• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah jalaludin rumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "makalah jalaludin rumi"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bagi sebagian kalangan khususnya pecinta syair, pecinta sastra dan kalangan sejarawan islam. Nama Jallaludin Rumi pasti tidak asing lagi. Beliau adalah ulama’ besar, sufi dan juga seorang penyair.

Bersama Syaikh Hisamuddin, Rumi mengembangkan Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqatini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para Darwisy yang putar). Nama itu muncul karena para penganut thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase .Atau yang sering kita sebut sebagai tarian Darwish.

Selama 15 tahun terakhir masa hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberinama Masnawi. Buku ini terdiri dari 20.700 bait syair.

Di Indonesia sendiri buku-buku mengenai kumpulanpuisi Jalaludin Rumi sendiri telah banyak beredar. Puisinya yang syarat akan ajaran ketuhanan banyak digemari oleh pembaca, untuk lebih mengenal sosok Jalaludin Rumi sebagai sorang sastrawan muslim yang hidup sekitar abad ke-13 M di sini akan sedikit diulas mengenai beliau.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian sastrawan dan tasawuf? 2. Bagaimana biografi Jalaludin Rumi?

(2)

BAB II PEMBAHASAN A. SASTRA DAN TASAWUF

Sastrawan adalah sebutan bagi penulis sastra, pujangga; ahli sastra; intelektual, sarjana; atau

cendekiawan dan jauhari dalam diksiklasik. [1]

Jalaludin Rumimerupakan seorang sastrawan islam yang hidup pada abad ke-13 M. Sudah diakui oleh dunia bahwa beliau adalah sastrawan islam ahli tasawuf. Tasawuf adalah suatu cara atau jalan kita mendekatkan diri kepada Allah SWT.[2]

B. Biografi Jalaludin Rumi

Jalaluddin al-Rumi adalah seorang ahli tasawuf dan penyair sufi Persia terbesar sepanjang sejarah. Nama lengkapnya Jalaluddin Muhammad bin Husyain al-Khatibi al-Bahri. Takhallus atau nama julukan al-Rumi dikenakan kepada dirinya, karena sang sufi menghabiskan sebagian besar hidupnya di Konia, Turki, yang dahulunya merupakan bagian dari wilayah kemaharajaan Rumawi Timur. Pada masa Rumi penduduk kota itu terdiri dari orang-orang Arab, Persia, Turki, Yunani, Armenia dan Yahudi. Orang-orang Kristen keturunan Yunani dan Armenia juga masih banyak terdapat di situ, dan tidak sedikit di antara mereka pernah menjadi murid Rumi.

Rumi dilahirkan pada tanggal 6 Rabiul Awal 604 H sama dengan 30 September 1207 M di Balkh, Afghanistan sekarang. Ketika itu wilayah tersebut merupakan bagian dari wilayah kerajaan Khwarizmi yang beribukota di Bukhara, Transoksiana. Rumi wafat pada tanggal 5 Jumadil Akhir tahun 672 H sama dengan 16 Desember 1273M di Kunya.

Ayah Rumi, Muhammad ibn Husyain al-Khatibi alias Bahauddin Walad, adalah seorang ulama terkemuka dari Ballkh, Afghanistan sekarang. Pada abad ke-12 dan 13 M Balkh

merupakan bagian dari wilayah kerajaan Khwarizmi, di Transoksiana Asia Tengah, dengan ibu kotanya Bukhara. Pada tahun 1210 M, sebelum Khwarizmi diserbu tentara Jengis Khan

(3)

bersusah payah menaklukan bagan-bagian utara dari negeri Cina yang merupakan jembatan menuju ke Asia Tengah.

Bahauddin Walad mula-mula membawa keluarga menuju Khurasan dan Nisyapur di Iran Utara. Ketika itu Rumi masih berusia tujuh tahun. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1220 M kerajaan Khwarizmi yang tengah dilanda krisis internal, sekonyong-konyong diserbu oleh Jengis Khan sebagai pembalasan atas dibunuhnya utusan dagang Mongol yang dikirim ke Khwarizmi beberapa tahun sebelumnya. Ketika itu keluarga Rumi telah meninggalkan Nisyapur menuju Baghdad. Tidak lama keluarga Rumi melakukan perjalanan ke Mekkah dan baru setelah itu menuju Damaskus. Pada akhirnya keluarga sang sufi itu menemukan tempat tinggal terakhir yang menyenangkan dan aman dari hiruk-pikuk peperangan di Kunya, Anatolia. Sebelum direbut oleh pasukan Bani Saljug, kota ini termasuk wilayah kemaharajaan Rumawi Timur atau

Byzantium. Pada akhir abad ke-11 M Kunya direbut oleh Bani Saljug yang berkuasa di Anatolia hingga abad ke-13 M.

Rumi mula-mula mempelajari tasawuf dari ulama terkenal bernama Burhanuddin al-Tirmidhi. Tetapi guru kerohaniannya yang sebenarnya ialah Syamsudin al-Tabrizi atau Syamsi Tabriz. Sebelum tampil sebagai ahli tasawuf dan sastrawan terkemuka, Rumi adalah seorang guru agama yang memiliki banyak murid dan pengikut. Dalam usia 36 tahun dia sudah bosan mengajar ilmu-ilmu formal. Dia insyaf bahwa pengetahuan formal tidak mudah mengubah jiwa

murid-muridnya. Sebelum jiwa dan pikiran seseorang mendapat pencerahan, menurut Rumi, tidak akan perubahan itu terjadi. Setelah mempelajari tasawuf, Rumi menyadari bahwa dalam diri manusia terdapat suatu tenaga tersembunyi, yang jika dijelmakan sungguh-sungguh dengan cara yang tepat akan dapat membawa manusia meraih kebahagian dan pengetahuan luas. Tenaga tersembunyi itu ialah Cinta Ilahi (`isyq).

(4)

merubah nasib manusia dan apabila manusia berikhtiar untuk meraihnya maka ia akan dapat merubah nasibnya itu. Dia juga mengajarkan agar umat Islam senantiasa memerangi kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohan yang bersarang dalam dirinya, terutama disebabkan ajaran Jabbariyah dan faham yang mengutamakan taqlid.

Selama berada di Kunya khutbah-khutbah yang disampaikan Syamsi Tabris sangat memikat penduduk. Kepribadian tokoh ini juga memberi kesan mendalam terhadap Rumi. Sejak saat itulah Rumi tidak pernah mau berpisah dari gurunya yang baru itu. Kemana pun sang darwish pergi, Rumi muda selalu mengikutinya. Hingga tiba saatnya keduanya harus berpisah: Syamsi Tabriz diusir oleh ratusan murid Rumi yang tidak menyukai kehadirannya di Kunya dan terpaksa pergi ke kota lain. Rumi merasa sedih dan kerinduannya terhadap gurunya memaksanya juga pergi meninggalkan Kunya untuk memperdalam ilmu tasawuf. Ketika itu Rumi telah berusia 37 tahun dan pertemuannya dengan Syamsi Tabriz membuat bakatnya sebagai penyair hidup kembali. Maka lahirlah syair-syair yang indah dari tangannya bertemakan cinta dan kerinduan mistikal.

Tetapi seperti dikatakan Syamsi Tabriz, cinta dapat mentransformasikan jiwa seseorang menjadi lain. Rumi bukan saja mengalaminya. Cintanya pada gurunya yang tak kunjung dijumpainya lagi sejak perpisahannya yang terakhir, kini berubah menjadi cinta transendental, yaitu cinta ilahiyah. Maka ia pun mengakhiri pengembaraannya dan kembali ke Kunya untuk mengajarkan penemuannya yang baru dalam ilmu tasawuf kepada murid-muridnya. Sejak itu Rumi bukan saja masyhur sebagai ahli tasawuf dan guru keruhanian, melainkan juga sebagai sastrawan agung dan budayawan terkemuka di seantero Dunia Islam.[3]

C. KARYA SASTRA JALALUDIN RUMI

(5)

1. Divan-Syamsi-i-Tabriz. Diwan adalah semacam sajak-sajak pujian seperti qasidah dalam sastra Arab. Dalam sastra sufi dan keagamaan ang dipuji ialah sifat, kepribadian, akhlaq dan ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang tokoh. Dalam bunga rampainya ini Rumi mulai

mengungkapkan pengalaman dan gagasannya tentang cinta transendental yang diaihnya di jalan tasawuf. Kitab ini terdiri dari 36.000 bait puisi yang indah, sebagian besar ditulis dalam bentuk ghazal.

2. Matsnawi-i-Ma`nawi. Artinya karangan bersajak tentang makna-makna atau rahasia terdalam ajaran agama. Ini merupakan karya Rumi yang terbesar, tebalnya sekitar 2000 halaman dibagi menjadi enam jilid. Kitab ini juga disebut Husami-nama (Kitab Husam). Apabila Divan-i-Syamsi Tabriz diilhami oleh ajaran gurunya Syamsi Tabriz, Matsnawi ditulis untuk memenuhi

permintaan Husamuddin, salah seorang murid dan sekaligus sahabat Rumi yang terkemuka. Husamuddin memohon agar Rumi bersedia memaparkan rahasia-rahasia ilmu tasawuf dalam bentuk karya sastra seperti Hadiqqah al-Haqiqah karya Syekh Sanai dan Mantiq al-Tayr karya Fariduddin al-`Attar. Rumi memenuhi permohonan itu. Kitab ini selesai dikerjakan setelah 12 tahun sejak dituturkan oleh Rumi kepada Husamuddin. Afzal Iqbal dalam bukunya Life and Works of Rumi (1956) menyebutkan buku ini terdiri dari 25,000 bait prosa lirik, sedangkan Encyclopaedia Britanica (vol.. XIX, 1952) menyebutkan terdiri dari 40.000 bait. Abdul Rahman al-Jami, sufi Persia abad ke-15 M, menyatakan bahwa Matsnawi merupakan tafsir al-Quran yang indah dalam bahasa Persia (Hast Quran dar zaban-i Pahlavi). Yang dimaksud tafsir oleh Jami ialah tawil atau tafsir keruhanian terhadap ayat-ayat al-Quran yang ditulis dalam bentuk

karangan bersajak yang indah. Buku ini dianggap sebagai karya sufi terbesar sepanjang zaman. Nilai didaktik dan sastranya mengagumkan. Setiap jilid memuat pendahuluan dalam bahasa Arab, dan selanjutnya penulisnya menggunakan bahasa Persia. Rumi menguraikan dalam bukunya itu keluasan dari lautan semangat keruhanian dan perjalanan manusia menuju dunia dan dari dunia menuju kebenaran hakiki.

(6)

penyair lirik yang agung bukan saja dalam sejarah sastra Persia, namun juga dalam sejarah sastra dunia.

4. Fihi Ma Fihi (Di Dalam Ada Seperti Yang Di Dalam). Kumpulan percakapan umi dengan sahabat-sahabat dan murid-muridnya. Buku inii membicarakan terutama sekali persoalan-persoalan berkenaan dengan masalah sosial dan keagamaan yang ditanyakan oleh murid-muridnya. Ia sekaligus merupakan bukti bahwa seorang sufi seperti Rumi juga giat membicarakan persoalan sosial dan keagamaan yang hangat pada zamannya.

5. Makatib. Kumpulan surat-surat Rumi kepada sahabat-sahabat dekatnya, khususnya Syalahuddin Zarkub dan seorang menantu perempuannya. Dalam buku ini Rumi

mengungkapkan kehidupan ruhaninya sebagai penempuh ilmu suluk. Di dalamnya juga dimuat nasihat-nasihat Rumi kepada murid-muridnya berkenaan persoalan-persoalan amali (praktis) dalam ilmu tasawuf.

6. Majalis-i-Sab`ah. Himpunan khutbah-khutbah Rumi di berbagai masjid dan majlis-majlis keagamaan.

F. C. Happold (1960) memasukkan Rumi ke dalam tokoh terkemuka mistisisme cinta dan persatuan mistis (unio mystica). Mistisisme jenis ini berusaha membebaskan diri dari rasa terpisah dan kesebatangkaraan diri, dengan menyatukan diri dengan alam dan Tuhan, yang membawa rasa damai dan memberi kepuasan kepada jiwa. Merasa sebatang kara, mistikus cinta berusaha menanggalkan diri khayali yang rendah (nafs) dan pergi menuju diri yang lebih agung, Diri Hakiki. Menurut pandangan miskus cinta, manusia adalah makhluq yang paling mampu menyadari individualitasnya. Pada saat yang sama manusia mampu berperan serta dalam segala sesuatu melalui pikiran, perasaan dan imaginasinya. Tujuan mistisisme cinta ialah melakukan perjalanan rohani menuju Diri Hakiki dan kebakaan, di mana Yang Satu bersemayam.

(7)
(8)

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Jalaludin Rumi merupakan seorang satrawan muslim yang karya-karyanya tidak sedikit. Beliau seorang sastrawan yang ahli sufi yang sangat terkenal dijamannya.

Rumi dilahirkan pada tanggal 6 Rabiul Awal 604 H sama dengan 30 September 1207 M di Balkh, Afghanistan sekarang. Ketika itu wilayah tersebut merupakan bagian dari wilayah

kerajaan Khwarizmi yang beribukota di Bukhara, Transoksiana. Rumi wafat pada tanggal 5 Jumadil Akhir tahun 672 H sama dengan 16 Desember 1273 M di Kunya.

(9)

DAFTAR PUSTAKA

http://info-biografi.blogspot.co.id/2010/02/biografi-jallaludin-rumi.html, diakses pada hari Minggu, tanggal 4 Oktober 2015.

https://en.wikipedia.org/wiki/Rumi, diakses pada hari Minggu, tanggal 4 Oktober 2015.

https://id.wikipedia.org/wiki/Sastrawan, diakses pada hari Jum’at, tanggal 9 Oktober 2015

Referensi

Dokumen terkait