• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Kecerdasan Adversitas Dengan Stres Kerja Perawat Rsud Dr. Moewardi Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Antara Kecerdasan Adversitas Dengan Stres Kerja Perawat Rsud Dr. Moewardi Surakarta"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN ADVERSITAS DENGAN STRES KERJA PERAWAT RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi

Oleh:

DEVITA LAURENSIA F 100 140 163

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018

(2)
(3)
(4)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam publikasi ilmiah ini tidak

terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu

perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis

diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya di atas,

maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.

Surakarta, 2 April 2018 Yang menyatakan,

DEVITA LAURENSIA F 100 140 030

(5)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN ADVERSITAS DENGAN STRES KERJA PERAWAT RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja perawat RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Hipotesis yang diajukan yaitu ada hubungan negatif antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja perawat RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah proportional random sampling. Metode pengumpulan data menggunakan pendekatan kuantitatif dengan alat ukur skala kecerdasan adversitas dan skala stres kerja. Sedangkan analisis data dilakukan dengan analisis nonparametric Spearman’s rho menggunakan program bantu SPSS for 16 windows. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,145; signifikansi (p) sebesar 0,02 (p ≤ 0,05) yang artinya terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja perawat RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Sumbangan efektif atau peranan kecerdasan adversitas terhadap stres kerja sebesar 2,1%, sisanya 97,9% dipengaruhi oleh faktor lain. Variabel kecerdasan adversitas memiliki rerata empirik (RE) sebesar 59,02 sehingga memiliki kategori yang tergolong tinggi, sedangkan variabel stres kerja memiliki rerata empirik (RE) sebesar 40,35 yang memiliki kategori yang tergolong rendah.

Kata kunci: Kecerdasan adversitas, stres kerja, perawat ABSTRACT

This study aims to determine the relationship between adversity quotient with work stress of nurses RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Hypothesis proposed that there is a negative relationship between adversity quotient with work stress of nurses RSUD Dr. Moewardi Surakarta. The sampling technique used in this study is proportional random sampling. Methods of data collection using quantitative approach with measuring scale of adversity quotient and work stress scale. While data analysis is done by nonparametric Spearman’s rho analysis using SPSS for 16 windows help program. Based on the results of data analysis obtained correlation coefficient of -0.145; significance (p) of 0.02 (p ≤ 0.05) which means there is a significant negative relationship between adversity quotient with work stress nurses RSUD Dr. Moewardi Surakarta. The effective contribution or the role of adversity quotient on job stress is 2.1%, the rest 97.9% is influenced by other factors. Adversity quotient variables have empirical mean (RE) equal to 59,02 so have high category, whereas work stress variable has empirik mean (RE) equal to 40,35 which have low category.

(6)

1. PENDAHULUAN

Menurut Awosusi dan Jegede (2011), keperawatan adalah profesi kesehatan yang difokuskan untuk melakukan perawatan pada individu, keluarga, dan masyarakat, sehingga mereka bisa membantu memulihkan kesehatan dan kualitas hidup yang baik dari lahir sampai mati. Perawat memiliki tugas yang berbeda – beda pada masing – masing layanan rawat inap, rawat jalan, dan pelayanan gawat darurat. Perawat yang ada di rumah sakit juga bertanggung jawab atas kesehatan pasien.

Setiap lingkungan kerja terutama di dalam pengaturan rumah sakit perlu kondusif, ramah dan bebas dari stres serta mempromosikan perawatan berkualitas dan kesejahteraan pekerja layanan kesehatan yang tuntutan pekerjaannya meningkat dari hari ke hari. Stres dianggap sebagai bagian normal kehidupan yang kadang-kadang diperlukan sebagai dorongan untuk meningkatkan kapasitas yang ada dalam diri, tapi bila dialami dalam jangka waktu yang lama, hal itu akan merugikan kesehatan yang mengarah pada penurunan produktivitas kerja (Ojekou & Dorothy, 2015).

Stres kerja pada perawat juga terjadi di Indonesia. Sebesar 44% perawat pelaksana di ruang rawat inap di Rumah Sakit Husada mengalami stres kerja. Terdapat 51, 2% perawat di Intensive Care Unit (ICU) dan Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Husada mengalami stres kerja dengan penyebab yang beragam, dan 4,8% perawat lainnya tidak mengalami stres kerja (Yana, 2014). Widyasrini (2013) menemukan di RS Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta terdapat 26 perawat (81,25%) yang dikategorikan mengalami stres kerja berat dan 6 perawat (18,75%) yang dikategorikan mengalami stres kerja ringan. Jika hal ini dibiarkan tentunya akan menimbulkan dampak yang lebih buruk.

Penelitian yang dilakukan oleh Ismirani (2011) menunjukkan bahwa variabel kecerdasan adversitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap stres kerja, jadi semakin tinggi kecerdasan adversitas maka semakin rendah stres kerjanya. Jika dilihat dari hasil presentasi variabel kecerdasan adversitas, sebagian besar Agen Asuransi Jiwa Bersama 9 BUMIPUTERA 1912 memiliki kecerdasan adversitas yang tergolong tinggi dengan presentasi sebesar 7%.

(7)

Berdasarkan wawancara awal yang telah dilakukan terhadap kepala bagian Diklit di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada 21 September 2017, perawat rawat inap mengalami stres kerja saat menghadapi pasien yang ada di ruangan tersebut, dikarenakan 1 perawat menangani 10 pasien sekaligus. Perawat IGD yang hanya menangani 1 pasien juga mengalami stres kerja karena pasien yang masuk di IGD adalah pasien darurat yang butuh penanganan khusus. Selain itu, wawancara juga dilakukan terhadap kepala perawat High Care Unit (HCU) pada 25 September 2017, ia mengatakan bahwa perawat yang ada di HCU mengalami stres kerja. Stres kerja ini dikarenakan adanya beban kerja yang overload terjadi saat terdapat beberapa pasien membutuhkan penanganan yang ekstra tetapi jumlah perawat kurang memadahi. Hal ini menyebabkan perawat harus bekerja lebih. Konflik antar perawat juga terjadi misalnya perawat shift pagi lupa menuliskan penanganan apa saja yang telah diberikan kepada pasien, sehingga perawat shift sore bingung harus melakukan tindakan apa. Adanya tuntutan yang diberikan dari rumah sakit terkait SOP Keperawatan yang harus dipatuhi oleh perawat membuat perawat merasa tertekan karena banyaknya peraturan yang harus dijalankan. Hal ini juga belum ditambah dengan komplain dari pasien maupun keluarga pasien mengenai fasilitas dan penanganan yang ada di dalam rumah sakit. Di dalam HCU memiliki kapasitas 10 pasien yang di dalamnya terdapat 22 perawat. Dimana satu pasien ditangani oleh 2 – 3 perawat.

Perawat mendapat banyak tuntutan dari lingkungan rumah sakit, seperti tuntutan untuk bekerja secara profesional, jadwal yang tidak teratur, beban kerja yang berat, dan harapan peran yang lebih tinggi. Oleh karena itu, untuk meringankan beban fisik dan kesulitan yang dialami perawat perlu diadakan perbaikan lingkungan kerja dan menerapkan program stress management yang dapat mengurangi beban psikologis di tempat kerja. Adanya program seperti itu dapat membantu meningkatkan kecerdasan adversitas perawat dalam mengurangi stres kerja dan membantu mengurangi tingkat turnover. Hal ini juga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi personal dan pekerjaan, meningkatkan kinerja, dan menciptakan perbaikan dalam layanan medis (Woo & Song, 2015).

(8)

Terdapat perilaku yang muncul saat perawat mengalami stres kerja misalnya seperti cemas, gugup, tekanan darah meningkat, dan adanya gangguan pencernaan. Gejala tersebut juga dapat muncul pada kondisi mental tertentu misalnya emosi yang tidak stabil, sulit tidur, agresif, mudah marah, putus asa, dan sikap yang kurang baik (Cahyani, 2017).

Menurut Robbins dan Judge (2008), stres adalah suatu kondisi dimana individu dihadapkan pada suatu tuntutan yang berkaitan dengan apa yang di inginkan, dan hasilnya dipersepsi sebagai suatu hal yang tidak pasti. Menurut Mangkunegara (2012) stres kerja merupakan saat dimana seseorang mengalami tekanan dalam menghadapi pekerjaan. Gejala stres yang ditimbulkan seperti ketidakstabilan emosi, perasaan yang kacau, sering menyendiri, tidak memiliki kualitas tidur yang cukup, sering merokok, cemas, tekanan darah meningkat, dan mengalami gangguan pencernaan. Menurut Wartono (2017), stres kerja merupakan perasaan tertekan yang dialami oleh karyawan karena tugas pekerjaan yang diberikan tidak mampu dikerjakan dengan baik. Ketika karyawan tidak mampu mengerjakan tuntutan pekerjaan, maka disinilah stres akan muncul. Hal yang dapat memicu timbulnya stres pada karyawan adalah kurangnya waktu dalam menyelesaikan tugas, tanggung jawab pekerjaan tidak jelas, dan tidak ada fasilitas pendukung dalam melakukan pekerjaan.

Robbins dan Judge (2008) mengungkapkan terdapat 3 aspek stres kerja yaitu gejala fisiologis, gejala psikologis, dan gejala perilaku. Anoraga (2009) mengungkapkan 3 aspek stres kerja yaitu gejala fisik, gejala psikologis, dan gejala sosial. Faktor yang mempengaruhi stres kerja menurut Robbins dan Judge (2008) yaitu faktor lingkungan; faktor organisasional yang terbagi menjadi tuntutan tugas, tuntutan peran, dan tuntutan interpersonal; dan faktor pribadi. Sedangkan menurut Mohammad Surya (dalam Triatna, 2015) mengungkapkan 3 faktor yang dapat menimbulkan stres kerja yaitu lingkungan kerja, kondisi – kondisi di luar kerja, dan diri pribadi. Munandar (2001) mengungkapkan terdapat 7 faktor yang mempengaruhi stres kerja yaitu faktor instrinsik dalam pekerjaan, peran individu dalam organisasi, pengembangan karier, hubungan dalam

(9)

peekrjaan, struktur dan iklim organisasi, tuntutan dari luar organisasi atau pekerjaan, dan ciri individu.

Pada sebuah organisasi, setiap orang adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri. Aspek IQ, EQ dan SQ dianggap perlu dimiliki oleh seseorang. Bahkan, ada satu lagi yang juga perlu dimiliki seseorang yakni Adversity Quotient (AQ) karena di situlah kecerdasan seseorang dalam menghadapi masalah dan kesulitan diuji. Seorang yang bekerjahanya mengandalkan IQ saja, maka orientasi kerjanya sebatas pada hal–hal yang berlandaskan pada pikiran saja. Orang tersebut akan mengabaikan hal–hal yang bersifat spiritualitas dan sentuhan hati nurani karena tujuan utamanya sebatas mencari kepuasan materiil dan duniawi. Nilai-nilai AQ menjadi pelengkap dari keseluruhan aspek. Dengan AQ yang tinggi, seseorang akan mampu menghadapi rintangan atau halangan yang menghadang dalam mencapai tujuan (Tian & Fan, 2014).

Kecerdasan adversitas (AQ) dicetuskan pertama kali oleh Paul G. Stoltz. Stoltz (2004) menganggap bahwa kesuksesan seseorang tidak cukup diramalkan melalui IQ dan EQ yang dimiliki. Stoltz (2004) mendefinisikan kecerdasan adversitas sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk diselesaikan.

Kecerdasan adversitas merupakan suatu kemampuan untuk menghadapi kesulitan dalam hidup seseorang. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas yang baik mampu meraih tujuan dalam hidupnya. Terdapat beberapa komponen yang digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang ketika menghadapi kesulitan dalam hidup yaitu; harga diri, motivasi, kreativitas, optimisme, dan kestabilan emosi (Parvathy & Praseeda M, 2014).

Kecerdasan adversitas merupakan suatu kemampuan yang dapat mengukur cara seseorang dalam bertindak dan mengatasi keadaan buruk. Kecerdasan adversitas akan membantu meramalkan siapa yang dapat berkembang ketika menghadapi kesulitan. Adanya kecerdasan adversitas dapat

(10)

yang tidak bisa mengatasi kesulitan bisa mudah terbebani dan emosional, kemudian menyerah dan berhenti mencoba (Vinas & Aquino-Malabanan, 2015).

Stoltz (2004) mengungkapkan bahwa terdapat 4 dimensi yang mempengaruhi kecerdasan adversitas seseorang yaitu control (kendali), origin and ownership (asal usul dan pengakuan), reach (jangkauan),dan endurance (daya tahan). Parvathy & Praseeda (2014) dan Phoolka (2012) juga mengungkapkan dimensi dari kecerdasan adversitas sama seperti yang dikemukakan oleh Stoltz (2004). Stoltz (2004) memaparkan bahwa faktor yang mempengaruhi kecerdasan adversitas yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, pengambilan resiko, perbaikan, ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan. Penelitian yang dilakukan oleh Parvathy dan Praseeda (2014) dan Shen (2014) juga memaparkan bahwa faktor yang mempengaruhi kecerdasan adversitas sama seperti yang dikemukakan oleh Stoltz (2004).

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti yaitu “Apakah ada hubungan antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja perawat RSUD Dr. Moewardi Surakarta?” Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja perawat RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Hipotesis dari penelitian ini yaitu ada hubungan negatif antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja perawat RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Semakin tinggi kecerdasan adversitas seorang perawat maka akan semakin rendah stres kerjanya, begitu pula sebaliknya.

2. METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah 1.115 perawat di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Sampel yang diambil untuk dijadikan penelitian yaitu 200 perawat RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan teknik proportional random sampling. Cara pengambilan sampel ini, peneliti meminta data jumlah perawat per unit yang ada di rumah sakit yang boleh di teliti. Setelah itu peneliti mengambil prosentase sebesar 6,7% dari masing – masing unit. Skala yang digunakan untuk penelitian

(11)

ini yaitu skala kecerdasan adversitas dari teori Stoltz (2004) dan skala stres kerja dari teori Robbins & Judge (2008).

Tabel 1. Blue Print Skala Stres Kerja

No Aspek Nomor – nomor aitem Jumlah

Favorable Unfavorable

1. Fisiologis 4, 13, 16, 17 10, 11, 19 7 2. Psikologis 2, 5, 14, 18 7, 8 6 3. Perilaku 1, 3, 15 6, 9, 12, 20 7

Jumlah 11 9 20

Tabel 2. Blue Print Skala Kecerdasan Adversitas

No Aspek Nomor – nomor aitem Jumlah

Favorable Unfavorable 1. Control 4, 11, 16, 17 12, 15 6 2. Origin & Ownership 3, 19 7, 18 4 3. Reach 5, 6, 13 10 4 4. Endurance 1, 9, 14 2, 8 5 Jumlah 12 7 19

Skor untuk masing-masing aitem bergerak dari 1 sampai 4 dengan memperhatikan sifat aitem favorable dan unfavorable. Skoring untuk jawaban aitem yang bersifat favorable yaitu Sangat Sesuai (SS) skor 4, Sesuai (S) skor 3, Tidak sesuai (TS) skor 2, Sangat tidak Sesuai (STS) skor 1. Sedangkan untuk pernyataan yang tergolong unfavorable sebagai berikut : Sangat Sesuai (SS) skor 1, Sesuai (S) skor 2, Tidak sesuai (TS) skor 3, Sangat Tidak Sesuai (STS) skor 4.

Kedua skala telah melalui uji validitas dan uji reliabilitas. Berdasarkan hasil perhitungan dengan formula Aiken’s dan uji reliabilitas diperoleh 19 aitem skala kecerdasan adversitas, 20 aitem skala stres kerja. Koefisien validitas skala kecerdasan adversitas bergerak dari 0,667 sampai dengan 0,778 dan reliabilitas sebesar 0,827; sedangkan koefisian validitas skala stres kerja bergerak dari 0,667

(12)

sampai dengan 0,778 dan reliabilitas sebesar 0,663. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi nonparametric Spearman’s rho.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian menggunakan analisis nonparametric Spearman’s rho dengan menggunakan bantuan program SPSS 16.0 for windows diperoleh hasil koefisien korelasi (rxy) = -0,145 dengan sig. = 0,02; (p ≤ 0,05). Hasil ini menunjukkan ada hubungan negatif yang signifikan antara variabel kecerdasan adversitas dengan stres kerja. Artinya jika seseorang memiliki kecerdasan adversitas yang tinggi, maka stres kerja semakin rendah. Sebaliknya, jika seseorang memiliki kecerdasan adversitas yang rendah, maka stres kerja akan semakin tinggi.

Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi stres kerja menurut Robbins dan Judge (2008) yaitu faktor lingkungan, faktor organisasional, dan faktor pribadi. Pada faktor pribadi ini merupakan faktor individu yang signifikan dapat memengaruhi stres adalah watak dasar dari seseorang. Apabila individu memiliki sebuah karakteristik dalam diri untuk melawan suatu kejadian yang menyebabkan stres dan tetap dapat berkomitmen terhadap aktivitas dalam kehidupannya, individu tersebut akan mampu menetralisir stres kerja yang dialaminya. Selain itu, gejala stres yang dialami individu tersebut akan diprediksi dapat berkurang apabila individu dapat memberikan respon yang positif dan memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu kesulitan dengan baik, hal ini disebut sebagai kecerdasan adversitas. Seperti yang dikemukakan oleh Parvathy dan Praseeda M, (2014) kecerdasan adversitas merupakan suatu kemampuan untuk menghadapi kesulitan dalam hidup seseorang.

Perawat yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi menjadikan perawat tersebut memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi masalah serta mengambil tindakan yang tepat, dan mengetahui batasan jangkauan masalah yang dihadapi agar mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan. Hal ini sesuai dengan pendapat Tian & Fan (2014) yang menyatakan bahwa jika seseorang memiliki

(13)

kecerdasan adversitas yang tinggi, maka ia akan mampu menghadapi rintangan atau halangan yang menghadang dalam mencapai tujuan.

Perawat yang memiliki stres kerja rendah berarti perawat tersebut memiliki tekanan darah yang normal yang mengakibatkan perawat menjadi semangat dalam bekerja, sehingga produktivitas kerjanya meningkat dan tidak menunda pekerjaan yang ada. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang diungkap oleh Wartono (2017), jika seseorang mengalami stres kerja, maka tidak memiliki waktu yang cukup dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawab pekerjaan tidak jelas. Sebaliknya, jika seseorang memiliki kemampuan dalam mengelola stres, maka seseorang tersebut akan bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas tepat waktu. Di dukung juga dengan hasil penelitian Cahyani (2017) bahwa terdapat perilaku yang muncul saat perawat mengalami stres kerja misalnya seperti cemas, gugup, tekanan darah meningkat, dan adanya gangguan pencernaan. Apabila perawat mampu mengelola stres yang dimiliki, maka tekanan darah menjadi normal, merasa bersemangat, dan tidak terjadi gangguan pencernaan.

Perawat yang memiliki kecerdasan adversitas yang tinggi dengan stres kerja yang rendah dapat dairtikan bahwa perawat tersebut memiliki kemampuan dalam mengelola masalah yang dimiliki serta menemukan solusi yang tepat dari permasalahan tersebut. Kemampuan inilah yang berperan dalam mengatasi stres kerja yang ada di lingkungan rumah sakit. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ismirani (2011) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kemampuan dalam menghadapi masalah yang dimiliki oleh seseorang maka semakin rendah pula stres kerjanya.

Variabel kecerdasan adversitas mempunyai rerata empirik (RE) sebesar 59,02 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 47,5. Berdasarkan hasil perhitungan frekuensi dan prosentase diketahui dari 200 subjek terdapat 0% (0 orang) yang memiliki kecerdasan adversitas sangat rendah, 0% (0 orang) yang memiliki kecerdasan adversitas rendah, 12,5% (25 orang) yang memiliki kecerdasan adversitas sedang, 75% (150 orang) yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi

(14)

Prosentase terbanyak berada pada kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perawat memiliki kemampuan dalam menghadapi masalah yang dimiliki dan mampu mengendalikan situasi tersebut. Hal tersebut dapat diartikan bahwa perawat RSUD Dr. Moewardi Surakarta cukup memenuhi aspek-aspek kecerdasan adversitas yang dikemukakan oleh Stoltz (2004) yaitu (control) mampu mengendalikan masalah dan mengambil tindakan yang tepat, (origin and ownership) mencari asal usul permasalahan dan bisa memperbaiki keadaan, (reach) membatasi jangkauan masalah pada peristiwa yang dihadapi, dan (endurance) mampu bertahan menghadapi kesulitan.

Variabel stres kerja memiliki rerata empirik (RE) sebesar 40,35 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 50. Berdasarkan hasil perhitungan frekuensi dan prosentase diketahui dari 200 subjek terdapat 2% (4 orang) yang memiliki stres kerja sangat rendah, 77,5% (155 orang) yang memiliki stres kerja rendah, 20,5% (41 orang) yang memiliki stres kerja sedang, 0% (0 orang) yang memiliki stres kerja tinggi dan 0% (0 orang) yang memiliki stres kerja sangat tinggi. Prosentase terbanyak berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perawat tidak memiliki perasaan tertekan yang dialami saat dihadapkan pada suatu tuntutan yang kondisinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal tersebut dapat diartikan bahwa perawat RSUD Dr. Moewardi Surakarta cukup memenuhi aspek-aspek stres kerja yang dikemukakan oleh Robbins and Judge (2008) yaitu fisiologis (sistem metabolisme tubuh lancar, tekanan darah dan laju detak jantung normal), psikologis (tidak menunda pekerjaan, merasa bersemangat dalam bekerja,dan tidak mudah marah), dan perilaku (produktivitas kerja meningkat, pola makan teratur, dan pola tidur normal).

Kecerdasan adversitas dalam penelitian ini memiliki sumbangan efektif (SE) sebesar 2,1% sehingga 97,9 % sisanya di pengaruhi variabel lainnya. Faktor lain yang mempengaruhi stres kerja selain kecerdasan adversitas yaitu faktor-faktor instrinsik dalam pekerjaan, peran individu dalam organisasi, pengembangan karier, hubungan dalam pekerjaan, struktur dan iklim organisasi, tuntutan dari luar pekerjaan, dan ciri individu (Munandar, 2001). Dapat disimpulkan bahwa

(15)

kecerdasan adversitas dengan segala aspek yang ada di dalamnya memberi kontribusi terhadap stres kerja sebesar 2,1%.

Dalam penelitian ini, penulis memiliki keterbatasan yang harus dipertimbangkan untuk penelitian mendatang. Pada penelitian yang telah dilaksanakan, peneliti tidak bisa mengambil seluruh bagian ruangan di rumah sakit, melainkan hanya maksimal 15 ruangan saja yang boleh diambil sebagai sampel penelitian berdasar peraturan yang ada di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pada beberapa ruangan, proses penyebaran kuesioner harus dilakukan oleh pihak kepala ruangan agar tidak mengganggu proses pelayanan perawat terhadap pasien. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini hanya skala sehingga kurang dapat mengungkap secara mendalam, oleh karena itu perlu melengkapi dengan teknik pengumpulan data yang lain seperti teknik wawancara.

4. PENUTUP

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kecerdasan adversitas seseorang, maka semakin rendah stres kerja yang dimiliki. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah kecerdasan adversitas seseorang, maka semakin tinggi stres kerja yang dimiliki. Tingkat variabel kecerdasan adversitas perawat masuk dalam kategori tinggi, sedangkan tingkat variabel stres kerja perawat masuk dalam kategori rendah. Sumbangan efektif variabel kecerdasan adversitas terhadap stres kerja sebesar 2,1%, ditunjukkan oleh korelasi (r2) = 0,021. Hal ini berarti masih terdapat 97,9% faktor lain yang mempengaruhi stres kerja.

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan yang diperoleh penulis selama melakukan penelitian, maka penulis memberikan saran yang diharapkan dapat bermanfaat, yaitu: 1) Bagi rumah sakit disarankan untuk memberikan sosialisasi mengenai program untuk mengelola stres kerja dengan cara meningkatkan kecerdasan adversitas perawat. Sosialisasi ini misalnya meliputi mengdentifikasi masalah dan cara memprioritaskan penanganan masalah,

(16)

2) Bagi perawat diharapkan dapat mempertahankan kecerdasan adversitas yang dimiliki agar terhindar dari stres kerja dengan cara belajar bertanggungjawab atas semua tindakan yang diambil, tidak mudah menyerah dan selalu termotivasi untuk menjadi lebih baik kedepannya. 3) Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti stres kerja dengan menggunakan variabel selain kecerdasan adversitas, sehingga dapat diungkap kontribusi variabel lain diluar variabel kecerdasan adversitas. Hal ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan baru mengenai stres kerja perawat. Selain itu, peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian dengan menggunakan metode pengumpulan data seperti wawancara agar data yang diperoleh lebih mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, P. (2009). Psikologi kerja. Jakarta: Rineka Cipta.

Awosusi, O. O., & Jegede, A. O. (2011). Motivation and job performances among nurses in the ekiti state environment of nigeria. International Journal of Pharma and Bio Sciences, II (2).

Cahyani, D. (2017). Pengaruh kepuasan kerja dan stres kerja terhadap kinerja perawat rumah sakit PKU muhammadiyah Yogyakarta unit 2 (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Yogyakarta.

Ismirani, M. (2013). Pengaruh religiusitas dan adversity quotient terhadap stres kerja pada agen asuransi jiwa bersama BUMIPUTERA 1912 (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Mangkunegara, A. P. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Munandar, A. S. (2001). Psikologi industri dan organisasi. Jakarta: UI-Press.

Ojekou, G. P., & Dorothy, O. T. (2015). Effect of work environment on level of work stress and burnout among nurses in a teaching hospital Nigeria. Open journal of Nursing (5).

Parvathy, U., &Praseeda M. (2014, November) Relationship between adversity quotient and academic problems among student teachers. Journal of Humanities and Social Science, XVIIII(11).

(17)

Phoolka, E. S. (2012). Adversity quotient: A new paradigm in management to explore. Journal of Social Science and Management.

Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2008). Perilaku organisasi: organizational behavior (12th ed.).(D. Angelica, R. Cahyani, & A. Rosyid, Penerj.) Jakarta: Salemba Empat.

Shen, C.Y. (2014). The relative study of gender roles, and job stress and adversity quotient. The Journal Of Global Business Management, X(1).

Stoltz, P.G. (2004). Adversity quotient: Turning obstacles into opportunities. (T. Hermaya, Trans.) Jakarta: Grasindo.

Tian, Y., & Fan, X. (2014). Adversity quotients, environmental variables and career adaptability in student nurses. Journal of Vocational Behavior (85).

Triatna, C. (2015). Perilaku organisasi. Bandung: PT remaja rosdakarya.

Vinas, D. K., & Aquin-Malabanan, M. G. (2015, July 3). Adversity quotient and coping strategies of college students in lyceum of the philippines university. Asia Pacific Journal of Education, Arts and Science,II(3).

Wartono, T. (2017). Pengaruh stres kerja terhadap kinerja karyawan (studi pada karyawan majalah mother and baby.Jurnal Ilmiah Prodi Manajemen Universitas Pamulang, IV (2).

Widyasrini, J. (2013). Pengaruh shift kerja terhadap tingkat stres kerja pada perawat rawat inap rumah sakit Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi. Universitas Sebelas Maret.

Woo, H. Y., & Song, J. H. (2015). The factors affecting the adversity quotient of nurse and office workers. International Journal of Bio – Science and Bio – Technology, VII (5).

Yana, D. (2014). Stres kerja pada perawat instalasi gawat darurat di RSUD pasar rebo. Jurnal ARSI, I (2), 107-115

Gambar

Tabel 2. Blue Print Skala Kecerdasan Adversitas

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan Evaluasi Kualifikasi Paket Pekerjaan Pengembangan Fasyankes di 5 (lima) Regional dukungan Pelaksanaan KPS - Biaya Pengawasan FASKES RSUD Nabire dengan (Kode

Hasil penelitian pada 20 orang wanita yang mengikuti terapi akupunktur selama 2 paket terapi didapatkan hasil penurunan berat badan terbanyak adalah 4-6 kg (70 %), pengurangan

Istri saya khususnya sangat senang melakukan seperti ini bahwa Allah Ta’ala pada tahun ini telah memberikan taufik kepada kami untuk memberikan pengorbanan yang baik dan

masing berasal dari kelas VII A dan VIII B maka dari data yang telah diambil peneliti dapat dijelaskan sebagai berikut bahwa penendalian sosial yang dilakukan

Setelah semua syarat materiil dipenuhi maka PPAT akan membuatkan akta jual belinya, sesuai dengan ketentuan Pasal 37 PP 24/1997 harus dibuat oleh PPAT. Akta peralihan

Data dikumpulkan menggunakan kuesioner dan teknik yang digunakan dari Partial least Square (PLS). Hasilnya menunjukkan bahwa 1) stres pekerjaan memiliki efek positif secara

7 Saya akan menghentikan kegiatan belajar, jika ada hal menarik sedang dibicarakan oleh teman- teman 8 Saya segera mengerjakan tugas jika ada waktu luang 9 Saya suka menunggu

Al-Sib ā ’ ī , meskipun di satu sisi menyatakan bahwa Islam memberikan hak-hak yang sama kepada wanita dan pria di bidang politik, namun di sisi lain beliau menolak dengan