengan bulan suro memiliki nilai religi yang tinggi. Bulan ini dianggap sebagai bulan keramat yang tidak boleh dibuat pesta dan bersenang-senang, sehingga banyak aktivitas yang ditunda atau bahkan dibatalkan. Lebih dari itu, mereka meyakini siapa yang mengadakan hajatan pada bulan ini akan ditimpa musibah dan malapetaka. Sebagai contoh adalah pernikahan, masyarakat Jawa pada umumnya, enggan menikahkan putra atau putri mereka di bulan ini karena khawatir ditimpa petaka dan kesengsaraan bagi kedua mempelai.

Ketika ditanya mengenai alasan mereka menilai bulan Muharram sebagai bulan keramat nan penuh pantangan, tidak ada Jawaban berarti dari mereka selain, ‘Beginilah tradisi kami’ atau‘Beginilah yang diajarkan bapak-bapak kami’. Para pembaca rahimakumullah, sikap mengikuti tradisi atau leluhur tanpa bimbingan Islam adalah terlarang, bahkan sikap seperti ini termasuk sifat orang-orang jahiliyyah dan para pembangkang yang hidup jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Berkaitan dengan orang-orang Jahiliyyah, Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an menyebutkan Jawaban orang-orang Quraisy ketika diajak oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

Sallam untuk meninggalkan kesyirikan, kata mereka:

َنوُﺪَﺘﻬﻣ ﻢﻫِرﺎَﺛا َﻠﻋ ﺎﱠﻧاو ﺔﻣا َﻠﻋ ﺎَﻧءﺎﺑا ﺎَﻧْﺪﺟو ﺎﱠﻧا

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (QS.

Az-Zukhruf: 22)

(21)

kepada Allah, ia malah berkata:

ﺎَﻧءﺎﺑا ﻪﻴَﻠﻋ ﺎَﻧْﺪﺟو ﺎﻤﻋ ﺎَﻨَﺘﻔْﻠَﺘﻟ ﺎَﻨَﺘﯩِﺟاا ﻮُﻟﺎَﻗ “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya.” (QS. Yunus: 78) Kemudian, anggapan sial untuk melakukan aktivitas di bulan Muharram yang diyakini oleh keumuman masyarakat Jawa saat ini dalam ajaran Islam disebut Tathoyur atau Thiyaroh, yaitu meyakini suatu keburuntungan atau kesialan didasarkan pada kejadian tertentu, atau tempat tertentu.

Anggapan seperti ini sebenarnya sudah ada sejak zaman jahiliyah. Setelah Islam datang, maka ia dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus ditinggalkan. Allah berfirman: “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan

dari Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 131)

Dalil yang menunjukkan bahwa Thatoyur atau Thiyaroh termasuk kesyirikan adalah sabda Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam:

ﺎًﺛﻼَﺛ ٌكﺮﺷ ُةﺮﻴّﻄﻟا ٌكﺮﺷ ُةﺮﻴّﻄﻟا

“Thiyaroh adalah kesyirikan”, beliau mengulangnya sebanyak tiga kali.” (HR.

Ahmad dan Abu Daud, dari shahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘anhu) Apabila kita telah tahu bahwa anggapan sial atau keberuntungan seperti itu termasuk kesyirikan, kewajiban kita selanjutnya adalah menjauhinya dan menjauhkannya dari anak dan istri kita. Sehingga kita beserta keluarga kita tidak terjerembab kedalam kobangan dosa besar yang paling besar, yaitu dosa syirik. Bulan Muharram Menurut Syi’ah

Berbeda halnya dengan orang-orang syi’ah, apabila keumuman masyarakat Jawa menjadikan bulan Muharram sebagai bulan pantangan untuk melakukan aktivitas tertentu, justru orang-orang syi’ah menjadikannya sebagai hari berkabung. Pada setiap tanggal 10 Muharram, orang-orang syi’ah di Iran mengadakan pawai akbar untuk memperingati hari terbunuhnya cucu RasulullahShallallahu ‘alaihi wa Sallam, Husein bin Ali Radhiallahu ‘anhuma di padang Karbala.

(22)

Muharram. Pada tanggal 1 Muharram sampai tanggal 9 Muharram mereka mengadakan pawai besar-besaran di jalan-jalan menuju Huseiniyah. Al-Huseiniyah adalah tempat ibadah syi’ah, kalau kaum muslimin menyebutnya masjid, tetapi biasanya Al-Huseiniyyah digunakan untuk makam Imam, bukan untuk shalat, sedang shalat dilakukan di luar bangunan. Penamaan ini diambil dari nama Imam syi’ah ke 3, yaitu Al-Imam Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu.

Peserta pawai hanya mengenakan celana atau sarung saja sedangkan badannya terbuka. Selama pawai, mereka memukul-mukul dada dan punggungnya dengan rantai besi sehingga meninggalkan luka memar yang mencolok.

Kemudian, pada acara puncak, mereka mengenakan kain berwarna putih dan ikat kepala berwarna putih pula. Setelah itu, mereka menghantamkan pedang, pisau, atau benda tajam lainnya ke kepala dan dahi mereka sehingga darah pun bercucuran. Darah yang mengalir ke kain putih membuat suasana semakin haru dan duka, bahkan tak sedikit di antara mereka yang menangis histeris.

Demikianlah gambaran ringkas tentang aktivitas syi’ah di bulan Muharram. Seperti yang telah kami sebutkan, tujuan utama mereka adalah untuk mengenang terbunuhnya Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuma.

Para pembaca rahimakumullah, sebagai seorang muslim tentu kita juga sangat bersedih dengan peristiwa tragis nan menyayat hati yang menimpa cucu RasulullahShallallahu ‘alaihi wa Sallam itu. Namun, Islam melarang pemeluknya yang tertimpa musibah untuk berucap atau berbuat sesuatu yang menunjukkan ketidak-ridhaan kepada keputusan Allah, seperti, merobek baju, menampar pipi, menjambak rambut, menangis histeris, apalagi menyayat kepala dan dahi seperti yang dilakukan orang-orang syi’ah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Bukan dari golongan kami

barang siapa yang menampar pipi, menyobek baju, atau meratap dengan ratapan jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abdullah bin

Mas’ud radhiallahu ‘anhu)

Lebih dari itu, bagi wanita peratap yang mati dan belum bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan pakaian dari tembaga yang meleleh, sebagaimana dijelaskan RasulullahShallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam haditsnya yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dari Abu Malik Al-Asy’ari Radhiallahu ‘anhu.

(23)

Maka tahulah kita bahwa apa yang dilakukan orang-orang syi’ah tersebut bukan hanya tidak ada dasarnya dalam Islam, bahkan ia bertolak belakang dengan ajaran Islam.

Lebih parah lagi, di Lahore, kota terbesar kedua di Pakistan, orang-orang syi’ah menutup acara mereka itu dengan ‘malam gembira’ berupa mut’ah (baca; zina) masal. Na’audzu billahi min dzalik.

Para pembaca rahimakumullah, peringatan 10 Muharram untuk mengenang terbunuhnya Imam Husein tidak hanya diadakan di Iran saja, tetapi juga di negara-negara lainnya, seperti India, Pakistan, Lebanon, dan juga Indonesia, hanya saja tata caranya berbeda.

Di Indonesia, contohnya, sudah menjadi acara rutin tahunan bagi syi’ah mengadakan acara ini yang mereka istilahkan dengan arba’in-an, yaitu mengenang 40 hari syahidnya Imam Huseinradhiallahu ‘anhu. Yang paling ‘unik’ adalah yang dilakukan orang-orang syi’ah dari kota Lawang, Bondowoso, Situbondo, dan beberapa daerah lainnya beberapa tahun silam, mereka menyelenggarakan ritual tahunan itu di Gereja Berzicht di kota Lawang, Jawa Timur. La haula wala quwwata illa billah.

Penutup

Para pembaca rahimakumullah, itulah fenomena yang terjadi di tengah-tengah umat seputar perbedaan menyikapi bulan Muharram.

Sebagai seorang muslim seharusnya kita bisa membedakan antara syari’at dan perkara adat. Tentunya Syari’at harus dikedepankan walaupun menyelisih adat. Sebaliknya, adat harus disingkirkan ketika menyelisihi syari’at, demikianlah Islam. Karena dengan sikap inilah Islam akan jaya. Adapun jika umat masih mengedepankan adat dan tradisi, walaupun bertentangan dengan syari’at, maka pada saat itulah mereka akan ditimpa kehinaan dan kerendahan. Inilah makna hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

يِﺮﻣا ﻒَﻟﺎَﺧ ﻦﻣ َﻠﻋ رﺎَﻐﺼﻟاو ُﺔﱠﻟِّﺬﻟا ﻞﻌﺟو

“Dan dijadikan kerendahan dan kehinaan bagi siapa saja yang menentang syari’atku.” (HR. Al-Bukhari, dari shahabat Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma)

(24)

Semoga tulisan ringkas ini bisa memberikan tambahan ilmu bagi saudara-saudaraku seiman dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin ya Rabbal ‘alamin…

Ditulis oleh Admin Warisan Salaf Untuk Buletin Al-Ilmu

Pentingnya Al-Ilhah (Merengek)

Ketika Berdo’a

Di antara adab penting di dalam berdo’a adalah mengulang-ulang hajat yang ia butuhkan atau merengek. Merengek merupakan salah satu sebab dikabulkannya do’a, karena itu pertanda bukti sangat butuhnya seseorang kepada Allah

Subhanahu wa Ta’ala.

Al-Imam Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Sunan-nya sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

«ﻪﻴَﻠﻋ ﺐﻀْﻐﻳ ﻪﻟا ِلﺎﺴﻳ ﻢَﻟ ﻦﻣ»

“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, Dia akan murka kepadanya.”

Dan Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak meriwayatkan dari Anas bin Malik

Radhiallahu ‘annu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,”Janganlah kalian

lemah di dalam berdo’a. Karena sesungguhnya tidak seorangpun akan binasa bersama do’a.”

Al-Auza’i menyebutkan sebuah riwayat dari Az-Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai seorang yang merengek dalam do’anya.”

(25)

Qotadah, dari Muwarriq, “Aku tidak mendapati permisalan yang tepat bagi seorang mukmin, kecuali ibarat seseorang yang berada di tengah lautan yang hanya berpegangan sebatang kayu. Lalu ia berdo’a, “Wahai Rabbku, Wahai Rabbku..” Ia berharap Allah akan menyelamatkannya.”

Maksudnya adalah, seorang mukmin hidupnya di dunia dipenuhi dengan rasa butuh kepada Allah, ia selalu berdo’a dalam setiap kebutuhannya. Dan di dalam berdo’a dia seperti seorang yang berada di tengah lautan yang hanya berpegangan kepada sebatang kayu. Keadaan darurat tersebut membuat ia sangat khusyu’ dan mengulang-ulang permintaannya.

Referensi

Dokumen terkait

Sikap ilmiah lainnya yang ditunjukkan oleh siswa kelas IV pada saat. pembelajaran IPA yaitu sikap

Banyaknya Tamu Asing dan Dalam Negeri yang Menginap di Hotel Berbintang Per Bulan Menurut Jenis Hotel di Papua Barat

Dalam penelitian ini produk yang dikembangkan berupa bahan ajar yaitu (LKPD) berorientasi pembelajaran terpadu tipe jaring laba-laba yang diharapkan dapat meningkatkan

Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui aspek internal kekuatan dan kelemahan perusahaan serta aspek eksternal peluang dan ancaman perusahaan untuk merumuskan strategi yang

Bersama ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa, badan/lembaga/organisasi kami belum pernah mendapat bantuan hibah yang bersumber dari APBD Provinsi Banten tahun

Dengan adanya buku pedoman penyusunan dan penulisan skripsi ini, diharapkan mahasiswa dan dosen pembimbing dapat melakukan suatu hubungan (interaksi) agar

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan kemudahan, karunia, dan rahmat sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan

(2017) dalam jurnalnya menjelaskan bahwa Debt to Equity Ratio memiliki pengaruh yang signifikan terhadap harga saham, karena apabila perusahaan memiliki nilai DER yang