• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infark Miokard Akut 2.1.1. Definisi

Infark Miokard Akut adalah manifestasi klinis yang terjadi akibat oklusi dari arteri koroner, yang menimbulkan terjadinya nekrosis dari sel miosit jantung pada area yang disuplai oleh arteri tersebut. Infark miokard akut dapat menimbulkan sekuele yang bervariasi, tergantung dari luasnya arteri koroner yang terkena. Dimulai dari nekrosis pada area yang kecil hingga area yang luas, yang dapat menimbulkan syok kardiogenik hingga kematian (Boyle dan Jaffe, 2009).

2.1.2. Patofisiologi

Patofisiologi dari infark miokard akut diawali dari proses atherosklerosis. Proses atherosklerosis terdiri dari 3 proses, yaitu dimulai dari terbentuknya fatty streak, lalu pertumbuhan plak, dan terjadinya ruptur plak (Gambar 2.1.) (Lilly, 2011).

Terbentuknya fatty streak merupakan tahap awal dari atherosklerosis, yang dimana akan didapati perubahan warna pada dinding arteri sebelah dalam menjadi kuning, tetapi tidak didapati adanya penonjolan pada bagian dalam dinding arteri maupun gangguan pada aliran darah. Fatty streak timbul akibat adanya stresor kimia dan fisika yang akan mempengaruhi homeostastis endotel, sehingga akan mengganggu fungsi endotel sebagai barier permeabilitas. Hal ini akan menyebabkan terjadinya modifikasi dari lipid dan masuknya lipid ke subintima, yang akan memicu pelepasan dari sitokin inflamasi. Lingkungan yang kaya sitokin dan lemak ini akan menarik leukosit (khususnya monosit dan T limfosit) ke subintima, sehingga akan menyebabkan terbentuknya foam cell (Lilly, 2011).

Foam cell, aktivasi platelet dan endotel yang rusak akan mengeluarkan berbagai substansi, seperti platelet derived growth factor, sitokin, dan growth factor. Akibat dari lepasnya substansi tersebut, akan terjadi proliferasi dan migrasi sel otot polos dari arterial media ke intima, sehingga akan mempengaruhi sintesis

(2)

dan degradasi dari matriks ekstraseluler dan mengakibatkan terbentuknya dinding

fibrous cap yang mengandung inti lipid. Proses inilah yang berperan dalam perubahan fatty streak menjadi plak ateroma fibrosa (Lilly, 2011).

Proses dari sintesis dan degradasi matriks terjadi selama bertahun - tahun. Sel otot polos dan foam cell yang mati akibat dari stimulasi inflamasi yang berlebihan atau akibat aktivasi dari proses apoptosis akan membebaskan isi dari sel berupa lipid yang terserap dan sel debris, dimana akan menyebabkan semakin besarnya inti lipid, yang akan memicu terjadi stres mekanik. Sebagai respon dari peningkatan stres mekanik, akan terjadi akumulasi lokal dari foam cell dan T limfosit di area tersebut. Hal ini akan menyebabkan terjadinya destruksi dari

fibrous cap dan mempercepat proses degradasi dari matriks ekstraseluler, sehingga menyebabkan rentannya plak mengalami ruptur (Lilly, 2011).

Distribusi dari fibrous cap dan net deposition merupakan faktor penentu dalam integritas plak. Plak yang stabil (ditandai dengan fibrous cap yang tebal dan inti lemak yang kecil) dapat menimbulkan penyempitan arteri, tetapi kecil kemungkinan untuk terjadi ruptur. Sedangkan plak yang tidak stabil (ditandai dengan fibrous cap yang tipis, inti lemak yang besar, infiltrasi makrofag yang luas dan sedikit sel otot polos) lebih rentan untuk mengalami ruptur (Lilly, 2011).

Rupturnya fibrous cap dari plak atherosklerosis tersebut akan menyebabkan terpaparnya molekul protrombosis dengan inti lipid. Akibatnya akan mendorong untuk terbentuknya trombus akut, yang akan menyumbat daripada lumen arteri. Tersumbatnya lumen arteri ini akan mengakibatkan terjadinya infark miokard akut (Lilly, 2011).

(3)

Sumber : Lilly, 2011

Gambar 2.1. Tahap Perkembangan Plak

2.1.3. Komplikasi

Komplikasi dari infark miokard akut dapat disebabkan oleh inflamasi, mekanik, atau kelainan elektrik jantung, yang disebabkan oleh area miokard yang mengalami nekrosis (Gambar 2.2.). Komplikasi awal merupakan hasil dari nekrosis miokardium sendiri, sedangkan komplikasi yang terjadi setelah beberapa hari atau minggu merupakan hasil dari inflamasi dan penyembuhan dari jaringan yang nekrosis.

Komplikasi dari infark miokard akut meliputi (Lilly, 2011) : 1. Iskemik berulang

Kejadian komplikasi angina postinfark didapati sebanyak 20 hingga 30 persen dari pasien infark miokard akut. Menandakan tidak adekuatnya aliran darah arteri koroner, yang dimana berhubungan dengan peningkatan risiko dari reinfark.

2. Aritmia

Aritmia sering terjadi pada pasien infark miokard akut dan merupakan penyebab besar dari mortalitas pasien sebelum sampai di rumah sakit. Mekanisme terjadinya aritmia pada pasien infark miokard akut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pertama akibat gangguan anatomi dari aliran darah terhadap struktur jalur konduksi (Contoh: Sinoatrial node,

(4)

produk toksik metabolisme, seperti asidosis seluler dan konsentrasi ion transseluler abnormal karena kebocoran membran. Lalu, disebabkan juga karena stimulasi saraf autonom dan pemberian obat yang berpotensi untuk menimbulkan aritmia, seperti dopamin.

3. Disfungsi miokardium a. Gagal Jantung

Iskemik jantung akut menimbulkan gangguan kontraksi ventrikel (disfungsi sistol) dan peningkatan kekakuan miokard (disfungsi diastolik), yang dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung. Selain itu, remodeling ventrikel, aritmia dan komplikasi akut mekanik dari infark miokard juga dapat menyebabkan gagal jantung.

b. Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik adalah kondisi menurunnya cardiac output

secara drastis dan terjadinya hipotensi (tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg) dengan tidak adekuatnya perfusi ke jaringan perifer yang disebabkan ketika telah terjadi infark lebih dari 40 persen pada ventrikel kiri. Syok kardiogenik merupakan self-perpetuating karena (1) hipotensi menyebabkan menurunnya perfusi koroner, yang dimana akan memperburuk kerusakan akibat iskemik dan (2) penurunan stroke volume akan menyebabkan pembesaran ventrikel kiri, sehingga kebutuhan oksigen akan meningkat. Syok kardiogenik terjadi pada lebih dari 10 persen pasien setelah infark miokard akut dengan mortalitas sebesar 70 persen.

4. Infark ventrikel kiri

Sepertiga pasien dengan infark pada dinding ventrikel kiri juga akan menimbulkan nekrosis pada bagian ventrikel kanan, karena memiliki arteri koroner yang sama yang memperfusi kedua area tersebut. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya gangguan dalam kontraksi jantung dan

(5)

penurunan komplians ventrikel kanan, yang dapat berakibat pada gagal jantung kanan.

5. Komplikasi mekanik

Komplikasi mekanik disebabkan oleh iskemik dan nekrosis pada jaringan jantung. Komplikasi mekanik dari infark miokard akut antara lain rupturnya otot pappilary, rupturnya dinding ventrikel kiri, rupturnya septum ventrikel dan true aneurisma ventrikel.

6. Perikarditis

Perikarditis akut dapat terjadi pada periode post infark miokard akibat perluasan infark mulai dari miokard hingga perikardium sekitarnya. Gejalanya meliputi nyeri yang tajam, demam dan adanya pericardial friction rub.

7. Tromboemboli

Stasis aliran darah pada area ventrikel kiri yang mengalami gangguan kontraksi setelah infark miokard, dapat menyebabkan terbentuknya trombus, khususnya ketika infark melibatkan apeks dari ventrikel kiri atau ketika true aneurisma telah terbentuk. Tromboemboli dapat menyebabkan infark pada organ perifer (Contoh: kejadian serebrovaskular, seperti stroke akibat proses emboli yang terjadi pada otak).

(6)

Sumber : Lilly, 2011

Gambar 2.2. Komplikasi Infark Miokard Akut

2.2. Major Adverse Cardiovascular Event

MACE merupakan suatu kejadian komplikasi kardiovaskular selama fase perawatan, meliputi diantaranya kejadian gagal jantung kongestif, syok kardiogenik, aritmia dan kematian (Martalena et al., 2013). Berdasarkan penelitian, didapatkan kejadian MACE pada pasien infark miokard akut sebanyak 63,4 % (Rampengan et al., 2007).

2.3. Hiponatremi

2.3.1. Hubungan Hiponatremi dengan IMA

Dalam kondisi normal, konsentrasi natrium plasma dalam tubuh berkisar antara 135-145 mmol/L. Faktor determinan utama dari konsentrasi sodium plasma adalah konsentrasi dari cairan dalam plasma itu sendiri, dari insensible water loss

dan dari dilusi urin (Reynolds, Padfield, dan Seckl, 2006).

Hiponatremi merupakan gangguan elektrolit yang didefinisikan sebagai kadar serum natrium <135mEq/L (Singla et al., 2007). Hiponatremi dijumpai sebanyak 28% pada pasien infark miokard akut (Aziz et al., 2011). Mekanisme

(7)

terjadinya hiponatremi pada pasien infark miokard akut, yaitu akibat dari peningkatan sekresi dari vasopressin sebagai respon dari stimulus non-osmotik, yang meliputi diantaranya perkembangan akut dari disfungsi ventrikel kiri, nyeri, mual, dan akibat pemberian analgetik dan diuretik (Goldberg et al., 2006). Vasopressin merupakan hormon antidiuretik endogen yang disekresikan oleh kelenjar pituitari posterior, yang dimana berfungsi untuk menjaga keseimbangan air dalam tubuh. Meningkatnya vasopressin pada pasien infark miokard ini dimediasi melalui baroreseptor arteri dan peningkatan dari angiotensin II (Lilly, 2011). Peningkatan konsentrasi vasopressin akan menyebabkan masuknya

aquaporin-2 water channels ke dalam membran sel di duktus kolektivus di ginjal. Akibatnya akan terjadi reabsorbsi cairan bebas (Goldberg et al., 2006).

Selain itu, pada pasien infark miokard akut akan terjadi pengaktifan dari sistem renin angiotensin dan peningkatan dari produksi katekolamin. Hal ini akan mendorong untuk terjadinya vasokonstriksi pada ginjal, sehingga akan mengurangi kecepatan filtrasi glomerulus dan pengiriman cairan tubulus ke bagian pengenceran di nefron. Akibatnya akan mengurangi ekskresi cairan di ginjal (Goldberg et al., 2006). Berlebihnya cairan di dalam tubuh dibandingkan dengan total kandungan natrium dalam tubuh akan menimbulkan gangguan keseimbangan cairan dalam tubuh, yaitu berupa hiponatremi (Spasovski et al., 2014). Melalui proses inilah maka pasien infark miokard akut dapat mengalami hiponatremi.

2.3.2. Hubungan Hiponatremi dengan MACE

Gangguan keseimbangan natrium merupakan gangguan elektrolit yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari - hari (Reynolds, Padfield, dan Seckl, 2006). Hiponatremi merupakan gejala klinis yang dijumpai di rumah sakit, yaitu sebanyak 15 - 20%. Hiponatremi berkaitan dengan peningkatan mortalitas, morbiditas, dan lama perawatan di rumah sakit (Spasovski et al., 2014).

(8)

Pada pasien infark miokard akut, akan terjadi penurunan kadar natrium yang dimana merupakan risiko untuk terjadinya gagal jantung dan kematian (Bacharibjatoen, 2012). Hal ini disebabkan karena terjadinya aktivasi neurohormonal yang berhubungan dengan pelepasan dari atrial natriuretic peptide dan katekolamin dan juga aktivasi sistem renin angiotensin (Singla et al., 2007).

Lepasnya natriuretic peptide disebabkan karena terjadinya peningkatan tekanan intrakardiak. Natriuretic peptide terdiri dari atrial natriuretic peptide

(ANP) dan B-type natriuretic peptide. ANP disimpan di dalam sel atrium dan akan dilepaskan apabila terjadi distensi pada atrium. Pada saat infark miokard, akan dikeluarkan BNP yang menandakan telah terjadinya stres hemodinamik pada miokard ventrikel (Lilly, 2011).

Selain lepasnya natriuretic peptide, juga akan terjadi pelepasan katekolamin. Katekolamin akan mengakibatkan peningkatan usaha jantung untuk berkontraksi, sehingga akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan dari oksigen. Peningkatan katekolamin juga akan menimbulkan nyeri kepala yang berat, keringat yang banyak, palpitasi dan takikardi (Lilly, 2011). Akibatnya, akan semakin memperberat keadaan pada pasien infark miokard akut.

Sistem renin angiotensin berperan penting dalam keseimbangan air dan natrium, yang dimediasi oleh renin. Stimulus utama dari pelepasan renin dari sel juxtaglomerulus di ginjal meliputi (1) penurunan perfusi arteri renalis akibat penurunan cardiac output, (2) penurunan pengiriman natrium ke makula densa di ginjal, yang menyebabkan perubahan hemodinamik dalam ginjal, dan (3) stimulasi langsung dari reseptor β₂ juxtaglomerulus oleh aktivasi sistem saraf adrenergik. Renin akan mengubah angiotensin menjadi angiotensin I, yang kemudian oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) akan diubah menjadi angiotensin II, yang merupakan vasokonstriktor poten. Angiotensin II akan merangsang rasa haus di hipothalamus, sehingga terjadi peningkatan penyerapan air dan meningkatkan sekresi aldosteron di korteks adrenal. Kemudian, hormon

(9)

tersebut akan memicu reabsorbsi natrium dari tubulus distal ginjal ke sirkulasi, sehingga akan meningkatkan volume intravaskular. Peningkatan volume intravaskular akan menyebabkan peningkatan preload (Gambar 2.3.) (Lilly, 2011). Akan tetapi, hiperaktivitas dari sistem renin angiotensin akan menimbulkan vasokonstriksi berlebihan dan peningkatan afterload, yang akan berakibat pada menurunnya cardiac output dan glomerular filtration rate

(Kusumoto, 2014). Selain itu, peningkatan angiotensin II dan aldosteron yang berlebihan akan mengakibatkan produksi dari sitokin, mengaktifkan makrofag, dan menstimulasi fibroblas, menyebabkan terjadinya fibrosis dan remodeling jantung (Lilly, 2011). Akibat dari aktivitas neurohormonal dan sitokin, akan meningkatkan wall stress (Singla et al., 2007). Meningkatnya wall stress akan menyebabkan peningkatan dari kebutuhan oksigen. Oleh karena itu, akan terjadi kompensasi untuk menurunkan penggunaan oksigen. Karena wall stress

berbanding terbalik dengan ketebalan dari dinding ventrikel, maka dalam usaha untuk menurunkan konsumsi oksigen dan menurunkan wall stress akan terjadi hipertrofi pada miokard. Akan tetapi, akibat meningkatnya kekakuan dinding miokard yang hipertrofi maka akan menyebabkan peningkatan tekanan diastol ventrikel, yang dimana akan ditransmisikan ke dinding atrium kanan dan vaskularisasi paru (Lilly, 2011). Melalui mekanisme renin angiotensin inilah akan terjadi vasokonstriksi perifer dan hipertrofi miokard pada pasien infark miokard akut (Singla et al., 2007).

Selain itu, pada infark miokard akut, akan terjadi pelepasan dari vasopressin nonosmotik, yang merupakan akibat dari adanya disfungsi pada ventrikel kiri, sebagai respon terhadap nyeri, nausea, stres berat atau respon dari pemberian analgetik dan diuretik (Bacharibjatoen, 2012). Peningkatan vasopressin yang merupakan hormon antidiuretik ini akan meningkatkan volume intravaskular karena akan memicu terjadinya retensi air pada bagian distal nefron. Meningkatnya volume intravaskular akan berdampak pada peningkatkan preload

ventrikel kiri dan peningkatan cardiac output. Selain itu, vasopressin juga dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi sistemik melalui stimulasi langsung pada reseptor V1 di otot polos pembuluh darah karena vasopressin merupakan

(10)

vasokonstriktor nonadrenergik yang poten. Konstriksi pada vena akan menyebabkan berlebihnya aliran balik vena ke jantung, sehingga meningkatkan tekanan hidrostatik pada kapiler paru yang akan berakibat pada terjadinya kongesti paru. Lalu, konstriksi pada arteri yang berlebih akan meningkatkan resistensi pada ventrikel kiri dalam berkontraksi, sehingga akan menyebabkan terhalangnya forward cardiac output (Lilly, 2011).

Sumber : Lilly, 2011

Gambar 2.3. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Peningkatan dari kadar vasopressin ini akan diikuti dengan peningkatan dari aktivasi neurohormonal lain, seperti renin dan norepinefrin (Bacharibjatoen, 2012). Peningkatan norepinefrin akan menyebabkan peningkatan kontraksi jantung dan peningkatan detak jantung (Kusumoto, 2014). Peningkatan detak jantung tersebut akan menyebabkan peningkatan dari kebutuhan metabolik, yang

(11)

pada akhirnya akan memperberat kerja dari jantung itu sendiri, sehingga akan menimbulkan dampak buruk pada pasien (Lilly, 2011).

Gambar

Gambar 2.1. Tahap Perkembangan Plak
Gambar 2.2. Komplikasi Infark Miokard Akut
Gambar 2.3. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat penelitian ini adalah mengetahui dan memberikan informasi mengenai ada tidaknya pengaruh perbedaan bobot telur terhadap bobot tetas ayam Kedu Jengger

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun tahongai memiliki aktivitas antiinflamasi, dosis terbaik ekstrak daun tahongai sebagai

Setelah menganalisis interpretasi puisi sanyuhwa karya Kim Sowol melalui pendekatan semiotik Riffaterre ini dapat diinterpretasikan bahwa Kim Sowol ingin menyampaikan apa yang

1. Kampung Douwbo dan Syurdori adalah bagian dari Distrik Supiori Timur Kabupaten Supiori berdasrkan aspirasi murni dari masyarakat dan telah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum

Umpamanya, bakteri dengan kandungan protein yang tinggi (72% lebih) dapat dihasilkan terus-menerus dengan menggunakan methanol sebagai bahan mentah, dan

Indikator kognisi atau tingkat pandangan responden menunjukkan tidak mendukung dilihat dari 23 responden atau 63,8% orang tua memiliki pandangan yang tidak setuju

Urutan berikutnya bunyi b digeser di awal lagu dan bunyi pl menjadi di akhir lagu sehingga menjadi (dibaca ndang ndang tak pulung ) Sebagai urutan yang terakhir bunyi b

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) tingkat kerentanan sosial, 2) deskripsi sosial ekonomi, dan 3) pemetaan perbandingan kerentanan sosial masyarakat di Daerah