• Tidak ada hasil yang ditemukan

d mtk 0808077 chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "d mtk 0808077 chapter1"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat

memungkinkan setiap orang dapat mengakses informasi dengan cepat dan mudah

dari berbagai sumber di belahan dunia. Oleh karena itu sejak dini sekolah sudah

harus mempersiapkan siswa agar memiliki kemampuan memperoleh, memilih dan

memanfaatkan informasi dalam menghadapi pesatnya perkembangan teknologi.

Kemampuan tersebut dapat dikembangkan dalam pembelajaran matematika,

karena matematika sebagai ilmu, memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan

jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan siswa terampil berpikir rasional.

Dalam Standar Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

dinyatakan bahwa setelah pembelajaran siswa harus memiliki seperangkat

kompetensi matematika yang harus ditunjukkan pada hasil belajarnya dalam mata

pelajaran matematika (standar kompetensi). Kecakapan atau kemahiran

matematika yang diharapkan dapat dicapai siswa dalam belajar matematika mulai

dari SD sampai SMA, yaitu: (1) pemahaman konsep; (2) penalaran; (3)

komunikasi; (4) pemecahan masalah; dan (5) memiliki sikap menghargai

kegunaan matematika dalam kehidupan (Depdiknas, 2006).

Demikian juga National Council of Teachers of Matematics atau NCTM

(2000), merumuskan lima kemampuan matematis yang harus dikuasai siswa, yaitu

kemampuan komunikasi, penalaran matematis, pemecahan masalah, koneksi

(2)

kemampuan-kemampuan tersebut, tercermin bahwa kemampuan penalaran dan

komunikasi matematis merupakan kemampuan standar yang harus dicapai siswa

dalam belajar matematika.

Depdiknas (2002) menyatakan bahwa materi matematika dan penalaran

matematis merupakan dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan

karena materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami

dan dilatihkan melalui belajar matematika. Oleh karena itu penalaran matematis

merupakan bagian terpenting dalam matematika karena dengan penalaran

matematis siswa dapat menyelesaikan masalah matematika. Hal senada juga

disampaikan Ansjar dan Sembiring (2000) bahwa penalaran merupakan

karakteristik utama matematika yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan

mempelajari dan mengembangkan matematika atau menyelesaikan suatu masalah

matematika. Menurut Priatna (2003), melalui kegiatan bernalar dalam

matematika, diharapkan siswa dapat melihat bahwa matematika merupakan kajian

yang masuk akal atau logis. Dengan demikian siswa merasa yakin bahwa

matematika dapat dipahami, dipikirkan, dibuktikan, dan dievaluasi.

Hasil studi Rif’at (Priatna, 2003) menyatakan bahwa lemahnya

kemampuan matematika siswa dilihat dari kinerja dalam bernalar, misalnya

kesalahan dalam menyelesaikan soal matematika dikarenakan kesalahan

menggunakan penalaran. Hal senada juga diungkapkan Wahyudin (1999) dalam

studinya bahwa salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa

gagal menguasai dengan baik pokok-pokok bahasan dalam matematika, yaitu

siswa kurang menggunakan nalar yang logis dalam menyelesaikan persoalan

(3)

penelitiannya menemukan bahwa keadaan skor kemampuan siswa pada penalaran

matematis masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya kemampuan

penalaran akan berdampak pada kurangnya penguasaan siswa terhadap materi

matematika, sehingga akan mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa. Oleh

karena itu kemampuan penalaran penting ditingkatkan sehingga hasil belajar

siswa menjadi lebih baik.

Berkaitan dengan pentingnya penalaran dalam matematika, NCTM

(2000) merekomendasikan bahwa tujuan pembelajaran penalaran pada kelas 6-8

adalah agar siswa dapat (1) menguji pola dan struktur untuk mendeteksi

keteraturan; (2) merumuskan generalisasi dan konjektur hasil observasi

keteraturan; (3) mengevaluasi konjektur; dan (4) membuat dan mengevaluasi

argumen matematika.

Selanjutnya NCTM (2000) menggariskan secara rinci

keterampilan-keterampilan kunci penalaran matematis yang dapat dilakukan di dalam kelas dan

harus dipandang sebagai bagian integral dari kurikulum matematika.

Keterampilan-keterampilan tersebut adalah mengenal dan mengaplikasikan

penalaran deduktif dan induktif, memahami dan menerapkan proses penalaran

dengan perhatian yang khusus terhadap penalaran dengan proporsi-proporsi dan

grafik-grafik; membuat dan mengevaluasi konjektur-konjektur dan

argumen-argumen secara logis; menilai daya serap dan kekuatan penalaran sebagai bagian

dari matematika.

Sumarmo (2005) merinci karateristik kemampuan penalaran matematis

dalam beberapa indikator, yakni: (1) menarik kesimpulan logis; (2) memberi

(4)

memperkirakan jawaban dan proses solusi; (4) menggunakan pola hubungan

untuk menganalisis situasi, atau membuat analogi, generalisasi, dan menyusun

konjektur; (5) mengajukan lawan contoh; (6) mengikuti aturan inferensi,

memeriksa validitas argumen, membuktikan, dan menyusun argumen yang valid;

dan (7) menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan

pembuktian dengan induksi.

Selain kemampuan penalaran matematis dalam pembelajaran matematika,

kemampuan komunikasi matematis juga sangat penting untuk dikembangkan. Hal

ini dikarenakan melalui komunikasi matematis, siswa dapat mengorganisasi dan

mengkonsolidasi berpikir matematisnya baik secara lisan maupun tulisan,

disamping renegosiasi respon antar siswa akan dapat terjadi dalam proses

pembelajaran.

Kusumah (2008) menyatakan bahwa komunikasi merupakan bagian yang

sangat penting dalam pembelajaran matematika, karena melalui komunikasi (1)

ide matematis dapat dieksploitasi dalam berbagai perspektif; (2) cara berpikir

siswa dapat dipertajam; (3) pertumbuhan pemahaman dapat diukur; (4) pemikiran

siswa dapat dikonsolidasikan dan diorganisir; (5) pengetahuan matematis dan

pengembangan masalah siswa dikonstruksi; (6) penalaran siswa dapat

ditingkatkan; dan (7) komunikasi siswa dapat dibentuk.

Mengingat pentingnya kemampuan komunikasi matematis dalam

pembelajaran matematika maka kemampuan komunikasi tersebut haruslah

ditingkatkan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan

komunikasi matematis siswa masih rendah. Hal ini terlihat dari hasil penelitian

(5)

kemampuan komunikasi matematis siswa berada pada kualifikasi kurang dan

dalam mengkomunikasikan ide-ide matematika termasuk dalam kualifikasi

kurang sekali.

Demikian juga halnya dengan hasil penelitian Firdaus (2005) bahwa

kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dalam

kelompok kecil tipe Team-Assisted Individualization (TAI) berbasis masalah

masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari perolehan skor kemampuan

komunikasi matematis siswa ± 60% dari skor ideal.

Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika

adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para siswa untuk

mengembangkan dan mengintegrasikan keterampilan berkomunikasi melalui lisan

maupun tulisan, modeling, speaking, writing, drawing, dan mempresentasikan apa

yang telah dipelajari (Hulukati, 2005). Selain itu juga dapat dilakukan melalui

catatan, grafik, peta, dan diagram (Depdiknas, 2003) dan komunikasi dapat terjadi

ketika siswa mengemukakan gagasannya, menjelaskan model yang ditemukan

dari permasalahan yang disajikan, tetapi siswa lain harus dapat menangkap apa

yang dikomunikasikan siswa lainnya.

Selanjutnya, kemampuan komunikasi matematis siswa dapat ditingkatkan

melalui diskusi kelompok. Hal ini sesuai dengan temuan Brenner (1998) yang

menyatakan bahwa pembentukan kelompok-kelompok kecil memudahkan

peningkatan kemampuan komunikasi matematis. Dengan adanya

kelompok-kelompok kecil, maka intensitas siswa dalam mengemukakan pendapatnya akan

semakin tinggi, karena melalui diskusi kelompok siswa mempunyai peluang besar

(6)

Clark (2005) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kemampuan

komunikasi matematis siswa dapat diberikan 4 strategi, yaitu (1) memberikan

tugas-tugas yang cukup memadai, sehingga membuat siswa maupun kelompok

diskusi lebih aktif; (2) menciptakan lingkungan yang kondusif bagi siswa dalam

mengungkapkan ide atau gagasannya; (3) mengarahkan siswa untuk menjelaskan

dan memberi argumentasi pada hasil yang diberikan dan ide atau gagasan yang

difikirkan; dan (4) mengarahkan siswa untuk aktif memproses berbagai macam

ide atau gagasannya.

Sumarmo (2005) merinci karakteristik kemampuan komunikasi matematis

dalam beberapa indikator, yakni (1) membuat hubungan benda nyata, gambar dan

diagram ke dalam ide matematis; (2) menjelaskan ide, situasi dan relasi

matematika secara lisan maupun tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan

aljabar; (3) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol

matematika; (4) mendengarkan, berdiskusi dan menulis tentang matematika,

membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis; (5) membuat

konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; dan (6)

menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.

Kemampuan komunikasi matematis terdiri dari komunikasi lisan dan

tulisan. Dalam penelitian ini, komunikasi lisan dapat terjadi pada kegiatan diskusi

kelompok dan presentasi hasil diskusi, sedangkan kemampuan komunikasi tulisan

yang diteliti dalam penelitian ini adalah (1) kemampuan menyatakan situasi

masalah ke dalam model matematika dan menyelesaikannya secara tertulis ke

dalam gambar atau grafik (menggambar); (2) kemampuan menyatakan situasi

(7)

dan (3) kemampuan menjelaskan konsep dan ide dari suatu gambar yang

diberikan ke dalam model matematika secara tertulis dan menyelesaikannya

(menulis). (Adaptasi dari Ansari, 2003).

Baroody (Hulukati, 2005) menyatakan bahwa ada dua alasan komunikasi

matematis dalam pembelajaran matematika menjadi penting yaitu: (1)

mathematics as language; matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir,

alat untuk menemukan pola, atau menyelesaikan masalah, namun matematika

juga merupakan alat yang tidak terhingga nilainya untuk mengkomunikasikan

berbagai ide dengan jelas, tepat dan cermat dan (2) mathematics learning as

social activity; sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, seperti

halnya interaksi antar siswa, komunikasi guru dengan siswa merupakan bagian

penting untuk memelihara dan mengembangkan potensi matematika siswa.

Menyadari pentingnya kemampuan komunikasi matematis, maka dirasa

perlu mengupayakan pembelajaran dengan pendekatan-pendekatan yang dapat

memberi peluang dan mendorong siswa melatih kemampuan komunikasi

matematisnya. Menurut Baroody (1993) bahwa pada pembelajaran matematika

dengan pendekatan tradisional, kemampuan komunikasi matematis siswa masih

sangat terbatas hanya pada jawaban verbal yang pendek atas berbagai pertanyaan

yang diajukan oleh guru.

Cai dan Patricia (2000) berpendapat bahwa guru dapat mempercepat

peningkatan komunikasi matematis siswa dengan cara memberikan tugas

matematika dalam berbagai variasi. Komunikasi matematis akan berperan efektif

(8)

mereka mempercakapkannya. Oleh karena itu perubahan pandangan belajar dari

guru mengajar ke siswa belajar sudah harus menjadi fokus utama dalam setiap

kegiatan pembelajaran matematika.

Dari uraian di atas, jelas bahwa kemampuan penalaran dan komunikasi

matematis, perlu ditingkatkan karena kemampuan-kemampuan tersebut

merupakan kemampuan yang diperlukan dalam belajar dan dalam matematika itu

sendiri, bahkan perlu bagi siswa untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan

siswa hari ini dan pada hari yang akan datang. Hal ini sesuai dengan visi

pendidikan matematika masa kini dan masa datang (Sumarmo, 2002, 2004, 2006).

Visi pendidikan matematika masa kini, yaitu pembelajaran matematika

mengarah pada pemahaman konsep-konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan

masalah matematika dan ilmu pengetahuan lainnya, dan visi pendidikan

matematika masa datang, yaitu pembelajaran matematika memberikan

kemampuan nalar yang logis, sistematis, kritis, dan cermat serta berpikir objektif

dan terbuka yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari serta untuk

menghadapi masa depan yang selalu berubah.

Berdasarkan visi pendidikan matematika masa kini dan masa datang, maka

siswa belajar matematika harus memiliki kemandirian belajar yang tinggi karena

siswa yang mempunyai kemandirian belajar yang tinggi, mampu (1) menganalisis

kebutuhan belajar matematika, merumuskan tujuan, dan merancang program

belajar; (2) memilih dan menerapkan strategi belajar; (3) memantau dan

mengevaluasi diri, apakah strategi telah dilaksanakan dengan benar, memeriksa

hasil (proses dan produk), serta merefleksi untuk memperoleh umpan balik

(9)

Peningkatan kemandirian belajar dalam matematika didukung juga oleh

hasil studi yang dilakukan Hargis dengan temuannya antara lain: individu yang

memiliki kemandirian belajar yang tinggi cenderung belajar lebih baik, mampu

memantau, mengevaluasi, dan mengatur belajarnya secara efektif, menghemat

waktu dalam menyelesaikan tugasnya, mengatur belajar dan waktu secara efisien

(Sumarmo, 2004).

Kondisi saat ini di lapangan, pada umumnya menunjukkan bahwa aktivitas

pembelajaran masih didominasi oleh guru; siswa masih belum berperan aktif

dalam pembelajaran; siswa kurang diberikan kesempatan menggunakan daya

nalarnya untuk menyelesaikan suatu masalah dengan berbagai strategi (guru

hanya memberikan masalah yang penyelesaiannya sesuai dengan contoh soal);

siswa kurang diberikan kesempatan untuk mengemukakan ide-ide tentang sesuatu

yang berkaitan dengan konteks yang sedang dibicarakan (konteks yang diberikan

guru), sehingga tidak jarang terjadi siswa hanya menerima apa saja yang

disampaikan oleh guru tanpa memahami apa maknanya.

Selain itu juga guru kurang memberi kesempatan kepada siswa untuk

mengaitkan materi yang dipelajari dengan konteks kehidupan nyata siswa,

sehingga siswa tidak mempunyai penilaian bahwa materi yang dipelajari itu

memiliki aplikasi dengan kehidupannya sehari-hari. Hal ini berimplikasi bahwa

siswa tidak mempunyai inisiatif dalam belajar matematika. Selanjutnya, siswa

juga kurang diberi kesempatan merefleksi kembali apa yang sudah mereka

pelajari, sehingga siswa tidak mempunyai peluang untuk mengungkap atau

mengevaluasi apa yang sudah atau sedang dia kerjakan. Hal ini berdampak pada

(10)

Ruseffendi (1991) menyatakan bahwa matematika yang dipelajari siswa di

sekolah sebagian besar diperoleh melalui pemberitahuan oleh guru, sehingga

membuat siswa menjadi pasif (Ketika siswa pasif maka kemampuan penalaran,

komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa tidak dapat dikembangkan

atau ditingkatkan). Siswa hanya mengulangi algoritma dan prosedur yang telah

dijelaskan oleh guru dalam mengerjakan soal rutin (drill). Model pembelajaran

seperti ini menurut Brooks and Brooks (Helmaheri, 2004) disebut pembelajaran

konvensional.

Pembelajaran yang membuat siswa pasif tidak memungkinkan untuk dapat

meningkatkan kemampuannya, seperti kemampuan penalaran, komunikasi

matematis dan kemandirian belajar siswa. Oleh karena itu guru harus

mengupayakan suatu pembelajaran agar siswa aktif, mampu menyelesaikan

masalah dengan berbagai strategi, dan mampu menarik kesimpulan logis

berdasarkan fakta dan sumber yang relevan (Shurter dan Pierce dalam Sumarmo,

1987). Hal senada juga diungkapkan oleh Sumarmo (2005) bahwa beberapa

kemampuan yang tergolong dalam penalaran matematis diantaranya adalah

menarik kesimpulan logis dan memperkirakan jawaban dan proses solusi.

Selain itu, guru juga harus mengupayakan suatu pembelajaran agar siswa

mampu mengajukan ide-ide, menanggapi gagasan yang diajukan temannya,

membandingkan pendapatnya dengan pendapat siswa lain, merespon dan

menyelesaiakan masalah secara bebas dan kreatif, mengaitkan materi dengan

konteks kehidupan nyata siswa, mengubah cara pandang siswa bahwa kesulitan

itu adalah sebuah tantangan, dan merefleksi kembali apa yang sudah mereka

(11)

secara aktif, meningkatkan kemampuan penalaran, komunikasi matematis dan

kemandirian belajar siswa adalah pembelajaran generatif.

Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa langkah-langkah yang terdapat

dalam pembelajaran generatif dapat membuat siswa belajar menjadi aktif dalam

mengkonstruksi pengetahuannya; dapat meningkatkan kemampuan penalaran;

komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa. Untuk meningkatkan

kemampuan penalaran matematis, siswa diberi kesempatan berlatih

menyelesaikan masalah dengan berbagai strategi, seperti: pemodelan, grafik,

gambar atau argumen-argumen logis sesuai dengan konsep yang mereka pahami

(Osborne & Wittrock dalam Hulukati, 2005).

Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis, siswa diberi

kesempatan berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasannya dengan

berbagai variasi, seperti: melalui gambar, tulisan atau model matematika (Osborne

& Wittrock dalam Khalidin, 2005).

Untuk meningkatkan kemandirian belajar, siswa diberi kesempatan

mengaitkan materi yang dipelajari dengan konteks kehidupan nyata mereka

sehari-hari. Hal ini tentu memberikan suatu dorongan kepada siswa untuk

mengetahui lebih jauh tentang materi itu, sehingga siswa akan berinisiatif dalam

belajar. Artinya siswa akan berinisiatif dalam pembelajaran ketika dia dapat

mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan nyatanya.

Selanjutnya, guru menyiapkan sebuah konteks (wacana) yang dapat

memunculkan konflik kognitif bagi siswa. Dengan adanya konflik kognitif

tersebut, siswa akan terdorong untuk mengubah struktur kognitifnya dalam

(12)

mengubah cara pandang siswa bahwa kesulitan itu adalah sebuah tantangan

sehingga dia akan berinisiatif untuk mendiagnosis kebutuhan belajar, mencari dan

memanfaatkan sumber-sumber belajar yang relevan serta mencari dan

menerapkan strategi-strategi belajar yang tepat (Paris dan Winograd, 2004).

Kemudian, siswa diberi kesempatan merefleksi kembali apa yang sudah mereka

pelajari yang memberikan peluang bagi siswa untuk mengungkap atau

mengevaluasi apa yang sudah atau sedang mereka kerjakan. Konteks yang

demikian berdampak pada keterampilan siswa untuk selalu mengevaluasi proses

dan hasil kerja mereka (Zimmerman dalam Pape et al., 2003).

Selain itu melalui pembelajaran generatif dapat diciptakan suatu iklim

belajar, yakni siswa mendapat kebebasan dalam mengajukan ide-ide,

pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah sehingga belajar matematika lebih efektif dan

bermakna. Selanjutnya, langkah-langkah pembelajaran generatif dapat

memberikan kesempatan kepada siswa merespon dan menyelesaikan masalah

secara bebas dan kreatif. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator

untuk mendorong siswa melakukan sendiri aktivitas memecahkan masalah dan

aktivitas mengkomunikasikan konsep-konsep matematika yang diperolehnya

melalui pemecahan masalah matematika. Jika siswa mengajukan suatu gagasan,

maka guru hendaknya mempertimbangkan gagasan tersebut dengan tidak

menyalahkannya, dan jika salah maka guru diharapkan dapat mengarahkan

dengan memberikan pertanyaan yang mengarah pada penyelesaian yang

diharapkan, sehingga pada akhirnya siswa dapat mengkomunikasikan idenya

kepada teman sejawatnya melalui diskusi kelas atau kelompok. Hal ini seiring

(13)

pembelajaran generatif pada materi pokok garis dan sudut dapat meningkatkan

hasil belajar matematika siswa kelas VIIB SMP Beerseba Pekanbaru.

Untuk menunjang penerapan pembelajaran generatif, perlu diperhatikan

level sekolah, kemampuan awal matematis dan kemandirian belajar siswa. Level

sekolah dibagi dalam tiga kelompok, yaitu atas, tengah dan bawah. Digunakannya

tiga level dalam penelitian ini bertujuan agar semua kelompok sekolah terwakili

sehingga kesimpulan yang diperoleh lebih representatif. Pengelompokkan ini juga

bertujuan untuk melihat apakah terdapat pengaruh bersama antara pembelajaran

yang digunakan dan level sekolah terhadap perkembangan kemampuan penalaran,

komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa.

Adapun kemampuan awal matematis siswa dikategorikan ke dalam tiga

kelompok, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Pengelompokan ini bertujuan untuk

melihat apakah terdapat pengaruh bersama antara pembelajaran yang digunakan

dan kemampuan awal matematis siswa terhadap perkembangan kemampuan

penalaran, komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa.

Kemandirian belajar siswa merupakan suatu hal yang turut menentukan

berhasilnya pengimplementasian pembelajaran generatif dan turut menentukan

pencapaian hasil belajar siswa; hal ini cukup beralasan karena pembelajaran yang

menciptakan situasi pemecahan masalah (untuk menyelesaikan suatu masalah

diperlukan penalaran dan komunikasi) sangat diperlukan kemandirian siswa

dalam belajar. Siswa yang berada pada level sekolah atas diasumsikan memiliki

kemandirian belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berada

pada level sekolah tengah, demikian juga halnya dengan siswa yang berada pada

(14)

yang berada pada level sekolah atas lebih mampu mengatur waktu dan

mengontrol diri dalam berfikir, merencanakan strategi, kemudian

melaksanakannya, serta mengevaluasi atau mengadakan refleksi (Yang dalam

Sumarmo, 2004). Hal ini didukung oleh hasil studi Darr dan Fisher (2004) yang

melaporkan bahwa kemampuan belajar mandiri berkorelasi tinggi dengan

keberhasilan belajar siswa.

Berdasarkan uraian di atas, telah dilakukan penelitian tentang peningkatan

kemampuan penalaran, komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa

SMA melalui pembelajaran generatif yang difokuskan pada level sekolah (atas,

tengah dan bawah), dan kemampuan awal matematis (tinggi, sedang dan rendah).

Dari beberapa penelitian tentang pembelajaran generatif yang telah

dilakukan peneliti sebelumnya (Hulukati, 2005 dan Fahinu, 2007); originalitas

dari pembelajaran generatif yang dikembangkan peneliti, yaitu (1) dalam RPP,

untuk setiap materi baru, guru memberikan gambar (berupa media) dari

permasalahan yang diberikan yang dapat mengaitkan materi dengan pengalaman

siswa sehari-hari, sehingga mempermudah siswa untuk memahami materi yang

akan dipelajari; (2) dalam LAS untuk beberapa permasalahan, diberikan petunjuk

atau langkah-langkah yang dapat membantu siswa dalam menyelesaikan soal-soal

yang diberikan (tidak semua informasi yang dibutuhkan ada pada buku paket),

sehingga mempermudah siswa memperoleh informasi (konsep) yang diperlukan

untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan; (3) pada kegiatan akhir dari

pembelajaran generatif, guru tidak hanya melakukan tahap melihat kembali dan

memberi PR; tetapi juga melakukan generalisasi. Dengan bimbingan guru, siswa

(15)

mengelaborasi pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi-materi yang

sudah dipelajari; dan (4) semua permasalahan yang diberikan (baik pada RPP

maupun LAS) berbentuk soal cerita yang sifatnya kontekstual (soal nonrutin).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, maka terdapat

beberapa faktor yang menjadi perhatian peneliti untuk dikaji dan dianalisis lebih

lanjut dalam penelitian ini, yaitu: kemampuan penalaran matematis (KPM),

kemampuan komunikasi matematis (KKM), kemandirian belajar siswa (KBS),

pembelajaran generatif (PG), dan pembelajaran konvensional (PKV). Selain itu

diperhatikan pula faktor level sekolah (atas, tengah, dan bawah) dan kemampuan

awal matematis atau KAM (tinggi, sedang, dan rendah) sebagai variabel kontrol.

Adapun permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

1. Apakah terdapat peningkatan KPM, KKM, dan KBS setelah memperoleh

pembelajaran (PG dan PKV)?

2. Apakah peningkatan KPM, KKM, dan KBS yang memperoleh PG lebih

tinggi daripada siswa yang memperoleh PKV ditinjau dari: (a) keseluruhan

siswa, (b) level sekolah (atas, tengah, dan bawah) siswa, dan (c) KAM

(tinggi, sedang, dan rendah) siswa?

3. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran (PG dan PKV) dan level

sekolah (atas, tengah, dan bawah) terhadap peningkatan KPM, KKM, dan

KBS?

4. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran (PG dan PKV) dan KAM

(16)

5. Apakah terdapat asosiasi antara KPM dan KKM, KPM dan KBS, serta KBS

dan KKM?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk meningkatkan KPM, KKM, dan KBS yang memperoleh PG dan PKV

ditinjau dari: (a) keseluruhan, (b) level sekolah, dan (c) KAM.

2. Untuk mengetahui terdapat atau tidak terdapat interaksi antara pembelajaran

dan level sekolah terhadap peningkatan KPM, KKM dan KBS.

3. Untuk mengetahui terdapat atau tidak terdapat interaksi antara pembelajaran

dan KAM terhadap peningkatan KPM, KKM dan KBS.

4. Untuk mengetahui terdapat atau tidak terdapat asosiasi antara KPM, KKM

dan KBS.

D. Manfaat Penelitian

Hasil-hasil yang diperoleh melalui penelitian ini, diharapkan dapat

bermanfaat bagi:

1. Siswa

Memberikan pengalaman baru bagi siswa dan mendorong siswa untuk

berpartisipasi aktif (terlibat aktif) dalam pembelajaran matematika di kelas,

sehingga selain dapat meningkatkan KPM, KKM, dan KBS yang berakibat

pada peningkatan prestasi belajar siswa, juga membuat pembelajaran

(17)

2. Guru

PG merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan untuk

meningkatkan KPM, KKM, dan KBS.

3. Peneliti

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sarana bagi pengembangan diri

peneliti dan dapat dijadikan sebagai acuan/referensi untuk peneliti lain

(penelitian yang relevan) dan pada penelitian yang sejenis.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap beberapa variabel yang

digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan sebagai berikut.

1. KPM adalah (1) kemampuan menyatakan situasi masalah dengan

menggunakan gambar dan fakta dalam menyelesaikan soal; (2) kemampuan

menyelesaikan situasi masalah dengan mengikuti argumen-argumen logis;

dan (3) kemampuan menyelesaikan situasi masalah dengan mengikuti

argumen-argumen logis dan menarik kesimpulan logis dari penyelesaian yang

diperoleh.

2. KKM adalah (1) kemampuan menyatakan situasi masalah ke dalam model

matematika dan menyelesaikannya secara tertulis ke dalam gambar atau

grafik (menggambar), (2) kemampuan menyatakan situasi masalah ke dalam

model matematika dan menyelesaikannya (ekspresi matematis), dan (3)

kemampuan menjelaskan konsep dan ide dari suatu gambar yang diberikan ke

(18)

3. KBS adalah sikap seseorang terhadap dirinya dalam belajar yang meliputi: (1) inisiatif belajar, (2) mendiagnosis kebutuhan belajar, (3) menetapkan

target/tujuan belajar, (4) mengatur, dan mengontrol belajar, (5) mengatur dan

mengontrol kognisi, motivasi, serta perilaku (diri), (6) memandang kesulitan

sebagai tantangan, (7) mencari dan memanfaatkan sumber belajar yang

relevan, (8) memilih dan menerapkan strategi belajar yang tepat, (9)

mengevaluasi proses dan hasil belajar, dan (10) self-efficacy (konsep diri).

4. PG adalah pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa dalam

mengkonstruksi pengetahuannya melalui tahap orientasi, pengungkapan ide,

tantangan dan restrukturisasi, penerapan, dan memeriksa kembali.

5. KAM adalah kemampuan yang dimiliki siswa sebelum diberikan

pembelajaran (perlakuan). Pemberian tes KAM dimaksudkan untuk

pengelompokan siswa berdasarkan kategori KAM, yakni kelompok siswa

berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Kemampuan ini diukur melalui

soal-soal yang diadopsi dari soal ulangan beberapa buku matematika SMA

kelas X yang sudah dipelajari dan sebagian tesnya (memahami konsep fungsi,

menggambar grafik fungsi kuadrat, menggunakan sifat dan aturan tentang

persamaan dan pertidaksamaan kuadrat, melakukan manipulasi aljabar dalam

perhitungan yang berkaitan dengan persamaan dan pertidaksamaan kuadrat,

merancang model matematika dari masalah yang berkaitan dengan persamaan

dan/atau fungsi kuadrat, dan menyelesaikan model matematika dari masalah

yang berkaitan dengan persamaan dan/atau fungsi kuadrat dan penafsirannya)

merupakan prasyarat untuk mempelajari materi sistem persamaan linier (SPL)

(19)

Gambar

gambar atau argumen-argumen logis sesuai dengan konsep yang mereka pahami
grafik (menggambar), (2) kemampuan menyatakan situasi masalah ke dalam

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini penulis menggukan 11 kriteria penilaian untuk mengukur antara website

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan wawancara kepada beberapa pihak yang terkait dan berwenang dalam lingkungan UIN Alauddin

Departemen Kelautan dan Perikanan RI sebagai Competent Authority (CA) atau Otoritas Kompeten yaitu pihak Pemerintah yang mempunyai otoritas (kewenangan) untuk

Gambaran klinis intra oral pada pasien ini sesuai dengan yang dinyatakan Laskin, 3 bahwa kista radikular yang mengenai gigi premolar dan molar atas biasanya akan menimbulkan

tunggakan angsuran Kreasi adalah suatu proses yang berbeda terdiri dari tipe kepemimpinan demokratis, autokratis, dan tipe kendali bebas, yang dilakukan untuk

• BI menegaskan akan melakukan langkah tegas kepada merchant yang menggunakan WeChat Pay sebagai alat transaksi pembayaran di I ndonesia, karena berdasarkan Peraturan BI (PBI)

Dari hasil penelitia lanjut usia yang memiliki pasangan hidup mengalami sebagian besar tingkat kesepiannya adalah tingkat kesepian rendah 24 orang (60%) dan pada lanjut

The data from the questionnaire which consisted of 5 question showed that many students gave positive respond to the use of task-based learning the average