• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi Wilayatul Hisbah dalam Media Massa Lokal Aceh (Analisis Framing tentang Konstruksi Wilayatul Hisbah pada Kasus Bunuh Diri Putri Erlina Langsa dalam Portal Berita Atjeh Post)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konstruksi Wilayatul Hisbah dalam Media Massa Lokal Aceh (Analisis Framing tentang Konstruksi Wilayatul Hisbah pada Kasus Bunuh Diri Putri Erlina Langsa dalam Portal Berita Atjeh Post)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah

Aceh yang dikenal dengan nama lain Serambi Mekkah adalah wilayah

yang bersifat plural secara etnik. Sebelum terjadinya tsunami, Aceh berpenduduk

kurang lebih 4.010.865 orang. Penduduknya mayoritas beragama Islam dengan

persentase 98,80%, Kristen Protestan 0,84%, Katolik 0,16%, Buddha 0,18%, dan

Hindu 0,02%. Dari segi struktur sosial dan budaya, Aceh bukanlah wilayah yang

homogen, tetapi heterogen. Masyarakat Aceh dari segi suku bangsanya memiliki

keunikan tersendiri, karena menggambarkan suatu integrasi etnik atau campuran

etnik yang akhirnya menjadi etnik baru yang disebut Aceh (Nurhasim, 2008: 55).

Sejak masuknya agama Islam ke Aceh pada abad VII, unsur-unsur agama

itu sangat berpengaruh dan cukup memberi warna pada hampir seluruh bidang

kehidupan masyarakat daerah ini. Dapat dikatakan bahwa sejak itu tidak mudah

membedakan antara kebudayaan Aceh dan kebudayaan Islam. Segala tindakan,

tingkah laku, pandangan hidup masyarakat selalu berpijak atau berorientasi pada

ajaran Islam, termasuk nilai-nilai, norma-norma, dan adat istiadat yang hidup

dalam masyarakat.

Perpaduan adat dan agama mulai dikembangkan di seluruh Aceh sejak

abad XVI, yaitu setelah adanya usaha perluasan wilayah kerajaan-kerajaan kecil

yang ada di Aceh. Hal ini membuat orang-orang Aceh menganggap dirinya

‘identik’ dengan Islam.

Keistimewaan atas provinsi yang diberikan pemerintah Indonesia terhadap

daerah ini membuat keluarnya beberapa peraturan daerah yang disahkan

pemerintah setempat. Peraturan daerah ini diantaranya berisi beberapa pasal

tentang Syariat Islam. Menurut Ali, Syariat Islam secara harfiah adalah jalan

(ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim, Syariat

merupakan jalan hidup muslim, Syariat memuat ketetapan Allah dan Rasulnya,

baik berupa larangan maupun suruhan yang meliputi seluruh aspek manusia

(Nurhafni, 2006: 61).

Perumusan kebijakan Syariat Islam di Aceh dimulai pada sejak berdirinya

(2)

Tahun 1953. Berdirinya Negara Islam Indonesia ini disebabkan oleh kekecewaan

yang dirasakan oleh pimpinan, pemuka agama, serta masyarakat Aceh pada

umumnya terhadap sikap pemerintah pusat Indonesia yang membubarkan

keberadaan Provinsi Aceh sehingga diganti menjadi Provinsi Sumatera Timur.

Menanggapai kekecewaan ini, pemerintah kemudian melakukan berbagai upaya

untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat Aceh serta menjaga supaya Aceh

tetap menjadi wilayah dari Negara kesatuan Republik Indonesia dengan

memberikan keistimewaan di bidang pendidikan, budaya, adat-istiadat, serta

peraturan masyarakat (adat) dengan menghormati serta menjunjung tinggi

kehormatan rakyat dan budaya Aceh serta agama Islam di Aceh.

Pemberlakuan syariat Islam di Provinsi Aceh merupakan kebijakan yang

dianggap solusi pemberian hak-hak istimewa bagi Aceh setelah diberlakukannya

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Undang ini melengkapi

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi NAD, yang

mencantumkan empat keistimewaan pokok bagi Aceh.

Kedua Undang-Undang tersebut menentukan bahwa DPRD dan

pemerintah Aceh memiliki otoritas untuk menafsirkan dan menjabarkan kedua

Undang-Undang tersebut kedalam bentuk qanun. Qanun adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan

pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh. Hal inilah yang

mendasari lahirnya bentuk peraturan daerah di Provinsi Aceh yang dikenal dengan

qanun, antara lain: qanun tentang peradilan syariat Islam, pelaksanaan syariat Islam bidang aqidah, ibadah, dan syiar Islam, tentang khamr (minuman keras), tentang maisir (judi), tentang khalwat (mesum), tentang pengelolaan zakat serta berbagai qanun lainnya.

Dengan adanya Undang-Undang khusus, Aceh diberikan kewenangan

untuk melakukan tindakan secara hukum positif terhadap pelanggaran syariat

Islam, terutama pelanggaran-pelanggaran yang telah diatur dalam perda tersebut.

Perda syariat ini berlaku sejak tahun 2001 berdasarkan UU No 44 tahun

(3)

Beberapa lembaga yang dibentuk untuk menjalankannya yaitu, dinas

syariat Islam yang mempunyai tanggung jawab utama pelaksanaan hukum

syariah, majelis permusyawaratan ulama (MPU) sebagai lembaga independen

yang bertugas memberikan masukan dan kritikan terhadap jalannya hukum

syariah, dan polisi Wilayatul Hisbah (WH) yang bertugas terjun ke lapangan untuk menjalankan perda syariat ini. Lembaga ini bekerja sebagai penindak awal

perilaku masyarakat Aceh yang menyimpang dari Syariat.

Mengenai pengertian Wilayatul Hisbah, dalam pasal 1 angka 7 disebutkan, Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan

perundang-undangan bidang syariat Islam dalam rangka melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana aparat kepolisian, WH juga memiliki wewenang yang diatur dalam qanun khusus WH. Wewenang ini berkaitan dengan pelanggaran syariat Islam seperti khamr (miras), judi, khalwat (mesum), busana islami dan lainnya. Apabila pelanggaran masuk ke ranah kejahatan, maka akan ditransfer ke

aparat kepolisian.

Posisi WH yang langsung terjun ke lapangan dalam penerapan perda

syariah ini membuatnya menjadi perhatian masyarakat. Perlakuannya terhadap

warga Aceh juga menjadi kontrol tersendiri. Sayangnya tak semua WH

menjalankan dan mengerti akan tugasnya. Banyak penyimpangan-penyimpangan

yang dilakukan WH dan bertolak belakang dengan apa yang seharusnya terjadi.

Belakangan perilaku WH semakin tak sesuai dengan tugasnya.

Tak sedikit streotip tentang WH semakin negatif. Banyak masyarakat yang

semakin tak percaya terhadap aparat syariah ini. Dampaknya figur WH semakin

tak berdaya di masyarakat. Perlakuannya terhadap penerapan perda syariah ini

pun menjadi isu tersendiri di media massa.

Salah satu kasus yang mencoreng nama WH adalah peristiwa gantung

dirinya seorang gadis asal Langsa pada September lalu yang diduga malu dituduh

menjual diri. Putri, nama gadis ini mengakhiri hidupnya setelah sebelumnya

terkena razia yang dijalankan WH. Saat itu WH memaksa Putri untuk mengaku

telah melakukan perbuatan mesum, padahal ia tidak melakukannya sama sekali.

(4)

Kasus ini menjadi perhatian dan sorotan banyak pihak tentang WH dalam

melakukan fungsinya menegakkan syariat Islam di Aceh. Walau demikian,

persoalan Putri hanyalah satu dari sekian banyak karut-marut penegakan Syariat

Islam di Aceh yang dilakukan oleh WH. Banyak WH yang belum memiliki acuan

yang sama di setiap menggelar operasi syariat Islam. Padahal dampak itu akan

memunculkan permasalahan baru ketika diacuhkan, apakah dari segi otoritas

penegak syariah dan juga media dalam memberitakan tindakan WH tersebut.

Kasus ini tak dapat disangkal bermula dari media massa. Media massa

merupakan agen sosialisasi sekunder yang dampak penyebarannya paling luas

dibanding agen sosialisasi lain. Meskipun dampak yang diberikan media massa

tidak secara langsung terjadi, namun cukup signifikan dalam memengaruhi

seseorang, baik dari segi kognisi, afeksi maupun konatifnya (Gabner, 2007: 8)

Media massa memiliki peran besar dalam membentuk opini masyarakat

tentang tokoh atau sekelompok orang tertentu. Pesan yang terus disampaikan

melalui simbol-simbol atau istilah tertentu secara berulang-ulang dapat

membentuk pandangan tersendiri bagi masyarakat. Pandangan itu bisa saja negatif

atau sebaliknya.

Pencitraan yang sudah begitu melekat dalam benak masyarakat ini

kemudian berkembang menjadi stereotip yang kemudian diteruskan intra dan inter

generasi (Gabner, 2007: 9). Misalnya kaum homoseksual yang harus dijauhi

karena bertentangan dengan agama. Pandangan ini menyebabkan setiap informasi

tentang homoseksual menjadi hal yang tabu dan dijauhi turun temurun dalam

generasi masyarakat.

Begitu pula dengan WH di Aceh. Pandangan yang berkembang adalah

WH merupakan sosok polisi syariah yang kerap melanggar peraturan tertulis.

Kasus Kematian Putri di Langsa tersebut sudah cukup menjadi pelajaran bagi

WH. Tak sedikit media massa yang memberitakan tentang kasus ini dari sudut

pandang yang berbeda-beda. Baik dari sosok Putri atau WH. Hal ini membuat

masyarakat semakin beranggapan bahwa WH adalah polisi syariah yang tidak

tahu nilai-nilai syariah itu sendiri.

Nurudin mengungkapkan media massa hendaknya tak sekadar

(5)

setiap kejadian lewat keahlian wartawan menginterpretasikan pesan dan

fakta-fakta dari lapangan. Media massa juga harus mampu memberikan data pendukung

yang berguna untuk melakukan interpretatif (Nurudin, 2003: 93)

Bagimana media menyajikan suatu isu menentukan bagaimana khalayak

memahami dan mengerti suatu isu (Eriyanto, 2002: 217). Sekali media massa

menanamkan suatu stereotipe tertentu dan masyarakat mengamininya, maka hal

ini yang akan diteruskan ke generasi selanjutnya.

AtjehPost adalah salah satu portal berita online yang ada di Aceh. Didirikan oleh Nurlis E. Meuko dan Yuswardi A. Suud. Media ini sudah

mengunjungi pembaca sejak 22 Februari 2011 (Atjehpost.com).

Sejak April 2012, AtjehPost menjadi salah satu media partner publikasi kegiatan Pemerintah Aceh. Hal ini berlangsung berdasarkan Keputusan Pimpinan

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Nomor 8/PMP/DPRA/2012 tanggal 2 April 2012

yang memutuskan media onlineAtjehPost sebagai salah satu mitra kerjanya. Untuk melihat konstruksi media tentang perlakuan WH dalam menerapkan

perda syariat khususnya tentang kasus Putri Langsa, media ini dinilai cukup

mewakili. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat konstruksi WH dalam

penerapan Perda Syariah di AtjehPost khususnya dalam kasus bunuh dirinya Putri Erlina di Langsa pada bulan September 2012.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan, maka dapat

dirumuskan permasalahannya adalah : “Bagaimana konstruksi WH dalam

penerapan Perda Syariah di AtjehPost

Agar tidak terjadi ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan akan

mengaburkan penelitian, maka perlu dibuat pembatasan masalah.

Pembatasan masalah yang akan diteliti adalah :

1. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, bertujuan untuk melihat

bagaimana AtjehPost mengkonstruksi sebuah isu tentang kasus bunuh dirinya Putri setelah ditangkap WH di Langsa.

(6)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis naskah berita

tentang kasus bunuh diri Putri setelah ditangkap WH Langsa di AtjehPost. 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi pada makna isi pesan

yang terkandung dalam berita tentang kasus bunuh diri Putri setelah

ditangkap WH Langsa di AtjehPost.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna untuk memperkaya

khazanah penelitian tentang media dan bidang jurnalistik, khususnya

tentang konstruksi berita oleh media.

2. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangsihkan kepada

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan

penelitian dan sumber bacaan.

3. Secara praktis, diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis

terhadap informasai yang disajikan media dan memberikan masukan

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian korelasi ini, Arikunto (2002: 31) menyatakan bahwa dalam penelitian korelasi (penelitian korelasional) peneliti memilih individu-individu yang memunyai variasi

Berdasarkan penjelasan yang telah diberikan, maka dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan Value Stream Mapping untuk mengidentifikasi adanya waste dalam proses

[r]

Hendro Gunawan, MA

Keberadaan situs ini diharapkan tidak hanya dapat memenuhi tuntutan kemajuan teknologi komputer tapi juga dapat menjawab keinginan para anggota Paguyuban Mojang Jajaka Kota

Kini di kota â kota maju tedapat banyak hotel dari yang hotel yang berbintang hingga hotel melati (hotel kecil) yang saling berlomba memberikan fasilitas yang lengkap serta

Hendro Gunawan, MA

Film animasi 3D singkat ini berisi tentang sebuah pesawat yang melakukan manuver di antara tebing-tebing. Dalam tulisan ilmiah ini juga dijelaskan proses pembuatan dengan