• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepemimpinan Berkarakter Sebuah Kajian a

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kepemimpinan Berkarakter Sebuah Kajian a"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Kepemimpinan Berkarakter

(Sebuah Kajian awal Untuk Fondasi Pendidikan Karakter di

Indonesia)

Oleh: Dr. H. Johar Permana, MA dan Cepi Triatna, S.Pd., M.Pd.

A. Pendahuluan

Kepemimpinan pendidikan merupakan istilah yang sering dikaji dalam berbagai referensi akademik, khususnya dalam kajian “Administrasi Pendidikan.” Apabila ditelusuri, kajian ini mengarah pada makna kepemimpinan di sekolah atau di lembaga pendidikan, yaitu kepemimpinan kepala sekolah dan guru. Kepemimpinan kepala sekolah adalah kepemimpinan level sekolah sedangkan kepemimpinan guru adalah kepemimpinan level kelas. Kepemimpinan pada organisasi pendidikan dan organisasi non-pendidikan seharusnya memberikan model kepemimpinan yang berbeda dikarenakan konteks organisasi yang berbeda. Semisal, kepemimpinan di bank tentu akan berbeda dengan kepemimpinan di SD, demikian halnya kepemimpinan di perusahaan sangat berbeda dengan kepemimpinan di SMP. Perbedaan ini tidak semata karena karakteristik organisasi yang berbeda, tetapi juga karena layanan jasa pada lembaga pendidikan salah satu prosesnya adalah kepemimpinan itu sendiri. Kajian ini akan memposisikan tentang hakikat kepemimpinan di dalam pendidikan, khususnya pendidikan dalam konteks Indonesia saat ini.

(2)

misalnya pendidikan dasar sembilan (9) tahun. Setelah seorang anak menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun, barulah ia dapat merasakan keuntungan investasi selama sembilan tahun mengalami proses pendidikan, yaitu enam tahun di SD dan tiga tahun di SMP. Keuntungan dari investasi selama 9 tahun proses, saat ini banyak banyak diindikasikan/diukur dengan ijazah SMP yang diterima anak dan/atau keterserapan anak pada sekolah menengah atas yang dikategorikan pavorit. Walaupun demikian, ini hanyalah sebagian kecil dari keuntungan investasi pendidikan dasar. Hanya saja jangan sampai kita melupakan yang pokok, yaitu kuatnya fondasi perilaku yang mencerminakan sebagai anggota keluarga, masyarakat, Negara dan dunia. Dengan demikian, perilaku masyarakat saat ini merupakan hasil pendidikan di masa lalu, antara 9 sampai dengan 16 tahun ke belakang. Pengamatan terhadap kecenderungan perilaku masyarakat saat ini banyak dinilai masyarakat mengalami penurunan moral (akhlak). Hal ini tentu saja perlu dianalisis lebih lanjut, apakah perilaku masyarakat saat ini dipengaruhi oleh perilaku guru, kepala sekolah, dan warga sekolah lainnya selama ia mengikuti proses pendidikan, baik di SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, maupun di perguruan tinggi (PT).

B. Analisis Kritis Masalah Penting Untuk Pendidikan Indonesia Saat ini

(3)

peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Undang-undang tersebut seharusnya menjadi suatu landasan bagi proses pendidikan yang berlangsung di Indonesia semenjak diberlakukan. Namun demikian, hal ini tentu berbeda dengan apa yang dipraktikkan oleh para pendidik di sekolah saat ini. Satu pertanyaan untuk menguji apakah pendidikan di Indonesia secara hakiki dilandaskan pada UUSPN No. 20 tahun 2003 adalah “apakah proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru saat ini ditujukan untuk menjadikan potensi peserta didik berkembang sebagaimana mestinya atau ditujukan untuk menyampaikan materi yang dipersepsi oleh guru-guru menjadi tugas pokok guru di sekolah?” tentu saja kedua aktivitas yang dilakukan guru sebagaimana ditanyakan di atas berbeda dalam bentuk layanan terhadap peserta didik. Analisis tentang hal ini merupakan faktor pertama yang harus dikaji untuk mengidentifikasi kesesuaian antara kenyataan dengan peraturan yang ada. Tentu saja UUSPN No. 20/2003 ini memiliki kesesuaian dengan kajian teori pendidikan yang ada, dimana pendidikan ditujukan untuk perubahan perilaku peserta didik.

(4)

Proses pendidikan yang benar (pedagogis) akan membentengi perilaku seseorang dari berperilaku tidak sesuai, baik tidak sesuai dengan norma, peraturan, kesepakatan, maupun agama. Seseorang akan “merasa hidup” ketika ia hidup dalam kondisi pas-pasan tetapi jujur, daripada hidup mewah tapi hasil dari korupsi, jika proses pendidikan memberikan penguatan tentang nilai kejujuran, keikhlasan dan kesederhanaan. Namun jika ketiga nilai tersebut tidak diperkuat dalam proses belajar anak selama ia mengikuti proses pendidikan (SD, SMP, SMA, dan PT) maka ia akan dengan mudah melakukan korupsi ketika ia memiliki peluang. Persoalannya adalah banyak orang-orang yang korupsi saat ini merupakan orang yang berpendidikan, dalam arti mereka telah menamatkan pendidikan di SD, SMP, SMA, bahkan sampai pada perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ada yang salah dengan proses pendidikan kita saat ini. Khususnya dilihat dari “apakah pendidikan kita berorientasi pada penguatan potensi (karakter bangsa Indonesia) atau berorientasi pada penguasaan materi yang ada di mata pelajaran saja?,” sehingga perilaku masyarakat ini rentan dengan kejahatan, asusila, amoral.

Perubahan perilaku manusia bukan suatu hal yang kebetulan, tetapi merupakan hasil dari proses pendidikan. Dalam arti yang luas, pendidikan dimaknai sebagai proses kehidupan itu sendiri, dimana seseorang belajar dari apa yang dialaminya selama ia hidup. Dalam konteks ini, teori “Social learning” sebagaimana diungkapkan oleh Albert Bandura relevan untuk menjadi alat untuk menganalisis perubahan perilaku seseorang, yakni manusia belajar dari lingkungan dimana ia berada. Dengan demikian dapat ditarik suatu asumsi bahwa besar kecilnya pendidikan yang terjadi antara 9 s.d 16 ke belakang mempengaruhi perilaku masyarakat saat ini. Jika kecenderungan perilaku masyarakat saat ini menunjukkan banyak kondisi yang tidak sesuai dengan harapan maka dapat diduga bahwa pendidikan di masa lalu tidak memiliki daya ubah terhadap perilaku peserta didik. Yang menjadi daya ubah terhadap perilaku peserta didik adalah pengalaman peserta didik selama ia mengalami proses belajar. Dengan kata lain, esensinya adalah pengalaman anak ketika berinterkasi dengan lingkungan selama proses pendidikan. Sejauhmana baik-buruknya pengalaman yang mereka alami sejauh itu pula dampaknya terhadap perilaku mereka saat ini.

(5)

sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan akan terakumulasi pada suatu waktu. Pemecahan masalah ini akan coba penulis analisis melalui kepemimpinan berkarakter guru dan kepala sekolah.

C. Memaknai Pendidikan Karakter dan Kepemimpinan Berkarakter Pendidikan karakter sebagaimana menjadi ramai saat ini tidak sekedar dipandang sebagai salah satu program prioritas pemerintah saat ini tetapi juga merupakan desakan masyarakat yang sudah klimaks dikarenakan hasil pendidikan berupa perilaku masyarakat saat ini banyak yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat itu sendiri. Beberapa pihak baik perorangan maupun kelembagaan telah merespon hal ini secara positif. mari kita kaji pengertian/definisi/pemaknaan dari pihak-pihak tertentu terhadap pendidikan karakter.

Pusat Pengkajian Pedagogik UPI (2010:6) mendefinisikan pendidikan karakter dalam setting sekolah sebagai “pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai yang dirujuk oleh sekolah.” Definisi lainnya dikemukakan oleh Fakry Gaffar (2010:1) “Sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.” Sedangkan menurut Ratna Megawangi (2004:95) pendidikan karakter “sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.” Definisi lainnya dikemukakan oleh akhmad Sudrajat (2010) “Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi

manusia insan kamil.”

(6)

Berbagai definisi mengenai pendidikan karakter di atas menunjukkan bahwa proses pendidikan merupakan suatu proses yang alamiah yang digambarkan oleh Pusat Pengkajian pedagogik UPI sebagai proses penguatan dan pengembangan dan dijelaskan oleh Gaffar (2010:1) sebagai proses transformasi. Proses alamiah ini merupakan proses yang mengharuskan pengalaman anak secara alamiah (bukan dibuat-buat), seperti anak belajar kejujuran dari suatu lingkungan yang mempraktikkan kejujuran. Praktik inilah yang benar-benar memberikan penguatan tentang kejujuran kepada anak. Demikian halnya jika proses belajar yang dialami anak menguatkan praktik pura-pura jujur, dengan sendirinya yang akan menguat pada perilaku anak adalah “pandai berpura-pura,” bukan tekun dalam kejujuran.

Analisis penulis menguatkan bahwa karakter manusia saat ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang dialami oleh dirinya baik dari lingkungan kerja, lingkungan pendidikan sekolah, lingkungan keluarga, dan/atau lingkungan masyarakat. Namun satu hal yang lebih pasti bahwa besar kecilnya pengaruh berbagai pengalaman tersebut, sangat dipengaruhi oleh keberhasilan proses pendidikan sampai pada pendidikan dasarnya. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan pada usia 0 – 15 tahun (sampai pada pendidikan dasar).

Apa sebenarnya yang menguatkan perilaku seseorang, sehingga ia mengimitasi/menuruti/melaksanakan perilaku baik atau buruk? Mari kita menganalisis hal ini dari kacamata teori perubahan perilaku.

1. 1. Perubahan Perilaku Menurut Teori Social Learning dari Albert Bandura

(7)

lingkungannya. Dalam persfektif yang lebih khusus, seseorang merekontruksi apa yang dilihatnya menjadi suatu makna (meaning) bagi dirinya. Jika yang bersangkutan merasakahan hal tersebut menarik dan menguntungkan bagi dirinya, dengan sendirinya perilaku tersebut akan ditirunya. Peniruan ini dapat terjadi dalam rentangan 1-100%. Artinya sangat memungkinkan peniruan itu seperti orang yang ditirunya atau memungkinkan peniruan itu dilakukan dengan modifikasi perilaku.

Teori belajar social memandang perilaku manusia sebagai saling interaksi secara berkelanjutan antara pengaruh kognitif, perilaku, dan lingkungan. Interaksi inilah yang mengakibatkan perubahan perilaku seseorang. Dalam kajian keseharian, sering diungkapkan istilah “siapa yang berteman dengan pedagang parfum maka ia akan terbawa wangi.”

Perubahan perilaku peserta didik berubahan sesuai dengan apa yang dia pelajari dari lingkungannya. Mereka secara aktif merekontruksi lingkungan setiap saat. Karena itu patut menjadi perhatian para pendidik, apa sebenarnya yang dipelajari oleh peserta didik kita dari lingkungan kelas, sekolah, dan rumah? Apakah mereka mengimitasi/meniru suatu perilaku yang sesuai dengan nilai, norma, kebiasaan yang berlaku atau menyalahi itu semua? Proses dialog ini merupakan proses pedagogis yaitu sebuah proses menguatkan dan mengembangkan perilaku anak kepada suatu nilai dan norma yang dirujuk oleh lembaga pendidikan dimana ia berada.

1. 2. Perubahan Perilaku menurut Teori Disonansi Kognitif

(8)

dab penyediaan ruang luas untuk penerimaan melalui penghampiran bertahap.

Perilaku seseorang pada saat tertentu terjadi atau muncul karena adanya keseimbangan antara sebab/alasan dan akibat/keputusan yang diambil (consonance). Apabila terjadi stimulus dari luar yang lebih kuat maka dalam diri orang tersebut akan menjadi ketidakseimbangan (dissonance). Kalau akhirnya stimulus tersebut direspon positif (menerima dan melakukannya) maka berarti terjadi perilaku baru (hasil perubahan), dan akhirnya kembali terjadi keseimbangan lagi.

1. 3. Perubahan Perilaku Menurut Teori Fungsional

Teori ini menyarakan bahwa sikap-sikap bertugas melayani beragam kebutuhan psikologis dan bahwa perubahan sikap mempersyaratkan sebuah pemahaman mengenai tujuannya dalam kehidupan individu yang menganutnya. Kemanfaatan teori ini dibatasi oleh fakta bahwa riset sikap dalam wilayah ini belum menghasilkan sehimpunan kategori yang kondisiten yang menghubungkan sikap dengan kebutuhan-kebutuhan psikologis. Riset telah memperlihatkan bahwa sikap-sikap yang berkaitan dengan konsep-diri sering melaksanakan fungsi ego-defensif dan sikap-sikap ini sulit diubah.

Perubahan perilaku menurut teori fungsional terjadi karena adanya kebutuhan. Oleh sebab itu stimulus atau obyek perilaku harus sesuai dengan kebutuhan orang (subyek). Prinsip teori fungsional: (1) Perilaku merupakan fungsi instrumental (memenuhi kebutuhan subyek). (2) Perilaku merupakan pertahanan diri dalam menghadapi lingkungan (bila hujan, panas, dll). (3) Perilaku sebagai penerima obyek dan pemberi arti obyek (respon terhadap gejala sosial). (4) Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dalam menjawab situasi (marah, senang, dll).

Bentuk perubahan perilaku hasil belajar ini dapat diidentifikasi sebagai:

(9)

2. Keterampilan; seperti: menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.

3. Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar.

4. Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat.

5. Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).

6. Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.

7. Inhibisi (menghindari hal yang mubazir). 8. Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu.

9. Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.

10. Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.

11. Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.

12. Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.

(10)

terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.

14. Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.

Nah sekarang mari kita bahas mengenai apa itu kepemimpinan berkarakter? Dan apa kaitannya dengan pendidikan berkarakter?

Kepemimpinan berkarakter merupakan istilah yang masih sangat jarang didengar dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dan kajian akademik tentang pendidikan. Istilah ini merupakan istilah yang sering dimunculkan dalam kajian Pusat Pengkajian Pedagogik dalam kurun waktu enam bulan terakhir. Penulis mendefinisikan kepemimpinan berkarater sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orag lain yang didasarkan pada suatu nilai tertentu untuk mempengaruhi perilaku lingkungannya supaya mereka mau dan mampu melakukan suatu nilai sebagaimana dicontohkan oleh pemimpin tersebut. Kepemimpinan berkarakter bertumpu pada sejumlah nilai yang dianut pemimpin dalam mempengaruhi orang lain.

Kepemimpinan berkarakter didasarkan pada suatu asumsi bahwa perilaku manusia itu berubah karena faktor belajar (dalam arti yang luas). Belajar adalah proses seseorang memaknai/merekontruksi lingkungannya (fisik, sosial, budaya, fenomena, dll) sehingga ia memiliki suatu makna (meaning) dari hasil rekontruksi tersebut.

Gambar 1. Daya Dukung Pendidikan Karakter di Sekolah

(11)

dipandang oleh peserta didik merupakan suatu proses interaksi antara kepemimpinan kepala sekolah dengan peserta didik. Demikian halnya teguran guru kepada seorang peserta didik yang mencontek di kelas pada saat ulangan merupakan proses interkasi antara peserta didik (yang mengamati proses peneguran tersebut) dengan kepemimpinan guru. Jadi dalam arti yang luas, kepemimpinan berkarakter melibatkan semua hal yang dihasilkan oleh guru dan kepala sekolah yang kemudian akan berinterkasi/berpadu/menyatu dengan proses belajar peserta didik.

D. Karakter Kepemimpinan Pendidikan Indonesia

Berdasarkan kajian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan karakter mensyaratkan adanya kememimpinan yang berkarakter dari guru dan kepala sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Karakter dapat digambarkan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri, seperti pemarah, penabar, penyayang, dan lain sebagainya. Karakter kepemimpinan dalam kepemimpinan pendidikan memiliki kekhasan tersendiri terkait dengan peserta didik yang harus dilayani secara pedagogis. Karakter apa yang harus dimiliki oleh guru dan kepala sekolah kita di Indonesia saat ini?

Karakter yang menjadi penting dan menjadi syarat mutlak untuk terjadinya proses pendidikan karakter di sekolah-sekolah adalah kasih sayang, saling percaya, kewibawaan, dan keikhlasan. Kasih sayang merupakan dasar interaksi guru/kepala sekolah dengan peserta didik. Saling percaya merupakan syarat teknis untuk terjadinya saling pengaruh antara peserta didik dengan guru/kepala sekolah. Dan kewibawaan merupakan syarat mutlak untuk terjadinya proses transmisi dan transformasi nilai dari guru dan kepala sekolah kepada peserta didik.

1. 1. Kasih sayang

(12)

diidentikan dengan istilah “cinta kasih.” Maknanya sama yaitu suatu sifat terpuji yang mencirikan kecintaan, kemuliaan, kasih, dan sayang terhadap sesuatu (orang, binatang, tumbuhan, lingkungan). Esensi dari sifat kasih sayang adalah adalah kecintaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dimana “kasih sayang” merupakan salah satu sifat Allah SWT terhadap makhluk-Nya, yaitu “rahmaan” dan “rahiim.” Bukan saja karena makhluk-Nya menyembah-Nya, tetapi karena sifat-Nya itu, semua makhluk mendapatkan rizki (makan, minum, napas, dan lain sebagainya) tanpa pandang bulu. Karena sifat ketuhanan inilah maka manusia harus memiliki sifat kasih sayang terhadap makhluk-makhluk Allah SWT.

Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan, “kasih sayang” merupakan dasar dari interaksi antara guru/kepala sekolah dengan peserta didik. Dasar dalam hal ini adalah bahwa setiap perilaku yang dilakukan oleh guru dan kepala sekolah dalam proses pendidikan bagi peserta didik semata-mata karena kasih sayang guru/kepala sekolah terhadap peserta didik. Nilai kasih sayang ini merupakan refleksi seorang guru/kepala sekolah atas sifat Allah Yang Maha Rahmaan (kasih) dan rahiim (sayang), bukan karena ingin dipuji oleh guru lainnya, pimpinan, orang tua atau pihak lainnya.

(13)

Rasa kasih sayang guru/kepala sekolah terhadap peserta didik akan menjadi stimulus/penguat untuk kepemilikan rasa kasih sayang dan nilai-nilai positif lainnya yang dikuatkan dan ditumbuhkembangkan dalam proses pendidikan. Karena itu, tanpa adanya nilai kasih saying akan sangat memungkinkan melahirkan atau terjadi praktik pendidikan yang tidak pedagogis (demagogi/mal praktik pendidikan). Biasanya perilaku yang dominan adalah rasa marah atau cuek terhadap peserta didik. Tentu saja kedua hal ini harus dihindari oleh seorang guru/kepala sekolah.

1. 2. Saling Percaya

Saling percaya merupakan syarat untuk terjadinya proses interaksi yang saling mempengaruhi. Jika guru atau siswa tidak saling mempengaruhi, secara teknis proses belajar tidak terjadi. Dengan sendirinya anak menolak apa yang dimunculkan atau dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran.

Saling percaya merupakan sikap guru/kepala sekolah yang memandang bahwa peserta didik memiliki potensi tertentu apapun keadaan peserta didik tersebut. Esensi dari nilai saling percaya ini adalah keyakinan bahwa Allah SWT pasti memberikan yang terbaik kepada setiap hamba-Nya. Karena keyakinan inilah maka guru/kepala sekolah mempercayai peserta didik dalam berbagai potensinya, baik yang sudah teridentifikasi maupun yang belum teridentifikasi.

(14)

peserta didik tidak didasari oleh nilai saling percaya maka yang akan muncul adalah penolakan dalam kadar tertentu.

1. 3. Kewibawaan

Dalam kamus Bahasa Indonesia (2008:1814) kewibawaah memiliki arti (1) hal yang menyangkut wibawa; dan (2) kekuasaan yang diakui dan ditaati. Sedangkan wibawa memiliki makna: (1) pembawaan yang mengandung kepemimpinan sehingga dapat mempengaruhi dan menguasai orang lain; (2) kekuasaan. Pemaknaan ini memiliki kejelasan bahwa kewibawaan itu terkait dengan kepemimpinan seseorang untuk mempengaruhi orang lain.

Kewibawaan dalam konteks kepemimpinan berkarakter merupakan suatu nilai yang dilandasi oleh rasa hormat terhadap orang lain, sehingga apa yang dilakukan dan diucapkan oleh orang tersebut memiliki dampak bagi perilaku orang yang melihat dan/atau mendengarnya. Kewibawaan muncul bukan karena diucapkan oleh guru/kepala sekolah supaya mereka dihormati, tetapi merupakan suatu kondisi yang muncul karena dampak dari perilaku guru/kepala sekolah tersebut ketika berinteraksi dengan peserta didik. Dengan demikian kewibawaan bukan suatu hal yang secara otomatis ada/melekat pada jabatan guru/kepala sekolah, tetapi harus dicapai oleh guru/kepala sekolah dengan perilaku yang berwibawa.

Perilaku nerwibawa adalah perilaku yang memiliki kesesuaian dengan nilai dan norma yang dianut, memiliki kesmaan antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan. Lebih jauh, kewibawaan muncul karena ada faktor keteladanan dari guru/kepala sekolah. Keteladanan perilaku menjadi syarat penting untuk muncuulnya kewibawaan

(15)

1. Ikhlas

Ikhlas dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008:572) diartikan sebagai “tulus hati.” Dalam konteks kepemimpinan berkarakter ikhlas merupakan motif yang harus menjadi dasar bagi guru dan kepala sekolah dalam menjalani tanggungjawabnya sebagai pendidik. Ikhlas diartikan sebagai kemauan guru dan kepala sekolah untuk berbuat yang terbaik dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai pendidik semata-mata karena Allah Yang Maha Kuasa. Dalam ikhlas ada dua makna besar, yaitu (1) selalu berbuat yang terbaik dalam melaksanakan tanggungjawabnya, dan (2) dasarnya karena Allah semata.

Dengan ikhlas, guru dan kepala sekolah akan mencoba sekuat tenaga untuk memberikan layanan pendidikan yang bermutu sesuai dengan tupoksinya masing-masing dan berperilaku konsisten. Guru dan kepala sekolah yang ikhlas akan menghasilkan sumber imitasi yang luar biasa bagi peserta didik, sehingga mereka akan menjadi generasi yang benar-benar punya keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbuat maslahat (kebaikan) untuk lingkungannya.

Keikhlasan pada guru-guru dan kepala sekolah seharusnya menjadi bagian dari proses pendidikan calon guru (tenaga pendidik). Pembinaan bagi guru-guru dan kepala sekolah ini kemudian menjadi bagian penting dari pemerintahan daerah untuk membangun pendidikan melalui peran serta SDM pendidikan yang berkarakter pula.

E. Penutup

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, kebiasaan makanan pada ikan-ikan tidak baku karena terdapat perubahan pemilihan makanan sesuai dengan yang tersedia atau melimpah di kolam (Kumar

Dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan pada sedian blok parafin pasien kanker nasofaring dengan imunohistokimia menggunakan antibodi primer LMP1,

razlike upitnika European Evaluation of Vertigo prije i poslije terapijske intervencije nađena je statistički značajno veća razlika u rezultatima upitnika u skupini A u odnosu

2 Adanya Pembangunan Sanitasi Permukiman) program PPSP (Percepatan 2 Program dalam waktu yang cukup lama (4 PPSP berlangsung Tahapan) dan Pokja belum efektif 3

Atmanto, MP Fakultas Kehuatanan Pengembangan Tahura Wonosadi Desa Beji Kecamatan Ngawen Gunungkidul Untuk Peningkatan Potensi Ekonomi melalui Wanawisata Berbasis Budaya Lokal. 20

 Diagram  Diagram arus arus data data (data (data flow flow diagram- diagram- DFD) DFD), sebuahdeskripsi grafis atas , sebuahdeskripsi grafis atas sumber dan tujuan

Kurangnya aktifitas siswa pada siklus I yaitu dalam berfikir bersama menjawab pertanyaan guru (berdiskusi) hanya 70% (kategori kurang), dan pada saat memberikan jawaban untuk

16 Kuatnya tradisi lokal (khususnya Konfusianisme di Asia Timur dalam kajian Daniel Bell) dan kesuksesan pemerintahan otoriter bercampur menjadi satu menghasilkan negara