• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pancasila dalam Pandangan Islam studi hu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pancasila dalam Pandangan Islam studi hu"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PANCASILA DALAM PANDANGAN ISLAM

(Studi Hukum Islam di Indonesia)

DISUSUN OLEH :

ERNI KURNIATI NIM : 132301464

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

IAIN SULTAN MAULANA HASANUDIN

BANTEN

(2)

Bismillahirohmanirohim.

Tiada kata yang dapat saya ucapkan selain rasa syukur kepada Tuhan semesta alam, karna limpahan karunia-Nya lah saya mampu memyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Kata-kata indah apapun yang saya ucapkan tak mungkin sebanding dengan nikmat yang sudah Tuhan berikan kepada saya. Sholawat serta salam saya limpahkan kepada pemimpin dua dunia yakni Nabi Muhammad saw, keluarganya, dan para sahabatnya. Dengan perjuangan mereka serta kehendak Allah Islam masih berdiri tegak sebagai agama yang kuat dan kokoh.

Al-Qur’an adalah pedoman hidup umat islam yang paling sempurna dan kekal hingga akhir kiamat nanti. Dan hadist adalah pedoman kedua umat islam serta ijma’ para ulama, dalam menjalani setiap segi permasalahan kehidupan. Semua sudah terkonsep rapi dalam sistem hukum Islam. Islam tidak membatasi ilmu pengetahuan dan hasil-hasil pemikiran manusia serta karya-karya manusia, asalkan tidak melenceng dari ajaran Islam sendiri.

Indonesia adalah salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dan di Indonesia memiliki beragam agama, budaya, ras serta bahasa yang berbeda-beda. Pancasila adalah sebagai dasar negara dan dasar hukum negara di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah beragama islam, lalu bagaimana hukum islam sendiri ikut berperan dalam kehidupan umat islam di Indonesia ?.

Dalam tulisan ini insyAllah akan sedikit banyaknya membahas tentang pertanyaan-pertanyaan yang sering terlintas dalam benak para muslim, mengapa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai dasar negara bagi penduduknya yang mayoritas muslim? Dan bagaimana hukum islam itu? Serta bagaimana perkembangan hukum islam di Indonesia?.

(3)

Bagi para pembaca, saya berharap dapat memberikan kritik dan sarannya, karna itu sangat saya butuhkan untuk kedepannya saya dapat menulis dengan lebih baik lagi. Dan saya berterimakasih kepada orang-orang yang telah memberikan inspirasi serta sumbangan pemikirannya dalam karya tulis ilmiah ini, semoga Allah memberikan rahmat_Nya untuk kalian semua. Amiin.

(4)

BAB 1

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Dengan maraknya ormas-ormas yang mendorong untuk mendirikan negara Islam di Indonesia ini yang telah memiliki dasar hukum tersendiri yaitu negara yang berasaskan Pancasila, sehingga perpecahan dan saling tidak percayanya masyarakat dengan pemerintah untuk memimpin negara Indonesia terjadi dikalangan masyarakat baik rakyat yang terpelajar maupun rakyat awam. Serta para pelajar dan santri yang masih bimbang akan hukum di negara Indonesia, memiliki masalah tersendiri bagi mereka untuk menyikapi hubungan agama dan hukum yang ada di Indonesia. Banyak permasalahan dengan pemikiran bahwasanya 95% masyarakat Indonesia adalah muslim, namun mengapa sistem pemerintahannya bukanlah hukum Islam dan mengapa dasar negaranya adalah Pancasila bukan al-Qur’an.

Saya mengutip perkataan Dr. Rusli Hasbi, Lc. MA salah satu pemateri seminar yang diselenggarakan di IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten dengan tema “Saatnya Umat Berkarakter Qur’ani” yang menjawab pertanyaan salah satu peserta seminar mengenai hubungan Pancasila dengan agama Islam, beliau mengatakan bahwasanya Islam tidak mengenal Pancasila, tapi jika Islam mengakui Pancasila jawabannya “iya” selama Pancasila tidak melenceng dari hukum Islam. Namun sebaliknya apakah Pancasila mengakui hukum Islam? Jika tidak maka itu bertentangan dengan Islam dan jika Pancasila tidak bertentangan dengan hukum Islam maka, Islam pun mengakui Pancasila.

Pancasila sebagai dasar ideologi Indonesia yaitu : 1. Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. 3. Persatuan Indonesia. 4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan. 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Kita lihat dan pahami Pancasila, apakah di dalam lima dasar Indonesia yang tercantum dalam Pancasila itu bertentangan dengan ajaran Islam?

Lagi pula Islam adalah agama yang ciptakan oleh Tuhan, sedangkan Pancasila itu adalah buatan manusia, maka tidak pantaslah jika Islam dibandingkan dengan Pancasila.

(5)

terlintas dalam pikiran para pelajar dan diperdebatkan dalam diskusi dikalangan pelajar. Namun, selayaknya saya adalah pelajar pula maka dalam karya tulis ilmiah ini akan masih banyak kekurangan-kekurangannya baik itu dalam segi penulisan dan sistematisnya maupun dalam segi materi yang akan disampaikan.

II. Rumusan Masalah

1. Apa itu Hukum Islam, Syari’ah, Fikih dan Hukum? 2. Bagaimana hubungan antara Hukum dan Agama? 3. Bagaimana Konsep Negara Hukum Pancasila?

III. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui hakikatnya hukum Islam di Indonesia

b. Untuk mengetahui apa itu hukum Islam, Fikih, Syari’ah dan Hukum c. Untuk mengetahui perkembangan hukum Islam di Nusantara

d. Untuk mengetahui Pancasila dalam pandangan Islam

IV. Metode Penelitian

1. Kajian Pustaka

BAB 2

PEMBAHASAN

A. Hukum, Syari’at, Fikih, dan Hukum Islam

1. Definisi Hukum

(6)

(jamaknya ahkam) berarti putusan (judgment, verdict, decision), ketetapan (provision), perintah (command), pemerintahan (government), kekuasaan (authority, power), hukuman (sentence), dan lain-lain.1 Kata kerjanya, hakama

yahkumu berarti memutuskan, mengadili, menetapkan, memerintahkan, memerintah, menghukum, mengendalikan, dan lain-lain. Asal usul kata hakama berarti mengendalikan dengan satu pengendalian.2

Hukum dalam kajian Ushul Fikih berarti : “titah Allah yang menyangkut amal perbuatan manusia, baik berupa tuntunan untuk melakukan, maupun tuntunan untuk meninggalkan, dan baik berupa sebab, syarat, maupun berupa mani’ penghalang”.3 Hukum adalah titah Allah (dan juga titah Rasul_Nya) yang

berkaitan dengan masalah hukum. Titah Allah yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, ketika menjelaskan hukum adakalanya tegas dan jelas secara harfiyah, dan ada pula penunjukannya dipahami dari isyarat, atau dari kandungan makna secara subtansial. Apa yang disebut hukum mencakup segala apa yang ditunjukan oleh titah Allah baik tegas, maupun tidak tegas, dan secara harfiyah, maupun secara subtansial.4

1 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, London: Machdonald & Evans Ltd, 1980,

hlm.196.

2 Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, tt., hlm. 126.

3 Abdul Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr

4 Satria Effendi M. Zein, “Aliran-aliran Pemikiran Hukum Islam,” Diktat Pada Program

Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatulloh Jakarta, tidak diterbitkan, hlm. 6.

2. Definisi Syari’ah

Kata syari’ah dan pecahannya lima kali ditemukan dalam Al-Qur’an. Dalam bentuk kata kerja (syara’ dan syara’a) terdapat pada ayat 42:21, 5:48, dan 45:18.5

Ayat terakhir inilah yang terpenting dan sering menjadi salah satu konsep kunci dalam Islam, yaitu syari’ah.

(7)

Menurut istilah, kata syari’ah dalam Islam mencakup seluruh ajaran Islam, baik yang menyangkut dengan akidah, etika, dan hukum-hukum yang mengatur amal perbuatan manusia. Dalam pengertian ini dipahami sebagian sahabat, seperti Ibnu Abbas sebagaimana dinukil Qurthubi dalam tafsirnya, menafsirkan kata syari’ah yang terdapat dalam surat al-Jatsiyah6 sebagai hudan (petunjuk agama)7.

Petunjuk agama meliputi seluruh aspek kehidupan baik akidah, etika, dan aturan-aturan hukum.

Atas dasar ini, pengertian kata syari’ah lebih luas cakupannya dibanding dengan pengertian hukum seperti dalam rumusan sebelumnya. Dalam konteks ini syari’at berarti aturan, jalan, tuntunan, pedoman dan sumber kehidupan. Sumber kehidupan bagi umat Islam tertulis sempurna dalam nash-nash yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah baik tentang aqidah, hukum perseorangan, hubungan manusia dengan Tuhan, maupun hubungan manusia dengan sesamanya, yang harus diikuti umat Islam untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Secara tegas hukum Islam adalah bagian dari syari’at Islam.

5 Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mujam al-Mufahras li Alfazh al-Quran al-Karim, Indonesia

maktab Dahlan. Tt.

6 Surat al-Jatsiyah ayat 18.

7 Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi.

3. Definisi Fikih

Fikih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Kata fikih secara etimologis berarti pemahaman mendalam. Ar-Raghib al-Asfahani menjelaskan pengertian fikih sebagai ketajaman pemahaman sampai inti persoalan dan mendalam.

(8)

Hukum Islam dalam khazanah fiqh Islam, dalam Al-Qur’an dan Sunnah tidak ditemui, kecuali secara terpisah, hukum dan Islam. Al-Qur’an hanya menyebut kata syari’at, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya.

Sebutan Hukum Islam hanya ditemui dalam bahasa Indonesia dan menjadi bahasa sehari-hari dalam masyarakat.8 Sementara dalam literatur berbahasa

Inggris untuk menyebut hukum Islam mereka menggunakan Islamic Law dan bahasa Belanda Islamisches recht yang secara harfiyah sebagai terjemahan dari hukum Islam.

Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat untuk seluruh anggotanya”. Bila dikaitkan definisi ini dengan Islam atau syara’, maka hukum Islam berarti; “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”.9 Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan, hukum Islam

adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat baik di dunia maupun di akhirat. Kata yang “berdasarkan wahyu dan sunnah Rasul” menjelaskan bahwa peraturan itu digali dari wahyu Allah dan sunnah Rasul; atau yang populer disebut dengan syari’at. Kata tentang tingkah laku manusia mukallaf mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tingkah laku lahir manusia yang dikenai hukum.

8 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993, cet. II,

hlm. 17-18

9 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia dari Konservatif menuju Konfigurasi

Demokratis-Responsif, Jakarta: Rajawali Perss, 2000, hlm. xiii.

Hukum seperti yang dijelaskan Philip K. Hitti adalah dalam pengertian syari’at Islam:

“The shari’ah according to the traditional view, is eternal, universal perfect, fit for all men at all times in all places. It proceded the state and society. It recognizes no difference between the sacred and the secular. It sets forth and regulates man’s relations with and obligations to as well as his relations wit his fellow man”.10 [syari’at itu menurut pandangan tradisional bersifat abadi,

(9)

antara yang bersifat kudus dan keduniaan. Ia memberikan dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhan serta kewajiban kepada-Nya dan juga hubungan antara sesama manusia].

Secara khusus dalam bahasa Arab tidak terdapat peristilahan “hukum Islam” secara teknis, oleh karena itu, sulit ditemukan artinya secara definitif. Karena kesulitan memberikan definisi ini menyebabkan terdapat perbedaan versi antara pakar hukum Islam dengan sarjana hukum yang mendalami hukum Islam. Pakar hukum Islam sering menganggap dan menamakan hukum Islam itu dengan segala aturan agama yang mengatur segenap kegiatan manusia di dunia ini, yang biasa disebut fikih, baik yang berlaku dan dijalankan oleh negara melalui lembaga peradilan atau yang sama sekali tidak diurus oleh lembaga peradilan. Namun, pengertian hukum dalam Islam tidak hanya menyangkut aturan-aturan yang membutuhkan kekuasaan negara, tetapi semua perbuatan yang dilakukan oleh warga masyarakat, baik yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan negara.

Berbeda halnya dalam persepsi sarjana hukum yang mempelajari hukum Islam, hukum Islam itu dianggap sebagai hukum yang diberlakukan oleh negara melalui lembaga peradilan yang bersifat mengingat. Ruang lingkup hukum Islam bagi Sarjana Hukum tidak seluas apa yang dilihat oleh pakar hukum Islam. Bahkan dalam persepsi Barat, yang disebut hukum Islam hanya yang berlaku di pengadilan, di luar kompentesi pengadilan tidak dapat disebut hukum Islam.

10 Philip K. Hitti, Islam A Way of Life, Minnesota: University of Minnesota, 1970, hlm. 42. Lihat

juga Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Universitas Yarsi Jakarta, 1999, hlm. 3.

Suatu hal yang perlu digaris bawahi bahwa pengertian hukum Islam di sini tidak lagi terbatas kepada teks-teks hukum seperti dalam Al-Qur’an dan sunnah, tetapi juga mencakup hukum-hukum fikih ijtihadi, sebagai hasil pengembangan dari Al-Qur’an dan sunnah. Pengertian inilah yang dimaksud hukum Islam dalam kajian ini.

B. Hubungan Agama dan Hukum

(10)

sesungguhnya tahu yang benar mutlak hanya Allah semata. Mengatasi setiap orang yang berpengetahuan adalah Tuhan Yang Maha Berpengetahuan.

Boleh dikatakan secara umum dalam pemikiran Barat agama telah dilepaskan dari “wilayah hukum” karena pengaruh rasionalisme dan Aufklarung yang sangat dominan. Tetapi, Friedrich Julius Stahl masih mengakui adanya pengaruh agama terhadap hukum. Ia berpendapat bahwa hukum juga memperoleh kekuatan mengikat dari ordonansi Ketuhanan yang menjadi sandaran negara. Sekalipun hukum produk manusia, tetapi hukum digunakan “untuk membantu mempertahankan tata tertib dunia Ketuhanan. Karena tak ada hukum yang tak membantu ke arah itu, maka hukum yang terburuk pun masih mempunyai sanksi Ketuhanan.11

Salah satu argumen yang paling kuat yang mendukung pendapat bahwa dalam Islam hukum dan agama tidak dapat dipisahkan ialah sumber hukum islam itu sendiri. Dalam kepustakaan hukum islam selalu disebutkan bahwa sumber-sumber hukum islam adalah al-Qur’an yang terutama, kemudian Sunnah Rasul dan al-Ra’yu.12 Agama Islam pun bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

Dengan demikian, baik agama Islam maupun hukum islam, kedua-duanya bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Adapun al-Ra’yu sebagai hasil ijtihad (manusia) merupakan sumber ketiga bagi hukum Islam.

11 L.J. van Apeldoorn, op. cit,. H. 445.

12 Berdasarkan ketentuan dalam al-Qur’an, surah an-Nisa/4:59 dan hadist Muadz bin Jabal.

Seorang ahli hukum adat dan hukum Islam yang semasa hidupnya menjabat Guru Besar untuk kedua mata kuliah itu di Universitas Indonesia, Hazairin telah menyanggah pandangan Barat yang memisahkan hukum dari agama dengan argumen sebagai berikut:13

(11)

perhubungan dengan Tuhannya Yang Maha Esa kepada siapa tergantung hidup matinya, demikian juga keselamatan hidup kemasyarakatan.

Menurut paham ini masyarakat manusia itu bukan urusan manusia saja, tetapi juga menjadi urusan Sang Penjelma manusia itu sendiri, sehingga pergaulan hidup sesama manusia itu bukanlah merupakan perhubungan antar – tiga, yaitu antara manusia dan manusia dan Tuhannya bersama itu”.

Sangat berbeda dengan pendekatan Barat yang telah mengasingkan agama dari “wilayah hukum”, Hazairin berpendirian bahwa urusan hukum bukan semata-mata urusan manusia, tetapi juga urusan Allah yang menciptakan manusia itu sendiri. Menurut Hazairin, paham inilah yang dianut oleh para nabi dan Rasul, “terakhir oleh Muhammad dalam al-Qur’an”.14

Hazairin menegaskan mengapa al-Qur’an melalui surat al-Nisa (4) : 59 memerintahkan kepada manusia untuk menaati (mematuhi) ketetapan-ketetapan Allah, Rasulullah dan ulil amri yaitu “penyelenggara negara” atau “pengelola negara”. Dalam konteks ini, antara lain dapat diamati betapa eratnya hubungan antara hukum dan al-din al-islami.

13 Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, op. cit,. h. 67-68.

14 Ibid., h. 68.

Dalam sebuah kaedah fiqh disebutkan: “berubahnya hukum disebabkan oleh berubahnya waktu dan tempat.”15 Kaedah ini menyiratkan arti bahwa hukum

Islam senantiasa berintegrasi dengan situasi dan lingkungan yang mengitarinya. Hukum Islam yang lahir dan berkembang disuatu tempat dan waktu tertentu akan mempunyai ciri dan karakter tersendiri sesuai dengan situasi dan tempat hukum Islam itu berkembang sebagaimana diantaranya dikenal seperti qaul qadim16 dan

qaul jadid17 Imam Syafe’i, fiqh Hijaz, dan fiqh Irak serta dalam konteks pemikiran

hukum Islam di Indonesia dikenal dengan Fiqh Indonesia sebagaimana yang dikemukakan Hasby Ash-Shieddieqy18 dan Prof. Dr. Hazairin. Hazairin adalah

(12)

ini tidak hanya merujuk kepada mazhab Syafe’i, tetapi merujuk juga kepada mazhab-mazhab lain. Mazhab Nasional ini kemudian lebih dipopulerkan menjadi mazhab Islam Indonesia.19 Perbedaan lingkungan budaya dan struktur masyarakat

serta sosio-historis menyebabkan hukum Islam menampilkan ciri dan karakternya di masing-masing wilayah budaya dan disetiap offshoot sejarah yang ia lalui, seperti hukum Islam di wilayah belahan dunia lainnya.

15 Ibnu Qayyim al-Jauziyah,

16 Istilah ini untuk menunjukan bahwa Imam Syafi’i mempunyai corak pemikiran yang disebut

pendapat lama (qaul qadim) ketika ia berada di Mesir. Pendapat ini mempunyai ciri dan karakter sendiri. Lihat Disertasi Lahmuddin Nasution, Qaul Qadim dan Qaul Jadid.

17 Qaul jadid adalah pendapat terbaru Imam Syafi’i ketika ia sudah pindah ke Irak.

18 Nourrouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannnya, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1997, hlm. 236

19 Gagasan ini disampaikan Hazairin pada pidato Pembukaan Perguruan Tinggi Islam -Universitas

Islam Jakarta-tanggal 14 November 1951 dengan judul Ilmu Pengetahuan Islam dan Masyarakat. Lihat juga dalam Tujuh Serangkai tentang Hukum, hlm. 153. Mengenai perubahan nama dari madzhab nasional menjadi madzhab Indonesia dapat dilihat dalam Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, Cet. III, 1982, hlm. 5-6.

C. Hukum Islam Masa Kerajaan Islam Nusantara

Proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan melalui jalur perdagangan dan perkawinan, secara tidak langsung memberikan andil bagi tersosialisasinya hukum Islam di tengah-tengah masyarakat.20 Interaksi dan

(13)

Suatu kebanggaan bagi penduduk tertentu bilamana berhasil menjalin hubungan dengan para pedagang muslim yang datang, apalagi jika berhasil merajut tali perkawinan.

Bersamaan dengan menguatnya komunitas muslim yang ditandai dengan hadirnya kerajaan-kerajaan Islam, maka kebijakan dari sultan dalam implementasi hukum dilimpahkan kepada pembantu urusan agama, seperti para hakim atau ulama yang telah diangkat. Pada tingkat desa jabatan agama yang disebut Kaum, Kayim, Modin, dan Amil. Di tingkat kecamatan disebut Penghulu Naib. Ditingkat kabupaten Penghulu Seda dan tingkat kerajaan disebut Penghulu Agung yang berfungsi sebagai hakim atau qadhi yang dibantu beberapa penasehat yang kemudian disebut Pengadilan Surambi. 21 Bila disimak dari gelar-gelar yang

diberikan kepada raja Islam seperti adipati ing alogo sayyidin panotogomo serta gelar-gelar pelaksana hukum ditingkat kerajaan sampai ke desa-desa, dapat dipastikan bahwa peranan hukum Islam cukup besar dalam setiap kerajaan-kerajaan itu.22

20 Naquib al-Attas, Islam Sekularisme, Bandung: Pustaka, 1981, hlm. 247.

21Lihat Zuffran Sabri (ed), Peradilan Agama di Indonesia. 1999, hlm. 2.

22Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, hlm. 71.

Hukum Islam dalam masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah hukum Islam di Indonesia. Dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan kerajaan Hindu/Buddha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam telah ada di Indonesia sebagai hukum positif. Para penguasa ketika itu memposisikan hukum Islam sebagai hukum negara.

Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan keyakinan dan kedamaian bagi penganutnya. Masyarakat pada periode ini dengan rela dan patuh, tunduk dan mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun, keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan datangnya kolonialisme Barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.

D. Hukum Islam di bawah Intervensi Politik Kolonialisme

(14)

1596 di Banten. Ketertarikan pihak kolonial terhadap kawasan nusantara, bukan saja disebabkan semakin terdesaknya posisi Belanda dalam percaturan politik internasional, tetapi juga secara ekonomis nusantara ketika itu menjadi kawasan yang menjanjikan terutama bahan-bahan rempah-rempahan. Secara sosiologis kolonialisme cenderung menjalankan misi ganda; ekonomi dan agama. Indonesia khususnya dan kawasan dunia Melayu umumnya adalah komunitas muslim yang secara teologis dalam persepsi kolonial yang nota benenya dianggap penyimpang dan perlu diluruskan. Kepentingan agama jauh lebih besar bobotnya, meskipun misi tersebut dibungkus dengan kegiatan ekonomi dan ini telah terbukti melalui perjalanan sejarah Indonesia. Setiap misi dagang dan ekonominya kolonial Belanda senantiasa melibatkan pastor-pastor agama Kristen.

Misi VOC sebagai misi perpanjangan tangan pemerintah Belanda mempunyai dua fungsi, pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah. Sebagai upaya pemantapan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, digunakan hukum peraturan perundang-undangan Belanda. Di daerah-daerah yang kemudian satu persatu dapat dikuasai kolonial akhirnya membentuk badan-badan peradilan.

23 Lihat Supomo dan Djokosoetomo, Sejarah Politik Hukum Adat 1609-1848,Jakarta:

Djambatan, 1955, hlm.1.

Bahkan pada pertengahan abad ke-18 pemerintah Belanda berusaha menyusun buku-buku hukum Islam sebagai pegangan hakim-hakim pengadilan (landraad) dan pejabat pemerintahan. Dalam statuta Jakarta 1642 bahkan hukum kekeluargaan diakui dan diterapkan dengan peraturan Resolutie der Indieshe Regeering pada 25 Mei 1760, sebagai aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Atas perkembangan ini maka dikenal beberapa compendium yang disusun oleh pejabat-pejabat Belanda dari pakar hukum, misalnya compendium van Clookwijck, Gubernur Sulawesi waktu (1752-1755), dan compendium Freijer yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761).24

(15)

hukum sebagaimana dilakukan Belanda tahun 1838, karena hukum Eropa dianggap lebih superior daripada hukum yang ada di Indonesia. Ironisnya, penilaian yang berlebihan menyebutkan bahwa hukum yang terdapat di Indonesia adalah hukum warisan jahiliyah karena hukum Islam yang diamalkan itu adalah warisan bangsa Arab yang sudah kuno dan terbelakang. Bahkan disebut hukum yang yang tidak berkemanusiaan dan berperadaban. Maka menjadi tugas mulia menurut mereka, jika dapat menukarkannya dengan hukum Belanda yang modern dan menjunjung hak asasi manusia.

24 Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Kenegaraan Indonesia”, dalam

Amrullah Ahmad SF (Penyunting), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. HLM. Busthanul Arifin dalam Budaya Hukum , hlm. 5.

Dalam aspek perkembangan hukum, masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak terjadi perubahan yang mendasar. Perkembangan hukum Islam masa ini setidaknya dapat dilihat dari keberadaan pengadilan agama. Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Bala Tentara Jepang melalui dekritnya No. 1 tahun 1942 menyatakan, semua badan pemerintahan beserta wewenangnya, semua undang-undang, tata hukum dan semua peraturan dari pemerintahan yang lama dianggap masih tetap berlaku dalam waktu yang tidak ditentukan selama tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Bala Tentara Jepang.

Masa pendudukan Jepang ini alih-alih hukum Indonesia memikirkan untuk menghapus pengadilan agama. Pemikiran ini muncul dari Soepomo, penasehat departmen Kehakiman ketika itu dan ahli hukum adat. Ia setuju agar hukum Islam tidak berlaku dan ingin menegakkan hukum adat. Dalam hal ini ia setuju dengan pendapat kalangan ahli hukum Belanda. Tetapi usul Soepomo dalam suatu laporan tentang pengadilan agama itu diabaikan oleh Jepang saja, karena khawatir akan menimbulkan protes dari umat Islam.25 kebijakan Pemerintah Bala Tentara Jepang

(16)

25Deilar Noer, Administrasi Islam, hlm. 87.

E. Konsep Negara Hukum Pancasila

Oemar Senoadji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara Hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam Negara Hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan beragama. Tetapi, kebebasan beragama di Negara Hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi ateisme atau propaganda anti agama di Bumi Indonesia.

Hal ini sangat berbeda dengan misalnya di Amerika Serikat yang memahami konsep freedom of religion baik dalam arti positif maupun dalam arti negatif, sebagaimana dirumuskan oleh Sir Alfred Denning yang dikutip Senoadji sebagai berikut :

“Freedom of religion means that we are free to worship or not to worship, to affirm the existence of God or to deny it, to believe in Christian religion or many other religion or in none, as wewenang choose”.

(17)

dibenarkan dan komunisme dilarang; serta (5) asas kekeluargaan dan kerukunan. Adapun unsur-unsur pokok Negara Hukum RI: (1) Pancasila; (2) MPR; (3) sistem konstitusi; (4) persamaan; dan (5) peradilan bebas. Dalam Negara Hukum Pancasila ada dua hal yang perlu diperhatikan: (1) kebebasan beragama harus mengacu pada makna yang positif sehingga pengingkaran terhadap Tuhan Yang Maha Esa (ateisme) ataupun sikap yang memusuhi Tuhan Yang Maha Esa tidak dibenarkan, seperti terjadi di negara-negara komunis yang membenarkan propaganda anti agama; dan (2) ada hubungan yang erat antara negara dan agama, karena itu baik secara rigid atau mutlak ataupun secara longgar atau nisbi Negara Republik Indonesia tidak mengenal doktrin pemisahan antara agama dan negara. Karena doktrin semacam ini sangat bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun lima unsur utama itu, sebagaimana telah dijelaskan di atas bertumpu pada suatu prinsip yang sangat mendasar bagi segenap Bangsa Indonesia yaitu sila pertama dari Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena sila pertama ini menurut Hazairin mempunyai “posisi yang istimewa”, ia “terletak di luar ciptaan akal budi manusia”. 26

Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, inilah maka dalam pandangan penulis Negara Hukum Pancasila memiliki bukan hanya suatu ciri tertentu tetapi ciri yang paling khusus dari semua konsep negara hukum baik konsep Barat (rechtsstaat dan rule of law) maupun apa yang disebut sebagai socialist legality. Sila pertama dari Pancasila itu mencerminkan konsep monoteisme atau tauhid (unitas). Hal ini sesuai dengan doktrin Qur’an antara lain dalam surah al-Kahfi/18:10 yang mengajarkan bahwa Tuhan bagi seluruh manusia adalah Allah Yang Maha Esa. Sila pertama merupakan pula dasar kerohanian dan dasar moral bagi Bangsa Indonesia dalam bernegara dan bermasyarakat, artinya, penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat wajib memperhatikan dan mengimplementasikan petunjuk-petunjuk Tuhan Yang Maha Esa.27 Karena

(18)

26Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tintamas, 1973), h. 5.

27 Ahmad Azhar Basyir, Hubungan Agama dan Pancasila (Yogyakarta: Universitas Islam

Indonesia, 1985), h. 9-10.

F. Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunah

“wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulul Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.kemudian jika kamu berselisih dalam sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Itu adalah pilihan yang baik dan penyelesaian yang lebih bagus.(Annisa:59)

Perintah yang terkandung dalam permulaan ayat adalah perintah mentaati Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amri. Ini berarti ayat tersebut menghendaki adanya suatu disiplin, baik terhadap hukum Allah yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunah Rasulullah dan juga terhadap hukum perundang-undangan yang dibuat oleh Ulil Amri. Karena jenis hukum terakhir ini diisyaratkan memiliki konsistensi dengan hukum-hukum Allah, maka pada hakikatnya ketaatan masyarakat merupakan disiplin tunggal, yakni ketaatan kepada hukum Allah, dan ini merupakan faktor integritas umat yang berkualitas tinggi dan sangat diperlukan dalam pembinaan dan pemeliharaan kesatuan sistem politik.

(19)

Ketaatan kepada pemerintah tidaklah mutlak, tetapi terkait pada sifat aturan-aturan hukum dan kebijakan-kebijakan politik yang dibuat pemerintah. Jika kebijakan dan hukum yang dibuat pemerintah menyimpang dari ajaran dan hukum agama, maka rakyat tidak wajib mentaatinya, bahkan jika aktivitas pemerintahan menjurus dan bersifat menutupi atau mengingat kebenaran agama Allah, 28 maka

rakyat berhak memakzulkan Ulil amr dengan menarik baiat mereka.29

28Secara etimologi, kufr bermakna “menutup” (Ibnu Faris, op., cit. V, hlm. 191; Ibn Manzhur, op.

cit. VI, hlm. 461).

29 Lihat Dhiya’ al-Din al-Rayis, op.cit. hlm. 294-7; di sini al-Rayis mengemukakan adanya hak

koreksi dan hak memakzulkan yang dimiliki rakyat, seperti yang dikemukakan oleh para ulama.

Ini berarti rakyat dapat bersikap dengan salah satu dari tiga politik ini: (1) mendukung pemerintahan yang sesuai dengan kehendak dan hukum Allah, (2) bersikap diam, tidak menuruti aturan dan kebijaksanaan politik yang berupa dan bersifat kemaksiatan, dan (3) memakzulkan pemerintah yang aktivitasnya bukan hanya tidak sesuai dengan ajaran agama, tetapi juga bersifat menutupi dan mengancam eksistensi agama.

Seperti yang kita ketahui, al-Qur’an tidak menetapkan cara hidup tertentu masyarakat muslim dalam bernegara. Secara umum al-Qur’an hanya menetapkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya beserta orang-orang yang berkuasa di antara mereka. Seperti yang sudah saya kemukakan pada ayat diatas bahwa ayat ini mengindikasikan kepada kaum muslimin untuk menaati pemegang kekuasaan atas mereka, namun demikian mereka dilarang mentaatinya apabila hal itu bertentangan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Di samping itu terdapat berbagai ayat yang merupakan tuntunan bagi masyarakat muslim dalam berinteraksi sosial.

Syekh Dr. Muhammad Al-Ghazali menjelaskan:

Islam tidak memberikan bentuk dan teknis tertentu untuk pemerintahan. Tapi Islam hanyalah memberikan nilai moral yang

(20)

kuat? Bagaimana prosesi pelaksanaan syura agar berjalan tanpa kekerasan dan permusuhan? Di sinilah kesempatan setiap umat untuk berijtihad. Untuk membuat sistem yang merealisasikannya

dengan bebas.30

30Muhammad Al-Ghazali, Dusturu Wihdah Ats-Tsaqafah baina Al-Muslimin (cet. II; Kairo: Dar

al-Shuruq, 2005), h.37.

Inilah perbedaan mendasar antara sistem, perangkat bentuk dengan maksud atau tujuan dan referensi. Sistem lain selain sistem politikpun tidak ada standar bakunya dalam Islam. Sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem militer bukanlah hal sakral yang tidak menerima perubahan. Sistem-sistem tersebut bukanlah ciptaan Allah yang perlu disucikan, tapi mereka semua sekedar rekaan manusia, produk peradaban dan kebudayaan, yang selalu bisa diganti dan diperbarui.

(21)

BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum Islam adalah aturan-aturan yang berdasarkan al-Qur’an dan hadist yang mengatur seluruh kegiatan manusia baik perorangan maupun masyarakat dalam suatu negara. Indonesia bukanlah negara Islam namun Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pancasila adalah dasar negara Islam, bukan berarti mengesampingkan hukum Islam namun, karna Pancasila suatu bentuk hukum negara Indonesia yang tepat sesuai kondisi bangsa Indonesia sendiri yang memiliki beragam suku, budaya, bahasa, dan agama.

(22)

Namun, bukan berarti umat Islam di Indonesia harus melepaskan hukum Islam dan mengikuti aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum Islam. Pancasila dasar ideologi Indonesia yang memiliki dasar hukum Islam tetapi menggunakan kalimat-kalimat umum, sehingga dengan umat beragama yang lainnya tidak berselisih paham. Jadi islam adalah agama yang adil.

Di dalam isi Pancasila sendiri tidak lah bertentangan dalam hukum Islam, maka sepantasnya para muslim yang ada di Indonesia harus mengikuti hukum pemerintahan yang ada di Indonesia. Sesuai perintah Allah kita diwajibkan sebagai masyarakat yang baik serta sebagai muslim yang mematuhi perintah Tuhannya harus mematuhi ulil amri (pemerintah) juga, selama pemimpin bangsa ini tidak melarang masyarakatnya untuk beragama dan beribadah.

B. Saran

(23)
(24)

DAFTAR PUSTAKA

Halim, Abdul. 2005. Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Ciputat Press

Azhary, Tahir, Muhammad. 2010. Negara Hukum : Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Kencana

Salim, Muin, Abdul. 2002. Fiqh Siyasah. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Syafuri, H.B. 2010. Pemikiran Politik dalam Islam. Banten: FEEI PRESS (Fak. Syari’ah dan Ekonomi Islam Press)

Referensi

Dokumen terkait

Disarankan kepada perusahaan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi keselamatan kerja dan membuat variasi yang baru dalam mengkomunikasikan keselamatan kerja,

pilih tidak terdaftar dalam pemilu terdaftar dalam daftar pemilih

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa semua sampel minyak dalam keadaan cair pada suhu ruang (±27ºC) namun ketika pada suhu rendah (±5ºC) terjadi perubahan fase pada beberapa

Permasalahan yang dihadapi oleh usaha mikro tempe nasabah lembaga keuangan mikro(LKM) Kabupaten Sidoarjo sehingga dapat meningkatkan daya saing Usaha Mikro Tempe untuk

Guru sosiologi tidak menerapkan 1 komponen yang tidak dieterapkan yaitu memotivasi siswa.Dari semua komponen keterampilan menutup pelajaran yang terdiri dari 3 komponen

Terhadap Kinerja Karyawan Dengan Lama Kerja Sebagai.. Variabel Moderating (Studi pada

Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu bertambah terkejut, karena tiba-tiba ikan tersebut berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik?. “Jangan takut Pak, aku

Algoritma Genetika digunakan untuk mencari parameter filter daya aktif (APG) untuk meminimalkan prosentase THD dari Arus sumber (Is) setelah kompensasi.. Sesuai dengan