ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PENITIPAN
BERAS DI TOKO BERAS DI DUSUN BANYURIP DESA
SUMBERINGIN KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN
BLITAR
SKRIPSI
Oleh
Livia Khusnul Insyiyah NIM. C02211089
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)
v ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan tentang Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Penitipan Beras Di Toko Beras Di Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab persoalan tentang bagaimana praktik penitipan beras di toko beras di Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.
Dalam penelitian ini data yang diperoleh langsung dari masyarakat melalui proses observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil wawancara dan observasi kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan menggunakan pola pikir deduktif yaitu menggambarkan konsep penitipan beras ini dalam hukum Islam.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa praktik penitipan Analisi Waka>lah terhadap praktik penitipan beras di toko beras yang dilakukan oleh penitip dan toko dibenarkan dalam Islam, karena dalam hal penitipan ini pihak toko sebagai muwak>il, walaupun akad awalnya adalah titipan tetapi secara tidak langsung ini adalah perintah orang yang menitipkan untuk mewakilkan penjualan. Dan wakil dalam penjualan ini boleh selagi tidak melanggar syarat dan ketentuan. Serta adanya keridhaan dan rela sama rela.
Sejalan dengan kesimpulan diatas, maka saranya Waka>lah (wakil) sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena waka>lah dapat membantu seseorang dalam melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh orang tersebut, tetapi pekerjaan tersebut masih tetap berjalan seperti layaknya yang
telah direncanakan. Hukum waka>lah adalah boleh, karena waka>lah dianggap
sebagai sikap tolong-menolong antar sesama, selama waka>lah tersebut bertujuan
viii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 5
C. Rumusan Masalah ... 6
D. Tujuan Penelitian ... 7
E. Kegunaan Penelitian ... 7
F. Definisi Operasional ... 8
G. Kajian Pustaka ... 9
H. Metode Penelitian ... 13
I. Sistematika Pembahasan ... 16
BAB II LANDASAN TEORI TRADISI PENITIPAN BERAS DI TOKO BERAS ... 19
A. Pengertian Waka>lah ... 18
B. Dasar Hukum Waka>lah ... 21
C. Syarat dan Rukun Waka>lah ... 26
D. Macam-MacamWaka>lah ... 29
ix
F. Fatwa MUI tentang Waka>lah ... 30
G. Aplikasi Waka>lah dalam kehidupan sehari-hari ... 36
H. Tindakan Wakil ... 39
I. Akibat Hukum Waka>lah ... 43
J. Tujuan adanya Waka>lah... 45
K. Berakhirnya akad Waka>lah ... 45
BAB III GAMBARAN TRADISI PENITIPAN BERAS DI TOKO BERAS DI DUSUN BANYUURIP DESA SUMBERINGIN KECAMATAN SANANKULON BLITAR ... 45
A. Gambaran Umum Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar ... 45
B. Proses Pelaksanaan Penitipan Beras ... 50
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PENITIPAN BERAS DI TOKO BERAS DI DUSUN BANYURIP DESA SUMBERINGIN KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR ... 55
A. Analisis terhadap tradisi penitipan beras di tokoberas di Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar ... 55
B. Analisis Hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar ... 57
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 64
B. Saran... 65
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi untuk mengisi dan
memakmurkan hidup dan kehidupan ini sesuai dengan tata aturan dan
hukum-hukum Allah SWT.1 Manusia secara kudrati adalah sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial, yaitu manusia saling membutuhkan satu sama
lain, baik dalam pikiran, berinteraksi, dan melengkapi kebutuhan dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam melaksanakan hidup dan kehidupan, Islam selain
mensyari‟atkan akidah dan ibadah yang benar sebagai alat penghubung antara hamba dan penciptanya juga merumuskan tata cara yang baik dan
benar dalam mu’amalah sebagai penghubung antara manusia satu sama lain.
Muamalah adalah aturan-aturan Allah SWT yang wajib ditaati yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara
memperoleh dan mengembangkan harta benda.2
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kehidupan manusia
khususnya umat Islam dapat melakukan interaksi sosial sehari-hari harus
memenuhi ketentuan yang ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan
demikian, apabila muamalah dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan
ketentuan yang ada, maka semua manusia akan dapat memenuhi
kebutuhanya masing-masing.
1Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), 1.
2
Mu’amalah secara harfiah berarti “pergaulan” atau hubungan antara manusia. Dalam pengertian harfiah yang bersifat umum ini, mu’amalah
berarti perbuatan atau pergaulan manusia di luar ibadah. Mu’amalah
merupakan perbuatan manusia dalam menjalin hubungan atau “pergaulan manusia dengan Tuhan”.3 Manusia adalah makhluk yang dibebani oleh berbagai kewajiban dan hak. Dalam penunaian kewajiban, seseorang dituntut
supaya menunaikan kewajibannya itu secara langsung, sebab hal ini
termasuk tanggung jawabnya. Demikian pula dalam hal penerimaan hak-hak.
Dalam agama Islam dikenal adanya lembaga waka>lah yang berfungsi
memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang akan melakukan sesuatu
tugas di mana ia tidak bisa secara langsung menjalankan tugas itu, yakni
dengan jalan mewakilkan atau memberi kuasa kepada orang lain untuk
bertindak atas nama yang mewakilkan atau pemberi kuasa. Karena itu,
waka>lah ini merupakan suatu persoalan yang penting, apalagi pada masa
sekarang.4
Melihat betapa pentingnya posisi waka>lah dalam konteks sosial
kemasyarakatan, maka Islam memberikan perhatian yang sangat besar untuk
merumuskan tata aturan dan pelaksanaan transaksi ini agar tidak melenceng
dari aturan syari‟at Islam dan dapat memberikan manfaat bagi yang melakukannya, sehingga tujuan utamanya terpenuhi tanpa merugikan salah
satu pihak.
Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa> :29, sebagai berikut:
3Gufron A. Mas‟adi, Fiqih Mu’amalah Kontekstual, 1.
3
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bat}il, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu5”.
Selain jual beli, maka perwakilan (waka>lah) juga termasuk salah satu
kegiatan mu‟amalah yang terjadi di masyarakat dan tentunya juga memerlukan perhatian penting agar pengaplikasianya dapat berjalan sesuai
dengan syari‟at Islam, dan pelaksanaannya pada umumnya diserahkan pada akal manusia, karena pelaksanaanya diserahkan kepada apa yang dianggap
baik oleh umat, maka dapat saja pelaksanaanya berbeda antara satu
lingkungan yang lain dan pula mengalami perkembangan dan perubahan.
Hukum Islam memberi ketentuan bahwa pada dasarnya pintu perkembangan
mu’amalah senantiasa terbuka lebar. Berangkat dari kondisi semacam ini,
sangatlah dimungkinkan terjadinya praktek-praktek penyelenggaraan jual
beli dan lainya yang nantinya tidak sesuai dengan aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT. Kondisi ini bila tidak diantisipasi dengan baik,
akan dapat munculkan praktek jual beli yang merugikan salah satu pihak.
Sementara itu dalam pelaksanaan penitipan beras di toko beras di
Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten
Blitar ini, berawal dari warga apabila ada suatu hajatan atau acara besar
pasti banyak warga yang datang untuk bowo, dan saat bowo banyak warga
yang membawa beras dan beras yang diperoleh oleh tuan rumah
4
kwintal. Untuk mengatasi kerusakan beras atau hal-hal lain yang tidak
diharapkan maka tuan rumah mempunyai inisiatif untuk menitipkan beras
tersebut ke toko beras, dan pihak toko pun member pilihan beras ini
diuangkan atau tetap dititipkan, dan penitip pun tetap memilih untuk
menitipkan berasnya. Pada saat penitipan pihak toko memperjualbelikan
beras tersebut yang keuntungan tidak diketahui oleh orang yang menitipkan
beras, sela beberapa bulan orang yang menitipkan akan meminta kembali
beras dengan cara sedikit demi sedikit, yang mana ada kerancuan pada akad
yang digunakan dalam pertanggung jawaban terhadap resiko-resiko yang
terjadi di dalamnya akibat terlalu lama waktu penyerahan beras tersebut.
Penitipan beras yang terjadi di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin
Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar ini telah berlangsung selama
beberapa tahun lamanya dan sudah menjadi tradisi atau adat di Dusun
tersebut.6
Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, peneliti ingin
mengadakan penelitian yang lebih mendalam dan jelas agar dapat diketahui
kejelasan tata cara, mekanisme, prosedur, serta praktik penitipan beras di
toko beras yang terjadi di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan
Sanankulon Kabupaten Blitar apakah sesuai dengan syarat dan aturan dalam
prespektif hukum Islam.
5
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Melalui latar belakang yang telah peneliti paparkan tersebut di atas,
terdapat beberapa problema dalam pembahasan ini yang dapat peneliti
identifikasikan, yaitu:
1. Praktik penitipan beras.
2. Sistem Penitipannya dalam praktik penitipan beras.
3. Ketidak jelasan akad yang digunakan dalam penitipan beras.
4. Adanya kerugian sepihak yang dialami oleh orang yang menitipkan beras. 5. Analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras.
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut diatas, agar masalah sesuai
dengan kebutuhan penelitian maka dibatasi sebagai berikut:
1. Praktik penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.
2. Analisi hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten
Blitar.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah ini, maka dapat dirumuskan dalam
bentuk kalimat tanya, sebagai berikut:
6
2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon
Kabupaten Blitar?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan pelitian ini ialah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui praktik penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.
2. Untuk mengetahui analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan
Sanankulon Kabupaten Blitar.
E. Kegunaan Hasil Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian dalam penelitian
ini, maka kegunaan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
dalam dua aspek, sebagaimana berikut:
1. Teoritis (aspek keilmuan), yaitu hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi penambahan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan ilmu hukum,
yakni dengan memperkaya dan memperluas khazanah ilmu tentang
bagaimana analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko
beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon
Kabupaten Blitar, dan menambah perbendaharaan karya ilmiah untuk
7
2. Praktis (aspek terapan), yaitu Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan bagi peneliti berikutnya yang memiliki minat pada
tema yang sama dan dapat digunakan sebagai bahan rujukan pemantapan
kehidupan beragama khususnya yang berkaitan dengan masalah
penitipan., dan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat
dalam melakukan transaksi penitipan beras.
F. Definisi Operasional
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan agar tidak terjadi
kesalahpahaman pembaca dalam mengartikan judul skripsi ini, maka penulis
memandang perlu untuk mengemukakan secara tegas dan terperinci maksud
dari judul skripsi di atas.
Hukum Islam : Dalil Allah SWT atau sabda Nabi Muhammad saw
yang berhubungan dengan segala amal perbuatan
mukal>af, baik mengandung perintah, larangan,
pilihan, atau ketetapan, yang menjelaskan
tentangwaka>lah.7
Tradisi Penitipan beras di toko beras : sesuatu yang telah dilakukan untuk
sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara,
kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.
Transaksi yang dilakukan oleh orang yang
menitipkan beras di toko beras. Setelah dititipkan
beras tersebut diperjualbelikan oleh pemilik toko
8
dan hasil uangnya tidak diberikan kepada orang
yang menitipkan beras. Suatu saat beras tersebut
akan diminta kembali oleh orang yang menitipkan
beras dengan cara sedikit demi sedikit sesuai
dengan kebutuhan yang menitipkan beras.
G. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang sedang akan dilakukan ini bukan merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian tersebut.8
Karya tulis yang membahas masalah ini baik dari konsepnya dan
pembahasanya sudah cukup banyak, diantaranya: skripsi dengan judul
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Jual Beli Beras Bersubsidi (Raskin) Di Desa Ngares Kidul Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto”.
Oleh Ilma Pratiwi Nur Amalia, tahun 2012. Dalam kajian ini menjelaskan
bahwa petugas pendistribusian raskin dalam sistem jual beli beras bersubsidi
(raskin) di Desa Ngares Kidul ini tidak amanah karena tidak adil dan
mengandung unsur dzalim. Hal ini tidak lain karena petugas tidak
mempertimbangkan proporsi warganya yang berhak mendapatkan bantuan
raskin berdasarkan perbedaan klasifikasi yang adil dan disyariatkan.
Akibatnya, tidak terciptanya keadilan dalam distribusi. Sekalipun dalam
Islam melarang pendistribusian suatu harta menumpuk pada satu kelompok
9
tertentu. Tetapi karena dalam hal ini yang didistribusikan adalah bantuan
orang miskin, jadi orang kaya tidak berhak mendapatkanya. Apabila orang
kaya protes, maka sama saja mereka memakan hak orang miskin dengan cara
yang bat}il (Q.S al-Baqarah: 188).9
Skripsi yang berjudul “Analisis Al-Urf’ Terhadap Pandangan Tokoh Agama Tentang Sistem Pengupahan Buruh Tani Di Desa Panyaksagan
Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan”. Oleh Siti Lisah, tahun 2012.
Menjelaskan tentang upah yang bentuknya ada dua macam dan upahnya
tidak dijelaskan terlebih dahulu sebelum melakukan pekerjaan tersebut,
upahnya berbentuk uang dan hasil panen padi berupa gabah dan upah yang
berupa hasil panen ini bagi sebagian besar pemilik sawah tidak merelakanya.
Tokoh agama di Desa Panyaksagan terdapat dua pandangan tentang sistem
pengupahan tani tersebut, yaitu 1) tokoh agama yang membolehkan dan 2)
tokoh agama yang tidak membolehkan. Tokoh agama yang membolehkan ini
karena, sitem pengupahan buruh tani ini merupakan sudah menjadi suatu
adat kebiasaan, dan tokoh agama yang tidak membolehkan tentang sistem
pengupahan buruh tani, karena tidak sesuai dengan syarat upah atau ujrah
serta tidak sesuai dengan nas.10
Skripsi yang terakhir yaitu yang berjudul, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tangguh Serah Dalam Jual Beli Beras (Studi Kasus Di Desa
Pandemawu Barat Pamekasan Madura)”. Oleh Sitti Fuzatur Rahmah, tahun
9Ilma Pratiwi Nur Amalia, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Jual Beli Beras Bersubsidi (Raskin) Di Desa Ngares Kidul Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto” (Skripsi–IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012), 69.
10
2008. Dalam kajian ini menjelaskan tentang pembahasan penjualan beras
ketika musim panen yang sudah bibayarkan ketika akad namun beras
tersebut masih dititipkan kepenjualnya atas permintaan pembeli. Adapun
tinjauan hukum Islam terhadap transaksi tersebut adalah sah karena beras
yang diperjualbelikan telah ada dan dapat diserahkan pada waktu transaksi,
sedangkan beras yang dititipkan kepada penjual dan tidak diambil pada saat
akad, terjadi karena kesepakatan kedua belah pihak dan masih sejalan dengan
aturan dalam prinsip-prinsip jual beli Islam.11
Dari kajian pustaka skripsi-skripsi di atas bahwa ada perbedaan yang
mendasar. Pada skripsi yang pertama peneliti mengambil objek yang sama
yaitu beras dan di dalamnya baik dari rumusan masalah dan hukum Islamnya
berbeda. Begitupun pada skripsi yang kedua bahwa rumusan masalah dan
hukum Islamnya berbeda. Dan pada skripsi yang ketiga memang mengalami
kesamaan dalam objek akan tetapi rumusan masalah, masalah dan hukum
Islamnya berbeda, dimana pada skripsi yang ketiga ini membahas tentang
beras yang diperjualbelikan akan tetapi sama pembeli beras tersebut di
titipkan ke penjual atau di tangguh serahkan.
Dari sini sudah tampak bahwa tidak ada pengulangan atau duplikasi
pada skripsi-skripsi sebelumnya. Untuk mengetahui dan memahami adanya
praktik penitipan beras seperti ini yang sudah berlangsung cukup lama dan menjadi tradisi oleh sebagian masyarakat di Dusun Banyuurip Desa
11
Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar, maka di sini penulis
perlu untuk mengadakan penelitian.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian ini memuat data yang dikumpulkan, yakni data
yang perlu dihimpun untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah
mengenai bagaimana praktik penitipan beras di toko beras di Dusun
Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar, dan
bagaimana analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko
beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon
Kabupaten Blitar, yaitu:
1. Data yang dikumpulkan
a.Praktik penitipan beras b.Jenis beras yang digunakan c.Cara melakukan ija>b dan qabu>l d.Transaksi penitipan beras
e.Pihak-pihak yang terkait dengan praktik ini f. Cara pengembalian obyek atau beras tersebut g. Hukum Islam tentang praktik penitipan ini. 2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian yaitu subyek dari mana data
diperoleh. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua bentuk sumber
12
a. Sumber primer ialah, sumber data yang diperoleh atau dikumpulkan
langsung dilapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang
bersangkutan yang memerlukannya.12 Dalam penelitian ini, hasil dari
wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada pihak-pihak yang
bersangkutan antara lain: Kepala Desa Sumberingin dan
perangkatnya, Tokoh Agama, pihak-pihak yang melakukan praktik
penitipan beras ini yaitu masyarakat sebagai penjual dan pemilik toko
sebagai pembeli serta pihak yang mengetahui langsung tentang tradisi
penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin
Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.
a. Sumber sekunder yaitu sumber data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah
ada baik dari perpustakaan atau laporan peneliti terdahulu. Adapun
sumber skunder dalam penelitian ini adalah:
1) Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah 2) Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah
3) Al-Banna Jamal, Manifesto Fiqih Baru 3 4) Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh 5) Dr. Asmawi, M.Ag,
6) Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Asil>latuhu
7) Dr. Muhammad Syafi‟I Antonio, M.Ec, Bank Syariah dari Teori ke Praktik.
3. Teknik Pengumpulan data
13
Untuk memperoleh data yang kongkrit, peneliti menggunakan
teknik pengumpulan data sebagai berikut :
a. Wawancara (Interview)
Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi,
guna memperoleh data secara langsung yang dapat menjawab
persoalan tentang rumusan masalah, dengan cara:
1) Menggunakan wawancara langsung dengan masyarakat yang
terlibat dalam tradisi penitipan beras,
2) Wawancara langsung pemilik toko,
3) Wawancara langsung dengan Tokoh Agama.
b. Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data secara
tertulis, berupa catatan, transkip, arsip, dokumen, buku tentang
pendapat (doktrin), teori, dalil, atau hukum, dan lain-lain yang
berhubungan dengan masalah penelitian.
4. Teknis Analisis Data
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yaitu penelitian
terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa
Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar. Metode analisis
yang dipakai dalam penelitian ini adalah :
a. Metode Kualitatif Deskriptif
Metode yang diawali dengan menggambarkan kenyataan yang
ada di lapangan mengenai praktik penitipan beras di toko beras di
14
Kabupaten Blitar, kemudian diteliti dan dianalisis sehingga hasilnya dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan
mengenai tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip
Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.
b. Metode Deduktif
Metode yang awali dengan mengemukakan
pengertian-pengertian, teori-teori atau fakta-fakta yang bersifat umum, yaitu
ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai waka>lah (perwakilan)
dan selanjutnya dipaparkan dari kenyataan yang ada di lapangan
mengenai praktik tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun
Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten
Blitar, kemudian diteliti dan analisis sehingga hasilnya dapat
digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan mengenai
praktik tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa
Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.
I. Sistematika Pembahasan
Demi mendapatkan gambaran yang jelas mengenai sistematika
pembahasan dalam skripsi ini, penulis membagi dalam lima bab yang
masing-masing ada keterkaitan serta merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Bab-bab tersebut merupakan kebulatan penjelasan dalam penelitian ini.
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi tentang gambaran
umum tentang pola dasar penulisan skripsi ini yang meliputi latar belakang
15
penelitian yang berisi, definisi operasional, metode penelitian yang meliputi
jenis penelitian, sumber data, teknil pengumpulan data, metode analisis data
dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.
Bab kedua merupakan tentang landasan teori yang berkaitan dengan
studi ini, yaitu konsep umum tentang waka>lah dalam hukum Islam. Bab ini
memuat beberapa subbab yaitu: pengertian waka>lah, rukun dan syarat
waka>lah, Macam-macam waka>lah, landasan hukum waka>lah, konsep
waka>lah.
Bab ketiga merupakan laporan hasil penelitian lapangan yang
membahas tentang pokok pelaksanaan praktik penitipan beras di Dusun
Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanakulon Kabupaten Blitar.
Dalam bab ini memuat tentang gambaran tentang latar belakang proses
terjadinya tradisi penitipan beras di Dusun Banyuurip. Seperti sosial,
budaya, demografisnya, latar belakang pendidikan, latar belakang pekerjaan,
dan latar belakang agama.
Bab keempat, membahas dan menganalisis terhadap pokok-pokok
permasalahan yang sesuai dengan data yang diperoleh, yaitu memuat tentang
analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun
Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar,
yang meliputi: analisis terhadap pelaksanaan tradisi penitipan beras, serta
analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun
Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.
Bab kelima merupakan penutup berupa kesimpulan yang merupakan
jawaban dari rumusan masalah dan hasil dari analisis pembahasan, dan
16 BAB II
LANDASAN TEORI TENTANG PENITIPAN BERAS DI TOKO BERAS DI DUSUN BANYUURIP DESA SUMBERINGIN KECAMATAN
SANANKULON KABUPATEN BLITAR
A. WAKA>LAH
1. Pengertian Wakal>ah
Secara bahasa arti waka>lah atau wika>lah (dengan waw difathah
dan dikasrah) adalah melindungi. Hal ini sebagaimana firman Allah
SWT,
Artinya: “Dan mereka menjawab, cukuplah Allah SWT (menjadi penolong) bagi kami dan dia sebaik-baiknya pelindung.”(Ali Imran: 173)1
Yaitu al-Ha>fizh (pelindung atau penjaga). Dan firmannya,
Artinya: “Tidak ada tuhan selain dia, maka jadikanlah dia sebagai pelindung.”(Al-Muzzammil: 9)2
17
Al-Farra‟ berkata, “maksud dari wakiila dalam ayat ini adalah yang melindungi.”
Waka>lah juga artinya penyerahan. Misalnya, wakkala amrahu
ilafulaan (dia menyerahkan urusanya kepada si fulan). Misalnya juga
ucapan, “Tawakkaltu ‘alallah (saya berserah diri kepada Allah SWT).”
Seperti juga dalam firman Allah SWT,
Artinya: “Dan hanya kepada Allah SWT saja hendaknya orang-orang yang beriman berrtawakal.”(Ibrahim: 12)3
Dan Allah SWT berfirman ketika mengabarkan tentang Nabi
Hud a.s.,
Artinya: “Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah SWT, Tuhanku dan Tuhanmu.’(Hud: 56)4
Dari sekian banyak akad-akad yang dapat diterapkan dalam
kehidupan manusia.Waka>lah termasuk salah satu akad yang menurut
kaidah Fiqh Muamalah, akadwaka>lah dapat diterima.Waka>lah itu
18
berarti perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah), tanggungan
(al-dhamah), atau pendelegasian (al-tafwi>d}), yang diartikan juga dengan
memberikan kuasa atau mewakilkan.Adapula pengertian-pengertian
lain dariwaka>lah yaitu:
a. Waka>lahatau wika>lah yang berarti penyerahan, pendelegasian, atau
pemberian mandat.
b. Waka>lahadalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak
pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang
diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu
sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama,
namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai yang disyaratkan,
maka semua resiko dan tanggung jawab atas dilaksanakan perintah
tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.
Dalam definisi syara, waka>lah menurut para ulama Mazhab
Hanafi adalah tindakan seseorang menempatkan orang lain di
tempatnya untuk melakukan tindakan hukum yang tidak mengikat dan
diketahui, atau penyerahan tindakan hukum dan penjagaan terhadap
sesuatu kepada orang lain yang menjadi wakil. Tindakan hukum ini
mencakup pembelanjaan terhadap harta, seperti jual beli, juga hal-hal
lain yang secara syara bisa diwakilkan seperti juga memberi izin kepada
19
Para ulama Mazhab Syafi‟I mengatakan bahwa waka>lah adalah penyerahan kewenangan terhadap sesuatu yang boleh dilakukan sendiri
dan bisa diwakilkan kepada orang lain, untuk dilakukan oleh wakil
tersebut selama pemilik kewenangan asli masih hidup. Pembatasan
dengan ketika masih hidup ini adalah untuk membedakanya dengan
wasiat.5 Para ulama Malikiyah berpendapat bahwa al- waka>lah adalah
seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak
(kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu. Para ulama
Al-Hanabillah berpendapat bahwa al- waka>lah ialah permintaan ganti
seseorang yang membolehkan tasharruf yang seimbang pada pihak yang
lain, yang di dalamnya terdapat penggantian dari hak-hak Allah SWT
dan hak-hak manusia.
Menurut Syayyid al-Bakri Ibnu al-„Arif billah al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dhimyati al- waka>lah ialah seseorang
menyerahkan urusanya kepada yang lain yang didalamnya terdapat
penggantian. Menurut Imam Taqy Din Abi Bakr Ibn Muhammad
al-Husaini bahwa waka>lah ialah seseorang yang menyerahkan hartanya
untuk dikelolanya yang ada penggantinya kepada yang lain supaya
menjaganya ketika hidupnya.
20
Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa al- waka>lah ialah akad
penyerahan kekuasaan, pada akad itu seseorang menunjuk orang lain
sebagai gantinya dalam bertindak.
Menurut Idris Ahmad al- waka>lah ialah seseorang yang
menyerahkan suatu urusanya kepada orang lain yang dibolehkan oleh
syara‟ supaya yang diwakilkan dapat mengerjakan apa yang harus dilakukan dan berlaku selama yang diwakilkan masih hidup.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat dapat diambil
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al- waka>lah ialah penyerahan
dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu,
perwakilan berlaku selama yang diwakilkan masih hidup.6
2. Landasan Hukum Waka>lah
a. Al-Qur’an
Salah satu dasar dibolehkannyaal- waka>lah adalah firman
Allah SWT., berkenaan dengan kisah Ashabul Kahfi,
ََ يَاَن ثِبَلَاوُلاَقَ مُت ثِبَلَ مَكَ مُه نِمٌَلِئاَقََلاَقَ مُهَ ن يَ بَاوُلَءاََّتَيِلَ مُاَن ثَعَ بََكِلَذَكَو
ََض عَ بَ وَأَاًم و
َ مُكّبَرَاوُلاَقٍَم وَ ي
َُمَّ عَأ
َ رُظ نَ ي َّ فَِةَنيِدَم لاَ ََِإَِِذََ مُكِقِرَوِبَ مُكَدَحَأَاوُثَع باَفَ مُت ثِبَلَاَِِ
(َاًدَحَأَ مُكِبَّنَرِع شُيَلَوَ فَََّّ تَي لَوَُه نِمَ ٍق زِرِبَ مُكِت أَي َّ فَاًماَعَطَىَك زَأَاَهّ يَأ
٩١
)
Artinya: Dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu
21
berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.
Ayat ini melukiskan perginya salah seorangash-habul
Kahfiyang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai
wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan. Islam
mensyariatkan waka>lah karena manusia membutuhkannya. Manusia
tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannya secara pribadi
dan membutuhkan orang lain untuk menggantikan yang bertindak
sebagai wakilnya, dan Ijma’ para ulama telah sepakat telah
membolehkanwakal>ah, karena wakalah dipandang sebagai bentuk
tolong-menolong atas dasar kebaikan dan takwa yang diperintahkan
oleh Allah SWT, dan Rasul-Nya. Firman Allah SWT QS.
Al-Maidah ayat 2 :
َاوُنَواَعَ تَ َلَوَىَو قّ تلاَوَِِر لاَىََّعَاوُنَواَعَ تَو
ىََّع
َ
َُديِدَشََهّّلاَّنِإََهّّلاَاوُقّ تاَوَِناَو دُع لاَوَ ِ ِْ ْا
باَقِع لا
.
22
Waka>lah dipraktekkan berdasarkan beberapa ayat al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah saw. Ayat al-Qur‟an yang bisa dijadikan sebagai landasan waka>lah diantaranya adalah:
َاًمَكَحَاوُثَع باَفَاَمِهِن يَ بََقاَقِشَ مُت فِخَ نِإَو
َ نِم
َ
َاًح ََ صِإَاَديِرُيَ نِإَاَهِّ َأَ نِمَاًمَكَحَوَِهِّ َأ
ََهّّلاَّنِإَاَمُهَ ن يَ بَُهّّلاَِقِفَوُ ي
ََ
اًرِبَخَاًميَِّعََناَك
Artinya: Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.Jika kedua hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya allah akan memberikan taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal. (an-Nisa’ : 35)
Ayat diatas mengandung pesan tersurat tentang
diperkenankannya mengangkat seorang wakil dari masalah keluarga.
Dalam hal ini digambarkan tentang hubungan suami-istri. Ia
membicarakan tentang perselisihan keluarga (waktu itu perselisihan
antara Sa‟ad dan istrinya) yang hampir mencapai perceraian. Kemudian al Qur‟an mengisyaratkan untuk mengangkat seorang hakim (wakil) dari keduanya untuk memperjelas permasalahannya
dan mencari jalan keluar terbaik untuk mereka.
b. Al-Hadits
Banyak hadist yang dapat dijadikan keabsahan wakal>ah,
diantaranya:
23
Artinya:“Bahwasannya Rasulullah saw., mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Harits.”(Malik no. 678, kitab al-Muwaththa‟, bab Haji)
Artinya “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”(HR Tirmidzi dari „Amr bin „Auf)
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah saw telah
mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Di antaranya
adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan
membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang
hewan, dan lain-lainnya
c. Ijma’
Para ulama pun bersepakat dengan ijma‟ atas dibolehkannya
wakal>ah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya
dengan alasan bahwa hal tersebut jenis ta‟awun atau tolong
menolong atas kebaikan dan taqwa.
Seperti firman Allah SWT“… dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…”(Qs. Al-Maidah
24
Dan Rasulullah saw bersabda (HR Muslim no 4867)“Dan
Allah SWT menolong hamba selama hamba menolong saudaranya
“Dalam perkembangan fiqih Islam status waka>lah sempat
diperdebatkan: apakah waka>lah masuk dalam niabah yakni sebatas
mewakili atau kategori wilayah atau wali? hingga kini dua pendapat
tersebut terus berkembang.
Pendapat pertama menyatakan bahwa waka>lah adalah niabah
atau mewakili. Menurut pendapat ini, si wakil tidak dapat
menggantikan seluruh fungsi muwak>il. Pendapat kedua menyatakan
bahwa waka>lah adalah wilayah karena khilafah (menggantikan)
dibolehkan untuk yang mengarah kepada yang lebih
baik,sebagaimana dalam jual beli, melakukan pembayaran secara
tunai lebih baik, walaupundiperkenankan secara kredit.7
Hukum asal waka>lah adalah dibolehkan. Namun terkadang di
sunahkan jika itu merupakan bantuan untuk sesuatu yang
disunnahkan. Terkadang juga menjadi makruh jika merupakan
bantuan terhadap sesuatu yang dimakruhkan. Hukumnya juga
menjadi haram jika merupakan bantuan terhadap sesuatu yang
diharamkan. Dan, hukumnya adalah wajib jika ia untuk menghindari
kerugian dari muwak>il .8
25
3. Rukun dan Syarat-syarat Waka>lah
a. Rukun Waka>lah
Rukunwaka>lahdalam KHES pasal 452 ialah:
1) Wakil(orang yang mewakili)
2) Muwak>il(orang yang mewakilkan)
3) Muakkal fih(sesuatu yang diwakilkan)
4) S}ighat(lafadz ija>b dan qabu>l)
b. Syarat-syarat Waka>lah
Sebuah akad waka>lah dianggap syah apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1) al muwak>il (orang yang mewakilkan) adalah orang yang dianggap sah oleh syari‟at dalam menjalankan apa yang ia wakilkan. Ia harus sudah dianggap cakap bertindak hukum (telah
baligh dan berakal sehat).Dalam kitab fathul mu.in ini juga di
jelaskan bahwasanya wakalah dikatakan sah apabila muwakkil
memiliki kekuasaan pelaksanaan atas suatu perkara saat diikat
akad waka>lah.
26
Wakil juga harus ditunjuk secara langsung dan tegas oleh orang
yang mewakilkan untuk menghindari salah pendelegasian tugas.
Penunjukan ini dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.
3) al muwak>al fih( barang yang diwakilkan), adalah:
a) Milik sah dan milik pribadi orang yang mewakilkan. Barang tersebut bukan milik umum, bukan barang yang semua orang
bisa memperolehnya. Seperti tidak sah untuk mewakilkan
untuk menggali barang tambang yang belum ada
pemiliknya, sebab barang itu adalah milik umum dan bukan
milik pribadi muwakkil.
b) Bukan berbentuk utang kepada orang lain, seperti pernyataan: ” saya tunjuk engkau sebagai wakil saya untuk meminjam uang kepada Ahmad”. Jika hal tersebut dilakukan, maka hutang menjadi tanggung jawab wakil,
bukan muwak>il.
c) Merupakan sesuatu yang boleh diwakilkan menurut syara’.
d) Menurut jumhur ulama‟ boleh perwakilan dalam masalah ibadah yang bersifat menerima dan menyerahkan kepada
yang berhak. Seperti mewakilkan menerima zakat dan
27
Dalam waka>lah disyaratkan keadaanmuwak>al fihdiketahui
oleh wakil walaupun hanya dari satu wajah.
1) S}ighat dari pihak muwakkil harus berupa ucapan yang mengindikasikan kerelaan. Sedangkan qobul dari pihak wakil
tidak harus diucapkan secara lisan, cukup dengan tidak adanya
penolakan darinya.9
4. Macam-Macam Waka>lah
Adapun bentuk-bentuknya dalam KHES pasal 456 dijelaskan
bahwa transaksi pemberian kuasa dapat dilakukan dengan mutlak dan/
atau terbatas, ialah:
a. Waka>lah Muqayyadah (khusus), yaitu pendelegasian terhadap pekerjaan tertentu. Dalam hal ini seorang wakil tidak boleh keluar
dari waka>lah yang ditentukan. Maka melakukan perbuatan
hukumnya secara terbatas (pasal 468 KHES)
b. Waka>lah Mutlaqah, yaitu pendelegasian secara mutlak, misalnya sebagai wakil dalam pekerjaan. Maka seorang wakil dapat
melaksanakan waka>lah secara luas. Maka melakukan perbuatan
hukumnya secara mutlak (pasal 467 KHES)
28
Sedangkan KUHPer pasal 1795 dan 1796Pemberian kuasa dapat
dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan
tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala
kepentingan pemberi kuasa.
Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi
tindakan-tindakan yang menyangkutpengurusan.
Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di
atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan
tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik,
diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.10
5. Konsekuensi Hukum Waka>lah
a. Konsekuensi Hukum Waka>lah
Konsekuensi hukum dari akad waka>lah adalah berlakunya
kewenangan wakil untuk melakukan tindakan hukum yang dicakup
oleh pewakilan itu.
Jika waka>lah berlangsung dengan sah, maka ia mempunyai
sejumlah konsekuensi hukum berkaitan dengan hal-hal yang menjadi
kewenangan wakil, hak dan kewajiban yang harus dia lakukan dalam
perwakilan jual beli serta berkaitan dengan status benda objek
29
waka>lah yang ada ditangannya; apakah ia sekedar amanah ataukah
harus dujamin gantinya.11
30
6. FATWA DSN MUI TENTANG WAKA>LAH
FATWA
DEWAN SYARI‟AH NASIONAL
NO: 10/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
W A K A >L A H
ْسب ها ْح ا ْح ا
Dewan Syari‟ah Nasional setelah Menimbang:
a. Bahwa dalam rangka mencapai suatu tujuan sering diperlukan pihak
lain untuk mewakilinya melalui akad waka>lah, yaitu pelimpahan
kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang
boleh diwakilkan.
b. Bahwa praktek waka>lah pada LKS dilakukan sebagai salah satu
bentuk pelayanan jasa perbankan kepada nasabah;
c. Bahwa agar praktek waka>lah tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa
tentangwaka>lah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
31
Artinya : "Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata salah seorang di antara mereka: ‘Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini)?’ Mereka menjawab: ‘Kita sudah berada (di sini) satu atau setengah hari.’ Berkata (yang lain lagi): ‘Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.’”
2. Firman Allah SWT dalam QS. Yusuf [12]: 55 tentang ucapan Yusuf kepada raja:
ْ ْعْجا ع ئا خ ، ْ أْا ْ ظْ ح ْ ع .
Artinya: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.”
3. Firman Allah SWT QS.al-Baqarah [2]: 283: ... ْ ف ْ ْعب ا ْعب ّ ْف ا ْ ا ، ا ْ ها ب ...
Artinya: “…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.
4. Firman Allah SWT QS.al-Ma‟idah [5]: 2: اْ اع ع ْا ، ْ ا ا اْ اع ع ْإْا ا ْدعْا .
Artinya: “Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran.”
5. Hadis-hadis Nabi, antara lain:
32
Artinya: “Rasulullah saw mewakilkan kepada Abu Rafi‟ dan seorang Anshar untuk mengawinkan (qabul perkawinan Nabi dengan) Maimunah r.a.”(HR. Malik dalam al-Muwaththa‟).
اج ا ص ا ْ ع س ا ا ظ ْغ ف ف ب باحْص ا ف س ا ص ا ْ ع آ س : ، ْ عّ ف بحا حْا ،اا ا : ْ ّْع اًس ْ س . ا ا : ا س ا دج ا ا ْ ْ س . ا ف ، ْ ّْع ف ْ ْ ك ْخ ْ سْح ءا ) ْ ب ْ ع اخ ا ا (
Artinya: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw untuk menagih hutang kepada beliau dengan cara kasar, sehingga para sahabat berniat untuk “menanganinya”. Beliau bersabda,
„Biarkan ia, sebab pemilik hak berhak untuk berbicara;‟
lalu sabdanya, „Berikanlah (bayarkanlah) kepada orang ini unta umur setahun seperti untanya (yang dihutang itu)‟.Mereka menjawab, „Kami tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua.‟ Rasulullah kemudian bersabda:
„Berikanlah kepada-nya. Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik di dalam membayar.‟”(HR. Bukhari dari Abu Hurairah). 6. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari „Amr bin „Auf:
حْ ا ئاج ْب ْس ْا ا احْص ح ااح ْ ح ا ا ح ْس ْا ع ش ْ ط ا اطْ ش ح ااح ْ ح ا ا ح .
Artinya: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
7. Umat Islam ijma‟ tas kebolehkan wakal>ah, bahkan memandangnya sebagai sunnah, karena hal itu termasuk
jenista’awun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa,
yang oleh al-Qur'an dan hadis.
33
ْصأا ف ا اع ْا حابإْا
ا ْ د ْ ّ ع ا ْ ْح .
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Kamis, tanggal 8 Muharram 1421 H./13
April 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG WAKALAH Pertama : Ketentuan tentang Waka>lah:
1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2. Waka>lah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh
dibatalkan secara sepihak.
Kedua : Rukun dan Syarat Waka>lah: 1. Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)
a. Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
b. Orang mukallaf atau anakmumayyizdalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti
mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan
sebagainya.
34
b. Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya, c. Wakil adalah orang yang diberi amanat.
3. Hal-hal yang diwakilkan
a. Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili, b. Tidak bertentangan dengan syari‟ah Islam,
c. Dapat diwakilkan menurut syari‟ah Islam.
Ketiga : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari‟ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ditetapkan di :Jakarta
Tanggal :08Muharram 1421H. 13 April 2000 M
DEWAN SYARI‟AH NASIONAL
MAJELIS ULAMAINDONESIA
Ketua, Sekretaris,
Prof. KH. Ali Yafie Drs. H.A. Nazri Adlani
7. Aplikasi Waka>lah Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Dalam praktek perbankan syariah, transaksi wakal>ah ibarat pisau
dapur. Keberadaannya kurang dirasakan, namun bila tidak ada, baru
terasa betapa pentingnya. Ini karena transaksi wakal>ah sering hanya
menjadi transaksi pendukung dan bukan sebagai transaksi utama. Lihat
35
memerlukan transaksi wakal>ah untuk alasan kemudahan. Tanpa
transaksi wakalah niscaya bank syariah akan sangat kerepotan dalam
memberikan pembiayaan karena harus membeli sendiri barang yang
dibutuhkan debitor. Waka>lah dalam Lembaga Keuangan Syariah terjadi
apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya
melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuanletter of
creditdan transfer uang.
Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian
kuasa harus cakap hukum. Khususnya pada pembukaanletter of credit,
apabila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C
dapat dilakukan dengan pembiayaan murabbahah, salam, ijarah,
mudharabah, atau musyarakah. Tugas, wewenang dan tanggung jawab
bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank. Setiap tugas yang
dilakukan harus mengatasnamakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh
bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti
biaya berdasarkan kesepakatan bersama. Pemberian kuasa berakhir
setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan
bank.
AkadWaka>lahdapat diaplikasikan ke dalam berbagai bidang,
termasuk dalam bidang ekonomi, terutama dalam institusi keuangan:
36
Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan
konsep akadWaka>lah, dimana prosesnya diawali dengan adanya
permintaan nasabah sebagaiAl-Muwak>ilterhadap bank sebagai
Al-Wakiluntuk melakukan perintah/permintaan kepada bank untuk
mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian
bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke
rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank
mengkreditkan sejumlah dana kepada kepada rekening tujuan.
Berikut adalah beberapa contoh proses dalam transfer uang ini.
b. Wesel Pos
Pada proses wesel pos, uang tunai diberikan secara langsung
dariAl-Muwakk>l kepada Al-Wakil, danAl-Wakil memberikan
uangnya secara langsung kepada nasabah yang dituju. Berikut
adalah proses pentransferan uang dalam Wesel Pos.
c. Transfer uang melalui cabang suatu bank
Dalam proses ini,Al-Muwak>ilmemberikan uangnya secara
tunai kepada bank yang merupakanAl-Wakil, namun bank tidak
memberikannya secara langsung kepada nasabah yang dikirim.
Tetapi bank mengirimkannya kepada rekening nasabah yang dituju
tersebut. Berikut adalah proses pentrasferan uang melalui cabang
37
d. Transfer melalui ATM
Kemudian ada juga proses transfer uang dimana
pendelegasian untuk mengirimkan uang, tidak secara langsung
uangnya diberikan dariAl-Muwak>ilkepada bank sebagaiAl-Wakil.
Dalam model ini, NasabahAl-Muwak>ilmeminta bank untuk
mendebet rekening tabungannya, dan kemudian meminta bank
untuk menambahkan di rekening nasabah yang dituju sebesar
pengurangan pada rekeningnya sendiri, yang sangat sering terjadi
saat ini adalah proses yang ketiga ini, dimana nasabah bisa
melakukan transfer sendiri melalui mesin ATM.12
8. Tindakan Wakil
a. Wakil untuk berpekara
Wakil dalam berperkara di hadapkan hakim, pada zaman ini
menurut jumhur ulama Mazhab Hanafi memiliki kewenangan untuk
mengaku atas nama muwak>il-nya tentang adanya hak orang lain
pada muwak>il-nya tersebut selain dalam masalah qishash dan hudud.
Zufar, Malik, Syafi‟I dan Ahmad mengatakan bahwa jika akad wakal>ah itu bersifat mutlak, maka ia tidak mencakup
pengakuan atas nama muwaki>l tentang adanya hak orang lain
padanya. Karena jika orang lain mewakilkan kepada orang lain
38
untuk berpekara, maka tidak diterima pengakuanya atas nama
muwak>il baik itu pengakuan bahwa muwak>il-nya telah menerima
hak orang lain itu maupun yang lainya. Karena akad waka>lah dalam
berpekara artinya perwakilan untuk berselisih, sedangkan pengakuan
berarti penyelesaian secara damai.
Adapun yang membedakan pengakuan dengan pengingkaran
adalah pengingkaran tidak menghentikan sengketa.
b. Wakil untuk menagih utang
Hukum asal yang dinukil dari para imam Mazhab Hanafi
menetapkah bahwa seorang wakil untuk menagih hutang
mempunyai kewenangan menerima pelunasan utang tersebut.
Karena kewenangan menagih tidak bisa tercapai kecuali dengan
diterimanya pelunasan hutang, sehingga perwakilan dalam hal ini
mencakup perwakilan untuk menerimanya.
Akan tetapi, para ulama kalangan muta’akhiriin dari Mazhab
Hanafi mengatakan bahwa seorang wakil dalam menagih utang,
Berdasarkan kebiasaan (‘urf) yang berlaku, tidak mempunyai hak
untuk mengambil pelunasan utang dari orang yang berutang.
Wakil dalam menagih hutang tidak memiliki kewenangan untuk
39
beda dalam penagihan utang, sehingga terkadang orang berutang
merasa tidak nyaman bila ditagih oleh orang-orang tertentu.
c. Wakil untuk mengambil pelunasan hutang
Para ulama Mazhab Hanafi berbeda pendapat apakah wakil
untuk mengambil pelunasan hutang mempunyai kewenangan untuk
membuktikan dan memastikan adanya hutang itu. Dalil pendapat
Abu Hanifah berpendapat bahwa perwakilan dalam mengambil
pelunasan hutang adalah perwakilan untuk melakukan pertukaran.
Para ulama Mazhab Syafi‟I dan Hambali dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa wakil untuk mengambil pelunasan
utang atau barang adalah wakil untuk membuktikan dan
memastikan adanya hak muwak>il-nya yang menjadi tanggungan
orang lain. Karena pengambilan terhadap pelunasan hutang itu tidak
bisa tercapai kecuali dengan adanya pembuktian dan pemastian,
maka izin itu ada berdasarkan kebiasaan yang berlaku.
Namun, dalam pendapat yang lain, mereka mengatakan
bahwa wakil untuk mengambil pelunasan hutang atau barang
bukanlah wakil untuk mengajukan tuntutan. Hal ini mengingat izin
untuk mengambil pelunasan utang atau barang bukanlah izin untuk
memastikanya, baik berdasarkan kata-kata yang diucapkan muwakil
maupun berdasarkan kebiasaan.
40
Wakil untuk menjual mempunyai kewenangan melakukan
tindakan hukum yang mutlak, bisa juga terbatas. Seseorang
mewakilkan orang lain untuk menjual sesuatu tanpa adanya ikatan
harga tertentu, pembayarannya tunai atau berangsur, di kampung
atau di kota, maka wakil tidak boleh menjualnya dengan seenaknya
saja.
Dia harus menjual dengan harga pada umumnya sehingga
dapat dihindarighubun(kecurangan), kecuali penjualan tersebut
diridhai oleh yang mewakilkan. Jika perwakilan bersifat terikat,
wakil berkewajiban mengikuti apa saja yang telah ditentukan oleh
orang yang mewakilkan. Ia tidak boleh menyalahinya, Bila dalam
persyaratan ditentukan bahwa benda itu harus dijual dengan harga
Rp 10.000,00 maka harus dijual dengan harga Rp 10.000,00.
Bila yang mewakili menyalahi aturan–aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan
pihak yang memberi kuasa, maka perbuatan tersebut bathil menurut
pandangan madzhab Syafi‟i. Menurut Hanafi tindakan itu tergantung pada kerelaan orang yang mewakilkan, jika yang
mewakilkan membolehkannya maka menjadi sah, bila tidak, maka
menjadi batal.
Jika wakil mempunyai kewenangan melakukan tindakan
41
melakukan sesuai dengan kemutlakan tersebut.Sehingga dia boleh
menjualnya dengan harga berapa pun, baik sedikit maupun banyak.
Juga walaupun dengan harga yang lebih rendah yang cukup jauh dari
harga yang umum, juga boleh dengan pembayaran secara kontan
ataupun hutang. Dalilnya ada bahwa secara hukum asalnya, lafal
mutlak harus diberlakukan sesuai dengan kemutlakanya, dan ia tidak
boleh dibatasi kecuali dengan dalil.
Dalam masalah perwakilan untuk penjualan yang mutlak ini,
jumhur ulama bependapat sesuai dengan pendapat dua murid Imam
Hanafi, yaitu mereka tidak membolehkan wakil menjual sesuatu
yang diwakilkan dengan harga yang kurang dari harga umum tanpa
izin muwak>il-nya, dan ia diperintahkan untuk berusaha memberikan
kebaikan kepadanya. Karena wakil dilarang merugikan muwak>il-nya
dan dia diperintahkan untuk berusaha memberikan kebaikan
kepadanya.13
9. Akibat HukumWakal>ah
Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan
pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk
melaksanakan sesuatuatasnama orang yang memberikan kuasa. Kuasa
dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu
surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan
42
lisan. Penerimaan suatu kuasa dapatpulaterjadi secara diam-diam dan
disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.
Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan
sebaliknya.
Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan
tegas, maka penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih
daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali. Pemberian kuasa
dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan
tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala
kepentingan pemberi kuasa. Pemberian kuasa yang dirumuskan secara
umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkutpengurusan.
Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di
atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan
tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik,
diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.
Penerima kuasa tidak boleh melakukan apa pun yang melampaui
kuasanya, kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu perkara
secara damai, tidak mengandung hak untuk menggantungkan
penyelesaian perkara pada keputusan wasit.
Orang-orang perempuan dan anak yang belum dewasa dapat
ditunjuk kuasa tetapi pemberi kuasa tidaklah berwenang untuk
43
selain menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai
perikatan-perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, dan terhadap
orang-orang perempuan bersuami yang menerima kuasa tanpa bantuan
suami pun ia tak berwenang untuk mengadakan tuntutan hukum selain
menurut ketentuan-ketentuan Bab 5 dan 7 Buku Kesatu dari Kitab
Undang-undang Hukum Perdataini.Pemberi kuasa dapat menggugat
secara langsung orang yang dengannya penerima kuasa telah melakukan
perbuatan hukum dalam kedudukannya dan pula dapat mengajukan
tuntutan kepadanya untuk memenuhi persetujuan yang telah dibuat.14
10. Tujuan AdanyaWaka>lah
Pada hakikatnya waka>lah merupakan pemberian dan
pemeliharaan amanat. Oleh karena itu, baikmuwak>il(orang yang
mewakilkan) danwakil(orang yang mewakili) yang telah bekerja sama/
kontrak, wajib bagi keduanya untuk menjalankan hak dan
kewajibannya, saling percaya, dan menghilangkan sifat curiga dan
beburuk sangka.
Sisi lainnyawakal>ahterdapat pembagian tugas, karena tidak
semua orang memiliki kesempatan untuk menjalankan pekerjaannya
dengan dirinya sendiri. Dengan mewakilkan kepada orang lain, maka
munculah sikap saling tolong menolong dan memberikan pekerjaan bagi
orang yang sedang menganggur. Dengan demikian, si muwakkil akan
44
terbantu dalam pekerjaanya, dan si wakil tidak kehilangan
pekerjaanya.15
11. Berakhirnya Akad Wakaa>ah
Para ahli fiqih sepakat bahwa akad wakal>ah tanpa upah adalah
akad yang tidak mengikat bagi kedua pelaku akad. Adapun akad
wakal>ah dengan upah, maka jika dia ji‟alah (sayembara) yaitu didalamnya akad tidak ditentukan waktu atau pekerjaanya, maka
menurut kesepakatan para ulama, akad tersebut tidaklah mengikat juga.
Akad wakal>ah ini berakhir karena banyak hal:
a. Muwak>il memberhentikan wakilnya
Para ulama sepakat bahwa akad waka>lah berakhir dengan
penghentian yang dilakukan oleh muwak>il terhadap wakilnya.
Karena sebagaimana diketahuai, waka>lah adalah akad yang tidak
mengikat, sehingga secara otomatis dapat dihentikan dengan
penghentian muwak>il terhadap wakilnya.
b. Muwak>il melakukan sendiri perkara yang diwakilkan
15Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana
45
Jika muwak>il (pemilik kewenangan yang asli) melakukan
sendiri perkara yang dia wakilkan kepada orang lain, maka akad
waka>lah itu pun berakhir sebagaimana menurut kesepakatan para
ulama.
c. Selesainya tujuan dari akad waka>lah
Jika perkara yang diwakilkan selesai dilaksanakan oleh
wakil, maka akad waka>lah itu pun berakhir, karena ketika itu akad
waka>lah menjadi tanpa objek.
d. Muwak>il atau wakil kehilangan kecakapan untuk melakukan tindakan hukum
Ulama sepakat bahwa kondisi ini terjadi karena kematian,
atau menurut jumhur ulama juga karena gila yang terus-menerus.
e. Muwak>il menghentikan wakil atau wakil mundur dari akad wakaalah
Jika wakil berkata, “saya berhenti dari wakaalah ini”, “saya mengembalikan waka>lah ini”, atau “saya keluar dari waka>lah ini”. Maka, dia pun keluar dari akad waka>lah tersebut, karena perkataan
itu menunjukkan pengunduran dirinya. Dalam hal ini, para ahli fiqih
mensyaratkan muwakkil mengetahui pengunduran diri wakil, hingga
46
f. Keluarnya sesuatu yang diwakilkan dari kepemilikan muwak>il
g. Bangkrut
h. Pengingkaran
i. Pelanggaran wakil
j. Kefasikan
k. Perceraian
44 BAB III
GAMBARAN TERHADAP TRADISI PENITIPAN BERAS DI TOKO BERAS DI DUSUN BANYUURIP DESA SUMBERINGIN KECAMATAN SANAN
KULON KABUPATEN BLITAR
A. Keadaan Umum Dusun Banyuurip Desa Sumberingin
1. Keadaan Geografis
Dusun Banyuurip merupakan salah satu dusun yang berada di
wilayah Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar,
jarak dari ibu kota Kabupaten kira-kira 6 Km dengan luas wilayah
menurut penggunaanya yaitu : luas pemukiman 65 Ha, luas persawahan
154 Ha, luas perkebunan 85 Ha, luas kuburan 4 Ha, luas pekarangan 48
Ha, dan luas perkantoranya 0,070 Ha. Adapun batas-batas wilayahnya
sebagai berikut:
Sebelah Utara : Desa Ponggok
Sebelah Selatan : Desa Sumberjo
Sebelah Timur : Desa Gledug
Sebelah Barat : Desa Maliran
Dusun Banyuurip Desa Sumberingin merupakan daerah yang
tinggi tempat dari permukaan laut 125 mdl dan suhu rata-rata 27 C yang
45
Sebagaimana wilayah Indonesia yang beriklim tropis, maka demikian
terdiri dari dua musim yaitu musim hujan yang jumlah bulanya ada 4 dan
musim kemarau 8 bulan.
2. Kependudukan dan Keadaan Sosial Ekonomi
a. Kependudukan
Berdasarkan data terakhir tahun 2014, jumlah penduduk Desa
Sumberingin 6500 0rang. Yang terdiri dari :
Laki-laki : 3300 orang
Perempuan : 3200 orang
b. Keadaan Sosial Ekonomi
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Dusun Banyuurip
Desa Sumberingin adalah petani dan peternak.Hal ini berkaitan
dengan kondisi fisik wilayah Dusun Banyurip Desa Sumberingin yang
luas, dan dimanfaatkan untuk usaha pertanian khususnya tanaman
pangan.Selain petani, ada juga yang berprofesi sebagai pegawai
negeri, buruh swasta, peternak, sopir, TNI/POLRI.
46
Untuk melestarikan dan mengembangkan sosial budaya
masyarakat Dusun Banyuurip Desa Sumberingin ada beberapa
lembaga organisasi atau perkumpulan, seperti