• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pemuda Dalam Pelestarian Wayang Suket Sebagai Aktualisasi Nilai Moral Pancasila

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran Pemuda Dalam Pelestarian Wayang Suket Sebagai Aktualisasi Nilai Moral Pancasila"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

368

PERAN PEMUDA DALAM PELESTARIAN WAYANG SUKET SEBAGAI AKTUALISASI NILAI MORAL PANCASILA ROLE OF YOUTH IN THE PRESERVATION OF WAYANG SUKET

ACTUALIZATION PANCASILA MORAL VALUES

Mifdal Zusron Alfaqi, Abd. Mu’id Aris Shofa, Muhammad Mujtaba Habibi Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Universitas Negeri Malang Jalan Semarang 5, Malang

email: mifdal.zusron.fis@um.ac.id

Abstract: this study aims to reveal the role of youth in the preservation of wayang suket in the Gubuk Baca Lentera Negeri (GBLN) and see the actualization of the Pancasila moral values in the traditional Suket puppet play. This study was conducted on a group of young people who are members of the Gubuk Baca Lentera Negeri in Sukolilo Village, Jabung District, Malang Regency. This study uses a qualitative method, the subject of the study is the Gubuk Baca Lentera Negeri and the object of study is the role of youth in the preservation of wayang suket as the actualization of the Pancasila moral values. Data collection methods in this study use interviews, observations,

field notes, literature, internet, and documentation. The results of this study

have illustrated that the Gubuk Baca Lentera Negeri has preserved wayang suket and in the process of making and story of wayang suket, there is a moral value of Pancasila.

Keywords: the role of youth, the preservation of the Wayang Suket, the moral values of Pancasila

Abstrak: kajian ini bertujuan mengungkapkan peran pemuda dalam pelestarian wayang suket di Gubuk Baca Lentera Negeri (GBLN) serta melihat aktualisasi nilai moral Pancasila dalam permainan tradisional wayang Suket. Kajian ini dilakukan pada kelompok pemuda yang tergabung dalam Gubug Baca Lentera Negeri di Desa Sukolilo Kecamatan Jabung Kabupaten Malang. Kajian ini menggunakan metode kualitatif, subyek kajian adalah Gubuk Baca Lentera Negeri dan obyek kajian adalah peran pemuda dalam pelestarian wayang suket sebagai aktualisasi nilai moral Pancasila. Metode pengumpulan data pada kajian ini menggunakan wawancara, observasi, catatan lapangan, kepustakaan, internet, dan dokumentasi. Hasil kajian ini telah tergambarkan bahwa Gubuk Baca Lentera Negeri telah melakukan pelestarian wayang suket dan dalam proses pembuatan dan cerita wayang suket tersebut terdapat nilai moral Pancasila.

Kata Kunci: peran pemuda, pelestarian wayang suket, nilai moral Pancasila PENDAHULUAN

Pemuda memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam proses kemajuan bangsa. Munculnya generasi muda atau kelompok umur muda selalu dihubungkan dengan adanya proses perubahan dan pembangunan yang lebih baik di Indonesia.

Koentjaraningrat (2015) mengasumsikan pembangunan sebagai usaha mencapai kemakmuran. Sumbangsih pemuda dalam membawa perubahan positif bagi bangsa merupakan kesuksesan tersendiri dalam mencetak generasi penerus yang berkualitas. Karakter pemuda yang tangguh dan kuat secara

ISSN: 2528-0767 (p) dan 2527-8495 (e) http://journal2.um.ac.id/index.php/jppk

(2)

fisik, pemikiran yang kreatif dan tangguh

secara mental menjadi paket yang tepat untuk mengupayakan perubahan dan kemajuan bangsa yang dicita-citakan. Reformasi Indonesia membawa arus perubahan dan kemajuan bangsa Indonesia, khususnya kebebasan berekspresi dari kalangan pemuda yang memiliki potensi tinggi.

Eksistensi pemuda harus tetap dijaga, termasuk dari ancaman yang berupa arus modernitas yang destruktif. Perubahan yang terjadi saat ini juga memengaruhi kalaangan pemuda. kritik sosial yang sering kali muncul menyatakan bahwa modernitas membawa dampak kehidupan sosial budaya. Budaya Indonesia dapat dilihat dan dipelajari oleh warga negara lain melalui berbagai sumber informasi, begitu pula sebaliknya.

Fenomena silang budaya tersebut dapat dijelaskan dengan merujuk pada pendapat Adian (2008) yang melihat fenomena ini sebagai arus globalisasi merubah segala sesuatu yang tadinya bercorak lokal sekarang menjadi global dan bersilang. Arus perubahan membawa sistem nilai baru yang membentuk kombinasi budaya antar negara. Pada dasarnya semua perubahan akan membawa banyak konsekuensi sosiokultural, salah satunya adalah perubahan budaya lama ke kebudayaan yang baru.

Abdullah (1991) dalam bukunya Pemuda dan Perubahan Sosial mengatakan bahwa masyarakat sedang mengalami perubahan cepat. Perubahan yang didorong oleh kekuatan luar atau yang disebabkan oleh kebangkrutan anasir-anasir kultural sering tidak mempunyai kesempatan untuk menjaga keseimbangannya. Keseimbangan yang dimaksud adalah antara terjaganya eksistensi kultur lokal dengan penerimaan budaya dari luar. Pada dasarnya kehidupan sosial masyarakat memang tidak dapat dilepaskan dengan masuknya budaya baru, namun fakta tersebut sangat tidak arif apabila perubahan tersebut menghapus kultur lokal yang membawa identitas orisinal masyarakat. Perihal ada adagium

dari kalangan pemuda yang mengatakan bahwa sesuatu yang kuno dan tradisional merupakan hal yang kurang tepat untuk diikuti dan harus diperbarui merupakan pandangan yang tidak sepenuhnya benar.

Kebudayaan mampu memproyeksikan identitas orisinalal yang luhur dari kehidupan masyarakat akan sangat disesali apabila itu semua tergerus perlahan oleh kebiasaan baru yang terkemas sarwa modern. Inventaris kebudayaan Indonesia baik yang tangible

(fisik) maupun intangible (non fisik) yang

kaya menjadi potensi besar bagi peradaban yang lebih baik untuk bangsa ini. Kelestarian ragam gerak tari dan musik, seni-seni tradisional, permainan-permainan tradisional, situs-situs adat sakral, benda-benda kriya yang artistik, dan kemegahan arsitektur bangunan-bangunan kuno yang menjadi saksi peradaban masyarakat sebelumnya harus tetap dijaga.

Kearifan lokal yang ada harus tetap dijaga dan dilestarikan. karena dapat digunakan sebagai modal untuk mempertahankan eksistensi nilai moral bangsa. Permainan yang sangat dekat pengaruhnya bagi generasi muda ternyata tidak semuanya dapat mendukung usaha pelestarian kearifan lokal yang ada. Generasi muda zaman sekarang lebih menyukai sesuatu hal yang dianggap lebih modern, praktis dan serba cepat. Permainan-permainan modern seperti game android menjadi sangat populer dikalangan pemuda zaman sekarang sehingga permainan-permainan tradisional menjadi jarang sekali dimainkan. Permainan-permainan tradisional yang ada masih sarat nilai dan penting memperkuat identitas bangsa.

Permainan tradisional berasal dari daerah tertentu yang memiliki ciri khas dari setiap daerah. Salah satunya adalah wayang. Berbagai macam jenis wayang banyak ditemukan di daerah Jawa antara lain: wayang kulit, wayang golek, wayang orang dan lain sebagainya (Panjaitan, 2014). Komunitas sosial Gubuk Baca Lentera Negeri (GBLN) bertujuan untuk melestarikan

(3)

budaya lokal dan menyediakan tempat belajar bagi semua anak yang berada di sekitar Kecamatan Jabung Kabupaten Malang. GBLN mempunyai prinsip bahwa melalui seni, banyak ditemukan nilai budaya yang sebenarnya sebagai fungsi dari pendidikan dan pengajaran.

Komunitas Gubug Baca Lentera Negeri (GBLN) menyediakan permainan tradisional wayang suket. Wayang ini sedikit berbeda dengan jenis-jenis wayang yang lain. Wayang suket terbuat dari rumput. Rumput ini nantinya dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai wayang. Dalam bahasa Jawa juga disebut sebagai puspa sarira. Puspa berarti bunga dan sarira memiliki arti badan atau boneka. Kajian ini bertujuan untuk mengungkapkan peran pemuda dalam pelestarian wayang suket di Gubuk Baca Lentera Negeri (GBLN) serta melihat aktualisasi nilai moral Pancasila dalam permainan tradisional wayang suket. METODE

Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis kajian deskriptif. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan menggambarkan secara utuh dan komprehensif fenomena yang dikaji, sehingga pada akhirnya dapat menjawab masalah yang telah dirumuskan, dan dengan demikian tujuan kajian ini dapat tercapai. Kajian kualitatif mempersoalkan latar ilmiah dengan maksud agar hasilnya dapat digunakan untuk menafsirkan fenomena.

Kajian kualitatif menyajikan bentuk yang menyeluruh (holistic) dalam menganalisis suatu fenomena, kajian jenis ini lebih peka menangkap informasi kualitatif, dengan tetap berusaha mempertahankan keutuhan (wholeness) suatu keadaan.

Jenis kajian deskriptif terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau peristiwa. Usaha mendeskripsikan fakta-fakta itu pada tahap permulaan tertuju pada usaha mengemukakan gejala-gejala secara

lengkap di dalam aspek yang diselidiki sehingga jelas keadaan dan kondisinya. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, catatan lapangan, kepustakaan, dan studi dokumentasi. HASIL DAN PEMBAHASAN

Peran Pemuda dalam Pelestarian Wayang Suket di Gubuk Baca Lentera Negeri (GBLN)

Wayang merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. Kata “wayang” yang berarti ayang-ayang atau bayangan yang apabila disorot dengan cahaya akan tampak bayangan tubuh dari wayang. Bayangan tersebut yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang. Di Indonesia, wayang sangat populer di wilayah Jawa dan Bali. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh perkembangan penganut kepercayaan “Hyang” yang merupakan kebudayaan asli Indonesia.

Ditinjau dari segi bahan pembuatannya, terdapat berbagai macam jenis wayang yang telah berkembang di Indonesia. Wayang kulit yang berkembang di Jawa merupakan jenis wayang yang terbuat dari kulit lembu atau sapi. Wayang golek atau boneka yang populer di daerah Pasundan dimainkan dengan menggunakan boneka. Wayang klithik terbuat dari kayu yang pipih.

Berkembangnya wayang suket karya Mbah Jo (seniman wayang suket asal Kota Malang) yang dinamakan dengan Puspa Sarira bermanfaat terhadap pelestarian wayang di Indonesia. Nama puspa sarira berasal dari dua kata, yakni puspa dan sarira. Puspa berarti bunga, sedangkan sarira berarti tubuh. Keduanya jika digabungkan mengandung arti tubuh kecil yang terbuat dari bunga.

Wayang suket Mbah Jo memiliki karakteristik berbeda dengan wayang suket Mbah Gepuk asal Purbalingga. Wayang suket Mbah Jo membutuhkan biaya yang

(4)

murah dan terbuat dari bahan-bahan yang dapat diperoleh di lingkungan sekitar. Bahan utama wayang suket adalah jerami atau mendhong. Jerami atau mendhong direndam, dikeringkan, dibentuk sesuai dengan keinginan.

Wayang suket puspa sarira dianggap sebagai bagian dari permainan rakyat yang ditampilkan secara insidental. Cerita pertunjukan wayang suket pada umumnya dibuat secara tematik, tiap pertunjukan berbeda cerita. Pertunjukan wayang suket puspa sarira melibatkan penonton untuk membuat cerita yang diinginkan. Pertunjukkan wayang suket berlangsung kurang lebih 20 menit bertujuan agar penonton tidak bosan.

Proses pembuatan wayang suket melibatkan anak-anak. Karakter tokoh wayang yang dibuat anak-anak disesuaikan dengan pengalaman dengan tujuan memberikan pengalaman belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Nilasari (2016) yang menyatakan bahwa dengan bentuk wayang suket yang tidak begitu besar dapat mempermudah anak-anak menggunakan wayang suket sebagai permainannya.

Pertunjukan wayang suket milik Mbah Jo umumnya dapat dijadikan sebagai kritik terhadap suatu fenomena sosial tertentu, sehingga penonton dengan sendirinya dapat memperoleh pesan moral yang di dapatkan dari pertunjukan tersebut. Hal ini tampak saat Mbah Jo membawakan cerita mengenai konservasi dan ekonomi.

Berdasarkan pemaparan di atas perilaku Mbah Jo dalam mengembangkan seni wayang suket merupakan bentuk dari pelestarian budaya. Hal ini sesuai dengan pendapat Jacobus Ranjabar (2006) yang menyatakan pelestarian sebagai langkah dalam mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional, dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang. Upaya Mbah Jo dalam mengembangkan wayang

suket, salah satunya di Gubuk Baca Lentera Negeri ialah bagian dari pelestarian seni budaya, walaupun dalam pembuatan cerita tidak terpaku pada kesejarahan, namun Mbah Jo mencoba membuat inovasi tersendiri dengan melibatkan penonton. Selain itu, Mbah Jo dalam pertunjukan seni wayang tidak menghilangkan unsur-unsur wayang yang sebelumnya telah berkembang.

Gubuk Baca Lentera Negeri merupakan gerakan kepemudaan yang ada di Desa Sukolilo Kecamatan Jabung Kabupaten Malang yang bergerak di bidang pendidikan, sosial budaya, dan lingkungan. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai organisasi, Gubuk Baca Lentera Negeri dibantu oleh pemuda yang disebut relawan yang berlatar belakang beragam, mulai dari petani, mahasiswa, pelajar, pekerja serabutan, seniman tato hingga preman.

UU nomor 40 tahun 2009 menyatakan bahwa pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan yang berusia 16 tahun sampai 30 tahun. Di Gubuk Baca Lentera Negeri relawan yang terlibat berusia 16-30 tahun. Gubuk Baca Lentera Negeri yang sejauh ini dikenal dengan gerakan literasi, melibatkan anak-anak untuk menjadi sasaran pelaksanaan programnya. Umumnya anak-anak tersebut diajari untuk belajar banyak hal, seperti membaca, menggambar, menulis, membuat karya seni, melestarikan permainan tradisional, dan lain-lain. Selain itu, Gubuk Baca Lentera Negeri pun aktif mengadakan kegiatan di masyarakat, seperti pengadaan bank sampah, kerja bakti, tahlil, zakat, safari ramadhan, dan sebagainya.

Pelestarian wayang suket milik Mbah Jo merupakan agenda rutin di Gubuk Baca Lentera Negeri. Dengan melibatkan anak-anak sebagai sasaran utamanya, Mbah Jo dengan dibantu oleh relawan Gubuk Baca Lentera Negeri belajar untuk membuat wayang suket. Wayang suket ini dibawakan dengan cerita yang bermacam-macam,

(5)

karena saat pertunjukan dimulai Mbah Jo melibatkan anak-anak untuk membuat cerita berdasarkan imajinasinya masing-masing.

Berlangsungnya proses produksi pembuatan wayang suket milik Mbah Jo di Gubuk Baca Lentera Negeri setidaknya dapat menjadi pembelajaran bagi para relawan dan anak-anak untuk melestarikan warisan budaya. Selain itu, wayang suket dapat dijadikan sebagai media pembelajaran bagi relawan dalam memberikan pelajaran tertentu kepada anak-anak. Mas Adi yang merupakan salah satu relawan di Gubuk Baca Lentera Negeri dapat mengajari anak-anak melalui media wayang suket. Melalui hal tersebut, anak dapat dengan mudah belajar mengenai kehidupan dan sekaligus melatih psikomotoriknya.

Pemuda sebagai generasi penerus bangsa selalu menjadi aktor kunci dalam perubahan masyarakat dan menjadi penjaga kelestarian nilai-nilai luhur masyarakat (Lestari, 2015). Pemuda dan anak yang telah dilatih melalui berbagai pelatihan di Gubuk Baca Lentera Negeri dapat bekerja sama dengan Mbah Jo melestarikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Aktualisasi Nilai Moral Pancasila dalam Permainan Tradisional Wayang Suket

Perkembangan zaman yang sangat cepat menuntut sebuah bangsa untuk tetap mempertahankan jati diri dan identitas nasionalnya. Perubahan yang cepat tidak dapat dihindari karena sudah masuk dalam setiap lini kehidupan masyarakat baik secara

fisik maupun non fisik. Salah satu yang

harus terus dikuatkan untuk memenuhi tantangan perubahan zaman yang begitu cepat adalah penguatan ideologi bangsa yang memiliki nilai moral yang luhur untuk menguatkan karakteristik sebagai bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur yang ada dalam Pancasila harus terus ditanamkan melalui cara-cara yang lebih kreatif supaya bisa diterima oleh generasi muda saat ini. Salah satu cara yang dilakukan oleh Gubuk Baca

Lentera Negeri (GBLN) adalah melalui media wayang suket. Media ini dianggap cocok karena pada saat pembuatan wayang sampai pertunjukan memiliki nilai-nilai moral Pancasila. Generasi muda diajak untuk belajar berproses dari mulai pembuatan wayang sampai pada cerita pertunjukan terdapat nilai-nilai moral Pancasila.

Nilai Ketuhanan (sila pertama) pada wayang suket tergambarkan pada saat bersyukur atas pemberian rahmat Tuhan karena diberi hidup dengan memiliki kelengkapan anggota badan seperti: hidung

untuk bernafas, otak untuk berfikir, alat

pengindra perasa, pendengar, penglihat dan lain sebagainya. Dalam bagian boneka wayang suket yaitu dada atau dalam bahasa Jawa disebut dhoho memiliki makna jarwo dhoso yaitu yo siro yo ingsun umat e Gusti Kang Moho Suci yang berarti diri pribadi maupun orang lain adalah ciptaan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Nilai Kemanusiaan (sila kedua) pada wayang suket tergambarkan pada bagian boneka wayang suket yang mencerminkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Rambut boneka wayang suket. Rambut dalam Bahasa Jawa yaitu rikmo, rikmo mempunyai makna jarwo dhasa yaitu katarik ing sukmo. Apabila sukma sudah saling tertarik antara laki-laki dan perempuan akan menumbuhkan rasa. Rambut kagulung dadi gulung rambut digulung menjadi gelung, gelung memiliki arti menungso ojo tegel senengo tetulung jadi manusia jangan tega hati melainkan harus suka menolong. Rambut boneka wayang suket disimpul tali sedikitnya lima dan sebanyak banyaknya tujuh untuk menggambarkan hari. Hari dalam Bahasa Jawa yaitu dino, dino mempunyai arti angudi barang kang ono hanya mencari barang yang ada, tidak pernah mengada-ada.

Boneka wayang suket selanjutnya membentuk bagian lengan, yang dalam dalam Bahasa Jawa disebut lengen jarwo dhosonya yaitu kudu ndeleng yen nduwe angen-angen. Apabila mempunyai cita

(6)

cita harus dapat mengukur kekuatan untuk meraihnya atau menyesuaikan dengan kemampuan.

Bagian boneka wayang suket selanjutnya yang dibuat adalah leher. Leher dalam Bahasa Jawa yaitu gulu yang mempunyai jarwo dhoso ojo nggugu wong kang seneng diluluh yang artinya jangan percaya kepada orang yang disanjung-sanjung. Leher dalam kromo inggil berarti jonggo yaitu ojo sok nonggo tapi ojo lali karo tonggo, yang artinya jangan suka untuk bergunjing dengan tetangga tetapi juga jangan lupa kepada tetangga. Manusia harus saling menolong antar sesamanya karena tidak bisa seorang hidup sendiri. Dalam boneka wayang suket juga mengajarkan tentang norma-norma yang ada di masyarakat maupun norma-norma dalam agama agar dapat hidup dengan selaras.

Nilai Persatuan (sila ketiga) digambarkan dengan simpul-simpul yang mempersatukan bagian-bagian tubuh sehingga menjadi satu kesatuan yang bernama boneka wayang suket. Simpul-simpul ini memang berbeda namun dijadikan satu saling erat dan membentuk sebuah karya tetapi apabila simpul-simpul tersebut tidak kuat atau tidak menjadi satu kesatuan maka tidak akan menjadi sebuah boneka wayang suket yang indah. Perbedaan suku, ras, agama dan antar golongan yang tujuannya adalah untuk bersatu dan tolong menolong yang akan Indonesia kuar.

Nilai Kerakyatan (Sila Keempat) digambarkan dengan celana boneka wayang yang hanya menutupi sampai lutut. Lutut dalam bahasa Jawa disebut dengkul yang mempunyai makna yaitu jarwo doso yen durung mudheng ojok tumungkul, artinya apabila belum memahami jangan pergi dulu. Bagian boneka wayang suket selanjutnya adalah kaki dalam Bahasa Jawa disebut dengan suku yang mempunyai makna jarwo dhasa ojok kesusu yen lumaku , artinya apabila berjalan jangan terburu tetapkanlah langkah kaki terlebih dahulu agar tidak salah dalam melangkah.

Seseorang yang sudah paham akan sesuatu tidak boleh mengambil keputusan sepihak dan memaksakan kehendak. Karena merupakan sikap egois. Hal yang perlu dilakukan ketika seseorang sudah paham adalah bermusyawarah dengan orang lain agar mendapatkan kesepakatan yang mufakat atau kesepakatan bersama, agar nantinya tidak salah dalam mengambil keputusan.

Nilai Keadilan (sila kelima) pada permainan wayang suket ditunjukkan pada adanya kebebasan tiap orang untuk memainkan cerita wayang suket sebagai suatu hiburan. Keadilan sosial juga memiliki arti semua orang tidak memandang suku, agama, ras dan antar golongan dapat memainkan boneka wayang suket. Selain itu tidak ada batasan dalam membuat bentuk boneka wayang suket

SIMPULAN

Peran pemuda dalam pelestarian wayang suket di Gubuk Baca Lentera Negeri (GBLN) merupakan agenda rutin di Gubuk Baca Lentera Negeri. Dengan melibatkan anak-anak sebagai sasaran utamanya, Mbah Jo dengan dibantu oleh relawan Gubuk Baca Lentera Negeri memberikan latihan untuk membuat wayang suket. Wayang suket ini dibawakan dengan cerita yang bermacam-macam, karena saat pertunjukan dimulai Mbah Jo melibatkan anak-anak untuk membuat cerita berdasarkan imajinasinya masing-masing. Aktualisasi nilai moral Pancasila dalam permainan tradisional wayang Suket terlihat dari setiap proses pembuatan dan cerita wayang suket. Pada pembuatan dan cerita terdapat nilai moral Pancasila yang terkandung di dalamnya. DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, T. (1985). Sejarah Lokal Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Adian, D. G. (2008). Kaum Muda Sebagai Warga Dunia. Dalam Achmad Fedyani Saifudin dan Mulyawan Karim (peny).

(7)

Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta.

Kerjasama Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan Penerbit Forum Kajian Antropologi Indonesia.

Alwasilah, C. (2006). Pokoknya Sunda: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Klibat.

Bungin, B. (2001). Metodologi Kajian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press.

Hadiwinoto, S. (2002). Beberapa Aspek Pelestarian Warisan Budaya. Makalah Disampaikan Pada Seminar Pelestarian dan Pengembangan Masjid Agung Demak. Di Demak., 17.

Horton, P. B. dan C. L. H. (1993). Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Koentjaraningrat. (2015). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Lestari, G. (2015). Partisipasi Pemuda dalam Mengembangkan Pariwisata Berbasis Masyarakat Untuk Meningkatkan Ketahanan Sosial Budaya Wilayah. Jurnal Ketahanan Nasional. Vol: 22(2), 137–157.

Lewis, M. (1983). Conservation: A Regional Point of View. In M. M. dan B. S. Bourke (Ed.), Protecting the Past for the Future. Canberra: Austraalian Government Publishing Service. Lisbijanto, H. (2013). Wayang. Jakarta:

Graha Ilmu.

Moleong, J. L. (2007). Metodologi Kajian Kualitatif; Edisirevisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Munir, M. B. M., & Salamah, U. (2016). Pendidikan Pancasila. Malang: Madani Media.

Nilasari, D. (2016). Potensi dan Pengembangan Wayang Suket Sebagai Objek Wisata Edukatif Di Kecamatan Rembang. Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Prosiding Dalam SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN, 2016, 2549–3728.

Panjaitan, A. P. (2014). Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan: Membangun Pendidikan Berbasis Budaya Lokal. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Ranjabar, J. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. Republik Indonesia. (2007).

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33. Diundangkan Di Jakarta, 5.

Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 148. Diundangkan di Jakarta Pada Tanggal 14.

Sarlito, W. S. (2000). Teori-Teori Psikologi.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soekanto, S. (2009). Sosiologi. Jakarta: CV Rajawali.

Sugiyono. (2009). Metode Kajian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Suhardono, E. (1994). Teori Peran (Konsep, Derivasi dan Implikasinya). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Syahadat, H. M. . (2008). Revolusi Poliitik Kaum Muda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Widjaja, A. W. (1986). Individu, Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Akademia Persindo.

Referensi

Dokumen terkait

subpage sama dengan membuat page biasa, Klik add new , tulis judul subpage , dan kemudian kita harus memilih nama parent page yang akan kita gunakan1. (lihat

Di sisi lain, ditemukan indikasi lain pada aspek prestasi belajar bahwa bagi dosen yang tidak berlatar belakang keilmuan yang linear dengan tingkat strata satu

Hasil uji kesukaan panelis terhadap kerenyahan puff pastry pada berbagai tingkat lama penyimpanan adonan beku pada suhu -20±2ºC menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

Penerapan Konseling Behavioral Dengan Strategi Self Management Untuk Mneingkatkan Kemandirian Belajar Siswa Kelas X Akutansi 2 SMK Negeri 1 Seririt Tahun Pelajaran

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sistem instruksional pendidikan kewarganegaraan di sekolah menengah atas dengan menggunakan model

STUDI PEMBINAAN KETERAMPILAN MEMBACA BAGI SISWA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BEBAHASA ARAB. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Selain itu sebagian besar perawat pelaksana merasakan beban kerja tinggi dibandingkan dengan perawat primer hal ini sesuai dengan teori bahwa perawat pelaksana adalah

Hasil uji hipotesis menunjukkan taraf nyata α = 0,05 diperoleh P-value = 0,002 atau tolak Ho, artinya hasil belajar matematika Peserta Didik yang