• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI BEDA KONSEP DIRI FISIK PADA REMAJA AWAL YANG AKTIF BEROLAHRAGA DAN YANG TIDAK AKTIF BEROLAHRAGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "UJI BEDA KONSEP DIRI FISIK PADA REMAJA AWAL YANG AKTIF BEROLAHRAGA DAN YANG TIDAK AKTIF BEROLAHRAGA"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa remaja adalah masa yang penuh tantangan karena pada masa ini individu mengalami periode transisi antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Periode ini akan melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional. Tantangan lain yang ditemui pada masa remaja adalah pembentukan identitas karena pada masa ini seseorang mulai membentuk identitas diri (Erikson dalam Hurlock, 1997). Salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas diri adalah konsep diri. Konsep diri merujuk pada evaluasi terhadap diri sendiri dalam bidang-bidang tertentu seperti akademik, atletik, penampilan fisik dan lain sebagainya (Santrock, 2007).

(18)

Konsep diri yang rendah mendorong remaja perempuan untuk cenderung berperilaku konsumtif. Hal tersebut dikarenakan mereka memiliki pandangan yang buruk akan diri sendiri, salah satunya terhadap aspek fisik. Perilaku konsumtif terutama ditujukan pada barang-barang kosmetik yang beredar di pasaran. Remaja perempuan berharap dengan menggunakan peralatan kosmetik mereka dapat menutupi kekurangan fisiknya sehingga mereka dapat tampil lebih menarik (Parma, 2007).

Remaja yang merasa memiliki ukuran tubuh lebih gemuk daripada teman sebayanya cenderung merasa tidak puas dan kurang percaya diri mengenai kondisi tubuhnya. Remaja yang merasa kecewa mengenai tubuhnya terdorong untuk meraih bentuk tubuh idaman. Salah satu cara untuk meraih tubuh idaman yang populer dilakukan oleh remaja terutama remaja putri adalah melakukan diet. Remaja memilih diet karena cara ini merupakan alternatif yang cukup cepat untuk menurunkan berat badan dan membentuk bentuk tubuh idaman. Salah satu contoh nyata perilaku diet yang tidak sehat dapat dilihat melalui pengalaman seorang artis perempuan di Indonesia. Ketika berusia 17 tahun, artis tersebut merasa kurang percaya diri karena memiliki berat badan yang berlebih. Demi mendapatkan berat tubuh ideal, ia melakukan diet secara ketat yang justru menyebabkan wajahnya pucat hingga kondisi fisiknya pun melemah (Karena Diet Ketat, 2009).

(19)

terjerumus pada diet yang tidak sehat karena mengurangi asupan makanan secara drastis. Perilaku tersebut justru beresiko menimbulkan gangguan makan pada remaja (Simbolon, 2010).

Berbeda dengan remaja perempuan yang ingin memiliki tubuh yang langsing, remaja laki-laki justru mengidamkan tubuh yang atletis (Chaerunnisa, 2008). Beberapa remaja laki-laki juga mengidamkan tubuh yang berotot. Pope (dalam Knoesen, Vo dan Castle, 2009) menyatakan 43% laki-laki merasa tidak puas dengan penampilannya secara keseluruhan. Cara-cara yang dilakukan oleh para laki-laki untuk mendapatkan tubuh impian antara lain berolahraga di pusat kebugaran, berdiet dan mengkonsumsi suplemen untuk mempercepat pembentukan otot. Hasrat laki-laki untuk memperoleh tubuh atletis juga tampak dari munculnya produk susu khusus laki-laki yang dijanjikan dapat mempercepat pembentukan otot tubuh.

(20)

3% remaja laki-laki mengkonsumsi anabolic steroid untuk memacu pertumbuhan dan kekuatan otot. Laki-laki yang mengalami bigorexia biasanya mengalami penurunan performansi kerja, studi dan relasi sosial (Cafri dan Thompson dalam Knoesen et al., 2009).

Ketidakpuasan remaja terhadap bentuk tubuh dapat mengganggu konsentrasi pada pelajaran sekolah karena mereka sangat memikirkan kekurangannya tersebut. Akibatnya nilai-nilai pelajaran mereka menurun (Rini, 2004). Perubahan tubuh yang cenderung menjadi lebih gemuk menyebabkan penurunan rasa percaya diri (Hurlock, 1997). Pada akhirnya ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh dapat mengganggu hubungan sosial remaja di lingkungan.

(21)

Dengan mempertimbangkan paparan masalah di atas, penelitian tertarik untuk memperhatikan tentang konsep diri fisik karena remaja sering menemui permasalahan mengenai kondisi fisik. Konsep diri fisik berkaitan dengan pandangan individu mengenai kondisi fisiknya. Gilman, Huebner dan Furlong (2009) mendefinisikan konsep diri fisik sebagai suatu pandangan dan perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk badaniah yang meliputi penampilan fisik, kesehatan dan keterbatasan fisik serta kemampuan fisik. Konsep diri fisik menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan karena keterkaitannya dengan kesehatan psikologis remaja.

Konsep diri fisik yang baik dapat mengurangi tingkat depresi dan kecemasan individu (Knapen et.al, 2005). Konsep diri yang baik menyebabkan kesejahteraan psikologis yang baik pula sehingga resiko untuk mengalami gangguan makan, kecemasan dan depresi semakin kecil (Fernandez, 2010).

(22)

Dalam penelitiannya, Chung (2003) membedakan tingkat konsep diri fisik pada mahasiswa yang mengikuti pendidikan olahraga dan mahasiswa yang tidak mengikuti pendidikan olahraga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang mengikuti pendidikan olahraga memiliki tingkat konsep diri fisik yang lebih tinggi daripada kelompok mahasiswa yang tidak mengikuti pendidikan olahraga.

Selain itu, terdapat dua penelitian lain yang bertujuan untuk mengukur konsep diri fisik pada subjek setelah mendapatkan intervensi berupa pemberian kegiatan olahraga dan pendidikan jasmani. Knapen et.al (2005), melakukan penelitian untuk membandingkan perubahan konsep diri fisik, harga diri, tingkat kecemasan dan depresi pada pasien non-psikiatrik setelah mengikuti program terapi psikomotor berupa aerobik dan angkat beban. Hasil penelitian menunjukkan subjek mengalami peningkatan konsep diri fisik setelah menyelesaikan program terapi. Peningkatan konsep diri fisik juga berkorelasi dengan meningkatnya harga diri dan penurunan tingkat kecemasan serta depresi.

(23)

Ketiga penelitian di atas menunjukkan bahwa individu yang melakukan olahraga secara teratur memiliki konsep diri fisik yang lebih baik daripada individu yang tidak melakukan olahraga secara teratur.

Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas tampak bahwa konsep diri fisik dan kaitannya dengan aktivitas olahraga menjadi hal yang penting untuk diteliti. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melihat perbedaan konsep diri fisik pada kelompok remaja awal yang aktif berolahraga dan yang tidak aktif berolahraga. Kriteria untuk menentukan seberapa jauh keaktifan remaja awal dalam kegiatan olahraga akan dijelaskan secara rinci pada penjelasan mengenai tinjauan pustaka dan metodologi penelitian.

Penelitian hanya difokuskan pada kelompok remaja awal yang berusia 13-17 tahun yang bertempat tinggal di daerah Yogyakarta atau Sleman. Peneliti hanya memilih remaja awal sebagai subjek penelitian karena konsep diri fisik pada masa tersebut mengalami penurunan yang drastis sehingga konsep diri fisik menjadi hal yang sangat krusial untuk diteliti (Marsh et.al dalam Klomsten et.al, 2004). Pertimbangan lain menjadi dasar pemilihan remaja awal sebagai subjek penelitian adalah karakteristik remaja awal yang memiliki perhatian yang lebih besar terhadap kondisi fisik daripada tahapan remaja lainnya serta kedekatan remaja awal dengan permasalahan mengenai kondisi fisik.

(24)

fisik pada remaja awal usia 13-17 tahun, sedangkan peneliti sebelumnya melakukan penelitian pada segmen usia 20-21 tahun.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah ada perbedaan konsep diri fisik pada remaja awal yang aktif berolahraga dan yang tidak aktif berolahraga?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah terdapat perbedaan konsep diri fisik pada remaja awal yang aktif berolahraga dan yang tidak aktif berolahraga.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini menambah pengetahuan baru dalam ilmu Psikologi mengenai perbedaan konsep diri fisik di kalangan remaja awal yang aktif berolahraga dan yang tidak aktif berolahraga.

(25)

9 adalah pandangan dan perasaan individu mengenai penampilan fisik (ukuran tubuh, kemenarikan tubuh), kesehatan dan keterbatasan fisik (keterbatasan kesehatan, kelemahan, kesehatan yang tangguh) serta kemampuan fisik (stamina, ketangkasan dan kemampuan atletik) sebagai makhluk badaniah. Shavelson (dalam Alipoor, Goodarzi, Nezhad dan Zaheri, 2009) menyatakan konsep diri fisik adalah pandangan individu terhadap dimensi fisik yang terbentuk melalui pengalaman dan interpretasi individu ketika berinteraksi dengan lingkungannya.

(26)

Berdasarkan berbagai pengertian di atas, peneliti menyimpulkan konsep diri fisik adalah pandangan, perasaan dan penilaian individu terhadap kondisi fisik yang meliputi penampilan dan kemampuan fisiknya.

2. Unsur-unsur Konsep Diri Fisik

Dalam penelitian ini, unsur-unsur konsep diri fisik diambil dari Physical Self Description Questionnaire (PSDQ) yang bertujuan untuk mengukur 11 unsur konsep diri fisik dan disusun oleh Marsh, Richards, Johnson, Roche dan Treymane (1994). Unsur-unsur tersebut adalah : a. Strength (kekuatan) : perasaan yang dimiliki individu mengenai

d. Endurance/ fitness (ketahanan) : perasaan yang dimiliki individu mengenai ketahanan fisik/ kesehatan jasmaninya

e. Sport competence (kompetensi di bidang olahraga): persepsi individu mengenai kemampuannya di bidang olahraga

(27)

g. Health (kesehatan) : persepsi yang dimiliki individu mengenai kesehatan tubuhnya

h. Appearance (penampilan) : persepsi yang dimiliki individu mengenai penampilan fisiknya

i. Flexibility (kelenturan) : perasaan yang dimiliki individu mengenai kelenturan tubuhnya

j. General physical self-concept (konsep diri fisik global): keseluruhan perasaan dan kepuasan individu terhadap kondisi fisiknya

k. Self esteem (harga diri) : keseluruhan perasaan, kepuasan dan penghargaan individu terhadap diri dan tidak terbatas hanya pada kondisi fisik.

Akan tetapi, peneliti hanya menggunakan 8 unsur konsep diri fisik yaitu kekuatan, lemak tubuh, aktivitas fisik, ketahanan, koordinasi, kesehatan, penampilan dan kelenturan. Unsur fisik yang tidak digunakan adalah sport competence, general physical self-concept dan self esteem.

(28)

bidang olahraga juga akan lebih baik. Sedangkan pertimbangan peneliti untuk menghilangkan unsur general physical self-concept karena unsur tersebut dapat terwakili oleh 8 unsur fisik yang lain. Unsur self-esteem tidak disertakan dalam penelitian ini karena unsur tersebut juga mengukur hal-hal di luar kondisi fisik sehingga kurang spesifik untuk mengungkap permasalahan mengenai kondisi fisik.

Penelitian ini mengacu pada instrumen PSDQ yang disusun tahun 1994, namun alat tersebut masih dianggap relevan untuk dipergunakan. Hal tersebut dikarenakan literatur dan definisi konsep diri fisik yang cantumkan tetap memuat unsur-unsur yang sama dengan unsur konsep diri fisik dalam PSDQ.

(29)

3. Aspek-aspek Konsep Diri Fisik

Dalam penelitian ini, aspek konsep diri fisik diambil dari tiga aspek konsep diri yang dikemukakan oleh Calhoun dan Acocella (1990). Ketiga aspek tersebut kemudian dikombinasikan dengan 8 unsur konsep diri fisik menurut Marsh et.al (1994). Berikut adalah penjelasan dari ketiga aspek konsep diri fisik :

a. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hal-hal yang diketahui individu tentang dirinya. Jika digabungkan dengan unsur-unsur fisik maka pengetahuan diartikan sebagai sejauh mana individu mengetahui tentang kondisi fisiknya ditinjau berdasarkan kekuatan tubuh, lemak tubuh, tingkat aktivitas fisik, ketahanan tubuh, kesehatan tubuh, koordinasi tubuh, penampilan dan kelenturan tubuh.

Pengetahuan tentang diri fisik memungkinkan individu untuk mengenali kekurangan dan kelebihan yang dimiliki serta mendeskripsikan keadaan diri fisiknya. Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki maka konsep diri fisik individu semakin positif.

(30)

apa diri fisiknya serta kekuatan dan kelemahan yang dimiliki maka individu tersebut memiliki konsep diri fisik yang negatif (Calhoun dan Acocella, 1990).

b. Harapan

Selain pandangan mengenai siapa dirinya, individu juga memiliki gagasan lain tentang akan menjadi seperti apa dirinya di masa depan (Rogers dalam Calhoun dan Acocella, 1990). Dengan kata lain individu memiliki pengharapan atau diri ideal bagi dirinya sendiri (Calhoun dan Acocella, 1990).

Harapan adalah suatu keinginan yang ingin dicapai oleh individu mengenai dirinya. Apabila pengertian tersebut digabungkan dengan unsur-unsur konsep diri fisik maka harapan adalah sesuatu yang ingin diwujudkan individu untuk mencapai gambaran ideal mengenai kondisi fisik, ditinjau berdasarkan kekuatan tubuh, lemak tubuh, tingkat aktivitas fisik, ketahanan tubuh, kesehatan tubuh, koordinasi tubuh, penampilan dan kelenturan tubuh.

(31)

Sebaliknya, individu yang memiliki konsep diri fisik positif mampu merancang harapan-harapan yang realistis. Harapan yang realistis memungkinkan individu memiliki kemungkinan yang besar untuk mewujudkannya (Calhoun dan Acocella, 1990). Oleh sebab itu, individu harus menetapkan harapan yang sesuai dengan potensi dan kemampuan diri sendiri (Desmita, 2009).

c. Evaluasi

Evaluasi adalah penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Apabila digabungkan dengan unsur-unsur konsep diri fisik maka evaluasi adalah penilaian yang dilakukan individu mengenai kondisi fisiknya. Penilaian mengenai diri fisik ditinjau dari kekuatan tubuh, lemak tubuh, tingkat aktivitas fisik, ketahanan tubuh, kesehatan tubuh, koordinasi tubuh, penampilan dan kelenturan tubuh.

(32)

Ketika individu menyukai dan merasa nyaman dengan kondisi fisiknya maka individu akan memberikan penilaian yang positif mengenai diri fisik. Kondisi tersebut membantu individu untuk membentuk konsep diri fisik yang. Sebaliknya individu yang memiliki penilaian negatif mengenai diri fisiknya maka cenderung memiliki konsep diri fisik yang negatif. Individu tersebut selalu merasa bahwa diri fisiknya berada dalam kondisi yang buruk meskipun ia telah melakukan berbagai usaha untuk mengatasi permasalahan fisiknya.

Peneliti kurang setuju dengan penjelasan dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Calhoun dan Acoccela (1990) mengenai aspek-aspek konsep diri fisik. Peneliti kurang setuju dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa semakin banyak pengetahuan individu mengenai diri fisiknya maka semakin positif konsep diri fisiknya. Peneliti berpendapat jika individu memiliki banyak pengetahuan namun pengetahuannya mengenai kelemahan diri fisiknya maka konsep diri fisik yang terbentuk mungkin justru menjadi negatif.

(33)

diwujudkan sehingga individu dapat membentuk konsep diri fisik yang positif.

Peneliti juga menyetujui pendapat Calhoun dan Acoccela (1990) mengenai aspek penilaian. Peneliti setuju bahwa penilaian yang positif mengenai diri fisiknya akan membantu individu untuk membentuk konsep diri fisik yang positif. Ketika individu memiliki penilaian yang positif mengenai diri fisiknya maka individu akan merasa puas dan nyaman dengan diri fisiknya.

Meskipun peneliti kurang setuju dengan salah satu pernyataan Calhoun dan Acocella (1990) mengenai aspek konsep diri fisik, tetapi peneliti tetap menggunakan ketiga aspek di atas sebagai dasar penyusunan alat ukur konsep diri fisik.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Fisik a. Aktivitas Olahraga

Olahraga adalah serangkaian perilaku kegiatan fisik yang melibatkan gerakan berulang dan bertujuan untuk meningkatkan kesehatan jantung, pernapasan dan otot tubuh. Olahraga memiliki cara yang lebih terstruktur dan memerlukan tenaga serta intensitas yang lebih besar daripada kegiatan fisik biasa (WHO, 2010).

(34)

secara teratur maka individu dapat memperoleh berbagai manfaat dari kegiatan olahraga.

Manfaat dari kegiatan olahraga memiliki potensi untuk merubah pandangan, perasaan dan penilaian individu akan penampilan dan kemampuan fisiknya. Manfaat yang timbul dari kegiatan olahraga akan mempengaruhi berbagai unsur fisik seperti stamina tubuh, kekuatan tubuh, kemenarikan tubuh, ketahanan tubuh, berat badan, serta pembentukan tulang dan otot (Sonstroem dan Morgan; Fox dalam Knapen et.al, 2005; Papalia et.al, 2007). Organisasi kesehatan dunia, WHO (2010) juga menyatakan bahwa kegiatan olahraga memiliki kontribusi dalam perkembangan koordinasi dan pengaturan gerak, serta sistem kardiovaskuler.

Kegiatan olahraga yang dilakukan secara teratur memberikan peluang yang besar bagi individu untuk merubah berbagai unsur fisiknya. Perubahan yang terjadi pada diri fisik dapat mempengaruhi pandangan, perasaan dan penilaian individu terhadap kondisi fisiknya yang meliputi penampilan dan kemampuan fisik.

b. Lingkungan dan Budaya

(35)

karena itu, pandangan individu mengenai kondisi fisiknya juga tidak lepas dari standar kemenarikan tubuh yang ditetapkan oleh lingkungan dan budayanya (Marsh dalam Murcia, Gimeno, Lacarcel dan Perez, 2007).

Murcia et.al (2007) berpendapat bahwa konteks sosial budaya yang dianut oleh individu akan memberikan pengaruh terhadap konsep diri fisiknya. Oleh sebab itu, individu memiliki standar yang berbeda-beda mengenai kondisi fisik yang ideal. Murcia et.al (2007) menerangkan bahwa gambaran mengenai tubuh ideal yang berkembang dalam budaya dapat menentukan seberapa besar perhatian seseorang terhadap penampilannya. Seberapa besar perhatian individu terhadap kondisi fisik merupakan konsekuensi dari tekanan sosial.

Salah satu contoh yang memperlihatkan pengaruh budaya dan lingkungan terhadap standar kemenarikan tubuh dikemukakan oleh Stice (dalam Nishina et.al, 2006). Stice (dalam Nishina et.al, 2006) menyatakan bahwa penekanan terhadap bentuk tubuh yang ideal biasanya lebih kaku dan ekstrem di kalangan perempuan Kaukasian. Oleh sebab itu, perempuan-perempuan Kaukasian memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap ketidakpuasan akan tubuh serta gangguan makan.

(36)

daripada perempuan Kaukasian, Latin dan Asia. Perempuan etnis Afrika-Amerika juga memiliki persepsi yang lebih positif terhadap berat badan daripada perempuan Asia (Nishina et.al, 2006). Kepuasan perempuan etnis Afrika-Amerika mengenai tubuhnya dapat terjadi karena meraka memberikan perhatian yang lebih sedikit terhadap tubuh daripada perempuan Kaukasian (Crago et.al, Franko dan Striegel-Moore, Robinson et.al dan Siegel dalam Nishina et.al, 2006).

Lingkungan serta budaya yang tidak memberikan tekanan yang besar terhadap individu untuk memenuhi standar bentuk tubuh ideal menyebabkan individu cenderung merasa puas dengan diri fisiknya. Individu yang merasa tidak puas dengan kondisi fisik karena ia merasa tidak memenuhi harapan dan standar yang ditetapkan oleh lingkungan dan budaya.

c. Jenis Kelamin

Konsep diri fisik juga dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin. Laki-laki memiliki tingkat konsep diri fisik yang berbeda dengan perempuan. Klomsten et.al (dalam Davison dan Schmalz, 2006) menyatakan bahwa laki-laki cenderung memiliki konsep diri yang lebih tinggi daripada perempuan.

(37)

mengandung sifat maskulin (seperti ketahanan tubuh dan kompetensi di bidang olahraga) dan sifat feminin (seperti kelenturan dan kemenarikan tubuh). Crocker, Ellsworth dan Marsh (dalam Chung, 2003) menyatakan bahwa laki-laki memiliki nilai yang lebih tinggi pada unsur kompetensi di bidang olahraga, kemampuan fisik dan kemenarikan tubuh daripada perempuan.

Hallinan et.al (dalam Chung, 2003) menyatakan individu perempuan cenderung memandang dirinya memiliki berat badan berlebih. Perempuan juga cenderung merasa kurang puas dengan penampilan fisiknya. Selain itu, stereotipe yang melekat pada perempuan adalah sebagai seorang yang lemah dan tidak aktif. Hal tersebut mengakibatkan perempuan memiliki konsep diri fisik yang lebih rendah daripada laki-laki.

(38)

B. Remaja Awal

1. Pengertian Remaja Awal

Masa remaja merupakan periode transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menghubungkan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, 2009). Remaja awal dimulai ketika individu memasuki usia 13-17 tahun (Hurlock, 1997). Periode transisi pada masa remaja melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Perubahan yang terjadi pada kondisi fisik membuat individu yang memasuki masa remaja awal mengalami keheranan terhadap diri fisiknya. Remaja awal biasanya merasa terheran-heran dengan perubahan fisik yang terjadi serta munculnya dorongan-dorongan yang menyertai perubahan tersebut (Monks dkk dalam Sarwono, 2007).

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas maka peneliti menyimpulkan remaja awal adalah individu usia 13-17 tahun dan sedang mengalami transisi dari masa anak-anak menuju kedewasaan yang ditandai dengan adanya perubahan dan perkembangan secara biologis, kognitif, sosio-emosional dan sosial ekonomi.

(39)

2. Ciri-ciri Remaja Awal

Rochmah (2005) menyebutkan ciri-ciri khas individu yang memasuki masa remaja awal. Ciri-ciri tersebut adalah :

a. Status tidak menentu

Pada masa ini, individu berada pada status yang tidak menentu karena individu sudah tidak bisa dianggap sebagai anak-anak tetapi juga belum mencapai tahap kedewasaan seutuhnya.

b. Emosional

Individu yang berada pada masa remaja awal biasanya memiliki ketegangan emosi yang lebih tinggi. Hal tersebut dikarenakan individu harus belajar untuk menyesuaikan diri dengan harapan-harapan baru yang datang dari lingkungan sekitar dimana harapan-harapan tersebut berbeda ketika individu masih kanak-kanak.

c. Memiliki keadaan yang tidak stabil

(40)

d. Memiliki banyak masalah

Masalah yang muncul di masa remaja cukup beragam. Masalah yang biasa muncul pada masa remaja antara lain berkaitan dengan keadaan jasmaninya (remaja seringkali merasa cemas terhadap penampilannya), peran gender dan hubungan dengan lawan jenis, nilai, kebebasan, masalah yang berhubungan dengan kemampuan dan lain sebagainya.

e. Masa remaja awal disebut sebagai masa yang kritis

Masa remaja menjadi suatu dasar penilaian untuk melihat apakah individu dapat menghadapi berbagai persoalan yang muncul dengan baik. Kemampuan individu dalam menghadapi masalah di masa remaja akan memberikan pengaruh ketika memasuki masa dewasa.

3. Tugas Perkembangan Remaja

Havighurst (dalam Hurlock, 1997) menyebutkan tugas perkembangan pada masa remaja adalah :

a. Menerima kondisi fisik dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif b. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya

laki-laki maupun perempuan

c. Mencapai peran sosial laki-laki maupun perempuan

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang

(41)

f. Mempersiapkan karir ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis yang digunakan sebagai pegangan untuk berperilaku

4. Remaja dan Olahraga

Monks, Knoers dan Haditono (2006) menyatakan olahraga merupakan salah satu kegiatan yang disukai oleh remaja. Aktivitas olahraga membantu remaja untuk mengisi waktu luang secara lebih bermanfaat, menyalurkan kelebihan energi, dan menemukan identitas.

Jenis olahraga yang populer di kalangan remaja adalah olahraga renang, bersepeda, bola basket, bola voli, sepakbola, lari dan lain sebagainya (Rice, 1996). Sedangkan data Susenas (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional [Bappenas], 2006) menyebutkan olahraga yang sering dilakukan oleh masyarakat usia 10-19 tahun adalah senam, sepak bola dan bola voli. Data Podes (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2008) juga menyatakan bahwa kelompok kegiatan olahraga yang banyak dimiliki di sebuah desa adalah bola voli, sepak bola dan bulu tangkis.

(42)

Kelima jenis olahraga tersebut dipilih dengan mempertimbangkan jenis-jenis olahraga yang populer di kalangan remaja menurut data Podes (2008), Susenas (2006) dan Rice (1996).

(43)

C. Penjelasan Perbedaan Konsep Diri Fisik Pada Remaja Awal Yang Aktif Berolahraga Dan Yang Tidak Aktif Berolahraga

Kondisi fisik remaja awal akan mempengaruhi konsep diri fisiknya. Remaja awal yang memiliki tubuh lebih gemuk cenderung merasa kecewa dan tidak puas dengan kondisi fisiknya. Hal tersebut menyebabkan remaja awal memiliki konsep diri fisik yang negatif. Remaja dengan konsep diri fisik yang negatif akan terhambat untuk memenuhi salah satu tugas perkembangannya yaitu menerima kondisi fisik dan memanfaatkan fisiknya secara efektif.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membentuk konsep diri fisik yang positif adalah melalui kegiatan olahraga (Chung, 2003; Knapen et.al, 2005 dan Schneider et.al, 2008). Remaja awal yang aktif berolahraga memiliki konsep diri fisik yang lebih positif daripada yang tidak aktif berolahraga. Hal tersebut terjadi karena remaja awal yang aktif berolahraga memiliki kondisi fisik yang lebih baik sehingga mereka merasa lebih puas dengan diri fisiknya.

(44)

D. Hipotesis Penelitian

(45)

Perbedaan Konsep Diri Fisik Pada Remaja Awal Yang Aktif Berolahraga dan Yang Tidak Aktif Berolahraga

Remaja awal yang aktif OR

Konsep diri fisik

yang positif Aspek konsep diri fisik : 1. Pengetahuan yang positif

(46)

30 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian komparasi yang bertujuan untuk membandingkan dan mencari perbedaan konsep diri fisik antara remaja yang aktif berolahraga dan remaja yang tidak aktif berolahraga.

B. Identifikasi Variabel

1. Variabel X : keaktifan remaja awal dalam kegiatan olahraga 2. Variabel Y : konsep diri fisik

C. Definisi Operasional

1. Keaktifan Remaja Awal Dalam Kegiatan Olahraga

Keaktifan dalam kegiatan olahraga adalah frekuensi remaja awal dalam kegiatan berolahraga di luar jam pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Indikator keaktifan berolahraga adalah melakukan kegiatan olahraga secara rutin minimal 1 kali seminggu dengan durasi waktu 30 menit atau lebih.

(47)

2. Konsep Diri Fisik

Konsep diri fisik adalah pandangan, perasaan dan penilaian individu mengenai kondisi fisik yang diukur dengan aspek-aspek konsep diri fisik yang terdiri dari pengetahuan, harapan dan evaluasi individu terhadap penampilan fisik dan kemampuan fisik. Konsep diri fisik diungkap dengan Skala Konsep Diri Fisik. Semakin tinggi skor total maka konsep diri fisik subjek semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah skor total maka semakin rendah pula konsep diri fisiknya.

D. Subjek Penelitian

Pemilihan subjek dilakukan dengan teknik purposive sampling. Masing-masing kelompok terdiri dari 88 orang sehingga total subjek dalam penelitian ini adalah 176 orang.

Karakteristik subjek adalah :

1. Remaja putra dan putri yang berada pada tahap remaja awal dengan rentang usia 13-17 tahun.

2. Aktif berolahraga di luar jam pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler olahraga sekolah secara rutin minimal 1 kali dalam seminggu dengan durasi waktu 30 menit atau lebih.

3. Tidak berolahraga secara rutin di luar jam pelajaran olahraga maupun kegiatan ekstrakurikuler sekolah.

(48)

E. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpul data penelitian adalah skala konsep diri fisik yang disusun oleh peneliti. Skala Konsep Diri Fisik disusun dengan metode rating yang dijumlahkan atau skala Likert.

Skala konsep diri fisik terdiri dari 60 buah item yang dibagi menjadi 30 pernyataan favorable dan 30 pernyataan unfavorable. Skala konsep diri fisik terdiri dari 4 alternatif jawaban yaitu, SS (sangat sesuai), S (sesuai), TS (tidak sesuai) dan STS (sangat tidak sesuai). Alternatif jawaban tengah tidak disediakan untuk menghindari kecenderungan subjek memilih jawaban tengah (Azwar, 2006).

(49)

Tabel 1

Blue Print Skala Konsep Diri Fisik Sebelum Uji Coba

(50)

F. Uji Validitas, Seleksi Item dan Reliabilitas 1. Validitas

Pengujian validitas skala diperlukan untuk mengetahui kemampuan skala dalam menghasilkan data yang akurat dan sesuai dengan tujuan ukurnya (Azwar, 2006). Peneliti menggunakan validitas isi untuk mengetahui validitas Skala Konsep Diri Fisik. Validitas isi dicapai melalui professional judgment oleh dosen pembimbing skripsi sebagai orang yang dianggap profesional dan ahli.

2. Reliabilitas

(51)

3. Seleksi Item

Seleksi item dilakukan untuk memperoleh item yang berkualitas. Parameter yang digunakan untuk seleksi item adalah daya diskriminasi item. Pengujian daya dikriminasi item memerlukan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor item dengan distribusi skor skala sehingga menghasilkan koefisien item-total (rix). Penghitungan koefisien korelasi item-total dilakukan dengan bantuan program SPSS 17.0 for Windows Evaluation.

Peneliti menggunakan batasan koefisien korelasi item-total (rix) • 0,30 sebagai kriteria untuk memilih item yang berkualitas. Item yang memiliki nilai rix 0,30 atau lebih dianggap memiliki daya beda yang memuaskan (Azwar, 2006).

Proses seleksi item dilakukan setelah pelaksanaan try out kepada 96 subjek. Penggunaan batasan rix • 0,30 menyebabkan item mengalami banyak pengguguran. Pada tahap ini skor rix berkisar antara -0,036 sampai 0,569. Jika peneliti menggunakan batasan tersebut maka item yang gugur mencapai setengah dari total item sehingga hanya tersisa 30 buah item. 30 item yang tersisa masih memiliki kemungkinan untuk mengalami pengguguran karena item-item tersebut belum melalui proses penyeimbangan.

(52)

mencukupi jumlah yang diinginkan. Pengujian dilakukan tiga kali hingga mendapatkan item-item yang berkualitas dan memiliki skor rix antara 0,250-0,564. Jumlah item yang lolos seleksi adalah 43 buah. Berikut adalah blue print skala setelah uji coba :

Tabel 2

Blue Print Skala Konsep Diri Fisik Setelah Uji Coba

Unsur-unsur fisik

(53)

Tabel 3

Blue Print Skala Konsep Diri Fisik Setelah Diseimbangkan

Unsur-unsur fisik

(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)

50

DAFTAR PUSTAKA

Alipoor, S., Goodarzi, A.M., Nezhad, M.Z., & Zaheri L. (2009). Analysis Of The Relationship Between Physical Self Concept And Body Image Dissatisfaction In Female Student. Journal of Social Sciences, 5 (1), 60-66.

Azwar, S. (2006). Penyusunan Skala Psikologis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2006). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Berk, L. E. (2007). Development Trough The Lifespan (Fourth Edition). Boston : Pearson Education.

Calhoun, F. & Acocella, J.R. (1990). Psychology Of Adjusment And Human Relationship (Third Edition). New York : Mc Graw Hill.

Chaerunnisa. (2008). Membentuk Tubuh Untuk Raih Penampilan Ideal. Diunduh tanggal 23 September 2010 dari www.lifestyle.okezone.com.

Chung, P. (2003). Physical Self-Concept Between PE Major And Non-PE Major Students In Hongkong. Journal of Exercise Science and Fitness, 1 (1) : 41-46. Davison, K. K. & Schmalz, D. L. (2006). Differences In Physical Self-Concept Among Pre-Adolescents Who Participate In Gender-Typed And Cross-Gendered Sports. Journal of Sport Behaviour, 29 (4), 335-352.

Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik Panduan Bagi Orang Tua Dan Guru Dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, Dan SMA. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Fernandez, R. A. (2009). Physical Self Concept And Psychological Well-Being/Unwellness During Adolescence. Diunduh tanggal 23 Juli 2010 dari http://www.news-medical.net/news/2009/02/03/45499.aspx

Gilman, R., Huebner, E.S. & Furlong, M.J. (2009). Handbook Of Positive Psychology In School. New York : Routledge.

Howell, D. C. (1982). Statistical Methods For Psychology. Massachusetts : Duxbury Press.

Hurlock, E. B. (1973). Adolescent Development (Fourth Edition). Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha, Ltd.

(67)

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2006). Presentase Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Yang Melakukan Olahraga Selama Seminggu Terakhir Menurut Kelompok Umur Dan Jenis Olahraga Yang Paling Sering Dilakukan. Diunduh tanggal 20 Februari 2011 dari http://kppo.bappenas.go.id/.

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2008). Persentase Desa Yang Memiliki Kelompok Kegiatan Olahraga Menurut Propinsi Dan Jenis Olahraga. Diunduh tanggal 20 Februari 2011 dari http://kppo.bappenas.go.id/.

Klomsten, A. T., Skaalvik, E.M. & Espnes, G. A. (2004). Physical Self-Concept And Sport : Do Gender Differences Stil Exist?. Sex Roles, Vol. 50, Nos. 1/2, Januari.

Knapen, J., Vliet, P.V., Coppenolle, H.V., David, A., Peuskens, J., Pieters, G., & Knapen, K. (2005). Comparison Of Changes In Physical Self-Concept, Global Self-Esteem, Depression And Anxiety Following Two Different Psychomotor Therapy Program In Nonpsychotic Psychiatric Inpatients. Psychotherapy and Psychosomatics, 74, 353-361.

Knoesen, N., Vo, S. T. & Castle, D. (2009). To Be Superman The Male Looks Obsession. Australian Family Physician Vol, 38, No 3.

Marsh, H.W., Richards, G.E., Johnson, R., & Tremayne, P. (1994). Physical Self Descriptions Questionnaire : Psychometric Properties And Multitrait-multimethod Analysis Of Relations To Existing Instruments. Journal of Sport and Exercise Psychology, 16 : 270-305.

McBride, H. (2010). Obsessed With Size : ‘Bigorexia’ Sufferers Develop Unhealthy Compulsion To Exercise. Diunduh tanggal 26 September 2010 dari

www.eating-disorder.com/Eating-Treatment/Eating-Disorders/muscle-dysmorphia-bigorexia.htm.

Monks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono. (2006). Psikologi Remaja : Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Murcia, J. A. M., Gimeno, E. C., Lacarcel, J. A.V. & Perez, L. M. R. (2007).

Physical Self-Concept Of Spanish Schoolchildren : Differences By Gender, Sport Practice And Levels Of Sport Involvement. Journal of Education And Human Development, Volume 1, Issues 2.

(68)

Papalia, D. O., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2007). Human Development (10th ed). New York : McGraw Hill.

Parma, S. A. (2007). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Perilaku Konsumtif Remaja Putri Dalam Pembelian Kosmetik Melalui Katalog Di SMA Negeri 1 Semarang. Skripsi (Tidak diterbitkan). Semarang : Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.

Rice, F. P. (1996). The Adolescent : Development, Relationship, And Culture. Boston : Allyn & Bacon.

Rini, J. F. (2004). Mencemaskan Penampilan. Diunduh tanggal 26 Agustus 2010 dari www.e-psikologi.com.

Rochmah, E. Y. (2005). Psikologi Perkembangan. Ponorogo : STAIN Ponorogo Press dan Teras.

Rodriguez D., & McGovern, J.A. (2005). Physical Activity, Global Physical Self-Concept, And Adolescent Smoking. The Society of Behavioral Medicine, 30 (3) : 251-259.

Santoso. A. (2010). Statistik Untuk Psikologi Dari Blog Menjadi Buku. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma.

Santrock, J. W. (2007). Remaja (Edisi 11/ Jilid I). Jakarta : Erlangga.

Santrock, J. W. (2009). Life-Span Development (12th ed). New York : McGraw Hill.

Sarwono, S. W. (2007). Psikologi Remaja. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Schneider, M., Dunton, G. F., Cooper, D. M. (2008). Physical Activity And

Physical Self Concept Among Sedentary Adolescent Females; An Intervention Study. Psychological Sport Exercise, 9 (1) : 1-14.

Simbolon, S. C. (2010). Gangguan Makan Ancam Remaja Putri. Diunduh tanggal 1 Agustus 2010 dari http://kesehatan.kompas.com.

Ulfah, N. (2009). Menanam Bra di Dalam Dada Untuk Menaikkan Payudara.

Diunduh tanggal 10 Agustus 2011 dari sumber

(69)

Karena Diet Ketat, Carissa Puteri Pucat Dan Loyo. (2009). Kompas. Diunduh

tanggal 30 Juli 2011 dari sumber

http://entertainment.kompas.com/read/2009/12/09/1100090m/Karena.Diet.Ke tat.Carissa.Puteri.Pucat.dan.Loyo

World Health Organization. (2010). Adolescent Health. Diunduh tanggal 11 Juli 2010 dari http://www.who.int/topics/adolescent_health/en/.

World Health Organization. (2010). Physical Activity And Young People. Diunduh tanggal 11 Juli 2010 dari http://www.who.int/dietphysicalactivity/factsheet young_people/en/print.html.

World Health Organization. (2010). What Is Physical Activity? What Is Exercise?.

Diunduh tanggal 23 Juli 2010 dari

www.who.int/dietphysicalactivity/factsheet_recommendations.

World Health Organization. (2010). Which Health Problems Affect Adolescents And What Can Be Done To Prevent And Respond To Them?. Diunduh tanggal

11 Juli 2010 dari

http://www.who.int/child_adolescent_health/topics/prevention_care/adolesce nt/dev/en/print.html.

(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)

Gambar

Tabel 1
Blue PrintTabel 2  Skala Konsep Diri Fisik Setelah Uji Coba
Tabel 3

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Severin dan Tankard 1973, dari penelitian di Chapel Hill tersebut ditarik kesimpulan bahwa terdapat suatu hubungan yang sangat kuat antara isu yang diliput dengan apa

Berkenaan dengan hal tersebut diatas agar saudara membawa dokumen kualifikasi

Suradinata (1999) menyatakan bahwa bahwa tuntutan desentralisasi dilandasi untuk: a) mencegah tertumpuknya kekuasaan di satu tangan, b) mengikut sertakan masyarakat

Az is feltehet ő kérdés, hogy miért lesz valaki konzer- vatív vagy liberális, feltéve, ha elismerjük, hogy a politikai orientációk sokdimen- ziósak, változtathatóak, és

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat digunakan oleh pembaca sebagai pedoman dalam mengenali permasalahan remaja dan juga kiat kiat dalam menanggulangi permasalahan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dijelaskan implikasi dari penelitian ini adalah bagaimana masyarakat dan penegak hukum termasuk juga Direktorat Jenderal

PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN EDUTAINMENT PADA PEMBELAJARAN PSYCHROMETRIC UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SMK. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang bisa menyerang siapa saja, termasuk anak- anak. Namun penyakit TB pada anak belum dianggap masalah kesehatan penting meski