BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang
menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.9
Pembinaan anak dan generasi muda merupakan bagian integral dari
Pembangunan Nasional dan juga menjadi sarana guna tercapainya tujuan Pembangunan Nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur serta aman dan sentosa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam ketertiban pergaulan internasional yang damai, adil dan merdeka.10
Konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang luas, dalam arti
bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas jiwa dan raga si anak, tetapi mencakup pula perlindungan atas semua hak serta kepentingannya yang
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosialnya sehingga diharapkan anak Indonesia akan berkembang
9
Huruf b Bagian Konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
10
menjadi orang dewasa Indonesia yang mampu dan mau berkarya untuk mencapai
dan memelihara tujuan Pembangunan Nasional tersebut diatas.11
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan
kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat,
dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.12
Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian
hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.13
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 34 menegaskan bahwa, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”.
Hal ini menunjukkan adanya perhatian serius dari pemerintah berkaitan dengan persoalan perlindungan anak.
11
Ibid
12
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hal.33
13
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup
manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Konstitusi Indonesia memperlihatkan bahwa anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan
bahwa negara menjamin hak setiap anak atas keberlangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Anak-anak tidak terbebas dari kemungkinan melakukan perbuatan pidana
(kejahatan) sama halnya seperti orang dewasa baik perbuatan pidana itu dilakukan sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Anak yang dalam proses
perkembangan mendapatkan hambatan pemenuhan kebutuhan dan perhatian menyebabkan anak terhambat perkembangannya dan bahkan dapat menyebabkan terganggu mentalnya. Akhirnya dapat menyebakan anak menjadi pelaku
delinquency.14
Delinkuensi menurut Ramli Atmasasmita adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.15
Delinkuensi di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak disebut sebagai Anak Nakal yakni,
“Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan
14
Marlina (1), Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hal.60
15
undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.”16
Penanggulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak perlu
mempertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas, walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan
perasaan, pikiran, dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat memengaruhi perilakunya. Orang tua dan masyarakat sekelilingnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak dalam hal
menghadapi masalah anak nakal.17
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan, Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Setiap anggota masyarakat sesuai dengan
kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu inilah yang mengusahakan perlindungan bagi anak.
Bismar Siregar mengatakan bahwa masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak-anak-anak Indonesia, dimana masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis saja tetapi juga
perlu pendekatan yang lebih luas yaitu ekonomi, sosial, dan budaya.18
16
Pasal 1 Huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
17
Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
18
Lebih dari 7000 (tujuh ribu) anak yang berkonflik dengan hukum masuk
proses peradilan setiap tahun. Bulan Juli 2010 terdapat 6.273 (enam ribu dua ratus tujuh puluh tiga) anak yang berada di Tahanan serta Lapas di seluruh Indonesia,
terdiri dari 3.076 (tiga ribu tujuh puluh enam) anak dengan status tahanan, 3.197 (tiga ribu seratus sembilan puluh tujuh) narapidana dan 56 (lima puluh enam) anak negara.19 Kota Medan juga menjadi daerah dengan anak berkonflik hukum tertinggi
yang diproses pengadilan selama tahun 2009 sebanyak 235 (dua ratus tiga puluh lima) kasus.20
Data diatas memperlihatkan bahwa jumlah perkara anak yang begitu besar setiap tahunnya menunjukkan pemidanaan yang diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Anak masih menunjukkan kelemahan. Banyaknya putusan pengadilan
anak yang cenderung menjatuhkan pidana penjara daripada tindakan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, sebenarnya tidak sesuai dengan filosofi dari pemidanaan dalam hukum pidana anak.
Mengenai batasan umur anak yang berkonflik dengan hukum yakni orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.21
19
Apong Herlina, Makalah Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 2012
Batasan umur anak yang berkonflik dengan hukum kemudian naik menjadi 12 tahun. Perubahan ini dilakukan
20
Medan Kota Tertinggi Anak yang Berkonflik Dengan Hukum sebagaimana dimuat dalam
21
oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 1/PUU/VIII/2010
sehubungan dengan diajukannya judicial review terhadap Undang-Undang Pengadilan Anak oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Penjatuhan pidana secara tidak tepat dapat mengabaikan pengaturan perlindungan, karena pemidanaan anak seharusnya adalah jalan keluar terakhir (ultimum remedium/ the last resort principle) dan dijatuhkannya hanya untuk waktu
yang singkat. Penjatuhan pidana sebagai ultimum remedium atau the last resort principle adalah salah satu bentuk perlindungan terhadap kepentingan terbaik anak.
Membahas asas ultimum remedium juga berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan, antara lain dikemukakan oleh Cessare Beccaria. Tujuan pemidanaan hanyalah supaya si pelanggar tidak merugikan masyarakat lagi dan untuk
menakut-nakuti orang lain agar jangan melakukan hal itu. Keyakinan bahwa tidak mungkin meloloskan diri dari pidana yang seharusnya diterima, begitu pula dengan hilangnya keuntungan yang dihasilkan oleh kejahatan itu. Beccaria juga mengingatkan bahwa
segala kekerasan yang melampaui batas tidak perlu karena itu berarti kelaliman.22 Tujuan pemidanaan yang mempunyai fungsi perlindungan dan kesejahteraan
menjadi pandangan yang banyak diikuti oleh para ahli hukum pidana saat ini. Para ahli hukum pidana berpendapat bahwa pemidanaan diusahakan untuk lebih manusiawi dan menjaga harkat dan martabat dari terpidana sehingga ketika dia
kembali ke masyarakat, terpidana menjadi orang yang berguna dalam masyarakat.
22
Fox berpendapat bahwa tujuan dari pemidanaan anak adalah, ” to provide for
welfare and healthy development of all children who come before it, including those
who are charged with violating the criminal law.” ( pemidanaan terhadap anak
bertujuan untuk memberikan kesejahteraan dan perlindungan bagi perkembangan anak termasuk dalam hal anak yang dituntut karena pelanggaran hukum pidana).23
Penegasan bahwa dalam pelaksanaan hukum kepentingan anak harus
merupakan pertimbangan utama tercantum juga di dalam Konvensi Hak Anak PBB di dalam prinsip ke 2 (dua) yang berbunyi sebagai berikut,24
” In the enactment of laws for his purpose the best interest of the child shall be paramount consideration.”
Prof. Mr. J.C Hudig, guru besar hukum pidana anak di Universitas Negeri Utrecht menyatakan tentang tindakan terbaik apa yang harus ditempuh untuk menyelesaikan perkara anak, sebagai berikut:25
” Pada umumnya dapat saya kemukakan bahwa suatu penuntutan pidana itu dilakukan apabila kesulitan dari pembuat muda itu jelas berpusat pada tindak pidana yang dilakukan. Akan tetapi apabila tindak pidana itu merupakan gejala dari suatu keadaan yang tidak dikehendaki (tidak baik), suatu hal yang berkebetulan, salah satu dari sekian banyak bentuk perbuatan yang jelek, yang bersumber pada keadaan keluarga, maka hasilnya akan lebih baik apabila ditempuh jalan pemberian tindakan secara hukum perdata berupa penyerahan kepada negara untuk dibina.”
23
Riza Alifianto Kurniawan, Asas Ultimum Remedium Dalam Pemidanaan Anak Nakal dalam http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/YRDK/.../509 diakses pada hari Minggu tanggal 03 Maret 2013 pukul 11.00 wib
24
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal.114
25
Pendapat psikologi-sosial dari Hudig di atas tidak bisa digunakan untuk setiap
kasus, namun setidak-tidaknya dapat dijadikan pedoman dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Filosofi sistem peradilan pidana anak yaitu mengutamakan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak (emphasized the rehabilitation of youthful offender) sebagai orang yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan
dengan orang dewasa. Anak memerlukan perlindungan dari negara dan masyarakat dalam jangka waktu ke depan yang maih panjang. Terhadap anak yang terlanjur
menjadi pelaku tindak pidana diperlukan strategi sistem peradilan pidana yaitu mengupayakan seminimal mungkin intervensi sistem peradilan pidana.26
Perlindungan terhadap anak salah satunya dilakukan dengan menjauhkan
proses formal sistem peradilan pidana anak itu sendiri. Timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan
tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak yang kemudian melahirkan konsep diversi.27
Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan
memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti
26
Marlina (2), Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2010), hal.1
27
anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem
peradilan pidana.28
Perkembangan selanjutnya terhadap perlindungan terhadap anak juga dikenal
konsep restorative justice yaitu suatu konsep penyelesaian konflik yang terjadi dengan melibatkan para pihak yang berkepentingan dengan tindak pidana yang terjadi (korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku, masyarakat, dan penengah
(moderator). Musyawarah yang dilakukan ini penting untuk menentukan tindakan atau hukuman yang tepat terhadap pelaku. Tindakan atau hukuman yang diberikan
bermanfaat bagi pelaku, masyarakat dan korban atas kerugian dan ketidakseimbangan serta ketidaktertiban dalam lingkungannya pulih kembali dengan hukuman yang telah dijatuhkan.29
Salah satu bentuk penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum diatur di dalam Pasal 16 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa,
”Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.”
Pasal 16 Ayat (3) diatas sesuai dengan Convention Of The Right Of The Child yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 pada Pasal 37 huruf (b) yang menyatakan bahwa,
” Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan
28
Ibid., hal.11
29
wenang. Penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan Undang-Undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat.”
Pasal 16 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak serta Pasal 37 huruf (b) Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 di atas merupakan bentuk adopsi dari asas ultimum remedium/the last resort principle, yang maksudnya adalah untuk melindungi dan mengayomi anak yang
berkonflik dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan terlebih
dahulu bukan penjatuhan pidana, anak akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pemidanaan melalui sistem peradilan pidana anak bagi anak yang berkonflik dengan hukum merupakan ultimum remedium juga telah diharmonisasikan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 66
ayat (4) yang menyatakan,
”Penangkapan, penahanan, atau pidana anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.”
Pasal di atas memperlihatkan bahwa perlindungan terhadap anak melalui pemberlakuan asas ultimum remedium telah dilakukan tidak hanya di dalam
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap WHD, remaja
laki-laki usia 15 tahun yang terjerat kasus pencurian dalam keadaan memberatkan merupakan bentuk penegakan hukum pidana terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum yang menyentuh sisi kemanusiaan masyarakat luas sehubungan dengan motif pelaku untuk memperoleh uang jajan dari tindak pidana yang dilakukannya. Dalam putusan Mahkamah Agung No.125/Pid/A/2012/PN.GS, WHD kemudian dijatuhkan
hukuman tindakan dengan mengembalikannya kepada orang tua setelah sebelumnya melalui proses peradilan pidana yang panjang yang harusnya bisa diselesaikan lewat
jalur alternatif lain sehubungan dengan jiwa peradilan anak yang menghendaki sistem peradilan pidana anak sebagai upaya akhir (ultimum remedium).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, kemudian dilakukanlah penelitian untuk
mengkaji lebih dalam mengenai asas ultimum remedium ( The last resort principle) terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dibutuhkan guna menegaskan masalah-masalah yang
hendak diteliti, sehingga akan lebih memudahkan dalam pengerjaannya maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana adopsi/keberadaan asas ultimum remedium (the last resort
principle) di dalam intrumen hukum internasional yang mengatur tentang
2. Bagaimana adopsi/keberadaan asas ultimum remedium (the last resort
principle) di dalam instrumen hukum nasional yang mengatur tentang
anak yang berkonflik dengan dengan hukum?
3. Bagaimana adopsi/keberadaan asas ultimum remedium (the last resort principle) terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam Putusan
Mahkamah Agung RI No.125/Pid/A/2012/PN.GS?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mengetahui dan lebih mendalami segala segi kehidupan. Penelitian juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan baik dari segi teoritis
maupun praktek.
Penelitian ini mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai yaitu untuk menjawab masalah yang tertuang dalam rumusan masalah. Tujuan dalam penelitian
ini adalah :
1. Untuk mengetahui asas ultimum remedium (the last resort principle) di dalam
instrumen hukum internasional yang mengatur tentang anak yang berkonflik dengan hukum.
2. Untuk mengetahui asas ultimum remedium (the last resort principle) di dalam
3. Untuk mengetahui asas ultimum remedium (the last resort principle) terhadap
anak yang berkonflik dengan hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI No.125/Pid/A/2012/PN.GS
D. Manfaat Penelitian
Sebagai kelanjutan dari tujuan penelitian maka penelitian ini diharapkan dapat
mendatangkan suatu manfaat bagi pembaca dan orang lain. Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah pengetahuan dan melengkapi perbendaharaan karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran mengenai asas ultimum remedium terhadap
anak yang berkonflik dengan hukum dalam rangka perlindungan anak. b. Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lanjutan.
2. Manfaat Praktis
a. Memberi kontribusi pemikiran kepada masyarakat mengenai asas ultimum remedium terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam rangka
perlindungan anak.
b. Memberikan masukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dalam hal membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan asas
ultimum remedium terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam
E. Keaslian Penelitian
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya telah dilakukan penelusuran di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan hasil penelusuran, maka ada beberapa judul yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak,
dan judul yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana anak, seperti judul tesis tentang;
1. Syawal Aswad Siregar, 2005, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan Pidana Anak Sesuai Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (Studi Kasus Di Wilayah Pengadilan
Tinggi Negeri Tebing Tinggi) dengan rumusan masalah sebagai berikut;
a. Bagaimana pengaturan hukum terhadap anak dalam proses peradilan pidana anak.
b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan pidana anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak yang ada di Wilayah Pengadilan Tinggi Negeri Tebing Tinggi
c. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam memberikan perlindungan
hukum terhadap anak dalam proses peradilan pidana anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang
2. Saiful Azhar, 2010, Penerapan Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak Dalam
Upaya Menjauhkan Anak Dari Penjara Ditinjau Dari Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia (Studi Di Kota Medan) dengan rumusan masalah sebagai
berikut;
a. Bagaimana pengaturan konsep asas kepentingan terbaik bagi anak (The best interest of the child) dalam sistem peradilan pidana anak
b. Bagaimana penerapan asas kepentingan terbaik bagi anak dalam upaya menjauhkan anak dari pidana penjara dalam sistem peradilan pidana anak
c. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam penerapan asas kepentingan terbaik bagi anak dalam upaya menjauhkan anak dari pidana penjara dalam sistem peradilan pidana anak.
Penelitian ini berbeda dengan kedua penelitian tersebut di atas. Penelitian ini berfokus kepada penerapan asas ultimum remedium terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Dengan demikian keaslian penulisan penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Teori berasal dari kata ”Theoria” dalam bahasa latin yang berarti perenungan
yang pada gilirannya berasal dari kata ”Thea” dalam bahasa yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. Banyak literatur di
berpikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya) juga
simbolis.30
Penelitian memerlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.31
Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang
bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya dan ini merupakan massukan eksternal bagi pembaca. 32
Menurut Kaelan M.S, landasan teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut :33
1. Teori tersebut berguna untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi;
3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtiar daripada hal-hal yang diteliti;
4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
30
H.R Otje Salman dan Anthon F Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, (Bandung: PT.Refika Aditama, 2009), hal.22
31
Ronny Hanitijo Soemitro (1), Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1982), hal.37
32
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal.80
33
Sudarto menyatakan bahwa,34
”Hukum pidana mempunyai sanksi yang kejam dibanding hukum lainnya, maka tetap harus diingat bahwa sebagai alat kontrol sosial fungsi hukum pidana adalah subsidair artinya hukum pidana hendaknya baru diadakan manakala usaha-usaha lain diluar hukum pidana sudah tidak dapat mengatasi dan tidak memadai.”
Fungsi hukum pidana yang bersifat subsidair tersebut juga sering disebut dengan Ultimum Remedium atau sebagai obat terakhir, yaitu sebagai obat yang baru
akan digunakan manakala obat lain diluar hukum pidana sudah tidak dapat efektif digunakan.35
Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara Hukum Pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi Hukum Pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan, hal
mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan. Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap Hukum Pidana itu sebagai ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat,
serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi oleh karena sanksinya yang
bersifat penderitaan, dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi.36
34
Sudarto sebagaimana dikutip dalam Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang: UMM Press, 2009), hal.23
35
Ibid., hal.26
36
Perkataan ultimum remedium untuk pertama kali dipergunakan oleh Menteri
Kehakiman Belanda yaitu Mr. Modderman di depan parlemen Negeri Belanda untuk menjawab pertanyaan salah seorang anggota parlemen yaitu Tuan Mackay, yang
menyatakan bahwa ia telah gagal menemukan suatu dasar hukum mengenai perlunya suatu penjatuhan hukuman bagi seseorang yang telah melakukan suatu pelanggaran.37
Penjatuhan pidana kepada anak melalui sistem peradilan piadana anak sebagai
ultimum remedium atau the last resort principle adalah salah satu bentuk
perlindungan terhadap anak. Hal ini terlihat di dalam Convention Of The Right Of The Child yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan
Presiden Nomor 36 tahun 1990 pada Pasal 37 huruf (b) yang menyatakan bahwa, Artinya bahwa untuk mencapai tujuan pemidanaan maka negara
dengan sengaja memberikan pidana dan menambah penderitaan kepada pelakunya, namun dalam hal ini juga ditambahkan bahwa dalam hukum pidana yang lebih
modern selalu diusahakan agar sedapat mungkin mengurangi penderitaan yang ditambahkan dengan sengaja itu.
” Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan Undang-Undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat.”
Hal ini dipertegas lagi di dalam Pasal 66 ayat (4) yang menyatakan,
” Penangkapan, penahanan, atau pidana anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.”
37
Pasal 37 huruf (b) Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 jo Pasal 66 Ayat (4) diatas dengan jelas memperlihatkan fungsi hukum pidana sebagai ultimum
remedium di dalam menyelesaikan perkara anak.
Perlindungan dan pembinaan terhadap anak yang berkonflik juga harus memperhatikan asas parens patriae. Asas Parens Patriae yang berarti bahwa
penguasa harus bertindak apabila anak-anak membutuhkan pertolongan, sedang anak yang melakukan kejahatan bukannya dipidana melainkan harus dilindungi dan diberi
bantuan. Asas ini diadopsi oleh undang-undang pengadilan anak yang pertama dan dijalankan oleh pengadilan anak yang pertama (Juvenile Court) yang ada di Illinois, Amerika Serikat pada tahun 1899.38
Inggris sejak zaman dahulu juga mengenal adanya suatu hak prerogatif dari Raja untuk bertindak sebagai parens patriae, yakni melindungi rakyatnya yang memerlukan bantuan, termasuk pula anak-anak yang membutuhkannya. Dengan
terciptanya Hakim Anak maka prinsip parens patriae itu juga dapat diterapkan. Hakim Anak lalu menjadi pengganti tugas dari pater familias. Hakim Anak lah yang
menetapkan apa yang paling baik bagi anak yang bersangkutan.39
Asas kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) juga merupakan salah satu asas penting yang menjadi jiwa dalam menyelesaikan perkara
anak yang berkonflik dengan hukum. Prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best
38
Sudarto, Op.cit., hal.131
39
interest of the child) merupakan prinsip umum kedua dari Konvensi Hak Anak.
Prinsip ini tercantum di dalam Pasal 3 Ayat (1) yang menyatakan,
”Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga-lembaga peradilan, lembaga pemerintah, atau badan legislatif, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
Indikator yang menandakan bahwa kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi hal prioritas adalah dengan terpenuhinya hak-hak anak, oleh sebab itu, tidak boleh ada tindakan orang dewasa yang merampas hak-hak anak. Kepentingan terbaik
anak harus dipandang sebagai of paramount importance (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak agar perlindungan bagi
anak dapat terselenggara dengan baik.40
Prinsip the best interest of the child digunakan karena dalam banyak hal anak hanyalah korban yang disebabkan ketidaktahuan (ignorence) karena usia
perkembangannya. Masyarakat menciptakan monster-monster yang lebih buruk dikemudian hari apabila mengabaikan prinsip ini. Tanpa prinsip ini perjuangan
untuk melindungi anak akan mengalami banyak batu sandungan.41
Penerapan asas kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) salah satunya juga terdapat di dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak yang menyatakan bahwa:
” Putusan Hakim akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya dari anak yang bersangkutan, oleh sebab itu Hakim harus yakin benar, bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan
40
Maidin Gultom, Op.cit., hal.39 41
dan mengantar anak menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa, dan negara .”
Penjelasan Undang-Undang tersebut diatas telah memberikan gambaran
bahwa terhadap anak yang berkonflik di depan hukum harus lebih dahulu dilihat faktor penyebabnya sebelum dijatuhkan putusan oleh Hakim dan putusan tersebut harus menjadi kepentingan terbaik bagi anak.
Asas the best interest of the child juga tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagai berikut,42
”Penyelenggaraan perlindungan anak berdasarkan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:
a. Non diskriminasi
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak.”
Maksud kepentingan terbaik bagi anak di atas adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan
legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.43
Pemidanaan adalah suatu proses penjatuhan hukuman/pidana yang meliputi seluruh rangkaian peristiwa dan tahapan-tahapan dalam penjatuhan suatu pidana
42
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
43
sedangkan arti pidana merupakan hukuman yang dijatuhkan yang berupa nestapa atau
penderitaan.44
Ted Honderich menyatakan bahwa pemidanaan harus memuat tiga unsur
yakni; 45
“Pertama, pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan (kerugian atau kejahatan yang diderita oleh korban).
Kedua, setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum. Karenanya pemidanaan bukan merupakan tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.
Ketiga, penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakat.”
Tujuan hukum pidana pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan (individu) atau hak-hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan pertimbangan yang serasi
dari kejahatan/tindakan yang tercela di satu pihak, dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak. Akan tetapi mengenai persoalan dan perwujudan
tujuan hukum pidana tersebut dalam sejarahnya telah mengalami proses yang lama dan lamban.46
Tujuan hukum pidana di atas tidak dapat dipisahkan dari teori-teori hukum
pemidanaan, diantaranya yakni;
44
Marlina (3), Hukum Penitensier, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), hal.40 45
Ted Honderich sebagaimana dikutip dalam Teguh Prasetyo (1), Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung : Nusa Media, 2010), hal.71
46
E.Y Kanter & S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya
1. Teori Absolut atau Pembalasan (Vergeldings Theorien)
Tujuan dijatuhkannya pemidanaan/hukuman menurut teori absolut adalah menjadikan pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah
dilakukan seseorang. Pembalasan ini dirasakan adil sebagai tujuan pemidanaan karena kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat sehingga pelaku kejahatan sangat pantas mendapat pembalasan yang
setimpal.47
Tokoh teori retributif adalah Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel
(1770-1831). Immanuel Kant menyatakan bahwa pemidanaan merupakan suatu imperatif kategoris, yaitu tuntutan mutlak dipidananya seseorang Karena telah melakukan
kejahatan. Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan
atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri.48 Adapun ciri-ciri pokok teori retributif ini adalah sebagai berikut;49 a. Tujuan pemidanaan hanya untuk pembalasan
b. Hanya pembalasan yang menjadi tujuan utama (the ultimate aim), dan tidak menjadi sarana untuk mencapai tujuan lainnya, misalnya kesejahteraan masyarakat (social welfare)
c. Kesalahan moral (moral guilt) merupakan syarat satu-satunya untuk penjatuhan pidana
d. Penjatuhan pidana harus sesuai dengan kesalahan moral pelaku
e. Pemidanaan melihat ke belakang sebagai suatu pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau meresosialisasi pelaku kejahatan.
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)
47
M. Hamdan, Hukuman dan Pengecualian Hukuman Menurut KUHP dan KUHAP, (Medan: USU Press, 2010), hal.9
48 Ibid
49
Teori tujuan pemidanaan ini biasa disebut juga dengan teori deterrence
(pencegahan). Tokoh aliran ini yaitu Cessare Beccaria (1738-1794) dan Jeremy Bentham (1748-1832). Teori relatif berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana
adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara.50
Menurut Beccaria, bahwa hukum pidana harus diatur dalam suatu kodifikasi yang disusun secara rasional dan sistematis, agar semua orang mengetahui secara
jelas dan pasti tentang perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan diancam dengan pidana. Ia juga menghendaki agar pidana mati dan pidana penyiksaan yang dilakukan secara kejam dihapuskan dan diganti dengan pidana yang memperhatikan
prikemanusiaan, dan menurutnya bahwa pidana yang dijatuhkan yang berupa penderitaan itu jangan sampai melebihi penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatan penjahat yang dipidana tersebut.51
Nigel Walker menamankan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah
untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Penganut reductivism meyakini bahwa
50
Adami Chazawi (1), Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal.158
51
pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut
ini :52
1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (dettering the offender), yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan;
2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (dettering potential imitators), dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;
3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dan ancaman pidana;
4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan.
3. Teori Gabungan atau Teori Campuran (Vernigings Theorien)
Teori gabungan berusaha meretas jalan dan menemukan benang merah antara
kedua teori di atas. Teori gabungan mengakui bahwa pembalasan (retributive) merupakan dasar dan pembenaran dijatuhkannya pidana, namun seharusnya perlu
diperhatikan bahwa penjatuhan pidana ini harus membawa manfaat untuk mencapai tujuan lain, misalnya kesejahteraan masyarakat (social welfare).53
Tokoh teori gabungan ini adalah Pallegrino Rossi (1787-1848), yang
menyatakan bahwa pembenaran pidana terletak pada pembalasan dan hanya orang
52
Mahmud Mulyadi (1), Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 72
53
yang bersalah yang boleh dipidana. Pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan
kejahatan yang dilakukan, sehingga beratnya pidana harus sesuai dengan beratnya kejahatan yang dilakukan.54
4. Teori Treatment (Perawatan)
Treatment sebagai sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif
yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku
kejahatan, bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation)
kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan
(rehabilitation).55
Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori adalah Casare Lombrosso (1835-1909), Enricco Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1852-1934). Mereka
menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi, dan sosiologi dan objek
analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya.56 5. Teori Social Defence (Perlindungan Masyarakat)
Social defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah Perang
Dunia ke II dengan tokoh terkenalnya adalah Fillipo Gramatica, yang pada tahun
54
Ibid., hal.52 55
Mahmud Mulyadi (1) , Op.Cit., hal.79
56
1945 mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Teori social defence ini
dalam perkembangannya terpecah menjadi dua aliran yakni, aliran yang radikal/ekstrim dan aliran yang moderat/reformis.57
Gerakan yang dipelopori oleh Gramatica ini melahirkan gerakan yang menghendaki penghapusan hukum pidana (abolisionisme). Hukum pidana dalam perspektif kaum abolisionisme dirasakan sebagai sesuatu yang kurang manusiawi,
oleh karena itu pemidanaan tidak perlu dan harus dihapuskan, serta diganti dengan hukum kerja sosial.58
Tujuan pemidanaan terhadap anak nakal pada hakikatnya adalah bukan saja untuk membalas perbuatannya namun juga memperbaiki tingkah lakunya dengan memberikan pembinaan yang memperhatikan segala tumbuh kembangnya baik
jasmani maupun rohani. Pemidanaan terhadap anak juga tidak dilakukan dengan menghapuskan hukuman untuk anak nakal karena hal tersebut tidak akan memberikan fungsi pembelajaran kepada anak sehingga anak tidak akan merasa apa
yang dilakukannya adalah perbuatan yang buruk sehingga nantinya ia akan terus mengulangi kesalahannya atau yang dikenal dengan istilah recidivis. Tujuan
pemidanaan sebagai perawatan juga tidak tepat untuk diterapkan pada anak nakal karena pada umumnya anak berbuat salah karena ketidaktahuan serta ketidakdewasaannya secara fisik dan psikis bukan karena anak tersebut dianggap
sebagai orang yang sakit.
57
Ibid., hal.88
58
Penjatuhan pidana terhadap anak yang melanggar hukum bertujuan untuk;59
1. Mencegah perilaku anak yang lebih buruk dikemudian hari, sehingga menjadi manusia yang baik dan berguna;
2. Memberikan perawatan dan perlindungan untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesehatan bagi anak;
3. Membebaskan rasa bersalah serta menghapuskan stigma buruk pada anak; 4. Menciptakan kondisi lingkungan yang baik bagi tumbuh kembangnya jiwa
anak, untuk meningkatkan taraf hidup yang baik bagi pengembangan fisik, mental dan sosialnya.
Fox berpendapat bahwa tujuan dari pemidanaan anak adalah, ” to provide for
welfare and healthy development of all children who come before it, including those
who are charged with violating the criminal law.” ( pemidanaan terhadap anak
bertujuan untuk memberikan kesejahteraan dan perlindungan bagi perkembangan
anak termasuk dalam hal anak yang dituntut karena pelanggaran hukum pidana).60 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tidak secara eksplisit mengatur tentang tujuan pemidanaan terhadap anak, namun secara umum dapat dilihat pada bagian
konsiderannya. Tujuan yang hendak dicapai adalah dalam upaya melindungi dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara
utuh, serasi, selaras, dan seimbang.
Menurut Barda Nawawi Arief, ada dua hal yang menjadi dasar pemikiran dalam menyelenggarakan proses peradilan pidana bagi anak, yaitu :61
59
Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010), hal.214
60
Riza Alifianto Kurniawan, Asas Ultimum Remedium Dalam Pemidanaan Anak Nakal dalam http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/YRDK/.../509 diakses pada hari Minggu tanggal 03 Maret 2013 pukul 11.00 wib
61
1. Bahwa anak yang melakukan tindak pidana/kejahatan bukan dipandang sebagai penjahat, tetapi harus dilihat sebagai orang yang memerlukan bantuan;
2. Pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya mengutamakan persuasif – edukatif dan pendekatan kejiwaan/psikologi yakni sejauh mungkin menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum, bersifat degradasi mental dan penurunan semangat (discouragement) serta menghindari proses stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan kematangan dan kemandirian secara wajar.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 juga menyatakan bahwa
dikeluarkannya Undang Undang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depannya yang
masih panjang. Tujuan lainnya juga untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile
Justice atau yang disebut sebagai Beijing Rules juga mengatur tentang tujuan
pemidanaan terhadap anak yakni, Pertama, memajukan kesejahteraan remaja (the
promote or the well being of the juvenile). Tujuan ini merupakan fokus utama bagi
sistem-sistem hukum yang menangani kasus-kasus kejahatan anak. Beijing Rules
menghendaki agar kasus-kasus kejahatan anak ditangani oleh peradilan keluarga. Kemudian, apabila terpaksa harus ditangani oleh peradilan kriminal, maka faktor kesejahteraan anak harus menjadi perhatian yang pertama.62
62
Kedua, adalah prinsip proporsionalitas (the principle of proportionality).
Prinsip ini terkenal sebagai suatu instrumen untuk mengekang sanksi-sanksi yang menghukum yang kebanyakan dinyatakan dalam batasan-batasan ganjaran yang
setimpal dengan beratnya pelanggaran hukum tetapi juga pada pertimbangan keadaan-keadaan pribadinya. Keadaan-keadaan individu akibat pelanggaran (misalnya status sosial, keadaan keluarga, kerugian yang ditimbulkan akibat
pelanggaran hukum atau faktor-faktor lain yang memengaruhi keadaan pribadi) akan memengaruhi kesepadanan reaksi-reaksi (misalnya dengan menghargai upaya
pelanggar hukum untuk mengganti rugi kepada korban atau atas kesediaannya untuk kembali pada kehidupan yang sehat dan berguna).63
Berdasarkan penjelasan di atas, maka teori yang digunakan sebagai pisau
analisis adalah teori relatif/pencegahan (deterrence). Teori ini adalah yang paling sesuai dengan filsafat pemidanaan anak yang berkonflik dengan hukum yang berfokus kepada pencegahan umum dan pencegahan khusus. Tujuan pemidanaan
untuk pencegahan umum ditujukan untuk memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Pencegahan khusus dimaksudkan bahwa dengan
pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali.
2. Kerangka Konsepsional
Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.64
Berdasarkan landasan konsepsional tersebut maka agar terdapat kesamaan persepsi mengenai defenisi atau pengertian yang digunakan dalam penelitian ini, digunakan beberapa defenisi operasional sebagai berikut:
1. Asas Ultimum Remedium merupakan istilah yang populer dalam mengkaji hukum pidana, terkait dengan tujuan pidana dan pemidanaan, yaitu sebagai
sarana perbaikan dan pemulihan keadaan yang telah dirusak dengan adanya tindak pidana. Ultimum remedium bermakna perbaikan yang paling akhir digunakan (obat yang pamungkas).65 Ultimum remedium berarti senjata
pamungkas; sanksi pidana yang dijatuhkan apabila sanksi-sanksi hukum lainnya tidak memadai.66
2. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.67
3. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
64
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), Hal.307
65
Faizin Sulistio, Asas Ultimum Remedium dalam diakses pada hari Minggu tanggal 03 Maret 2013 pukul 11.00 wib
66
Syaiful Watni dan Suradji, Kamus Hukum Umum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, 2004), hal.236
67
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.68
4. Hukum internasional adalah hukum yang berlaku antara negara-negara yang satu
dengan yang lain, hukum mana menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap negara-negara yang bersangkutan itu.69
5. Hukum nasional adalah hukum yang berlaku di dalam suatu negara.70
6. Hukum pidana anak adalah peraturan yang berkenaan dengan delik yang dilakukan oleh anak-anak (kinderstrafrecht).71
G. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.72 Metode penelitian hukum adalah upaya untuk memahami dan memecahkan suatu masalah hukum berdasarkan metode tertentu.
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif untuk meneliti norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan tentang asas ultimum remedium dalam sistem peradilan pidana anak. Mengambil istilah Ronald Dworkin,
68
Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 69
J.C.T Simorangkir, Kamus Hukum, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal.67 70
Kamus Hukum, (Bandung : Citra Umbara, 2010), hal.149 71
Andi Hamzah , Terminologi Hukum Pidana, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal.77
72
penelitian semacam ini disebut juga dengan istilah penelitian doktrinal73 (doctrinal
research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku
(law as it is written in the books), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim
melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial process).74
Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan dari penelitian ini, maka
penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.
Penelitian ini menjadikan bahan kepustakaan dan studi dokumen sebagai bahan utama. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif untuk meneliti
norma-norma hukum yang berlaku yang terkait dengan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam peraturan perundang-undangan hukum nasional,
konvensi, atau resolusi majelis umum PBB (hukum internasional) maupun putusan Mahkamah Agung RI.
75
2. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari ;
73
Ronald Dworkin sebagaimana dikutip dalam Ronny Hanitijo (2), Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal.10
74
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hal.1
75
1. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan
yang diurut berdasarkan hierarki yang terdiri atas :76
a. Norma atau kaidah dasar, yaitu alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Peraturan dasar yaitu Pasal 20, Pasal 20 A ayat (1), Pasal 21, Pasal 28 B ayat (2) dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
c. Undang-Undang yang terkait dengan penerapan asas ultimum remedium terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, seperti Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Perdilan Pidana Anak, Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention Of The Right Of
The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak).
2. Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum juga jurnal-jurnal hukum termasuk yang
on-line. Buku-buku dan artikel-artikel hukum yang dirujuk adalah yang
76
mempunyai relevansi dengan apa yang hendak ditulis.77 Bahan hukum
sekunder juga merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya
.78
3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, encyclopedia dan lain-lain.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 125/Pid /A/2012/PN.GS juga termasuk ke dalam bahan hukum sekunder.
79
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan data dalam penelitian normatif dilakukan dengan menggunakan
studi pustaka (library research) terhadap bahan-bahan hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier berupa perundang-undangan, literatur, jurnal hukum, kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.
Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun dilakukan dengan penelusuran bahan hukum dengan media
internet.80
77
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hal 155-156.
78
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji (3), Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hal 13.
79
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2011), hal. 296
80
4. Analisis Bahan hukum
Bahan hukum yang dikumpulkan dengan studi kepustakaan dianalisis dengan metode yuridis normatif secara kualitatif yang dilakukan dengan beberapa langkah.
Pertama, menginventarisir dan mengidentifikasi bahan hukum baik bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang relevan. Kedua, melakukan sistematisasi keseluruhan bahan hukum, asas-asas hukum, teori-teori, konsep-konsep, dan bahan
rujukan lainnya dengan cara melakukan seleksi bahan hukum kemudian melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian
secara sistematis yang dilakukan secara logis dengan menghubungkan dan mengaitkan antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum lainnya.81 Ketiga, analisis bahan hukum yang telah dikumpulkan dilakukan menurut cara-cara analisis
dan penafsiran gramatikal serta sistematis di mana interpretasi dilakukan dengan menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan undang-undang lain secara
logis/sistematis.82 Keempat, hasil penelitian yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Kelima, penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu pemikiran
dimulai dari hal yang umum kepada hal yang khusus.83
81
Ibid., hal 181.
82
Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012), hal 163.
83