• Tidak ada hasil yang ditemukan

B A B I PENDAHULUAN. Bisnis penyiaran akhir-akhir ini terlihat semakin marak, terbukti dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "B A B I PENDAHULUAN. Bisnis penyiaran akhir-akhir ini terlihat semakin marak, terbukti dengan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang Masalah

Bisnis penyiaran akhir-akhir ini terlihat semakin marak, terbukti dengan bermunculannya lembaga-lembaga penyiaran baik radio maupun televisi, seiring dengan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang seakan tidak bisa terbendung.

Di daerah sumatera utara terdapat tidak kurang dari 45 stasiun lembaga penyiaran radio lokal, 4 stasiun televisi lokal ditambah 10 stasiun televisi nasional dan 2 radio lokal berjaringan yang setiap harinya mengudara memenuhi ruang – ruang publik, menembus mata dan telinga para pendengarnya dengan tidak mengenal latar belakang, status, siapa dan di mana mereka berada.

Namun dari antusiasme masyarakat dalam menerima informasi melalui kedua media itu, berdasarkan pengamatan peneliti secara kasat mata, masyarakat kelihatannya lebih cenderung menyaksikan acara yang ditayangkan melalui media televisi dibandingkan dengan radio. Hal ini dimungkinkan karena media televisi dianggap memberikan informasi yang lebih sempurna dibanding dengan media radio, dengan adanya suara dan gambar (Audio - Visual) muncul secara bersamaan yang dapat memberi kesan lebih akurat.

(2)

Selain itu, waktu mendapatkan informasi masyarakat khususnya bagi mereka yang memiliki kegiatan rutin setiap harinya menjadi alasan tersendiri untuk menjadikan televisi sebagai media informasi yang dianggap cocok. Karena bagi masyarakat pada umumnya tidak dapat setiap saat menyediakan waktunya untuk menerima informasi. Atau tidak memungkinkan semua waktunya dipakai hanya untuk mendapatkan informasi.

Kondisi itulah yang menjadi alasan mengapa televisi lebih dominan menjadi media untuk dijadikan saluran informasi masyarakat, karena media televisi telah menetapkan slot waktu program siarannya yang disesuaikan dengan perkiraan jadwal menonton masyarakat. Menurut john Vivian, Banyaknya audien televisi menjadikannya sebagai medium dengan efek yang besar terhadap orang dan kultur dan juga terhadap media lain. Sekarang televisi adalah medium massa dominan untuk hiburan dan berita. (224:2008)

Dari jumlah lembaga penyiaran televisi yang ada di masing-masing daerah dengan status sebagai televisi lokal, pada kenyataannya masih belum dapat mengimbangi jumlah lembaga televisi nasional yang mendominasi pasar informasi masyarakat lokal. Sehingga informasi yang diperoleh oleh masyarakat di masing-masing daerah secara potensial lebih banyak bersumber dari informasi yang berasal dari pusat (Jakarta) baik secara kualitas maupun kuantitas.

Akibatnya, pengetahuan masyarakat lebih banyak diperoleh melalui informasi nasional yang menyebabkan terjadi ketimpangan arus informasi di tengah-tengah

(3)

masyarakat. Atau dengan perkataan lain bahwa masyarakat lebih mengetahui peristiwa yang terjadi di daerah lain dibanding dengan kejadian peristiwa di daerahnya sendiri.

Kondisi ini menunjukkan adanya suatu gejala keterpaksaan masyarakat lokal untuk menerima informasi secara nasional atau terjadinya pemaksaan informasi yang dilakukan oleh pemegang kendali informasi yang bekerja di media penyiaran nasional. Sebagaimana yang dikatakan Eko Harry Susanto (109:2009) bahwa sesungguhnya aneka acara di layar kaca yang mereka saksikan hanyalah sekedar keterpaksaan, karena memang tidak ada acara lain yang bisa memenuhi kebutuhan mereka……Sebab harapan mereka adalah, televisi benar-benar mampu memberikan pendidikan, pengetahuan, dan perlindungan yang bermanfaat untuk mendorong tercapainya kesejahteraan masyarakat di berbagai daerah, khususnya pedesaan…..Mereka merindukan tayangan bermutu dalam perspektif pedesaan, seperti strategi mengeksploatasi potensi alam, perlindungan usaha pedesaan, manajemen usaha kecil di bidang pertanian, perikanan dan usaha akar rumput lainnya.

Munculnya fenomena seperti ini tidak terlepas disebabkan oleh kebijakan pemerintah orde baru pada saat memberikan peluang izin siaran kepada pihak swasta untuk mendirikan lembaga penyiaran televisi dengan cakupan area penyiarannya secara nasional.

Kebijakan dimaksud dapat terlihat melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No. 111/Kep./Menpen/1990 tentang Penyiaran Televisi di Indonesia yang

(4)

membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi lembaga televisi swasta untuk mengeksplorasi medium frekuensi sekaligus memberi ruang yang cukup besar untuk meraup keuntungan bagi perusahaannya tanpa memperdulikan hak-hak masyarakat lokal dalam memperoleh informasi lokal.

Keputusan menteri penerangan tersebut dilakukan sebagai koreksi atas kebijakan sebelumnya, bahwa televisi swasta hanya diberi izin dalam wilayah tertentu melalui sistem Siaran Saluran Terbatas (SST).

Di dalam surat keputusan menteri itu tidak lagi secara tegas membatasi wilayah jangkauan siaran bagi lembaga televisi swasta dengan pola system saluran terbatas, melainkan hanya berisikan tentang pembagian klasifikasi status lembaga penyiaran televisi yang disesuaikan dengan pembagian wilayah secara politis, yakni :

1. Stasiun penyiaran nasional atau pusat, 2. Stasiun penyiaran regional,

3. Stasiun penyiaran lokal, 4. Stasiun produksi, 5. Stasiun transmissi, dan 6. Antena parabola.

Padahal dalam SK menteri penerangan sebelumnya No.

190/A/Kep/Menpen/1987 tentang Siaran Saluran Terbatas (SST) telah diatur mengenai pembatasan jangkauan siaran bagi televisi swasta. Kecuali TVRI, semua televisi swasta hanya diberikan izin berdasarkan cakupan area tertentu sesuai dengan wilayah tempat di mana stasiun itu berdiri.

Sebagai contoh, pada saat itu RCTI sebagai Lembaga Televisi Swasta pertama di Indonesia, mengantongi izin jangkauan siarannya hanya untuk wilayah Jakara dan

(5)

sekitarnya saja. Sementara SCTV hanya mendapat ijin wilayah jangkauan siarannya

se kawasan Jawa Timur dan Bali saja. (SK Direktur Televisi No. 12/SP/Dir/TV/1988) Dengan telah ditetapkannya keputusan baru oleh Menteri Penerangan No.

111/thn 1990 tentang pembagian klasifikasi stasiun televisi yang tidak lagi mencantumkan izin Sistem Saluran Terbatas (SST) maka secara otomatis izin “SST” tidak berlaku lagi.

Akibatnya, semua televisi yang sebelumnya hanya memegang izin penyiaran saluran terbatas tentu saja menyambut keputusan menteri yang baru itu dengan sangat antusias. Karena dengan kebijakan itu mereka dapat lebih leluasa menguasai pangsa pasar nasional dan sekaligus masing-masing dari mereka berusaha menjadi pemegang kendali informasi nasional. Oleh karena itu sangat memungkinkan terjadinya suatu gejala monopoli arus informasi nasional seperti yang dirasakan masyarakat Indonesia dewasa ini.

Ben Bagdikian (dalam John Vivian 29:2008) mengatakan bahwa konglomerasi mempengaruhi diversitas pesan yang diberikan media massa. Mereka berusaha menguasai atau mendominasi pasar bukan hanya untuk satu medium tetapi semua media. Tujuannya adalah mengontrol semua peroses dari naskah awal atau serial baru sampai ke penggunaannya dalam beragam bentuk…Salah satu efek negatif dari konglomerasi terjadi ketika perusahaan induk memanfaatkan anak perusahaannya hanya untuk memperkaya konglomerat secepat mungkin dan dengan cara apa saja, tanpa peduli pada mutu produk yang dihasilkan.

(6)

Sikap monopoli arus informasi yang dilakukan oleh lembaga penyiaran televisi swasta nasional itu belakangan baru dirasakan oleh berbagai pihak, ternyata akibat dari pemberlakuan Kepmen No. 190 itu memiliki dampak yang sangat luar biasa parahnya dalam tatanan informasi nasional terutama dalam pemenuhan kebutuhan informasi masyarakat daerah secara seimbang dan merata.

Arus informasi yang selama beberapa dekade didominasi oleh Lembaga Penyiaran Televisi Swasta Nasional dari pusat ke daerah menimbulkan reaksi yang sangat kuat terutama oleh komunitas masyarakat lokal yang menyadari akan kebutuhannya untuk mendapatkan informasi lokal. Berbagai reaksi dapat terdengar dari ungkapan yang ada di tengah-tengah masyarakat terutama direpresentasikan oleh para orang tua, para guru, kaum agamawan, kalangan intelektual maupun tokoh-tokoh adat dengan nada yang umumnya sama, yakni timbulnya kekhawatiran mereka

akan masa depan generasi muda daerah sebagai pewaris budaya lokal. Kekhawatiran itu sangat beralasan, karena suguhan informasi yang mereka

terima setiap hari didominasi oleh informasi berskala nasional dan bahkan internasional. Jika fenomena ini dibiarkan terus maka sangat logis jika kian hari kian mengikis pemahaman masyarakat daerah terhadap potensi lokalnya sendiri, terutama yang berkaitan dengan aspek budaya serta aspek sosio kultural lainnya. Apalagi jika dikaitkan dengan tujuan dari konsep otonomi daerah, maka kondisi yang terjadi saat ini sangat tidak relevan.

Sebagaimana yang dikatakan Eko Harry Susanto (20:2009) bahwa peran teknologi komunikasi dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah merupakan salah satu

(7)

indikator yang menunjang keberhasilan Pemerintah Daerah dalam distribusi sumber daya, transparansi penyelenggaraan pemerintahan, hubungan kekuasaan pusat-daerah, hubungan horizontal dengan sesama Kabupaten/Kota dan lebih penting lagi adalah hubungan interaktif pemerintah dengan masyarakat secara langsung.

Jika fenomena ini dibiarkan terus maka Indonesia yang dikenal sebagai sebuah negara pluralis dengan kekayaan dan keragaman potensi budayanya, lambat laun dan dapat dipastikan hanya akan menjadi tinggal nama saja.

Munculnya Undang-Undang No 32 tahun 2002 tentang penyiaran memberi sinyal bagi masyarakat bahwa adanya kesadaran dari pihak eksekutif bersama dengan pihak legislatif terhadap fenomena yang sangat memperihatinkan terjadi di masyarakat. Dalam Undang-Undang No. 32 tersebut berisikan tentang pengaturan terhadap dinamika yang terjadi di dunia penyiaran Indonesia, antara lain mencakup tentang ketentuan strategis berupa aspek perijinan, serta isi (content) siaran.

Dalam pasal 31 UU No. 32 tentang penyiaran menyebutkan :

(1) Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal.

(2) Lembaga Penyiaran Publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

(3) Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.

(8)

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sistem stasiun jaringan disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

(5) Stasiun penyiaran lokal dapat didirikan di lokasi tertentu dalam wilayah Negara Republik Indonesia dengan wilayah jangkauan siaran terbatas pada lokasi tersebut.

(6) Mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun penyiaran lokal diutamakan kepada masyarakat di daerah tempat stasiun lokal itu berada. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan UU penyiaran ini, maka dibentuk sebuah lembaga independen yang bertugas mengatur tentang segala aspek dalam sistem penyiaran di Indonesia sesuai dengan pasal (6) ayat (4) Undang-Undang penyiaran.

Dalam pasal itu disebutkan bahwa untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran ( KPI ); dan pada pasal berikutnya dikatakan : “ KPI terdiri atas KPI pusat dibentuk di tingkat pusat dan KPI daerah di bentuk di tingkat provinsi.”

Sesuai dengan tuntutan undang-undang itu pula dalam rangka lebih memaksimalkan pengaturan serta pengawasan isi siaran oleh Lembaga Penyiaran khusunya media Televisi, pemerintah menuangkannya dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta yang kemudian diikuti oleh kementerian komunikasi dan informatika dengan menerbitkan peraturan teknis mengenai pembagian jumlah durasi isi informasi siaran

(9)

antara pusat dan daerah dengan model Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) melalui Peraturan Menteri Kominfo nomor 43 tahun 2009.

Terbitnya peraturan ini semata-mata bertujuan agar seluruh lembaga penyiaran yang selama ini mengudara secara nasional dibatasi cakupan areanya, sekaligus membatasi volume isi siarannya secara proporsional yakni 50% lokal dan 50% pusat melalui suatu sistem jaringan antara stasiun induk jaringan dengan anggota

jaringannya di berbagai wilayah, propinsi, kabupaten/kota. Untuk mencapai sasaran dimaksud, maka kepada semua lembaga penyiaran

televisi harus memiliki stasiun lokal dengan serta merta mengurus administrasi perijinan di lokasi tempat mana stasiun lokal itu akan didirikan.

Berdasarkan amanat Permen Kominfo tersebut, bahwa di Negara ini tidak ada lagi lembaga Penyiaran yang berstatus sebagai Stasiun Televisi Nasional, melainkan hanya Stasiun Lokal yang berjaringan dengan stasiun induk jaringannya.

Dari aspek isi siaran, dengan telah terjadinya perubahan status kelembagaan media penyiaran ini, maka secara berangsur-angsur menayangkan volume siarannya dimulai dari 10% muatan lokal dan 90% siaran nasional hingga pada akhirnya setiap lembaga penyiaran televisi harus menyiarkan batas minimum isi siarannya 50% berisikan muatan lokal dan 50% muatan nasional, sehingga terjadi pembagian muatan isi siaran (diversity of content).

Dengan demikian masyarakat pemirsa yang tinggal di masing-masing daerah diharapkan secara signifikan akan memperoleh informasi yang berasal dari daerahnya

(10)

sendiri dan seiring dengan itu dapat pula mengikuti perkembangan yang terjadi secara nasional.

Pemberlakuan peraturan ini efektif harus dilaksanakan sejak masa diberlakukannya Peraturan Menteri ini, yakni pada tanggal 19 oktober 2009.

Namun kenyataannya sejak diberlakukannya Permen Kominfo tersebut, khususnya di daerah Sumatera Utara, hingga saat penelitian ini dilakukan belum ada satu pun dari lembaga penyiaran swasta televisi nasional yang mengoperasionalisasikan kegiatan stasiun lokalnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Atau dengan perkataan lain belum terlihat satu pun dari mereka secara konsisten menjalankan tuntutan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Kominfo tentang Sistem Stasiun Jaringan.

Berdasarkan data yang peneliti peroleh dari sekretariat KPID-SU, sejak diberlakukannya Permen Kominfo No 43/2009 bahwa semua Lembaga Penyiaran televisi swasta nasional sudah mendaftarkan proposalnya ke KPID-SU untuk mendirikan televisi lokal berjaringan di daerah ini dan dari kesemuanya telah pula melakukan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) dan telah mengantongi Rekomendasi Kelayakan (RK) dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPID-SU), yakni :DELI TV, SPACE TOON TV, DAAI TV, SCTV, RCTI, GLOBAL TV, TPI, TV ONE, AN-TV, METRO TV, TRANS TV, TRANS 7, dan INDOSIAR. Meskipun diantara mereka ada beberapa stasiun televisi swasta yang telah mendapatkan izin percobaan siaran sebelum keluarnya Permen Kominfo tersebut. Berdasarkan hal itu, maka Lembaga Penyiaran tersebut tidak peneliti masukkan di

(11)

dalam populasi penelitian ini, dikarenakan mereka telah terlebih dahulu mengikuti EDP dengan KPID-SU sebelum terbitnya Permen Kominfo tahun 2009, yakni :

DELI TV, DAAI TV, dan SPACE TOON TV. Pertimbangan lain yang menjadikan alasan peneliti tidak memasukkannya di

dalam objek penelitian ini (SPACE TOON, DAAI TV dan DELI TV) karena sejak berdirinya telah memiliki status sebagai televisi lokal berjaringan.

Terlepas dari permasalahan itu berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan bahwa keseluruhan LPS televisi jaringan yang telah melakukan EDP sejak diberlakukannya Permen Kominfo No 43/2009 dan telah mengantongi Rekomendasi Kelayakan (RK) dari KPIDSU, hingga kini belum menindaklanjutinya dengan melakukan pemenuhan kelengkapan lanjutannya, berupa pengadaan sarana dan prasarana kantor, seperti : studio produksi, peralatan teknis operasional SSJ, jumlah SDM, maupun tindak lanjut dari konsep pelaksanaan program siaran (pola siaran) sesuai ketentuan yang berlaku.

Mestinya fenomena ini tidak harus terjadi jika ditinjau dari komitmen yang dicanangkan oleh penanggung jawab/pengelola induk jaringan sebagaimana yang peneliti peroleh dari jawaban tertulis sebelumnya.

Disamping itu, sebagai sebuah lembaga resmi yang terikat dengan peraturan dan perundang-undangan, maka dapat dikatakan bahwa kejadian seperti ini dapat dianggap sebagai sebuah penyimpangan terhadap konstitusi.

Dengan tidak terpenuhinya persyaratan secara menyeluruh oleh lembaga siaran televisi swasta lokal yang berada di wilayah kerja kota Medan dan sekitarnya dalam

(12)

mengimplementasikan peraturan tentang Sistem Stasiun Jaringan maka dapat peneliti katakan bahwa terdapat dua aspek yang menjadi dampaknya, yakni aspek dari sisi pemerintah melalui aturan yang telah dikeluarkan (UU,PP,Permen) maupun dari sisi kepentingan masyarakat lokal, khususnya masyarakat dengan haknya untuk mendapatkan informasi lokal .

Dari sisi kepatuhan kepada aturan dapat dinilai bahwa pengelola lembaga penyiaran tidak taat aturan. Sedangkan dari sisi masyarakat, lembaga penyiaran sebagai sebuah institusi media massa tidak menjalankan kewajibannya dalam penyebarluasan informasi lokal sebagai sebuah kebutuhan sekaligus hak dari setiap warga Negara untuk memperoleh informasi. Sebagaimana yang termaktub di dalam UU no 40 tahun 1999 tentang Pers, BAB II pasal (3), bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan dan kontrol sosial dan pers nasional berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Pada akhirnya apa yang menjadi kekhawatiran berbagai pihak bahwa semakin pudarnya kesadaran lokal dan partisipasi masyarakat yang berisikan potensi daerah mencakup budaya dan adat istiadat daerah, potensi sumber daya manusia, sumber

daya alam, serta sumber-sumber lain yang menjadi ciri khas daerah. Seiring dengan kenyataan itulah, peneliti tertarik untuk mengkaji dan

mengetahui lebih mendalam tentang apa yang menjadi penyebab para pengelola lembaga penyiaran televisi swasta lokal berjaringan bersikap tidak konsisten dalam melaksanakan ketentuan yang ada sekaligus mengabaikan kebutuhan masyarakat daerah akan informasi lokal.

(13)

Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan selama ini terhadap keberadaan lembaga televisi lokal, maka peneliti mencoba untuk melakukan penelitian kepada lembaga penyiaran televisi swasta lokal berjaringan yang berdomisili di daerah Medan dan sekitarnya melalui pimpinan/penanggung jawab/pengelola stasiun pada masing-masing lembaga televisi lokal berjaringan yang ada di kota Medan dan

Sekitarnya, dengan judul penelitian:

“Pelaksanaan Program Sistem Stasiun Jaringan pada Lembaga Penyiaran Televisi Swasta Lokal di Sumatera Utara dalam Perspektif Tanggung Jawab

sosial Media

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan dengan uraian yang peneliti ungkapkan pada latar belakang masalah, maka peneliti mencoba untuk merumuskannya dalam beberapa pertanyaan dan sekaligus menjadikannya sebagai suatu permasalahan yang peneliti jadikan sebagai fokus untuk dicarikan jawabannya melalui penelitian yang akan peneliti

lakukan, yakni :

1. Bagaimana responsibilitas pengelola lembaga penyiaran televisi swasta Biro Medan dalam menyikapi aturan Pemerintah tentang Sistem Stasiun Jaringan (SSJ).

2. Hal-hal apa saja yang menjadi kendala bagi para pengelola lembaga penyiaran televisi swasta lokal Biro Medan menjalankan agenda program stasiun televisi swasta lokal berjaringan, dalam kerangka memberdayakan potensi informasi lokal.

(14)

3. Strategi apa yang dilakukan oleh Lembaga Penyiaran Televisi Swasta lokal

berjaringan biro Medan terhadap implikasi pemberlakuan aturan tentang Sistem Stasiun Jaringan dalam pemenuhan kebutuhan informasi masyarakat lokal, sebagai wujud tanggung jawab media kepada publik.

1.3 Tujuan Penelitian

Melalui beberapa tahapan penganalisisan penelitian ini memiliki tujuan antara lain :

1. Untuk mengetahui sejauh mana responsibilitas para pengelola lembaga penyiaran televisi swasta lokal berjaringan dalam mematuhi peraturan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) sesuai dengan UU No. 32 thn 2002, PP No. 50 thn 2005 serta Permen Kominfo RI No. 43 tahun 2009 tentang Sistem Stasiun Jaringan.

2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh pengelola Lembaga Penyiaran Televisi Swasta lokal berjaringan biro Medan dalam menjalankan agenda

program Stasiun Lokal Berjaringan. 3. Untuk mengetahui strategi seperti apa yang telah dan akan dilakukan oleh

lembaga penyiaran televisi swasta lokal berjaringan biro Medan dalam menyahuti kebutuhan informasi masyarakat lokal seiring dengan pelaksanaan

(15)

aturan tentang Sistem Stasiun Jaringan, dalam rangka mewujudkan peran tanggung jawab sosial media.

1.4 Manfaat Penelitian

Sebuah penelitian dilakukan tentu dengan maksud untuk mendapatkan manfaat tertentu baik untuk diri si peneliti sendiri maupun untuk pihak lain. Dalam penelitian ini minimal penulis berharap akan memberi manfaat antara lain :

1. Menambah pemahaman dan kesadaran bagi penanggung jawab/pengelola Lembaga Penyiaran khususnya Lembaga Penyiaran Swasta Televisi berjaringan sebagai sebuah lembaga publik dalam menyikapi segenap aturan, baik secara

institusional maupun konstitusional.

2. Mendorong masyarakat untuk lebih sadar akan haknya dalam mendapatkan informasi secara luas dan mendalam tentang situasi, perkembangan dan peristiwa lokal sebagai salah satu dari tanggung jawab yang harus dilakukan oleh setiap lembaga informasi publik dalam hal ini stasiun televisi swasta lokal

berjaringan.

3. Memberi masukan kepada setiap pengelola Lembaga Penyiaran Televisi Swasta

Lokal Berjaringan untuk mendapatkan alternatif pemecahan masalah dalam mengatasi kendala yang umumnya dihadapi oleh para penanggung jawab dan/atau pengelola media televisi swasta dalam melaksanakan agenda/ program stasiun jaringan.

(16)

4. Memberi dorongan dan stimuli kepada setiap penanggung jawab dan atau

pengelola Lembaga Televisi swasta lokal berjaringan agar dalam menjalankan kegiatan penyiarannya senantiasa berada dalam kerangka acuan hukum positif yang berlaku dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta menjalankan tanggung jawab sosialnya dalam penyebarluasan informasi kepada masyarakat khususnya masyarakat lokal.

5. Memberi gambaran serta masukan kepada pemerintah terhadap situasi yang terjadi di lapangan dalam pemberlakuan peraturan terkait dengan pelaksanaan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ), khususnya di daerah Medan dan Sekitarnya.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian adanya pemahaman karakteristik, identifikasi kebutuhan dan pelanggan Perguruan Tinggi memberikan harapan bahwa pelayanan yang diberikan akan

Dari data-data tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar bahan bakar bekas reaktor berupa aktinida dengan aktivitas dan daya termal yang cukup tinggi, walaupun masih jauh

Perdamaian Antar Umat Beragama). Jurnal Komunikasi dan Sosial Keagamaan Vol: XV, No.. Berbicara mengenai perbedaan agama, perbedaan paham agamapun menjadi salah satu

Untuk dapatmenarik kesimpulan dari pengalaman dengan benar diperlukan berpikir kritis dan logis, dalam hal ini, sebagian besar ibu belum pernah merawat anak dengan

Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah potensi yang ada di Museum Uang Sumatera sudah dikembangkan, untuk mengetahui apa saja faktor pendorong dan penghambat

Ini merupakan pengertian atas salah satu asas dasar yang termasuk dalam konsepsi pendiskontoan (discounting), karena pendekatan arus dana nilai sekarang pada dasarnya

percaya diri juga dapat tumbuh dalam diri seorang mahasiswa yang

Agar siswa dapat bekerja dengan maksimal, pengajar dituntut untuk membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok dapat