• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tema kebencanaan menjadi salah satu tema yang tidak pernah habis untuk dikaji. Kehidupan manusia dimuka bumi akan selalu berdampingan dengan bencana yang setiap saat mungkin terjadi. Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007:

“Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian, dan dampak psikologis”.

Bencana yang terjadi dapat berupa bencana alam, bencana akibat manusia, dan bencana akibat teknologi (Hoesada, 2006). Longsor sebagai salah satu contoh bencana yang umum ditemui dapat digolongkan ke dalam bencana alam dan bencana akibat perilaku manusia. Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat frekuensi kejadian bencana longsor tinggi, memasukan Indonesia pada golongan negara yang memiliki tingkat kerawanan longsor. Kerawanan sendiri merupakan “kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologi, geografi, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan untuk menanggapi

dampak buruk bahaya tertentu” (UU Nomor 24 Tahun 2007).

Defenisi longsor atau gerak massa adalah proses pergerakan batuan dan tanah atau salah satu dari keduanya dalam jumlah besar yang bergerak menuruni lereng dengan kecepatan lambat hingga cepat akibat pengaruh gaya gravitasi (Dibyosaputro, 1999). Gerakan batuan dan/atau tanah yang menuruni lereng dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor yang secara umum dapat dibagi menjadi faktor pasif dan faktor aktif.

Menurut Thornbury (1969), faktor pasif yang menyebabkan terjadinya longsor terdiri dari gaya gravitasi, topografi, geologi, tanah, dan riwayat kejadian longsor masa lampau. Faktor-faktor pasif ini bersifat diam, statis, dan cenderung

(2)

2 tidak mengalami perubahan dari masa ke masa. Menurut Alhasana (2006), faktor aktif memiliki sifat dinamis dan cenderung mengalami perubahan tergantung perubahan gaya atau energi saat ini. Faktor aktif terdiri dari aktivitas manusia yang mengganggu stabilitas lereng, iklim dan curah hujan, getaran, dan gempa bumi.

Manusia yang terus melakukan inovasi dan pembangunan akan berdampak pada tingginya tingkat kejadian longsor. Aktivitas pembangunan infrastruktur seperti jalan yang bertujuan untuk mempermudah aksesibilitas suatu daerah, dilakukan tanpa memperhatikan kemiringan lereng jalan. Banyak dari aktivitas pembangunan jalan dilakukan dengan pemotongan lereng pada dinding-dinding perbukitan. Pemotongan lereng mengakibatkan perubahan sudut kemiringan lereng yang dapat memicu terjadinya longsor pada sisi kiri mapun kanan jalan. Hardiyatmo (2007), menerangkan mengenai faktor-faktor penyebab longsor pada lereng jalan yang secara umum diakibatkan oleh dua faktor utama yakni kondisi drainase buruk dan pemotongan lereng. Selain itu, longsor pada lereng jalan dipengaruhi pula oleh getaran yang dihasilkan dari aktivitas kendaraan.

Beberapa contoh kejadian longsor yang dipengaruhi oleh jalan sebagai akibat pemotongan lereng terjadi di Cinona, Cisalak, dan Cijengkol Kabupaten Bandung Barat. Syahbana,dkk (2013), menjelaskan bahwa pemotongan lereng sebagai salah satu proses pembangunan jalan di Kabupaten Bandung Barat berakibat terhadap peningkatan frekuensi kejadian longsor. Penelitian lain yang dilakukan Achmad (2010) di daerah Botu, Provinsi Gorontalo menunjukan pengaruh drainase buruk pada daerah yang dibangun jalan sebagai salah satu penyebab longsor. Drainase yang buruk menyebabkan bagian kaki lereng jalan mengalami penggerusan dan hilangnya kapasitas dukung tanah karena tanah yang melunak. Maritimo (2011), melakukan penelitian longsor pada jaringan jalan di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo dan menyebutkan bahwa longsor jalan dapat dipengaruhi oleh aktivitas kendaraan yang menghasilkan getaran.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Gesing berada di Kabupaten Purworejo yang mencakup Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Bagelan, dan Banyuurip. Sub-DAS

(3)

3 Gesing dipilih menjadi daerah kajian penelitian karena sering mengalami kejadian longsor terutama longsor pada lereng-lereng di sepanjang jalan. Kondisi geomorfologi pada daerah penelitian didominasi oleh pegunungan-pegunungan struktural yang merupakan bagian dari deretan Perbukitan Menoreh. Perbukitan Menoreh dikenal sering mengalami kejadian bencana longsor. Selain itu, kemiringan lereng pada daerah penelitian semakin memperbesar tingkat kejadian longsor.

Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa surat kabar cetak dan elektronik, terjadi longsor di Kecamatan Kaligesing tepatnya pada jalur alternatif Purworejo-Yogyakarta yang menutup badan jalan. Longsor jalan pernah terjadi di jalur alternatif terjadi pada 26-27 Juni 2014 dengan jumlah kejadian longsor jalan sebanyak 12 titik (Kedaulatan Rakyat, 2014) dan tanggal 25 Maret 2015 di Desa Plipir, Kecamatan Purworejo. Longsor jalan mengakibatkan tertutupnya jalan alternatif Yogyakarta - Purworejo oleh material longsoran dan rubuhan pohon. Penutupan jalan akibat material longsor mengakibatkan terganggunya jalur trasportasi yang menghubungkan kedua daerah. Selain itu, longsor mengakibatkan patahnya tiang listrik sehingga terjadi pemadaman lampu di seluruh Kecamatan Kaligesing (Sorot Purworejo, 2015).

Longsor yang terjadi di daerah penelitian mengakibatkan timbulnya banyak kerugian diantaranya mengganggu lalu lintas kendaraan dari kedua arah, dan membahayakan pengguna jalan karena beberapa sepeda motor tergelincir saat melewati jalan yang longsor. Tingginya intensitas kejadian longsor di Sub-DAS Gesing terutama longsor di sepanjang badan jalan membuat pentingnya dilakukan penelitian yang mengkaji mengenai pengaruh jalan terhadap kejadian longsor. Hal ini juga didasari oleh besarnya kerugian yang ditimbulkan akibat longsor di sepanjang badan jalan. Melalui penelitian ini akan dihasilkan zonasi longsor berdasarkan tingkat kerawanan sehingga dapat menjadi acuan dalam antisipasi kejadian longsor di sepanjang badan jalan.

(4)

4 1.2. Rumusan Masalah

Longsor merupakan gerakan massa tanah dan batuan dalam jumlah kecil maupun besar yang menuruni lereng secara cepat. Kejadian longsor memiliki beberapa jenis atau tipe longsor yang dipengaruhi oleh faktor penyebab longsor. Secara umum longsor dapat disebabkan oleh dua faktor yakni, faktor pasif dan faktor aktif. Penelitian mengenai longsor dengan menggunakan sudut pandang faktor pasif sebagai penyebab longsor telah banyak dilakukan. Sementara penelitian terkait longsor yang disebabkan faktor aktif seperti aktivitas manusia belum banyak diteliti. Pembangunan sarana jalan sebagai wujud dari pembangunan, secara langsung akan berpengaruh terhadap tingkat kerawanan longsor. Pembangunan jalan dengan melakukan pemotongan lereng pada tebing-tebing perbukitan akan menghasilkan sudut kemiringan lereng baru yang lebih terjal dari sudut kemiringan aslinya. Aktivitas kendaraan yang menghasilkan getaran akan mengganggu kestabilan tanah sehingga muncul retakan pada tanah.

Sub-DAS Gesing didominasi oleh pegunungan-pegunungan yang masuk kedalam jajaran Perbukitan Menoreh. Pembangunan jalan yang bertujuan mempermudah aksesibilitas di Sub-DAS Gesing memicu permasalahan baru pada daerah penelitian yakni peningkatan kejadian longsor yang terjadi disepanjang jalan. Peningkatan kejadian longsor terutama disepanjang jalan cukup mengkhawatirkan karena dapat menimbulkan bencana bagi penduduk maupun ekosistem yang terdapat di Sub-DAS Gesing. Berdasarkan uraian mengenai permasalahan longsor di Sub-DAS Gesing, dirumuskan beberapa permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Apa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya longsor pada jalan kelas IIIC di Sub-DAS Gesing?

2. Apa saja tipe-tipe longsor yang terjadi pada jalan kelas IIIC di Sub-DAS Gesing?

(5)

5 Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah disampaikan

tersebut maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “ANALISIS

TINGKAT KERAWANAN LONGSOR PADA SEBAGIAN JALAN KELAS IIIC DI SUB-DAS GESING, KABUPATEN PURWOREJO, JAWA TENGAH”.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya longsor pada jalan kelas IIIC di Sub-DAS Gesing

2. Mengidentifikasi tipe-tipe longsor yang terjadi pada jalan kelas IIIC di Sub-DAS Gesing

3. Mengetahui tingkat kerawanan longsor longsor pada jalan di Sub-DAS

Gesing

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan di Sub-DAS Gesing, Kabupaten Purworejo diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Mengetahui zonasi kerawanan longsor akibat keberadaan jalan di Sub-DAS Gesing, Kabupaten Purworejo

2. Menjadi salah satu acuan untuk mengambil keputusan oleh pihak terkait dalam menangani permasalahan longsor jalan di Sub-DAS Gesing, Kabupaten Purworejo

3. Sebagai bahan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang terkait dengan longsor akibat keberadaan jalan

(6)

6 1.5. Tinjauan Pustaka

1.5.1. Landasan Teori 1.5.1.1. Geomorfologi

Geomorfologi berasal dari bahasa Yunani yakni: gew (Bumi), morfh (Bentuk), dan logo (Ilmu). Oleh karena itu geomorfologi adalah ilmu tentang bentuk bumi. Ilmu bumi yang dimaksud adalah keadaan fisik permukaan, bentuklahan pada sungai, perbukitan, dataran, pantai, bukit pasir (sand dunes), dan lainya. Ruang lingkup geomorfologi juga meliputi kondisi bentuklahan di bawah laut. Geomorfolongi menjelaskan secara mendalam mengenai bentuklahan dan proses masa lalu maupun sekarang yang menyebabkan terbentuknya bentuklahan di permukaan bumi (Huggett, 2007).

Geomorfologi sebagai salah satu ilmu pengetahuan mempunyai aspek kajian utama. Menurut van Zuidam (1985), kajian utama geomorfologi terdiri empat aspek yaitu:

1. Mofologi

Aspek morfologi terbagi menjadi dua aspek yakni morfografi dan morfometri. Morfometri mendeskripsikan geomorfologi kedalam bentuk area atau relief seperti landai berbukit, hingga bergunung. Morfometri mendeskripsikan area kedalam suatu nominal seperti ketinggian dan sudut kemiringan lereng.

2. Morfogenesa

Morfogenesa dijadiakan sebagai asal mula perkembangan bentuklahan dan berbagai proses yang bekerja dalam pembentukan bentuklahan. Morfogenesa dibedakan menjadi tiga aspek yakni morfogenesa aktif, morfogenesa pasif, dan morfodinamik. Morfogenesa merupakan pembahasan mengenai proses endogen (dari dalam bumi) pada bentuklahan seperti vulkanik, patahan, dan lipatan. Morfogenesa pasif menjelaskan mengenai tipe batuan dan struktur batuan yang mengalami proses denudasional. Morfodinamik lebih menekankan pada proses eksogen seperti aktivitas angin, air, dan gerakan massa.

(7)

7

3. Morfokronologi

Morfokronologi merupakan aspek geomorfologi yang membahas mengenai umur dari setiap bentuklahan. Umur ini dibagi menjadi umur absolut dan relatif. Umur absolut merupakan umur pasti dari setiap bentuklahan yang dapat diketahui dengan menggunakan senyawa atom tertentu. Umur relatif diketahui melalui rentetan pembentukan variasi bentuklahan.

4. Mofroaranseme

Morfoaransemen menjelaskan spasial aransemen pada bentuklahan dan hubungan setiap variasi bentuklahan dengan proses yang terjadi.

1.5.1.2. Bencana

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian, dan dampak psikologis. Bencana tanah longsor pada ruas jalan mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22/PRT/M/2007 tentang tata ruang kawasan bencana tanah longsor. Penataan ruang kawasan bencana longsor meliputi struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang terdiri dari penentuan susunan pusat hunian dan sistem prasaranan, sementara pola ruang meliputi peruntukan ruang sebagai fungsi lindung atau fungsi budidaya.

Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 kerawanan adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya,politik, ekonomi, dan ekologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiap siagaan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Kerawanan longsor diatur dalam Permen PU No. 22/PRT/M/2007 yang didalamnya membahas mengenai kawasan rawan bencana longsor.

(8)

8 1.5.1.3. Longsor

Longsor (landslide) atau dapat pula disebut dengan gerak massa adalah pergerakan batuan, hasil pelapukan batuan, dan/atau tanah yang menyusun lereng dan bergerak menuruni lereng dalam jumlah besar maupun kecil. Gerakan menuruni lereng diakibatkan letak material longsor yang berada di atas batuan kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir (Cruden, 1991). Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005), menerangkan bahwa material longsor dapat berupa campuran lempung, pasir, kerikil, kerakal, dan bongkahan batuan yang bergerak disepanjang lereng dan dipengaruhi oleh gaya gravitasi.

Menurut Handayani dan Aryanto (2012), longsor banyak ditemukan pada lereng dengan kemiringan 15 hingga 70%. Lereng dengan kemiringan demikian sering dijumpai batu lempung dan material rombakan atau material pelapukan lainnya yang sangat mudah mengalami longsoran. Tanah yang mengalami longsor dapat berasal dari tanah timbunan maupun tanah yang terbentuk dan terendapkan secara alami atau keduanya.

Kejadian longsor umumnya disebabkan oleh berbagai macam faktor. Thornbury (1969) menjelaskan mengenai faktor pasif dan aktif yang memicu terjadinya longsor. Penjabaran dari faktor pasif dan aktif tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

a. Faktor pasif meliputi : 1. Gaya gravitasi

2. Topografi

3. Kondisi geologi atau litologi 4. Kondisi hidrologis

5. Karakteristik tanah

6. Sejarah longsor masa lampau

b. Faktor aktif yang memicu terjadinya longsor diantaranya :

1. Adanya aktivitas manusia yang mengganggu kestabilitasan lahan

2. Vegetasi (penutup lahan) dan penggunaan lahan

(9)

9 Noor (2006), merinci lebih lanjut faktor aktif yang mempengaruhi kejadian longsor. Faktor aktif ini terdiri dari kemiringan lereng terjal akibat aliran air, infiltrasi air kedalam tanah yang melebihi kapasitas tampung tanah yang menyebabkan tanah menjadi jenuh. Faktor aktif lain yang menyebabkan terjadinyanya longsor adalah getaran pada tanah yang diakibatkan oleh kendaraan berat maupun gelombang seismic.

1.5.1.4. Aktivitas manusia

Aktivitas yang dilakukan manusia berperan dalam mengubah faktor pasif penyebab longsor. Perubahan yang terjadi akibat aktivitas manusia dapat berupa perubahan yang bersifat positif maupun negatif. Perubahan positif yang terjadi pada lahan akibat aktivitas manusia dapat berupa pembangunan infastruktur yang mendukung kehidupan manusia. Pembangunan infrastruktur yang mendukung kehidupan manusia selanjutnya dapat menghasilkan perubahan negatif pada lahan. Bentuk perubahan negatif pada lahan yang umum ditemukan adalah pergerakan massa tanah dan batuan atau dikenal dengan tanah longsor (Utomo, 2008).

Pembangunan jalan sebagai bentuk aktivitas manusia memiliki pengaruh terhadap kejadian longsor. SafeLand (2011), melakukan penelitian gerak massa di Norwegia dan Perancis yang menghasilkan teori bahwa terdapat hubungan antara aktivitas manusia dan proses alam pada kejadian longsor. Aktivitas manusia juga menghasilkan perubahan sudut lereng dan penambahan beban pada lereng. Penelitian longsor yang dilakukan oleh Gurugnanam, dkk (2013) menunjukan bahwa kendaraan pada jalan yang menghasilkan getaran dapat mempercepat kejadian longsor. Percepatan kejadian longsor akibat getaran diperparah saat musim penghujan dan banjir sehingga material bergerak cepat menuruni lereng.

Beban kendaraan dan getaran pada jalan menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah dalam mendukung beban sehingga muncul rekahan. Rekahan pada tanah dipengaruhi pula oleh kondisi material penyusun tempat dibangunnya

(10)

10 jalan. Material dengan gaya tarik lemah sangat mudah jenuh terhadap air yang terperkolasi dan menyebabkan material melunak (Hardiyatmo, 2007).

Pembangunan jalan yang mengakibatkan kepadatan lalu lintas dan getaran dapat menghasilkan rekahan pada jalan sehingga terjadi proses infiltrasi air saat musim penghujan. Infiltrasi air hujan menyebabkan tekanan pori pada tanah meningkat. Peningkatan gaya tekanan pori pada tanah akan berpotensi terhadap kejadian longsor terutama pada lereng-lereng miring di sepanjang jalan (Ram Mohan, dkk., 2011). Menurut Permana (2014), gerakan pada lereng dapat diakibatkan oleh proses alamiah dan non alamiah yang merubah kondisi lereng menjadi rawan bergerak. Beberapa pemicu gerakan lereng antara lain hujan, getaran-getaran atau aktivitas manusia yang mempengaruhi lereng.

1.5.1.5. Tipe longsor jalan

Gaya gravitasi mempengaruhi gerakan material yang menuruni lereng. Akan tetapi, tidak seluruh material pembentuk lereng bergerak menuruni lereng. Hal ini diakibatkan oleh gaya-gaya yang melawan gaya gravitasi dan bersifat menahan sehingga material tetap berada pada lereng. Pembangunan jalan pada lereng yang tidak stabil akan menyebabkan longsor pada lereng jalan karena gaya penahan material yang berkurang. Hardiyatmo (2007), menjelaskan mengenai tipe-tipe longsor yang sering terjadi pada lereng jalan sebagai berikut:

1. Longsoran (slide)

a. Longsoran rotasional (slum)

Longsoran rotasional pada umumnya terjadi di lereng yang memiliki tanah homogen. Bidang longsor berbentuk lingkaran dan dalam, dengan massa tanah yang longsor menyatu. Akan tetapi, terkadang terlihat adanya scrap dibagian atas longsoran. Longsoran rotasional terjadi pada timbunan atau galian (Gambar 1.1.).

(11)

11 Gambar 1.1. Tipe Longsor Rotasional

Sumber: http://geoenviron.blogspot.co.id/2015/04/tipe-tipe-longsor.html b. Longsoran translasional (translational slide)

Longsoran translasional terjadi pada bidang longsor datar dan massa tanah yang longsor membentuk baji. Bidang longsor yang terjadi dapat mengikuti lapisan tanah lempung lunak dengan kekuatan geser yang rendah, atau lapisan lanau tersisip diantara dua lapisan lempung. Bidang longsor pada longsor translasional sering mengikuti arah permukaan batuan dasar.

Gambar 1.2. Tipe Longsor Translational

Sumber:http://geoenviron.blogspot.co.id/2015/04/tipe-tipe-longsor.html 2. Aliran (flow)

Longsor yang berupa aliran lumpur atau lanau dengan gerakan material tanah dangkal di dekat permukaan. aliran lumpur terdiri dari tanah lembek dan jenuh yang bergerak kebawah seperti aliran air. Longsor aliran sering terjadi tanpa adanya tanda-tanda selama atau setelah hujan lebat. Aliran lumpur seperti ini sering terjadi pada lereng curan yang pembentukan tanahnya berupa pasiran atau lanau dengan sedikit kandungan lempung.

(12)

12 Gambar 1.3. Tipe Longsor Aliran

Sumber: http://geoenviron.blogspot.co.id/2015/04/tipe-tipe-longsor.html 3. Longsoran blok (block slide)

Longsor blok terjadi dalam bentuk blok masif dengan material tanah atau batuan yang bergerak membentuk kesatuan dan terjadi pada sepanjang bidang gelincir atau sepanjang kekar batuan yang bersifat lemah. Longsor blok dapat terjadi secara tunggal atau banyak dengan waktu gerakan berbeda. Tipe longsor blok sangat berbahaya karena terjadi sangat cepat tanpa tanda-tanda awal.

Gambar 1.4. Tipe Longsor Block Slide

Sumber: http://geoenviron.blogspot.co.id/2015/04/tipe-tipe-longsor.html

4. Runtuhan batuan (tople)

Runtuhan batuan terjadi dalam bentuk jatuhnya batuan masif ke permukaan jalan akibat pelapukan lapisan batuan dibawahnya. Runtuhan batuan masif

(13)

13 dapat terjadi akibat pelapukan, hujan, mencairnya es, dan pembekuan es. Rekahan pada batuan masih akan terisi oleh air yang menimbulkan gaya lateral dan meruntuhkan batuan. Aliran air pada rekahan dapat mengerosi bidang kontak antara blok batuan sehingga menyebabkan keruntuhan. Runtuhan batuan dari lereng berupa batuan boulder lapuk dan material halus bergerak menuju permukaan jalan.

Gambar 1.5. Tipe Longsor Topple

Sumber: http://geoenviron.blogspot.co.id/2015/04/tipe-tipe-longsor.html

5. Rayapan (creep)

Rayapan atau rangkakan merupakan gerakan tanah atau batuan pembentuk lereng yang cukup kontinyu dengan arah tertentu. Rayapan dapat terjadi pada tanah permukaan maupun tanah dengan kedalaman tertentu. Besarnya gerakan rayapan dipengaruhi oleh kuat geser lempung, sudut lereng, waktu, kondisi, kelembapan, dan ketebalan zona rayapan aktif. Lereng yang mengalami rayapan bergerak perlahan dan terus menerus. Rayapan tanah terjadi pada lereng dengan material lempung yang memiliki sifat kembang kerut tinggi. Selain itu dapat dipengaruhi oleh perubahan kadar air dan permukaan tanah yang miring.

(14)

14 Gambar 1.6. Tipe Longsor Rayapan

Sumber:http://geoenviron.blogspot.co.id/2015/04/tipe-tipe-longsor.html

1.5.1.6. Faktor penyebab longsor lereng jalan

Hardiyatmo (2007), menjelaskan mengenai faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya longsor pada lereng jalan. Terjadinya longsor lereng jalan dipengaruhi oleh lima faktor penyebab yaitu:

1. Timbunan di sisi lereng

Bagian sisi lereng perbukitan yang dilakukan penimbunan atau bukit yang digali untuk jalan adalah lokasi rawan longsor. Kaki lereng daerah galian sangat rawan mengalami erosi, sehingga memudahkan tanah untuk mengalami longsoran. Jika dasar timbungan tidak membentuk trap atau bangku maka longsor terjadi antara tibunan dengan tanah asli. Bagian atas timbunan dapat melemah akibat penjenuhan oleh air tanah.

2. Drainase buruk

Drainase menjadi salah satu hal penting sebagai faktor penyebab longsor di lereng jalan. Air yang mengalir dalam tanah mengakibatkan penjenuhan dan pelunakan tanah timbunan serta pondasi jalan yang mengakibatkan longsor. Demikian pula pada air permukaan yang tidak memiliki drainase baik ke luar struktur timbunan dapat menjenuhkan tanah dan merembes masuk ke dalam rekahan batuan. Jenuhnya tanah dan rembesan air akan mengurangi kestabilan lereng jalan.

(15)

15 3. Muka air tanah dan pemotongan lereng

Air tanah yang memotong lereng galian menyebabkan timbulnya mata air. Mata air tersebut dapat muncul di kaki lereng timbunan. Keberadaan mata air menyebabkan pelunakan tanah di lereng sehingga kekuatannya berkurang dan menyebabkan lereng tertimbun longsor.

4. Timbunan sangat tinggi

Timbunan sangat tinggi yang tidak diikuti dengan pemadatan tanah baik atau analisis stabilitas dalam perancangan yang salah dapat berisiko terjadinya longsor. Timbunan tinggi menyebabkan tekanan ke tanah sangat besar sehingga penurunan akibat timbunan perlu diperhitungkan. Masuknya air pada timbunan tidak padat mengakibatkan pelunakan dan pengurangan kuat geser tanah dengan signifikan serta dapat memicu terjadinya longsor.

5. Lereng batuan terjal

Pengerjaan jalan diatas galian batuan dengan bidang dasar batuan miring kearah jalan menyebabkan bidang gelincir menjadi lebih lemah dari batuan. Jalan yang berada di bawah tebing batuan curam, berisiko mengalami rontokan batuan. Rontokan batuan akan menyumbat drainase dan mengganggu kelancaran lalu lintas. Rontokan batuan pada jalan didominasi oleh batuan yang lapuk akibat perubahan iklim.

1.5.1.7. Kerawanan longsor jalan

Menurut Meiliana (2011), jalan adalah bagian dari struktur ruang dalam tata ruang wilayah. Bencana longsor yang terjadi pada jalan biasanya disebabkan oleh menurunnya kemampuan lereng untuk menahan beban diatasnya. Banyak faktor yang menjadi penyebab dan pemicu terjadinya longsor pada jalan mulai dari faktor fisik hingga aktivitas manusia. Frekunsi kejadian bencana longsor pada suatu daerah akan menghasilkan pola tingkat kerawanan longsor di daerah tersebut.

Kerawanan longsor jalan adalah kondisi geologi yang sangat peka terhadap gangguan dari luar sehingga memicu gerakan tanah dan berpotensi

(16)

16 terjadinya longsor. Gangguan dapat berasal dari sifat fisik alami maupun aktivitas manusia yang mengganggu kestabialan lereng pada jalan (Meiliana, 2011). Kerawanan longsor digunakan untuk mengetahui dimana daerah yang berpotensi mengalami kejadian longsor dimasa yang akan datang (Pratiwi, 2013)

Visualisasi kerawanan longsor jalan dapat dilakukan dengan pemetaan jumlah kejadian longsor. Peta kerawanan longsor akan menghasilkan kelas-kelas kerawanan longsor yang dibedakan dari kelas kerawanan tinggi hingga kelas kerawanan rendah. Duman, dkk (2006), membagi dua tipe pemetaan longsor yakni direct mapping dan indirect mapping. Teknik pemetaan kerawanan longsor berdasarkan pengalaman dan pengetahuan kejadian longsor dengan melihat kondisi medan dikenal dengan direct mapping. Teknik pemataan indirect mapping dilakukan dengan menggunakan perhitungan statistic maupun deterministic dengan memprediksikan area yang rawan mengalami longsor berdasarkan hubungan antara bentuklahan dengan distribusi longsor dilapangan.

1.5.1.8. Tipe-tipe jalan

“Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, diatas oermukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan/atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan

kereta api, jalan lori, dan jalan kabel” berdasarkan UU Nomor 38 Tahun 2004.

Pembagian jalan umum menurut fungsinya dijabarkan pada pasal 8 UU Nomor 8 Tahun 2004 yang terdiri dari:

1. Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secaraberdaya guna.

2. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.

(17)

17 3. Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatanrata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

4. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.

Kelas jalan adalah klasifikasi jalan berdasarkan muatan sumbu terberat dan karakteristik lalu lintas. Pembagian jalan menurut kelasnya diatur pada pasal 11 PP Nomor 43 Tahun 1993 yang terdiri dari:

1. Jalan Kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 18000 mm, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar dari 10 ton

2. Jalan Kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 mm, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10 ton

3. Jalan Kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 mm, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton

4. Jalan Kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 mm, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton;

5. Jalan Kelas III C, yaitu jalan lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 mm, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 mm.

(18)

18 1.5.2. Penelitian Sebelumnya

Penelitian mengenai longsor disuatu daerah tidak pernah habis untuk dikaji dan dipelajari. Hal ini berkaitan dengan banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan akibat kejadian longsor. Beberapa peneliti melakukan penelitian longsor yang berkaitan dengan longsor lahan, longsor tebing sungai, dan longsor pada jalan yang disajikan dalam Tabel 1.1. Penlitian tersebut dilakukan dengan menggunakan berbagai macam metode dalam menyelidiki fenomena longsor disuatu daerah. Penggunaan softwareArc.GIS pada disiplin ilmu geografi merupakan salah satu metode pengelolaan data longsor yang menghasilkan output peta kejadian longsor.

Adharisandi (2008), melakukan penelitian tentang tingkat risiko dan teknik mitigasi bencana longsor terhadap jaringan jalan di Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode multivariate statistical analysis dengan parameter fisik yang meliputi tanah, batuan, curah hujan, dan kemirngan lereng. Hasil dari penelitian yang dilakukan tahun 2008 ini adalah peta bahaya longsor, peta risiko longsor terhadap jaringan jalan, dan teknik mitigasi yang dapat digunakan di Kecamatan Loano.

Penelitian longsor pada jaringan jalan di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo pernah dilakukan oleh Maritimo (2011) untuk mengetahui tingkat kerawanan longsor pada seluruh jaringan jalan di Kecamatan Kalibawang. Penelitian longsor jaringan jalan di Kecamatan Kalibawang menggunakan metode pembobotan untuk setiap parameter penyebab longsor sehingga dihasilkan peta kerawanan longsor untuk seluruh jaringan jalan. Rahmadana (2011), melakukan penelitan kerawanan longsor pada bentuklahan di kabupaten yang sama tepatnya di Kecamatan Samigaluh. Penelitian ini menggunakan metode kerapatan longsor pada setiap bentuklahan untuk mengetahui nilai kerawanan longsor. Hasil akhir dari penelitian kerawanan longsor pada bentuklahan ini yaitu, peta kerawanan longsor dan peta inventarisasi titik longsor di Kecamatan Samigaluh.

(19)

19 Penelitian terbaru mengenai longsor jalan dilakukan oleh Nugroho (2012) di Kecamatan Samigaluh. Peneltian ini memiliki tujuan untuk memperkirakan dampak langsung dan tidak langsung longsor terhadap jalan. Penelitian dilakukan dengan elemen bahaya yang meliputi spatial probability, temporal probability

and magnitude class), kerentanan (vulnerability) dan perkiraan biaya kerusakan

jalan. Tipe jalan yang digunakan selama penelitian adalah jalan provinsi yang kemudian dibagi benjadi beberapa segmen jalan berdasarkan kelas kemiringan lereng dan penggunaan lahan. Inventarisasi kejadian longsor dilakukan pada setiap segmen jalan untuk mengetahui kerapatan longsor sehingga dapat diketahui potensi bahaya longsor. Hasil lain dari penelitian ini yakni peta dampak longsor jalan periode ulang 1 tahun, 3 tahun, dan 5 tahun.

Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya, penelitian mengenai longsor jalan di Sub-DAS Gesing, Kabupaten Purworejo menggabungkan metode yang digunakan oleh Rahmadana (2011) dan Nugroho (2012) dalam menentukan tingkat kerawanan longsor jalan. Penggunaan nilai kerapatan longsor pada setiap segmen jalan yang dibuat dianggap mampu memberikan gambaran mengenai tingkat kerawanan longsor pada daerah tersebut. Invenarisasi kejadian longsor dilakukan untuk melihat sebaran pola kejadian longsor pada setiap segmen jalan di Sub-DAS Gesing. Melalui penjelasan diatas, maka penelitian mengenai longsor jalan di Sub-DAS Gesing belum pernah dilakukan dan metode yang digunakan merupakan metode yang dikembangkan dari dua penelitian sebelumnya.

(20)

20 Tabel 1.1. Penelitian Longsor Sebelumnya

No Peneliti Lokasi,Tahun Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil

1. Ebta Adharisandi Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, 2008

Analisi Risiko dan Mitigasi Bencana Longsor Terhadap Jaringan Jalan di Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo Menganalisis tingkat bahaya longsor, menganalisis tingkat risiko longsor tehadap jaringan jalan, mengetahui cara mitigasi terhadap jaringan jalan dan dampak negatif yang diakibatkan bahaya longsor di Kecamatan Loano.

Kuantitatif, analisis bahaya longsor dilakukan dengan menggunakan metode statistical multivariate

statistical analysis dengan

parameter intensitas hujan, jenis tanah, jenis batuan, penggunaan lahan, dan kemiringan lereng. Anaisis kerentanan terhadap jalan didasari pada kelerengan terhadap jalan menurut AGSO 2001, mitigasi diketahui dengan melakukan survey langsung di lapangan. Peta Bahaya Longsor Kecamatan Loano, Peta Risiko Longsor Terhadap Jalan Kecamatan Loano, dan bentuk mitigasi structural dan non struktural terhadap kejadian longsor. 2. Febrian Maritimo Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulonprogo DIY, 2011 Kerawanan Longsor di Sepanjang Jalur Jalan Provinsi, Kabupaten dan Jalan Kampung di Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulonprogo DIY Mempelajari berbagai bentuklahan di kecamatan kali bawang kabupaten kulon progo DIY, mempelajari kerawanan longsor di sepanjang jalur jalan provinsi kabupaten dan jalan kampung disetiap bentuklahan

Kuantitatif, pengukuran langsung dilapangan, pengambilan sampel faktor penyebab longsor, dan inventarisasi kejadian longsor jalan. Peta Kerawanan Longsor Jalan Provinsi, Kabupaten, Kampung di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo, DIY

(21)

21 kecamatan kalibawang,

mengetahui ipe longsor yang terjadi pada lereng kiri dan kanan jalan provinsi kabupaten dan jalan kampong. 3. Aris Dwi Wahyu Rahmadana Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, 2011 Kajian Bentuklahan Rawan Longsor di Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Pemetaan satuan bentuklahan, mengetahui tingkat kerapatan longsor pada setian satuan

bentuklahan, mempelajari tingkat kerawanan longsor pada setiap satuan

bentuklahan di Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo

Analisi kerawanan longsor dilakukan dengan

menggunakan metode kerapatan longsor pada setiap satuan bentuklahan. Jumlah kejadian longsor pada setiap satuan

bentuklahan disensus untuk selanjutnya diketahui nilai kerapatan longsor. Dari dinilai kerapatan longsor diklasifikasikan sehingga menghasilkan tiga kelas kerawanan.

Peta satuan bentuklahan, peta titik longsor, dan peta kerawanan longsor di Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo 4. Eko Setya Nugroho Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, 2012 Analisis dan Estimasi Dampak Longsor Lahan Terhadap Jaringan Jalan di Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo Memperkirakan dampak langsung dan tidak langsung longsorlahan terhadap jalan.

Kuantitatif, elemen penyusun bahaya (hazard) antara lain : spatial

probability, temporal probability and magnitude class), kerentanan

(susceptibility) dan perkiraan biaya kerusakan

Peta Bahaya Longsor Jalan Provinsi, Peta Kentanan Longsor Jalan Provinsi, Peta Dampak Longsor Jalan Provinsi

(22)

22 jalan.Dampak tidak

langsung (Indirect risk) diperoleh dari lalu lintas yang terganggu akibatadanya longsor periode 1 tahun, 3 tahun, 5 tahun Kecamatan Samigaluh 5. Ika Indah Karlina Sub-DAS Gesing, Kabupaten Purworejo, 2014 Analisis Tingkat Kerawanan Longsor pada Sebagian Jalan Kelas IIIC di Sub-DAS Gesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah

Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya longsor pada sisi kiri dan kanan jalan, mengidentifikasi tipe-tipe longsor yang terjadi pada sisi kiri dan kanan, mengetahui tingkat kerawanan longsor akibat keberadaan jalan pada setiap bentuklahan di Sub-DAS Gesing, Purworejo

Kuantititatif, penggunaan kerapatan longsor pada setiap segmen jalan sehingga dihasilkan kelas kerawanan longsor jalan

Peta Tipe Longsor Jalan Kelas IIIC di Sub-DAS Gesing, Peta Kerawanan Longsor Jalan Kelas IIIC di Sub-DAS Gesing, Mengetahui hubungan frekuensi dan beban kendaraan terhadap tingkat kerawanan longsor pada jalan di Sub-DAS Gesing

(23)

23 1.5.3. Kerangka Penelitian

Longsor menjadi salah satu bencana alam yang acap kali terjadi. Bencana longsor yang terjadi umumnya diikuti oleh kerugian pada manusia dan alam dari segi materil maupun non-materil. Proses terjadinya longsor banyak dipengaruhi oleh berbagai macam faktor mulai dari faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam memiliki kecenderungan bersifat statis dan faktor manusia bersifat dinamis yang terus mengalami perubahan. Banyak dari aktivitas manusia bersifat merubah kondisi alam yang mengakibatkan peningkatan potensi longsor di suatu daerah. Semakin intensifnya aktivitas manusia terhadap lahan yang rawan longsor, maka semakin besar potensi kejadian longsor.

Kejadian longsor pada jalan secara umum disebabkan oleh lima faktor utama. Menurut Hardiyatmo (2007), timbunan pada sisi lereng menyebabkan bagian kaki lereng mudah longsor akibat penjenuhan oleh air tanah. Selain timbunan pada sisi lereng, kondisi drainase yang buruk menjadi salah satu penyebab penjenuhan tanah oleh air. Kondisi drainase yang buruk menyebabkan penjenuhan tanah sehingga mengurangi kestabialan lereng jalan.

Pembangunan jalan pada daerah perbukitan diikuti oleh pemotongan lereng sehingga menghasilkan kemiringan lereng baru. Pemotongan lereng terkadang diikuti oleh pemunculan mataair yang menyebabkan pelunakan tanah disisi lereng. Pelunakan tanah dipengaruhi pula oleh timbunan pada sisi lereng yang tidak diiringi oleh pemadatan tanah sehingga mengurangi kuat geser tanah dan memicu terjadinya longsor. Faktor lain yang menyebabkan longsor pada jalan adalah lereng batuan terjal. Pembangunan jalan pada lereng berbatu memiliki resiko besar terjadinya runtuhan batuan yang menyebabkan tersumbatnya drainase di sekitar jalan.

Kejadian longsor pada jalan dapat pula sebabkan oleh aktivitas manusia yang melakukan pembangunan jalan dengan cara pemotongan lereng. Lereng baru yang dihasilkan dari hasil pemotongan biasanya memiliki kemiringan lereng lebih terjal. Kemiringan lereng terjal akan meningkatkan kejadian longsor pada jalan. Selain itu, lalu lintas kendaraan pada kondisi jalan seperti ini menambah semakin

(24)

24 meningkatkan kejadian longsor. Tingginya frekunsi kendaraan dan beratnya beban yang diangkut oleh kendaraan akan mengganggu kestabilan lereng yang mengalami pemotongan akibat pembangunan jalan.

Kejadian longsor pada setiap segmen jalan akan menghasilkan titik longsor jalan yang dapat diploting. Hasil ploting kejadian longsor jalan digunakan untuk inventarisari kejadian longsor jalan serta penentuan kerapatan longsor pada setiap segmen jalan. Penentuan kerapatan longsor pada segmen jalan dilakukan dengan membagi jumlah kejadian longsor dengan panjang jalan tiap segmen jalan. Berdasarkan hasil kerapatan longsor pada setiap segmen jalan akan diketahui banyaknya frekuensi kejadian longsor pada tiap segmen.

Nilai kerapatan longsor pada setiap segmen jalan dapat diklasifikasikan sehingga menghasilkan tingkat kerawanan longsor pada jalan. Berdasarkan tingkat kerawanan longsor pada setiap segmen jalan, maka dapat dilakukan pemetaan kerawanan longsor jalan di Sub-DAS Gesing. Secara sederhana, diagram alir kerangka pikir penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1.7 seperti berikut:

(25)

25

1.6.

Batasan Operasional

Bahaya adalah suatu kejadian geofisik, atmosferik, hidrologis, social, dan teknologi yang berpotensi menimbulkan kerusakan dan kerugian (Berson and Twigg, 2007)

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian, dan dampak psikologis (UU Nomor 24 Tahun 2007)

Bentuklahan adalah bagian dari permukaan bumi yang memiliki karakteristik unik dan khas akibat pengaruh dari proses alam dan struktur geologi batuan dalam kurun waktu tertentu (Widiyanto, 2006)

Copping Capacity adalah kemampuan orang, organisasi dan sistem dalam menggunakan keterampilan dan sumberdaya yang tersedia untuk menghadapi dan mengelola kondisi yang merugikan, keadaan darurat, atau bencana (UN/ISDR, 2009)

DAS (Daerah Aliran Sungai) adalah daerah yang dibatasi oleh pungung-punggung gunung maupun pegunungan yang dijatuhi air hujan dan punggung/gir akan menampung air hujan untuk selanjutnya dialirkan melalui sungai-sungaikecil menuju sungai utama yang lebih besar (Asdak, 1995)

Frekuensi Kendaraan adalah jumlah kendaraan yang melewati sebuah titik jalan tiap satuan waktu dan diukur dalam satuan kendaraan per waktu (Hobbs, 1996)

Geomorfologi adalah ilmu menjelaskan secara mendalam mengenai bentuklahan dan proses masa lalu maupun sekarang yang menyebabkan terbentuknya bentuklahan di permukaan bumi (Huggett, 2007)

(26)

26 Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan/atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (UU Nomor 38 Tahun 2004) Kelas Jalan adalah klasifikasi jalan berdasarkan muatan sumbu terberat dan karakteristik lalu lintas (PP Nomor 43 Tahun 1993)

Kerapatan Longsor adalah perbandingan antara jumlah titik longsor atau luasan longsor dengan luas suatu segmen atau daerah penelitian (Rahmadana, 2011)

Kerawanan adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologi, geografi, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (UU Nomor 24 Tahun 2007)

Kerentanan adalah potensi untuk tertimpa kerusakan atau kerugian yang berkaitan dengan kapasitas untuk mengantisipasi suatu bahaya, mengatasi bahaya, mencegah bahaya, dan memulihkan diri dari dampak bahaya (Berson and Twigg, 2007)

Longsor adalah pergerakan batuan, hasil pelapukan batuan, dan/atau tanah yang menyusun lereng dan bergerak menuruni lereng dalam jumlah besar maupun kecil. Gerakan menuruni lereng diakibatkan letak material longsor yang berada di atas batuan kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir (Cruden, 1991).

Gambar

Gambar 1.2. Tipe Longsor Translational
Gambar 1.4. Tipe Longsor Block Slide
Gambar 1.5. Tipe Longsor Topple
Gambar 1.7. Kerangka Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH LEVERAGE, PROFITABILITAS, DAN TIPE INDUSTRI TERHADAP PENGUNGKAPAN MODAL INTELEKTUAL PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR : HIGH DAN LOW PROFILE YANG.. TERDAFTAR DI BURSA EFEK

melanjutkan dengan memaparkan mengenai macam-macam dokumen atau sumber literatur yang di antaranya adalah, jurnal, laporan hasil penelitian, majalah ilmiah, surat

Hasil Rapat Kerja Nasional Inkalindo 5 dari 10 Materi : PERUMUSAN LEMBAGA BINTEK BIDANG LINGKUNGAN HIDUP1. DPW : DPW LAMPUNG, DPW BENGKULU dan

Oleh sebab itu peningkatan kapasitas produksi dengan penambahan jumlah ketel suling yang dilakukan pada skenario II merupakan salah satu alternatif agar daun nilam kering

Kebersyukuran atau gratitude adalah faktor yang dapat memunculkan kesejahteraan atau ketentraman pada psikologis dikarenakan dia mampu mengatasi kerentanan pada emosi

Menurut Huang dan Kung (2010) tekanan regulator mempunyai hubungan signifikan dengan pengungkapan lingkungan.Hal ini sejalan dengan penelitian Liu dan Anbumozhi (2009)

Hal-hal yang disebutkan di atas nampak pada sistem yang terdapat pada usaha Alfamart sendiri. Untuk lokasi yang strategis, pihak Alfamart memiliki sistem evaluasi yang sangat

Peningkatan rata-rata terhadap kedua hasil tersebut menjelaskan bahwa, model gambar dan gambar berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan menulis teks eksposisi siswa