1
Kita, Tertib Berlalulintas, dan Korupsi (2)
Marselius Sampe Tondok
Dipublikasikan pada Harian Surabaya Post, 13 Maret 2011
Perilaku berlalulintas yang tidak aman, misalnya melanggar rambu lalu lintas, menyalib kendaraan lain seenaknya, ataupun tidak mengenakan helm, telah menjadi pemandangan sehari-hari di sekitar kita. Pada edisi minggu lalu telah disampaikan, adatiga kata kunci atau prinsip dalam membangun masyarakat agar dapat menganut azas tertib berbangsa dan bernegara, yaitu: sejak dini, konsisten, dan konsekuen.
Prinsip kedua, ketertiban diajarkan secara konsisten. Konsistensi dalam berperilaku tertib mengandung dua makna. Makna yang pertama sangat terkait dengan penjelasan sebelumnya tentang belajar sosial (social learning) melalui observational learning. Sang model (bisa orang tua, guru, tokoh masyarakat, aparat) harus menujukkan konsistensi antara kata dan perbuatan. Jika orang tua mengatakan kepada anaknya untuk berperilaku tertib, maka orang tua harus konsisten dengan perkataannya melalui perilakunya yang tertib. Sebagai contoh, tentu sulitlah mengharapkan seorang anak perempuan berperilaku tertib dalam merapikan barang mainannya sehabis bermain jika sang ibu meninggalkan perkakas dapur berantakan setelah menggunakannya. Prinsipnya adalah perbuatan lebih efektif daripada sekedar berkata itu sendiri. Dan, kata yang diikuti oleh perbuatan akan lebih efektif lagi. Namun sayangnya, dalam masyarakat kita saat ini pada hampir di semua level kehidupan sosial (masih) terdapat inkonsitensi antara kata (aturan) dengan praksis di lapangan.
2
Akhirnya makna konsistensi yang ketiga adalah locus consistency (konsistensi di manapun) dan tempus consistency (konsisten kapanpun). Konsistensi di manapun bermakna bahwa ada konsistensi perilaku tertib yang ditanamkan pada diri anak baik ketika sang anak berada di rumah, sekolah, maupun di lingkungan sosial lainnya. Selanjutnya, konsistensi kapanpun menunjuk adanya upaya untuk senantiasa menanamkan perilaku tertib ini secara kontinyu baik saat kemarin, sekarang, maupun esok.Prinsip ketiga adalah konsekuen. Konsekuen dalam menegakkan azas tertib menunjuk pada kedua konsekuensi terhadap perilaku yang ditampilkan. Konsekuensi pertama adalah konsekuensi positif berupa ganjaran positif (reinforcement atau reward). Selayaknya anak-anak kita diberi reward ketika mereka berhasil menampilkan perilaku tertib. Bentuknya bisa sangat sederhana namun berdampak luar biasa misalnya dengan memberikan pujian tulus kepada anak ketika mereka berhasil menampilkan perilaku tertib seperti menempatkan pakaian kotor pada tempatnya. Konsekuensi kedua adalah konsekuensi negatif sebagai ganjaran negatif (punishment) ketika mereka menampilkan perilaku tidak tertib. Bentuknya bisa dengan teguran atau peringatan, tidak memenuhi keinginannya akan barang atau aktivitas kesukaannya. Individu cenderung akan mengulangi perilaku yang mendapat ganjaran positif dan sebaliknya akan menghindari perilaku yang mendapat ganjaran negatif. Orang tua perlu bijaksana dan tidak diskriminatif dalam memberikan reward atau punishment. Dalam ilmu perilaku, pembentukan perilaku (behavior formation) termasuk perilaku tertib dan disiplin berlalulintas dapat terbentuk justru karena adanya proses pembiasaan (conditioning) yang diperkuat oleh adanya punishment atau reward, serta hadirnya figur model yang menampilkan perilaku yang sama atau yang diharapkan.