• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP ADIL DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF QURAISH SHIHAB DAN SAYYID QUTUB.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KONSEP ADIL DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF QURAISH SHIHAB DAN SAYYID QUTUB."

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP ADIL DALAM AL-

QUR’AN

PERSPEKTIF M. QURAISH SHIHAB DAN SAYYID QUTUB

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

NISAUL KHOIRIYAH NIM : E03211031

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

JURUSAN Al-QUR’AN DAN HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)

KONSEP

ADIL DALAM AL-

QUR’A

N

PERSPEKTIF QURAISH SHIHAB DAN SAYYID QUTUB

Skripsi

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Tafsir Hadis

Oleh:

NISAUL KHOIRIYAH

NIM: E03211031

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR JURUSAN Al-QUR’AN DAN HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Nisaul Khoiriyah. Konsep Adil dalam Al-Qur’an perspektif Quraish Shihab dan Sayyid Qutub.

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana penafsiran Quraish Shihab tentang ayat adil, dan bagaimana konsep adil menurut Quraish Shihab.

Penelitian ini bertujuan memaparkan secara terperinci mengenai penjelasan makna adil, konsep adil Quraish Shiha>b dalam Al-Qur’an, dan penafsiran Quraish Shihab tentang ayat-ayat adil.

Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) yang langkah-langkahnya melalui penggalian dan penelusuran terhadap kitab-kitab, buku-buku dan catatan-catatan yang berhubungan dengan penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode bersifat deskriptif analisis. penelitian ini digunakan untuk menggambarkan konsep adil menuut Quraish Shihab, setelah itu dilakukan analisis dan intrepetasi secara kritis sebelum di tuangkan dan di implementasikan dalam sebuah gagasan. Metode ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang konstruksi pemikiran Quraish Shihab atas konsep adil.

Secara garis besar, Teori Quraish Shihab yang melahirkan konsep adil secara relevan dan sesuai tuntutan zaman. Quraish Shihab berpendapat bahwa paling tidak ada empat makna keadilan. Pertama, Adil di dalam arti sama. Kedua, Adil di dalam arti seimbang. Ketiga, Adil di dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberi-kan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Keempat, Adil di dalam arti ‘yang dinisbahkan kepada Allah’.

Quraish Shihab menegaskan bahwa manusia yang bermaksud meneladani sifat Allah yang adil (لْدَع) ini setelah meyakini keadilan Allah dituntut untuk menegakkan keadilan walau terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun.

Demikian konsep adil Quraish Shihab, Semoga hasil penelitian ini bisa diterapkan untuk lebih meningkatkan kesadaran bersikap adil terhadap seluruh manusia. Sebagai manusia yang jauh dari kesempurnaan, pasti akan ada kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, diharapkan ada penelitian lebih lanjut mengenai masalah ini untuk menerangkan lebih komprehensif mengenai konsep adil menurut pandangan Quraish Shihab.

Sedangkan disini menurut Sayyid Qutub, keadilan sosial dalam Islam mempunyai karakter khusus, yaitu kesatuan yang harmoni. Islam memandang manusia sebagai kesatuan harmoni dan sebagai bagian dari harmoni yang lebih luas dari alam raya di bawah arahan Penciptanya.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Kegunaan Penelitian ... 8

F. Uraian judul ... 9

G. Telaah Pustaka ... 10

H. Metode Penelitian ... 11

(8)

BAB II: KEADILAN

A. Pengertian Keadilan ... .15

B. Term-term Keadilan ... 16

C. Term-term yang menunjukkan makna adil ... 17

D. Jenis-jeni Keadilan ... 19

E. Subjek Keadilan ... 22

F. Keadilan Dalam Islam ... 23

G. Keadilan Menurut Para Pemikir Barat ... 23

BAB III : BIOGRAFI MUHAMMAD QURAISH SHIHAB DAN SAYYID QUTUB A. Biografi M. Quraish Shihab ... 36

B. Karya-karya Quraish Shihab ... 40

C. Tafsir Al-Misbah ... 42

D. Biografi Sayyid Qutub serta Pemikirannya………...52

E. Ayat-ayat Adil ... 57

BAB 1V : PENAFSIRAN QURAISH SHIHAB DAN SAYYID QUTUB A. Penafsiran Quraish Shihab dan Sayyid Qutub Tentang Ayat-Ayat Adil………...62

B. Konsep Adil Menurut Quraish Shihab dan Sayyid Qutub ... 79

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 92

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

al-Qur’an al-Kari>m adalah mukjizat Isla>m yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. al-Qur’an diturunkan Allah kepada Rasulullah untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasululla>h menyampaikan al-Qur’an itu kepada para sahabatnya orang-orang Arab asli, sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apabila mereka mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakannya kepada Rasulullah.1

al-Qur’an al-Kari>m adalah sumber tasri’ pertama bagi umat Muhammad

dan kebahagiaan mereka bergantung pada pemahaman maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengalaman apa yang terkandung di dalamnya.2al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia ke jalan yang diridai Allah (hudan li al-na>s) dan berfungsi pula sebagai pencari jalan keluar dari kegelapan menuju alam terang-benderang. Fungsi ideal al-Qur’an itu dalam realitasnya tidak begitu saja dapat diterapkan, akan tetapi membutuhkan pemikiran dan analisis yang mendalam. Harus diakui ternyata tidak semua al-Qur’an yang tertentu hukumnya.

1Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran . terj. Mudzakir (Bogor: Pustaka

Litera Antar Nusa, 2009), 1.

2Ibid.,455

(10)

2

sudah siap pakai. Banyak ayat-ayat yang masih global dan mushtarak yang tentunya memerlukan pemikiran dan analisis khusus untuk menerapkannya.3

Banyaknya ayat-ayat yang global ini bukanlah melemahkan peran al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam, akan tetapi malah menjadikannya bersifat universal. Keadaan ini menempatkan hukum Islam sebagai aturan yang bersifat sempurna dalam artian dapat menempatkan diri dan mencakup segenap aspek kehidupan; bersifat seimbang dan serasi antara dimensi duniawi dan ukhrawi, antara individu dan masyarakat; dan juga bersifat dinamis yakni mampu berkembang dan dapat diaplikasikan di sepanjang zaman.4

Al-Raghib Al-Isfahani yang secara khusus mencurahkan perhatiannya dalam telaahan makna kosakata dan strukturnya dalam kalimat yang terdapat dalam al-Qur’an pada sub al-adl membagi makna keadilan kepada dua macam. Pertama, keadilan mutlak (absolut) yang pertimbanganya didasarkan kepada akal budi, dan ia bersifat universal, karena tidak mengalami perubahan dan berlaku sepanjang zaman. Kedua, keadilan yang ditetapkan melalui ketentuan sari’at, dapat mengalami perubahan dan pembatalan sejalan dengan perubahan kepentingan dan tuntunan zaman. Keadilan adalah nilai universal, satu nilai kemanusiaan yang asasi. Memperoleh keadilan adalah hak asasi bagi setiap manusia. Islam menghormati hak-hak yang sah dari setiap orang dan melindungi kebebasannya, kehormatannya, darah dan harta bendanya dengan jalan menegakkan kebenaran dan keadilan diantara sesama. Tegaknya keadilan dan kebenaran dalam masyarakat akan dapat mewujudkan masyarakat yang damai,

3M. Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafisr (Yogyakarta: Teras, 2010), 25 26.

(11)

3

sejahtera, aman, tentram, dan saling percaya, baik sesame anggota masyarakat, maupun terhadap pemerintah.

Keadilan sosial adalah bersifat realistis. Suatu keadilan yang dirasakan oleh setiap manusia baik lahir maupun batin. Keretakan dan pemaksaan dalam satu masyarakat dapat terjadi jika masyarakat tersebut menempuh jalan selain islam secara praktis, yang pada gilirannya menjurus pada “determinisme

materialis”.5

Keadilan adalah sesuatu yang dirasakan seimbang, pantas, sehingga semua orang atau sebagian besar orang yang mengalami merasa pantas, nyaman, dan adil. Salah satu ciri keadilan yang penting adalah adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Adil adalah berdiri di tengah-tengah antara dua perkara memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.6

Allah SWT memerintahkan manusia bertindak adil, termasuk dalam memutus perkara dan memberikan kesaksian. Sikap adil sangat penting dilakukan oleh setiap manusia, apalagi pemimpin dan orang-orang yang terlibat dan bertugas dibidang peradilan, baik itu hakim, jaksa, polisi, pengacara, maupun saksi. Begitu pentingnya berlaku adil, maka Allah SWT menegaskannya sangat banyak di dalam al-Qur’an. Beberapa ayat dimaksud antara lain:











































(12)

4

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.7 ( al-Maidah: 8)

Dari terjemahan di atas bisa kita pahami pada kata jadilah kamu penegak keadilan sebagai saksi karena Allah SWT, dalam arti kebencian seseorang tidak menjadikan kita untuk tidak berbuat adil.





























































Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.8 ( an-nisa’: 135)













































Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.9 (an-Nahl: 90)

(13)

5

Dengan memperhatikan berbagai pandangan di atas, dapat kita tarik kesimplan bahwa penegakan keadilan ternyata sangat dibutuhkan manusia. Tetapi sebagaimana kita ketahui bahwa di Negara ini masih terdapat di sana-sini ketidakadilan, baik ditataran pemerintah, masyarakat dan sekitar kita, ini terjadi karena kesengajaan atau tidak sengaja, ini menunjukkan rendahnya kesadaran manusia akan keadilan dan berbuat adil terhadap sesame manusia. Seandainya di Negara ini terjadi pemerataan keadilan maka tidak akan terjadi protes yang disertai kekerasan, kemiskinan yang berkepanjangan, kelaparan, dan lain sebagainya. Dan ini terjadi karena konsep adil tidak diterapkan secara benar, atau bisa dikatakan keadilan hanya milik orang kaya dan penguasa.

Di sini Quraish Shihab berpendapat bahwa paling tidak ada empat makna keadilan. Quraish Shihab juga menegaskan bahwa manusia yang bermaksud meneladani sifat Allah yang adil (لْدَع) ini setelah meyakini keadilan Allah dituntut untuk menegakkan keadilan walau terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Keadilan pertama yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri, yakni dengan jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agama. Karena jika demikian, ia justru tidak berlaku adil, yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.10

Menyelesaikan dan menanggulangi masalah tersebut sesuai konsep Islam, maka diperlukan keadilan yang menyeluruh yaitu meniadakan segala bentuk

(14)

6

ketidakseimbangan sosial. Sepanjang belum tercipta keadilan kemanusiaan yang menyeluruh, maka tidak mungkin terwujud keadilan dalam bidang ekonomi yang terbatas itu. Dengan demikian keadilan sosial dapat terwujud apabila keadilan individu yaitu keadilan yang memberi hak kepada jasmani dan rohani setiap orang dan tidak lepas dari konsep Tuhan. Disinilah pentingnya keseimbangan dan keserasian hidup bersosial dalam menciptakan keadilan sosial. Selama keadilan individu diperas selama itu pula keadilan sosial mati.Hal ini disebabkan pemaksaan terhadap jiwa sosial dan berlanjut ke fakta sosial, sebab pemaksaan berlawanan dengan keadilan. Karenanya dalam menciptakan sosial tersebut Sayyid Qutub melihat dari dua persoalan tadi, jasmani dan rohani, yang tentunya dalam keadilan sosial jiwa sosial dan fakta sosial. Dengan demikian adanya

persamaan hak yang mutlak, amar ma’ruf nahi mungkar, tolong-menolong,

cinta-mencintai, dan sadaqah, adanya lembaga keadilan yang murni sebagai pengawal keadilan sejati.11

Memperhatikan berbagai pandangan diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa keadilan ternyata sangat dibutuhkan manusia. Keadilan sebagai nilai keutamaan universal nampaknya merupakan milik manusia secara keseluruhan. Kalau al-Qur’an berbicara tentang keadilan, sudah barang tentu disamping lanjutkan kecenderungan yang ada dan melekat pada diri manusia, sekaligus juga menjawab berbagai persoalan yang tidak terpecahkan, dengan membawa pesan-pesan dan nilai-nilai kesempurnaannya. Disinilah pentingnya konsep keadilan diteliti dalam wawasan dan perspektif al-Qur’an.

(15)

7

Berdasarkan latar belakang di atas penelitian tentang konsep adil secara komprehensif yang tertencar dalam ayat demi ayat pada sejumlah surat dalam al-Qur’an perlu dilakukan. Dengan kalian dan penelitian ini akan ditemukan konsep adil dalam al-Qur’an.

B. Identifikasi Masalah

Konsep adil yang menjadi kajian penulis ini memiliki beberapa masalah

yang dapat dikaji, di antaranya:

1. Apa yang dimaksud dengan konsep adil?

2. Bagaimana konsep penegak keadilan?

3. Bagaimana peran persaksian dalam penegakan keadilan?

4. Bagaimana penafsiran konsep adil?

Untuk memberi arahan yang jelas dan ketajaman analisa dalam pembahasan, maka diperlukan pembatasan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Penelitian ini hanya akan membahas tentang penafsiran Quraish Shihab dan Sayyid Qutub terkait dengan konsep adil yang tersirat dalam surat

(16)

8

C. Rumusan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas, maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penafsiran ayat-ayat adil menurut Quraish Shihab dan Sayyid Qutub?

2. Bagaimana konsep adil menurut Quraish Shihab dan Sayyid Qutub? D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui penafsiran ayat-ayat adil menurut Quraish Shihab dan Sayyid Qutub.

2. Untuk mengetahui konsep adil menurut Quraish Shihab dan Sayyid Qutub. E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dalam bidang tafsir. Agar hasil penelitian ini betul-betul jelas dan benar-benar berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan dari penelitian ini.

Adapun kegunaan hasil penelitian ini ada dua, yaitu: 1. Kegunaan secara teoritis

(17)

9

2. Kegunaan secara praktis

Implementasi penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi agar dapat memberi solusi terhadap masyarakat dalam menjalankan konsep adil yang terkandung dalam al-Qur’an bisa dibangun di atas landasan etis yang dinafasi ajaran religious (Islam) yang bersumber dari al-Qur’an.

F. Uraian Judul

Untuk memperjelas penulisan penelitian ini serta menghindari adanya kesalahpahaman, maka akan dijelaskan secara singkat mengenai maksud dari masing-masing kata yang tedapat dalam judul penelitian ini, yaitu sebagaimana berikut:

Konsep : gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.12

Adil : tidak berat sebelah, sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil, keadaan yang adil bagi masyarakat.13

Al-Qur’an : wahyu-wahyu yang diturunkan Tuhan kepada Rasulnya,

dengan perantaraan malaikat jibril untuk disampaikan kepada manusia.14al-Qur’an bisa disebut juga kalam atau

12Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai

Pustaka, 2005), 588.

13Wjs. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1993,

17

(18)

10

firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW yang pembacanya merupakan suatu ibadah.15

Jadi dari penegasan judul di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan judul penelitian ini adalah sebuah kajian untuk memberikan pemahaman terhadap konsep adil dalam al-Qur’an.

G. Telaah Pustaka

1. Rekontruksi Makna Keadilan adalah sebuah skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya yang ditulis oleh M. Anas Fakhruddin pada tahun 2005. Sesuai judul karya ini berisikan tentang makna-makna keadilan. Pola karya ini menggunakan pendekatan hermeneutika yang digunakan sebagai pisau bedah menelaah ayat al-Qur’an. Karya ini belum sampai pada pembahasan mengenai penegakkan keadilan.

2. Penegakan keadilan dalam surat An- Nisa’ Ayat 135 yang ditulis oleh M. Rifai, karya ini berisikan tentang penafsiran surat An-Nisa’ ayat 135 menurut musaffir diantaranya yaitu Ibnu Kasir, Abdul Halim, Sayyid Qutub dan Hamka. Karya ini juga menjelaskan saksi keadilan menurut penafsiran surat An-Nisa ayat 135.

3. Studi al-Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir karya Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsuddin buku ini membahas tentang biografi dan riwayat hidup Sayyid Qutub serta pemikirannya.

15Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur,an. ter. Mudzakkir (Bogor: Pustaka Litera

(19)

11

Dari beberapa karya di atas, menunjukkan bahwasannya belum ada penelitian yang membahas kajian terkait dengan konsep adil menurut panadangan Quraish Shihab dan Sayyid Qutub.,

Metode Penelitian 1. Model Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang kerangka ideologis, epistimologis, dan asumsi-asumsi metodologis pendekatan terhadap kajian tafsir dengan menelusuri secara langsung pada literatur yang terkait.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah library research (penelitian kepustakaan) yaitu penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya.16 Dengan cara mencari dan meneliti ayat yang dimaksud, kemudian mengelolanya memakai keilmuan tafsir.

3. Metode Penelitian

penelitian ini juga menggunakan metode bersifat deskriptif analisis. penelitian ini

digunakan untuk menggambarkan konsep adil menuut Quraish Shihab, setelah itu

dilakukan analisis dan intrepetasi secara kritis sebelum di tuangkan dan di

implementasikan dalam sebuah gagasan. Metode ini dimaksudkan untuk

mendapatkan gambaran yang jelas tentang konstruksi pemikiran Quraish Shihab atas

konsep adil.

(20)

12

3.1Teknik Pengumpulan Data

Teknik atau cara yang ditempuh dalam penelitian ini yaitu: mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan fokus pembahasan, kemudian mengklarifikasi sesuai dengan sub bahasan dan penyusunan data yang akan digunakan dalam penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

3.2Pengelolahan Data

Dalam pengelolahan data yang telah dikumpulkan, penulisan ini menggunakan beberapa langkah, yaitu:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali data-data yang diperoleh dari segi kelengkapan, kejelasan, kesesuaian, relevansi, dan keragamannya.

b. Pengorganisasian data, yaitu: menyusun dan mensistematikan data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan sebelumnya sesuai dengan rumusan masalah.

3.3Teknik Analisis Data

Semua data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing.Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan analisis isi, yaitu suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengelolahnya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari satu atau beberapa pernyataan.17Selain itu, analisis isi dapat

17Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1993),

(21)

13

juga berarti mengkaji bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak peneliti.

3.4Sumber Data

Dalam penyusunan penelitian ini diperoleh data dari berbagai sumber yang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1) Data primer yaitu sumber yang berfungsi sebagai sumber utama yang

terpenting dalam penelitian ini, yakni Tafsir al-Misbah karangan M. Quraish Shihab, dan Tafsir Fi Zhilali Al-Qur’an oleh Sayyid Qutub. 2) Data sekunder yaitu data yang melengkapi atau mendukung data

primer yang ada. Dalam hal ini adalah buku referensi yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memahami urutan dan pola berpikir dari tulisan ini, maka skripsi ini disusun dalam lima bab. Setiap bab merefleksikan muatan isi yang satu sama lain saling melengkapi. Untuk itu, sistematika disusun sedemikian rupa sehingga dapat tergambar arah dan tujuan tulisan ini.

(22)

14

akan mengungkap seberapa jauh signifikansi tulisan ini. Kemudian agar tidak terjadi pengulangan dan penjiplakan, maka dibentangkan pula berbagai hasil penelitian terdahulu yang dituangkan dalam tinjauan pustaka. Metode penulisan juga diungkapkan dengan tujuan agar sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data dapat diketahui. Adapun pengembangannya kemudian tampak dalam sistematika penulisan.

Bab kedua memuat tinjauan umum mengenai keadilan yang meliputi Pengertian keadilan, term-term keadilan, jenis- jenis keadilan, keadilan dalam Islam, dan keadilan menurut para pemikir barat.

Bab ketiga berisi biografi Muhammad Quraish Shihab serta pemikirannya mengenai konsep adil yang meliputi riwayat hidup Muhammad Quraish Shihab, karya-karyanya, konsep pemikirannya, biografi Sayyid Qutub serta pemikirannya, dan ayat-ayat tentang adil.

Bab keempat berisi penafsiran Muhammad Quraish Shihab dan Sayyid Qutub tentang ayat-ayat adil serta konsep adil menurut Muhammad Quraish Shihab dan Sayyid Qutub.

(23)

(24)

15

BAB II

KEADILAN

A. Pengertian Adil (keadilan)

Kata adil adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘adala –ya‘dilu – ‘adlan

– wa ‘udu>lan –wa ‘ada>latan.1 Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf ‘ain (نْيَع),

dâl (لاَد), dan lâm (مَا), yang makna pokoknya adalah ‘al-istiwa>’ (ءاَوِتْسِ ْاَا = keadaan

lurus) dan ‘al-i‘wijâj’ (جاَجِوْعِ ْاَا = keadaan menyimpang).2 Jadi rangkaian

huruf-huruf tersebut mengandung makna yang bertolak belakang, yakni ‘lurus’ atau

‘sama’ dan ‘bengkok’ atau ‘berbeda’. Dari makna pertama, kata adil berarti

‘menetapkan hukum dengan benar’. Jadi, seorang yang adil adalah berjalan lurus

dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda.

‘Persamaan’ itulah yang merupakan makna asal kata adil, yang menjadikan

pelakunya “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada

dasarnya pula seorang yang adil “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus mem-peroleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang.3

1Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam (Beirut: Daar Masyriq, 1982), 556. 2Munawir Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia ( Surabaya: Pustaka Progressif,

1997), 217.

3Ar-Ragib Al- Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an (Beirut: Dar al- Fikr, T. th)

683.

(25)

16

Al-Ashfahani menyatakan bahwa kata adil berarti ‘memberi pembagian

yang sama’. Sementara itu, pakar lain mendefinisikan kata adil dengan

‘penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ada juga yang menyatakan

bahwa adil adalah memberikan hak kepada pemilik-nya melalui jalan yang terdekat. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Maraghi yang memberikan makna kata adil dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif.4

Kata adil (لْدَع) di dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali di dalam Al-Qur’an. Kata ‘adl sendiri disebut­kan 13 kali, yakni pada QS. Al -Baqarah [2]: 48, 123, dan 282 (dua kali), QS. An-Nisâ’ [4]: 58, QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 (dua kali) dan 106, QS. Al-An‘âm [6]: 70, QS. An-Nahl [16]: 76 dan 90, QS. Al-Hujurât [49]: 9, serta QS. Ath-Thalâq [65]: 2.5

B. Term- term keadilan

Al-Qur’an, dsetidaknya menggunakan tiga term untuk menyebut keadilan, yaitu: al-adl, al-qist, dan al- mizan.6 Al-adl berarti “ sama”, member kesan adanya dua pihak atau lebih, karena jika hanya satu pihak , tidak akan terjadi “pesamaan”.

Al-qist berarti bagian (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan

adanya” persamaan”. Al-qi>st lebih umum dari al-adl.7 Karena itu, ketika

Al-Qur’an menuntut seseorang berlaku adil terhadap dirinya. Al-mi>zan, berasal dari

4Ibid., 683. 5 Ibid., 684.

6 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran( Bandung: mizan,2003), 120

7 Ahmad Warson Munawwir, AL-munawwir: Kamus Arab Indonesia(Yogyakarta:

(26)

17

akar kata wazn (timbangan). Al-mizan dapat berarti “keadilan”. Al-Qur’an menegaskan alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan.8

C. Term-term yang menunjukkan makna adil 1. Al- adl

Dalam al-Qur’an, kata al-adl dengan seluruh derivatnya disebut sebanyak 28 kali. Secara etimologis, al- adl dan derivatnya memiliki banyak arti, diantaranya istiqamah (lurus) dan al- musawah ( persamaan). Artinya, orang yang adil adalah orang yang membalas orang lain sepadan dengan apa yang di terima olehnya, baik maupun buruk. Term al-adl juga berarti at-taswiyah ( mempersamakan).

Term adl juga berarti keseimbangan atau keserasian, seperti yang dapat dari surah al- infitar/83: 7.

Al-jurjani membedakan antara term adl dan lam perspektif etimologi dan syarak. Dari perspektif etimologi, menurutnya, adl berarti al-musawah (persamaan). Sedangkan dari perspektif syarak, adladalah sebuah ungkapan yang digunakan untuk menunjukkan sikap konsisten terhadap kebenaran seraya menjauhi apa saja yang di larang oleh agama. Ibnul manzur mengatakan, adil adalah sesuatu yang secara fitri dirasakan ole hati seseorang sebagai sesuatu yang lurus.9

8 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran134.

(27)

18

Term adl juga bisa diklasifikasi dalam dua kategori, yaitu:

1. Sesuatu yang selamanya dianggap baik oleh akal sehat, seperti membalas kebaikan orang lain, dan tidak menyakiti orang lain karena orang itu tidak menyakitinya.

2. Keadilan yang hanya diketahui melalui syarak. Misalnya, Allah menghapus suatu hukum pada masa tertentu karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dilakukan atas dasar keadilan dan kemaslahatan.

Term adil bisa disandarkan kepada Allah maupun manusia. Allah disifati dengan adil bentuk ini dianggap lebih

2. Al-qist

Term lain yang di gunakan al-Qur’an untuk menunjukkan makna adil adalah al-qist, yang mulanya berarti an-nasib bil-adl- pembagian secara adil. Kata al-qist beserta derivatnya disebut dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali. Ada yang mengikuti

pola fa’ala, seperti al-qist dan al-qasitun, adapula yang mengikuti pola fa’ala

seperti aqsata, aqsatu, al-muqsitun, atau al-muqsitin. Semuanya berarti adil, berlaku adil, atau orang yang adil, kecuali bentuk al-qasitun (al-Jinn/72: 14-15) yang berarti menyimpang dalam kebenaran.10

(28)

19

3. Wasat

Term wasat beserta derivatnya hanya disebutkan sebanyak lima kali dalam

al-Qur’an. Mulanya, term ini berarti sesuatu yang memiliki dua ujung yang berukuran

sama. Namun, cara umum, wasat berarti berada di tengah-tengah antara dua hal. Seorang yang memimpin jalannya pertandingan dimana dinamakan “wasit” karena

ia berada di antara dua kubuh secara netral, tidak memihak. Pengertian ini dapat pula dipahami dari firman allah

4. Al- wazn dan al-mizan

Pada mulanya, dua term ini berarti timbangan, namun kemudian bergeser penggunaannya ke ranah penegakkan keadilan.

Kata qistas berarti mizan-neraca, lalu kata ini dipakai untuk mengungkapkan sikap adil, seperti juga kata mizan. Term al-mizan sendiri memang digunakan untuk menunjukkan sikap adil, namun penekanannya lebih pada keseimbangan, tidak berlebihan, tidak memihak ke salah satu pihak. Yang menarik adalah bahwa keseimbangan sebagai refleksi sikap keadilan dikaitkan dengan alam raya.

D. Jenis-jenis Keadilan 1. Keadilan distributif.

(29)

20

Prinsip dasar keadilan distribusi adalah bahwa yang sederajat haruslah diperlakuakan dengan sederajat dan yang tidak sama haruslah diperlakukan dengan cara tidak sama. Prinsip dasar dari keadilan distrubutif dapat dinyatakan sebagai berikut :

“Individu – individu yang sederajat dalam segala hal yang berkaitan dengan

perlakuan yang dibicarakan haruslah memperoleh keuntungan dan beban serupa, sekalipun mereka tidak sama dala aspek – aspek yang tidak relavan lainnya, dan individu – individu yang tidak sama dalam suatu aspek yang relavan perlu diperlakukan secara tidak sama, sesuai dengan ketidaksamaan mereka.11

2. Keadilan sebagai kesamaan (komunikatif)

Kaum egalitarian meyakini bahwa tidak ada perbedaan yang relavan diantara semua orang yang bisa dipakai sebagai pembenaran atas perlakuan yang tidak adil. Menurut pandangan egalitarian, semua keuntungan dan beban haruslah dan didistribusikan menurut rumusan berikut :

“Semua orang harus memperoleh bagian keuntungan dan beban masyarakat atau

kelompok dalam jumlah yang sama”.12

Pandangan egalitarian didasarkan pada proposisi bahwa semua manusia adalah sama dalam sejumlah aspek dasar. Kesamaan juga diusulkan sebagai salah satu dasar keadilan, bukan hanya untuk seluruh masyarakat namun juga dalam kelompok – kelompok kecil dan organisasi. Dalam keluarga misalnya, sering

11Manuel G. Velasquez. Etika Bisnis: Konsep dan Kasus, (Yogjakarta : ANDI,

2005), 101.

(30)

21

diasumsikan bahwa anak – anak berhak memperoleh bagian yang sama dari apa yang diwariskan oleh orang tua mereka.

Bagi banyak orang, kesamaan terlihat sebagai tujuan sosial yang sangat menarik. Semua manusia diciptakan sama, demikian pernyataan dalam declaration of independence, dan prinsip kesamaan inilah yang telah menjadi daya pendorong emansipasi budaya, larangan terhadap bebtuk kerja paksa, penghapusan rasial, gender, hak milik untuk bias ikut pemilu dan memperoleh jabatan dll.

Meskipun popular, pandangan-pandangan egatalirian juga banyak mendapat kecaman. Salah satunya ditujukan kepada klaim egalitarian yang menyatakan bahwa semua manusia dalam sejumlah aspek dasar. Para kritikus mengklaim bahwa tidak ada tidak ada kualitas yang dimiliki semua manusia berada dalan tingkatan yang sama persis. Manusia berbeda dalam hal kemampuan, inteligensi, kebaikan, kebutuhan, keinginan, dan semua karakteristik fisik mental lainnya. Jadi, ini berarti manusia dalam segala hal adalah tidak sama.

Keadilan komunikatif Yaitu keadilan yang berhubungan persamaan yang diterima oleh setiap orang tanpa melihat jasa – jasa perseorangan.13

3. Keadilan kapitalis.

Keadilan kapitalis ini berdasarkan konstribusi yang disumbangkan masing – masing individu. Semakin banyak yang diberikan seseorang kepada masyarakat

semakin banyak pula yang berhak diperolehnya dan semakin sedikit yang diberikan semakin sedikit pula yang akan diperolehnya. Pendek kata “ keuntungan

(31)

22

haruslah didistribusikan sesuai dengan nilai sumbangan individu yang diberikan pada masyarakat, tugas, kelompok atau pertukaran.14

Masalah utama yang muncul dalam penilaian konstribusi yang diberikan. Salah satunya adalah menilai menurut jumlah usaha. Semakin besar usaha yang dilakukan seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya maka semakain besar pula bagian keuntungan yang berhak diperolehnya. Namun hal ini terdapat banyak masalah karena menghargai seseorang berdasarkan usaha bukan hasil yang diperolehnya. Prinsip ini bisa saja mengabaikan kemampuan serta produktifitas relative, maka orang – orang yang berbakat dan sangat produktif hanya akan memperoleh sedikit insentif untuk bisa mengembangkan bakat dan produktivitas mereka dalam memberikan sumbangan bagi masyarakat.

D. SUBJEK KEADILAN

Banyak hal dikatakan adil dan tidak adil: tidak hanya hukum, institusi, dan sistem sosial, bahkan juga tindakan-tindakan tertentu, termasuk keputusan, penilaian, dan tuduhan. Kita juga menyebut sikap-sikap serta kecenderungan orang adil dan tidak adil. Namun, topic kita adalah keadilan sosial. Bagi kita, subjek utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya, cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menemukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial.

14Manuel G. Velasquez. Etika Bisnis: Konsep dan Kasus, (Yogjakarta: ANDI, 2005),

104.

(32)

23

E. KEADILAN DALAM ISLAM

Keadilan menurut Islam tidak hanya merupakan dasar dari masyarakat muslim sejati, sebagaimana di masa lampau dan seharusnya di masa mendatang. Dalam islam, antara keimanan dan keadilan tidak terpisah orang yang imannya benar dan berfungsi dengan baik akan selalu berlaku adil terhadap sesamanya. Hal ini tergambar dengan jelas dalam surat diatas. Keadilan adalah perbuatan yang paling takwa atau keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia.15

Dalam Al-Qur’an, keadilan dinyatakan dengan istilah “ adl” dan “qish” pengertian adil dalam Al-Qur’an sering terkait dengan sikap seimbang dan menengahi. Dalam semangat moderasi dan toleransi , juga dinyatakan dengan istilah “ wasath” (pertengahan).

F. KEADILAN MENURUT PARA PEMIKIR BARAT

Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau orang lain sesuai haknya atas kewajiban yang telah dilakukan. Keadilan menjadi hak setiap orang yang diakui dan diperlakukan sesuai harkat dan martabatnya yang sama derajatnya di mata Tuhan. Hak-hak manusia adalah hak-hak yang diperlukan manusia bagi kelangsungan hidupnya didalam masyarakat. Keadilan dalam kehidupan manusia adalah sangat berprinsip dan di manapun tidak mengenal waktu dan tempat selalu diperjuangkan. Keadilan adalah bagian dari hak asasi yang telah di miliki manusia sejak di lahirkan tanpa perbedaan. Manusia tidak

(33)

24

dapat dipisahkan dari keadilan, karena dengan keadilanlah manusia dapat mempertahankan hidupnya.16

Tokoh Utama Pemikir Yunani Kuno

Socrates

Socrates adalah tokoh utama di Yunani Kuno, walaupun bukan yang pertama, yang mengarahkan perhatiannya pada permasalahan masyarakat dan bernegara. Filosof yang lahir pada tahun 469 SM membaktikan dirinya untuk Athena dalam peperangan dengan kondisi fisik yang kuat dan pernah aktif dalam politik. Namun akhirnya, ia mengundurkan diri dari kehidupan politik dan mencurahkan perhatiannya terutama pada permasalah masyarakat dan negara. Perhatiannya ini ditandai dengan usahanya yang sungguh-sungguh melakukan dialog dengan tiada memilih-milih lawan bicaranya. Ia mengaku sebagai orang yang tidak tahu apa-apa mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada orang lain. Namun setiap jawaban yang ia terima itu disambut dengan pertanyaan yang baru lagi sampai mereka kehabisan jawaban. Dengan cara seperti ini, mereka yang sebelumnya merasa pasti tahu akan sesuatu yang ditanya tadi merasa ragu akan kepastiaan tahunya, kebenaran yang disangka telah benar, rupanya menjadi kebenaran yang palsu.

Sasaran dari ironi Socrates ini adalah kaum sofis yaitu orang yang ahli tentang sesuatu atau orang yang mempunyai kecakapan khusus secara praktis. Kaum sofis yang memberikan pelajaran kepada orang-orang menghendaki

(34)

25

bayaran atau mementingkan bayaran daripada isi pengetahuan yang sesungguhnya. Golongan sofis mengutamakan ajaran-ajaran prkatis, sesuatu yang mudah dengan cepat dipergunakan, lepas dari soal kebenaran yang dikandung didalamnya. Semangat Socrates tersebut akhirnya mendapat tuduhan dari sofis bahwa ia bermaksud merusak anak-anak muda Athena dengan ajarannya tersebut, akhirnya ada umur 70 tahun ia dijatuhi hukuman mati. Socrates tidak meninggalkan pemikirannya tersebut dalam tulisan, namun kemudian diteruskan oleh muridnya yang setia terutama Plato.

Plato

Plato lahir dari keluarga aristokrat kira-kira pada tahun 429 SM. Ia berniat untuk memasuki bidang politik sebagai karier hidupnya. Namun kematian Socrates membuat ia tidak melanjutkan niatnya tersebut kecuali sebagai filosof. Ia tidak setuju dengan cara-cara pemerintahan demokrasi pada masa itu yang menurutnya mengakibatkan gurunya meninggal.17

Pada masa muda Plato, ia menyaksikan perebutan kepemimpinan antara Athena dengan Sparta yang menghangat pada peperangan Pelopnnesos (431-404) dan dimenangkan oleh Sparta. Kekalahan tersebut membuat hati Plato hambar. Oleh karena itulah ia berusaha mengarahkan pemikirannya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia secara konkret. Ia melakukan pengembaraan ke daerah Sisilia dan Italia bahkan ke daerah Afrika yang memberikan pengalaman berharga guna pemikirannya lebih lanjut. Setelah

(35)

26

pengembaraannya, ia mendirikan sebuah sekolah yang ia beri nama Akademi. Sekolah ini diharapkannya dapat mejadi pabrik pembentuk dan penempa orang-orang yang dapat membawa perubahan bagi Yunani. Pengetahuan yang diajarkan di Akedemi adalah mengenai segala aspek manusia dan masyarakat dalam arti keseluruhan.18

Dengan didirikannya Akademi Plato menghasilkan karyanya Politeia atau Republik. Kitabnya ini digunakan sebagai pegangan dalam sekolahnya. Tema pokok kitab ini adalah keadilan. Keadilan yang dimaksud di sini berbeda dengan pengertian keadilan saat ini. Keadilan Plato lebih dekat pada kata kejujuran, moral, sifat-sifat baik seseorang. Keadilan ini berhubungan dengan kejujuran seseorang mengenai kesanggupan dan bakatnya. Menurut Plato keadilan itu adalah seseorang membatasi dirinya pada kerja dan tempat dalam hidup yang sesuai dengan panggilan kecakapan dan kesanggupannya. Dalam kehidupan bernegara, keadilan menurut Plato terletak pada kesesuaian dan keselarasan antara fungsi di satu pihak dan kecakapan serta kesanggupan di pihak lain.

Kitab Republik ini membicarakan empat masalah besar, pertama, mengenai masalah metafisika yaitu yang mencari dan membicarakan apa yang sebenarnya hakikat segala yang ada. Kedua, etika yaitu mengenai sikap yang benar dan baik serta sebaliknya. Ketiga, mengenai pendidikan yang harus dijalani seseorang dalam hidup. Keempat, mengenai pemerintahan yang seharusnya atau yang ideal. Keempat masalah ini merupakan suatu kebulatan. Suatu kebulatan

(36)

27

maksudnya di sini adalah tidak adanya perbedaan antara negara dengan masyarakat atau warga negaranya.19 Karena keempat masalah ini dipandang sebagai kebulatan maka Plato memunculkan pertanyaan, misalnya apakah negara yang baik itu, bagaimana mengusahakannya dan membuatnya. Apakah pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang manusia agar ia menjadi seorang yang baik? Apakah cara-cara yang harus dijalankan oleh negara yang baik dalam memimpin rakyat atau warganya mendapatkan pengetahuan yang menjadi syarat adanya kebajikan itu? Pengetahuan di sini, menurut Socrates adalah pengetahuan yang artinya sama dengan kebajikan. Plato menyatakan kebajikan tersebut diperoleh dengan pengetahuan.20 Pengetahuan tentang kebaikan tersebut harus merupakan kodrat dan tidak berasal dari adat dan kebiasaan.Artinya kebaikan itu bukan merupakan kehendak orang-orang, tapi kebaikan tersebut adalah kenyataan dari kehidupan. Kebajikan atau pengetahuan itu diperoleh dengan adanya pendidikan.

Demokrasi kuno yang menempatkan seseorang pada jabatan-jabatan tanpa mempunyai syarat-syarat yang diperlukan menurut Plato adalah awal kemunduran Athena. Kepentingan diri sendiri yang berpangkal pada sifat individualime yang tidak terkendalikan yang diutarakan Plato. Memang Plato tidak menafikan harus adanya keselarasan kepentingan antara orang-orang dengan negara atau masyarakat. Namun, keselarasan tersebut menurut pendapatnya bukanlah dengan menyamakan kepentingan negara dengan kepentingan seseorang melainkan

19Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Bandung: Mizan, 1999), 8.

(37)

28

kepentingan seseorang harus disesuaikan dengan kepentingan masyarakat. Oleh karena itulah Plato cenderung menciptakan adanya rasa kolektivisme daripada penonjolan pribadi.

Plato menyatakan keserasian antara masyarakat dengan negara itu memiliki tujuan, yaitu tujuan Nan Ada adalah Nan Baik. Nan Ada ini adalah suatu organisme. Organisme adalah suatu kesatuan yang bulat di mana tiap anggota atau bagiannya merupakan alat yang tidak dapat dipisahkan dari rangka keseluruhan itu. Tiap anggota atau bagian itu, sebagai organisme mempunyai fungsi yang akan memberi pengaruh pada anggota yang lainnya bahkan berpengaruh pada organisme yang lebih besar. Oleh karena itulah Plato menyatakan, apabila anggota

atau bagian itu tidak menjalankan fungsinya atau “sakit” maka organisme, dalam

hal ini negara, akan merasa sakit. Sehingga menurut Plato apabila setiap anggota atau bagian mengerjakan apa yang menjadi fungsinya keadilan akan tercapai. Bila meminjam pernyataan Sabine misalnya keadilan adalah ikatan yang mempersatukan suatu masyarakat, suatu persatuan yang harmonis dari individu-individu, di mana masing-masing melaksanakan tugas hidupnya sesuai dengan bakat dan pendidikannya. Keadilan merupakan kebajikan umum dan perseorangan. Singkatnya setiap anggota atau bagian melakukan apa yang menjadi hak dan kewajibannya.21

Fungsi-fungsi yang dijalankan tiap anggota atau bagian ini dapat dilihat dengan penganalogian Plato antara jiwa dengan negara. Apa hakikat jiwa, itu

(38)

29

pulalah hakikat negara. Ada tiga unsur jiwa yang menjadi jenis kelas, membentuk susunan negara. Yaitu kelas penguasa mengetahui segala sesuatu, kelas pejuang atan pembantu penguasa yang penuh semangat, dan kelas pekerja lebih mengutamakan keinginan dan nafsu. Kelas penguasa dapat memberikan bimbingan kepada yang lain dalam masyarakat atau negara. Kelas pejuang diperlukan ketika kekacauan peperangan, diperlukan semangat yang membantu akal apabila ada pertentangan antara keinginan dan akal. Kelas pekerja dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan jasmani, seperti makan-minum. Dengan demikian, ketiga kelas atau fungsi ini saling membutuhkan dan masing-masing mengerjakan fungsinya untuk mencapai tujuan Nan Baik itu.

Rasa kolektivisme yang ditawarkan Plato seperti di sebutkan di atas adalah semacam komunisme di dalam cara kehidupan sosial, oleh karena itulah ia melarang adanya hak milik dan famili.22 Adanya milik akan mengurai dedikasi seseorang pada kewajibannya sebagai anggota masyarakat. Kesempatan bermilik akan menggoda seseorang untuk memperhatikan kepentingan diri sendiri lebih dahulu. Tidak adanyan family menurutnya lagi ditujukan utuk menghindarkan kemungkinan bercampurnya kepentingan negara dengan kepentingan sendiri. Adanya larangan hak milik dan family ini disebut juga ‘nihilisme sosial’ oleh

Robert Nisbet, yang tujuannya sebenarnya menghindarkan negara dari pengaruh

(39)

30

erosif dan destruktif yang pada akhirnya akan menciptakan disentegrasi negara kota.23

Larangan hak milik dan family atau komunisme ini hanya terbatas pada kelas-kelas penguasa dan pembantu, sementara kelas pekerja tidak dilarang. Pandangan Plato mengenai anak dan wanita yang dianggap sebagai milik bersama bukanlah dimaksud untuk merendahkan wanita. Plato mengakui hak yang sama antara wanita dan laki-laki yang dapat dilihat dengan pengakuannya bahwa kelas penguasa dan pembantu penguasa dapat dipegang oleh wanita. Merujuk pada tulisan Sabine kembali, bahwa kesamaan derajat ini dapat juga dilihat dari tanpa pengecualian dalam pendidikan. Adanya pengakuan atau kesamaan derajat antara laki-laki dengan wanita ini adalah sebagai perbandingan yang dilakukannya antra Athena dengan Sparta.Wanita dalam negara kota Sparta juga ikut sebagai tentara atau kelas pembantu penguasa. Larangan atas hak milik dan family ini maksud Plato bukanlah untuk melarang kedua kelas tersebut mendapat kebahagiaan, tapi kebahagiaan menurut Plato di sini terletak pada kewajiban atau fungsi masing-masing.24

Aristoteles

Aristoteles adalah murid Plato yang melanjutkan tradisi gurunya sebagai ahli filsafat yang juga memberikan pelajaran-pelajaran dengan membuka sekolah. Lahir di kota Stagira pada tahun 384 SM. Pada umur 18 tahun ia pergi ke Athena

23Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia, 2004), 39.

(40)

31

dan belajar pada Plato selama dua puluh tahun lamanya. Hanya setelah Plato meninggal ia baru meninggalkan Athena. Tulisan-tulisan Aristoteles meliputi bidang-bidang yang amat luas, di antaranya teologi, metafisika, etika, ekonomi, politik, dan juga fisika. Pemikiran Aristoteles mengenai politik dapat dilihat dalam kitabnya Politica atau Politik.25

Kitab Politik Aristoteles berbeda dengan kitab gurunya Plato Republik, yang walupun memperlihatkan unsure cita-cita tetapi lebih memperhatikan kenyataan. Cara Aristoteles yang induksi inilah juga yang membedakannya dengan metode gurunya yang deduktif. Perbedaan-perbedaan tersebut juga dapat dilihat dari hasil karya masing-masing. Aristoteles mengemukakan kritiknya terhadap Plato bahwa karya-karya Plato tersebut sangat tinggi nilainya, tetapi sifatnya terlalu radikal dan spekulatif. Aristoteles memiliki minat dalam hal-hal praktis, berbeda dengan Plato yang memprioritaskan bentuk-bentuk abstrak. Aristoteles percaya bahwa dunia materi memberikan objek-objek yang sesuai untuk studi ilmiah, bukan dari perenungan terhadap gagasan-gagasan abstrak.26 Sehingga Aristoteles juga disebut sebagai Bapak Ilmu Politik yang praktis dan realis.27

Plato melihat asal mula negara dengan menyatakan hakikat negara terletak pada saling memerlukan dari warga-warga negara yang tidak terlepas dari

25Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Bandung: Mizan, 1999), 27.

26Joseph Losco dan Leonard Williams, Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), 177.

(41)

32

masalah keadilan. Sementara Aristoteles tidak melihat sejauh itu, ia melihat negara adalah sebagai suatu gabungan dari bagian-bagian yang menurut urutan besarnya mulai dari kampung, family dan individu. Individu tidak dapat hidup sendiri, mereka menghendaki adanya kawan untuk saling memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Satu kawan ini adalah keluarga dan gabuangan beberapa keluarga ini yang bertujuan lebih dari sekadar memenuhi keperluan hidup sehari-hari saja maka terjadilah kampung. Gabungan dari beberapa kampung ini yang akan membentuk negara.28

Negara adalah bentuk akhir dari kumpulan manusia yang akhirnya adalah bentuk tersempurna. Bentuk yang tersempurna tersebut adalah bentuk yang sebenar-benarnya yang sesuai dengan fitrah atau tabiat dari diri manusia. Sehingga Aristoteles menyatakan bahwa negara adalah untuk kesempurnaan hidup, hidup yang benar. Berdasarkan kenyataan ini Aristoteles sendiri menyatakan manusia adalah mahluk politik (zoon politikon), artinya masyarakat atan mahluk negara yang mencapai kesempurnaannya hanya dalam masyarakat dan negara. Orang yang tidak memerlukan negara atau masyakat adalah manusia yang hidup bukan menurut fitrah atau tabiatnya. Perbedaan mengenai negara antara Plato dengan Aristoteles lain misalnya adalah, Plato menganalogikan jiwa dengan negara sementara Aristoteles menyatakan negara sebagai suatu bentuk kumpulan ataupun lanjutan dari kumpulan-kumpulan yang telah ada dan berbentuk lebih kecil.

(42)

33

Larangan hak milik dan family oleh Plato tidak terdapat dalam pandangan Aritoteles. Aristoteles malah memandang hal ini menjadi hal yang penting dengan dua alasan, yaitu; pertama adanya hak milik memungkinkan seseorang untuk lebih mencurahkan perhatian kepada masalah-masalah umum, masalah yang mengenai masyarakat. Dengan adanyanya milik tersebut memungkinkan seseorang untuk memiliki waktu senggang atau leisure. Aristoteles memandang waktu senggang dalam pengertian serius bukan untuk bermain-main atau melepaskan lelah. Hak milik bukanlah tujuan tetapi sebagai alat untuk bisa mendukung waktu luang tersebut. Begitu seriusnya masalah waktu senggang ini membuat Aristoteles berpendapat bahwa pekerja yang terpaksa mencari nafkah sehari-hari tidak mungkin memberikan perhatian kepada masalah umum. Sehingga golongan ini menurutnya tidak punya andil dalam negara.29

Alasan lain Aristoteles membenarkan hak milik ialah dengan pengertian tentang kebahagiaan. Kebahagiaan menurutnya hanyalah mungkin dengan adanya sumber-sumber harta atau kebendaan. Bagi Aristoteles kesempurnaan hidup manusia terdapat dalam negara yang termasuk didalamnya ialah pengertian pemuasan kebutuhan benda. Tidak hanya pada melaksanakan tugas dan kewajiban pada kelas tertentu seperti yang diutarakan Plato. Aristoteles memberikan fungsi-fungsi yang luas kepada negara untuk mengatur kehidupan manusia. fungsi-fungsi-fungsi-fungsi

(43)

34

yang luas ini diperlukan untuk menjamin kesempurnaan hidup manusia yang hanya memungkinkan diperoleh dengan bernegara.30

Masalah hak milik ternyata dikembangkan oleh Aristoteles dengan konstitusi negara yang ideal. Konstitusi yang ideal inilah yang akhirnya menjadi kesimpulan pemikir ini. Konstitusi yang ideal menurutnya adalah semacam campuran dari oligarkhi dan demokrasi, yang penting adalah dasar sosial dari konstitusi tersebut. Dasar sosial ini adalah adanya kelas menengah yang luas, lebih luas dari kelas mewah dan lebih luas pula dari kelas miskin. Kelas menengah ini adalah kelas yang tidak terlalu kaya dan tidak terlalu miskin. Adanya kelas menengah yang luas dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya akan memenuhi syarat-syarat yang baik yang dijumpai pada demokrasi dan pada oligarkhi. Keutamaan pada suara orang banyak ini mengurangi kemungkinan paksaan. Selain suara banyak Aristoteles juga memberikan keutamaan pada keahlian dan pengalaman. Keahlian dan pengalaman ini dimiliki oleh sedikit orang.

Aristoteles berpendapat bahwa bukan hanya suara banyak yang perlu diperhatikan dalam negara. Aristoteles membagi fungsi-fungsi yang terdapat dalam negara yaitu fungsi pembahasan, administrasi, dan pengadilan. Sehingga unsur yang penting perlu diperhatikan dalam konstitusi yang ideal adalah adanya hukum. Hukum harus diletakkan di atas segalanya. Konstitusi hanya ada bila ada hukum, baik untuk demokrasi ataupun oligarkhi. Hukum di sini adalah dalam

(44)

35

artian ikatan moral atau kebajikan. Dalam negara, Aristoteles berpendapat bahwa hukum memiliki sifat yang terlepas dari perseorangan bahkan sifat tersebut tidak dapat dimiliki oleh seseorang yang bagaimanapun.31 Inilah yang juga dikritiknya terhadap Negarawan Plato. Ia tidak membenarkan apa yang disebutkan Plato yaitu pemerintahan yang berdasarkan hukum dapat diganti dengan pemerintahan oleh penguasa-penguasa yang bijaksana.

Berkaitan dengan keadilan Aristoteles berpendapat bahwa seseorang dikatakan melakukan keadilan apabila ia melakukan hukum, tunduk pada hukum. Keadilan dalam artian lainnya adalah seseorang tidak membiarkan dirinya mengambil sesuatu lebih daripada yang diambil oleh teman-temannya sewarga negara atau adanya unsur persamaan. Persamaan di sini adalah persamaan yang seimbang bukan persamaan mutlak. Sebagai warga negara, ia telah memberikan sumbangan pada negara sebagai kehidupan bersama. Karena sumbangannya tersebut, ia juga mendapat imbalan dari negara seperti kedudukan, uang, ataupun penghargan-penghargaan lain. Warga negara berhak akan pembagian tersebut dan negara akan berlaku adil terhadap warga negaranya tersebut dengan memberikan apa yang menjadi hak warga negaranya. Berbeda dengan Plato yang menyatakan bahwa keadilan itu dengan kewajiban yang dilakukan warga negaranya terhadap negara.

(45)

36

BAB III

MUHAMMAD QURAISH SHIHAB

A.Biografi M. Quraish Shihab

M. Quraish Shihab lahir di Reppang, Sulawesi Selatan, pada 16 februari 1944.Ia berasal dari keturunan Arab terpelajar. Ayahnya, Abdurrahman Shihab (1905-1986), adalah seorang ulama tafsir dan guru besar dalam bidang tafsir di IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Di samping sebagai wiraswastawan, Abdurrahman Shihab sudah aktif mengajar dan berdakwah sejak masih muda. Namun, di tengah kesibukannya itu, ia masih selalu menyempatkan diri dan meluangkan waktu, pagi dan petang, untuk membaca al-Qur’an dan kitab tafsir.1

Sejak masa kanak-kanak, Quraish Shihab kecil dan saudara-saudaranya biasa dikumpulkan oleh sang ayah untuk diberi nasihat dan petuah-petuah keagamaan. Belakangan Quraish Shihab mengetahui bahwa petuah-petuah keagamaan dari orang tuanya itu ternyata merupakan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW. Sedemikian berkesannya nasihat dan petuah orang tuanya itu di

hati Quraish Shihab sampai ia dewasa. Ia mengaku bahwa “hingga detik ini

petuah-petuah masih terngiang-ngiang di telinganya.

Di antara nasihat-nasihat itu, seperti itu di tulis dalam kata pengantar bukunya Membumikan al-Qur’an, sebagai berikut.

(46)

37

“Aku akan palingkan (tidak memberikan) ayat-ayat-Ku kepada mereka yang

bersikap angkuh di permukaan bumi…..” (QS. al-A’raf: 146).

“Al-Qur’an adalah jamuan Tuhan,” bunyi sebuah hadis.

“Rugilah yang tidak menghadiri jamuannya, dan lebih rugi lagi yang hadir

tetapi tidak menyantapnya”.

“Bacalah al-Qur’an berbicara” kata Ali bin Abi Thalib.

“Bacalah al-Qur’an seakan-akan ia diturunkan kepadamu”, kata Muhammad

Iqbal.

“Rasakanlah keagungan al-Qur’an, sebelum kau menyentuhnya nalarmu”, kata

Syekh Muhammad Abduh.

“Untuk mengantarkanmu mengetahui rahasia-rahasia al-Qur’an, tidaklah

cukup kau membacanya empat kali sehari”, seru al-Mawardi.

Pada saat-saat berkumpul dengan keluarga semacam itu, sang ayah menjelaskan tentang kisah-kisah al-Qur’an. Tampaknya suasana keluarga yang serba nuansa

qur’ani irulah yang telah memotivasi dan menumbuhkan minat Quraish Shihab untuk

mendalami al-Qur’an. Sampai-sampai ketika masuk belajar di Universitas Al-Azhar, Mesir, ia rela mengulang setahun agar dapat melanjutkan studi di jurusan tafsir, padahal jurusan-jurusan yang lain telah membuka pintu lebar-lebar untuk dirinya.2

2H. Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

(47)

38

Pendidikan Quraish Shihab dimulai dari kampung halamannya sendiri.Ia menempuh pendidikan dasar di kota kelahirannya, Ujung Pandang. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan menengahnya di kota Malang, sambil mengaji di Pondok Pesantren Darul ah. Hadis al-Fa-qihiyyah. Setamat dari pendidikan menengah di Malang, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi dan diterima di kelas II Madrasah Tsanawiyah Al-Azhar. Pada tahun 1967 ia meraih gelar Lc pada fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar. Selanjutnya ia melanjutkan studinya di fakultas yang sama, dan memperoleh gelar MA pada 1969 dengan spesialisasi bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul al-I’ja>z al-Tasyri>’iy> li al-Qur’an al-Kari>m.

Sekembalinya ke Ujung Pandang, ia dipercaya menjabat Wakil Rektor Bidang Akdemis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Kecuali itu, ia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Di dalam kampus, ia diserahi jabatan sebagai Koordianator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur). Di luar kampus, ia diberi tugas sebagai Pembantu Pimipinan Kepolisian Indonesia Timur Bidang Pembinaan Mental. Selama di Ujung Pandang ini, ia juga melakukan berbagai penelitian, antara lain penelitian tentang “Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan

“Masalah Wakaf di Sulawesi Utara” (1978).

(48)

39

waktu dua tahun, ia menyelesaikan program doktoral dan memperoleh gelar doktor pada 1982. Disertasinya berjudul Nazm al-Durar li al-Biqa>’i>y, Tahqiq waDira>sah. Disertasi ini telah mengantarkannya meraih gelar doktor dengan yudisium Summa Cum Laude dengan penghargaan tingkat I (mumtaz ma’a martabat as-syaraf al-u>la>).Spesialisasi keilmuannya adalah dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an.

Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, ia juga dipercaya menduduki berbagai jabatan, antara lain Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentasih Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989).

Kecuali itu, ia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi professional, antara lain pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah, pengurus Konsorsium Ilmu -ilmu Agama Departemen Pendidikan, dan Kebudayaan, serta Asisten Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Disela-sela berbagai kesibukannya itu, ia juga aktif terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun di luar negeri. Berbagai pertemuan ilmiah dan seminar di dalam dan di luar negeri ia ikuti.

Yang juga penting untuk dicatat adalah bahwa Quraish Shihab juga sangat aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Ia menulis di harian pelita, dalam rubric “pelita hati”,

penulis tetap rubrik “Tafsir al-Amanah” dalam majalah Amanah, sebagai dewan

(49)

40

Selain menulis di media, ia juga aktif menulis buku. Tidak kurang 28 judul buku telah ia tulis dan terbitkan yang sekarang beredar di tengah-tengah masyarakat.3

B.Karya-karya Quraish Shihab

Karya-karyanya yang telah dipublikasikan ialah:

1. Tafsir al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984)

2. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Depag, 1987).

3. Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surah al-Fatihah (Jakarta: Untagma, 1988). 4. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992).

5. Studi Kritik Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994). 6. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 1994). 7. Untaian Permata Buat Anakku: Pesan al-Qur’an untuk Mempelai (Jakarta: al-Bayan, 1995).

8. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996).

9. Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 1997).

10.Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir Surah-surah Pendek Berdasar Urutan Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997).

11. Mukjizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 1997).

(50)

41

12. Sahur Bersama Quraish Shihab di RCTI (Bandung: Mizan, 1997).

13. Menyingkap Tabir Ilahi: Asma al-Husna dalam Perpektif al-Qur’an (Jakarta: Lentera, 1998).

14. Haji Bersama Quraish Shihab: Panduan Praktis untuk Menuju Haji Mabrur (Bandung: Mizan, 1999).

15. Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mahdhah (Bandung: Mizan, 1999).

16. Yang Tersembunyi: Jin, Setan, dan Malaikat dalam al-Qur’an dan as -Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini (Jakarta: Lentera Hati, 1999).

17. Fatwa-fatwa: Seputar al-Qur’an dan Hadis (Bandung: Mizan, 1999). 18. Panduan Puasa Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Republika, 2000). 19. Menyingkap Tabir Ilahi Asmaul Husna dalam Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2000).4

20. Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2000).

21. Perjalanan Menuju Keabadian,

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa individu merupalcan kesatuan antara jiwa dan raga dan di dalam jiwa tersebut terdapat pembawaanpembawaan yang dapat terpengaruh,

Ibnu Kasir dan Quraish Shihab memberikan pemahaman bahwa kafir itu adalah orang yang tidak mempercayai dan menutupi kebenaran kedatangan hari kiamat, juga orang yang

dengan ajaran al-Qur’an pentingnya hubungan timbal bagi pelaku ekonomi yang berdasar atas keadilan. Dalam pandangan al-Qur’an menerangkan bahwa prinsip ekonomi adalah

Para mufasir yang mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak merujuk pada ayat al- Qur’ an, tetapi menjadikan pemahaman itu (Hawa diciptakan dari

Sementara ulama yang menolak memahami istiqamah dalam arti moderasi menyatakan bahwa seandainya yang dimaksud adalah moderasi, maka tentu ayat surah Hud di atas

Pertama, moral dan keadilan, menurut al-Qur’an adalah kualitas untuk menilai amal perbuatan manusia karena keadilan tidak dapat dijamin berdasarkan apa-apa yang

Melalui kemampuan tersebut, seorang individu tidak akan memiliki pendirian yang teguh dan tidak mudah terpengaruh oleh perkataan dan perilaku orang lain, dapat bertindak sesuai dengan

Dalam tafsir tematik, seorang mufassir tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat secara berurutan sesuai urutannya dalam mushaf, tetapi menafsirkan dengan jalan menghimpun seluruh atau